Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Munculnya beberapa kasus perusahaan besar (seperti perusahaan Enron,

Xerox, dan Worldcom) yang gagal dalam melaporkan laba yang mencerminkan

kondisi ekonomi perusahaan sesungguhnya, berdampak pada menurunnya

kepercayaan publik terhadap laba yang dilaporkan (Handayani, 2010:67). Di

Indonesia sendiri pernah terjadi kasus mengenai rekayasa laba, yakni PT Kimia

Farma pada tahun 2001 melaporkan laba bersih terlalu besar. PT Kimia Farma

adalah salah satu produsen obat-obatan milik pemerintah di Indonesia. Pada audit

tanggal 31 Desember 2001, manajemen Kimia Farma melaporkan adanya laba

bersih sebesar Rp 132 milyar, dan laporan tersebut di audit oleh Hans Tuanakotta

& Mustofa (HTM). Akan tetapi, Kementerian BUMN dan Bapepam menilai

bahwa laba bersih tersebut terlalu besar dan mengandung unsur rekayasa. Setelah

dilakukan audit ulang, pada 3 Oktober 2002 laporan keuangan Kimia Farma 2001

disajikan kembali (restated), karena telah ditemukan kesalahan yang cukup

mendasar. Pada laporan keuangan yang baru, keuntungan yang disajikan hanya

sebesar Rp 99,56 miliar, atau lebih rendah sebesar Rp 32,6 milyar, atau 24,7%

dari laba awal yang dilaporkan. Kesalahan itu timbul pada unit Industri Bahan

Baku yaitu kesalahan berupa overstated penjualan sebesar Rp 2,7 miliar, pada unit

Logistik Sentral berupa overstated persediaan barang sebesar Rp 23,9 miliar, pada

unit Pedagang Besar Farmasi berupa overstated persediaan sebesar Rp 8,1 miliar

dan overstated penjualan sebesar Rp 10,7 miliar. Kesalahan penyajian yang


berkaitan dengan persediaan timbul karena nilai yang ada dalam daftar harga

persediaan digelembungkan. Berdasarkan penyelidikan Bapepam, disebutkan

bahwa KAP yang mengaudit laporan keuangan PT Kimia Farma telah mengikuti

standar audit yang berlaku, namun gagal mendeteksi kecurangan tersebut. Selain

itu, KAP tersebut juga tidak terbukti membantu manajemen melakukan

kecurangan tersebut. (davidparsaoran.wordpress.com)

Dari kasus-kasus yang terjadi di dunia maupun Indonesia, beberapa

peneliti dan regulator berusaha mencari suatu benchmark untuk menilai kualitas

laba akuntansi agar angka laba tersebut tidak menyesatkan publik dalam menilai

kinerja perusahaan. Di Indonesia, beberapa tahun belakang ini krisis keuangan

yang cukup hebat mengakibatkan banyaknya perusahaan besar mengalami

kerugian bahkan gulung tikar. Keadaan ini memaksa perusahaan yang masih

bertahan untuk dapat menjaga kelangsungan hidupnya agar dapat bersaing dengan

perusahaan lain. Untuk dapat bersaing maka memerlukan modal yang memadai.

Modal tersebut tentunya akan diperoleh perusahaan apabila mendapat

kepercayaan dari kreditor maupun investor. Kepercayaan itu dapat diperoleh

apabila perusahaan mampu menunjukkan kinerja yang baik, yang diukur salah

satunya dari laba yang diperoleh perusahaan tiap tahunnya (Tuti Nur Asma

2013:1).

Informasi yang berkaitan dengan laba (earning) mempunyai peran yang

sangat penting bagi pihak-pihak yang berkepentingan seperti kreditor, calon

kreditor, investor dan calon investor terhadap perusahaan serta pemerintah dalam

urusan perpajakan. Laba merupakan keuntungan atas upaya perusahaan dalam


menghasilkan dan menjual barang atau jasanya (Suwardjono, 2008:464 dalam

Nurul dan Wida, 2016 : 258 ). Laba menjadi dasar dalam pengenaan pengahasilan

kena pajak, kebijakan pemberian deviden, pedoman dalam investasi, pengambilan

suatu keputusan, dan unsur untuk memprediksi kinerja (Hartanto, 2003:444 dalam

Nurul dan Wida, 2016 : 258). Informasi laba digunakan oleh pihak eksternal dan

internal sebagai proses pengambilan kebijakan seperti pemberian imbalan

(kompensasi) dan bonus kepada manajer, pemberian insentif untuk karyawan

yang berprestasi, tolok ukur kinerja manajemen, dan sebagai dasar pengambilan

besarnya pengenaan pajak oleh perusahaan (Simone, 2016 dalam Nur Fadila dan

Provita 2017 : 262)

Subramanyam & Wild (2012) dalam Nur Fadilah dan Provita (2017 :

263) beragumentasi terdapat dua proses fundamental dalam mengukur tingkat

perolehan laba, yaitu pengakuan pendapatan dan besaran beban yang ditanggung

perusahaan. Oleh karena itu, dalam mengukur tingkat laba yang diperoleh dapat

diketahui melalui selisih antara total pendapatan dengan beban-beban. Laba yang

bermanfaat bagi investor adalah laba yang berkualitas. Menurut Penman (2001)

dalam Nur Fadilah dan Provita (2017 : 263) laba yang berkualitas adalah laba

yang mencerminkan kelanjutan laba (sustainable earning) di masa depan yang

disebut dengan persistensi laba. Persistensi laba merupakan revisi laba yang

diharapkan di masa mendatang yang tercermin dalam laba periode berjalan

(Meythi, 2006 dalam Nur Fadilah dan Provita (2017 : 263). Laba tersebut telah

teruji kebenarannya dan dapat dipercaya (Nur Fadilah dan Provita, 2017 : 263).
Informasi mengenai laba dapat ditemukan pada laporan keuangan

perusahaan. Laporan keuangan selain ditunjukan untuk pemegang saham juga

ditunjukan untuk kepentingan perpajakan, sehingga untuk perhitungan pajak

perusahaan harus membuat laporan keuangan fiskal (Feni Marnilin, 2015:143).

Setiap tahunnya manajemen menghitung laba perusahaan dengan dua tujuan

utama, untuk memenuhi tujuan pelaporan sesuai dengan PSAK dan memenuhi

aturan dalam Undang - Undang Perpajakan sebagai pemenuhan kewajiban

perpajakan. Perbedaan antara laba akuntansi dengan laba fiskal (book-tax

differences) terjadi karena adanya perbedaan perlakuan dalam standar akuntansi

dan aturan perpajakan. Pengakuan pendapatan dan biaya dalam akuntansi

memperbolehkan metode akrual. Sedangkan menurut aturan perpajakan

pendapatan dikategorikan menjadi: (1) pendapatan sebagai penambah penghasilan

bruto, dan (2) pendapatan yang telah dipotong PPh final (tidak menambah

penghasilan bruto). Hanya pendapatan jenis pertama saja yang dapat dimasukkan

kedalam laporan laba rugi fiskal, namun apabila pendapatan tersebut telah

diterima. Demikian pula biaya, menurut perpajakan, biaya dikategorikan sebagai

biaya pengurang penghasilan (deductible expense) dan biaya non pengurang

penghasilan (non deductible expense). Hanya biaya yang deductible saja yang

boleh dimasukkan kedalam laporan laba rugi fiskal, namun dengan syarat biaya

tersebut sudah dibayarkan.

Standar yang mengatur penyusunan laporan keuangan fiskal adalah

peraturan perpajakan, sedangkan standar yang mengatur penyusunan laporan

keuangan komersial adalah Standar Akuntansi Keuangan. Dasar yang berbeda


dalam penyusunan laporan keuangan tersebut dapat menimbulkan terjadinya

perbedaan penghitungan laba (rugi) perusahaan. Perbedaan itulah yang

menimbulkan istilah book-tax differences dalam analisis perpajakan (Resmi,

2011:369 dalam Feni Marnilin (2015:143)). Adanya 2 jenis laba tersebut

menyebabkan laba yang dihasilkan perusahaan berbeda sehingga mempengaruhi

kualitas laba. Persistensi merupakan salah satu karakteristik kualitatif relevansi

laba, maka semakin besar perbedaan antara laba akuntansi dengan laba fiskal

persistensi laba perusahaan akan semakin kecil. Sebaliknya semakin kecil

perbedaan laba akuntansi dengan laba fiskal, maka semakin tinggi persistensi laba

yang dimiliki oleh perusahaan (Feni Marnilin, 2015:143).

Laporan arus kas merupakan salah satu laporan keuangan pokok, di

samping neraca dan laporan laba rugi. Nilai yang terkandung didalam arus kas

atau aliran kas pada suatu periode mencerminkan nilai laba dalam metode kas

(cash basis). Data arus kas merupakan indikator keuangan yang lebih baik

dibandingkan dengan akuntansi karena arus kas relatif lebih sulit untuk

dimanipulasi. Arus kas dari aktivitas operasi terutama diperoleh dari aktivitas

penghasil utama pendapatan perusahaan sehingga semakin tingginya aliran kas

operasi terhadap laba, maka akan semakin tinggi pula kualitas laba tersebut

(Andreani dan Vera, 2014 dalam Feni Marnilin, (2015 :143).

Beberapa analis keuangan lebih suka mengaitkan aliran kas operasi

sebagai penentu atas kualitas laba karena aliran kas dianggap lebih persisten

dibanding komponen akrual. Statement of Financial Accounting Concept (SFAC)

No. 2 Tahun 1980 mengenai karekteristik kualitatif laporan keuangan bertujuan


untuk menganalisis karakteristik yang membuat informasi akuntansi dapat

bermanfaat. Dalam membuat keputusan pemilihan metode akuntansi, karakteristik

kualitatif suatu informasi merupakan salah satu hal yang harus dipertimbangkan,

karena kualitas ini merupakan komposisi suatu informasi agar dapat bermanfaat.

Dilihat dari hirarki kualitas akuntansi bahwa kualitas utama informasi akuntansi

terletak pada relevance dan reliability, yang komposisi pembentuknya adalah

predictive value, feedback value, timeliness, comparability, verifiability,

neutrality dan representational faithfulness. Untuk informasi berupa laba,

meskipun persistenai laba bukan merupakan komponen dari definisi kualitas

primer laba, namun persistensi laba sering digunakan sebagai pertimbangan

kualitas laba karena dalam karakter relevansi terdapat komponen nilai prediktif

laba, dimana salah satu unsur nilai prediktif laba adalah persistensi laba (Jonas

dan Blanchet, 2000; dalam Martani dan Persada, 2009, dalam Wahyu dan Vestari

2014:47).

Kemampuan perusahaan dalam memperoleh laba tidak dapat terlepas

dari sumber modal perusahaan guna membiayai kegiatan perusahaan agar dapat

terus mengembangkan usahanya dan menghasilkan laba yang maksimal. Salah

satu sumber modal perusahaan adalah hutang. Hutang diartikan sebagai seluruh

kewajiban perusahaan kepada kreditor atau pihak lain yang memberikan pinjaman

modal kepada perusahaan (Munawir, 2004:18). Tingkat hutang yang tinggi dari

perusahaan akan menyebabkan perusahaan meningkatkan persistensi laba dengan

tujuan untuk mempertahankan kinerja perusahaan yang baik di mata auditor dan
investor (Fanani, 2010). Hasil penelitian Pagalung (2006) menunjukan bahwa

adanya pengaruh positif antara tingkat hutang terhadap persistensi laba.

Perusahaan manufaktur adalah salah satu perusahaan yang terdaftar di

Bursa Efek Indonesia. Peneliti memilih perusahaan manufaktur karena perusahaan

manufaktur merupakan perusahaan yang paling dominan di BEI. Penelitian ini

dilakukan pada perusahaan manufaktur subsektor food and beverages yang

terdaftar di Bursa Efek Indonesia tahun 2011-2015. Menurut Persada (2010)

dalam Limas Amelia (2017:12) Perusahaan manufaktur dipilih karena memiliki

karakteristik yang sama sehingga dampak BTG dapat lebih teramati, selain itu

perusahaan lembaga keuangan memberikan hasil berbeda karena pendapatannya

dipengaruhi oleh regulasi pemerintah, perusahaan konstruksi dikenakan pajak

final dan pertambangan memiliki regulasi pajak yang berbeda.

Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik melakukan penelitian

mengenai: Pengaruh Arus Kas Operasi, Tingkat Hutang dan Perbedaan

antara Laba Akuntansi dengan Laba Fiskal terhadap Persistensi Laba.

1.2 Perumusan Masalah

Identifikisi masalah mengenai penelitian yang akan dilakukan sebagai berikut :

1. Menurunnya arus kas operasi dapat mengakibatkan persistensi laba menurun.

2. Tingkat hutang yang tinggi dari perusahaan akan menyebabkan perusahaan

meningkatkan persistensi laba dengan tujuan untuk mempertahankan kinerja

perusahaan yang baik di mata auditor dan investor (Fanani, 2010)


3. Adanya perbedaan ketentuan dalam menyusun laporan keuangan berdasarkan

standar yang berlaku yaitu Standar Akuntansi Keuangan dan Perundang-

undangan Perpajakan menyebabkan perbedaan jumlah antara penghasilan

sebelum pajak (laba akuntansi) dengan penghasilan kena pajak (laba fiskal)

atau yang sering disebut dengan book tax differences. Penyebab perbedaan

yang terjadi antara penghasilan sebelum pajak dan penghasilan kena pajak

karena perbedaan dalam pengakuan pendapatan dan beban. Perbedaan

tersebut karena adanya koreksi positif dan negatif dan adanya perbedaan

permanen dan perbedaan temporer Amelia (2017:13)

Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti dapat mengidentifikasi

beberapa faktor yang mempengaruhi persistensi laba yaitu Arus Kas Operasi,

Tingkat Hutang dan Perbedaan Laba Akuntansi dengan Laba Fiskal (Book Tax

Different).

Berdasarkan identifikasi masalah di atas, dan agar masalah yang diteliti

tidak meluas, maka penelitian ini dibatasi pada pengujian arus kas operasi, tingkat

hutang, dan perbedaan laba akuntansi dengan laba fiskal terhadap persistensi laba

pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI periode 2015-2017.

Permasalahan penelitian yang akan dibahas pada penelitian ini disajikan

dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:

1. Apakah arus kas operasi berpengaruh terhadap persistensi laba pada

perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia tahun

2015-2017?
2. Apakah tingkat hutang berpengaruh terhadap persistensi laba pada

perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia tahun

2015-2017?

3. Apakah perbedaan laba akuntansi dengan laba fiskal berpengaruh

terhadap persistensi laba pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di

Bursa Efek Indonesia tahun 2015-2017?

4. Apakah arus kas operasi, tingkat hutang, dan perbedaan laba akuntansi

dengan laba fiskal berpengaruh secara simultan terhadap persistensi laba

pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia

tahun 2015-2017?

1.3 Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah yang ada, maka tujuan penelitian ini

adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui arus kas operasi berpengaruh terhadap persistensi laba

pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia tahun

2015-2017.

2. Untuk mengetahui tingkat hutang berpengaruh terhadap persistensi laba

pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia tahun

2015-2017.

3. Untuk mengetahui perbedaan laba akuntansi dengan laba fiskal

berpengaruh terhadap persistensi laba pada perusahaan manufaktur yang

terdaftar di Bursa Efek Indonesia tahun 2015-2017.


4. Untuk mengetahui arus kas operasi, tingkat hutang, dan perbedaan laba

akuntansi dengan laba fiskal berpengaruh secara simultan terhadap

persistensi laba pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek

Indonesia tahun 2015-2017.

1.4 Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi :

1. Bagi Peneliti, penelitian ini dapat menambah pengetahuan tentang

Pengaruh Arus Kas Operasi, Tingkat Hutang dan Perbedaan Laba

Akuntansi dengan Laba Fiskal terhadap Persistensi Laba pada perusahaan

manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia periode 2015-2017.

2. Bagi Perusahaan, penelitian ini diharapkan dapat berkontribusi saran atau

masukan pengambilan keputusan terkait dengan permasalahan mengenai

Arus Kas Operasi, Tingkat Hutang dan Perbedaan Laba Akuntansi dengan

Laba Fiskal terhadap Persistensi Laba.

3. Bagi Investor, sebagai bahan pertimbangan dalam mengambil keputusan

bisnis agar tidak hanya melihat besaran laba yang dilaporkan oleh

perusahaan saja namun perlu dilihat lebih lanjut kualitas laba tersebut.

4. Bagi Kreditor, sebagai bahan pertimbangan dalam mengambil keputusan

pemberian kredit agar tidak hanya melihat besaran laba dan tingkat hutang

yang dilaporkan oleh perusahaan saja namun perlu dilihat lebih lanjut

kualitas laba tersebut.

Anda mungkin juga menyukai