Oleh :
SITI NURHAYATI
( NIM 1824201042 )
Mengetahui,
Kepala Ruangan
Gambar 1. HIV
2. Epidemiologi / insiden kasus
a. HIV
1) Dari bulan Januari sampai dengan maret 2016 jumlah infeksi HIV
yang dilaporkan sebanyak 7.146 orang.
2) Presentasi infeksi HIV tertinggi dilaporkan pada kelompok umur 25-
49 tahun (69,7%), diikuti oleh kelompok umur 20-24 tahun (16,6%)
dan kelompok umur ≥ 50 tahun (7,2%).
3) Rasio HIV laki-laki dengan perempuan adalah 2:1.
4) Presentase faktor resiko tertinggi adalah hubungan seks beresiko pada
heterseksual (47%), LSL (Lelaki Seks Lelaki (25%) dan lain-lain
(25%) dan pengguna jarum suntik tidak steril (3%).
(Kemenkes RI, 2016)
b. AIDS
1) Dari bulan Januari sampai dengan maret 2016 jumlah AIDS yang
dilaporkan sebanyak 305 orang.
2) Presentasi AIDS tertinggi dilaporkan pada kelompok umur 30-39
tahun (37,7%), diikuti oleh kelompok umur 20-29 tahun (29,9%) dan
kelompok umur 40-49 tahun (19%).
3) Rasio AIDS antara laki-laki dengan perempuan adalah 2:1.
4) Presentase faktor resiko tertinggi adalah hubungan seks beresiko pada
heterseksual (73,8%), LSL (Lelaki Seks Lelaki (10,5%), pengguna
jarum suntik tidak steril pada penasun (5,2 %) danperinatal (2,6%).
(Kemenkes RI, 2016).
3. Etiologi
AIDS disebabkan oleh Human Immunodeficiency Virus (HIV) yang
merupakan agen viral yang dikenal dengan retrovirus yang ditularkan oleh
darah dan punya afinitas yang kuat terhadap limfosit T.
Ada berbagai strain HIV. HIV 2 merupakan yang prevalen di Afrika,
sedangkan strain HIV 1 dominan di Amerika Serikat dan bagian dunia
lainnya.
a. Transmisi utama
1) Berhubungan seks tanpa kondom (seks tanpa kondom) dengan
orang yang memiliki HIV.
2) Anal seks adalah yang risiko tertinggi perilaku seksual.
3) Seks vaginal adalah yang risiko tertinggi perilaku seksual
kedua.
4) Memiliki banyak pasangan seks atau memiliki infeksi menular
seksual lainnya dapat meningkatkan risiko infeksi melalui
seks.
5) Berbagi jarum, jarum suntik, bilas air, atau peralatan lainnya
yang digunakan untuk menyiapkan obat injeksi dengan
seseorang yang memiliki HIV.
b. Transmisi yang kurang umum
1) Dilahirkan dari ibu yang terinfeksi. HIV dapat ditularkan dari
ibu ke anak selama kehamilan, kelahiran, atau menyusui.
2) Terjebak dengan jarum terkontaminasi HIV atau benda tajam
lainnya. Ini adalah risiko terutama untuk petugas kesehatan.
3) Menerima transfusi darah, produk darah, atau transplantasi
organ atau jaringan yang terkontaminasi dengan HIV.
4) Makan makanan yang telah dikunyah oleh orang yang
terinfeksi HIV. Kontaminasi terjadi ketika darah yang
terinfeksi dari mulut pengasuh bercampur dengan makanan
saat mengunyah, dan hal ini sangat jarang terjadi.
5) Digigit oleh orang dengan HIV. Masing-masing dari jumlah
yang sangat kecil dari kasus yang terdokumentasi telah
melibatkan trauma berat dengan adanya kerusakan jaringan
yang besar dan terdapatnya darah. Tidak ada risiko penularan
jika kulit tidak rusak.
6) Oral seks menggunakan mulut untuk merangsang penis,
vagina, atau anus.
7) Kontak antara kulit rusak, luka, atau selaput lendir dan darah
yang terinfeksi HIV atau cairan tubuh darah yang
terkontaminasi.
8) Mencium penderita HIV yang memiliki luka atau gusi
berdarah dan darah dipertukarkan. HIV tidak menyebar
melalui air liur. Penularan melalui ciuman saja sangat jarang
(CDC, 2014).
HIV tidak menular melalui:
1) Bersalaman, berpelukan
2) Batuk, bersin
3) Memakai peralatan rumah tangga seperti alat makan, telepon,
kamar mandi, WC, kamar tidur, dll
4) Gigitan nyamuk
5) Bekerja, bersekolah, berkendaraan bersama
6) Memakai fasilitas umum misalnya kolam renang, WC umum,
sauna, dll
4. Klasifikasi
1) Klasifikasi laboratorium (Limfosit CD4+)
CDC mengkategorikan dewasa dan dewasa muda terinfeksi HIV
berdasarkan hitung limfosit CD4+ dan kategori klinis, yaitu :
Tabel 1. Sistem Klasifikasi untuk Infeksi HIV dan definisi Kasus
Surveilans AIDS yang diperluas bagi pasien Remaja dan Dewasa
CD4+ Kategori Klinis
A B C
Total % (Asimtomatik) (Simtomatik, (Indikator
bukan kondisi A AIDS)
atau C)
≥ 500 ≥ 29% A.1 B.1 C.1
200-499 14- A.2 B.2 C.2
28%
< 200 < 14 % A.3 B.3 C.3
5. Patofisiologi
Virus HIV masuk ke dalam tubuh seseorang dalam keadaan bebas
atau berada dalam sel limfosit. Virus ini masuk ke dalam tubuh dan
terutama menginfeksi sel yang mempunyai molekul CD4+. Secara
imunologis, sel T yang terdiri atas limfosit T-helper disebut limfosit CD4+
akan mengalami perubahan secara kuantitas maupun kualitas. HIV
menyerang CD4+ baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara
langsung, lapisan luar HIV yang mempunyai efek toksik akan
menghambat fungsi sel T. Secara tidak langsung, lapisan luar protein HIV
yang disebut sampul gp 120 dan anti p24 berinteraksi dengan CD4 + yang
kemudian menghambat aktivasi sel yang mempresentasikan antigen
(APC). Setelah HIV melekat melalui reseptor CD4+ dan co-reseptor bagian
sampul tersebut melakukan fusi dengan membran sel dan bagian intinya
masuk ke dalam sel membran. Pada bagian inti terdapat enzim reverse
transcriptase yang terdiri atas DNA polimerase dan ribonuklease. Pada
inti yang mengandung RNA, enzim DNA polimerase menyusun copy
DNA dari RNA tersebut. Enzim ribonuklease memusnahkan RNA asli.
Enzim polimerase kemudian membentuk copy DNA kedua dari DNA
pertama yang tersusun sebagai cetakan (Stewart, 1997; Baratawidjaja,
2000 dalam Kurniawati & Nursalam, 2007:41-42).
Setelah terbentuk, kode genetik DNA berupa untai ganda akan masuk
ke inti sel. Kemudian oleh enzim integrase, DNA copy dari virus
disisipkan dalam DNA pasien. HIV provirus yang berada pada limfosit
CD4+ kemudian bereplikasi, menyebabkan sel limfosit CD4 + mengalami
sitolisis. Virus HIV yang telah berhasil masuk dalam tubuh pasien juga
menginfeksi berbagai macam sel, terutama monosit, makrofag, sel-sel
mikroglia di otak, sel-sel hobfour plasenta, sel-sel dendrit pada kelenjar
limfa, sel-sel epitel pada usus, dan sel Langerhans di kulit. Efek dari
infeksi pada sel mikroglia di otak adalah encepalopati dan pada sel epitel
usus adalah diare kronis. Gejala-gejala klinis yang ditimbulkan akibat
infeksi tersebut biasanya baru disadari pasien setelah beberapa waktu
lamanya karena tidak mengalami kesembuhan. Pasien yang terinfeksi
virus HIV dapat tidak memperlihatkan tanda dan gejala selama bertahun-
tahun. Sepanjang perjalanan penyakit tersebut, sel CD4+ mengalami
penurunan jumlah dari 1000/µl sebelum terinfeksi menjadi sekitar 200-
300/µl setelah terinfeksi dalam kurun waktu 2-10 tahun (Stewart, 1997
dalam Kurniawati & Nursalam, 2007:42). Seseorang yang terinfeksi oleh
HIV akan kehilangan limfosit T penolong melalui 3 tahap selama beberapa
bulan atau tahun :
a. Seseorang yang sehat memiliki limfosit CD4 sebanyak 800-1300
sel/mL darah. Pada beberapa bulan pertama setelah terinfeksi HIV
jumlahnya menurun sebanyak 40-50% dan selama masa ini penderita
bisa menularkan HIV kepada orang lain karena banyak partikel virus
yang terdapat di dalam darah. Meskipun tubuh berusaha melawan virus
tetapi tubuh tidak mampu meredakan infeksi.
b. Setelah sekitar 6 bulan kadar partikel virus yang tinggi dan kadar
limfosit CD4+ yang rendah membantu dalam menentukan orang-orang
berisiko tinggi menderita AIDS.
c. Satu sampai 2 tahun sebelum terjadinya AIDS jumlah limfosit CD4+
biasanya menurun drastis, jika kadarnya mencapai 200 sel/ml darah,
maka penderita menjadi rentan terhadap infeksi dan timbul penyakit
baru yang menyebabkan virus berproliferasi dan menjadi infeksi yang
parah dimana terjadi infeksi oportunistik yang didiagnosis sebagai
AIDS yang dapat menyerang berbagai sistem organ, seperti paru,
gastrointestinal, kulit, dan sensori saraf. Pada paru-paru dapat terjadi
peradangan dan terjadi peningkatan produksi mukus yang menimbulkan
masalah bersihan jalan nafas tidak efektif, perubahan pola nafas,
gangguan pola tidur dan nyeri. Pada peradangan dapat muncul masalah
hipertermi. Pada gastrointestinal terjadi diare dan jamur pada mulut
yang memunculkan masalah diare, kekurangan volume cairan dan
perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan. Pada neuro terjadi penurunan
fungsi transmitter sehingga timbul masalah perubahan proses pikir. Di
kulit terjadi lesi yang dapat memunculkan masalah nyeri dan kerusakan
integritas kulit (Price & Wilson, 2005).
6. Manifestasi Klinis
WHO mengembangkan diagnosis HIV hanya berdasarkan penyakit
klinis dengan mengelompokkan tanda dan gejala dalam kriteria mayor dan
minor. Seseorang yang mempunyai 2 gejala mayor dan 2 gejala minor bisa
di diagnosis HIV meskipun tanpa pemeriksaan ELISA atau tes
laboratorium lain. Berikut ini adalah tanda dan gejala mayor dan minor
untuk mendiagnosis HIV berdasarkan klasifikasi WHO.
1) Gejala mayor:
a) Gagal tumbuh atau penurunan berat badan
b) Diare kronis
c) Demam memanjang tanpa sebab
d) Tuberkulosis
2) Gejala minor:
a) Limfadenopati generalisata
b) Kandidiasis oral
c) Batuk menetap
d) Distres pernapasan/pneumonia
e) Infeksi berulang
f) Infeksi kulit generalisata (Direktorat Jenderal PP & PL, 2012).
7. Pencegahan
Pencegahan HIV dianjurkan melalui pendekatan ABCD yaitu:
1) A atau Adstinence yaitu menunda kegiatan seksual, tidak melakukan
kegiatan seksual sebelum menikah;
2) B atau Be faithful yaitu saling setia pada pasangannya setelah
menikah;
3) C atau Condom yaitu menggunakan kondom bagi orang yang
melakukan perilaku seks berisiko;
4) D atau Drugs yaitu tidak menggunakan napza suntik agar tidak
menggunakan jarum suntik bergantian dan secara bersama-sama.
Upaya pencegahan juga dilakukan dengan cara memberikan KIE
(Komunikasi, Informasi dan Edukasi) mengenai HIV/AIDS kepada
masyarakat agar tidak melakukan perilaku berisiko, khususnya pada
remaja. Ada lima tingkat pencegahan (Five level prevention) menurut
Level & Clark yaitu:
1) Promosi Kesehatan (health promotion)
2) Perlindungan khusus (spesific protection)
3) Diagnosis dini dan pengobatan segera (early diagnosis and prompt
treatment)
4) Pemabatasan cacat (disability limitation)
5) Rehabilitasi (rehabilitation)
8. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium
1) Uji Imunologi
Uji imunologi bertujuan untuk menemukan adanya respon antibodi
terhadap HIV dan juga digunakan sebagai test skrining.
a. Test ELISA
Enzym Linked Immunosorbent Assay (ELISA), merupakan uji
penapisan infeksi HIV yaitu suatu tes untuk mendeteksi adanya
antibody yang dibentuk oleh tubuh terhadap virus HIV. ELISA
memiliki sensitifitas yang tinggi, yaitu > 99,5%. Dianjurkan agar
pemeriksaan ELISA dilakukan setelah setelah minggu ke 12 setelah
seseorang dicurigai terpapar ( beresiko) untuk tertular virus
HIV,misalnya aktivitas seksual berisiko tinggi atau tertusuk jarum
suntik yang terkontaminasi. Tes ELISA dapat dilakukan dengan
sampel darah vena, air liur, atau urine.
b. Radioimmunoassay (RIA)
Prinsip dasar dari RIA adalah reaksi suatu antibody dalam
konsentrasi yang terbatas dengan berbagai konsentrasi antigen.
c. Imunokromatografi/ Rapid Test
a) Reaksi langsung (Double AntibodySandwich)
b) Reaksi kompetitif (Competitive inhibition)
Prosedur pemeriksaan untuk HIV menggunakan strategi 3 dan selalu
didahului dengan konseling pra tes atau informasi singkat. Ketiga tes tersebut
dapat menggunakan reagen tes cepat atau dengan ELISA. Untuk pemeriksaan
pertama (A1) harus digunakan tes dengan sensitifitas yang tinggi (>99%),
sedang untuk pemeriksaan selanjutnya (A2 dan A3) menggunakan tes dengan
spesifisitas tinggi (≥99%). Antibodi biasanya baru dapat terdeteksi dalam
waktu 2 minggu hingga 3 bulan setelah terinfeksi HIV yang disebut masa
jendela. Bila tes HIV yang dilakukan dalam masa jendela menunjukkan hasil
‘negatif’, maka perlu dilakukan tes ulang, terutama bila masih terdapat perilaku
yang berisiko.
d. Wastern Blot
Pemeriksaan Western Blot merupakan uji konfirmasi dari hasil reaktif
ELISA atau hasil serologi rapid tes sebagai hasil yang benar-benar positif.
e. Indirect Fluorescent Antibody (IFA)
IFA juga merupakan pemeriksaan konfirmasi ELISA positif. Uji ini
sederhana untuk dilakukan dan waktu yang dibutuhkan lebih sedikit dan
sedikit lebih mahal dari uji Western blot.
2) Uji Virologi
Tes virologi untuk diagnosis infeksi HIV-1 meliputi kultur virus, tes
amplifikasi asam nukleat / nucleic acid amplification test (NAATs) , test
untuk menemukan asam nukleat HIV-1 seperti DNA atau RNA HIV-1 dan
test untuk komponen virus (seperti uji untuk protein kapsid virus (antigen
p24), dan PCR test.
b. Pemeriksaan lainnya
a) Sinar X dada
Menyatakan perkembangan filtrasi interstisial dari PCP tahap lanjut
atau adanya komplikasi lain
b) Tes Fungsi Pulmonal
Deteksi awal pneumonia interstisial
c) Skan Gallium
Ambilan difusi pulmonal terjadi pada PCP dan bentuk pneumonia
lainnya.
d) Biopsis
Diagnosa lain dari sarcoma Kaposi
e) Brankoskopi / pencucian trakeobronkial
Dilakukan dengan biopsy pada waktu PCP ataupun dugaan kerusakan
paru-paru
f) Tes Antibodi
Jika seseorang terinfeksi HIV, maka sistem imun akan bereaksi dengan
memproduksi antibody terhadap virus tersebut. Antibody terbentuk
dalam 3-12 minggu setelah infeksi, atau bisa sampai 6-12 bulan. Hal
ini menjelaskan mengapa orang yang terinfeksi awalnya tidak
memperlihatkan hasil tes positif. Tapi antibody ternyata tidak efektif,
kemampuan mendeteksi antibody HIV dalam darah memungkinkan
skrining produk darah dan memudahkan evaluasi diagnostik.
9. Penatalaksanaan
a. Farmakologi
Setelah dinyatakan terinfeksi HIV, dilakukan serangkaian layanan
yang meliputi penilaian stadium klinis, penilaian imunologis, dan
penilaian virologi. Hal tersebut untuk menentukan apakah pasien sudah
memenuhi syarat untuk terapi antiretroviral, menilai status supresi imun
pasien, menentukan infeksi oportunistik yang pernah dan sedang terjadi,
dan menentukan paduan obat ARV yang sesuai (Direktotat Jenderal PP &
PL, 2011).
Sebelum mendapat terapi ARV pasien harus dipersiapkan secara
matang dengan konseling kepatuhan karena terapi ARV akan berlangsung
seumur hidupnya. Untuk ODHA yanng akan memulai terapi ARV dalam
keadaan jumlah CD4 di bawah 200 sel/mm3 maka dianjrkan untuk
memberikan Kontrimoksasol (1x960 mg sebagai pencegahan IO) 2
minggu sebelum terapi ARV. Hal ini dimaksudkan untuk mengkaji
kepatuhan pasien untuk minum obat, dan menyingkirkan kemungkinan
efek samping tumpang tindih antara Kotrimoksasol dan obat ARV,
mengingat bahwa banyak obat ARV mempunyai efek samping yang sama
dengan efek samping kotrimoksasol (Direktotat Jenderal PP & PL, 2011).
Untuk memulai terapi ARV perlu dilakukan pemeriksaan jumlah CD4
dan penentuan stadium klinis infeksi HIV-nya. Berikut adalah
rekomendasi cara memulai terapi ARV pada ODHA dewasa.
1. Tidak tersedia pemeriksaan CD4
Penentuan mulai terapi ARV didasarkan pada penilaian klinis.
2. Tersedia pemeriksaan CD4
a. Mulai terapi ARV pada semua pasien dengan jumlah CD4 < 350
sel/mm3 tanpa memandang stadium klinisnya
b. Terapi ARV dianjurkan pada semua pasien dengan TB aktif, ibu
hamil, dan ko infeksi hepatitis B tanpa memandang jumlah CD4
3. Limfosit total <1000 -1200/µ dapat diganti dengan CD4 dan dijumpai
tanda-tanda HIV. Hal ini pada pasien tanpa gejala (stadium 1 menurut
WHO) hendaknya jangan dilakukan pengobatan karena belum adanya
petunjuk mengenai tingkatan penyakit.
4. Pengobatan juga dianjurkan untuk pasien stadium III yang lanjut
termasuk kambuh luka pada mulut yang sukar sembuh dan infeksi
pada mulut yang berulang dengan tidak memperhatikan hasil
pemeriksaan CD4 dan limfosit total (Nursalam, 2007).
b. Non Farmakologi
Selain melalui pengobatan orang dengan HIV/AIDS juga perlu
didukung pada pola nutrisi dan olahraganya (Nursalam, 2007).
1. Pemberian Nutrisi
Pasien dengan HIV/AIDS (ODHA) sangat membutuhkan beberapa unsur
vitamin dan mineral dalam jumlah yang lebih banyak dari apa yang
biasanya diperoleh dalam makanan sehari-hari. Sebagian besar ODHA
akan mengalami defisiensi vitamin sehingga memerlukan makanan
tambahan (New Mexico AIDS Infonet, 2004 & Falma Foundation,
2004). Dalam beberapa hal, HIV sendiri akan perkembangan lebih cepat
pada ODHA yang mengalami defisiensi vitamin dan mineral. Kondisi
tersebut sangat berbahaya bagi ODHA yang mengalami defisiensi
vitamin dan mineral. Vitamin dan mineral juga berfungsi untuk
meningkatkan kemampuan tubuh dalam melawan berkembangnya HIV
dalam tubuh (Yayasan Kerti Praja, 2002 & William, 2004). HIV
menyebabkan hilangnya nafsu makan dan gangguan penyerapan
nutrient. Hal ini berhubungan dengan menurunnya atau habisnya
cadangan vitamin dan mineral dalam tubuh. Defisiensi vitamin dan
mineral pada ODHA dimulai sejak masih stadium dini. Walaupun
jumlah makanan ODHA sudah cukup dan berimbang seperti orang sehat,
tetapi akan tetap terjadi defisiensi vitamin dan mineral (Anya, 2002).
2. Aktivitas dan Olahraga
Hampir semua organ berespon terhadap stres olahraga pada keadaan
akut. Olahraga yang dilakukan secara teratur menimbulkan adaptasi
organ tubuh yang berefek menyehatkan. Olah raga yang dilakukan
secara teratur menghasilkan perubahan pada jaringan, sel, dan protein
pada sistem imun.
A. Proses Keperawatan
1. Pengkajian
1. Data Demografi
Nama, umur tempat tanggal lahir, jenis kelamin, ras, status
perkawinan, alamat, pekerjaan, status imigrasi, perilaku berisiko.
Nama anggota keluarga yang dapat dihubungi.
2. Riwayat sosial
a. Orientasi sexual pria,wanita, dan gay
b. Aktivitas seksual yang tidak aman seperti berganti pasangan tanpa
pengaman
c. Riwayat pekerjaan
d. Riwayat travelling
e. Gangguan mental
3. Riwayat kesehatan
Jenis infeksi sering memberikan petunjuk pertama karena sifat
kelainan imun. Umur kronologis pasien juga mempengaruhi
imunokompetens. Respon imun sangat tertekan pada orang yang
sangat muda karena belum berkembangnya kelenjar timus. Pada lansia,
atropi kelenjar timus dapat meningkatkan kerentanan terhadap infeksi.
Banyak penyakit kronik yang berhubungan dengan melemahnya fungsi
imun. Diabetes meilitus, anemia aplastik, kanker adalah beberapa
penyakit yang kronis, keberadaan penyakit seperti ini harus dianggap
sebagai faktor penunjang saat mengkaji status imunokompetens pasien.
Berikut bentuk kelainan hospes dan penyakit serta terapi yang
berhubungan dengan kelainan hospes :
a. Kerusakan respon imun seluler (LimfositT )
Terapiradiasi,defisiensi nutrisi, penuaan, aplasiatimik, limpoma,
kortikosteroid, globulin anti limfosit,disfungsi timik congenital.
b. Kerusakan imunitas humoral (Antibodi)
Limfositik leukemia kronis, mieloma, hipogamaglobulemia
congenital, proteinlisin genteropati (peradangan usus).
4. Pola Kesehatan
a. Persepsi tentang kesehatan dan penanganan kesehatan
Persepsi terhadap penyakit, penggunaan alkohol dan obat-obatan
b. Nutrisi dan metabolisme
Kehilangan BB, anorexia, mual, muntah, lesi pada mulut, ulser
pada rongga mulut, sulit menelan, kram abdomen
c. Eliminasi
Diare persisten, nyeri saat BAK
d. Aktifitas dan olah raga
Kelelahan kronik, kelemahan otot, kesulitan berjalan, batuk, sesak
nafas, kemampuan melakukan ADL.
e. Tidur dan istirahat
Insomnia
f. Gangguan kognitif dan persepsi
Sakit kepala, nyeri dada, kehilangan memori, demensia, parestesis
g. Seksualitas
Riwayat berperilaku seks berisiko tinggi menurunnya libido,
penggunaan pil pencegah kehamilan, dan hepers genetalia.
5. Pemeriksaan Fisik
a. B1 Breathing
Inspeksi
a) Sekret di lubang hidung yang mengganggu pernafasan
b) Sesak nafas (dispneu, takipneu), pernafasan cuping hidung
c) Batuk produktif dan batuk non produktif dengan SaO2 < 80%
(PCP)
d) Retraksi interkostalis
Palpasi
Terdapat pembesaran kelenjar limfe
Perkusi
Terdengar hipersonor
Auskultasi
Terdapat suara nafas tambahan atau ronchi
b. B2 Blood
Inspeksi
a) Anemis
b) Perdarahan yang lama
c) Terdapat luka yang sulit kering dan ruang pada kulit
Palpasi
a) Takikardi/bradikardi
b) CRT mungkin akan > 2 detik atau bisa dalam kondisi normal
Auskultasi
Suara jantung biasanya terdengar normal namun biasa terdengar
suara jantung S3 dan S4 bila sudah terjadi kardiomiopati.
c. B3 Bowel
a) Lesi pada mulut: kapossi sarcoma
b) Candida mulut: plag putih yang melapisi
c) Rongga mulut dan lidah: kandidiasis
d) Lesi putih pada lidah (hairy leukoplakia)
e) Ginggivitis
f) Muntah
g) Diare
h) Inkontinen alvi
i) Hepatosplenomegali
d. B4 Brain
Ataxia, tremor, sakit kepala (toxoplasmosis), kurang kordinasi
(ADC), kehilangansensori, apasia, kehilangan konsentrasi (ADC),
kehilangan memori (ADC=AIDS Dementia Complex), apatis,
depresi, penurunan kesadaran, kejang (Toxoplasmosis), paralysis,
dan koma
e. B5 Bone
Muscle Wasting
f. B6 Bladder
Inspeksi
Perubahan warna dan karakteristik urin
Palpasi
Nyeri tekan daerah suprapubik
Tabel 6. Pengelompokan Masalah Keperawatan Pasien HIV/AIDS
(Menurut Teori Adaptasi)
Masalah Fisik Masalah Psikis Masalah Sosial Masalah
Ketergantungan
1. Sistem Pernapasan : 1. Integritas Ego: Perasaan minder Perasaan
Dyspnea, TBC, Perasaan tak dan tak berguna di membutuhkan
Pneumonia berdaya atau putus masyarakat pertolongan orang
2. Sistem asa Interaksi sosial: lain
Pencernaan:Nausea- 2. Faktor stress: perasaan terisolasi
Vomiting, Diare, baru/lama atau ditolak
Dysphagia, BB 3. Respon
turun 10% selama 3 psikologis: denial,
bulan marah, cemas,
3. Sistem Persarafan: iritable
letargi, nyeri sendi,
encelopathy.
4. Sistem Integumen:
Edema yang
disebabkan
Kapsosis Sacroma,
Lesi di kulit atau
mukosa, dan alergi
5. Lain-lain : Demam,
resiko menularkan
Primary Survey:
AIRWAY
Pengkajian :
Pada pasien dengan penyakit HIV/AIDS ditemukan adanya gangguan di
hampir semua sistem organ akibat infeksi, salah satunya dari sistem respirasi.
Kadang-kadang ditemukan adanya penumpukan sputum pada jalan napas. Hal
ini menyebabkan penyumbatan jalan napas sehingga pada pasien HIV/AIDS
memperlihatkan kondisi pasien yang sesak karena kebutuhan oksigen semakin
sedikit yang dapat diperoleh.
BREATHING
Pengkajian :
Infeksi pada sistem respirasi (paru-paru) juga dapat menimbulkan sesak napas.
Selain itu, sumbatan jalan napas pasien akibat sputum juga menyebabkan
bertambahnya usaha napas pasien untuk memperoleh oksigen yang diperlukan
oleh tubuh, hingga pada akhirnya juga akan menimbulkan sesak napas.
CIRCULATION
Pengkajian :
Hal-hal yang diperoleh pada pasien HIV/AIDS diantaranya takikardi, pucat
pada kulit dan membrane mukosa (konjunctiva, mulut, faring, bibir), rambut
kering, mudah putus, menipis, perasaan dingin pada ekstremitas.
DISABILITY
Pengkajian :
Sakit/nyeri kepala, pusing, ketidak mampuan berkonsentrasi, kelemahan, dab
keletihan berat.
Secondary Survey:
1) Eksposure
Tidak ada jejas atau kontusio pada dada, punggung, dan abdomen. Kadang-
kadang ditemukan gangguan pada lapisan kulit yaitu timbul vesikel akibat
infeksi Herpes Zoster atau hesper simpleks, terdapat ruam, kulit bersisik,
kulit kering, mengelupas.
2) Five intervention
Hipotensi, takikardia, dispnea, ortopnea, takipnea, demam, hemoglobin dan
hemalokrit menurun. Terutama dari hasil CD4 terus mengalami penurunan.
3) Give comfort
Kadang-kadang pasien mengalami nyeri kepala karena kompleksnya
infeksi akibat penurunan daya tahan tubuh pasien.
4) Head to toe
a) Daerah kepala : konjunctiva pucat, membrane mukosa kering, ruam pada
kulit wajah.
b) Daerah dada : tampak adanya penggunaan otot bantu napas akibat sesak
napas.
c) Daerah abdomen : tidak adanya gangguan pada abdomen.
d) Daerah ekstremitas : penurunan kekuatan otot karena kelemahan,
perasaan dingin pada ekstremitas.
5) Inspect the posterior surface
Tidak ada jejas pada daerah punggung, tampak adanya ruam pada kulit.
2. Diagnosa Keperawatan
1. Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan
peningkatan sekret
2. Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan hiperventilasi
3. Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan ketidakmampuan mencerna makanan
4. Diare berhubungan dengan inflamasi gastrointestinal: kuman pathogen
usus atau infeksi HIV
5. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan
aktif
6. Hipertemia berhubungan dengan peningkatan metabolism tubuh
7. Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera biologis:infeksi
8. Resiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan gangguan
sirkulasi: lesi, ruam di kulit
9. Keletihan berhubungan dengan kelesuan fisiologis: penyakit
10. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan
11. Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan
12. Harga diri rendah situasional berhubungan dengan gangguan citra
tubuh
13. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan penyakit: ruam dan lesi
pada kulit
14. Hambatan interaksi sosial berhubungan dengan gangguan konsep diri
15. Distress spiritual berhubungan dengan ancaman kematian
16. Risiko infeksi berhubungan dengan imunodefisiensi
17. Resiko cedera berhubungan dengan difungsi imun
No Diagnosa Luaran
Intervensi Keperawatan
. Keperawatan Keperawatan
1. Diare Eliminasi 1. Manajemen Diare (I.03101)
(D.0020) Fekal Observasi
membaik a. Identifikasi penyebab diare dan Riwayat makanan 3. Intervensi Keperawatan
(L.04033) b. Monitor Warna, volume, frekuensi dan konsistensi
Kriteria Hasil: tinja
Kontrol c. Monitor tanda dan gejala hipovolemia
Pengeluaran Terapiutik
Feses. a. Berikan asupan cairan oral
Keluhan b. Berikan Cairan intravena jika perlu
Defekasi Edukasi
Konsistensi a. Anjurkan makan porsi kesil tapi sering secara
Feses bertahap
Frekuensi b. Anjurkan menghindari makanan, pedas, bergas, dan
Defekasi mengandung laktosa
Peristaltik Kolaborasi
Usus Kolaborasi pemberian antimotilitas dan antispasmodic
imunosupresi
Kelemahan Ketidakmampuan
membasuh tubuh