Anda di halaman 1dari 18

56

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Franchise

Franchise berasal dari bahasa Prancis, yang berarti bebas atau bebas dari

perhambaan atau perbudakan (free from servitude). Bila dihubungkan dengan

konteks usaha, franchise berarti kebebasan yang diperoleh seseorang untuk

menjalankan sendiri suatu usaha di wilayah tertentu. Sedangkan pewaralabaan

(franchising) adalah suatu aktivitas dengan sistem waralaba (franchise) yaitu

suatu sistem keterkaitan usaha yang saling menguntungkan antara pemberi

waralaba (franchisor) dan penerima waralaba (franchisee).

Menurut European Code of Ethics for Franchising, defenisi franchise

adalah franchise is a system of marketing goods and/or services and/or

technology, which is based upon a close and ongoing collaboration between

legally and financially separate and independent undertakings, the franchisor and

its individual franchisee, whereby the franchisors grants its individual franchisees

the right, and imposes the obligation, to conduct a business in accordance with

the franchisor`s concept. (franchising adalah sistem pemasaran barang dan atau

jasa dan atau teknologi, yang didasarkan pada kerja sama tertutup dan terus-

menerus antara pelaku-pelaku independen (maksudnya franchisor dan franchisee

individual) dan terpisah baik secara legal (hukum) dan keuangan, franchisor

memberikan hak kepada para individual franchisee dan membebankan kewajiban

untuk melaksanakan bisnisnya sesuai dengan konsep dari franchisor).

Menurut Anoraga (2002:239) franchise adalah suatu sistem bagi distribusi

selektif bagi barang dan/atau jasa di bawah suatu nama merk melalui tempat

Universitas Sumatera Utara


57

penjualan yang dimiliki oleh pengusaha independen yang disebut “franchisee”,

walaupun pemberi franchise (franchisor) memasok franchisee dengan

pengetahuan atau identifikasi merk secara terus menerus, franchisee menikmati

hak atas profit yang diperoleh dan menanggung resiko kerugian. Franchisor

mengendalikan distribusi barang dan/atau jasa melalui suatu kontrak dengan

mengatur aktifitas franchisee, dalam hubungannya untuk pencapaian standarisasi.

Menurut Zimmerer (2008 : 80) franchise adalah suatu sistem distribusi di

mana pemilik bisnis yang semi mandiri membayar iuran dan royalty kepada

perusahaan induk untuk mendapatkan hak untuk menjual produk atau jasa dan

seringkali menggunakan format dan sistem bisnisnya.

Menurut Spinelli (2006:2) franchising terjadi ketika seseorang

mengembangkan model bisnis dan menjual hak untuk mengoperasikannya ke

pengusaha (franchisee). Franchisee biasanya mendapatkan hak untuk model

bisnis untuk jangka waktu tertentu dan di daerah geografis tertentu. Menurut

Suryana (2006:100) adalah kerja sama antara wirausaha (franchisee) dengan

perusahaan besar (franchisor/parent company) dalam mengadakan persetujuan

jual-beli hak monopoli untuk menyelenggarakan usaha (franchise).

Menurut Odop (2006:16), franchise adalah pengaturan bisnis dengan

system pemberian hak pemakaian nama dagang oleh pewaralaba kepada pihak

independen atau terwaralaba untuk menjual produk atau jasa sesuai dengan

standarisasi kesepakatan untuk membuka usaha dengan menggunakan merek

dagang/nama dagang dibawah bendera mereka.

Menurut LPPM (Lembaga Pendidikan dan Pembinaan Manajemen),

waralaba pertama kali diperkenalkan oleh LPPM sebgai padanan kata franchise.

Universitas Sumatera Utara


58

Waralaba berasal dari kata “ wara “ yang berarti lebih atau istimewa dan “ laba “

berarti untung. Jadi, waralaba berarti usaha yang memberikan keuntungan yang

lebih atau istimewa – berbeda dengan sistem bisnis konvensional yang sudah ada.

AS melalui International Franchise Association (IFA) mendefenisikan

franchise sebagai hubungan kontraktual antara franchisor dengan franchisee,

franchisor berkewajiban menjaga kepentingan secara kontiniu pada bidang usaha

yang dijalankan oleh franchisee misalnya lewat pelatihan, di bawah merek dagang

yang sama, format dan standar operasional atau control pemilik (franchisor),

franchisee menanamkan investasi pada usaha tersebut dari sumber dananya

sendiri. Lebih lanjut menurut IFA, Franchise atau Waralaba pada hakekatnya

memiliki 3 elemen yaitu :

1. Dalam setiap perjanjian Waralaba, Pewaralaba (Franchisor) selaku

pemilik dari sistem Waralabanya memberikan lisensi kepada Terwaralaba

(Franchisee) untuk dapat menggunakan merek dagang/jasa dan logo yang

dimiliki oleh Pewaralaba.

2. Sistem Bisnis Keberhasilan dari suatu organisasi Waralaba tergantung dari

penerapan Sistem/Metode Bisnis yang sama antara Pewaralaba dan

Terwaralaba. Sistem bisnis tersebut berupa pedoman yang mencakup

standarisasi produk, metode untuk mempersiapkan atau mengolah produk

atau makanan, atau metode jasa, standar rupa dari fasilitas bisnis, standar

periklanan, sistem reservasi, sistem akuntansi, kontrol persediaan, dan

kebijakan dagang, dll.

3. Biaya (Fees) dalam setiap format bisnis waralaba, sang pewaralaba baik

secara langsung atau tidak langsung menarik pembayaran dari terwaralaba

Universitas Sumatera Utara


59

atas penggunaan merek dan atas partisipasi dalam sistem waralaba yang

dijalankan. Biaya biasanya terdiri atas biaya awal, biaya royalti, biaya jasa,

biaya lisensi dan atau biaya pemasaran bersama. Biaya lainnya juga dapat

berupa biaya atas jasa yang diberikan kepada terwaralaba (mis: biaya

manajemen).

Menurut British Franchise Association, sebagai garansi lisensi kontraktual

satu orang (franchisor) ke pihak lain (franchisee) dengan :

1. Mengijinkan atau meminta franchisee menjalankan usaha dalam periode

tertentu pada bisnis yang menggunakan merek yang dimiliki oleh

franchisor.

2. Mengharuskan franchisor untuk melatih control secara kontiniu selama

periode perjanjian.

3. Mengharuskan franchisor untuk menyediakan asistensi terhadap franchisee

pada subyek bisnis yang dijalankan di dalam hubungan terhadap organisasi

usaha franchisee seperti training terhadap staf, merchandising, manajemen,

atau yang lainnya.

4. Meminta kepada franchisee secara periodic selama masa kerja sama

franchise untuk membayarkan sejumlah fee franchise atau royalty untuk

produk atau servis yang disediakan oleh franchisor kepada franchisee.

Defenisi waralaba juga diberikan oleh Institut Pendidikan dan Managemen

yang antara lain mendefenisikan waralaba sebagai berikut.

1. Waralaba adalah suatu sistem pemasaran atau distribusi barang dan jasa, di

mana sebuah perusahaan induk (franchisor) memberikan hak istimewa

untuk melakukan suatu sistem usaha dengan cara, waktu , dan lokasi tertentu

Universitas Sumatera Utara


60

kepada individu atau perusahaan lain (franchisee) yang berskala kecil dan

menengah.

2. Waralaba merupakan sebuah metode pendistribusian barang dan jasa kepada

masyarakat konsumen, yang dijual kepada pihak lain.

2.2 Subyek dan Obyek Franchise

Dalam sebuah perikatan atau perjanjian tentu terdapat adanya subyek dan

obyek dari perikatan tersebut. Subyek dan obyek hukum dari franchise, sehingga

terbentuknya sebuah perikatan franchise yaitu:

a. Subyek franchise

Subyek hukum franchise dalam sebuah perikatan franchise, terdiri dari 2

(dua) yaitu sebagai berikut :

1. Franchisor

Franchisor adalah orang atau badan usaha yang memberikan lisensi, baik

berupa paten, penggunaan merek perdagangan / merek jasa, ciri khas

maupun hal-hal pendukung lainnya kepada franchise.

2. Franchisee

Franchisee adalah orang atau badan usaha yang menerima lisensi dari

franchisor untuk dapat menggunakan merek perdagangan / merek jasa

maupun ciri khas dari franchisor, namun harus tetap tunduk kepada

peraturan dan tata cara dari franchisor.

Selain 2 (dua) subyek hukum franchise yang telah dikemukakan tadi,

ternyata masih terdapat dua pihak lainnya yang dapat dikaitkan sebagai subyek

hukum franchise dalam perjanjian franchise yang juga terkena dampak dari

perjanjian ini, yakni :

Universitas Sumatera Utara


61

a. Franchise lain dalam sebuah sistem franchise (franchising system) yang

sama.

b. Konsumen atau klien dari franchise maupun masyarakat sebagai pengguna

produk dan jasa pada umumnya.

2.3 Penggolongan Franchise

Penggolongan franchise menurut East Asian Executive Report. East Asian

Executive Report telah menggolongkan franchise dalam 3 golongan yakni sebagai

berikut:

1. Product franchise

Franchise jenis ini, seorang atau badan usaha penerima franchise hanya

bertindak mendistribusikan produk dari rekannya dengan pembatasan areal,

seperti : pengecer bahan bakar Shell yang telah dibagi jaringan atau divisi

wilayah pendistribusiannya.

2. Processing franchise or manufacturing franchise

Franchise jenis ini, seorang atau badan usaha pemberi franchise (franchisor)

hanya memegang peranan memberi know-how, dari suatu proses produksi,

seperti : Minuman ringan Coca Cola.

3. Business formal / System franchise

Franchise jenis ini, seorang atau badan usaha pemberi franchise (franchisor)

sudah memiliki cara yang unik dalam menyajikan produk dalam satu paket

kepada konsumen, seperti : Dunkin Donuts dan Kentucky Fried Chicken.

Universitas Sumatera Utara


62

2.4 Keunggulan dan kelemahan franchise

Menurut Anoraga (2002:241), keunggulan bisnis dengan menggunakan

system franchise adalah sebagai berikut :

a. Bimbingan

Kelemahan usaha kecil yang menyolok adalah kurangnya kemampuan

manajerial. Seseorang dengan ketrampilan manajerial yang terbatas

mungkin dapat diterima oleh perusahaan besar, karena ia hanya salah satu

dari sekian banyak manajer. Tetapi tidak seorangpun dapat menutupi

kelemahan tersebut bila menjadi seorang manajer franchise. Banyak

franchisor mencoba mengatasi kekurangan atau kurang pengalaman dengan

memberikan beberapa bentuk pelatihan.

b. Brand name

Investor yang menandatangani perjanjian franchise mendapat hak untuk

menggunakan promosi nama merk secara nasional maupun regional. Hal ini

mengidentifikasikan unit lokal dengan suatu produk atau jasa yang terkenal.

c. Produk yang terjamin.

Franchisor dapat menawarkan kepada franchisee suatu produk dan metode

pengorperasian bisnis yang terjamin. Produk atau jasa yang terkenal dan

diterima oleh masyarakat luas.

d. Bantuan finansial.

Melalui kerjasama dengan perusahaan franchise, investor individual mungkin

dapat terjamin bantuan finansialnya. Biaya permulaan bisnis yang sangat

tinggi, dan investor prospektif biasanya memiliki dana yang terbatas. Dalam

beberapa kasus, asosiasi dengan franchisor yang telah mapan melalui

Universitas Sumatera Utara


63

reputasinya dan pengendalian keuangannya dapat mempertinggi tingkat kredit

investor dengan bank lokal. Sedangkan kelemahan dari bisnis franchise ini

adalah :

a. Biaya

Franchisee harus membayar biaya franchise. Sebagai imbalannya franchisor

dapat memberikan pelatihan, bimbingan atau memberi dukungan lainnya yang

memerlukan biaya.

b. Pengendalian eksternal

Seseorang yang menandatangani perjanjian franchise kehilangan beberapa

kebebasan. Franchisor, dalam hal mengoperasikan seluruh tempat penjualan

franchise sebagai suatu bisnis harus melakukan pengendalian atas aktivitas

promosional, catatan finansial, penyewaan, prosedur pelayanan, dan

pengembangan manajerial. Walaupun bermanfaat, pengendalian ini tidak

menyenangkan bagi seseorang yang mencari kebebasan.

c. Program pelatihan yang lemah

Beberapa franchisor telah mengembangkan program pelatihan yang baik.

Tetapi beberapa promotor menjanjikan pelatihan tetapi tidak pernah terealisasi.

Dalam kasus lain, program pelatihan lemah, terlalu singkat ,dan diberikan oleh

pelatih yang tidak memiliki keterampilan instruksional. Fasilitas kadangkala

tidak sesuai bagi pelatihan dan pengembangan yang sebenarnya.

2.5 Peran Franchisor dalam Keberhasilan usaha bisnis Franchise

Peran franchisor dalam keberhasilan usaha bisnis franchisee dapat

dikonseptualkan dengan 4 (empat) fase yaitu : Yang pertama adalah perkenalan

atau pendahuluan, dimana saling ketergantungan dan motivasi yang terbagi untuk

Universitas Sumatera Utara


64

keberhasilan dan keuntungan. Fase yang kedua dapat dengan perkembangan, awal

ketika bisnis mulai berfungsi. Selama fase ini, franchisor menawarkan dukungan

kepada franchisee baru dan hubungan antar keduanya mulai berkembang. Pada

fase ini, hubungan antara keduanya dapat menjadi problematik jika franchisor

tidak memberikan dukungan atau training yang tepat.

Ketika tiap partisipan dapat mengerti apa yang diharapakan oleh yang lain,

maka dapat dikatakan bahwa fase kedewasaan telah dicapai. Pada point ini,

franchisee memiliki kesan yang akurat terhadap keahlian dan kompetensitas

franchisor dan kontribusi franchisor terhadap hubungannya dengan franchisee.

Namun sebaliknya apabila tahap akhir dalam hubungan antara frenchisee dan

franchisor terjadi penolakan. Kemungkinan yang pertama adalah, bisnis tidak

berjalan baik sehingga franchisee termotivasi untuk mengakhiri hubungan dengan

franchisor, dan kemungkinan kedua yaitu bisnis berjalan terus dan hubungan

antara franchisee dan franchisor menjadi lebih solid.

Permasalahaan franchise dapat dialami oleh dua pihak baik itu fanchisee

maupuun franchisor juga. Menurut Karamoy (2004) hal-hal yang perlu

diperhatikan bagi pebisnis franchise ini banyak, tapi hal penting yang harus

mendapat penekanan yaitu manajemen hubungan atau franchise relationship

management.

Franchise yang menghadapi tekanan baik internal maupun eksternal

secara signifikan, tekanan-tekanan tersebut dapat menyebabkan kekacauan sistem

yang akan berimbas pada penyedia eksternal, customer, dan supplier juga

franchisee dalam sistem franchise (Kaufmann, 1990 dalam Tikoo, 2005: 329).

Ada konflik-konflik yang potensial dalam hubungan antara franchisee dan

Universitas Sumatera Utara


65

franchisor dimana kedua pihak saling tergantung, terikat oleh kontrak, dan

banyaknya franchisee yang mengajukan komplain kepada franchisor.

Format bisnis franchise telah berkembang secara luas dalam sector

ekonomi di USA dan UK (Mandelsohn, 1995:69). Pemberian ijin franchisor

kepada franchisee untuk mengembangkan bisnis menggunakaan mereknya. Pada

dasarnya franchisor menyediakan proses managerial kepada franchisor untuk

menjalankan bisnis sesuai dengan kontrak franchise (Cughlan, 2001 : 86). Sistem

franchise tidak hanya sekedar sistem ekonomi tapi juga system sosial karena

adanya unsur relationship yang berdasarkan dimensi ketergantungan, komunikasi

dan konflik (Stern dan Reve dalam Tikoo, 2005: 331). Hubungan antara

franchisor dalam mempengaruhi franchisee sering disertai dengan konflik.

Dari hasil penelitian Tikoo (2005: 329) peran franchisor meliputi

permintaan, ancaman dan perjanjian mempunyai hubungan positif terhadap

perselisihan hubungan franchise. Konflik sendiri biasanya terjadi disesbabkan

oleh asimetri distribusi atas kekuatan franchisor (Quinn dan Doherty, 2000: 354)

Aspek konflik harus dikelola untuk menciptakan hubungan baik antara franchisor

dan franchisee. Karena hubungan franchise tidak dapat dikendalikan oleh

ketergantungan franchisee. Sehingga peran franchisor diatas mempunyai

hubungan negatif terhadap ketergantungan franchisee. Artinya keterikatan

franchisee tidak bisa dilakukan dengan tekanan pihak franchisor. Sehingga solusi

terbaik adalah terciptanya hubungan fair/adil atas 2 arah antara franchisor dengan

franchisee (Tikoo, 2005:329) misal menggunakan pertukaran informasi

(information exchange), kesanggupan (promise), pengendalian diri (restrain) atas

penekanan sebelumnya demand, treat dan legalistic dalam mempengaruhi

Universitas Sumatera Utara


66

franchisee. Dimensi dari hubungan baik antara franchisor dan franchisor adalah

information exchange, recommedations, promises, request, treat, legalistic pleas

(Tikoo, 2005: 329).

Menurut Johnsin (1999:4) kualitas hubungan digambarkan sebagai

kedalaman dan iklim organisasi dari sebuah hubungan antar perusahaan. Ada juga

yang menyatakan kualitas hubungan sebagai evaluasi menyeluruh dari kekuatan

hubungan (Smit, 1998; Garbarino dan Johnson, 1999). Dalam dunia franchise ada

beberapa studi yang menyatakan variabel yang menggambarkan atas kualitas

hubungan dalam jaringa franchise yaitu kepercayaan komitmen, konflik,

kekeluargaan, kerjasama. Sehingga merupakan suatu hal yang penting mengukur

kualitas hubungan antara franchisor dengan franchisee untuk menetapkan

kekuatan hubungan ini dan untuk menjelaskan bahwa bukan hanya dalam network

patner tapi dalam kinerja penjualan.

a. Kepercayaan

Kepercayaan adalah hal terpenting penentu kesuksesan kerjasama

Disamping itu kepercayaan dapat digambarkan dalam 2 komponen berbeda

yaitu kredibilitas dan benevolence (kebajikan) (Monroy dan Alzola, 2005:

585). Kredibilitas mnegacu pada perluasan dimana 1 partner mempercayai

bahwa partner lain memiliki kacakapan untuk menampilkan kerja yang

efektif dan dapat diandalkan. Sedangkan benevolence berdasarkan

perluasan dimana satu partner mempercayai partner lain karena memiliki

motivasi yang bermanfaat untuk mengatasi masalah yang ada.

Universitas Sumatera Utara


67

b. Komitmen

Beberapa peneliti menyatakan bahwa komitmen adalah unsur yang

essensial dalam kesuksesan hubungan. Menurut Varadarajan and

Cunningham (1995) Komitmen penting sebagai hasil dari kerjasama yang

mengurangi potensi ketertarikan alternatif ke hal lain dan akhirnya mampu

meningkatkan profit. Geyskens (1996 dalam Monroy dan Alzola, 2005:

585) menyatakan bahwa perbedaan antara komitmen afektif dan komitmen

kalkulatif adalah hal yang terpenting dalam hubungan antar organisasi.

Secara umum komitmen afektif menghubungkan dengan keinginan untuk

meneruskan hubungan karena pengaruh positif kedepan dalam

mengidentifikasi partnernya. Partner yang memiliki komitmen afektif

meneruskan hubungan karena menyukai partner lain, enjoyment dan rasa

setia dan rasa memiliki. Namun sebaliknya komitmen kalkulatif merupakan

komitmen yang berdasarkan pada perluasan partner yang menerima

kebutuhan dalam menjaga hubungan yang mengacu pada perpindahan

biaya yang ditinggalkan. Yang menghasilkan perhitungan antara biaya dan

manfaat termasuk penetapan investasi yang dibuat dalam sebuah hubungan.

c. Relasionalism (rasa kekeluargaan)

Realsionalism dapat disebut sebagai kerjasama sosial yang

mempertimbangkan referensi dari evaluasi perilaku patner. Pada

kenyataannya mereka mengijinkan pertimbangan atas kenyamanan dari

tindakan satu pihak dengan standar yang pasti dalam melengkapi penyusunan

dasar untuk penyelesaian konflik. Dalam penelitian ini yang termasuk dalam

Universitas Sumatera Utara


68

relasionalism adalah flexibilitas, solidaritas, mutuality dan harmonisasi

konflik.

2.6 Penelitian Terdahulu

Penelitian yang dilakukan oleh Sarosa (2006) dengan judul “ Pengaruh

Faktor Dukungan dari Franchisor, Alasan Ekonomis, Pemasaran, dan Pribadi

pada Keputusan memilih Format dan Merek Franchise” bertujuan untuk

mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh terhadap keputusan memilih format

dan merek franchise dan faktor mana yang paling dominan. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa faktor pemasaran tidak berpengaruh terhadap keputusan

memilih format dan merek franchise, sedangkan faktor dukungan dari franchisor,

alasan ekonomis, dan pribadi berpengaruh terhadap keputusan memilih format

dan merek franchise.

Penelitian yang dilakukan oleh Simarmata (2012) dengan judul ”Analisis

peranan franchisor terhadap Suksesnya bisnis franchise pada Mc. Donald’s

cabang ring road Medan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan

menganalisis peranan franchisor dalam promotion, support service, training,

control system dan communication terhadap suksesnya bisnis franchise pada Mc

Donald’s Cabang Ring Road Medan. Teknik analisis data penelitian ini adalah

analisis deskriptif Kualitatif. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa promotion,

support service, training, control system, communication yang dilakukan oleh

franchisor memiliki peranan yang sangat penting sekali. Karena segala sesuatunya

sangat membutuhkan dukungan langsung dari pihak franchisor. Dimulai dari

pemberian awal waralaba hingga prosedur, standard perusahaan, pelatihan

karyawan, pemasaran dan lain - lain. Bahkan setelah franchise telah berjalan

Universitas Sumatera Utara


69

sesuai dengan prosedur dan telah berhasil, franchise masih memerlukan peranan

franchisor dalam segi pengawasan dan penyelesaian masalah. Peranan yang

paling dominan dalam penelitian ini adalah promosi.

2.7 Kerangka Konseptual

Dalam perluasan dan meningkatnya sistem franchise diperlukan sebuah

inovasi manajerial dalam improvisasi peningkatan sinergi dan pembagian

sumberdaya agar optimal dalam mengelola franchise diperlukan kualitas

kerjasama yang baik. Sehingga improvisasi perusahaan dapat dinyatakan dalam

hubungan franchisor dan franchise dalam jangka panjang untuk membentuk

jaringan yang kuat.

Sistem franchise tidak hanya sekedar sistem ekonomi tapi juga sistem

sosial karena adanya unsur relationship yang berdasarkan dimensi

ketergantungan, komunikasi dan konflik (Stern dan Reve dalam Tikoo, 2005:

331). Hubungan antara franchisor dalam mempengaruhi franchisee sering disertai

dengan konflik. Dari hasil penelitian Tikoo (2005: 329) peran franchisor meliputi

permintaan, ancaman dan perjanjian mempunyai hubungan positif terhadap

perselisihan hubungan franchise. Konflik sendiri biasanya terjadi disebabkan oleh

asimetri distribusi atas kekuatan franchisor (Quinn dan Doherty, 2000: 354)

Aspek konflik harus dikelola untuk menciptakan hubungan baik antara franchisor

dan franchisee.

Hubungan franchise tidak dapat dikendalikan oleh ketergantungan

franchisee, sehingga peran franchisor diatas mempunyai hubungan negatif

terhadap ketergantungan franchisee. Artinya keterikatan franchisee tidak bisa

dilakukan dengan tekanan pihak franchisor. Sehingga solusi terbaik adalah

Universitas Sumatera Utara


70

terciptanya hubungan fair/adil atas 2 arah antara franchisor dengan franchisee

(Tikoo,2005:329) misal menggunakan pertukaran informasi (information

exchange), kesanggupan (promise), pengendalian diri (restrain) atas penekanan

sebelumnya demand, treat dan legalistic dalam mempengaruhi franchisee.

Sangat penting bagi franchisor yang memiliki kapabilitas untuk dapat

dijelaskan kepada franchisee dalam memudahkan mengatur unit kualitas

hubungan franchise kepercayaan komitmen kalkulatif komitmen kekeluargaan

afektif franchise. Atas pertimbangan tersebut penting untuk menentukan faktor

yang menentukan kesuksesan berorganisasi terutama dalam sitem franchise.

Franchisor adalah orang atau badan usaha yang memberikan lisensi, baik

berupa paten, penggunaan merek perdagangan / merek jasa, ciri khas maupun hal-

hal pendukung lainnya kepada franchise. Pemberi waralaba atau franchisor akan

secara terus menerus memberikan berbagai jenis pelayanan yang berbeda-beda

menurut tipe format bisnis yang diwaralabakan.

Kunjungan berkala dari Franchisor atau ke staf pendukung lapangan guna

membantu memperbaiki atau mencegah penyimpangan-penyimpangan terhadap

pelaksanaan yang dapat menyebabkan kesulitan dagang bagi franchisee,

menghubungkan antara franchisor dan seluruh franchisee secara bersama-sama

untuk saling bertukar pikiran dan pengalaman, adanya inovasi produk atau konsep

termasuk penelitian mengenai kemungkinan-kemungkinan pasar serta

kesesuaiannya dengan bisnis yang ada, diberikannya pelatihan dan fasilitas-

fasilitas pelatihan dan dilakukan riset pasar, penerbitan iklan dan promosi pada

tingkat local dan nasional.

Universitas Sumatera Utara


71

Franchisor harus dapat memberikan dukungan penuh untuk mengadakan

pelatihan untuk membantu franchisee dalam meningkatkan kemampuan mereka

mengenai franchisee, menyajikan pengarahan yang bermanfaat terhadap kegiatan

usaha/bisnis franchisee untuk tujuan mempertahankan intergrasi system

franchisee secara keseluruhan bagi semua pihak yang berkepentingan,

memberikan perhatian khusus untuk setiap pelanggaran yang dilakukan oleh

franchisee dan Franchisor dapat melakukan komunikasi dengan baik sesuai

dengan mekanisme terhadap franchisee untuk melakukan perubahan-perubahan

dan perbaikan-perbaikan serta saling pengertian dalam mewujudkan kepentingan

bersama. Kontrak franchise mengacu pada aspek operasional unit franchisee

seperti produk yang ditawarkan, jam kerja pelatihan untuk franchisee yang

disediakan franchisor. Selanjutnya aspek yang membentuk dimensi konten adalah

Training

Franchisor memberikan kontribusi kepada franchisee pengetahuan yang

diperlukan pengembangan dan pemenuhan konsep bisnis dimana yang

utama mengacu pada transfer kepemilikan know-how mengenai produksi

dan operasi pelayanan. Lebih dari itu franchisor memberikan semangat

kepada franchisee untuk menggunakan program pelatihan tanpa dikenakan

biaya hasilnya peserta meningkat dan masalah prasangka buruk akan

menurun (Bradach, 1998).

a. Support

Franchisor bersedia mendukung dan menyarankan franchisee dalam

setiap konsep bisnis star-up dan operasional. Kebanyakan franchisor mau

menyediakan praktek pendukung kepada franchisee pemilihan letak dan

Universitas Sumatera Utara


72

asistensi secara umum dalam bisnis start-up Oleh karena itu franchisee

memperoleh kebebasan untuk mengoperasikan dalam kontrol, asistensi

dan didukung linkungan, sementara itu pada saat yang sama diperoleh juga

manfaat dari merek, manajemen profesional (Fulop, 2000: 27).

b. Informasi

Franchisor juga menyediakan kepada franchisee dengan informasi penting

mengenai kondisi kontrak franchise baik itu kewajibannya misalnya

pertimbangan financial. Lebih lagi adanya sitem yang sah mengenai

keterbukaan informasi utama yang ada dalam kontrak franchise (Fulop,

2000). Pada kenyataannya informasi yang cukup terbuka oleh pihak

franchisor akan memberikan kontribusi pada tingkat kepuasan franchisee

dalam melakukan pembelian dan operasional outlet franchise. Dimensi

asistensi (bantuan) oleh franchisor cukup penting menolong franchisee

dalam bentuk keuangan, supplay dan saran pemasaran. Dimensi ini dapat

disederhanakan dalam elemen berikut :

1. Supply

Franchisor yang menyediakan franchisee dengan berbagai material

dan produk akan meningkatkan kewajiban kontrak dengan efektif.

Kontrak franchise memerlukan franchisee agar membeli input

spesifik dari franchisor. Franchisee juga dapat menggunakan

eksternal suplier dengan pemberian daftar nama suplier oleh

franchisor. Namun seringkali franchisee menggunakan distribusi

rantai internal dalam kegiatan operasi dengan harga yang lebih

baik dan pelayanan lebih baik.

Universitas Sumatera Utara


73

2. Fasilitas Financial

Franchisor bersedia menyediakan bantuan financial untuk

franchise tidak secara langsung maupun secara langsung dengan

menyediakan pinjaman

3. Asistensi manajemen

Franchisor membantu franchisee dalam pengelolaan bisnis.

Franchisor menyediakan bantuan dengan menyediakan dukungan

praktek dalam manajemen praktek, akuntansi dan pelayanan

pemasaran dan bantuan yang lain

4. Accessibility (Kemudahan jalan)

Accessibility mengacu pada hubungan franchisor dengan

franchisee. Pada saat franchisee bergabung rantai hubungan akan

menjaga hubungan secara konstan Adanya komunikasi yang teratur

dengan franchisee merupakan salah satu sumber ketersediaan

kekuatan tanpa paksaan oleh franchisor.

Berdasarkan teori, maka kerangka konseptual dari penelitian ini adalah

sebagai berikut:

Peran Franchisor :

1. Pelatihan/Training (X1) Keberhasilan usaha bisnis


2. Dukungan/Support (X2) Franchisee Indomaret
3. Menyediakan/Supply (X3) (Y)
4. Fasilitas Financial(X4)
5. Asistensi manajemen (X5)
6. Mudah diakses/Komunikasi
yg teratur (X6)

Gambar 2.1 Kerangka Konseptual

Stern dan Reve (dalam Tikoo, 2005).

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai