Anda di halaman 1dari 14

2.

Membantu memberi informasi tambahan mengenai pencegahan akne


vulgaris.
3. Sebagai pembelajaran bagi penelitian-penelitian mengenai akne vulgaris
berikutnya secara lebih mendalam.

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Akne Vulgaris


2.1.1. Definisi Akne Vulgaris
Akne vulgaris adalah penyakit peradangan folikel menahun dengan
gambaran klinis berupa komedo, papul, pustule, nodus dan jaringan parut yang
umumnya terjadi pada masa remaja dan dapat sembuh sendiri. Tempat predileksi
adalah di muka, bahu, dada bagian atas dan punggung. (Wisataatmaja,2008).
Meskipun dapat sembuh sendiri, namun sekuel bisa seumur hidup, yaitu berupa
formasi jaringan parut hipertropis ataupun berlubang (Zaenglein,2008).
Penyakit ini paling sering didapati pada usia remaja, dan hampir semua
remaja terkena penyakit ini. Meskipun begitu, penyakit ini juga didapati atau

Universitas Sumatera Utara


bertahan pada usia dewasa. Akne vulgaris terjadi terutama pada kulit yang
berminyak (Odom,2000).

2.1.2. Epidemiologi
Penyakit ini mengenai hampir semua remaja di seluruh belahan dunia.
Umumnya insiden terjadi pada usia 14-17 tahun pada wanita, dan 16-19 tahun
pada pria dan umumnya lesi yang predominan adalah komedo dan papul. Pada
wanita, akne dapat menetap lebih lama sampai pada usia tiga puluh tahun atau
lebih bila dibandinngkan dengan pria. Namun derajat akne yang lebih berat justru
didapati pada pria (Wasitaatmadja,2008).
Diketahui bahwa ras Oriental (Jepang, Cina, Korea) lebih jarang menderita
akne dibandingkan dengan ras Kaukasia (Eropa, Amerika) (Wasitaatmadja,2008).
Diketahui bahwa genetik memegang peranan penting dalam kejadian akne
vulgaris. Bila kedua orang tua menderita akne maka 3 dari 4 anak akan menderita
akne juga (Fulton,2009),. Dan diketahui pasien dengan genotip XXY memiliki
gejala yang lebih berat (Zaenglein,2008).

2.1.3. Etiologi dan Patogenesis


Akne vulgaris memiliki etiologi yang kompleks, termasuk abnormal
keratinisasi, fungsi hormonal, pertumbuhan bakteri, dan reaksi hipersensifitas
(Webster,2002). Tetapi faktor keturunan/genetik merupakan sesuatu yang sangat
nyata dalam terjadinya akne vulgaris. Dimana jika kedua orangtua menderita
akne, maka 3 dari 4 anaknya akan menderita akne (Fulton,2009).
Akne vulgaris secara eksklusif merupakan penyakit folikular.
Patogenesisnya multifaktorial, namun 4 hal utama yang berpengaruh sudah
diidentifikasi, yaitu: (1) hiperproliferasi folikel epidermis, (2) produksi sebum
yang berlebihan, (3) inflamasi, dan (4) keberadaan dan aktifitas
Propionibacterium acnes (Zaenglein,2008; Wasitaatmadja).
Hiperproliferasi folikel epidermis menghasilkan formasi lesi primer,
mikrokomedo. Epithelium dari bagian atas folikel rambut, infundibulum, menjadi
hyperkeratosis dengan peningkatan kohesi dari keratosit-keratosit. Sel-sel yang

Universitas Sumatera Utara


begitu banyak dan perlekatannya menghasilkan sumbatan pada saluran folikel.
Sumbatan ini kemudian menyebabkan peningkatan akumulasi keratin, sebum, dan
bakteri dalam folikel. Ini menyebabkan dilatasi bagian atas folikel rambut,
menghasilkan komedo. Stimulus dari hiperproliferasi keratosit dan peningkatan
adhesi ini belum diketahui. Tetapi beberapa faktor yang diduga termasuk stimulasi
androgen, penurunan asam linoleat, dan peningkatan aktifitas interleukin (IL)-1α
(Zaenglein,2008). Faktor lain yang berpengaruh adalah hiperinsulinemia
akut/kronik. Hiperinsulinemia akan mengakibatkan kenaikan insulin like growth
factor (IGF-1) dan menurunkan level IGF binding protein 3 (IGFBP-3). Kenaikan
IGF-1 memiliki potensi yang tinggi untuk pertumbuhan semua jaringan, termasuk
folikel yang kemudian dapat menimbulkan akne (Cordain,2002).
Faktor kedua adalah produksi sebum yang berlebihan dari kelenjar
sebasea. Pasien dengan akne memproduksi sebum yang lebih banyak daripada
orang yang tanpa akne, meskipun kualitas dari sebum yang dihasilkan tetap sama.
Salah satu komponen sebum, trigliserida, memiliki peran dalam patogenesis akne.
Trigliserida diubah menjadi asam lemak bebas oleh P. acnes, flora normal unit
pilosebasea. Asam lemak bebas ini akan mempromosikan penggumpalan bakteri
lebih lanjut dan kolonisasi P.acnes, inflamasi, dan mungkin komedogenik. Hal-
hal yang berpengaruh dalam peningkatan produksi sebum adalah aktifitas
androgen, hiperinsulinemia yang berperan dalam sintesis androgen di ovarium,
dan stress (Cordain,2002;Wasitaatmadja,2008;Zaenglein,2008).
Hormon-hormon androgenik juga mempengaruhi produksi sebum, seperti
testosteron yang mengakibatkan pembesaran kelenjar sebasea yang akhirnya
meningkatkan produksi sebum (Odom,2000).
Peran estrogen pada produksi sebum belum begitu dipahami. Dosis
estrogen yang dibutuhkan untuk mengurangi produksi sebum lebih tinggi daripada
dosis yang dibutuhkan untuk menghambat ovulasi. Mekanisme kerja estrogen
termasuk: (1) secara langsung melawan efek androgen pada kelenjar sebasea; (2)
inhibisi produksi androgen pada jaringan gonad melalui negative feedback pada
pelepasan gonadotropin hipofisis; (3) regulasi gen yang menekan pertumbuhan
kelenjar sebasea atau produksi lipid (Zaenglein,2008).

Universitas Sumatera Utara


Mikrokomedo berlanjut semakin meluas dengan penumpukan keratin,
sebum, dan bakteri yang bersifat padat. Kemudian distensi ini menyebabkan
dinding folikel rusak. Dan masuknya keratin, sebum, dan bakteri ke dalam dermis
menghasilkan respon inflamasi yang berlangsung cepat (Zaenglein,2008).
Elemen keempat adalah keberadaan dan aktifitas P.acnes. Bakteri ini
termasuk gram positif, anaerobic dan mikroaerobik yang ditemukan di folikel
sebasea. Remaja dengan akne memiliki konsentrasi P.acnes yang lebih tinggi
daripada mereka yang tanpa akne. Dinding sel bakteri ini mengandung antigen
karbohidrat yang menstimulasi antibodi. Antibodi anti propionibakteri
meningkatkan respon inflamasi dengan mengaktifasi komplemen. Bakteri ini juga
memfasilitasi inflamasi dengan menimbulkan reaksi hipersensitif tipe 4 melalui
produksi lipase, protease, hialonidase, dan faktor kemotaktik. Sebagai tambahan,
bakteri ini juga menstimulasi upregulasi dari sitokin dengan berikatan dengan Toll
like receptor 2. Setelah berikatan, kemudian sitokin proinflamasi seperti IL-1, IL-
8, IL-12, dan TNFα dikeluarkan (Zaenglein,2008).

2.1.4. Gejala Klinis


Tempat predileksi akne adalah bagian tubuh dengan kelenjar sebasea
terbanyak dan terbesar, yaitu: pada wajah, bahu, dada bagian atas, dan punggung
bagian atas (Feldman,2004). Lokasi kulit lainnya yang kadang-kadang terkena
adalah leher, lengan bagian atas, dan glutea (Wasitaatmadja,2008).
Lesi biasa berupa komedo, papul, pustul, dan nodul serta parut akibat
proses aktif. Komedo merupakan lesi primer, ada yang blackhead dan ada yang
whitehead. Gejala lokal dapat berupa nyeri, nyeri tekan, dan gatal (Fulton, 2009;
Wasitaatmadja,2008). Selain itu kejadian akne vulgaris sering mempengaruhi
kondisi psikologis pasien dan mempengaruhi kualitas hidup penderita sesuai
dengan keparahan atau gradasi dari penyakit (Hafez,2009).

2.1.5. Gradasi
Ada berbagai kriteria gradasi akne yang ada saat ini, dan beberapa
diantaranya adalah:

Universitas Sumatera Utara


1. Cunliie et al (James,2005)
a. Ringan: lesi utama berupa komedo. Papul dan pustul mungkin ada,
tetapi berukuran kecil dan sedikit (<10).
b. Sedang: papul dan pustul dalam jumlah sedang (10-40) dan
didapati komedo (10-40). Penyakit juga mungkin ditemukan di
badan.
c. Sedang-berat: papul dan pustul dalam jumlah banyak (40-100),
biasanya dengan komedo dalam jumlah banyak (40-100),
kadang-kadang dengan lesi yang lebih besar dan dalam. Daerah
yang terkena luas, termasuk wajah, dada, dan punggung.
d. Berat: akne konglobata dan akne nodulistik dengan banyak nodul
atau pustule yangn sangat sakit dan berukuran besar.

2. Dan gradasi yang dipakai di Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin
FKUI/RSUPN Dr. Ciptomangunkusumo (Wasitaatmadja,2008)
a. Ringan: - beberapa lesi tak beradang pada 1 predileksi
- sedikit lesi tak beradang pada beberapa tempat
predileksi
- sedikit lesi beradang pada 1 predileksi

b. Sedang: - banyak lesi tak beradang pada 1 predileksi


- beberapa lesi tak beradang pada lebih dari 1
predileksi
- beberapa lesi beradang pada 1 predileksi
- sedikit lesi beradang pada lebih dari 1 predileksi.

c. Berat: - banyak lesi tak beradang pada lebih dari 1 predileksi


- Banyak lesi beradang pada 1 atau lebih predileksi

Catatan: sedikit<5, beberapa5-10, banyak >10

Universitas Sumatera Utara


Lesi tak beradang: komedo putih, komedo hitam, papul
Lesi beradang: pustul, nodul, kista.

2.1.6. Diagnosis
Diagnosis akne vulgaris dibuat atas dasar klinis dan pemeriksaan
ekskohleasi sebum, yaitu pengeluaran sumbatan sebum dengan komedo ekstraktor
(sendok Unna). Sebum yang menyumbat folikel tampak sebagai massa padat
seperti lilin atau massa lebih lunak bagai nasi yang ujungnya kadang berwarna
hitam (Wasitaatmadja,2008).
Pemeriksaan histopatologis memperlihatkan gambaran yang tidak spesifik
berupa serbukan sel radang kronis di sekitar folikel pilosebasea dengan massa
sebum di dalam folikel. Pada kista, radang sudah menghilang diganti dengan
jaringan ikat pembatas massa cair sebum bercampur dengan darah, jaringan mati,
dan keratin yang lepas (Wasitaatmadja,2008).
Pemeriksaan mikrobiologis terhadap jasad renik yang mempunyai peran
pada etiologi dan patogenesis penyakit dapat dilakukan laboratorium mikrobiologi
yang lengkap untuk tujuan penelitian, namun hasilnya sering tidak memuaskan
(Wasitaatmadja,2008).
Pemeriksaan susunan dan kadar lipid permukaan kulit (skin surface lipids)
dapat pula dilakukan untuk tujuan serupa. Pada akne vulgaris kadar asam lemak
bebas (free fatty acid) meningkat dan karena itu pada pencegahan dan pengobatan
digunakan cara untuk menurunkannya (Wasitaatmadja,2008).

2.1.7. Diagnosis banding (Wasitaatmadja,2008).


1. Erupsi akneiformis yang disebabkan oleh induksi obat, misalnya
kortikosteroid, INH, barbiturate, bromide, yodida, difenil hidantoin,
trimetadion, ACTH, dan lainnya. Klinis berupa erupsi papulo pustule
mendadak tanoa adanya komedo di hampir seluruh bagian tubuh. Dapat
disertai demam dan dapat terjadi di semua usia.

Universitas Sumatera Utara


2. Akne venenata dan akne akibat rangsangan fisis. Ummumnya lesi
monomorfi, tidak gatal, bisa berupa komedo atau papul, dengan tempat
predileksi di tempat kontak zat kimia atau rangsang fisisnya.
3. Rosasea, merupakan penyakit peradangan kronik di daerah muka dengan
gejala eritema, pustule, telangiektasi, dan kadang-kadang disertai
hipertrofi kelenjar sebasea. Tidak terdapat komedo kecuali bila
kombinasi dengan akne.
4. Dermatitis perioral yang terjadi terutama pada wanita dengan gejala
klinis polimorfi eritema, papul, pustule, di sekitar mulut yang terasa
gatal.

2.1.8. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan akne vulgaris meliputi usaha untuk mencegah terjadinya
erupsi (preventif) dan usaha untuk menghilangkan jerawat yang terjadi (kuratif).
Kedua usaha tersebut harus dilakukan bersamaan mengingat bahwa kelainan ini
terjadi akibat pengaruh berbagai faktor (multifaktorial), baik faktor internal dari
dalam tubuh sendiri (ras, familial, hormonal), maupun faktor eksternal (makanan,
musim, stres) yang kadang-kadang tidak dapat dihindari oleh penderita
(Wasitaatmadja,2008).

2.1.8.1. Pengobatan Topikal (Fulton,2009).


Retinoid topikal merupakan obat dengan efek komedolitik dan
antiinflamasi. Obat ini menormalkan hiperkeratinisasi dan hiperproliferasi folikel
yang terjadi. Retinoid topikal ini mengurangi jumlah mikrokomedo, komedo, dan
lesi meradang. Obat ini dapat digunakan sendiri saja ataupun kombinasi dengan
obat-obat akne lainnya. Sediaan yang sering termasuk adapalene, tazanotene, dan
tretinoin.
Antibiotik topikal terutama digunakan untuk melawan P acnes. Obat ini
juga memiliki efek antiinflamasi. Antibiotik topikal tidak memiliki efek
komedolitik, dan resistensi dapat terjadi pada beberapa jenis obat ini. Resistensi

Universitas Sumatera Utara


dapat dikurangi jika dikombinasi dengan benzoil peroksida. Sediaan obat yang
sering dipakai adalah eritromisin dan klindamisin.
Produk-produk benzoil peroksida juga efektif digunakan untuk melawan P
acnes, dan belum terbukti adanya resistensi pada obat ini.

2.1.8.2. Pengobatan Sistemik (Wasitaatmadja,2008).


Pengobatan sistemik ditujukan terutama untuk menekan aktifitas jasad
renik disamping dapat juga mengurangi reaksi radang, menekan produksi sebum,
dan mempengaruhi keseimbangan hormonal.
Antibiotik sistemik seperti tetrasiklin, eritromisin, doksisiklin, dan
trimetroprim efektif untuk melawan P acnes. Obat hormonal untuk menekan
produksi androgen dan secara kompetitif menduduki reseptor organ target di
kelenjar sebasea, misalnya estrogen atau antiandrogen siproteron asetat.
Pengobatan ini ditujukan untuk penderita wanita dewasa yang gagal dengan
pengobatan lain. Kortikosteroid sistemik seperti prednisone dan deksametason
diberikan untuk menekan peradangan dan menekan sekresi kelenjar adrenal.
Retinoid oral atau derivatnya seperti isotretinoin menghambat produksi
sebum. Obat ini merupakan pilihan untuk akne nodulokistik atau konglobata yang
tidak sembuh dengan pengobatan lain.Obat lain seperti antiinflamasi nonsteroid
ibuprofen, dapson, dan seng sulfat juga digunakan.

2.1.8.3. Bedah Kulit (Wasitaatmadja,2008).


Tindakan bedah kulit terkadang perlu terutama untuk perbaikan jaringan
parut akibat akne vulgaris meradang yang berat, baik yang hipertropik maupun
yang hipotropik. Tindakan bedah disesuaikan dengan macam dan kondisi jaringan
parut yang terjadi. Jenis tindakan bedah: bedah scalpel, bedah listrik, bedah kimia,
bedah beku, dan dermabrasi.

2.2. Tidur
2.2.1. Fisiologi Tidur

Universitas Sumatera Utara


Tidur merupakan kebutuhan dasar tubuh kita dan penting untuk kesehatan
kita, kualitas hidup yang bagus, dan melaksanakan aktifitas dengan maksimal.
Dan kita menghabiskan hampir sepertiga hidup kita untuk tidur (WHO,2004).
Dalam tulisannya, dr Iskandar Japardi (2002) menuliskan bahwa semua
makhluk hidup mempunyai irama kehidupan yang sesuai dengan beredarnya
waktu dalam siklus 24 jam. Irama yang seiring dengan rotasi bola dunia disebut
sebagai irama sirkadian. Pusat kontrol irama sirkadian terletak pada bagian ventral
anterior hypothalamus.
Bagian susunan saraf pusat yang mengadakan kegiatan sinkronisasi
terletak pada substansia ventrikulo retikularis medulo oblogata yang disebut
sebagai pusat tidur. Bagian susunan saraf pusat yang menghilangkan
sinkronisasi/desinkronisasi terdapat pada bagian rostral medulo oblogata disebut
sebagai pusat penggugah atau aurosal state (Japardi,2002).
Tidur dibagi menjadi 2 tipe yaitu:
1. Tipe Rapid Eye Movement (REM)
2. Tipe Non Rapid Eye Movement (NREM)
Fase awal tidur didahului oleh fase NREM yang terdiri dari 4 stadium, lalu
diikuti oleh fase REM. Keadaan tidur normal antara fase NREM dan REM terjadi
secara bergantian antara 4-7 kali siklus semalam (Japardi,2002).
Menurut Japardi (2002), tipe NREM dibagi dalam 4 stadium yaitu:
1. Tidur stadium satu.
Fase ini merupakan antara fase terjaga dan fase awal tidur. Fase ini
didapatkan kelopak mata tertutup, tonus otot berkurang dan tampak gerakan bola
mata ke kanan dan ke kiri. Fase ini hanya berlangsung 3-5 menit dan mudah sekali
dibangunkan. Gambaran EEG biasanya terdiri dari gelombang campuran alfa,
betha dan kadang gelombang theta dengan amplitudo yang rendah. Tidak
didapatkan adanya gelombang sleep spindle dan kompleks K.
2. Tidur stadium dua
Pada fase ini didapatkan bola mata berhenti bergerak, tonus otot masih
berkurang, tidur lebih dalam dari pada fase pertama. Gambaran EEG terdiri dari

Universitas Sumatera Utara


gelombang theta simetris. Terlihat adanya gelombang sleep spindle, gelombang
verteks dan komplek K.

3. Tidur stadium tiga


Fase ini tidur lebih dalam dari fase sebelumnya. Gambaran EEG terdapat
lebih banyak gelombang delta simetris antara 25%-50% serta tampak gelombang
sleep spindle.
4. Tidur stadium empat
Merupakan tidur yang dalam serta sukar dibangunkan. Gambaran EEG
didominasi oleh gelombang delta sampai 50% tampak gelombang sleep spindle.
Fase tidur NREM, ini biasanya berlangsung antara 70 menit sampai 100
menit, setelah itu akan masuk ke fase REM. Pada waktu REM jam pertama
prosesnya berlangsung lebih cepat dan menjadi lebih insten dan panjang saat
menjelang pagi atau bangun (Japardi,2002).
Pola tidur REM ditandai adanya gerakan bola mata yang cepat, tonus otot
yang sangat rendah, apabila dibangunkan hampir semua organ akan dapat
menceritakan mimpinya, denyut nadi bertambah dan pada laki-laki terjadi eraksi
penis, tonus otot menunjukkan relaksasi yang dalam (Japardi,2002).
Pola tidur REM berubah sepanjang kehidupan seseorang seperti periode
neonatal bahwa tidur REM mewakili 50% dari waktu total tidur. Periode neonatal
ini pada EEG-nya masuk ke fase REM tanpa melalui stadium 1 sampai 4. Pada
usia 4 bulan pola berubah sehingga persentasi total tidur REM berkurang sampai
40% hal ini sesuai dengan kematangan sel-sel otak, kemudian akan masuk
keperiode awal tidur yang didahului oleh fase NREM kemudian fase REM pada
dewasa muda dengan distribusi fase tidur sebagai berikut: NREM (75%) yaitu
stadium 1: 5%; stadium 2 : 45%; stadium 3 : 12%; stadium 4 : 13%; dan REM; 25
% (Japardi,2002).
Bayi baru lahir total tidur 16-20 jam/hari, anak-anak 10-12 jam/hari,
kemudian menurun 9-10 jam/hari pada umur diatas 10 tahun dan kira-kira 7-7,5
jam/hari pada remaja dan menurun menjadi 6,5 jam/hari pada orang dewasa

Universitas Sumatera Utara


lanjut. Tetapi terdapat perbedaan pada tiap individu terhadap lama tidur dan
dalamnya tidur. Ini dipengaruhi genetic, early-life conditioning, jumlah aktifitas
fisik, dan status psikologis seseorang (Adams,2005). Sedangkan dari sumber lain,
sebuah artikel Medscape (2005), durasi tidur rata-rata usia dewasa adalah 7-8 jam
per hari. Sementara remaja butuh waktu yang lebih lama, yaitu sekitar 9 jam,
meskipun banyak yang tidur kurang dari 8 jam pada hari sekolah.

2.2.2. Efek Tidur Pada Kesehatan


Tidur merupakan kebutuhan dasar tubuh kita dan penting untuk kesehatan
kita, kualitas hidup yang bagus, dan melaksanakan aktifitas dengan maksimal.
Akibat utama dari kurangnya waktu tidur atau tidur yang tidak maksimal adalah
efek fisik (mengantuk, lelah, dan hipertensi), efek gangguan kognitif
(penampilan/aktifitas, perhatian dan motivasi yang buruk/menurun; berkurangnya
konsentrasi dan kapasitas intelektual dan meningkatnya kemungkinan terjadinya
kecelakaan kerja atau kecelakaan saat berkendara), dan efek gangguan psikologis.
Tidur yang tidak adekuat mempengaruhi kemampuan berpikir, kemampuan
menghadapi stress, menjaga system imun yang sehat, dan mengakibatkan stress
tingkat sedang (WHO,2004).
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pengurangan durasi tidur
memiliki beberapa pengaruh yang cukup nyata, yaitu: peningkatan sitokin
proinflamasi IL-6 dan/atau TNFα, dan penuruan konsentrasi kortisol pada pagi
hari dan meningkat pada malam hari (Vgontzas,2004). Dan pada penelitian
Gottlieb dkk (2005), pengurangan waktu tidur juga berpengaruh pada
meningkatnya kemungkinan untuk menderita diabetes mellitus (DM) dan juga
impaired glucose tolerance (IGT).

2.3. Hubungan Tidur dan Kejadian Akne Vulgaris


Ada berbagai efek yang terjadi akibat pengurangan waktu tidur. Beberapa
diantaranya kemungkinan berpengaruh terhadap pathogenesis akne vulgaris. Hal-
hal yang kemungkinan berpengaruh ini antara lain: meningkatnya level stress,
meningkatnya kadar ghrelin yang disertai penurunan leptin dalam plasma pada

Universitas Sumatera Utara


malam hari, menurunnya kadar kortisol pada pagi hari lalu meningkat pada malam
hari, peningkatan sitokin proinflamasi IL-6 dan/atau TNFα sirkulasi, dan
meningkatnya kemungkinan menderita IGT dan DM.
Stress berhubungan dengan meningkatnya kerja kelenjar sebasea, baik
secara langsung ataupun melalui rangsangan terhadap kelenjar hipofisis
(Wasitaatmadja,2008). Peningkatan produksi sebum berhubungan dengan
peningkatan asam lemak bebas yang bersifat komedogenik yangn merupakan
salah satu dasar pathogenesis akne (Zaenglein,2008). Jadi secara tidak langsung
kita dapat menyimpulkan kurangnya durasi tidur atau kehilangan waktu tidur
berperan terhadap timbulnya akne.
Meningkatnya kadar ghrelin serta menurunnya kadar leptin dalam plasma
pada malam hari memiliki pengaruh untuk seseorang mengkonsumsi lebih banyak
makanan pada malam hari. Dan ini bisa mengakibatkan keadaan hiperinsulinemia
akibat diet berlebihan. Dan kondisi hiperinsulinemia ini mengakibatkan
meningkatnya kadar insulinlike growth factor-1 (IGF-1) dan menurunnya
insulinlike growth factor binding protein 3 (IGFBP-3). ). Kenaikan IGF-1
memiliki potensi yang tinggi untuk pertumbuhan semua jaringan, termasuk folikel
yang kemudian dapat menimbulkan akne. Insulin dan IGF-1 menstimulasi sintesis
androgen pada jaringan testis dan ovarium. Lebih lanjut, insulin dab IGF-1
menginhibisi sintesis sex hormone binding protein (SHBP) di hepar sehingga
bioavailability androgen meningkat (Cordain,2002).
Glukortikoid kortisol sering disebut stress hormone memiliki efek
metabolism (glukoneogenesis), meningkatkan resistensi terhadap stress dengan
memberikan energy melalui glukoneogenesis, mengatur kadar sel darah merah
dalam plasma dan mendistribusi eosinofil, basofil, monosit, limfosit ke jaringan
limfoid sehingga berkurang di sirkulasi dan dan meningkatkan kadar Hb, eritrosit,
trombosit dan leukosit, memiliki efek anti inflamasi dan mempengaruhi sistem
mekanisme umpan balik. Sehingga bila kadar kortisol rendah pada pagi hari, maka
kemampuan menangani stress akan berkurang, energy berkurang akibat
berkurangnya glukoneogenesis, dan inflamasi akan lebih mudah terjadi akibat

Universitas Sumatera Utara


tingginya eosinofil, basofil, monosit, limfosit dalam plasma. Hal-hal tersebut
kemungkinan akan mempermudah terjadinya akne.
Peningkatan sitokin proinflamasi, khususnya TNFα, kemungkinan
berhubungan dengan kejadian akne melalui efek inflamasi yang ditimbulkan. Dan
pada penderita akne ditemukan peningkatan sekresi TNFα seperti pada uraian
pathogenesis akne sebelumnya.

BAB 3
KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASONAL

3.1 Kerangka Konsep

Kualitas dan
Kuantitas Akne
Tidur yang Vulgaris
kurang

Gambar 3. Kerangka hubungan kualitas dan kuantitas tidur terhadap timbulnya


akne vulgaris
Variabel independen pada penelitian ini adalah kualitas tidur dan kuantitas
tidur yang kurang dari tujuh jam perhari, sedangkan variabel dependen adalah
kejadian akne vulgaris.

3.2 Definisi Operasional


Durasi tidur adalah lamanya waktu tidur rata-rata subyek dalam sehari
(per 24 jam). Durasi atau kuantitas tidur normal dalam penelitian ini adalah 7-8
jam sehari.
Kualitas tidur adalah pengaruh tidur terhadap kemampuan individu
menjalani aktifitasnya. Dimana kualitas tidur yang baik akan mengakibatkan
individu melakukan aktifitas dengan maksimal.

Universitas Sumatera Utara


Akne vulgaris adalah penyakit peradangan menahun folikel pilosebasea
berupa komedo, papul, pustule, nodul dan jaringan parut yang terjadi akibat
kelainan aktif tersebut yang umum terjadi pada masa remaja dan dapat sembuh
sendiri.
Cara pengukuran melalui wawancara dan penilaian klinis. Skala
pengukuran menggunakan skala nominal. Alat ukur yang digunakan adalah
kuesioner, dengan 3 pertanyaan untuk menilai kuantitas tidur. Dan 8 pertanyaan
untuk menilai kualitas tidur dengan scoring sebagai berikut : a (0), b (1), c (2), dan
d (3). Dengan hasil kuantitas tidur normal adalah 7-8 jam perhari. Sedangkan
kualitas tidur yang cukup bila skor Epworth Sleepiness Scale < 10,
terganggu/kurang baik bila skor >10.

3.3 Hipotesis
Ada hubungan antara kurangnya kualitas dan kuantitas tidur dengan
timbulnya akne vulgaris.

BAB 4
METODE PENELITIAN

4.1. Jenis Penelitian

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai

  • Presentasi Efusi Pleura
    Presentasi Efusi Pleura
    Dokumen30 halaman
    Presentasi Efusi Pleura
    Bruno Adiputra Patut II
    Belum ada peringkat
  • Referat CA Laring
    Referat CA Laring
    Dokumen19 halaman
    Referat CA Laring
    Syamsul Arifin
    Belum ada peringkat
  • 3 Lapsus Epilepsi
    3 Lapsus Epilepsi
    Dokumen27 halaman
    3 Lapsus Epilepsi
    Bruno Adiputra Patut II
    Belum ada peringkat
  • HNP
    HNP
    Dokumen29 halaman
    HNP
    Bruno Adiputra Patut II
    Belum ada peringkat
  • Isi
    Isi
    Dokumen24 halaman
    Isi
    Bruno Adiputra Patut II
    Belum ada peringkat