Anda di halaman 1dari 16

KEGIATAN BELAJAR 2:

INDIKATOR KOMPETENSI

Setelah membaca dan memhami materi Kegiatan Belajar 2 ini diharapkan sudara
dapat:
1. Menjelaskan pengertian tentang pernikahan monogami
2. Menjelaskan tentang hukum poligami
3. Menjelaskan tentang hukum nikah mutah

POKOK-POKOK MATERI

1. Konsep nikah dalam ajaran Islam


2. Hukum monogami dalam ajaran Islam
3. Hukum poligami dalam ajaran Islam
4. Hukum nikah mut’ah dalam ajaran Islam

URAIAN MATERI

Saudara-saudara sekalian pada bahan Kegiatan Belajar 2 akan dibahas tiga materi
pokok. Pada bagian pertama akan dibahas tentang monogami, bagian kedua akan
dibahas tentang poligami, sedangkan pada bagian ketiga akan dibahas tentang nikah
mut’ah dan hal yang berhubungan dengan masing-masing Kepada sadara-saudara
dimohon untuk dapat membaca dan memahami materi Kegiatan Belajar 2 ini dengan
baik agar tercapai tujuan yang diharapkan secara optimal.

1
PERNIKAHAN MONOGAMI, POLIGAMI DAN NIKAH MUT’AH

A. Syariat Pernikahan
Kedudukan nikah dalam Islam merupakan syariat yang terkandung di dalamnya nilai-
nilai ibadah. Kelayakan manusia untuk menerima syariat tersebut paling tidak diperkuat oleh
tiga argumen. Pertama, manusia adalah makhluk berakal dan dengan akalnya tersebut manusia
mampu menerima dan menjalankan syariat dengan baik. Di antara syariat tersebut adalah
pernikahan, yang pengertiannya menurut ulama Syafi’iyah, sebagai::

‫عقد يتضمن إباحة الوطء بلفظ اإلنكاح او التزويج‬


(Akad (perjanjian) yang mengandung kebolehan hubungan kelamin dengan sebab lafaz nikah
atau tajwiz)
Kedua, manusia diciptakan oleh Allah berpasangan, yaitu laki-laki dan perempuan
sebagaimana dijelaskan oleh Allah swt:

َ‫ض َو ِم ْن أ َ ْنفُ ِس ِه ْم َو ِم َّما ََل َي ْعلَ ُمون‬


ُ ‫س ْب َحانَ الَّذِي َخلَقَ ْاْل َ ْز َوا َج ُكلَّ َها ِم َّما ت ُ ْن ِبتُ ْاْل َ ْر‬
ُ
Artinya: “Maha Suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik
dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak
mereka ketahui.” (QS. Yasin: 36)

Dari kehidupan berpasangan, manusia disyariatkan untuk menjalin hubungan yang


mulia, mengembangkan keturunan, menegaskan hak dan kewajiban antara keduanya. Untuk
itu Allah menurunkan syariat yang bertujuan menjaga harkat dan martabat serta kehormatan
manusia yang disebut dengan nikah.
Ketiga, pernikahan dalam Islam disebut sebagai prilaku para Nabi dan
memasukkannya sebagai salah satu fitrah yang dimiliki oleh manusia. Rasulullah saw bersabda
“empat fitrah yang dimiliki oleh manusia, yaitu memakai pacar, wangi-wangian, bersiwak
(gosok gigi), dan nikah”.
Untuk dijadikan sebuah perbandingan, nampaknya sebelum pembahasan nikah
menurut Islam secara lebih mendalam perlu diungkap tentang pernikahan sebelum Islam
(Jahiliyah). Pada zaman Jahiliyah telah dikenal bebarapa praktek perkawinan yang merupakan
warisan turun temurun dari perkawinan Romawi dan Persia. Pertama, perkawinan pacaran
(khidn), yaitu berupa pergaulan bebas pria dan wanita sebelum perkawinan yang resmi

2
dilangsungkan yang tujuannya untuk mengetahui kepribadian masing-masing pasangan Kedua,
nikah badl, yaitu seorang suami minta kepada laki-laki lain untuk saling menukar istrinya.
Ketiga, nikah istibdha, yaitu seorang suami minta kepada laki-laki kaya, bangsawan atau orang
pandai agar bersedia mengumpuli istrinya yang dalam keadaan suci sampai ia hamil. Setelah
itu baru si suami mengumpulinya. Keempat, nikah Raht (urunan), seorang wanita dikumpuli
oleh beberapa pria sampai hamil. Ketika anaknya lahir, lalu wanita itu menunjuk salah satu
pria yang telah mengumpulinya untuk mengakui bayi yang telah dilahirkannya sebagai
anaknya. Nikah ini sama dengan nikah baghaaya (nikah pelacur).
Kehadiran Islam menghapus semua bentuk pernikahan di atas karena dipandang tidak
sejalan dengan naluriah dan kehormatan manusia serta dapat dikatakan cara binatang yang
tidak mengenal aturan. Nikah dalam syariat Islam diartikan sebagai sebuah aqad yang
menghalalkan pergaulan dan membatasi hak dan kewajiban serta tolong menolong antara laki-
laki dan perempuan yang bukan mahromnya dengan rukun dan syarat yang telah ditentukan.
Al-Qur’an menyebut nikah sebagai mitsaq (perjanjian) antara suami dan isteri sejak terjadinya
akad. Hal ini dipahami karena keduanya berjanji untuk menjalankan hak dan kewajiban
masing-masing dengan sebaik-baiknya.

‫ظا‬ َ ‫ض ُك ْم ِإلَى بَ ْعض َوأ َ َخ ْذنَ ِم ْن ُك ْم ِميثَاقًا‬


ً ‫غ ِلي‬ َ ‫ْف تَأ ْ ُخذُونَهُ َوقَ ْد أ َ ْف‬
ُ ‫ضى بَ ْع‬ َ ‫َو َكي‬
Artinya: “Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah
bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. Dan mereka (isteri-isterimu)
telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.” (QS. An-Nisa: 21)

Sepasang calon suami istri yang ingin melangsungkan ikatan pernikahan diharuskan
untuk memenuhi syarat dan rukun nikah. Terkait dengan rukun nikah, para ulama sepakat,
terdapat lima hal yang menjadi rukun nikah. 1. calon suami istri, 2. Wali dari calon isteri, 3.
dua orang saksi, 4. Mahar (mas kawin), 5. Ijab-qabul.

B. Hikmah Nikah
Setiap syariat yang diturunkan oleh Allah dipastikan terdapat hikmah untuk kehidupan
manusia. Sedikitnya terdapat lima point penting yang penulis kutip dari pendapat Sayyid Sabiq
dalam kitabnya Fiqh Sunah berkaitan dengan hikmah dari sebuah pernikahan.
1. Nafsu seks termasuk tuntutan terkuat dan selalu meliputi kehidupan manusia. Ketika tidak
ada jalan keluar untuk melampiaskan, maka manusia akan dirundung kegelisahan dan
dikhawatirkan melakukan prostitusi (perzinahan). Maka pernikahan merupakan aturan
yang paling baik dan jalan keluar yang menyejukkan untuk memuaskan seks manusia.

3
Dengan nikah jasad menjadi segar, jiwa menjadi tentram dan penglihatan akan menutupi
sesuatu yang diharamkan. Ini semua terkandung dari petunjuk Allah dalam firmanNya:

‫َو ِم ْن َءايَاتِ ِه أ َ ْن َخلَقَ لَ ُك ْم ِم ْن أ َ ْنفُ ِس ِ ُك ْم أ َ ْز َوا ًاا ِلت َ ْس ِ ُكنُوا ِإلَ ْي َها َو َا َع ََ بَ ْينَ ُك ْم َم َو ََّ ً َو َر ْح َمةً ِإ َّن فِي‬
َ‫ذَ ِل َك ََليَات ِلقَ ْوم يَت َ َف َّك ُرون‬

Artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu


isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya,
dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian
itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (QS. ar-Rum: 21)
2. Pernikahan jalan terbaik untuk melahirkan anak, memperbanyak kelahiran dan
melestarikan kehidupan dengan selalu menjaga keturunan.
3. Naluri kebapakan dan keibuan akan tumbuh dan berkembang dalam menaungi anak masa
kanak-kanak serta tumbuhnya rasa kasih-sayang. Semua kelebihan itu tidak akan sempurna
tanpa adanya tali pernikahan.
4. Rasa tanggung jawab dari pernikahan serta mengurus anak dapat membangkitkan semangat
dan mencurahkan segala kemampuan dalam memperkuat potensi diri. Maka bangkitlah
untuk bekerja dengan segala kewajiban sehingga banyak kesibukan yang dapat menambah
harta dan kesuksesan. Dan tergugah semangat untuk mengeluarkan kekayaan alam dan
yang terpendam di dalamnya.
5. Membagi-bagi pekerjaan dan membatasi tanggung jawab pekerjaan kepada suami dan
isteri. Isteri mengurus rumah, hingga tertata dengan rapih, mendidik anak dan
mempersiapkan “udara” segar untuk suami agar dapat beristirahat yang dapat
menghilangkan kelelahannya dan menimbulkan semangat baru yang dapat membangkitkan
semangat kerja untuk memperoleh harta dan nafkah yang dibutuhkan. Pembagian kerja
yang adil terhadap suami istri sesuai dengan tugas alamiah mereka masing-masing ini akan
diridhai oleh Allah dan pujian manusia serta menghasilkan buah yang diberkahi.

C. Hukum Pernikahan
Penetapkan hukum nikah termasuk perkara yang selalu dikaitkan dengan kondisi orang
yang akan melakukannya. Dengan demikian kondisi tersebut dapat dijadikan sebagai illat
hukumnya. Hal yang dapat dimaklumi bahwa kondisi seseorang itu berbeda antara yang satu
dengan yang lainnya jika dilihat dari aspek gejolak seks dan kemampuan pemberian nafkah.
Berangkat dari perbedaan kondisi tersebut maka para ulama menghukumi nikah itu sesuai

4
dengan illat (sebab) yang ditemui dari seseorang yang akan melangsungkan pernikahan.
Memperhatikan berbagai macam illat nikah maka hukum nikah dapat ditetapkan sebagai
berikut:
1. Wajib, hukum ini layak dibebakan kepada orang yang telah mampu memberi nafkah,
jiwanya terpanggil untuk nikah dan jika tidak nikah khawatir terjerumus ke lembah
perzinahan. Hal ini diperkuat oleh tuntunan agama bahwa menjaga diri dari perbuatan
haram adalah wajib. Sedangkan bagi yang hanya memiliki keinginan yang kuat tapi belum
mampu memberi nafkah, maka lebih baik ia menahan diri. Hal ini didasari oleh firman
Allah swt:

ْ َ‫َّللاُ ِم ْن ف‬
‫ض ِل ِه‬ ِ ‫َو ْل َي ْستَ ْع ِف‬
َّ ‫ف الَّذِينَ ََل َي ِجدُونَ ِن َكا ًحا َحتَّى يُ ْغ ِن َي ُه ُم‬
Artinya: “Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian
(diri) nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya.” (QS. An-
Nuur: 33)

Salah satu cara untuk menjaga diri ketika gejolak nafsu bilogis yang memuncak bagi orang
yang belum layak nikah karena belum mampu menafkahi seperti tersebut di atas.
disarankan agar ia memperbanyak puasa. Hal ini diperkuat oleh Hadits Rasulullah saw
berikut ini:

ِ‫ص ُن ِل ْلفَ ْرج‬ َ ‫َض ِل ْل َب‬


َ ‫ص ِر َوا َ ْح‬ ُّ ‫ع ِم ْن ُك ُم اْل َبا َءَ َ فَ ْل َيت َزَ َّوجْ فَ ِانَّهُ أَغ‬
َ ‫طا‬َ َ‫ب َم ِن ا ْست‬ ِ ‫ش َبا‬َّ ‫َيا َم ْعش ََر ال‬
)‫ص ْو ِم فَ ِانَّهُ لَهُ ِو َاا ٌء (رواه البخارى‬ َّ ‫َو َم ْن لَ ْم َي ْست َ ِط ْع َف َعلَ ْي ِه ِبال‬
Artinya: “Hai para pemuda, siapa diantara kalian yang sudah mampu untuk menikah,
maka menikahlah, karena nikah dapat menahan pandangan dari maksiat dan dapat
menjaga kemaluan dari berbuat zina. Namun bagi siapa yang belum mampu hendaklah
ia berpuasa karena puasa dapat membentengi dorongan sahwat.” (HR. Bukhari)

2. Sunah, hukum ini pantas bagi orang yang merindukan pernikahan dan mampu memberi
nafkah tapi sebenarnya ia masih mampu menahan dirinya dari perbuatan zina. Maka bagi
orang seperti ini hukum nikah menjadi sunah. Akan tetapi jika demikian kondisinya, nikah
lebih baik baginya dari pada membujang karena dalam nikah terdapat ibadah yang banyak.
Sedangkan membujang (tidak nikah) itu seperti para pendeta Nasrani yang dilarang oleh
Rasulullah.

5
‫ارى‬
َ ‫ص‬َ َّ‫ِثر ِب ُك ُم اَْلُ َم ُم َوَلَ ت َ ُك ْونُ ْوا َك ُر ْهبَا ِنيَّ ِة الن‬
ٌ ‫ت َزَ َّو ُا ْوا فَاِنِى ُم َكا‬
Artinya: “Nikahlah kamu sekalian karena aku akan berbanyak-banyak umat pada hari
Qiamat dan janganlah kamu seperti pendeta Nasrani.”

Memperkuat anjuran nikah, Umar pernah berkata kepada Abi Zawaid, hanya sifat lemah
atau melacurlah yang mencegahmu dari nikah. Berkata juga Ibnu Abbas bahwa tidak akan
sempurna ibadah seseorang sampai ia menikah.
3. Haram, hukum ini layak bagi orang yang tidak mampu memberikan nafkah dan jika ia
memaksakan diri utnuk menikah akan mengkhianati isterinya atau suaminya, baik dalam
pemberian nafkah lahiriyah maupun batiniyah, sehingga dengan perkawinan itu hak-hak
istri/suami tidak terpenuhi.

1. Hukum Pernikahan Monogami dan Poligami


Dalam kamus bahasa Indonesia, monogami berarti sistem yang memperbolehkan
seorang laki-laki mempunyai satu isteri pada jangka waktu tertentu. Dari ta’rif tersebut dapat
dipahami bahwa seorang suami yang beristerikan satu isteri saja tidak dua atau tiga maka
suami itu menganut monogami.
Azas monogami telah ditetapkan oleh Islam sejak lima belas abad yang lalu sebagai
salah satu asas perkawinan dalam Islam. Tujuannya untuk memberikan landasan dan modal
utama dalam pembinaan kehidupan rumah tangga yang harmonis, sejahtera dan bahagia. Oleh
karena itu hukum asal perkawinan dalam Islam adalah monogami. Hakum ini sangatlah
beralasan karena dengan monogami tujuan pernikahan untuk menghantarkan keluarga bahagia
akan lebih mudah karena tidak terlalu banyak beban. Selain dengan bermonogami juga akan
lebih mudah untuk menetralisir dan meredam sifat cemburu, iri hati dan perasaan mengeluh
dalam kehidupan isteri sehari-hari. Islam memerintahkan kepada laki-laki untuk nikah dengan
seorang perempuan yang dicintainya. Bagi laki-laki, selayaknya selayaknya sikap monogami
ini. Jika tidak ada alasan yang dapat dibenarkan untuk beristeri lebih dari satu, seperti si isteri
ternyata mandul, sekali lagi pada asalnya hukum Islam menetapkan kepada laki-laki untuk
beristeri satu saja. Isyarat al-Qur’an untuk bermonogami bagi laki-laki dapat kita pahami dari
berbagai ayat al-Qur’an yang memerintahkan kepada laki-laki untuk menikah jika sudah
mampu, sikap membujang berkepanjangan tanpa alasan adalah sikap yang tidak dibenarka
karena dalam nikah banyak terdapat kebaikan. Hal ini dapat dilihat dalam al-Qur’an antara lain:

َّ ‫َوأ َ ْن ِك ُحوا ْاْل َ َيِا َمى ِم ْن ُك ْم َو‬


َّ ‫الصِِِِِِِا ِل ِحينَ ِم ْن ِع َبِا ِ ُك ْم َوإِ َمِا ِْ ُك ْم إِ ْن يَ ُكونُوا فُقَ َرا َء يُ ْغنِ ِه ُم‬
‫َّللاُ ِم ْن‬
‫ع ِلي ٌم‬
َ ‫َّللاُ َوا ِس ٌع‬ ْ َ‫ف‬
َّ ‫ض ِل ِه َو‬

6
Artinya: “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang
yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba
sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan
kurnia-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) Lagi Maha Mengetahui”. (QS. An-
Nur 32)

Hukum dalam Islam tidak terlepas dari illatnya. Asal perintah monogami dalam
pernikahan dapat berubah menjadi perintah berpoligami jika benar-benar ditemukan illat yang
dapat dibenarkan. Maka permasalahan baru setelah Islam membolehkan monogomi adalah
persoalan poligami. Namun sebelum lebih jauh membahas tentang hukum poligami
nampaknya perlu diluruskan terlebih dahulu pemakaian istilah poligami. Jika merujuk kepada
makna seorang suami beristeri lebih dari satu sebenarnya istilah poligami yang sudah populer
di masyarakat tidak tepat untuk istilah itu. Karena poligami dalam kamus bahasa bisa juga
berarti di samping suami punya istri lebih dari satu juga isteri punya suami lebih dari satu.
Maka secara kebahasaan yang lebih tepat adalah poligini yang dalam kamus bahasa Indonesia
diartikan sebagai “Sistem perkawinan yang membolehkan seorang pria memiliki beberapa
wanita sebagai isterinya di waktu yang bersamaan”. Namun dalam tulisan ini, selanjutnya
penulis cenderung untuk menggunakan istilah poligami untuk pembahasan dimaksud, yaitu
poligami yang bermakna pologini (suami beristeri lebih dari satu) karena selain bisa dibenarkan
secara kebahasaan juga istilah tersebut sudah populer penyebutnya di masyarakat untuk laki-
laki yang beristeri lebih dari satu.
Memasuki tulisannya tentang hukum kebolehan poligami, Yusuf Qardhawi menulis,
bahwa Islam adalah agama yang sejalan dengan fitrah manusia, mengakui fakta yang dapat
membimbing dan manjauhkan manusia dari perbuatan dungu. Inilah kenyataan yang
“memaksa” Islam membolehkan poligami. Sebelum Islam datang, agama-agama terdahulu
telah membolehkan praktek poligami sampai seratus isteri tanpa terikat oleh syarat dan aturan.
Itulah kultur yang terjadi di masyarakat dahulu. Islam datang tidak menghapus secara serta
merta sistem poligami “Jahiliyah”, yang sudah mendarah daging namun membangun aturan
poligam penerapan pembatasan jumlah istri tidak boleh lebih dari empat di samping adanya
syarat-syarat lain yang berhubungan dengan keadilan. Tercatat dalam sejarah bahwa seorang
sahabat bernama Ghailan al-Tsaqafi, ketika ia masuk Islam beristerikan sepuluh orang. Lalu
Nabi berkata kepadanya “pilih empat dan sisanya ceraikan”. Lalu banyak orang bertanya,
bagaimana dengan Rasulullah yang punya isteri lebih dari empat. Ini adalah sebuah

7
keistimewaan dari Allah karena keperluan da’wah Rosul dan kebutuhan kehadiran para istri
Nabi setelah wafat Nabi.

2. Kebolehan Berpoligami
Di masyarakat seperti sekarang ini, sikap berpoligami bagi sebagian laki-laki seakan
menjadi sesuatu yang dianggap mudah untuk dilakukan karena hanya semata mengikuti nafsu
biologis dan tidak mengikuti aturan yang sebenranya. Memang Pada asalnya hukum poligami
itu diperbolehkan jika seseorang suami tidak dikhawatirkan berbuat zhalim terhadap isteri-
isterinya. Jika dipastikan akan berlaku zhalim, maka seorang suami lebih baik untuk beristeri
satu saja.
Islam diperuntukan untuk semua jenis dan golongan manusia serta memelihara
kepentingan dan kemashlahatan yang bersifat pribadi dan umum. Nampaknya kebolehan
poligami karena untuk mewujudkan kemashlahatan bagi manusia agar tidak berlaku zina dan
tidak terjatuh ke dalam pintu kemaksiatan. Dengan kata lain menurut Mahmud Syaltut, bahwa
pada asalnya Islam memerintahkan laki-laki untuk beristeri satu, boleh beristeri lebih dari satu
jika dipandang darurat. Apa yang dimaksud dengan darurat tersebut? Menurut Yusuf
Qardhawi, kondisi darurat yang dengannya seorang laki-laki dibolehkan berpoligami adalah
sebagai berikut:
1. Ditemukan seorang suami yang menginginkan keturunan, akan tetapi ternyata isterinya
tidak dapat melahirkan anak disebabkan karena mandul atau penyakit.
2. Di antara suami ada yang memiliki overseks, akan tetapi isterinya memiliki kelemahan
seks, memiliki penyakit atau masa haidhnya terlalu panjang sedangkan suaminya tidak
sabar menghadapi kelemahan isterinya tersebut.
3. Jumlah wanita lebih banyak dibanding jumlah laki-laki, khususnya setelah terjadi
peperangan. Di situ terdapat kemashlahatan yang harus didapat oleh sebuah masyarakat
dan para wanita yang tidak menginginkan hidup tanpa suami dan keinginan hidup tenang,
cinta dan terlindungi serta menikmati sifat keibuan.
Namun permasalahan yang harus dihadapi bahwa kebolehan seorang suami untuk
beristeri lebih dari satu bukan hanya dikarenakan kondisi mendesak sebagaimana tersebut di
atas. Katakanlah itu adalah pasal yang harus dimililiki oleh seorang suami sebelum
berpoligami. Namun ada pasal penting lainnya yang wajib dipenuhi setelah poligami itu
terealisasi yaitu seorang suami harus berlaku adil dalam memberikan nafkah. Kewajiban bagi
seorang suami untuk berlaku adil dalam memberikan nafkah terhadap isteri-isterinya adalah
konsekuansi dari tindakan berpoligami dalam Islam. Sikap adil dimaksud berarti seorang

8
suami dapat memenuhi hak kewajibannya terhadap isteri-isterinya secara proporsional sesuai
dengan kebutuhan secara wajar.
Nafkah itu ada yang bersifat lahiriyah, yaitu nafkah yang bersifat materi dan ada yang
bersifat batiniyah (immateri). Sehubungan dengan pembagian nafkah tersebut maka
keadilanpun terbagi mejadi dua yaitu keadilan dalam memberikan nafkah lahiriyah dan
keadilan dalam memberikan nafkah batiniyah. Pada keadilan bentuk pertama, seorang suami
dituntut untuk berlaku adil terhadap isteri-isterinya dalam memberikan makan, minum,
pakaian, rumah, serta waktu giliran. Pemenuhan rasa keadilan bentuk pertama ini sangat
mungkin dapat dilakukan oleh seorang suami terhadap istrei-isterinya. Maka jika seorang
suami tidak dapat berlaku adil dalam nafkah lahir ini yang mengakibatkan isteri-isteri terzalimi,
maka haram bagi laki-laki untuk berpoligami. Allah swt berfirman dalam al-Qur’an surat al-
Nisa ayat 3:

‫احدََ ً أ َ ْو َما‬
ِ ‫ع َفف ِ ْن ِخ ْفت ُ ْم أ َ ََّل ت َ ْع ِدلُوا فَ َو‬ َ ‫اء َمثْنَى َوث ُ َر‬
َ ‫ب َو ُر َبا‬ َ ِ‫اب لَ ُك ْم ِمنَ الن‬
ِ ِِِِِِِ‫س‬ َ ‫ط‬ َ ‫َفا ْن ِك ُحوا َما‬
‫ت أ َ ْي َمانُ ُك ْم ذَ ِل َك أ َ ْنَى أ َ ََّل تَعُولُوا‬
ْ ‫َملَ َك‬
Artinya: “Kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat.
Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja,
atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak
berbuat aniaya.”

Rasulullah bersabda:

‫طا أ َ ْو‬
ً ِ‫ساق‬ َ َ‫علَى اَْلُ ْخ َرى َاا َء َي َو َم اْل ِقيَا َم ِة َي ُج ُّر أَ َحد‬
َ ‫شقَّ ْي ِه‬ ِ َ ‫َت لَهُ ْام َرأَت‬
َ ‫ان َي ِم ْي َُ َِلَ َح ِد ِه َما‬ ْ ‫َم ْن َكان‬
) ‫َماِْرً (رواه أبو او‬
Artinya: “Siapa yang memilki dua orang isteri tapi ia lebih berpihak kepada salah satunya,
maka pada hari qiamat ia berjalan dalam keadaan menarik salah satu pundaknya
(miring).” (HR. Abu Daud)

Yang dianggap perbuatan menzalimi dalam Hadits di atas adalah ketidak-adilan


seorang suami dalam memenuhi hak-hak isteri yang dipandang kuasa bagi suami untuk
memenuhinya seperti nafkah lahir dan waktu gilir.
ُّ ‫)ا َ ْل َم ْي َُ اْلقَ ْل ِب‬,
Terkait dengan keadilan bentuk kedua yakni keadilan yang bersifat batin (‫ي‬
kecenderungan hati/cinta. Usaha untuk berlaku adil dalam membagi cinta kepada isteri-isteri

9
inilah yang sesungguhnya sangat berat bagi seorang suami. Dan hal ini sudah bisa dipastikan
tidak dapat dilakukan oleh suami untuk berlaku adil sebagaimana diisyaratkan oleh al-Qur’an:

‫اء َولَ ْو َح َر ْ ِِِت ُ ْم فَ َر ت َ ِميلُوا ُك ََّ ْال َم ْي َِ فَتَذَ ُروهَا َك ْال ُم َعلَّقَ ِة‬
ِ ِِِ‫س‬ ِ َ‫َو َل ْن ت َ ْسِِِت َ ِطيعُوا أ َ ْن ت َ ْع ِدلُوا َبيْن‬
َ ‫الن‬
‫ورا َر ِحي ًما‬ً ُ ‫غف‬ َّ ‫ص ِل ُحوا َوتَتَّقُوا فَف ِ َّن‬
َ َ‫َّللاَ َكان‬ ْ ُ ‫َو ِإ ْن ت‬
Artinya: “Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri- isteri (mu),
walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu
cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung.
Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka
sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. an-Nisa:129)

Kalau seandainya keadilan membagi cinta ini menjadi syarat yang mutlak bagi seorang
suami, maka tertutup hukum kebolehan bagi seorang suami untuk berpoligami meskipun
sudah berada pada kondisi yang darurat. Oleh karena sulitnya beralaku adil dalam membagi
cinta, maka Menurut Yusuf Qardhawi ini adalah keadilan yang dimaafkan dan diberikan
toleransi, namun tidak termaafkan untuk nafkah lahir.
Dijelaskan dalam sebuah hadits, bahwa Rasulullah adalah orang yang selalu berusaha
untuk berlaku adil sampai kepada masalah bepergian dan untuk memenuhi rasa keadilan
tersebut, Rasulullah mengundi di antara isteri-isterinya. Bagi yang keluar undiannya, maka
dialah yang menjadi teman pergi Rasulullah, hal ini dilakukan oleh Rasulullah supaya tidak
melukai perasaan dan meminta kerelaan dari isteri-isteri yang tidak pergi bersama Rosul.

3. Hikmah dari Poligami


Berpoligamim bagi sebagian orang terkadang tidak terlalu sulit untuk dilakukan.
Permasalahannya adalah tidak mudah untuk berlaku adil dalam memenuhi sesuatu yang
menjadi hak para isteri. Terlihat, banyak suami yang beristeri lebih dari satu tapi sebenarnya
mereka tidak mampu untuk memberikan nafkah. Motif mereka berpoligami bukan karena
masalah darurat, tapi karena ingin memperturutkan hawa nafsu seksual. Kalaupun mereka
mampu memberikan nafkah namun terkadang perlakuan suami kepada isteri-isterinya banyak
berlaku tidak adil dalam pemenuhan kebutuhan seperti makan, pakaian, tempat tinggal, dan
waktu bergilir.
Oleh karena itu, alasan kebolehan berpoligami bagi sang suami dikarenakan terdapat
kondisi darurat dan syarat beraku adil terdapat hikmah di dalamnya yang Menurut Rasyid
Ridh sedikitya terdapat empat hikmah. 1) Untuk mendapatkan anak bagi suami yang subur dan

10
isteri yang mandul. 2). Menjaga keutuhan keluarga tanpa harus mencerai isteri pertama meski
ia tidak berfungsi semestinya sebagai isteri karena cacat fisik dan sebagainya. 3).Untuk
menyelamatkan suami yang hiperseks dari perbuatan free sex. Tercatat di beberapa negara
Barat yang melarang poligami mengakibatkan merajalelanya praktek prostitusi dan free sex
(kumpul kebo) dan lahirnya anak-zina yang mencapai jumlah cukup tinggi. 4).
Menyelamatkan harkat dan martabat wanita dari krisis akhlak (melacur), terutama bagi mereka
yang tinggal di negara yang jumlah wanitanya lebih banyak dibanding laki-laki akibat
peperangan misalnya.
Sedangkan hikmah kebolehan Rasulullah beristeri lebih dari empat bukanlah karena
dorongan hawa nafsu sebagaimana yang dituduhkan oleh kaum orientalis, tapi mengandung
hikmah yang besar, yaitu kepentingan dakwah Islam sebagaimana dikemukakan oleh Abbas
Mahmud al-Aqqad sebagai berikut:
1. Untuk kepentingan pendidikan dan pengajaran agama. Semua isteri Nabi yang berjumlah
sembilan dapat dijadikan sumber informasi bagi umat Islam yang hendak mengetahui
ajaran-ajaran Nabi dan praktek kehidupan beliau dalam berkeluarga, bermasyarakat,
terutama masalah rumah tangga.

2. Untuk kepentingan politik, yaitu mempersatukan suku-suku bangsa Arab dan sekaligus
menarik mereka masuk Islam. Seperti perkawinan Nabi dengan Juwairiyah putri al-Harist
kepala suku bani al-Musthaliq dan Shafiyah, seorang tokoh dari Bani Quiraizhah dan Bani
al-Nadhir.

3. Untuk kepentingan sosial dan kamanusiaan. Seperti perkawinan beliau dengan janda
dermawan bernama Khadijah dan janda pahlawan Islam seperti Saudah binti Zuma’ah
(suaminya meninggal setelah kembali dari hijrah ke Abesenia), Hafsah binti Umar
(suaminya gugur pada perang badar), Hindun Ummu Salamah (suaminya gugur di perang
Uhud).

Seandainya saja motif Rosul untuk nikah lebih dari satu karena dorongan sex, mungkin
yang wanita yang dinikahi adalah gadis-gadis cantik bangsa Arab. Tapi hal itu sama sekali
tidak dilakukan oleh Rasulullah tapi justru dengan Siti khadijah yang umurnya lebih tua 15
tahun dibandingkan umur beliau. Demikian dengan isteri-isteri beliau yang lain, semuanya
dinikahi bukan karena tuntutan nafsu , tapi bermotif dakwah yang ternyata motif tersebut
dapat membantu keberhasilan tugas beliiau sebagai utusann Allah. Dengan demikian, pada
pernikahan Rasul terdapat hikmah yang tinggi yang bernilai dakwah, pendidikan dan sosial

11
kemasyarakatan. Argumentasi logis sepertitelah tersebut dapat meruntuhkan segala tuduhan
negatif yang dilontarkan oleh kaum orientalis terhadap kebolehan rasul bersiteri lebih dari satu.

D. Nikah Mut’ah
Semarak nikah mut’ah atau sering disebut dengan nikah kontrak nampaknya masih
menghiasi kehidupan sebagian kecil masyarakat. Keprihatinan dan kehwatiranpun muncul dari
orang tua, tokoh masyarakat, pendidik bahkan ulama terhadap pernikahan yang terkesan
“main-main” ini. Praktek nikah mut’ah seperti tersebut terjadi selain karena terdapat legitimasi
dari kelompok yang membolehkan, juga ditemukan alasan untuk terhindar dari perzinahan
demi memenuhi tuntutan sex sesaat. Untuk dapat menguji keabsahan nikah mut’ah yang
banyak dilakukan oleh orang yang tinggal jauh dari isterinya karena memenuhi tugas kerja
misalnya, bahkan tak luput pelakunya adalah pemuda dan mahasiswa, berikut ini akan
dijelaskan duduk masalahnya.
Kata mut’ah (ٌ‫) ُمتْعَة‬, berasal dari bahasa Arab yang mempunyai arti antara lain bekal
yang sedikit dan barang yang menyenangkan. Pengertian ini sejalan dengan kata mut’ah yang
terdapat dalam al-Quran yang berarti bercampur (bersenang-senang bersama istri dengan
bersenggama) dan pemberian yang menyenangkan oleh suami kepada isterinya yang dicerai.
Firman Allah swt:

َ ‫يضِِِةً َو َمتِعُو ُه َّن‬


‫علَى‬ ُ ‫سِِِو ُه َّن أ َ ْو ت َ ْف ِر‬
َ ‫َِِِوا لَ ُه َّن فَ ِر‬ َ ِ‫طلَّ ْقت ُ ُم الن‬
ُّ ‫سِِِا َء َما لَ ْم ت َ َم‬ َ ‫علَ ْي ُك ْم ِإ ْن‬
َ ‫ََل ُانَا َح‬
)236( َ‫علَى ْال ُم ْح ِسنِين‬ ِ ‫عا ِب ْال َم ْع ُر‬
َ ‫وف َحقًّا‬ ً ‫علَى ْال ُم ْقتِ ِر قَدَ ُرهُ َمتَا‬
َ ‫ْال ُمو ِسعِ قَدَ ُر َو‬
Artinya: “Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan
isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan
maharnya. Dan hendaklah kamu berikan suatu mut`ah (pemberian) kepada mereka. Orang
yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya
(pula), yaitu pemberian menurut yang patut. Yang demikian itu merupakan ketentuan bagi
orang-orang yang berbuat kebajikan.” (QS. Al-Baqarah: 236)

Yusuf Qardhawi memberikan pengertian nikah mut’ah secara terminologi, yaitu


seorang laki-laki mengikat (menikahi) seorang perempuan untuk waktu yang ditentukan
dengan imbalan uang yang tertentu pula. Di Indonesia, kawin mut’ah ini popular dengan
sebutan kawin kontrak.
Uraian di atas memeberikan gambaran cukup jelas tentang nikah mut’ah. Bahwa
tidaklah nikah mut’ah itu dilakukan, kecuali kecenderungan seseorang untuk memenuhi

12
kebutuhan seksual, berakhir tanpa talaq karena secara otomatis jika sudah habis waktu kontrak
yang telah ditentukan maka berakhirlah riwayat pernikahan itu. Dilihat dari penetapan
pembatasan waktu (ta’qit) tersebut, pernikahan semacam itu bertentangan dengan syariat
Islam yang mmenghendaki pernikahan itu tidak terbatas oleh waktu.
Diakui, bahwa nikah mut’ah pada zaman Nabi diperbolehkan namun tidak berlaku
untuk semua orang hanya untuk orang tertentu dikarenakan terdapat suatu kondisi yang sangat
mendesak.
Menurut Yusuf Qardhawi, rahasia diperbolehkan nikah mut’ah pertama kali pada
zaman Nabi, karena umat ketika itu berada pada “masa transisi” dari dunia Jahiliyah ke dunia
Islam. Di mana pada zaman Jahiliyah, perzinahan merupakan budaya yang sudah menyebar
luas. Ketika Islam mewajibkan kepada kaum untuk pergi berjihad, mereka merasakan sangat
berat tinggal jauh dengan isteri-isteri mereka. Di antara kaum yang ikut berijihad dengan
Rosulullah itu ada yang memiliki iman yang kuat dan ada yang lemah. Mereka yang lemah
imannya sangat takut terjerumus ke jurang perzinahan. sedangkan mereka yang kuat imannya
bersikeras untuk menghilangkan nafsu seksnya dengan cara mengebiri, sebagaimana informasi
Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu mas’ud:

‫ع ْن ذا َ ِل َك‬ ُ ‫ي؟ فَنَ َهانَا َر‬


َ ِ‫س ْو ُل هللا‬ ِ ‫سا ٌء فَقُ ْلنَا أََلَّ نَ ْستَ ْخ‬
َ ‫ص‬ َ ‫س ْو ِل هللاِ َولَي‬
َ ِ‫ْس َم َعنَا ن‬ ُ ‫ُكنَّا نَ ْغ ُزو َم َع َر‬
)‫ب اِلَى أ َ َاَ (متفق عليه‬ ِ ‫نَ ْن ِك َح اْل َم ْرأََ َ بِالث َّ ْو‬ ‫ص لَنَا أ َ ْن‬
َ ‫َو َر َّخ‬
Artinya: “Kami ikut berperang dengan Rosulullah dan istri-istri kami tidak ada di samping
kami. Kemudian kami bertanya kepada Rosulullah, bolehkah kami mengebiri? Maka
Rosulullah melarang kami untuk mengebiri dan memberikan keringanan kepada kami
untuk menikahi perempuan dengan membayar imbalan untuk waktu yang ditentukan. (HR.
Bukhari Muslim)

Berdasarkan keterangan di atas, maka jelaslah bahwa kebolehan hukum nikah mut’ah
pada zaman Nabi itu memiliki alasan sebagai berikut:
a. Merupakan keringanan hukum (rukhsah) untuk memberikan jalan keluar dari problematika
yang dihadapi oleh dua kelompok orang yang imannya kuat dan imannya lemah.

b. Sebagai langkah perjalanan hukum Islam menuju ditetapkannya kehidupan rumah tangga
yang sempurna untuk mewujudkan semua tujuan pernikahan yaitu melestarikan keturunan,
cinta kasih sayang dan memperluas pergaulan melalui perbesanan.

13
Terkait dengan hukumnya, dilihat dari prosesnya nampaknya langkah pengharaman nikah
mut’ah yang ditempuh oleh Islam dilakukan secara priodik seperti proses pengharaman
khamar. Rosulullah memperbolehkan nikah mut’ah dalam kondisi tertentu (darurat), kemudian
Rosulullah saw mengharamkan nikah mut’ah sebagai bentuk pernikahan. Sebagaimana Hadits
yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahihnya dari Syibrah al-Juhani “bahwasanya
ia berperang bersama Rosulullah saw pada waktu fathu Makkah, maka Rosulullah mengizinkan
mereka untuk melakukan nikah mut’ah. Ia berkata: “Maka kaum tetap melakukan nikah
mut’ah itu sampai Rosulullah mengharamkan nikah mut’ah. Dan dalam redaksi yang lain,
terdapat Hadits yang berbunyi”

‫اس َوإِ َّن هللاَ َق ْد َح َّر َم ذَ ِل َك إِلَى يَ ْو ِم‬ ِ ‫اَل ْسِِِِِِتِ ْمتَاعِ ِمنَ ال َّن‬ ِ ْ ‫فى‬ ِ ‫اس إِن ِى َق ْد ُك ْنتُ أ َ ِذ ْنتُ لَ ُك ْم‬ُ ‫َياأَيُّ َهاال َّن‬
َ ‫سِِِِِِبِي َْل ِهُ َو ََلت َِأ ْ ُخ ِذ ُ ْو ِام َّم ِا ت َ ْيت ُ ُم ْو ُه َّن‬
‫شِِِِِِ ْي ًِا (رواه‬ َ َِ ِ ‫شِِِِِِ ٌ فَ ْلي َُخ‬ َ ِ َ‫ْال ِقي‬
َ ‫ام ِ ِة فَ َم ْن َك ِانَ ِع ْن ِدَهُ ِم ْن ُه َّن‬
)‫مسلم‬
Artinya: Wahai manusia, aku pernah membolehkan untuk mu melakukan nikah mut’ah
dengan wanita kemudian Allah mengharamkan nikah mut’ah itu. Oleh karena itu jika masih
terdapat memiliki wanita yang diperoleh dengan cara nikah mut’ah maka hendaknya ia
melepaskannya dan janganlah kamu mengambil sedikitpun dari apa yang telah kamu berikan
kepada mereka (HR Muslim)
Dari penjelasan hadits di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa kebolehan hukum nikah
mut’ah itu telah dinasakh (dihapus hukumnya) oleh keharamnnya. Dengan demikian hukum
yang berlaku sejak terjadinya penghapusan sampai sekarang dan seterusnya adalah keharaman
nikah mut’ah.
Di kalangan sahabat orang yang secara tegas mengharamkan nikah mut’ah adalah Umar
bin Khattab, dengan lantang beliau melarang nikah mut’ah serta mengancam hukuman bagi
pelakunya.
Kemudian timbul pertanyaan, apakah keharaman nikah mut’ah ini sudah mutlak tanpa
ada pengecualian seperti haramnya menikahi ibu dan anak kandung perempuan? Apakah
keharamannya seperti keharaman minum khamar, darah dan daging babi yang diperbolehkan
ketika dalam keadaan darurat? Jawabannya adalah menurut jumhur sahabat dan ulama bahwa
keharaman nikah mut’ah adalah mutlak tanpa ada pengecualian meski dalam kondisi darurat.
Pendapat ini diperkuat oleh fatwa Majelis Ulama Indonesia yang secara tegas memutuskan
bahwa hukum nikah itu haram karena selain dadasari oleh dalil yang kuat, selain nikah ini juga
bertentangan dengan tujuan pensyariatan pernikahan.

14
1. Nikah Mut’ah Masa Kini
Seperti telah dikemukakan di awal, nikah mut’ah saat ini masih banyak dilakukan oleh
sebagaian masyarakat meski mendapat protes yang cukup keras juga. Kecenderungan itu
muncul karena dirasakan mudah untuk dilakukan pada zaman di mana orang banyak berfikir
pragmatis. Selain jika dilihat dari tabiatnya bahwa salah satu kesamaan manusia masa lampau
dengan masa kini di antaranya adalah masalah nafsu seks. Ternyata dengan dalih yang sama,
di masa sekarang ini praktek nikah mut’ah ini terjadi lagi dan bahkan ada yang melegalkan
kembali seperti yang ditetapakan oleh kelompok syiah.
Nampaknya alasan yang dikemukakan oleh orang yang membolehkan nikah mut’ah di
atas sangatlah lemah dan sama sekali tidak mempertimbangkan aspek tujuan dari sebuah
pernikahan yang sesungguhnya. Dengan demikian penghalalan nikah mut’ah pada masa
sekarang ini dapat dikatakan bathil dan sangat mudah untuk ditolak baik secara aqli maupun
naqli:
1. Islam menetapkan pernikahan sebagai ikatan perjanjian yang kuat. Yang dibangun atas
landasan motivasi untuk hubungan yang kekal yang akan menumbuhkan cinta, kasih
sayang dan ketentraman batin serta menciptakan keturunan yang langgeng. Sedangkan
dalam nikah mut’ah (kontrak) perkawinan tidak bersifat kekal, tapi dibatasi oleh waktu
yang telah disepakati. Dan perceraian kedua pasangan itu secara otomatis dikarenakan
habisnya masa kontrak. Jelas nikah mut’ah ini bertentangan dengan prinsip dan tujuan
nikah dalam Islam.

2. Menghalalkan kembali nikah mut’ah berarti langkah mundur dari sesuatu yang telah
ditetapkan secara sempurna oleh Islam. Salah satu sebab diperbolehkannya nikah pada
zaman Nabi karena kondisi “transisi” dari Jahiliyah kepada Islam. Di mana perzinahan pada
zaman Jahiliyah merupakan budaya yang sudah menyebar. Diperboehkannya nikah mut’ah
ketika itu sebagai langkah proses menuju pernikahan yang sempurna. Jadi nikah mut’ah
sekarang ini tidak dapat dibenarkan karena sudah disyariatkannya nikah yang sempurna.

3. Alasan darurat untuk menghalalkan kembali nikah mut’ah merupakan alasan yang terlalu
dibuat-buat. Sebab alasan darurat diperbolehkannya nikah mut’ah pada zaman Nabi itu
dalam keadaan berperang di mana isteri mereka tinggal berjauhan, sulit mereka untuk
bertemu. Apakah relevan kalau hanya alasan nafsu seks itu dijadikan dalih untuk
membolehkan nikah mut’ah sekarang ini? Tentu tidak relevan karena itu qiyas fariq yang
tidak bisa dipertanggung jawabkan kebenarannya.

15
4. Dampak negatif yang diakibatkan dari nikah mut’ah sangat merusak dimensi sosial. Sebab
akibat nikah mut’ah akan bermunculan perempuan-perempuan yang kehilangan suaminya,
seakan-akan wanita dijadikan pemuas nafsu laki-laki sesaat dan akan muncul anak-anak
yang tidak mendapatkan kasih sayang ayahnya. Hal ini akan menggangu pertumbuhan
psikologis anak.

Berdasarkan alasan tersebut di atas, maka penulis berkesimpulan bahwa nikah mut’ah
yang dibolehkan dalam Islam sudah berakhir, yaitu hanya boleh ketika zaman Nabi dengan
alasan darurat dan ada hikmah tasyri’ di dalamnya. Maka tidak ada alasan yang dapat
dibenarkan untuk kembali mengahalakan nikah mut’ah sekarang ini. Hukum nikah mut’ah ini
telah tegas keharamannya baik dilihat secara akal dan wahyu. “Yang haram telah jelas dan
yang halalpun telah jelas”.

16

Anda mungkin juga menyukai