Anda di halaman 1dari 22

Makalah

SEJARAH DAN PERKEMBANGAN EKOWISATA

(Disusun untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Eduwisata Sumber Daya Hayati

Oleh Dosen Pengampuh Ibu Dr. Marini Susanti Hamidun, S.Si, M.Si)

Disusun Oleh :

Kelompok I

Kelas B

Anisa Handani Uno 431419052

Siti Ainun Mabuia 4314190

Tharisa Rhamadani Ayuningtyas 4314190

Windy Abdul 431419052

Saesmitha Wirahayu Okta 431419052

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI

JURUSAN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PNGETAHUAN ALAM

UNUVRSITAS NEGERI GOROTALO


2020

KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih dan Maha
Penyayang. Kami panjatkan puji syukur kehadirat-Nya yang telah melimpahkan
rahmat, hidaayah, serta inayah-Nya kepada kami sehingga kami bisa
menyelesaikan makalah.
Makalah ini sudah kami susun dengan maksimal dan pendapat buatan dari
berbagai pihak sehingga bisa mempelancar pembuatan makalah ini. Untuk itu
kami menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang tela berkontribusi
dalam pembuatan makalah ini.

Terlepas dari segala hal terssebut, kami sadar sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya oleh karenanya
kami dengan lapang dada menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar
kami dapat memperbaiki makalah ini.
Akhir kata kami berharap semoga makalah ini tentang sejarah dan
perkembangan ekosistem ini bisa memberikan manfaat maupun inspirasi untuk
pembaca.

Gorontalo, 26 September 2020

Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ......................................................................................... i
DAFTAR ISI ...................................................................................................... ii
Bab I Pendahuluan
1.1.LatarBelakang ............................................................................................ 1
1.2.RumusanMasalah ....................................................................................... 2
1.3.Tujuan ........................................................................................................ 2
Bab II Pembahasan
2.1.Pengertian dan Konsep Ekowisata ............................................................. 3
2.2.Sejarah dan perkembangan Ekowisata ........................................................ 6

2.3.Isu-isu permasalahan pariwisata dan lingkungan ......................................... 9


2.4.Peubahan tren dan Paradigma Pariwisata .................................................. 15

Bab III Penutup


3.1.Kesimpulan .............................................................................................. 17
3.2.Saran ........................................................................................................ 17

Daftar Pustaka .....................................................................................................


BAB I
PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG


Ekowisata merupakan sektor pariwisata yang berpotensi sebagai salah satu
penunjang perekonomian nasional, dari ekowisata juga dapat dimanfaatkan oleh
Pemerintah Daerah untuk meningkatkan pendapatan asli daerahnya sendiri.
Dengan adanya sektor ini selain mampu menyerap pekerja juga dapat sebagai
sumber penghasil devisa yang baik, dan juga mampu mendorong perkembangan
dalam investasi.Untuk melebarkan lagi sektor ini Pemerintah berupaya keras
menyusun rencana dan berbagai kebijakan yang dapat mendorong kemajuan
sektor ini. Salah satu kebijakan yang dibuat oleh Pemerintah adalah menggali,
menginventarisir dan memajukan objek-objek wisata yang ada agar ketertarikan
wisatawan semakin tinggi.
Ada beberapa hal yang pokok dari ekowisata diantaranya keberlanjutan
kelestarian alam, memberikan manfaat dalam aspek ekonomi, dan masyarakat
menerima kedalam lingkungannya. Menurut Permendagri (2009) Nomor 33
Tahun 2009 tentang Pedoman Pengembangan Ekowisata di Daerah, telah
memotivasi Pemerintah Daerah dalam mengembangkan ekowisata sudah menjadi
dalam kegiatan kepariwisataan di Indonesia. Peraturan ini menjelaskan bahwa
ekowisata adalah potensi sumberdaya alam, lingkungan, serta keunikan alam dan
budaya yang menjadi suatu sektor unggulan daerah yang belum dikembangkan
secara optimal.
Pengembangan ekowisata di daerah secara optimal memerlukan strategi
perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, penguatan kelembagaan, serta
pemberdayaan masyarakat dengan memperhitungkan kaidah-kaidah ekonomi,
sosial, ekologi, serta yang melibatkan pemangku kepentingan dalam hal
mengelola potensi ekowisata. Ekowisata ialah salah satu usaha yang
mengedepankan berbagai produk pariwisata berdasarkan sumberdaya alam,
pengelolaan ekowisata untuk meminimalkan dampak terhadap lingkungan hidup,
pendidikan yang berdasarkan lingkungan hidup, sumbangan kepada upaya
konservasi dan meningkatkan kesejahteraan untuk masyarakat lokal. Dengan
demikian, ada 3 aspek yang harus dipenuhi dalam pengembangan ekowisata di
suatu daerah wisata, yaitu: pendidikan, kesejahteraan masyarakat lokal, dan
konservasi lingkungan. Menurut Rudiato (2014) ekowisata adalah suatu bentuk
lanjutan dari wisata berbasis sumberdaya alam yang inti pokoknya berdasarkan
pada pendidikan dan pembelajaran yang menyangkut alam, dengan pengelolaan
yang dapat meminimalisir dampak, non konsumtif, dan berorientasi lokal/kontrol,
keuntungan dan skala.
1.2.RUMUSAN MASALAH
1. Apa pengertian dan konsep ekowisata?
2. Bagaimanakah sejarah dan perkembangan ekowisata?
3. Bagaimanakah Isu-isu permasalahan pariwisata ?
4. Apa perubahan tren dan paradigma parwisata ?
1.3.TUJUAN
1. Mahasiswa dapat mengetahui arti dan konsep ekowisata
2. Mahasiswa dapat mengetahui sejarah dan perkembangan ekowisata
3. Mahasiswa dapat mengetahui isu-isu pariwisata
4. Mahasiswa dapat mengetahui perubahan tren dan paradigma pariwisata
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.Pengertian Dan Konsep Ekowisata
2.1.1 Pengertian ekowisata
Ekowisata adalah perjalanan wisata ke suatu lingkungan baik alam
yang alami ataupun buatan serta budaya yang ada yang bersifat informatif dan
partisipatif yang bertujuan untuk menjamin kelestarian alam dan sosial-
budaya. Ekowisata menitikberatkan pada tiga hal utama yaitu,
keberlangsungan alam atau ekologi, memberi manfaat ekonomi, dan secara
psikologis dapat diterima dalam kehidupan social masyarakat.
Pengertian tentang ekowisata mengalami perkembangan dari waktu ke
waktu. Namun, pada hakekatnva pengertian ekowisata adalah suatu bentuk
wisata yang bertanggungjawab terhadap kelestarian area yang masih alami
(natural area), memberi manfaat secara ekonomi dan mempertahankan
keutuhanbudaya bagi masyarakat setempat. Atas dasar pengertian ini, bentuk
ekowisata pada dasarnya merupakan bentuk gerakan konservasi yang
dilakukan oleh penduduk dunia. Eco-traveler ini pada hakekatnya
konservasionis. Untuk mengembangkan ekowisata dilaksanakan dengan cara
pengembangan pariwisata pada umumnya. Ada dua aspek yang perlu
dipikirkan. Pertama, aspek destinasi, kemudian kedua adalah aspek market.
Untuk pengembangan ekowisata dilaksanakan dengan konsep product driven.
Meskipun aspek market perlu dipertimbangkan namun macam, sifat dan
perilaku obyek dan daya tarik wisata alam dan budaya diusahakan untuk
menjaga kelestarian dan keberadaannya. Pengembangan ekowisata di dalam
kawasan hutan dapat menjamin keutuhan dan kelestarian ekosistem hutan.
Ecotraveler menghendaki persyaratan kualitas dan keutuhan ekosistem. Oleh
karenanya terdapat beberapa butir prinsip pengembangan ekowisata yang
harus dipenuhi. Apabila seluruh prinsip ini dilaksanakan maka ekowisata
menjamin pembangunan yang ecological friendly dari pembangunan berbasis
kerakyatan (commnnity based)
Istilah ekowisata menurut Kerjasama Direktorat Produk Pariwisata,
Direktorat Jenderal Pengembangan Destinasi Pariwisata, Departemen
Kebudayaan, dan Pariwisata dan WWF-Indonesia (2009), dapat diartikan
sebagai perjalanan oleh seorang turis ke daerah terpencil dengan tujuan
menikmati dan mempelajari mengenai alam, sejarah dan budaya di suatu
daerah, di mana pola wisatanya membantu ekonomi masyarakat lokal dan
mendukung pelestarian alam. Para pelaku dan pakar di bidang ekowisata
sepakat untuk menekankan bahwa pola ekowisata sebaiknya
meminimalkan dampak yang negatif terhadap lingkungan dan budaya
setempat dan mampu meningkatkan pendapatan ekonomi bagi masyarakat
setempat dan nilai konservasi. Beberapa aspek kunci dalam ekowisata
adalah:
1) Jumlah pengunjung terbatas atau diatur supaya sesuai dengan daya
dukung lingkungan dan sosial-budaya masyarakat (vs mass tourism).
2) Pola wisata ramah lingkungan (nilai konservasi).
3) Pola wisata ramah budaya dan adat setempat (nilai edukasi dan
wisata).
4) Membantu secara langsung perekonomian masyarakat lokal (nilai
ekonomi).
5) Modal awal yang diperlukan untuk infrastruktur tidak besar (nilai
partisipasi masyarakat dan ekonomi).
Menurut Fandeli et.al (2000), ekowisata pada mulanya hanya
bercirikan bergaul dengan alam untuk mengenali dan menikmati.
Meningkatnya kesadaran manusia akan meningkatnya
kerusakan/perusakan alam oleh ulah manusia sendiri, telah
menimbulkan/menumbuhkan rasa cinta alam pada semua anggota
masyarakat dan keinginan untuk sekedar menikmati telah berkembang
menjadi memelihara dan menyayangi, yang berarti mengkonservasi secara
lengkap.
Ekowisata menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri No.33 Tahun
2009, adalah kegiatan wisata alam di daerah yang bertanggungjawab
dengan memperhatikan unsur pendidikan,pemahaman, dan dukungan
terhadap usaha-usaha konservasi sumberdaya alam, serta peningkatan
pendapatan masyarakat lokal. Jenis-jenis ekowisata di daerah antara lain:
a) Ekowisata bahari,
b) Ekowisata hutan,
c) Ekowisata pegunungan,
d) Ekowisata karst.
2.1.2. Konsep Ekowisata
Konsep ekowisata mencoba memadukan tiga komponen penting
antara lain :
1. Konservasi alam
2. Memberdayakan masyarakat lokal
3. Meningkatkan kesadaran lingkungan hidup

Untuk mengembangkan ekowisata dilaksanakan dengan cara


pengembangan pariwisata pada umumnya. Ada dua aspek yang perlu
dipikirkan. Pertama, aspek destinasi, kemudian kedua adalah aspek
market. Untuk pengembangan ekowisata dilaksanakan dengan konsep
product driven. Meskipun aspek market perlu dipertimbangkan namun
macam, sifat dan perilaku obyek dan daya tarik wisata alam dan budaya
diusahakan untuk menjaga kelestarian dan keberadaannya.

Pada hakekatnya ekowisata yang melestarikan dan memanfaatkan alam


dan budaya masyarakat, jauh lebih ketat dibanding dengan hanya
keberlanjutan. Pembangunan ekowisata berwawasan lingkungan jauh lebih
terjamin hasilnya dalam melestarikan alam dibanding dengan
keberlanjutan pembangunan. Sebab ekowisata tidak melakukan eksploitasi
alam, tetapi hanya menggunakan jasa alam dan masyarakat untuk
memenuhi kebutuhan pengetahuan, fisik/ dan psikologis wisatawan.
Bahkan dalam berbagai aspek ekowisata merupakan bentuk wisata yang
mengarah ke metatourism. Ekowisata bukan menjual destinasi tetapi
menjual filosofi. Dari aspek inilah ekowisata tidak akan mengenal
kejenuhan pasar.

2.2. Sejarah Dan Perkembangan Ekowisata


Masa ditandainya perkembangan isu lingkungan adalag ketika pada tahun
1972 diadakan stokholm tentang lingkungan hidup manusia. Era dua dekade
setelahnya isu lingkungan kemudian berkembang sangat sangat pesat. Banyak
dibah masalah-masalah terkait lingkungan yang mengukuhkan peran lingkungan
dalam agenda politik global. Dalam perkembangan isu lingkungan yang
berpengaruh multidektoral juga telah mempunyai car-cara negara dalam
memenuhi kepentingannya.
Pengembangan isu lingkungan ternyata sangat berpengaruh bagi
perkembangan ekowisata disuatu negara. Keduanya berada dalam jalur yang sama
dan ekowisata berkembang mengikuti perkembangan isu lingkungan. Kerusakan
alam, menurunnnya kesejahteraan penduduk lokal pada satu sisi, dan kemajuan
pengembangan yang bertumpuh pada aspek ekonomi semata, melahirkan
paradigma pembangunan yang secara komprehensif memahami prinsip-prinsip
ekowisata.
Rumusan ekowisata ini sebenarnya telah ada sejak 1987 dikemukakan oleh
Hector Ceballos-Lascurain yaitu sebagai berikut :
“Nature or ektourism can be defined as tourism that consist in travelling to
relative undisturbed or uncontamunated natural areas with specific objectives of
studying, admiring, as well as any eisting cultural manifestations (both past and
present) found in the areas.”
Yang kemudian pada awal tahun 1990 disempurnakan eh The International
Ecstourism Society (TIES) yaitu sebgai berikut :
“Ecotourism is responsible travel to natural areas which conserved the
environment and improves the welfare of local people.”
Definisi yang di kemukakan TIES sebenarnya hampir sama dengan yang
diberikan oleh Hector Ceballos-Lascurain yaitu sama-sama menggambarkan
kegiatan wisata di alam terbka, hanya saja menurut TIES dalam kegiatan
ekowisata terkandung unsur-unsur kepedulian tanggung jawab dan komitmen
terhadap kelestarian lingkungan dan kesejahteraan penduduk setempat.

Ekowisata menurut persyaratan tambahan bagi pelestarian alam. definisi


lain menyebutkan bahwa ekowisata adalah wisata alam berdampak ringan yang
menyebabkan terpeliharanya spesies dan habitatnya secara langsung dengan
peranannya dalam pelestarian dan atau secara tidak langsung dengan memberikan
pandangan kepada masyarakat setempat, untuk membuat masyarakat setempat
dapat menaruh nilai dan melindungi wisata alam dan kehidupan lainnya sebagai
sumber pendapatan. Oleh sebab itu dengan kata lain ekowisata merupakan upaya
untuk memaksimalkan dan sekaligus melestarikan potensi sumber sumber alam
dan budaya untuk dijadikan sebagai pendapatan yang berkesinambungan.

masuknya Islam lingkungan ke dalam politik global dan berbagai segi


kehidupan kemudian meningkat dan menumbuhkan kegiatan ekowisata.
Perkembangan isu lingkungan dalam politik global telah menyadarkan masyarakat
akan bahaya kehilangan besar terhadap spesies spesies flora dan fauna yang ada
serta kerusakan ekosistem yang terus berlanjut yang kemudian menjadi bahan
pertimbangan bagi lahirnya kerjasama kerjasama internasional di bidang terkait
seperti CITES. Kekhawatiran akan lingkungan kemudian bukan lagi menjadi
tanggung jawab negara atau pemerintah tertentu semata namun telah menjadi
kepentingan bersama global dan periode-periode perkembangan ekowisata
beriringan dengan meningkatnya peranan isu lingkungan tersebut.

Sejarah ekowisata sendiri sebenarnya dapat ditelusuri dari sejarah


perjalanan eksplorasi yang dilakukan oleh Marcopollo, Washington, Wallacea,
Weber, junghuhn, dan Van steines dan masih banyak yang lain merupakan awal
perjalanan antara pulau dan antara benua. para penjelajah tersebut melakukan
perjalanan ke alam yang merupakan awal dari perjalanan ekowisata meskipun
sebagian perjalanan ini tidak memberikan keuntungan konservasi daerah alami,
kebudayaan asli dan atau spesies langka.
lebih spesifik lagi, kegiatan ekowisata modern pertama barangkali dimulai
pada kegiatan safari yang dilakukan oleh para petualang dan pemburu di benua
hitam Afrika. Kegiatan ini berkembang pada awal 1900, khususnya di Kenya
digunakan sebagai kesempatan dan peluang bisnis. ketika akhirnya disadari bahwa
perburuan yang tidak terkendali dapat mengakibatkan kepunahan spesies flora
atau fauna dan mengganggu keseimbangan ekosistem yang ada, kegiatan tersebut
dihentikan. belajar dari pengalaman ini pemerintah Kenya akhirnya melakukan
banyak perubahan dalam pelaksanaan kegiatan safari dan mulai menetapkan
konsep konsep ekowisata modern dalam industri pariwisata.

pada akhir dekade 1970-an gagasan ekowisata mulai diperbincangkan dan


dianggap sebagai suatu alternatif kegiatan wisata tradisional yang selama ini kita
kenal. selama masa 1990-an beberapa badan dunia, peneliti, pecinta lingkungan,
ahli di bidang pariwisata dan beberapa negara mulai mencoba merumuskan dan
mulai menjalankan kegiatan ini dengan cara masing-masing.

Pasca konferensi Stokholm, kegiatan ekowisata mulai dikembangkan


secara lebih modern dan mendapat perbaikan kualitas pelaksanaannya oleh
banyak pemerintahan negara. Kemudian dilanjutkan dengan CITES, konferensi
Nairobi dan beberapa lainnya yang diadaptasi dalam undang-undang pelestarian
lingkungan membantu dalam peningkatan peran ekowisata bagi sebuah negara
seperti misalnya Costarica.

Pada awal 1980-an costarica dipilih oleh badan dunia PBB sebagai proyek
percontohan kegiatan ekowisata. Belajar dari pengalaman di Kenya l, di costarica
pelaksanaan kegiatan ini melibatkan beberapa pihak yaitu: pemerintah, swasta,
masyarakat dan badan lingkungan hidup internasional. proyek ini kemudian
dinilai berhasil dan menjadi contoh bagi pelaksanaan kegiatan ekowisata di
seluruh dunia.

Perkembangan ekowisata di dunia secara umum terasa cukup cepat dan


mendapat prioritas dan perhatian dari pemerintah masing-masing negara yang
melaksanakannya meskipun dimulai dari benua Afrika ekowisata berkembang
pesat justru di Amerika latin. di beberapa negara Amerika latin kegiatan
mengunjungi objek wisata alam berkembang menjadi kegiatan penyelamatan
lingkungan hidup atau konservasi. Seiring dengan berjalannya waktu ternyata
banyak peserta ekowisata yang tertarik dan ingin berkontribusi dalam
penyelamatan alam dari kerusakan yang semakin parah. beberapa lembaga atau
organisasi yang bergerak di bidang lingkungan hidup dan menangkap peluang ini
dan mulai mengadakan kegiatan reboisasi beserta dengan masyarakat luas
termasuk beserta ekowisata, hingga kepada penggalangan dana dan penanaman
pohon yang dapat diikuti melalui media internet. ekowisata terus berkembang dari
yang hanya merupakan pariwisata alam biasanya menjadi kegiatan konservasi
lingkungan yang membutuhkan partisipasi masyarakat dalam pelaksanaannya.

kegiatan ekowisata yang melibatkan banyak entitas dan berkembang mengikuti


perkembangan isu lingkungan kemudian melahirkan kerjasama kerjasama
internasional seperti pada tahun 1995 diadakan world conference on sustainable
tourism di Lanzarote yang kemudian menghasilkan kesepakatan bidang terkait.

perkembangan pariwisata akan mendapat perhatian khusus dari


masyarakat dunia sehingga pada tahun 1989 didirikan the internasional
ecotourism society yang bermarkas di Washington.

Secara garis besar perkembangan ekonomi serta tidak dapat dipisahkan


dari perkembangan isu lingkungan yang ada secara ekonomis serta mengikuti
perkembangan isu lingkungan tersebut. ekowisata juga selalu disesuaikan dengan
perjanjian-perjanjian lingkungan yang disepakati karena ekowisata dan
lingkungan adalah sebuah proses yang selaras.

2.3. Isu-isu permasalahan pariwisata dan lingkungan


Pada dasarnya kegiatan pariwisata adalah kegiatan menjual lingkungan.
Orang yang bepergian dari suatu daerah ke daerah tujuan wisata adalah ingin
menikmati lingkungan, seperti pemandangan alam, atraksi budaya, arsitektur,
makanan dan minuman, benda seni, dan lainnya yang berbeda dengan lingkungan
tempat tinggalnya.
Pariwisata adalah industri yang kelangsungan hidupnya sangat ditentukan
oleh baik buruknya lingkungan. Sektor wisata sebagai industri jasa merupakan
sektor yang sangat peka terhadap lingkungan. Kerusakan lingkungan seperti
pencemaran limbah domestik, kumuh, adanya gangguan terhadap wisatawan,
penduduk yang kurang/tidak bersahabat, kesemerautan lalulintas, kriminalitas,
dan lain-lain, akan dapat mengurangi jumlah wisatawan yang berkunjung ke suatu
daerah tujuan wisata. Oleh karena itu pengembangan pariwisata harus menjaga
kualitas lingkungan.
Menurut Mihalic (2000), kualitas lingkungan meliputi kualitas bentang
alam atau pemandangan alamiah itu sendiri. Kualitas ini dapat menurun karena
aktivitas manusia. Menurut hukum permintaan wisata, kualitas lingkungan
merupakan bagian integral dari suguhan-suguhan alamiah. Dengan demikian,
pemeliharaan terhadap kualitas lingkungan menjadi syarat mutlak bagi daya tahan
terhadap kompetisi pemilihan tujuan wisata oleh wisatawan. Jika kualitas
lingkungan suatu daerah tujuan wisata menurun, maka tempat tersebut cenderung
diabaikan.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pengembangan
kepariwisataan, berkaitan dengan aspek lingkungan, yaitu:
1) Daya Dukung Lingkungan
Setiap daerah tujuan wisata mempunyai kemampuan tertentu dalam
menerima jumlah wisatawan. Kemampuan ini yang disebut sebagai daya
dukung lingkungan. Daya dukung lingkungan dinyatakan dalam jumlah
wisatawan per satuan luas daerah tujuan wisata (lokasi) persatuan waktu. Daya
dukung lingkungan tersebut berbeda-beda, sesuai dengan faktor psikologis
tujuan kegiatan pariwisata. Misalnya orang yang pergi ke Plaza, orang merasa
senang untuk berdesak-desakan, kalau tidak bersenggolan, sepertinya tidak
merasa ke Plaza. Sebaliknya orang yang pergi ke Musium atau pantai yang
romantis, tidak menginginkan jumlah orang yang banyak, ramai, dan bising.
Antara Plaza, Pasar Malam, pantai dan Musium, mempunyai tujuan yang
terkait dengan faktor psikologis, sehingga daya dukungnya berbeda.
Faktor lain yang menentukan daya dukung lingkungan yaitu kondisi
biofisik daerah tujuan wisata atau lokasi wisata. Lingkungan biofisik
menentukan kuat atau rapuhnya suatu ekosistem. Ekosistem yang kuat
mempunyai daya dukung lingkungan yang tinggi. Daya dukung lingkungan
yang tinggi, lebih banyak dapat menerima sejumlah wisatawan. Daya dukung
lingkungan yang kuat, tidak mudah rusak karena gangguan wisatawan,
jikalaupun rusak, maka pengembalian atau pulihnya cepat. Ekosistem puncak
gunung atau kawah, misalnya Gunung Bromo, dengan suhu yang rendah,
tanah yang asam yang kurang subur, adanya gas beracun seperti uap belerang,
merupakan ekosistem yang rapuh. Jika terjadi kerusakan, seperti pengambilan
bunga Edelweis yang berlebihan, maka untuk “pulih kembali” memerlukan
waktu yang cukup lama. Sebaliknya Plaza atau Mall atau tempat tujuan wisata
buatan, seperti taman dan pemandian, mempunyai lingkungan biofisik yang
kuat. Artinya dapat menampung lebih banyak wisatawan. Kerusakan
ekosistemnya dengan mudah untuk dapat dikembalikan lagi.

Daerah tujuan wisata atau tempat wisata yang mempunyai daya


dukung lingkungan yang rendah, haruslah hati-hati dalam pengembangannya.
Jumlah wisatawan yang masuk harus dibatasi, serta diawasi dengan baik/ketat.
Hal ini untuk mengurangi resiko kerusakan lingkungannya, antara lain
pembuangan sampah, sebab sampah lambat membusuk pada daerah yang
dingin, terlebih sampah plastik yang tidak dapat didaur ulang oleh alam.
Salah satu contoh daerah tujuan wisata yang memperhatikan daya
dukung lingkungan yaitu Tanah Lot. Jumlah wisatawan yang boleh masuk
sampai bagian luar dan tengah (bagian utama tidak untuk wisatawan). Jumlah
wisatawan yang masuk, sejumlah selendang yang tersedia, karena setiap
wisatawan yang masuk diharuskan memakainya. Wisawatan lain boleh masuk
apabila selendang sudah dikembalikan, artinya ada wisatawan yang sudah
keluar.

2) Keanekaragaman
Wisatawan yang berkunjung ke suatu daerah tujuan wisata dengan
minat, tujuan, umur, jenis kelamin, kondisi sosial ekonomi, dan budaya yang
beranekaragam. Dalam pengembangan kepariwisataan harus diusahakan
adanya suatu keanekaragaman obyek sebagai daya tarik wisata serta faktor
penunjangnya.

Usaha penganekragaman didasarkan pada faktor tujuan, umur, dan


mode wisatawan. Misalnya pada obyek wisata Candi peninggalan sejarah,
penganekaragamannya disesuaikan dengan wisata sejarah. Demikian juga
dalam penganekaragaman, disesuaikan dengan kelompok umur wisatawan
yang akan menikmati atraksi atau penggunaan fasilitas penunjangnya.
Penganekaragaman disesuaikan dengan mode kepariwisataan yang sesuai
dengan perkembangan sosial, ekonomi, dan budaya saat ini. Contoh mode
wisata yang baru antara lain: melakukan wisata sambil berolah raga di daerah
tujuan wisata, kegiatan pariwisata yang dikaitkan dengan daerah tujuan wisata
sebagai tempat dilangsungkannya suatu pertemuan atau konferensi, baik
tingkat nasional, regional maupun internasional.

3) Keindahan Alam
Keindahan suatu bentang alam harus tetap dijaga keasliannya, sebab
merupakan aset kepariwisataan yang tinggi. Dalam pembangunan pariwisata
sering diubah bentang alam (natural landscape) dengan alasan untuk tujuan
wisata. Contoh (1) jalan berkelok di pegunungan dengan lembah yang indah,
ditutup oleh papan reklame yang sangat besar, warung-warung pinggir jalan
yang tidak teratur dan kumuh, (2) danau atau telaga yang alami pada bagian
pinggirnya dibuat dalam atau dibangun rumah peristirahatan, restoran dan
hotel yang dekat ke danau, sehingga danau berubah menjadi kolam besar
(kolam raksasa). Di samping itu badan perairan tersebut tercemar oleh limbah
cair dari berbagai aktivitas dari bangunan yang ada di sekitarnya.

4) Vandalisme Grafiti
Vandalisme adalah kegiatan yang merusak. Vandalisme yang berkaitan
dengan pariwisata adalah vandalisme grafiti berupa coretan-coretan di
berbagai tempat termasuk pada obyek-obyek wisata, seperti candi, tebing,
tanda lalulintas, tembok bangunan, telpon umum dan lainnya. Vandalisme
dalam bentuk yang lain yaitu merusak benda-benda tertentu atau memotong
pohon pada saat berkemah, memetik bunga, mengambil tanaman, dan lainnya.
Kegiatan yang merusak ini, aktivitasnya semakin meningkat, terlihat
dari banyaknya benda-benda yang dirusak serta sebarannya semakin meluas.
Hal ini terutama dilakukan oleh wisatawan domestik remaja, serta berkaitan
dengan masa libur sekolah. Vandalisme sangat merugikan pariwisata, seperti
perusak dan coretan dengan cat pada Candi. Hal ini pernah diungkapkan oleh
Jove Ave pada Konferensi Nasional Pusat Studi Lingkugan di Denpasar pada
Oktober 1996. Semakin berkembangnya kegiatan pariwisata, maka
vandalisme ini harus dicegah sedini mungkin dengan berbagai cara, salah
satunya adalah melalui jalur pendidikan di sekolah atau luar sekolah.
5) Pencemaran
Pencemaran merupakan musuh utama industri pariwisata. Pada sisi lain
kegiatan pariwisata merupakan pencemaran yang besar pula. Semakin sukses
kepariwisataan pada suatu daerah, semakin besar pula bahaya pencemarannya.
Salah satu bentuk pencemaran adalah limbah padat berupa sampah yang
dihasilkan oleh kegiatan wisatawan maupun limbah padat dan cair dari hotel-
hotel.
Masalah pencemaran ini terjadi akibat kurang sadarnya wisatawan,
terutama domestik dalam membuang limbah dari hasil kegiatannya selama
berwisata. Umumnya wisatawan domestik yang melakukan perjalanan dengan
keluarga atau rombongan, melakukan kegiatan “pindah makan dan minum”.
Masalah pencemaran menjadi lebih meningkat, apabila pada tempat wisata
tidak ada atau kurang sekali penyediaan tempat sampah. Jika tersedia tempat
sampah, maka penempatannya yang sering kurang representatif.
6) Dampak Sosial Budaya
Adanya wisatawan ke suatu daerah tujuan wisata, maka telah terjadi
interaksi antara wisatawan dengan penduduk setempat. Wisatawan yang
datang mempunyai latar belakang geografi, sosial, ekonomi, budaya yang
berbeda dengan penduduk setempat. Penduduk setempat akan menyerap
budaya wisawatan, sebaliknya wisatawan juga menyerap budaya lokal.
Dampak interaksi tersebut ada yang positif dan ada yang negatif.
Wisatawan terutama dari manca negara/internasional untuk kalangan
menengah dan atas, memerlukan fasilitas sesuai dengan standarnya. Hal ini
kemudian merupakan suatu “enklave” atau pulau di tengah masyarakat yang
masih terbelakang dengan kondisi sosial ekonomi yang sangat berbeda.
Perkembangan kegiatan kepariwisataan semakin meningkat, maka perlu
diantisipasi dampak negatif yang ditimbulkan yang akan merugikan
kelangsungan pariwisata dan penduduk setempat/lokal.
Dampak sosial budaya yang lain dalam kaitannya dengan pariwisata
adalah seks. Pariwisata terkait erat (atau sering dikaitkan) dengan berbagai
penyakit sosial seperti pelacuran, kriminal dan penyalahgunaan narkoba. Hall
(1992) menyebutkan bahwa seks atau prostitusi merupakan “bagian integral”
dari pariwisata. Merupakan suatu kenyataan bahwa pemenuhan kebutuhan
seksual merupakan salah satu motivasi orang melakukan perjalanan wisata.
Prostitusi/pelacuran tidak bisa dilepaskan dengan kehidupan masyarakat. Ini
adalah salah satu bisnis yang selalu menyertai perkembangan sebuah destinasi
pariwisata. Berbagai DTW di Asia sangat terkenal dengan pariwisata seks,
seperti Thailand (khususnya Bangkok), Indonesia (khususnya Dolly) dan
Filipina (khususnya Quiapo dan Cebu). Bahkan Malaysia juga sudah menjadi
salah satu titik dalam peta perjalanan wisata seks.
7) Mintakat (Zone)
Dalam pembangunan kepariwisataan timbul berbagai konflik berkaitan
dengan tata ruang. Pada satu sisi ingin hal yang bersifat alami, tetapi sis yang
lain menghendaki membangun fasilitas atau hotel dekat pantai. Wisatawan
tertarik dengan pantai yang indah, tetapi jumlah wisatawan yang banyak
justeru dapat menyebabkan kawasan pantai menjadi rusak. Konflik
kepentingan dapat dikurangi atau diatasi dengan perencaan tata ruang yang
disesuaikan dengan potensi sumberdaya yang ada. Hal ini kemudian akan
menghasilkan permintaan dalam keruangan (Zonasi). Masing-masing mintakat
diberi peruntukan berdasarkan potensi geografis, sehingga fungsi utama obyek
wisata dan penunjangnya tidak tumpang tindih dan berbagai kepentingan
umum tidak terganggu atau dikorbankan hanya semata-mata untuk
kepentingan pariwisata saja.

2.4. Perubahan tren dan paradigma pariwisata


Paradigma pariwisata modern berangkat dari filsafat modern yang
menjadi pondasi dasar, dan memandu praktek dari apa yang dikenal sebagai
pariwisata massal. Banyak gelombang kritik ditujukan pada praktek pariwisata
tersebut karena sifatnya yang elitis, dan menyebabkan masyarakat lokal yang
berada di kawasan destinasi wisata teralienasi. Gerakan kontra wacana
pariwisata massal telah membidani lahirnya wacana pariwisata alternatif
(Fayos-Sola, 1996), yang berangkat dari tradisi berpikir yang dalam ranah
ilmu sosial dan filsafat dikenal sebagai gerakan posmodernisme. Secara
general, tradisi pemikiran modern memproduksi apa yang disebut sebagai
perspektif dualisme (subyek-obyek), sedangkan gerakan posmodernisme
melahirkan perspektif dualitas (subyek-subyek).
Paradigma pariwisata kontemporer relatif telah banyak mengalami
perubahan dibandingkan pariwisata konvensional. Pergeseran ini terinspirasi
kuat dari sebuah aliran pemikiran yang santer disebut sebagai posmodernisme,
atau sering dinamakan pula pascastrukturalisme (Ritzer dan Smart, 2012;
Ritzer, 2013). Keduanya, walau berangkat dari tradisi pemikiran yang agak
berbeda, akan tetapi memiliki kesamaan ciri dalam proyeknya: memberangus
segala macam metafisika filsafat cartesian yang berpusat pada subyek.
Pariwisata konvensional adalah pariwisata modern, yang terinspirasi
dari logika berpikir cartesian tersebut. Bentuk konkretnya adalah pariwisata
massal (Baiquni, 2010). Pariwisata jenis ini dipandang memiliki beberapa
cacat bawaan. Pertama, dengan paradigma modernnya, pariwisata ini
mengusung standarisasi yang menjadi rujukan universal. Ia mengusung
seperangkat aturan yang harus diterima secara taken for granted (tanpa perlu
dipertanyakan lagi secara kritis) dalam pembangunan pariwisata dimanapun,
kapanpun, dan oleh siapapun. Aturan ini bisa berupa kode etik, regulasi, tata
kelola ideal, dan kajian keilmuannya. kedua, yang menjadi telos (tujuan)
dalam pariwisata modern adalah pertumbuhan. Logika pertumbuhan berangkat
dari kerangka pikir pembangunanisme/developmentalisme, yaitu suatu paham
yang dijadikan model ideal oleh semua negara di dunia pasca era kolonialisasi.
Setelah kolonialisasi yang dilakukan oleh negara dunia pertama berakhir,
diperlukan tata relasi baru antara negara yang terlibat, mantan kolonial dan
yang dijajah.
BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Untuk mengembangkan ekowisata dilaksanakan dengan cara
pengembangan pariwisata pada umumnya. Ada dua aspek yang perlu
dipikirkan. Pertama, aspek destinasi, kemudian kedua adalah aspek
market. Untuk pengembangan ekowisata dilaksanakan dengan konsep
product driven. Meskipun aspek market perlu dipertimbangkan namun
macam, sifat dan perilaku obyek dan daya tarik wisata alam dan budaya
diusahakan untuk menjaga kelestarian dan keberadaannya.
Pada hakekatnya ekowisata yang melestarikan dan memanfaatkan
alam dan budaya masyarakat, jauh lebih ketat dibanding dengan hanya
keberlanjutan. Pembangunan ekowisata berwawasan lingkungan jauh lebih
terjamin hasilnya dalam melestarikan alam dibanding dengan
keberlanjutan pembangunan. Sebab ekowisata tidak melakukan eksploitasi
alam, tetapi hanya menggunakan jasa alam dan masyarakat untuk
memenuhi kebutuhan pengetahuan, fisik/ dan psikologis wisatawan.
Bahkan dalam berbagai aspek ekowisata merupakan bentuk wisata yang
mengarah ke metatourism.
Pengembangan isu lingkungan ternyata sangat berpengaruh bagi
perkembangan ekowisata disuatu negara. Keduanya berada dalam jalur
yang sama dan ekowisata berkembang mengikuti perkembangan isu
lingkungan. Kerusakan alam, menurunnnya kesejahteraan penduduk lokal
pada satu sisi, dan kemajuan pengembangan yang bertumpuh pada aspek
ekonomi semata, melahirkan paradigma pembangunan yang secara
komprehensif memahami prinsip-prinsip ekowisata.
3.2. Saran
Dalam melakukan pengembangan ekologi pariwisata di suatu
daerah hendaknya kita melakukan setiap langkah dan peraturan dalam
pengembangan ekowisata dengan baik agar pengembangan ekowisata
tersebut tidak menimbulkan dampak yang tidak baik bagi lingkunagn alam
sekitar kita
Daftar Pustaka

Ardika, I Wayan, 2003. Pariwisata Budaya berkelanjutan. Denpasar : Universitas


Udayana.
Burkart, A.J and Medlik,S. 1988. Tourism Past Present and future. ELBS edition.
London . Heinenman.
Damarjati, R.S, 2001. Istilah-istilah Dunia Pariwisata. Jakarta : Pradnya
Paramita.
Damanik, J dan Weber, Helmut F, 2006. Perencanaan Ekowisata, , Dari Teori ke
Aplikasi. Yogyakarta. Andi Offset
Fandeli, dkk. 2000. Pengusahaan Ekowisata. Yogyakarta . Fakultas Kehutanan,
Universitas Gadjah mada.
Geriya, Wayan, 1996. Pariwisata dan Dinamika kebudayaan Dalam Merekat
Persatuan Bangsa. Denpasar : Upada Sastra.
Iwan Nugroho, 2006. Ecotourism, Malang : Universitas Widyagama Malang

Anda mungkin juga menyukai