Anda di halaman 1dari 16

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Akne vulgaris

1. Pendahuluan

Akne vulgaris merupakan kelainan dari struktur pilosebasea yang biasanya dapat

sembuh sendiri dan sering dialami pada masa remaja. Kebanyakan akne vulgaris muncul

dalam bentuk lesi yang bervariasi meliputi komedo, papul, pustul dan nodul. Sering kali

meskipun akne vulgaris dapat sembuh sendiri, namun perjalanan penyakitnya akan

menimbulkan jaringan parut pada wajah.1

Hampir 30% pasien akne vulgaris harus berobat ke dokter untuk mendapatkan

pengobatan sehubungan dengan keparahan akne vulgaris yang dialaminya dan 2-7%

diantaranya akne vulgaris yang mengalami jaringan parut menetap.13

2. Epidemiologi

Prevalensi akne vulgaris lebih sering didapati pada usia pubertas. Akne vulgaris

sendiri merupakan salah satu manifestasi/tanda-tanda memulai masa pubertas. Pada wanita

remaja, munculnya akne vulgaris biasanya terjadi 1 tahun mendahului menarche dan

prevalensinya akan cenderung meningkat seiring pertambahan usia menjadi remaja akhir.

Selanjutnya saat memasuki dewasa, prevalensi akne vulgaris akan semakin menurun.

Namun demikian pada wanita kejadian akne vulgaris dapat terus berlanjut hingga usia

dekade ketiga atau lebih lama lagi. Pada usia 45 tahun ditemukan prevalensi akne vulgaris

sekitar 5%. Akne vulgaris nodulokistik dilaporkan lebih sering terjadi pada pria kulit putih

dibandingkan kulit hitam dan cenderung lebih berat pada pasien dengan genotipe XYY.14,15

Akne vulgaris merupakan penyakit yang mempunyai prevalensi tinggi. Pada wanita

Kaukasia berumur 12-25 tahun, prevalensi akne vulgaris berkisar 75-85%. Suatu penelitian

Universitas Sumatera Utara


di Singapura pada populasi penduduk Asia dilaporkan bahwa pada remaja usia 13-19 tahun

bahwa hampir 88% diantaranya mengalami akne vulgaris. Dari jumlah tersebut, 51,4%

diklasifikasikan sebagai akne vulgaris ringan, 40% akne vulgaris derajat sedang dan 8,6%

akne vulgaris derajat berat.16

Akne vulgaris merupakan penyakit dermatologi dengan angka diagnosis tertinggi di

Amerika Serikat (AS), dengan 10,2 juta kasus baru didiagnosis setiap tahunnya dan angka

tersebut merupakan 25,4% dari keseluruhan diagnosis penyakit kulit di AS.17

Pada tahun 1996-1998, survei di AS menunjukkan bahwa didapati 6,5 juta penulisan

resep baru untuk kasus akne vulgaris dengan nilai totalnya mencapai 1 miliar dolar US.

Secara global, biaya yang dikeluarkan untuk pengobatan akne vulgaris, baik sistemik atau

topikal mencapai 12,6% dari keseluruhan biaya yang dikeluarkan untuk kasus

dermatologi.13

Di RSUP. H. Adam Malik Medan, berdasarkan data yang diperoleh dari rekam

medis selama periode Januari 2008 – Desember 2008, dari total 5.573 pasien yang berobat

ke Poliklinik Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin, 107 pasien (1,91%) diantaranya

merupakan pasien dengan diagnosis akne vulgaris. Dari jumlah tersebut, 8,41% berusia

0-12 tahun, 90,6% berusia 13-40 tahun dan hanya 0,93% yang berusia 41-65 tahun. Hal ini

menggambarkan bahwa pasien akne vulgaris yang terbanyak adalah usia remaja dan dewasa

muda.

3. Biologi kelenjar sebasea

Kelenjar sebasea merupakan kelenjar holokrin dan sekresinya terjadi akibat

desintegrasi komplit dari kelenjar glandular. Fungsi utama dari kelenjar sebasea adalah

memproduksi sebum dan peningkatan ekskresi sebum merupakan salah satu keadaan yang

terjadi pada akne vulgaris.18

Universitas Sumatera Utara


Telah diketahui luas bahwa kelenjar sebasea manusia mengekspresikan beberapa

macam reseptor neuropeptida biologis. Neuropeptida merupakan suatu kelompok peptida

aktif biologis yang muncul secara alami di sistem saraf baik sistem saraf pusat atau sistem

saraf perifer. Reseptor neuropeptida yang diekspresikan sebasea antara lain adalah

Corticotropin Releasing Hormone (CRH), melanocortin, β endorphine, vasoaktif intestinal

polipeptida, Neuropeptide Y (NPY) dan calcitonin gene-related peptide. Reseptor-reseptor

ini memodulasi produksi berbagai sitokin inflamasi, proliferasi, diferensiasi, lipogenesis dan

metabolisme androgen pada sebosit.19

Kelenjar sebasea terdiri dari dua sel penting yaitu keratinosit dan sebosit. Kedua

jenis sel ini mempunyai peranan dalam sistem imun. Propionibacterium acnes dapat

merubah ekspresi keratinosit dan sebosit melalui Toll Like Receptor-3 (TLR3), Cluster of

Differentiation-14 (CD14) dan molekul CD1, serta dapat mengenali produksi sebum/lipid

yang berlebih oleh kelenjar sebasea dan diikuti dengan produksi sitokin-sitokin inflamasi ke

daerah tersebut.9

4. Patogenesis akne vulgaris

Terdapat beberapa faktor yang terlibat dalam patogenesis akne vulgaris, namun

secara umum ada 4 mekanisme utama yang mempunyai peran terbesar yaitu (1)

hiperproliferasi folikuler epidermal, (2) produksi sebum yang berlebihan, (3) proses

inflamasi dan (4) aktivitas dari P. acnes.1

Hiperproliferasi folikuler epidermal mengakibatkan terbentuknya lesi primer akne

vulgaris yaitu mikrokomedo. Epitel folikel rambut bagian atas akan menjadi hiperkeratotik

dan mengalami peningkatan kemampuan kohesi antar keratinosit. Jumlah sel yang

berlebihan disertai dengan pembentukan sekret-sekret akan mengakibatkan penyumbatan di

ostium folikuler. Sumbatan ini akan mengakibatkan penumpukan keratin, sebum dan bakteri

Universitas Sumatera Utara


di dalam folikel. Stimulus terhadap hiperproliferasi keratinosit mencakup pengaruh hormon

androgen, penurunan kadar asam linoleat, dan peningkatan aktivitas IL-1.20

Dihidrotestosterone (DHT) adalah androgen yang paling poten dalam merangsang

hiperproliferasi keratinosit. Dihidrotestosterone merupakan hasil konversi dari

dehydroepiandrosterone sulfate (DHEA-S) yang diperantarai oleh kerja enzim 17β-

hydroxysteroid dehydrogenase dan 5α-reductase. Peranan regulator lain dalam proses

proliferasi keratinosit adalah asam linoleat. Asam linoleat adalah suatu asam lemak esensial

yang jumlahnya diketahui lebih sedikit di kulit pasien akne vulgaris. Jumlah dari asam

linoleat akan dapat dinormalkan melalui terapi isotretinoin. Kadar asam linoleat yang

rendah dapat merangsang hiperproliferasi keratinosit folikuler dan menghasilkan sitokin

proinflamasi. Kadar asam linoleat di kulit dilaporkan akan semakin berkurang bila didapati

peningkatan produksi sebum. Peran mediator lain yang telah cukup banyak diteliti adalah

peranan mediator inflamasi IL-1 yang dapat merangsang hiperproliferasi keratinosit

folikuler dan pembentukan mikrokomedo.19

Proses kedua yang memegang peranan kunci dalam patogenesis akne vulgaris

adalah produksi sebum oleh kelenjar sebasea yang berlebihan. Pasien akne vulgaris terbukti

mempunyai laju eksresi sebum yang lebih besar dibandingkan orang normal, walaupun

kualitas dari sebumnya sendiri adalah sama. Salah satu materi penyusun sebum yaitu

trigliserida yang akan mengalami konversi menjadi asam lemak bebas oleh P.acnes di

dalam unit kelenjar sebasea. Asam lemak bebas ini akan mengakibatkan peningkatan

kolonisasi P.acnes, memperberat inflamasi dan bersifat komedogenik.1,20

Hormon androgen selain berperan besar dalam memicu hiperproliferasi keratinosit

folikuler, juga mempunyai pengaruh penting terhadap aktivitas sel sebosit dalam

memproduksi sebum. Sedangkan peranan estrogen sendiri sampai saat ini masih belum

begitu jelas. Setidaknya ada 3 peranan estrogen dalam proses pembentukan sebum yaitu

(1) secara langsung bersifat inhibisi terhadap kerja androgen di kelenjar sebasea, (2) inhibisi

Universitas Sumatera Utara


produksi androgen oleh jaringan gonad melalui efek ’negative feed back mechanism’

terhadap produksi Gonadotropin Releasing oleh hipofisis dan (3) mengatur kerja gen-gen

yang menekan produksi dan pertumbuhan kelenjar sebasea.1

Androgen yang terpenting dalam stimulasi produksi sebum adalah testosteron dan

akan dirubah menjadi bentuk aktif yaitu 5α-DHT oleh enzim type I-5α reductase. Adanya

korelasi antara peningkatan produksi sebum dengan munculnya akne vulgaris sudah umum

diketahui dan hal ini menjelaskan mengapa akne vulgaris biasanya muncul bersamaan

dengan saat memasuki usia pubertas. Peningkatan produksi sebum dapat terjadi secara

primer akibat peningkatan kadar androgen, atau akibat peningkatan respon sebosit terhadap

rangsangan androgen atau akibat peningkatan aktivitas enzim type I-5α reductase.20

Akne vulgaris terjadi akibat hiperproliferasi dan diferensiasi sebosit, yang muncul di

bawah pengaruh androgen. Hal ini terjadi dengan perantaraan reseptor Peroxisome

Proliferator Activated Receptor (PPAR), suatu molekul yang berperan dalam hal

lipogenesis. Reseptor PPAR akan memicu lipogenesis pada sel sebosit yang matur dalam

rangka memproduksi sebum.20

Growth Hormone diketahui juga mempunyai peranan besar dalam produksi sebum

oleh kelenjar sebasea. Growth Hormone diproduksi di kelenjar hipofisis dan bekerja sama

memproduksi IGF atau somatomedin. Insulin-like Growth Factor sendiri mempunyai dua

bentuk yaitu IGF-1 (lebih besar jumlah dan fungsinya) dan IGF-2. Diduga kuat, ada peranan

IGF-1 dalam serum dengan patogenesis akne vulgaris.21

Apabila hiperproliferasi keratinosit dan produksi sebum yang berlebihan berlanjut,

maka akan terjadi penumpukan mikrokomedo, yang berujung pada terjadinya ruptur dari

dinding folikuler. Ruptur ini dalam waktu singkat akan memicu reaksi inflamasi yang

diperantarai oleh limfosit CD4+ dan CD8+. Selanjutnya akibat pelepasan dari mediator-

mediator inflamasi oleh limfosit CD4+ dan CD8+, akan terjadi penumpukan neutrofil di

sekitar komedo yang mengalami sumbatan.1,21

Universitas Sumatera Utara


Satu sampai dua hari setelah ruptur, maka akan terjadi pergerakan neutrofil menuju

ke tempat inflamasi dan pada akhirnya semakin memperberat inflamasi yang telah terjadi.

Dahulu diduga bahwa inflamasi terjadi sebagai akibat terjadinya pembentukan dan ruptur

komedo. Tetapi fakta terbaru menunjukkan bahwa inflamasi pada unit pilosebasea telah ada

sebelum terjadinya ruptur komedo. Hal ini dibuktikan dengan telah ditentukannya tanda-

tanda inflamasi pada biopsi kulit normal pada wajah dan akan semakin menunjukkan

pemberatan inflamasi pada saat biopsi dilakukan dengan kondisi komedo sudah

terbentuk.1,21

Proses tersebut akan semakin diperberat dengan munculnya faktor keempat dalam

patogenesis akne vulgaris, yaitu P.acnes. Propionibacterium acnes akan mengakibatkan

semakin hebatnya reaksi inflamasi dalam kelenjar pilosebasea sehingga akne vulgaris akan

dipenuhi oleh sel-sel lekosit polimorfonuklear (PMN) dan pelepasan sitokin-sitokin

proinflamasi seperti IL-1, IL-8, IL-12 dan Tumor Necrotizing Factor-α (TNF-α).2

Propionibacterium acnes merupakan jenis bakteri gram positif, anaerob dan

mikroaerobik yang dijumpai pada folikel kelenjar sebasea. Populasi pasien akne vulgaris

dewasa mempunyai pertumbuhan P.acnes lebih besar pada kelenjar pilosebasea

dibandingkan dengan populasi normal. Namun belum dijumpai adanya hubungan antara

derajat keparahan akne vulgaris dengan progresifitas kolonisasi P.acnes pada kelenjar

pilosebasea.22

Dinding sel P.acnes mengandung antigen karbohidrat yang menstimulasi

pembentukan antibodi. Pasien-pasien akne vulgaris berat mempunyai kadar antibodi

terhadap P. acnes yang lebih tinggi dibandingkan dengan derajat keparahan ringan ataupun

sedang. Antibodi terhadap P.acnes akan memicu respon inflamasi dengan mengaktivasi

sistem komplemen dan proses kaskade reaksi inflamasi. Propionibacterium acnes juga

mengakibatkan terjadinya inflamasi melalui reaksi hipersensitivitas tipe lambat dan

memproduksi lipase, protease, hialuronidase dan faktor-faktor kemotaktik lainnya.

Universitas Sumatera Utara


Propionibacterium acnes mempunyai kemampuan tambahan untuk meningkatkan produksi

sitokin proinflamasi dengan berikatan dengan TLR2 pada monosit dan pada PMN di sekitar

folikel sebasea. Setelah berikatan dengan TLR2, maka akan dilepaskan sitokin-sitokin

proinflamasi seperti IL-1, IL-8, IL-12 dan TNF-α.1,21,22

Keempat faktor yang menjadi mekanisme terjadi akne vulgaris tersebut berlangsung

melalui tahapan-tahapan yang bisa terjadi secara simultan ataupun bertahap. Semua jenis

pengobatan pada penyakit akne vulgaris mempunyai target pada keempat mekanisme

tersebut di atas. Dengan mengetahui keempat dan elemen patogenesis pada akne vulgaris,

maka upaya-upaya pengobatan terhadap akne vulgaris akan semakin terarah dan

menyeluruh.

5. Diagnosis akne vulgaris

a. Anamnesis penyakit

Kebanyakan pasien akne vulgaris mengalami penyakit dengan derajat keparahan

terberat pada saat masa pubertas, walaupun pada beberapa kasus dapat dijumpai akne

vulgaris yang terjadi mulai masa infantil atau neonatus. Akne neonatus terjadi pada saat

usia bayi sekitar 2 minggu sedangkan akne infantil terjadi pada saat umur 3-6 bulan.

Biasanya akne vulgaris mempunyai onset dan perjalanan klinis yang bertahap, sehingga

bila dijumpai kasus akne vulgaris dengan onset dan perjalanan klinis yang tiba-tiba akut

maka perlu diperhatikan akan adanya faktor pencetus lain.1,23

Hiperandrogenisme merupakan faktor pencetus lain yang perlu diperhatikan pada

akne vulgaris pasien perempuan yang mempunyai onset cepat, mempunyai hubungan

dengan hirsutisme atau mempunyai siklus menstruasi yang ireguler. Pasien harus

ditanyakan tentang progresifitas akne vulgaris yang dialaminya dikaitkan dengan siklus

menstruasinya. Pada pasien dengan hiperandrogenisme juga didapati adanya tanda suara

yang memberat, peningkatan libido dan hirsutisme. Penting juga ditanyakan tentang

Universitas Sumatera Utara


riwayat pemakaian obat-obatan seperti steroid, fenitoin, litium, isoniazid, vitamin B dan

beberapa jenis kemoterapi tertentu.24

b. Gambaran klinis

Lokasi primer akne vulgaris adalah daerah wajah, dan juga dapat dijumpai pada

leher, punggung dan bahu dengan frekuensi yang lebih sedikit. Jenis lesi akne vulgaris

dapat beraneka macam meskipun pasti didapati adanya predominan dari satu macam lesi.

Lesi dapat mengalami keadaan inflamasi atau non inflamasi.1

Lesi yang bersifat non inflamasi adalah komedo yang dapat berbentuk terbuka

(blackhead) ataupun tertutup (whitehead). Cara tambahan untuk membedakannya adalah

dengan menggores permukaan kulit untuk membedakan warnanya.25

Komedo merupakan gambaran lesi kulit akibat perubahan patologis dalam

kandungan duktus pilosebasea. Komedo terbuka secara klinis diamati sebagai gambaran

lesi yang jelas, berdiameter 0,1-3 mm dan biasanya membutuhkan waktu beberapa

minggu atau lebih untuk berkembang. Warna hitam pada ujung komedo terbuka selama

ini diduga terjadi akibat proses oksidasi permukaan. Namun teori terbaru juga

menyebutkan proses tersebut terjadi sehubungan faktor melanin.25

Komedo tertutup menggambarkan duktus pilosebasea yang tertutup oleh materi

duktal sehingga saluran keluarnya sulit dilihat dengan mata telanjang, lesi biasanya kecil,

berukuran 0,1-3 mm. Pada lesi komedo tertutup yang klasik, 25% akan hilang dalam

waktu 3-4 hari dan 75% akan berkembang menjadi lesi inflamasi.25

Lesi yang mengalami inflamasi dapat bervariasi mulai dari papul kecil dengan batas

kemerahan sampai dengan nodul yang besar, fluktuatif dan nyeri. Beberapa penulis

memakai istilah kista atau nodulokistik untuk menggambarkan lesi inflamasi pada akne

vulgaris. Papul adalah lesi inflamasi yang bervariasi dalam hal ukuran dan

kekenyalannya. Lima puluh persen papul muncul dari kulit yang kelihatan normal yang

mungkin merupakan lokasi dari suatu mikrokomedo, 25% dari komedo putih dan 25%

Universitas Sumatera Utara


sisanya dari komedo hitam. Ada 2 jenis papul yaitu papul aktif dan papul yang kurang

aktif. Papul yang kurang aktif, kurang merah dan lebih kecil dibandingkan papul yang

aktif. Pada papul aktif, ukurannya dapat mencapai 4 mm dan bertahan lebih lama.25

Bentuk lesi inflamasi lain adalah pustul. Pustul dapat superfisial ataupun dalam.

Pustul biasanya dilihat lebih jarang dibandingkan papul. Hal ini mungkin dikarenakan

pustul bertahan lebih singkat daripada papul yaitu hanya sekitar 5 hari. Mungkin hal ini

terjadi oleh karena pustul lebih banyak mengandung PMN, sedangkan papul cenderung

lebih banyak mengandung limfosit. Enzim lisosomal pada PMN dapat menghilangkan

gejala inflamasi pada pustul lebih cepat dibandingkan pada papul.26

Bentuk nodul merupakan bentuk lesi inflamasi yang berstruktur “deep seated” dan

cenderung bertahan selama 8 minggu sebelum akhirnya hilang. Sebagian diantaranya

tidak mengadakan resolusi sempurna melainkan membentuk jaringan parut.23

Bentuk lesi lain yang didapati dapat berupa lesi jaringan parut yang merupakan

komplikasi akibat akne vulgaris yang mengalami inflamasi atau non inflamasi. Secara

umum ada 4 tipe jaringan parut akne vulgaris yaitu ice pick, rolling, box scar dan

hipertropik.26

Akne vulgaris biasanya mempunyai tampilan sebagai lesi kulit yang terisolasi di

daerah wajah, leher, bahu dan punggung. Akan tetapi pada kasus-kasus akne vulgaris

dengan faktor penyebab hiperandrogenisme dapat dijumpai hirsutisme, precocious

puberty dan tanda lain hiperandrogenisme.26

6. Derajat keparahan

Sampai saat ini belum ada suatu penilaian sistematik yang baku mengenai derajat

keparahan akne vulgaris. Akne vulgaris merupakan suatu kelainan pleomorfik dengan

perjalanan klinis dan distribusi anatomi yang bervariasi. Suatu sistem penilaian akne

vulgaris yang ideal haruslah : (1) akurat dan dapat diulang (reproducible), (2) sederhana,

Universitas Sumatera Utara


mudah digunakan oleh para klinisi pada setiap kunjungan, (3) menghilangkan sifat

perhitungan lesi yang membosankan dan mahalnya biaya fotografi, (4) menggambarkan

kriteria subjektif, misalnya faktor-faktor psikososial.26,27

Beberapa peneliti telah mengemukakan berbagai sistem klasifikasi untuk menilai

derajat keparahan akne vulgaris, antara lain Pillsburry, Shelley dan Kligman pada tahun

1956, James dan Tisserand tahun 1958, Witkowski dan Simons tahun 1966, Plewig dan

Kligman tahun 1975, Michaelson, Juhlin dan Vahlquist tahun 1977, Cook, Centner dan

Michaels tahun 1979 (Cook’s photonumeric method), Allen dan Smith tahun 1982 (Allen

and Smith’s photonumeric system), Burke, Cunliffe dan Gibson tahun 1984 (Cunliffe

score/Leeds technique), American Academy of Dermatology classification tahun 1991, dan

Lucky dkk. tahun 1996.26

Lehmann dkk (2002) memperkenalkan suatu sistem penilaian derajat keparahan

akne vulgaris yang dikenal sebagai Combined Acne Severity Classification. Sistem ini

mempunyai beberapa keunggulan yaitu akurat, sederhana, waktu pemeriksaan singkat, tidak

membutuhkan alat khusus, tidak membutuhkan fotografi, dan dapat dipergunakan pada kulit

gelap.28

Metode ini menghitung seberapa banyak lesi komedo, lesi inflamasi, kista dan total

dari keseluruhan lesi yang terdapat pada daerah wajah. Penilaian derajat keparahan akne

vulgaris adalah ringan bila dijumpai kurang dari 20 komedo atau 15 lesi inflamasi atau total

keseluruhan lesi kurang dari 30, sedang bila dijumpai 20-100 komedo atau 15-50 lesi

inflamasi atau total keseluruhan lesi 30-125, berat bila dijumpai lebih dari 5 kista atau lebih

dari 100 komedo atau lebih dari 50 lesi inflamasi atau total keseluruhan lesi lebih dari 125.28

Universitas Sumatera Utara


Tabel 2.1 Combined Acne Severity Classification menurut Lehmann

Komedo < 20, atau lesi inflamasi 15, atau jumlah total
Ringan
lesi < 30

Komedo 20-100, atau lesi inflamasi 15-50, atau jumlah


Sedang
total lesi 30-125

Kista > 5 , atau jumlah total komedo > 100, atau lesi
Berat
inflamasi > 50, atau jumlah total lesi > 125

* dikutip sesuai aslinya dari kepustakaan no. 28

7. Diagnosis banding

Meskipun pada pasien dengan akne vulgaris dapat ditemukan satu macam lesi yang

dominan, namun seringkali dijumpai adanya kumpulan macam jenis lesi akne vulgaris pada

satu pasien seperti komedo, pustul, papul atau nodul di wajah, leher, dada ataupun

punggung. Diagnosis akne vulgaris biasanya cukup mudah, namun kadang sering salah

didiagnosis dengan folikulitis, rosasea, atau dermatitis perioral. Penyakit-penyakit ini

umumnya tidak memiliki komedo.1 Selain itu ada beberapa diagnosis banding akne vulgaris

yang lain, seperti milia, akne varioliformis, adenoma sebasea, siringoma dan dermatitis

kontak.29

B. Insulin-like Growth Factor -1 (IGF-1)

1. Definisi

Insulin-like Growth Factor-1 merupakan suatu polipeptida alamiah pada tubuh

manusia yang mempunyai kemiripan dengan insulin. Insulin-like Growth Factor-1 terdiri

dari suatu rantai polipeptida tunggal yang mempunyai 3 rantai disulfida sebagai jembatan

antar molekul. Insulin-like Growth Factor-1 terdiri dari 70 residu asam amino dengan berat

Universitas Sumatera Utara


molekul 7.649 Dalton. Insulin-like Growth Factor-1 sendiri merupakan bagian dari suatu

kompleks sistem yang disebut sebagai IGF axis. 30

2. Fisiologi IGF-1

Pada manusia, kadar IGF-1 tidak terdeteksi saat neonatus. Kemudian akan mulai

terdeteksi pada masa kanak-kanak dan meningkat mencapai puncaknya yaitu pada saat

pubertas dan bertahan sampai usia dekade 3 dan 4, lalu menurun perlahan-lahan. Kadar

normal IGF-1 dalam serum merupakan penanda bahwa kadar GH dalam darah adalah

normal dan sebaliknya.31

Insulin-like Growth Factor-1 diproduksi di hepar dengan regulasi oleh GH. Growth

Hormone menstimulasi sintesis IGF-1 di hepar dan juga sebaliknya kadar IGF-1 akan

memerlukan respon balik terhadap produksi GH di hipofisis. Beberapa penelitian

menunjukkan adanya korelasi antara kadar IGF-1 dengan kadar insulin darah. Pada pasien

Diabetes Melitus (DM) tipe 1 dijumpai defisiensi absolut insulin juga didapati adanya

penurunan kadar IGF-1 dalam serum. Demikian juga pada saat puasa, kadar IGF-1 dalam

serum juga didapatkan lebih rendah dibandingkan tidak puasa.32

Insulin-like Growth Factor-1 mempunyai persamaan urutan yang homolog sebanyak

45% dengan rantai A dan B dari hormon insulin yang memunculkan timbulnya suatu

dugaan bahwa IGF-1 dan insulin mungkin berasal dari gen prekursor yang sama.30

Kerja IGF-1 pada tingkat seluler diperantarai oleh reseptor IGF-1 yang homolog

dengan reseptor insulin pada unit struktur α2β2 heterotetrametrik dan mengandung suatu

tirosin kinase pada bagian intraseluler subunit β. Oleh karena kemiripannya dengan insulin,

baik ligan maupun reseptornya, maka tidak heran bila insulin dan IGF-1 dapat saling

bereaksi silang dengan reseptornya yang berbeda walaupun afinitas ikatan akan berkurang

sebanyak 10-100 kali dibandingkan bila berikatan dengan reseptor aslinya. Pada keadaan

akut, IGF-1 dapat mensupresi produksi insulin dan glukagon pada tubuh manusia.30

Universitas Sumatera Utara


3. Axis IGF/GH

Axis IGF sering juga disebut sebagai axis IGF/GH. Diketahui bahwa IGF diproduksi

di hepar oleh regulasi stimulasi GH. Insulin-like Growth Factor axis merupakan suatu

kompleks sistem yang memungkinkan interaksi sinyal antara sel dengan lingkungan

fisiologisnya. Kompleks sistem IGF axis terdiri dari 2 reseptor permukaan sel Insulin-like

Growth Factor Receptor (IGF1R dan IGF2R), dua ligan yaitu IGF-1 dan IGF-2, suatu

kelompok protein pengikat IGF yaitu Insulin-like Growth Factor Binding Protein ( IGFBP1

sampai dengan IGFBP6) serta enzim pendegradasi IGFBP yang tergolong sebagai

protease.30

Insulin-like Growth Factor-1 berperan penting dalam hal merangsang proliferasi sel

dan inhibisi apoptosis. Hal ini mempengaruhi regulasi dari pertumbuhan fisiologis tubuh

maupun pertumbuhan patologis seperti kanker. Insulin-like Growth Factor-2 merupakan

bagian dari axis IGF/GH. Insulin-like Growth Factor-2 mempunyai peranan sebagai faktor

pertumbuhan pada masa fetal menunggu maksimalnya produksi IGF-1. Beberapa faktor lain

yang terlibat dalam aksi ini adalah GH, faktor genetik, umur, level stres, kadar nutrisi, ras,

status estrogen dan variasi waktu harian.30

4. Peran fisiologis IGF-1

Insulin-like Growth Factor-1 mempunyai peranan penting yang luas dalam

mengatur fungsi-fungsi di dalam tubuh manusia. Penelitian terhadap hewan percobaan

menunjukkan bahwa pada gen tikus penghasil IGF-1 yang di ”knock out” akan

menunjukkan pertumbuhan mental retardasi dan angka harapan hidup yang rendah.31

Peranan IGF-1 secara garis besar adalah merangsang proliferasi pertumbuhan sel,

anabolik protein, inhibisi apoptosis, menurunkan kadar GH dan hormon insulin. Peranan ini

akan terhambat atau berkurang bila IGF-1 berada dalam ikatan dengan IGFBP-3 dan

sebaliknya akan meningkat bila berada dalam ikatan dengan IGFBP-1 dan IGFBP-2.33

Universitas Sumatera Utara


Insulin-like Growth Factor-1 mempunyai peranan dalam hal induksi progresi

sintesis dan mitosis sel. Secara bersamaan, IGF dapat berfungsi sebagai faktor penolong

dalam hal mengurangi apoptosis pada berbagai sel. Regulasi anti apoptosis IGF-1 ini

dimediasi oleh jalur phospotidilinositol-3 kinase. Insulin-like Growth Factor-1 juga

mempunyai peranan dalam hal menguatkan proses diferensiasi dan proliferasi.8

Hampir semua sel di tubuh manusia dipengaruhi oleh kerja IGF-1, khususnya di otot,

tulang rawan, tulang, liver, ginjal, saraf, kulit dan paru-paru. Beberapa studi terbaru

menunjukkan pula adanya kaitan IGF-1 dengan proses penuaan. Selain itu juga ditemukan

adanya korelasi antara IGF-1 dengan proses kanker pada kolon, prostat dan payudara.

Namun bagaimana hubungan itu terjadi masih belum diketahui secara pasti.7

C. Hubungan antara akne vulgaris dengan IGF-1

Growth Hormone diketahui mempunyai pengaruh dalam produksi sebum oleh

sebosit. Growth Hormone dibentuk di kelenjar hipofisis dan akan mempengaruhi produksi

IGF-1 dan IGF-2. Insulin-like Growth Factor-1 terutama disintesis di hepar dan

mempengaruhi hampir semua sel di tubuh manusia. Insulin-like Growth Factor-2 di

produksi di otak, ginjal, pankreas dan otot. Dalam kaitannya dengan akne vulgaris, IGF-1

mempunyai peranan besar dalam proses patogenesisnya.2,9

Akne vulgaris mempunyai prevalensi paling tinggi pada masa remaja, bersamaan

dengan waktu produksi GH dan kadar IGF-1 dalam serum paling tinggi sepanjang usia

hidup manusia. Dan kemudian, sesudah masa remaja prevalensi akne vulgaris akan semakin

berkurang seiring juga dengan penurunan kadar IGF-1 dalam serum. Beberapa penelitian

menunjukkan bahwa pada pasien akromegali didapati peningkatan laju ekskresi sebum

dibandingkan orang normal. Selain itu, penelitian di bidang endokrinologi menunjukkan

bahwa laju ekskresi sebum dapat digunakan sebagai prediktor klinis terhadap pasien

akromegali.4

Universitas Sumatera Utara


Vora dkk (2008), menemukan adanya korelasi antara produksi sebum wajah dengan

kadar IGF-1 dalam serum pada pasien akne vulgaris. Penelitian ini didasarkan atas beberapa

penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Iozawa dkk (1995) dan Deplewski (2005) yang

menunjukkan bahwa adanya perbedaan bermakna kadar IGF-1 dalam serum pada pasien

akne vulgaris wanita remaja dibandingkan dengan orang normal.11,12

Banyak hipotesis telah dibuat untuk mencoba menerangkan bagaimana

sesungguhnya efek IGF-1 dalam serum terhadap produksi sebum oleh sel sebosit di kelenjar

sebasea. Penelitian paling awal untuk hal ini dilakukan dengan memakai bahan percobaan

pada sel prepusium tikus yang diketahui mempunyai struktur dan fungsi yang sama dengan

sel sebosit pada kelenjar sebasea dermis. Ebling dkk (1975) mendapatkan fakta dalam

penelitiannya bahwa tikus yang mengalami penurunan fungsi kelenjar hipofisis akan

mengalami penurunan secara bermakna pada berat kelenjar prepusium. Selanjutnya

Deplewski (1998) melakukan percobaan lanjutan dengan memberikan IGF-1 dalam serum

rekombinan pada kultur sel prepusium tikus secara in vitro. Didapati bahwa IGF-1 dalam

serum mempunyai efek mitogenik yang kuat pada sel prepusium melalui kerja pada level

DNA. IGF-1 dalam serum mengakibatkan peningkatan laju pertumbuhan dan diferensiasi

dari kelenjar sebosit.6

Smith (2006) mencoba untuk mengetahui secara detail pada tingkat biomolekuler

tentang bagaimana sebenarnya kerja IGF-1 dalam serum pada sebosit dalam menginduksi

produksi sebum. Insulin-like Growth Factor-1 dalam serum ternyata bekerja dengan

meningkatkan ekspresi dari Sterol Response Element Binding Protein –1 (SREBP-1) pada

inti sel sebosit. Sterol Response Element Binding Protein-1 merupakan suatu nuclear

transcription factors yang bekerja mengatur ekspresi dari berbagai gen yang terlibat dalam

biosintesa lipid.7,8

Antara androgen dan IGF-1 sendiri ternyata mempunyai efek timbal balik yang

saling mempengaruhi. Peningkatan kadar androgen serum kelihatannya mempunyai

Universitas Sumatera Utara


hubungan dengan peningkatan kadar IGF-1 dalam serum. Sebagai contoh, pada wanita

menopause yang kemudian diberikan suntikan DHEA-S, akan didapati peningkatan kadar

IGF-1 dalam serum. Diduga bahwa androgen serum sendiri merupakan salah satu faktor

yang dapat menstimulasi pembentukan IGF-1. Sebaliknya, IGF-1 dalam serum dapat

menstimulasi pembentukan DHEA-S oleh kelenjar adrenal. Hal ini terjadi karena IGF-1

dalam serum dapat mempengaruhi ekspresi dari beberapa enzim yang berperan dalam

sintesis DHEA-S dari bahan kolesterol. Insulin-like Growth Factor-1 juga dapat

menginduksi kerja 5α-reductase pada kulit manusia yang mengakibatkan peningkatan

konversi dari testosteron menjadi DHT.12

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai