Anda di halaman 1dari 25

Diskursus Kolonialistik dalam Pembangunan di Papua:

Orang Papua dalam Pandangan Negara

JOHANES SUPRIYONO
Peneliti dan Pemerhati Papua
Surel: hansprie@gmail.com

Diterima: 28 Februari 2014


Disetujui: 24 Maret 2014

ABSTRACT
This article aims to trace how Papuan is represented or even defined by the state in order to legitimize
development qua civilizing process. It appears that the discourse of development---with progress as the main
reason behind it--- entangled with colonial discourse, i.e. how Papuan has been represented for years, has
opened the door to variety of practices where knowledge and power of the State has appropriated Papua as ‘the
desiring object of the State’s Will.’ In this article, I will argue thoroughly how Papua has been constructed by the
State as the other. Ever since Papua had been re-integrated formally into Indonesia post-Pepera in 1969, the
development process had had just begun. Several documentations which contain the progress of development
process portray Papuan as a tribe who desperately needs development for various reasons. For that matter, the
State (qua government) owes its development project based on the image of Papuan already represented, that is
an expanding discourse rooted in Dutch expeditions exercised in Papua.

Kata kunci: Wacana kolonialistik, Papua, pembangunan, negara (Indonesia).

Pendahuluan
Menyimak dokumen-dokumen pembangunan tentang Irian Barat yang dikeluarkan oleh
Bappenas sejak Repelita I, saya menemukan penggambaran tentang Papua yang mirip dan
berulang-ulang. Pemerintah menggambarkan manusia Papua, penduduk di wilayah yang baru
saja diintegrasikan itu, sebagai masyarakat yang masih sangat sederhana sedangkan
wilayahnya masih belum memiliki fondasi pembangunan ekonomi. Gambaran lengkapnya
sebagai berikut, “Masyarakat pedalaman Irian Jaya pada umumnya masih dalam taraf
kegiatan mencari/memenuhi kebutuhan makanan sendiri/keluarga sendiri.” Dokumen yang
sama menuliskan, “Tingkat sosial budaya dan pendidikannya sangat sederhana.”
Pada Repelita I Pemerintah pusat sebagai agen pembangunan yang paling berkuasa
pada masa-masa awal berfokus lebih pada infrastruktur transportasi laut, udara, dan darat
serta upaya untuk “meningkatkan kesadaran masyarakat menuju persatuan dan kesatuan
Nasional.” Repelita-repelita berikutnya memang mulai berfokus pada bidang yang lain,
seperti eksplorasi sumber-sumber daya alam. Inti pembangunan di Papua adalah mendorong
Papua untuk berkembang sebagai pusat pertumbuhan ekonomi yang baru. Amat jelas, arah
pembangunan masa itu adalah pencapaian angka pertumbuhan ekonomi yang tinggi.
Sepanjang riwayat pembangunan oleh pemerintah pusat, sekurang-kurangnya yang
tertera dalam dokumen, orang-orang Papua tampaknya tidak menjadi bagian yang penting.
Dalam Repelita III, pemerintah mengejar target di bidang hasil pertanian sehingga
membutuhkan tenaga kerja yang besar. Akibatnya, pemerintah menggenjot angka peserta
transmigrasi. Keputusan Presiden No.7/1978 tentang transmigrasi memberikan kerangka dan
landasan hukum yang kuat. Maka, wilayah-wilayah dataran rendah seperti Nabire, Klamono,
Genyem, dan Jayapura dibanjiri para migran dari Jawa yang dimulai sejak 1982. Orang-orang
ini menggarap sawah-sawah yang baru saja dicetak. Semua keperluan ditanggung oleh
pemerintah. Wajarlah kalau pemerintah menargetkan 140-200 ribu KK untuk bertransmigrasi
ke Papua.1
Pada Mei 1984, Presiden Soeharto mengumumkan bahwa pada Repelita IV,
transmigrasi memiliki peran yang krusial. “Para transmigran itu membawa dampak besar bagi
kemajuan pembangunan masa depan Indonesia dan terutama untuk upaya meletakkan fondasi
masyarakat Pancasilais yang sangat diharap-harapkan oleh bangsa ini” (Otten, 1986: 3).2
Transmigrasi telah menjadi penyumbang perubahan demografis yang serius di Papua
sehingga di wilayah-wilayah perkotaan jumlah populasi non-Papua mengungguli orang
Papua, dan secara ekonomi, yang pertama menguasai yang terakhir (Upton, 2009: 4).3
Ketika menyimak dokumen-dokumen pembangunan itu, saya menyimpan pertanyaan
yang cukup serius untuk saya pikirkan jawabannya. Sementara para transmigran itu diberi
peran untuk mengolah sawah dan mengupayakan pusat-pusat perkebunan baru untuk
mendorong pertumbuhan ekonomi; lantas apa peran yang dipercayakan kepada orang-orang
Papua? Apabila orang-orang dari Jawa itu dilihat sebagai tenaga kerja yang bisa memenuhi
tuntutan kebutuhan, apakah begitu juga dengan orang Papua? Pada ujungnya, pertanyaan
saya adalah siapakah orang Papua itu menurut negara? Pertanyaan lain yang mungkin
menyusul seketika adalah mengapa wacana semacam itu yang dikonstruksi oleh pemerintah?
1
Sejarah pemindahan penduduk ke Papua sudah terjadi sejak pemerintah Belanda berkuasa di Papua. Ketika
pemerintah Belanda membuka pos pemerintahan di Merauke pada awal dekade 1900-an, mereka memindahkan
penduduk dari Jawa untuk menopang pos itu. Pada masa Republik Indonesia, pemindahan penduduk sudah
dimulai dari skala kecil pada tahun 1963 ketika Soekarno menghimpun relawan untuk Papua, dan atas prakarsa
pemerintah masih berlanjut hingga menjelang akhir abad yang lalu. Di Nabire, tempat penelitian ini dilakukan,
program itu masih berjalan pada tahun 1998 ketika Departemen Transmigrasi dikepalai oleh A.M.
Hendropriyono.
2
Kutipan ini merupakan terjemahan saya atas kata-kata Soeharto yang dimuat di harian The Jakarta Post pada
28 Mei 1984 dalam Marriel Otten. (1986). Transmigrasi: Indonesia Resettlement Policy 1965-1985 IWGIA
Document 57, hlm. 3. Dalam bahasa Inggris tertulis demikian, “They will have a strong bearing on the progress
of development in Indonesia for the future, especially to the endeavors to lay down the foundation of the
Pancasilaist Society, long cherished by the nation.”
3
Tentang perubahan demografis dan dampaknya yang menyingkirkan orang asli Papua dari ranah ekonomi lihat
disertasi Stuart Upton. (2009). The Impact of Migration on the People of Papua, Indonesia. A historical
demographic analysis. University of New South Wales.
Gugus pertanyaan di atas muncul dalam benak saya ketika saya menyimak sejarah
pembangunan dan transmigrasi di Papua setelah integrasi. Dalam perkembangan berikutnya,
orang-orang Papua di kawasan urban menjadi termarjinalisasi. Selain minoritas dalam soal
jumlah populasi, mereka juga sekunder dalam soal keterampilan dan kemampuan
ketenagakerjaan. Tidak sedikit dari mereka kemudian hidup lontang-lantung tanpa masa
depan yang jelas. Seperti disimpulkan oleh penelitian LIPI (2009), orang-orang Papua
sungguh-sungguh terpinggirkan dan tertinggal jauh dari penduduk imigran. Akan tetapi,
sejauh ini usaha negara dalam hal ini pemerintah untuk memberdayakan penduduk lokal
Papua tidak tampak serius.
Dalam menguraikan jawaban atas gugus pertanyaan di atas itu, saya berusaha
menempatkan jawaban saya dalam kerangka sejarah Papua-Indonesia yang menjadi latar
belakang historis bagi konsep Pemerintah Indonesia dalam memandang orang Papua. Dalam
lintasan sejarah pembangunan dan mengacu pada penelitian di lapangan, saya melihat orang-
orang Papua ditampilkan oleh pemerintah sebagai kelompok yang membutuhkan
pembangunan sementara pemerintah dan para transmigran adalah kelompok yang melakukan
pembangunan. Pemerintah, yang dalam hal ini juga berperan sebagai agen pembangunan,
dalam dokumen-dokumen pembangunan mengategorikan masyarakat Papua sebagai
kelompok yang kurang berkembang. Maka, pemerintah memprogramkan serangkaian proses
pembangunan untuk masyarakat Papua.

1. Konteks Historis Relasi Indonesia-Papua


Papua sekarang adalah salah satu provinsi di Indonesia yang diatur secara khusus. Sejak
diberlakukan Undang-undang No. 21 tahun 2001 tentang otonomi khusus, pemerintah Papua
mendapatkan sejumlah kewenangan yang lebih luas untuk mengatur daerahnya dibanding
provinsi-provinsi yang lain.4 Undang-undang ini dipandang sebagai jalan tengah antara
kehendak pemerintah pusat yang menginginkan Papua tetap berada di NKRI dengan aspirasi
orang Papua untuk merdeka. Lewat Undang-undang itu, orang Papua dianggap bisa merdeka
tapi masih di dalam NKRI.
Papua, dahulu Irian Barat, masuk ke Indonesia melalui referendum yang dinilai
bermasalah oleh penduduk Papua dan oleh pihak-pihak luar, terutama yang menjadi saksi

4
Pasal 4 ayat 1 UU No. 21 tahun 2001 berbunyi, “Kewenangan Provinsi Papua mencakup kewenangan dalam
seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, moneter
dan fiskal, agama, dan peradilan serta kewenangan tertentu di bidang lain yang ditetapkan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.”
mata ketika pemungutan suara dilaksanakan pada Juli-Agustus 1969 (Drooglever, 2009).5
Pokok yang masih terus dipermasalahkan tentang plebisit itu adalah bahwa Indonesia tidak
melakukannya sesuai dengan yang ditentukan oleh Pasal 18 dan 20 New York Agreement.
Bukannya menyelenggarakan dengan prinsip satu orang, satu suara (one man, one vote),
referendum justru dilaksanakan dengan prinsip perwalian. Pemerintah Indonesia menetapkan
1.025 orang Papua untuk memutuskan bergabung atau tidak bergabung dengan Indonesia.
Lebih lagi, dalam perjanjian internasional itu, orang Papua tidak memiliki wakilnya
sama sekali. Tiga pihak yang berunding adalah Pemerintah Indonesia, Pemerintah Belanda,
dan Pemerintah Amerika Serikat. Orang Papua sendiri tidak turut menentukan nasibnya
dalam perjanjian itu. Sebaliknya, masa depan mereka ditentukan oleh orang-orang lain.
Artinya, Papua menjadi bagian dari NKRI melalui proses politik internasional yang
manipulatif. Bagi orang Papua, yang kala itu sudah membayangkan akan berdiri tegak
sebagai sebuah negara merdeka setelah disiapkan oleh Belanda pasca-Indonesia merdeka,
proses politik itu telah menumpas harapan mereka untuk menjadi negara merdeka. 6 Proses
referendum di bawah pengawasan PBB pun tidak menjadi proses bagi orang Papua untuk
secara bebas menentukan nasibnya sendiri.
Sejarah Papua sejak berada di bawah penguasaan Indonesia telah diwarnai oleh
perlawanan panjang yang sporadis oleh berbagai kelompok masyarakat. Kelompok terpelajar
Papua membuat reaksi dengan menggelar pertemuan komite nasional. Pemimpin Partai
Nasionalis (Parna), Herman Wayoi, dan seorang anggota Dewan Nugini, Nicolaas
Tanggahma, mengorganisasi pertemuan yang diikuti oleh sekitar 90 pemimpin Papua. Robin
Osborne mengatakan bahwa mereka terpaksa setuju untuk menerima pemindahan kekuasaan
dari Belanda ke United Nations Temporary Executive Administration (UNTEA) dan mereka
juga akan bekerja sama dengan UNTEA serta Pemerintah Indonesia. Mereka meminta
UNTEA untuk tetap menghormati bendera dan lagu kebangsaan mereka. Satu hal lagi,

5
Tentang referendum yang menentukan Papua atau Irian Barat masa itu masuk ke Indonesia silahkan lihat P. J.
Drooglever. (2010). TINDAKAN PILIHAN BEBAS!: Orang Papua dan Penentuan Nasib Sendiri. Yogyakarta:
Kanisius. Selain dari buku itu, cerita tentang bagaimana referendum dilaksanakan di bawah tekanan atau
ancaman masih bisa dituturkan oleh orang-orang Papua sendiri yang pada masa itu turut memberikan suara.
Ketika Orde Baru berkuasa, cerita seperti itu hanya bisa dituturkan di belantara hutan. Sekarang, para pelaku
dengan berani menuturkannya sembari diberi tekanan emosional yang menonjol. Lihat juga International Center
for Transitional Justice (2012). The Past That Has Not Passed: Human Rights Violations in Papua Before and
After Reformasi. ICTJ dan ELSHAM-Papua.
6
Ketika perundingan-perundingan antara Amerika Serikat, Belanda, dan Indonesia berlangsung, rakyat di Papua
sudah memiliki angan-angan untuk berdiri sebagai negara sendiri. Pada 1 Desember 1961, orang-orang sudah
menyebarkan bendera negara, yaitu Bintang Kejora, begitu pula alat-alat kelengkapan yang lain bagi sebuah
negara. Angan-angan untuk merdeka tersapu oleh fakta bahwa Indonesia yang memenangkan perundingan
setelah disokong diplomasi Amerika Serikat yang mencegah Indonesia berkiblat ke Blok Timur, dan bantuan
peralatan militer dari Uni Soviet agar Indonesia tetap bersahabat dengan Blok Timur.
mereka meminta referendum yang dijanjikan diselenggarakan pada tahun 1963 (Osborne,
2001: 68). Pada akhirnya, tidak satupun dari permintaan mereka itu dipenuhi. Periode
UNTEA secara de facto adalah kontrol Indonesia terhadap Papua (Pigay, 2001: 242).7
UNTEA menyerahkan pemerintahan atas Irian kepada Pemerintah Indonesia pada 1
Mei 1963. Akan tetapi, kehadiran orang Indonesia di sana telah dimulai sejak sebelumnya.
Operasi militer yang dimaksudkan untuk mengintegrasikan Irian Barat ke Indonesia sudah
diawali pada tahun 1961 (Rahab, 2010: 42).8 Sejak Soekarno menyerukan Trikora di
Yogyakarta, pemerintah sudah mengirimkan para penyusup ke Irian. Kemudian, pada tahun
1964, pemerintah mengirim para sukarelawan yang dinamai Tim Pelopor Pembangunan
Serba Guna atau Pelopor Pembangunan Irian Barat (TPPSG/PPIB). Tim ini dibentuk oleh
Presiden Soekarno. Mereka umumnya dari Jawa dan ditempatkan di Manokwari, Jayapura,
dan Merauke. Ada pula yang ditempatkan di pedalaman seperti di Enarotali. Banyak dari
mereka adalah guru dan juga tentara yang rela diberi peran sebagai pasukan pendahuluan
untuk bekerja membuka jalan dan sarana umum lainnya.9 Dengan lekas, Pemerintah
Indonesia mengambil peran sebagai pemerintah yang sah atas Irian. Pos-pos yang
sebelumnya ditempati oleh orang Belanda beralih tangan.
Setelah penyerahan administrasi oleh UNTEA, pemerintah mengambil kebijakan yang
bersifat politis (Pigay, 2001: 259). Jabatan gubernur diberikan kepada E.J. Bonay, seorang

7
Pada 31 Juli 1962 diadakan persetujuan sementara antara Indonesia dengan Belanda yang isinya memberatkan
Belanda sekaligus menegaskan kontrol Indonesia atas Papua sejak pemerintahan masih di tangan badan
sementara PBB. Isi perjanjian sementara itu: Pertama, setelah pengesahan persetujuan antara Indonesia dengan
Belanda maka selambat-lambatnya tanggal 1 Oktober 1962 penguasa dari Badan Pemerintah sementara PBB
(UNTEA) akan tiba di Irian untuk melakukan serah terima dari pemerintah Belanda. Saat itu juga bendera
Belanda diturunkan. Kedua, Pemerintah Sementara PBB (UNTEA) akan memakai tenaga-tenaga Indonesia baik
sipil maupun alat-alat keamanan Indonesia bersama-sama dengan putra-putri Irian sendiri, dan sisa-sisa pegawai
Belanda yang masih diperlukan. Ketiga, Pasukan-pasukan Indonesia tetap tinggal di Irian yang berstatus di
bawah kekuasaan sementara PBB. Keempat, Angkatan Perang Belanda mulai saat itu secara berangsur-angsur
dikembalikan. Yang belum berangkat akan ditempatkan di bawah pengawasan PBB, dan tidak boleh
dipergunakan untuk operasi-operasi militer. Kelima, antara Irian dan daerah Indonesia lainnya berlaku lalu lintas
bebas. Keenam, tanggal 31 Desember 1962 bendera Indonesia mulai berkibar di samping bendera PBB.
Ketujuh, pemulangan anggota sipil dan militer Belanda harus sudah selesai sebelum tanggal 1 Mei 1963 dan
selambat-lambatnya pada tanggal 1 Mei 1963 Pemerintah Indonesia secara resmi menerima Irian dari
Pemerintah Sementara PBB (Pigay, 2001: 242).
8
Rahab memberikan informasi pembabakan infiltrasi yang berharga bahwa “fase pertama ditujukan untuk
membentuk basis-basis gerilya dan mempersiapkan pembentukan pos terdepan bagi upaya penyerbuan Papua
oleh Indonesia. Dalam fase ini, sekitar 10 kompi prajurit ABRI dimasukkan ke Papua. Fase kedua adalah
melakukan serangan terbuka di beberapa daerah seperti Biak, Fak-fak, Sorong, Kaimana dan Merauke. Fase
ketiga adalah konsolidasi pasukan sebagai kekuatan militer Indonesia di Papua.”
9
Seluruh pasukan infiltran ini tunduk pada perjanjian New York, dan diatur ke dalam Kontingen Indonesia
(Kotindo) sebagai pasukan keamanan UNTEA. Pasukan Indonesia ini kemudian diperbantukan di United Nation
Security Force (UNSF) yang adalah aparat keamanan UNTEA. Namun, komando mereka tetap di tangan
Panglima Mandala. Maka, ABRI di Papua memiliki misi formal sebagai alat kelengkapan UNTEA dan di sisi
yang lain, atau misi informal, adalah kelanjutan dari Komando Trikora. ABRI bisa saja lebih mengawasi
UNTEA agar tidak merugikan Indonesia, dan agar bisa menekan kekuatan sosial politik orang Papua yang anti-
Indonesia (Rahab, 2010: 42-43).
putra daerah Irian, tetapi dalam pelaksanaan tugasnya dikontrol oleh militer, dan
dikoordinasikan dengan Wakil Perdana Menteri Pertama Koordinator Irian Barat. Tampak
bahwa yang memimpin Irian adalah putera daerahnya sendiri. Akan tetapi, menurut Pigay, ia
tidak berdaya untuk mengambil kebijakan. Inpres 1963 No.2-Rahasia Bab III pasal 2 ayat 7
mengatur bahwa gubernur dibantu oleh Dewan Pembantu dan Penasihat yang terdiri atas
Komando Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara di Irian Barat, Kepala
Kepolisian Komisariat Irian Barat, Kepala Kejaksaan Tinggi dan Kepala-kepala Dinas.
Aparatur pemerintahan di Irian Barat disebut sebagai Panca Tunggal.10
Sistem pemerintahan di Irian Barat dikendalikan oleh militer dan militer sangat
dominan, termasuk dalam mengontrol aparat pemerintah dan warga sipil. Siapa pun yang
akan menduduki jabatan publik harus disetujui oleh presiden setelah ia mendengar masukan
dari bawahannya. Militer juga diberi peran yang besar dalam pemerintahan sipil. Militer di
tingkat distrik dan desa mengordinasi aktivitas-aktivitas penyuluhan dan pengembangan
masyarakat ketika mekanisme sipil tidak berjalan. Militer juga dikerahkan untuk task forces
seperti membuka jalan-jalan raya (Pigay, 2001: 262).
Sejak Irian Barat masih disengketakan serta dibawa ke serangkaian perundingan,
Kodam XVII/Cenderawasih sudah disiapkan dua hari sebelum perjanjian New York
ditandatangani. Kodam XVII dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Menpangad No. KPTS-
1058/8/1962 tanggal 8 Agustus 1962. Kodam ini baru dapat diwujudkan setelah Irian Barat
diserahkan kepada Pemerintah Indonesia. Cukup banyak diketahui bahwa militer juga hadir
dalam berbagai operasi militer seperti Operasi Sadar, Operasi Bratajudha, Operasi Wibawa,
dan Operasi Pamungkas.11 Tidaklah salah untuk memiliki kesan bahwa wajah Indonesia
tampak militeristik di hadapan orang-orang Papua kala itu. Tentara hadir di mana-mana, dan
untuk tugas apa saja.

10
Informasi yang cukup penting untuk membangkitkan gambaran pemerintah di Irian Barat masa itu tentang
Panca Tunggal saya kutip dari Pigay sebagai berikut, “Pantja Tunggal dibentuk berdasarkan keputusan Presiden
1964/71 guna memperingati ketahanan dan kesiap-siagaan revolusi Indonesia, mewujudkan swadaya dan
swasembada dalam rangka pengerahan segala dana dan daya masyarakat serta guna memberantas segala pikiran
dan pelaksanaan yang masih bersifat rutin konvensional yang ada pada masyarakat seperti pemberantasan
kelompok-kelompok yang menginginkan kemerdekaan Papua Barat. Selanjutnya berdasarkan Instruksi Wakil
Perdana Menteri I No.6/B/instr/tahun 1965 tentang pedoman pokok pelaksanaan musjawarah Pantja Tunggal
Irian Barat. Berdasarkan peraturan tersebut, Pantja Tunggal bagi Propinsi Irian Barat terdiri dari: Gubernur Irian
Barat, Panglima Komando Daerah Militer XVII/Tjenderawasih, Panglima Komando Daerah Maritim VII,
Panglima Regional Udara IV, Panglima Komando Daerah Angkatan Kepolisian XXI, Kepala Kedjaksaan Tinggi
di Sukarnopura, Ketua Pengadilan Tinggi Sukarnopura, Ketua Front Nasional Daerah Propinsi Irian Barat, dan
Rektor Universitas Cenderawasih. Kemudian Pantja Tunggal berlaku juga bagi setiap kabupaten yang ada di
Irian Barat” (Pigay, 2001: 259-260).
11
Tentang operasi militer di Papua secara sekilas dapat dilihat di Rahab, 2010: 39-67.
Kehadiran Indonesia di Papua mendapat reaksi keras dari sekelompok orang.
Pemberontakan bersenjata pertama kali pecah pada 26 Juli 1965 di Kebar, Manokwari.
Johannes Djambuani memimpin 400-an orang dari suku Karun dan Ayamaru. Kemudian,
pada 28 Juli 1965 perlawanan serupa muncul yang dipimpin oleh Permanas Ferry Awom
dengan 400-an pengikutnya dari suku Biak, Ayamaru, Serui, dan Numfor. Mereka menyerang
asrama Yonif 641/Tjenderawasih I. Tiga prajurit ABRI tewas. Perlawanan juga digalang oleh
Lodewijk Mandatjan dari suku Arfak, Manokwari. Ia mengajak pengikutnya untuk lari masuk
ke dalam hutan (Rahab, 2010: 47).
Setelah penyerangan itu, ABRI melancarkan operasi militer untuk menumpas
gerakan-gerakan perlawanan OPM. Mereka bergerak untuk menghabisi basis-basis
perlawanan masyarakat di sekitar Manokwari sejak 10 Agustus 1965. Targetnya adalah
menangkap hidup ataupun mati para pemimpin pergerakan. Terbukti perlawanan orang Papua
terhadap tentara berumur panjang. Konflik-konflik bersenjata antara orang Papua, yang oleh
Pemerintah Indonesia dikategorikan sebagai kelompok separatis, dengan tentara Indonesia
mengakibatkan sejarah Papua mengalir dengan darah dan menelan korban nyawa.
Masih ada kewajiban yang harus dituntaskan menurut Perjanjian New York, yaitu
menyelenggarakan Referendum atau Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) sebelum tahun
1969 berakhir. Perjanjian itu menjamin orang Papua untuk secara bebas memilih nasib
mereka: bergabung ke Indonesia atau berdiri sendiri sebagai negara merdeka. Tentang
penyelenggaraan Referendum ini, Pigay menulis bahwa Indonesia mengajukan protes ke
PBB agar tidak perlu menyelenggarakan referendum. Selain menyampaikan langsung,
Pemerintah Indonesia menggunakan putera Irian yang pro-Indonesia untuk membuat
pernyataan-pernyataan yang mendukung integrasi ke Indonesia (Pigay, 2001: 276).12
Perubahan situasi politik pasca-penyerahan pemerintahan dari UNTEA kepada
Pemerintah Indonesia menguntungkan Indonesia dalam rangka memenangkan referendum
yang digelar pada Juli hingga Agustus 1969. Dengan segala cara, Pemerintah Indonesia
membuat agar referendum menghasilkan Irian Barat berintegrasi ke Indonesia. Penolakan
masyarakat di Paniai terhadap Pepera diatasi dengan operasi bersenjata. Sementara itu, para
pemimpin lokal yang berpotensi menyusahkan dibungkam lebih dulu.
Sejarah relasi antara Papua dengan Indonesia sejak masa integrasi hingga sekarang
masih berkisar pada tegangan antara mempertahankan Papua sebagai wilayah NKRI dengan

12
Pada bagian ini, Pigay memberikan keterangan yang lebih detil. Pernyataan itu dimulai di Manokwari pada
tahun 1962 dan terus berlangsung ke tempat-tempat lain sampai tahun 1968, sebelum Pepera dilaksanakan.
Jumlahnya bervariasi. Pada 1962 ada 21 pernyataan, pada 1963 ada 25 pernyataan, pada 1964 ada 7 pernyataan,
pada 1965 ada 4 pernyataan, dan pada 1968 ada 35 pernyataan.
melepaskan Papua untuk merdeka sebagai negara sendiri. Di masa lalu, upaya Pemerintah
Indonesia untuk mempertahankan Papua bercorak militeristik.
Sementara, meskipun ada gerakan-gerakan bersenjata, perlawanan sipil di antara
orang Papua terus berkembang. Arnold Ap, Kepala Museum Antropologi Universitas
Cenderawasih, membungkus gerakan yang membangkitkan nasionalisme orang Papua pada
1970-an hingga awal 1980-an dengan merayakan kultur lokal melalui grup musik Mambesak.
Kemudian, Dr. Thomas Wanggai, seorang doktor administrasi negara, pada tahun 1988
mengibarkan bendera Bintang Kejora di Jayapura. Ia kemudian ditangkap, dan dipenjara
selama 20 tahun dengan tuduhan makar. Ia meninggal di penjara pada tahun 1996. Pada tahun
1998, Filep Karma, seorang pegawai negeri sipil di Biak, memimpin pengibaran bendera
Bintang Kejora di menara air di kota Biak. Setelah berkibar selama beberapa hari, dan orang-
orang digiring untuk berkumpul di bawah menara air itu, terjadilah insiden pada awal Juli
1998 yang dikenang sebagai Biak Berdarah. Kemudian, pada tahun 2000 masyarakat Papua
juga menggelar Musyawarah Besar (Mubes) Rakyat Papua di Jayapura yang diikuti
penangkapan dan pemenjaraan pemimpinnya, antara lain Forkorus Yaboisembut, dengan
tuduhan makar.
Di luar negeri, para tokoh Papua terus menggalang dukungan internasional. Isu Hak
Azasi Manusia (HAM) menjadi basis pergerakan nir-kekerasan mereka. Di bawah kekuasaan
Indonesia, Papua mengalami serangkaian pelanggaran HAM berat. 13 Mereka mendapat
tambahan kekuatan dari para intelektual, termasuk dari berbagai negara di Asia, Eropa, dan
Amerika yang simpatik dengan Papua.14
Sementara itu aspirasi merdeka di Papua yang sifatnya diam-diam (clandestine)
sampai saat ini masih belum cukup terdokumentasikan dengan baik. Meski begitu, dalam
berbagai kesempatan, mereka mengartikulasikan aspirasi ini dalam percakapan sehari-hari.
Saya cenderung berpendapat bahwa hingga saat ini relasi Indonesia dengan Papua masih
terus diwarnai dinamika antara mempertahankan Papua, yang diwakili slogan “NKRI harga
mati”, dengan aspirasi memerdekakan Papua.

13
Asian Human Rights Commission yang berbasis di Hongkong bersama dengan Human Rights and Peace for
Papua menerbitkan laporan dwibahasa Indonesia-Inggris berjudul The Neglected Genocide (Genosida yang
Diabaikan): Human rights abuses against Papuan in Central Highlands 1977-1978. Sementara laporan tahunan
tentang HAM di Papua sejak pertengahan dekade 1990-an secara rutin diterbitkan oleh Sekretariat Keadilan dan
Perdamaian (SKP) Keuskupan Jayapura dengan serial Memoria Passionis.
14
Pada pokok ini, menurut hemat saya, agak terlalu tendensius dan kurang beralasan untuk menautkan begitu
saja kiprah para intelektual dengan kepentingan modal. Saya memilih untuk tidak menjangkau pembahasan ke
arah ini. Saya pikir keprihatinan dan kepedulian mereka yang menonjol terlihat dan konsisten soal Papua adalah
menyangkut HAM. Klaim ini saya buat antara lain didasarkan pada kritik-kritik mereka terhadap Freeport yang
terlibat dalam pelanggaran HAM di Papua.
Setelah Orde Baru jatuh pada tahun 1998, sejarah relasi Indonesia-Papua ditandai
dengan upaya-upaya serius dari para intelektual, baik di Jakarta maupun di Papua, yang
menggagas dialog Jakarta-Papua sebagai upaya damai menyelesaikan masalah Papua.
Muridan S. Widjojo dari LIPI dan Neles Tebay, seorang imam Katolik dari Keuskupan
Jayapura, melalui Jaringan Damai Papua (JDP), terus menyebarluaskan gagasan dialog
Papua-Jakarta kepada banyak pihak: kepada para elit di Papua dan Jakarta, kepada orang-
orang asli Papua, dan kepada para pemangku kepentingan yang lain di Jakarta serta Papua.
Sumbangan yang cukup serius diberikan oleh tim kajian LIPI---Muridan ada di dalamnya---
berupa buku Papua Road Map: Negotiating the Past, Improving the Present, and Securing
the Future (2009) yang memetakan jalan keluar untuk permasalahan yang membelit Papua.
Meskipun prakarsa dialog ini mendapatkan banyak dukungan, termasuk dari orang asli
Papua, baik dari Papua maupun Papua Barat, yang berkumpul di Hotel Sahid, Entrop, Papua
pada Juli 2013 bersama Majelis Rakyat Papua (MRP),15 sampai tulisan ini selesai, masih
belum ditanggapi secara tuntas dan memuaskan oleh pemerintahan SBY.
Jatuhnya rezim otoriter Orde Baru membuka katup perlawanan orang Papua. Inilah
masa yang disebut sebagai “Papuan Spring” atau musim semi Papua mengingat gerakan-
gerakan sipil dan politik yang lama berderap di bawah tanah, kini tampil di permukaan dan
semakin menguat guna menyerukan aspirasi untuk merdeka (van den Broek dan Szalay 2001;
Chauvel 2002; Chauvel 2005:10). Sebagai jalan tengah antara kehendak Papua untuk
merdeka dengan Pemerintah Indonesia yang tidak ingin Papua lepas, Pemerintah Indonesia
pada masa Megawati memberikan otonomi khusus (UU No.21/2001) kepada Provinsi Papua.
Melalui undang-undang ini, Pemerintah Provinsi Papua memiliki kewenangan yang cukup
luas untuk mengatur sendiri Papua.
Tidak seperti diharapkan oleh Pemerintah Indonesia, kebijakan otonomi khusus
rupanya tidak menjadi obat yang cukup ampuh untuk meredam keinginan orang Papua untuk
merdeka dan lepas dari NKRI. Apalagi, kebijakan otonomi khusus tidak berhasil mengubah
kehidupan mereka secara signifikan. Laporan ekspedisi jurnalistik Kompas pada Agustus
2007 tentang pendidikan, yang menurut UU Otonomi Khusus mendapatkan porsi anggaran

15
Majelis Rakyat Papua (MRP) pada 24-27 Juli 2013 menggelar Rapat Dengar Pendapat dengan orang asli
Papua yang mewakili seluruh kabupaten di Provinsi Papua dan Papua Barat—mereka berasal dari tujuh wilayah
adat di Pulau Papua—di Hotel Sahid Papua, Entrop, Jayapura. Dalam rangka mengevaluasi pelaksanaan
Otonomi Khusus, perwakilan orang asli Papua menilai Otonomi Khusus telah gagal. Sebagai tindak lanjut
menyelesaikan masalah Papua-Jakarta mereka merekomendasikan dua hal. Pertama, mengadakan dengan segera
dialog Papua-Jakarta di tempat yang netral dengan dimediasi oleh pihak ketiga yang netral juga. Kedua,
perubahan atas Undang-Undang Otonomi Khusus 2001 hanya akan dilakukan setelah didahului oleh dialog
Jakarta dan Papua
cukup besar di samping kesehatan dan infrastruktur, melukiskan dengan sangat gamblang
keadaan yang parah itu. Oleh karena itu, orang-orang Papua membutuhkan bukti nyata
kehadiran otonomi khusus.16 Lama sebelumnya, rakyat Papua sudah merasakan bahwa
Otonomi Khusus tidak berdampak pada mereka. Pada tahun 2005, Dewan Adat Papua
bersama massa rakyat Papua dalam jumlah ribuan berdemonstrasi menggotong keranda
mayat berkerudung hitam. Pada keranda itu, mereka menuliskan Otsus. Secara simbolik,
mereka menilai bahwa otonomi khusus sudah mati atau tidak bermanfaat untuk orang-orang
Papua.17 Ungkapan-ungkapan serupa yang menilai otonomi khusus tidak banyak artinya
untuk orang-orang Papua, tapi memiliki arti bagi elite lokal Papua, jamak terdengar dalam
Rapat Dengar Pendapat Majelis Rakyat Papua di Jayapura. 18 Setelah Otonomi Khusus
berjalan lebih dari satu dekade, ketegangan yang menandai sejarah Papua di dalam NKRI
masih terus ada, termasuk upaya-upaya kreatif dari badan-badan non-negara atau individu-
individu berpengaruh untuk menata ulang hubungan itu, dan memulai sejarah Papua yang
baru.

2. Pembangunan: Menumpas Nasionalisme Papua dan Mengonstruksi Identitas


Setelah memenangkan referendum tahun 1969 yang disahkan dalam sidang di Majelis Umum
PBB, Indonesia bisa mengklaim secara legal bahwa Papua merupakan bagian sah dari NKRI.
Akan tetapi, sejak beberapa tahun sebelumnya dan sampai sekarang ini, organisasi-organisasi
lokal, regional, maupun internasional masih terus mempertanyakan posisi Indonesia.
Kampanye luas yang mendesak penyelidikan dan pengakuan bahwa terjadi pelanggaran
HAM berat di Papua masih terus berlangsung, dan cenderung semakin meluas. Iklim
demokratisasi yang berkembang di Indonesia lebih memungkinkan gerakan sipil seperti itu
menyebar. Orang-orang Papua lebih berani mengartikulasikan pengalaman kekerasan oleh
negara.19 Undang-undang Otonomi Khusus menetapkan juga pembentukan Komisi

16
“Papua Butuh Bukti Nyata Otonomi Khusus” dimuat di harian KOMPAS, 18 November 2009. Laporan
jurnalistik yang senada adalah “Otonomi Khusus Belum Berasa” dimuat di harian KOMPAS, 24 Februari 2010.
17
Muridan S. Widjojo berpendapat bahwa kegagalan kebijakan otonomi khusus sudah dimulai sejak
perencanaan karena tidak melibatkan seluruh pihak baik yang pro- maupun yang anti-Jakarta di Papua. Ia
mengatakan, “Pihak-pihak yang berkonflik, seperti Organisasi Papua Merdeka (OPM) serta faksi lain yang pro-
kemerdekaan maupun pihak Jakarta yang pro-NKRI, tidak pernah duduk bicara dan menyusun jalan keluar. Ini
yang membuat pelaksanaan otsus tidak terasa karena tidak ada legitimasi dari pihak yang berkonflik” (lih.
KOMPAS, 18 November 2009).
18
Lihat catatan kaki no. 17 di atas.
19
Sebagai contoh Decki Zonggonau dan Ruben Edowai atas inisiatif sendiri membuat laporan historis dengan
judul Kronologis Sejarah Pelanggaran HAM di Kabupaten Paniai (Pegunungan Tengah) Propinsi Irian Jaya
pada tahun 1999. Tragedi kekerasan di Paniai kurang disorot dibandingkan yang terjadi di perbatasan dengan
PNG (Papua New Guinea) atau yang terjadi di wilayah pesisir Papua.
Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) yang hingga sekarang belum ditindaklanjuti oleh
pemerintah.
Sejarah pembangunan Papua oleh Pemerintah Indonesia sulit untuk dilepaskan dari
upaya-upaya meredam perlawanan orang Papua atau untuk memangkas potensi-potensi
perlawanan. Dengan kata lain, Indonesia memiliki kepentingan yang cukup besar untuk
mempertahankan keutuhan NKRI dari Sabang sampai Merauke. Pemerintah Indonesia
menyadari bahwa orang-orang Irian Barat tidak sepenuhnya menyambut kehadirannya.
Kekuatan-kekuatan politik yang berjuang untuk Papua merdeka dari masa sebelum integrasi
tidak lenyap. Perlawanan lokal bersenjata tradisional telah terjadi sebelum integrasi. 20 Di
samping itu, kenyataan yang sulit untuk disangkal adalah berkembangnya nasionalisme
Papua yang semarak menjelang integrasi.
Nasionalisme Papua yang telah bersemi sebelumnya disikapi sebagai sebuah
kenyataan yang memerlukan pembanding. Agenda Indonesianisasi atau usaha-usaha untuk
mengakulturasi nasionalisme Indonesia di Papua termasuk dalam prioritas pembangunan.
Gietzelt melihat proses Indonesianisasi itu adalah upaya sistematis untuk mengindoktrinasi
orang-orang Papua menjadi Indonesia. Proses itu ditempuh dengan penanaman pandangan-
dunia (Pancasila), pembangunan, dan transmigrasi (Gietzelt, 1989). Boleh jadi Gietzelt bisa
memberikan gambaran yang umum bahwa proses Indonesianisasi melibatkan pula proses
dominasi terhadap orang asli Papua. Catatan yang penting terhadap penelitian Gietzelt adalah
bahwa ia terbatas melihat proses Indonesianisasi seolah-olah bergerak hanya dari satu sisi,
yaitu Indonesia. Gietzelt luput menggambarkan adanya proses sebaliknya, yaitu orang-orang
Papua, tentu dalam jumlah yang lebih sedikit, yang terbuka terhadap proses asimilasi yang
antara lain tampak dalam perkawinan campuran.21
Bila membuka kembali dokumen pembangunan Repelita I (1969) yang dikeluarkan
pemerintah, kita akan mendapati jejak bahwa membangun nasionalisme Indonesia di antara
orang Papua adalah salah satu agenda yang penting. Supriyono (2012) menulis tentang
pembangunan di Papua sebagai berikut,
“Legitimasi yang lain untuk pembangunan di Papua adalah nasionalisme. Bukan lagi
rahasia bahwa pemikiran tentang pembangunan juga mencakup agenda pembentukan
nasionalisme Indonesia di kalangan orang Papua (Gietzelt, 1989; Rutherford, 2001).
Rumusan dalam dokumen pembangunan berbunyi, “meningkatkan kesadaran masyarakat
menuju persatuan dan kesatuan Nasional.” Repelita I memprioritaskan juga semua usaha
untuk membangun kesadaran orang Papua sebagai bagian dari Indonesia. Dalam kata lain,

20
Contoh perlawanan lokal di antara orang Mee di Paniai dapat dilihat di Pigay, 2001.
21
Dalam penelitian lapangan saya di Nabire pada 2011, dua puluh tahun lebih setelah tulisan Gietzelt terbit,
saya bertemu dengan orang-orang Papua yang tertarik untuk belajar keterampilan praktis dari orang-orang
transmigran. Saya juga menyaksikan orang-orang Mee yang belajar pertanian pada orang-orang Jawa.
ada kesadaran di antara orang Papua bukan sebagai bagian dari Indonesia, melainkan
sebagai bangsa yang berdiri sendiri.” (Supriyono, 2012: 74)

Nasionalisme Papua, yang telah berkembang sejak masa pendudukan Jepang


(Chauvel, 2005), dipandang sebagai kondisi potensial yang membahayakan kehadiran
Indonesia. Lebih lagi, di dataran tinggi pegunungan tengah, orang-orang suku Mee telah
memiliki pengalaman historis berperang melawan tentara Indonesia dalam rangka menolak
penyelenggaraan Pepera pada tahun 1969. Bahkan, sejak sebelum Pepera hingga tahun-tahun
ini, semangat perlawanan yang dulu dikomandani oleh Thadius Yogi berhasil diwariskan
kepada anak-anak dan pengikutnya yang berbasis di hutan-hutan di dataran tinggi
Pegunungan Tengah. Kendati belum banyak ditelisik, wilayah pegunungan tengah sekitar
Paniai pernah menjadi wilayah operasi militer seperti kawasan lain di provinsi ini.22
Perlawanan-perlawanan yang mengekspresikan nasionalisme Papua juga telah menjadi
sejarah panjang di antara orang Biak dan Numfor di sebelah utara Pulau Papua.
Persoalan nasionalisme Papua adalah isu yang serius bagi Pemerintah Indonesia,
bukan hanya ketika awal-awal integrasi tetapi hingga sekarang ini. Dari percakapan-
percakapan saya dengan beragam informan di Papua—antara lain yang mengalami masa-
masa persis setelah Pepera tahun 1969, dan yang mengalami masa-masa sesudahnya—
muncul kesan bahwa nasionalisme Indonesia ibarat suatu barang asing yang dicangkokkan
secara koersif.23 Secara metaforis, Pak Edowai mengatakan “Kami ini dipaksa menikah
dengan pemuda yang tidak kami cintai.”24 Dengan kata lain, proyek besar Pemerintah
Indonesia di Papua adalah menghancurkan nasionalisme Papua, dan menggantikannya
dengan nasionalisme Indonesia.
Agenda lain yang cukup penting bagi rezim Orde Baru bersangkutan langsung dengan
paradigma pembangunan. Arah pembangunan masa itu adalah proses mengejar pertumbuhan
ekonomi. Pulau Papua yang sangat kaya dengan sumber daya alam memenuhi kriteria untuk
menjadi pusat pertumbuhan ekonomi yang baru di wilayah timur Indonesia. Pemerintah
segera mengidentifikasi kota-kota seperti Sorong, Manokwari, Nabire, Jayapura, Timika dan
beberapa kota lain sebagai pusat kegiatan ekonomi eksploitatif. Sejak tahun 1967, sebelum
Pepera dilakukan, rezim Orde Baru sudah memberikan izin kepada PT. Freeport untuk

22
Percakapan penulis dengan Ruben Edowai di Nabire, pada 14 Maret 2012. Lihat juga catatan Decki
Zonggonau dan Ruben Edowai seperti saya sebut di catatan kaki no. 19
23
Tentang sejarah bagaimana nasionalisme Indonesia ditumbuhkan di antara orang Papua bisa dilihat disertasi
Bernarda Meteray (2012) yang kemudian diterbitkan menjadi Nasionalisme Ganda Orang Papua. Jakarta:
Penerbit Buku Kompas.
24
Percakapan penulis dengan pak Edowai yang terjadi di Nabire pada 14 Maret 2012.
berinvestasi di bidang pertambangan di Timika. Pemerintah mendirikan perusahaan
pengalengan ikan di Sorong. Kemudian, pemerintah juga membuka perusahaan kayu di
Holtekamp, Jayapura. Untuk mencapai tujuan pembukaan pusat-pusat perekonomian yang
baru itu, pemerintah membangun infrastruktur perhubungan laut, darat, dan udara. Prasarana
perhubungan ini berguna sekaligus untuk efektivitas pemerintahan, menyambungkan Papua
dengan pusat demi menstabilkan situasi politik di Papua.
Pada tahapan perencanaan pembangunan selanjutnya, sekitar dekade 1980-an yang
bertujuan mencapai swasembada beras, pemerintah mencetak ribuan hektar sawah di pesisir-
pesisir Papua. Program ini dibarengi dengan mendatangkan para imigran dari Jawa. Orang-
orang dari seberang itulah yang kemudian dipercaya untuk menggarap sawah, dan diberi
peran oleh negara untuk terlibat dalam pembangunan negara, yakni swasembada pangan.
Orang-orang Papua tidak memiliki pengalaman menggarap sawah. Seperti orang-
orang Dayak di Kalimantan, mereka adalah peladang berpindah. Padi adalah jenis tanaman
pangan yang relatif baru mereka kenal. Artinya, kecakapan praktik bertani orang Papua tidak
cocok dengan kebutuhan pembangunan. Untuk merespon model pembangunan seperti itu,
saya menulis:
“Pemerintah mendekati Papua dalam kerangka pikir yang cenderung Jawa-sentris sejak
permulaan yang diperlihatkan dengan penjajakan penanaman padi di Merauke, di daerah
Kumba, serta di Dosasi Jayapura. Dosasi dianggap lebih berprospek dan untuk menangani
proyek itu pemerintah mendatangkan transmigran dari Jawa.” (Supriyono, 2012: 77)

Pembangunan di tangan pemerintah pusat berfungsi sebagai kategori demografis yang


mendudukkan orang Papua sebagai masyarakat yang tidak sesuai dengan kebutuhan
pembangunan, dan orang dari luar Papua (migran) sebagai kelompok yang sebaliknya.
Orang-orang Papua tidak memiliki kemampuan untuk mengambil peran dalam pembangunan.
Mereka tidak mampu mengolah sawah dan menghasilkan beras. Dihadapkan kepada para
pendatang dari Jawa, orang-orang Papua ini terlihat sebagai ‘masyarakat terbelakang’ yang
masih membutuhkan pembangunan. Tidak jarang dalam ungkapan keseharian, orang Papua
disebut sebagai primitif. Orang-orang Papua terlihat lebih inferior dibandingkan dengan
kelompok yang lain. Orang-orang Papua menjadi warga kelas dua.
Pandangan pendatang yang merendahkan orang Papua kadangkala masih terungkap.
Perasaan sebagai kelompok yang superior juga hidup di antara para pendatang. Pada suatu
hari Minggu di bulan Oktober 2007, bertempat di Kapel di Wanggarsari, saya bertemu
dengan seorang imigran di kampung yang mayoritas penduduknya imigran. Ketika dibuka,
satuan pemukiman ini didesain sebagai wilayah campuran antara imigran dari Jawa dengan
orang-orang Papua. Bapak itu mengatakan bahwa ia, dan para imigran lain, dikirim ke Papua
untuk memajukan orang Irian. Meskipun percakapan berlangsung pada tahun 2007, ia masih
menggunakan nama “Irian”.25 Kehadiran para pendatang, yang jumlah populasi di wilayah
urban sudah mengungguli orang asli Papua, secara objektif sudah mendominasi sektor
ekonomi dan terus membuat orang asli Papua merasa terancam.26
Pembangunan dialami oleh orang Papua sebagai suatu sejarah yang paradoksal.
Proses pembangunan berhasil mengonstruksi episteme yang mengeksklusi orang Papua atau
menjebak mereka pada kerangka pengetahuan bahwa orang Papua adalah warga kelas dua
yang tidak punya cukup kemampuan dibandingkan kelompok etnis yang lain. Selanjutnya,
konsep ‘orang tidak mampu’ bermanfaat untuk merongrong, melemahkan, atau membuat
orang meragukan bahwa orang Papua bisa merdeka dan cakap mengurusi negaranya. Pihak-
pihak luar yang sekadar menyaksikan lewat selembar foto atau secuil berita tentang orang
Papua ‘yang terbelakang’ diarahkan tanpa sadar untuk melegitimasi pembangunan yang
dilakukan negara. Mereka dibujuk untuk menyetujui gagasan bahwa orang Papua adalah
masyarakat terbelakang yang perlu dibangun.

3. Jejak Kolonialistik Pembangunan


Pada bagian sebelumnya, tulisan ini menyajikan analisis bahwa nasionalisme Indonesia
menjadi agenda penting untuk menggantikan nasionalisme Papua yang telah bertumbuh-
kembang sejak sebelum integrasi dan menjadi semakin subur berkat integrasi. Kemudian,
saya terkenang pada percakapan di tengah malam 14 Maret 2012 dengan Pak Edowai di teras
rumahnya. “Dari mana Indonesia mendapatkan wewenang untuk mengindonesiakan orang
Papua?” Lalu pertanyaan itu ia jawab sendiri, “Indonesia memberi kuasa pada dirinya
sendiri.”27
Percakapan sampai dini hari itu berisi gugatan terhadap kehadiran Indonesia di Papua.
Berkali-kali Pak Edowai mengatakan tidak pernah orang Papua meminta Indonesia
melepaskan Papua dari penjajahan Belanda. Malah, ia sendiri menganggap Belanda tidak

25
Presiden Abdurahman Wahid mengembalikan nama Papua pada 1 Januari 2000. Bagi orang Papua,
pengembalian nama ini bermakna pengakuan terhadap identitas mereka sebagai orang Papua, nama mereka
sendiri. Sedangkan, nama Irian adalah nama yang diberikan oleh orang lain (baca: pemerintah) terhadap mereka.
Freddy, informan penelitian saya, mengatakan bulu-bulu di tangannya berdiri ketika disebut sebagai orang Irian.
Ungkapan ‘bulu yang berdiri’ menandakan ketidaksukaan yang sampai pada tingkat tersinggung dan marah
karena merasa tidak diakui.
26
Pandangan seperti ini terungkap dengan sangat jelas dalam Rapat Dengar Pendapat Majelis Rakyat Papua di
Jayapura 24-27 Juli 2013. Di antara mereka, banyak yang mendesak diberlakukannya pembatasan migrasi
masuk dari luar Papua.
27
Percakapan dengan Bapak Edowai di Nabire, 14 Maret 2012
menjajah Papua. Dengan nada geram dan suara gemetar, sebaliknya ia mengatakan,
“Indonesialah yang menjajah Papua!”
“Pernahkah Papua mengundang Indonesia untuk datang dan membangun di sini?
Tidak pernah.” Pertanyaan yang juga bisa disodorkan: “Apa yang membuat pemerintah
merasa punya kuasa untuk menempatkan keluarga-keluarga suku Mee tinggal diapit dua
rumah penduduk imigran dari Jawa yang bahasanya tidak mereka mengerti?” Satu pihak
merasa lebih berhak atau berkuasa atas pihak yang lain. Dia merumuskan bahwa Anda
membutuhkan ini, dan ini tetapi bukan itu.28 Sangat jelas, orang-orang Papua tidak pernah
mengundang dan meminta pertolongan kepada bangsa asing untuk mengubah keadaan hidup
mereka.
Dalam sejarah Papua, yang pada masa Belanda disebut West New Guinea, praktik-
praktik pemerintah yang dimaksudkan untuk kepentingan memasukkan populasi pulau itu ke
dalam administrasi demi kepentingan pembangunan telah jamak. Sangat jelas bahwa Belanda
memiliki kepentingan kolonialistik di Papua. Kendati Belanda mendirikan pos-pos di wilayah
pesisir Papua pada tahun 1898, jangkauan administrasi mereka bisa dikatakan hampir tidak
menyentuh penduduk pulau itu. Pekerjaan administrasi dipraktikkan pula oleh para
misionaris Protestan di pesisir utara dan Katolik di pesisir selatan untuk penanganan penyakit
epidemik serta pembukaan sekolah yang disubsidi oleh Gereja (Wolf dan Jaarsma, 1992:
110).29
Untuk keperluan pemerintahan itu pula, Pemerintah Belanda membuka Kantoor voor
Bevolkingszaken (Kantor Urusan Penduduk Setempat) yang bertugas untuk mengumpulkan
segala informasi, bukan hanya tentang sumber daya alam, tapi juga tentang orang Papua
(Wolf dan Jaarsma, 1992). Salah satu tugas dari para staf kantor ini adalah memimpin,
menginisiasi, dan mengevaluasi riset sosial ekonomi. Masih menurut penelitian Wolf dan
Jaarsma, baik riset dari kantor pemerintah maupun dari para misionaris memiliki tujuan luas
yang sama, yakni pasifikasi dan akulturasi.30 Patokan pemerintah untuk tujuan umum ini

28
Literatur yang mendalami pertanyaan ini adalah Li, Tania. (2007). The Will to Improve: Governmentality,
Development, and The Practice of Politics. Durham dan London: Duke University Press.
29
Wolf, J.J. de dan Jaarsma, S. R. (1992). “Colonial Ethnography: West New Guinea (1950-1962). Bijdragen tot
de Taal-, Land- en Volkenkunde / Journal of the Humanities and Social Sciences of Southeast Asia, Deel 148,
1ste Afl., hlm 110. Di Kokonao, Distrik Mimika Barat, peninggalan aksi-aksi pembangunan dari para misionaris
yang mulai bekerja pada tahun 1927 masih bertahan hingga sekarang. Di sana, para misionaris Katolik
membuka kampung di pesisir dan berhasil membangun sekolah berasrama, gereja, rumah sakit, dan kursus
untuk para perempuan. Pada tahun 1949, Pemerintah Belanda memindahkan penduduk dari Kiyura Gunung ke
sebuah kampung yang dinamai sama tapi di di wilayah pesisir. Untuk menjalankan karya-karya itu, para
misionaris mendatangkan para guru dari wilayah Kei.
30
Pemaknaan yang berbeda di antara pemerintah dan gereja tentang pasifikasi dan akulturasi diterangkan
sebagai berikut. Bagi misionaris, makna keduanya tidak terlepas dari tugas yang mereka emban: Kristenisasi
sederhana saja, yakni terjaganya tatanan, dan pencegahan terhadap kerusuhan sosial, dan
implementasi yang tepat untuk tujuan pembangunan ekonomi, sosial dan politik (Wolf dan
Jaarsma, 1992). Pemerintah Belanda merekrut tenaga-tenaga dari kawasan Indonesia bagian
timur untuk mencapai beberapa tujuan tersebut (Chauvel, 2005).
Tiga golongan penduduk yang menghuni Papua pada masa pendudukan Belanda
adalah orang asli Papua, orang-orang dari kawasan Indonesia timur (Manado, Ambon, Kei,
dan lain-lain) yang sudah terdidik, dan para orang Belanda (misionaris, zending, dan pegawai
pemerintah). Orang-orang dari Eropa berada di posisi yang paling tinggi, orang dari
Indonesia timur berada di kelas menengah, dan orang asli Papua berada di dasar piramida.
Dalam dinamika sehari-hari, orang-orang Papua kadang diperlakukan kasar atau menjadi
objek kekerasan para pegawai Belanda yang menilai diri mereka lebih tinggi. 31 Ungkapan-
ungkapan bernada merendahkan, dalam kesaksian para pamong praja, menjadi peristiwa yang
berulang-ulang mereka temukan.
Di antar orang-orang Mee, di mana saya mengadakan penelitian, gambaran orang
yang berhasil adalah menjadi ogai, yaitu menjadi seperti orang kulit putih dari Eropa. Orang-
orang tua, ketika mengirimkan anaknya bersekolah, mengharapkan anaknya menjadi ogai.
Saya masih belum mendapatkan keterangan bagaimana proses menjadi orang ogai atau
menjadi orang kulit putih Eropa. Di Epouto, orang-orang tua mengatakan bahwa di masa
mereka, anak-anak SD sudah fasih berbicara dalam bahasa Belanda, suatu kelebihan yang
tidak dimiliki oleh anak-anak pada masa sekarang. Sebagian orang tua menilai bahwa
pendidikan masa Belanda berhasil mengantarkan mereka menjadi ogai.32
Saya tidak mendapatkan keterangan yang memadai mengapa orang-orang Mee
melihat orang Eropa sebagai model dan mereka ingin menyerupainya. Saya menduga kuat
pengalaman yang baik orang Papua terhadap Pemerintah Belanda pasca-perang pasifik, yaitu
ketika Belanda mendidik calon elite lokal Papua yang dipersiapkan untuk menjalankan

dan pelayanan pendidikan. Pasifikasi berarti menyingkirkan hambatan untuk membangun hidup Kristiani yang
sejati. Sekolah-sekolah yang dikelola oleh para misionaris tampak lebih ekstensif dalam hal akulturasi.
Kebanyakan sekolah ini disubsidi oleh pemerintah dan memiliki kurikulum seperti yang disyaratkan oleh
pemerintah.
31
Pengalaman-pengalaman itu sebagian masih terekan dan ditulis oleh Leontine Visser dan Amapon Jos Marey.
(2008). Bakti Pamong Praja Papua di Era Transisi Kekuasaan Belanda ke Indonesia. Jakarta: Penerbit Buku
Kompas. Buku ini memuat kisah-kisah para orang Papua yang mengenyam pendidikan dan disiapkan oleh
Belanda untuk menduduki posisi dan jabatan di pemerintahan. Mereka menempuh pendidikan yang sekarang
layaknya IPDN.
32
Percakapan dengan Ausilius You di Jakarta, pada Agustus 2012. Orangtua Ausilius adalah generasi pertama
dari wilayah Epouto yang mendapatkan pendidikan masa Belanda. Keterangan juga diberikan oleh Yakobus
Dumupa, anak seorang guru agama di wilayah yang sekarang Kab. Dogiyai dalam percakapan di Jakarta, pada
November 2011.
pemerintahan sendiri, berkontribusi pada proses formasi tipologi manusia ideal.33 Di bawah
kepemimpinan van Eechoud, orang-orang Papua merasakan dinamika ditarik dari golongan
perifer ke kaum yang berada di sentral dan mulai mengimajinasikan diri sebagai aktor-aktor
sentral di Papua.34
Langkah ini pun terbaca sangat jelas sebagai upaya mempertahankan kepentingan
kolonialistik Belanda atas Papua. Setelah Indonesia merdeka, Papua diharapkan menjadi
“tropical Holland” di mana orang-orang Belanda yang terusir dari Indonesia akan tinggal dan
tidak perlu kembali ke Eropa. Secara geopolitik, jika masih punya tempat berpijak di Papua,
maka Belanda masih berpeluang untuk kembali ke Indonesia. Harapan Belanda dipupus oleh
referendum yang diduga ditekan oleh pihak Indonesia demi integrasi.
Setelah orang-orang Belanda pergi, kepentingan Pemerintah Indonesia adalah
mengidentifikasi, memastikan, dan mematikan anasir-anasir yang bukan Indonesia. Anasir
yang non-Indonesia digolongkan sebagai separatis dan mengandung unsur kriminal. Hal ini
adalah langkah sepihak dan berada dalam kewenangan penuh Pemerintah Indonesia. Akan
tetapi, sebenarnya tidak pernah sepenuhnya jelas apa yang digolongkan sebagai anti- atau
non-Indonesia itu. Jejak kolonialistik yang tebal dan mencolok amat tampak di sini.
Pertemuan saya dengan Tebay, seorang muda belia yang kala itu baru akan
menyelesaikan jenjang SLTA, di pertengahan tahun 2012, membuka cakrawala saya
bagaimana kategori itu tidak cukup jelas, bahkan untuk pejabat atau aparat Pemerintah
Indonesia sendiri. Setiap menjelang hari Kemerdekaan RI, warga di kampungnya dipanggil
berkumpul dan diwajibkan mengikuti upacara bendera pada tanggal 17 Agustus. Masing-
masing keluarga juga harus mengibarkan bendera merah putih di rumahnya. Pada hari H,
aparat militer sudah bersiap dan sebagian lagi berpatroli untuk menyuruh semua warga
mengikuti upacara. Orang-orang berkumpul di lapangan dengan rasa kurang gembira. Jika
boleh jujur dan tetap dijamin keamanannya, kata Tebay, maka orang-orang di kampung itu
tidak mau mengikuti upacara.

33
Untuk menjawab sanggahan yang sering diajukan pembaca awam terkait dengan hipotesis ini: “Mengapa
Belanda tidak melakukan hal serupa terhadap Indonesia?”, saya dapat menjawab demikian. Konteks politiknya
berbeda. Belanda berharap mereka bisa mempertahankan kekuasaan di Papua dan memenangkan hati orang
Papua. Geopolitik setelah perang dunia II berubah. Belanda terancam kehilangan Papua.
34
Lihat Visser dan Marey (2008) dan juga Meteray, Bernarda. (2012). Nasionalisme Ganda Orang Papua.
Jakarta: Penerbit Buku Kompas. Disertasi Meteray yang kemudian diterbitkan menjadi buku ini meneliti soal
penyemaian nasionalisme orang Papua, antara lain tercapai melalui pendidikan dan pengaderan mereka untuk
menempati jabatan-jabatan publik dan untuk menjadi pemimpin lokal. Ketika New Guinea Raad dibentuk,
orang-orang Papua dari generasi inilah yang berada di dalamnya. Tokoh-tokoh perlawanan Papua seperti Nic
Jouwe, dkk., juga berasal dari model pendidikan Belanda ini.
Ketika ia masih SMP, ia dan teman-temannya menghindari paksaan dengan dalih sakit
malaria atau yang lain. Juga ada yang berpura-pura pingsan ketika upacara baru dimulai lima
menit. Ada juga yang berpura-pura hormat bendera, tetapi sesungguhnya orang itu sedang
menggaruk-garuk kepala atau memilin rambut.
Yang agak membingungkan saya adalah ketika pelajaran muatan lokal tidak boleh
digunakan untuk mengajarkan seni budaya masyarakat setempat. Sejatinya, tidak ada dasar
hukum yang diacu. Pejabat setempat berdalih bahwa bahasa lokal Papua lebih dari 250
bahasa. Jika hanya memelajari satu saja, maka kelompok pengguna bahasa yang lain akan
cemburu. Ketika bertemu empat mata, orang yang sama mengatakan bahwa membuka
muatan lokal untuk memelajari seni dan budaya lokal malah akan membuat orang Papua
merasa semakin Papua, tidak menjadi semakin Indonesia. Ia mengacu pada kiprah grup
musik Mambesak yang dimotori oleh Arnold Ap, seorang antropolog Universitas
Cenderawasih.35
Menempatkan kepapuaan sebagai ancaman bagi proses pembangunan—termasuk
dalam bidang pendidikan yang akan ikut membentuk karakter orang-orang Papua di masa
depan—sama saja dengan kurang memberi ruang bagi berkembangan nilai-nilai lokal. Boleh
jadi yang ditulis dalam dokumen Repelita I dengan “Meningkatkan kesadaran masyarakat
menuju persatuan dan kesatuan Nasional” sama maksudnya dengan menekan semua anasir
kepapuaan, dan membuka ruang seluas-luasnya untuk mereka yang bukan etnis Papua. Logika
pembangunan masa itu bertendensi untuk melemahkan atau bahkan melenyapkan anasir-anasir
Papua, dan menggantinya dengan anasir Indonesia.
Jejak kolonialistik yang pernah ditorehkan dalam proses pembangunan: orang-orang
Papua dilarang untuk mencapai apa yang mereka ingin capai, tetapi sebaliknya ditekan untuk
meraih yang ditetapkan oleh orang lain (baca: pemerintah).

4. Pembangunan atau Kolonisasi: Diskursus “Bangsa Terjajah”


“Keinginan untuk merdeka adalah suatu yang bersifat intrinsik di dalam diri setiap orang
Papua. Sebagai akibat sejarah penjajah yang berbeda dengan bagian lain di Indonesia.
Sekarang dan ke depan hanya ada dua pilihan bagi pemerintah dan bangsa Indonesia dalam
menyingkapi keinginan merdeka orang Papua, yaitu membangun Papua dengan sungguh-
sungguh sehingga orang Papua merasa merdeka di dalam NKRI atau mengulangi kembali
kesalahan di zaman Orde Baru yang sarat pelanggaran HAM untuk selanjutnya menodai

35
Grup musik Mambesak menghimpun lagu-lagu tradisional suku-suku di Papua, dan menyanyikannya dalam
aneka pentas. Selain itu, kelompok seni ini juga menampilkan tarian-tarian lokal Papua. Secara berkala, grup ini
mengadakan pertunjukkan di halaman Museum Antropologi Unversitas Cenderawasih, dan mendapatkan
perhatian yang besar dari orang-orang Papua. Diakui bahwa prakarsa Arnold Ap dkk., ini berhasil membangun
harga diri orang Papua, dan turut merawat nasionalisme Papua sehingga dinilai membahayakan. Arnold Ap
dibunuh oleh Kopasanda di sebuah pantai di Jayapura pada tahun 1984.
amanat pembukaan UUD 1945 yang melarang bangsa ini untuk melakukan pelanggaran
HAM secara terus-menerus terhadap sekelompok manusia dan bangsa Indonesia yang
disebut orang Papua sehingga pada saatnya mendatangkan bencana dan malapetaka bagi
bangsa ini.”
“Bila kita tidak mampu melaksanakan amanat UUD 1945 itu dengan sungguh-sungguh dan
dengan baik di dalam menyingkapi keinginan merdeka orang Papua maka jalan terbaik
adalah membangun suatu percakapan yang etis antara orang Papua dengan bangsa dan
negara ini untuk memberikan kesempatan yang seluas-luasnya dan seadil-adilnya dan
sedemokratisnya bagi orang Papua untuk menentukan sendiri posisi terbaik mereka untuk
meraih masa depan yang lebih baik untuk hidup sejahtera dan dalam suasana damai denagn
bangsa yang ada di dunia ini.” (Wospakrik dalam Raweyai, 2002: vi-vii)

Representasi diri orang Papua sebagai bangsa terjajah dan sedang menjelang
kebinasaan sudah cukup jamak serta dilakukan tanpa sembunyi-sembunyi. Begitu juga
dengan tuntutan mereka untuk berdiri merdeka sebagai bangsa yang berdaulat.36 Ketika
Habibie menjadi presiden, Tim 100 yang terdiri atas tokoh-tokoh masyarakat Papua
menghadap ke B.J. Habibie untuk menyampaikan aspirasi orang-orang Papua. Mereka ingin
merdeka dan berdiri sebagai negara sendiri yang berdaulat atau memisahkan diri dari Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Menanggapi permintaan itu, Habibie menyuruh tim ini pulang
untuk merenungkan kembali permintaan mereka.
Di luar negeri, orang-orang Papua yang mengasingkan diri setelah integrasi Papua,
secara konsisten memperjuangkan kemerdekaan Papua. Mereka tersebar di Australia, Inggris,
Swedia, Amerika Serikat, Belanda, dan negara-negara Pasifik. Mereka terus membina kontak
dengan orang-orang di Papua untuk terus update dan menyampaikan temuan-temuan mereka
di banyak negeri. Di sana, mereka berkolaborasi dengan beberapa cendekiawan asing yang
simpatik dengan persoalan Papua untuk menggalang dukungan bagi perjuangan mereka.
Pusaran diskursus mereka berada di ranah hak asasi manusia (HAM) yang telah menjadi
bahasa lintas bangsa. Dengan mengandalkan temuan-temuan pelanggaran HAM di lapangan,
seperti penembakan oleh aparat militer dan kepolisian, mereka menampilkan betapa
nestapanya orang Papua di bawah kekuasaan Indonesia.37
Di Papua sendiri, pasca-Orde Baru, dan dalam semangat reformasi, ketika iklim
demokrasi sedang berkembang di Indonesia, wacana Papua merdeka dilakukan secara
terbuka. Tumbangnya rezim Orde Baru yang berlanjut dengan dilangsungkannya referendum
36
Sejumlah publikasi tentang itu misalnya Sendius Wonda, Tenggelamnya Rumpun Ras Melanesia (2008),
Yorrys Raweyai, Mengapa Papua Ingin Merdeka (2002). Buku yang pertama mengangkat pula wacana genosida
yang sedang berlangsung secara sistematis dan tersembunyi di Papua. Selain telah menjadi pembicaraan yang
sehari-hari di antara orang-orang kritis Papua, di antaranya para mahasiswa, tokoh-tokoh adat, dan juga Gereja,
genosida di Papua menjadi pokok laporan Allard K. Lowenstein International Human Rights Clinics Yale Law
School dengan judul Indonesian Human Rights Abuses in West Papua: Application of the Law of Genocide to
the History of Indonesian Control (2004).
37
Pada September 2013, Asian Human Rights Commission yang berbasis di Hongkong bersama dengan Human
Rights and Peace for Papua menerbitkan laporan dwibahasa Indonesia-Inggris berjudul The Neglected
Genocide: Human rights abuses against Papuan in Central Highlands 1977-1978.
Timor Leste, membangkitkan harapan di kalangan orang-orang Papua untuk menyusul keluar
dari Indonesia. Periode ini dikenal sebagai Papuan Spring atau musim semi Papua yang di
dalamnya nasionalisme Papua menyeruak serta diekspresikan secara semarak setelah periode
panjang represi oleh rezim Orde Baru.
Sementara itu, di awal periode reformasi, kita menyaksikan orang-orang Papua
mengibarkan bendera Bintang Kejora di Biak, Nabire, Wamena, dan sejumlah tempat lain
diiringi lagu Hai Tanahku Papua—suatu tindakan yang cukup mendatangkan hukuman berat
di bawah rezim Orde Baru—secara amat santai dan terbuka, bahkan sudah menjadi tindakan
sehari-hari, untuk mengartikulasi keterjajahan mereka. Percakapan tentang orang Papua yang
terjajah, yang dirampok kekayaan alamnya, dan diinjak-injak hak asasinya dengan gampang
terdengar di sudut-sudut pasar, di lapangan sepak bola, atau di ruang-ruang terbuka, terutama
setiap tanggal 1 Desember.
Kalangan nasionalis Indonesia tidak setuju untuk menyebut Papua sebagai kaum
terjajah. Seperti ditulis sebagai sejarah resmi negara, Indonesia justru membebaskan Papua
dari penjajahan Belanda dan dikembalikan ke pangkuan ibu pertiwi. Wacana itu terus
direproduksi, termasuk yang bisa kita saksikan pada plakat-plakat di pos-pos militer di Papua,
misalnya “NKRI harga mati”: sebuah wacana yang mencipta imaji teritorial Indonesia dari
Sabang sampai Merauke sebagai keutuhan yang harus dipertahankan. Persoalan sejarah
integrasi Papua ke Indonesia sudah final dan tidak untuk ditilik kembali. Upaya-upaya
demokratis sejumlah kelompok sipil di Papua untuk meninjau kembali sejarah integrasi justru
menabrak tembok dingin yang nyaris mustahil untuk ditembus.
Individu-individu dan kelompok-kelompok sipil maupun bersenjata yang kritis dan
vokal menggugat praktik-praktik kekuasaan negara justru diringkus serta dikategorikan
secara generik sebagai gerakan separatis-makar-ancaman bagi keutuhan NKRI. Nasib yang
sama menjumpai figur-figur kritis yang mengobarkan semangat anti-Indonesia meski dengan
strategi resistensi yang sangat kultural. Ketika iklim demokrasi kita belum seperti yang
sekarang ini, orang-orang atau kelompok-kelompok semacam itu seketika ditangkap lantas
ditetapkan sebagai tahanan politik selama bertahun-tahun. Bahkan, ada juga yang tanpa
proses semacam itu tapi langsung dibunuh. Untuk menyebut satu nama dari sekian yang ada
adalah Arnold Ap yang dibunuh pada tahun 1984.
Sementara langkah-langkah meredam perlawanan orang Papua tetap berjalan,
pemerintah merepresentasikan kehadiran dalam program-program pembangunan yang telah
dimulai tidak lama setelah peralihan administrasi dari UNTEA pada Mei 1963. Orang-orang
Papua yang saya temui selama penelitian di lapangan menilai pembangunan berdasarkan
pengalaman mereka secara berbeda-beda.
Wospakrik, seperti saya kutip di atas, melihat harapan bahwa pembangunan yang
sungguh-sungguh bisa menyelesaikan persoalan Papua. “Pembangunan yang sungguh-
sungguh” bisa menjelmakan NKRI yang adil, yang menghormati Hak Asasi Manusia,
melepaskan orang Papua dari perasaan terintimidasi, memberikan pendidikan berkualitas
serta bisa diakses, memberikan layanan kesehatan yang baik, dan menghadirkan
pemerintahan beserta aparat negara yang melayani (Widjojo, ed., 2009). Harapan semacam
itu cukup masuk akal mengingat praktik pembangunan di Papua masih dibelenggu wacana-
wacana kolonialistik yang bukan saja menjauhkan orang-orang Papua dari pengalaman
pembangunan yang adil dan menghargai HAM, tetapi juga tampak dibutuhkan oleh
pemerintah pusat demi melegitimasi praktik-praktik kekerasan dan untuk melemahkan
perjuangan politik orang Papua.
Permintaan orang-orang Papua untuk merdeka ekuivalen dengan perasaan atau
anggapan bahwa mereka belum merdeka. Di Papua, tuntutan untuk merdeka serta berdaulat
sebagai bangsa sendiri sudah menjadi pemandangan yang jamak dan menjadi kesadaran
kolektif yang diartikulasikan ke dalam berbagai ekspresi, mulai dari graffiti di jembatan,
pamflet, hingga nyanyian-nyanyian malam sebelum tidur.

5. Penutup
Dalam sejarah pembangunan di Papua, orang Papua tidak menempati bagian yang cukup
penting. Posisinya lebih dominan sebagai ‘yang didefinisikan’ atau ‘yang dibangun’ tetapi
tidak cukup memiliki ruang untuk terlibat membangun dirinya sendiri. Pada akhir
pendudukan Belanda, gagasan untuk melahirkan elite lokal Papua sepertinya sudah akan
mengarahkan sejarah orang Papua ke titik cerah. Akan tetapi, Pemerintahan Indonesia yang
sejatinya kekurangan legitimasi dari orang Papua justru membelokkan sejarah ke arah yang
lain. Di bawah Indonesia, orang-orang Papua mengalami praktik pembangunan yang
meminggirkan dan mendiskriminasi mereka. Rancangan pembangunan yang berfokus pada
tumbuhnya pusat-pusat ekonomi baru di Papua yang konsekuensinya menimbulkan
gelombang imigrasi dari luar Papua dalam kurun waktu yang panjang, telah berdampak pada
rasio penduduk asli dan pendatang yang saling berimbang, serta pada kekalahan penduduk
asli dalam persaingan di bidang-bidang ekonomi, utamanya di perkotaan.
Pembangunan juga telah berperan sebagai alat kategorisasi tenaga kerja. Orang-orang
Papua dipandang bukan sebagai tenaga kerja yang cocok untuk, misalnya, mencapai target
swasembada beras. Sebaliknya, orang-orang dari Jawa lebih cocok. Dalam hal
ketenagakerjaan, orang-orang Papua dieksklusikan.38
Bagi orang Papua, pembangunan didapati sebagai sebuah paradoks. Alih-alih
mendudukkan mereka di pusat proses, mereka justru berada di pinggir arena. Tidak jarang
mereka malah menjadi korban yang tidak bisa menuntut. Pada awal dekade 1980-an, ketika
pemerintah menggencarkan transmigrasi, antara lain ke Papua; ribuan hektar hutan diubah
menjadi permukiman dan persawahan. Kepemilikan orang Papua atas area itu disangkal.
Hutan diklaim milik negara. Mereka tidak bisa protes. Mungkin mereka takut dengan tentara.
Apalagi, Papua ditetapkan sebagai Daerah Operasi Militer (DOM). Protes-protes mereka, jika
sampai membesar, maka akan dicap sebagai gerakan anti-pembangunan. Padahal, pemerintah
sedang mengejar pembukaan pusat-pusat perekonomian baru.
Yang terjadi di Papua atau lebih persis bagi orang Papua, adalah kegagalan
pembangunan (Widjojo, ed., 2009). Indikator yang dengan gampang disepakati adalah Indeks
Pembangunan Manusia (IPM) yang tetap tergolong terbawah di Indonesia. Sudah semestinya
arah pembangunan di Papua tidak lagi dibebani dengan membasmi nasionalisme Papua atau
dikendalikan oleh ketakutan akan bertumbuh-kembangnya nasionalisme Papua.
Konsekuensinya sudah jelas. Orang-orang Papua tidak merasakan manfaat pembangunan.
Kegagalan pembangunan hanya menyuburkan ketidakpercayaan orang-orang Papua terhadap
pemerintah Indonesia yang selama ini sudah mereka ekspresikan dengan beragam penolakan,
dan sikap apatis terhadap program-program pemerintah.
Apabila sejarah panjang Papua didominasi oleh wajah kekerasan militeristik demi
mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia, maka pemerintah kini boleh berpikir
untuk mengubah haluan dan menjawab harapan orang-orang Papua. Seperti disarankan oleh
Wospakrik, satu jalan yang masih bisa ditempuh saat ini adalah melakukan pembangunan
yang sungguh-sungguh, yang adil, dan menghargai Hak Asasi Manusia, memberikan
pendidikan yang baik dan layanan kesehatan yang gampang diakses. Belenggu ketakutan
seharusnya sudah dipatahkan.
Praktik-praktik kekerasan yang membawa pesan di baliknya penegasan akan
kewibawaan negara hampir tidak ada gunanya. Tindakan-tindakan semacam itu, di samping
terus menjaga kesan kolonialistik, tidak membuka kesempatan bagi berkembangnya iklim
pembangunan yang menjunjung Hak Asasi Manusia. Secara umum, jika pemerintah hendak

38
Gobay, seorang informan penelitian saya di Nabire, menilai proyek-proyek fisik selama proses pembangunan
menjadi ruang yang cukup kentara betapa orang asli Papua minoritas. Tidak banyak yang memiliki keterampilan
di situ. Di perusahaan tambang, kehadiran orang asli Papua pun terhitung minoritas. Sepertinya orang-orang
Papua ditakdirkan untuk menjadi penonton. Begitu katanya pada percakapan di Nabire, November 2011.
meninggalkan paradigma pembangunan kolonialistik, maka saya mendesak pemerintah untuk
melampaui pola yang sudah ajek dipraktikkan bertahun-tahun ini dan menempuh suatu jalan
baru. Widjojo cs., sudah memberikan bantuan pemetaan yang amat cukup dengan Papua
Roadmap mereka untuk menuju Papua tanah damai.

DAFTAR PUSTAKA
Asian Human Rights Commission dan Human Rights and Peace for Papua. (2013). The
Neglected Genocide - Human rights abuses against Papuans in the Central Highlands,
1977 - 1978. Kwun Tong dan Wuppertal: Asian Human Rights Commission dan Human
Rights and Peace for Papua (International Coalition for Papua).
Brundige, Elizabeth cs. (2004). Indonesian Human Rights Abuses in West Papua: Application
of the Law of Genocide to the History of Indonesian Control diakses dari
http://www.law.yale.edu/documents/pdf/intellectual_life/west_papua_final_report.pdf
pada 12 September 2011.
Chauvel, Richard. (2005). Constructing Papuan Nationalism: Historicity, Ethnicity, and
Adaptation. New York: East West Center.
Drooglever, P. J. (2010). TINDAKAN PILIHAN BEBAS!: Orang Papua dan Penentuan Nasib
Sendiri. Yogyakarta: Kanisius.
Gietzelt, Dale. (1989). “The Indonesianization of West Papua” dalam Oceania 56 (3): 201-
221.
Li, Tania. (2007). The Will to Improve: Governmentality, Development, and the Practice of
Politics. Durham dan London: Duke University Press
Meteray, Bernarda. (2012). Nasionalisme Ganda Orang Papua. Jakarta: Penerbit Buku
Kompas.
Osborne, Robin. (2001). Kibaran Sampari, Gerakan Pembebasan OPM, dan Perang Rahasia
di Papua Barat, (terj.). Jakarta: Elsam.
Otten, Mariel. (1986). "Transmigrasi: Myths and Realities - Indonesian Resettlement Policy,
1965 -1985," IWGIA Document No. 57. Copenhagen: International Work Group for
International Affairs.
Pigay, Decki Natalis. (2001). Evolusi nasionalisme dan sejarah konflik politik di Papua:
sebelum, saat, dan sesudah integrasi. Jakarta: Sinar Harapan.
Rahab, Amiruddin Al. (2010). Heboh Papua: Perang Rahasia, Trauma dan Separatisme.
Depok: Komunitas Bambu.
Supriyono, Johanes. (2012). Menarik Batas: Reproduksi Modernitas dan Resistensi Orang
Mee terhadap Pendatang dan Negara. Tesis. Universitas Indonesia.
Upton, Stuart. (2009). The Impact of Migration on the People of Papua, Indonesia. A
historical demographic analysis. University of New South Wales.
Visser, Leontine dan Amapon Jos Marey. (2008). Bakti Pamong Praja Papua di Era Transisi
Kekuasaan Belanda ke Indonesia. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Widjojo, Muridan S. (ed). (2009). Papua Road Map: Negotiating the Past, Improving the
Present, and Securing the Future. Jakarta: LIPI, Yayasan Tifa, Yayasan Obor Indonesia.
Wolf, J.J. de dan S.R. Jaarsma, S. R. (1992). “Colonial Ethnography: West New Guinea
(1950-1962). Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde / Journal of the Humanities
and Social Sciences of Southeast Asia, Deel 148, 1ste Afl., hlm. 103-124. Diterbitkan
oleh KITLV, Royal Netherlands Institute of Southeast Asian and Caribbean Studies.
Wospakrik, Frans A. (2002). “Kearifan Mencari Solusi Persoalan Papua” dalam Yorrys Th.
Raweyai. Mengapa Papua Ingin Merdeka. Jayapura: Presidium Dewan Papua, hlm. vi-
vii
Zonggonau, Decki dan Drs. Ruben Edowai atas inisiatif sendiri membuat laporan historis
dengan judul Kronologis Sejarah Pelanggaran HAM di Kabupaten Paniai
(Pegunungan Tengah) Propinsi Irian Jaya pada tahun 1999.
N. N. (2009). "Papua Butuh Bukti Nyata Otonomi Khusus,” KOMPAS, 18 November 2009.
N. N. (2010). "Otonomi Khusus Belum Berasa,” KOMPAS, 24 Februari 2010.

Sumber data dari laman Bappenas:


http://www.bappenas.go.id/node/42/1702/repelita-ii-tahun-197475---197879/ (diakses pada 7
September 2012.)
http://www.bappenas.go.id/node/42/1701/repelita-i-tahun-196970---197374/ (diakses pada 6
September 2012)
http://www.bappenas.go.id/get-file-server/node/7166/ (diakses pada 6 September 2012)
http://www.bappenas.go.id/node/42/1703/repelita-iii-tahun-197980---198384/ (diakses pada 7
September 2012)
http://www.bappenas.go.id/node/42/1703/repelita-iii-tahun-197980---198384/ (diakses pada 7
September 2012)
http://www.bappenas.go.id/node/42/1704/repelita-iv-tahun-198485---198889/ (diakses pada 7
September 2012)
http://www.bappenas.go.id/node/42/1704/repelita-iv-tahun-198485---198889/ (diakses pada 7
September 2012)

Anda mungkin juga menyukai