Anda di halaman 1dari 18

Diagram RJPO menurut American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary

Resuscitation and Emergency Cardiovacular Care, terbagi atas bantuan hidup dasar dan
tunjangan hidup lanjutan.

BANTUAN HIDUP DASAR terdiri dari langkah Circulation, Airway, Breathing.

TUNJANGAN HIDUP LANJUTAN, terdiri dari langkah :


D ( drugs ) : Pemberian obat-obatan, dimana termasuk di dalamnya :
pengobatan definitif, termasuk pemberian obat-obat untuk koreksi asidosis dan memelihara
irama jantung dan sirkulasi pemberian cairan intervena.
penggunaan alat-alat tambahan, misalnya intubasi endotrakheal airway, ventilator, oksigen
dan sebagainya.
stabilisasi kondisi penderita.
E ( electrocardiograph ) :
Diagnosis elektrokardiografis untuk mengetahui adanya fibrilasi ventrikel, asistole atau
agonal ventricle complexes, dan monitoring.
F ( fibrillation treatment ) : Tindakan defibrilasi untuk mengatasi fibrilasi ventrikel.
Pemberian obat-obatan umumnya diperlukan untuk penderita yang mendapat RJP. Obat-
obatan sebaiknya diberikan intravena agar cepat mencapai sistim kardiovaskular. Obat-obatan
dibagi 2 golongan yaitu : penting dan berguna.

1) Penting, yaitu :
 Sodium bikarbonat, atau natrium bikarbonat diberikan secara intravena dosis 1
mEq/kgBB bolus maupun dalam infus selama 10 menit guna untuk mengatasi
metabolic asidosis
 Epinephrine, atau adrenaline dosis ½ ml dari larutan 1/100 dilarutkan dalam
10ml, atau 5 ml dari larutan 1/1000, harus diberikan secara intravena setiap 5
menit selama usaha resusitasi. Kerja adrenaline guna untuk memperbaiki aktifitas
listrik dalam keadaan asistole dan memudahkan defibrilasi serta fibrilasi ventrikel.
Adrenaline juga menambah kontraktilitas miokard, meninggikan tekanan perfusi.
 Sulfat Atropin, dosis yang dianjurkan ½ mg diberikan secara intravena bolus dan
diulangi dalam interval 5 menit sampai denyut nadi lebih dari 60, dosis SA tidak
boleh melebihi 2mg kecuali pada AV blok derajat 3. berfungsi dalam mengurangi
tonus vagal, memudahkan konduksi atrioventrikular dan mempercepat denyut
jantung pada keadaan sinus bradikardia. Paling berguna dalam mencegah arrest
pada keadaan sinus bradikardi sekunder karena infark miokard disertai hipotensi.
 Lidokain, dosis 50-100mg diberikan secara intravena sebagai bolus secara
perlahan dan dapat dilanjutkan dengan infus continue 1-3 mg/menit, mempunyai
efek antiaritmia dengan cara meninggikan ambang stimulasi listrik dari ventrikel
selama diastole dan juga meninggikan ambang fibrilasi.
 Morphin sulfat, dosis 1 ml (3mg) sampai 1½ ml (4,5mg) diberikan secara
intavena tiap 5 menit sampai 30menit kalau perlu, guna untuk mengurangi nyeri
pada kasus-kasus miokard infark dan pengobatan edema paru.
 Kalsium Khlorida; dosis yang dianjurkan adalah 2,5 – 5ml dari larutan 10%.
Berfungsi sebagai menambah kontraktilitas miokard, memperpanjang sistol dan
memudahkan perangsangan ventrikel. Kalsium tidak boleh diberikan bersamaan
dengan biknat karena dapat menggumpal.
 oksigen juga dianggap obat yang penting.

2) Berguna (useful) yaitu :


 obat-obat vasoaktif (Levarterenol),
 Isoproterenol (Metaraminol),
 Propranolol dan
 Kortikosteroid

 PEMBAGIAN ANASTESI

I. ANASTESI UMUM

Adalah tindakan menghilangkan rasa nyeri/sakit secara sentral disertai hilangnya


kesadaran dan dapat pulih kembali (reversible). Komponen trias anastesi ideal terdiri dari
hipnotik, analgesia dan relaksasi otot. Cara pemberian anastesi umum: Parenteral
(intramuscular/intravena), Perektal, Anastesi Inhalasi

II. ANASTESI LOKAL/REGIONAL


Adalah tindakan menghilangkan nyeri/sakit secara lokal tanpa disertai hilangmya
kesadaran. Pemberian anestetik lokal dapat dengan tekhnik:
a. Anastesi Permukaan

Yaitu pengolesan atu penyemprotan analgetik lokal dia kulit, subkutan, selaput
mukosa, seperti mata, hidung atau faring.
b. Anastesi Infiltrasi

Yaitu penyuntikan larutan analgetik lokal langsung diarahkan disekitar tempat


lesi, luka dan insisi.
c. Anastesi spinal

menyuntikkan anesthesia ke dalam spinal subarachnoid space di bawah level


spinalcord (vertebra lumbal ke 2). Tetracaine adalah anastesi spinal yang paling
banyak digunakan. Obat lain seperti procaine, lidocaine, mepivacaine juga
dipakai. Anesthesia spinal berupa larutan isobaric, hiperbarik, atau hipobarik
tergantung pada berat jenis molekul apakah tinggi, sama atau rendah
dibandingkan dengan cairan serebrospinal.

D. Anastesi Caudal Dan Epidural

menyuntikkan anesthesia ke ruang epidural pada daerah lumbal kanalis sekrum


dapat bekerja continue karena diletakkan kateter halus menuju ruang diantara dura
dan ligamentum flavum. Keuntungannyya tidak menyuntikan bahan asing ke
dalah CSF dan dapat menyingkirkan sakit kepala post anesthesia.

Obat-obat yang dapat diberikan sebagai premedikasi pada tindakan anestesi adalah


sebagai berikut:

1. Analgetik narkotik
a. Morfin
Dosis premedikasi dewasa 5-10 mg (0,1-0,2 mg/kg BB) intramuskular diberikan
untuk mengurangi kecemasan dan ketegangan pasien menjelang operasi,
menghindari takipnu pada pemberian trikloroetilen, dan agar anestesi berjalan
dengan tenang dan dalam. Kerugiannya adalah terjadi perpanjangan waktu
pemulihan, timbul spasme serta kolik biliaris dan ureter.
b. Petidin
Dosis premedikasi dewasa 50-75 mg (1-1,5 mg/kg BB) intravena diberikan untuk
menekan tekanan darah dan pernafasan serta merangsang otol polos. Dosis induksi
1-2 mg/kg BB intravena.

2. Barbiturat
Penobarbital dan sekobarbital). Diberikan untuk menimbulkan sedasi. Dosis
dewasa 100-200 mg, pada anak dan bayi 1 mg/kg BB secara oral atau intramuslcular.
3. Antikolinergik
Atropin. Diberikan untuk mencegah hipersekresi kelenjar ludah dan dan bronkus
selama 90 menit. Dosis 0,4-0,6 mg intramuskular bekerja setelah 10-15 menit.
4. Obat penenang (tranquillizer)
a. Diazepam
Diazepam (valium) merupakan golongan benzodiazepin. Dosis premedikasi
dewasa 10 mg intramuskular atau 5-10 mg oral (0,2-0,5 mg/kgBB) dengan dosis
maksimal 15 mg. Dosis sedasi pada analgesi regional 5-10 mg (0,04-
0,2mg/kgBB) intravena. Dosis induksi 0,2-1 mg/kg BB intravena.
b. Midazolam
Mempunyai awal dan lama kerja lebih pendek  dibandingkan dengan
diazepam.

OBAT PELUMPUH OTOT

Obat golongan ini menghambat transmisi neuromuskular sehinggamenimbulkan


kelumpuhan pada otot rangka. Menurut mekanisme kerjanya obat ini dibagi menjadi 2
golongan, yaitu obat penghambat secara depolarisasi resisten dan obat penghambat
kompetitif atau nondepolarisasi. Pada anestesi umum, obat ini memudahkan
dan mengurangi cedera tindakan laringoskopi dan intubasi trakhea, serta memberi relaksasi
otot yang dibutuhkan dalam pembedahan dan ventilasi kendali.

Perbedaan Obat Pelumpuh Otot Depolarisasi dan Nondepolarisasi


Depolarisasi Nondepolarisasi
Ada vasikulasi otot Tidak ada vasikulasi otot
Berpotensiasi dengan antikolinesterase Berpontisiasi dengan hipokalemia, hipotermia, obat
anestetik inhalasi, eter, halotan, enfluran dan
isofluran
Tidak menunjukkan kelumpuhan yang bertahap pada Menunjukkan kelumpuhan yangbertahap pada
perangsangan tunggal atau tetanik perangsangan tunggal atau tetanik

Belum dapat diatasi dengan obat spesifik Dapat diantagonis oleh antikolinesterase

Kelumpuhan berkurang dengan pemberian obat


pelumpuh otot non depolarisasi dan asidosis

1. Obat Pelumpuh Otot Nondepolarisasi


o Pavulon (pankuronium bromida). Dosis awal untuk relaksasi otot 0,008
mg/kgBB intravena pada dewasa. Dosis rumatan setengah dosis awal. Dosis
intubasi trakhea 0,15 mg/kgBB intravena.
o Trakrium (atrakurium besilat). Keunggulannya adalah metabolisme
terjadi di dalam darah, tidak tergantung pada fungsi hati dan ginjal. Dosis
intubasi 0,5-0,6 mg/kgBB intravena. Dosis relaksasi otot 0,5-0,6 mg/kgBB
intravena. Dosis rumatan 0,1-0,2 mg/kgBB intravena.
o Vekuronium (norkuron).
o Rokuronium. Dosis intubasi 0,3-0,6 mg/kgBB. Dosis rumalan 0,1-2 mg/kgBB.

2. Obat Pelumpuh Otot Depolarisasi

Suksametonium (suksinil kolin). Mula kerja 1-2 menit dan lama kerja 3-5 menit. Dosis
intubasi 1-1,5 mg/kgBB intravena.

3. Antagonis Pelumpuh Otot Nondepolarisasi

Prostigmin (neostigmin metilsulfat). Prostigmin mempunyai efek nikotik, muskarinik, dan


merupakan stimulan otot langsung. Dosis 0,5 mg bertahap sampai 5 mg, biasa diberikan
bersama atropin dosis 1- 1,5mg.

OBAT ANESTESI INTRAVENA

a. Tiopenthal :
1) Bubuk berbau belerang, berwarna kuning, dalam ampul 500/1000 mg.
Dilarutkan dengan aquades sampai konsentrasi 2,5%. Dosis 3-7 mg/kgBB.
2) Melindungi otak oleh karena kekurangan O2.
3) Sangat alkalis, nyeri hebat dan vasokonstriksi bila disuntikkan ke arteri yang
menyebabkan nekrosis jaringan sekitar.
b. Propofol:
1) Dalam emulsi lemak berwarna putih susu, isotonic, dengan kepekatan 1%.
Dosis induksi 2-2,5 mg/kgBB, rumatan 4-12mg/kgBB/jam, sedasi perawatan
intensif 0,2mg/kgBB. Pengenceran hanya dengan Dextrosa 5%.
2) Dosis dikurangi pada manula, dan tidak dianjurkan pada anak dibawah 3 thn
dan ibu hamil.
c. Ketamin:
1) Kurang disenangi karena sering takikardi, HT, hipersalivasi, nyeri kepala.
Paska anestesi mual, muntah, pandangan kabur dan mimpi buruk. Dosis bolus
iv 1-2mg/kgBB, im 3-10mg/kgBB.
2) Dikemas dalam cairan bening kepekatan 5%, 10%, 1%.
d. Opioid:
1) Diberikan dosis tinggi, tak menggangu kardiovaskular, sehingga banyak
digunakan untuk pasien dengan kelainan jantung.
2) Untuk induksi dosis 20-50mg/kgBB, rumatan dosis 0,3-1 mg/kgBB/mnt.

OBAT ANESTESI INHALASI

Yaitu anastesi dengan menggunakan gas atau cairan anastesi yang mudah menguap
(volatile agent) sebagai zat anestetik melalui udara pernapasan. Zat anestetik yang digunakan
berupa campuran gas (denganO 2 ) dan konsentrasi zat anestetik tersebut tergantung dari
tekanan parsialnya.

Zat Untung Rugi

N2O Analgesik kuat, baunya Jarang digunakan tunggal, harus disertai O 2 minimal
manis, tidak iritasi, tidak 25%, anestetik lemah, memudahkan hipoksia difusi.
terbakar.

Halotan Baunya enak. Tidak Vasodilator serebral, meningkatkan aliran darah


merangsang jalan nafas, otak yang sulit dikendalikan, analgesik lemah.
anestesi kuat
Kelebihan dosis akan menyebabkan depresi nafas,
menurunnya tonus simpatis, hipotensi, bradikardi,
vasodilator perifer, depresi vasomotor, depresi
miokard.

Kontraindikasi gangguan hepar. Paska pemberian


menyebabkan menggigil.

Enfluran Induksi dan pemulihan Pada EEG, menunjukkan kondisi epileptik. Depresi
lebih cepat dari halotan. nafas, iritatif, depresi sirkulasi.
Efek relaksasi terhadap otot
lebih baik

Isofluran Menurunkan laju meta- Meninggikan aliran darak otak dan TIK.
bolisme otak terhadap O2

Desfluran Sangat mudah menguap, potensi rendah.


Simpatomimetik, depresi nafas, me-rangsang jalan
nafas atas.

Sevofluran Bau tidak menyengat, tidak


merangsang jalan nafas,
kardiovaskular stabil
KOREKSI ELEKTROLIT IMBALANCE
1. Hiponatremia

Hiponatremia didefinisikan sebagai serum Na ≤ 135 mmol /L. Gejala-gejala dan


tanda-tanda hiponatremia dapat sangat halus dan non spesifik. Hal ini penting untuk
menentukan apakah hiponatremia ini akut (memburuk dalam ≤ 48 jam) atau kronis
(memburuk dalam ≥ 48 jam). Dalam hiponatremia akut (durasi ≤ 48 jam '), pengobatan
yang cepat dan koreksi natrium disarankan untuk mencegah edema serebral. Hal ini
berbeda dengan hiponatremia kronis, di mana koreksi harus lambat untuk mencegah
central pontine myelinolysis yang dapat menyebabkan kerusakan saraf permanen. Target
yang harus dicapai untuk meningkatkan natrium ke tingkat yang aman ( ≥ 120 mmol / l).
Natrium tidak harus mencapai level normal dalam 48 jam pertama.

Na = 125 – Na Serum x 0,6 x BB (kg)


atau
Defisit Natrium = 0,6 x BB (kg) X (140 – Na serum)

Koreksi diberikan dalam 4 jam. Pemberian NaCl 3% dengan dosis 1 mL/kgbb diharapkan
dapat meningkatkan kadar Natrium sekitar 1,6 mEq/L. Larutan ini tidak untuk diberikan
pada keadaan hiponatremia yang asimptomatik. Kenaikan kadar natrium serum idealnya
tidak melebihi 1 mEq/jam.

2. Hipernatremia
Hipernatremia didefinisikan sebagai natrium serum lebih besar dari 145 mmol / L.
Gambaran klinis hipernatremia non spesifik seperti anoreksia, mual, muntah,
kelelahan, dll. Natrium tersebut jika diperbaiki terlalu cepat ada risiko mengakibatkan
edema serebral. Saran yang baik adalah bertujuan untuk 0,5 mmol / L / jam dan
maksimal 10 mmol / L / hari.

3. Hipokalemia
Hipokalemia didefinisikan dimana konsentrasi kalium dalam darah kurang dari 3.8
mEq/L. Potassium memiliki sediaan pil atau cairan, dan dosis-dosisnya diukur dalam
mEq. Dosis-dosis yang umum adalah 10-20mEq per hari. . Ketika potassium perlu
diberikan secara intravena, ia harus diberikan secara perlahan-lahan. Potassium
mengiritasi vena dan harus diberikan pada kecepatan dari kira-kira 10 mEq per jam.
Begitu juga, menginfus potassium terlalu cepat dapat menyebabkan aritmia jantung.

 Bila kadar K  <2,5 mEq/L (dengan atau tanpa gejala) berikan KCl 3,75% i.v. dengan
dosis 3-5 mEq/kgbb, maksimal 40 mEq/Liter cairan
 Bila kadar K  2,5-3,5 mEq/L (dengan atau tanpa gejala) berikan KCl 75 mg/kg/hari
p.o. dibagi 3 dosis

4. Hiperkalemia
Kadar kalium > 5 mEq/L. Gejala-gejala hiperkalemia umumnya simptomatik,
tetapi pada keadaan yang serius dapat menyebabkan denyut jantung melambat dan
nadi yang melemah. Hiperkalemia yang parah dapat berakibat pada berhentinya
jantung yang fatal.  Tatalaksana berikan 10 ml kalsium glukonat 10% iv selama 1-2
menit. Ini aman dan bisa diulang setiap 5 menit untuk 4 dosis jika EKG terus
memperlihatkan gambaran hiperkalemi

5. Asidosis respiratorik (pH< 7,35 dan PaCO2> 45 mmHg)

Kondisi ini berhubungan dengan retensi CO2secara sekunder untuk


menurunkan ventilasi alveolar pada pasien bedah. Kejadian akut merupakan akibat
dari ventilasi yang tidak adekuat termasuk obstruksi jalan nafas, atelektasis,
pneumonia, efusi pleura, nyeri dari insisi abdomen atas, distensi abdomen dan
penggunaan narkose yang berlebihan. Manajemennya melibatkan koreksi yang
adekuat dari defek pulmonal, intubasi endotrakeal, dan ventilasi mekanis bila perlu.
Perhatian yang ketat terhadap higiene trakeobronkial saat post operatif adalah sangat
penting.

6. Alkalosis respiratorik (pH> 7,45 dan PaCO2 < 35 mmHg)

Kondisi ini disebabkan ketakutan, nyeri, hipoksia, cedera SSP, dan ventilasi
yang dibantu. Pada fase akut, konsentrasi bikarbonat serum normal, dan alkalosis
terjadi sebagai hasil dari penurunan PaCO2yang cepat. Terapi ditujukan untuk
mengkoreksi masalah yang mendasari termasuk sedasi yang sesuai, analgesia,
penggunaan yang tepat dari ventilator mekanik, dan koreksi defisit potasium
yang terjadi.

7.  Asidosis metabolik (pH<7,35 dan bikarbonat <21 mEq/L)

Kondisi ini disebabkan oleh retensi atau penambahan asam atau kehilangan
bikarbonat. Penyebab yang paling umum termasuk gagal ginjal, diare, fistula usus
kecil, diabetik ketoasidosis, dan asidosis laktat. Kompensasi awal yang terjadi adalah
peningkatan ventilasi dan depresi PaCO2. Penyebab paling umum adalah syok,
diabetik ketoasidosis, kelaparan, aspirin yang berlebihan dan keracunan metanol.
Terapi sebaiknya ditujukan terhadap koreksi kelainan yang mendasari. Terapi
bikarbonat hanya diperuntukkan bagi penanganan asidosis berat dan hanya setelah
kompensasi alkalosis respirasi digunakan.
8.  Alkalosis metabolik (pH>7,45 dan bikarbonat >27 mEq/L)

Kelainan ini merupakan akibat dari kehilangan asam atau penambahan


bikarbonat dan diperburuk oleh hipokalemia. Masalah yang umum terjadi pada pasien
bedah adalah hipokloremik, hipokalemik akibat defisit volume ekstraselular. Terapi
yang digunakan adalah sodium klorida isotonik dan penggantian kekurangan
potasium. Koreksi alkalosis harus gradual selama perode 24 jam dengan pengukuran
pH, PaCO2 dan serum elektrolit yang sering.
MATI BATANG OTAK
Penentuan kematian batang otak memerlukan penilaian fungsi otak oleh minimal dua
orang klinisi dengan interval waktu pemeriksaan beberapa jam. Tiga temuan penting
pada kematian batang otak adalah koma dalam, hilangnya seluruh refleks batang otak,
dan apnea. Pemeriksaan apnea (tes apnea) secara khas dilakukan setelah evaluasi
refleks batang otak yang kedua.

Hilangnya refleks batang otak


Pupil:
a. Tidak terdapat respon terhadap cahaya atau refleks cahaya negatif
b. Ukuran: midposisi (4 mm) sampai dilatasi (9 mm)

Gerakan bola mata /gerakan okular:


a. Refleks oculocephalic negatif
Pengujian dilakukan hanya apabila secara nyata tidak terdapat retak atau
ketidakstabilan vertebrae cervical atau basis kranii.
b. Tidak terdapat penyimpangan atau deviasi gerakan bola mata terhadap irigasi 50 ml
air dingin pada setiap telinga. Membrana timpani harus tetap utuh; pengamatan 1
menit setelah suntikan, dengan interval tiap telinga minimal 5 menit.

Respon motorik facial dan sensorik facial:


a. Refleks kornea negatif
b. Jaw reflex negatif (optional)
c. Tidak terdapat respon menyeringai terhadap rangsang tekanan dalam pada kuku,
supraorbita, atautemporomandibular joint.

Refleks trakea dan faring:


a. Tidak terdapat respon terhadap rangsangan di faring bagian posterior
b. Tidak terdapat respon terhadap pengisapan trakeobronkial (tracheobronchial
suctioning).
Tes Apnea
Secara umum, tes apnea dilakukan setelah pemeriksaan refleks batang otak yang kedua
dilakukan. Tes apnea dapat dilakukan apabila kondisi prasyarat terpenuhi:
a. Suhu tubuh ≥ 36,5 °C atau 97,7 °F
b. Euvolemia (balans cairan positif dalam 6 jam sebelumnya)
c. PaCO2 normal (PaCO2 arterial ≥ 40 mmHg)
d. PaO2 normal (pre-oksigenasi arterial PaO2 arterial ≥ 200 mmHg)

Setelah syarat-syarat tersebut terpenuhi, dokter melakukan tes apnea berikut:


a. Pasang pulse-oxymeter  dan putuskan hubungan ventilator
b. Berikan oksigen 100%, 6 L/menit ke dalam trakea (tempatkan kanul setinggi
carina)
c. Amati dengan seksama adanya gerakan pernafasan (gerakan dinding dada atau
abdomen yang menghasilkan volume tidal adekuat)
d. Ukur PaO2, PaCO2, dan pH setelah kira-kira 8 menit, kemudian ventilator
disambungkan kembali
e. Apabila tidak terdapat gerakan pernafasan, dan PaCO2 ≥ 60 mmHg (atau
peningkatan PaCO2 lebih atau sama dengan nilai dasar normal), hasil tes apnea
dinyatakan positif (mendukung kemungkinan klinis kematian batang otak).
f. Apabila terdapat gerakan pernafasan, tes apnea dinyatakan negative (tidak
mendukung kemungkinan klinis kematian batang otak) .
g. Hubungkan ventilator selama tes apnea apabila tekanan darah sistolik turun sampai
< 90 mmHg (atau lebih rendah dari batas nilai normal sesuai usia pada pasien < 18
tahun), atau pulse-oxymeter mengindikasikan adanya desaturasi oksigen yang
bermakna, atau terjadi aritmia kardial.
Obat inhalasi :

Semua gas inhalasi memepengaruhi

1. laju jantung secara langsung melalui efek di nodus SA


2. mengurangi respon ventilasi
3.

Nitrit okside, turunan eter (isofluran, desfluran, sevofluran, enfluran) danturunan etan
( halotan). Semua anestetika inhalasi menurunkan tekanan darah karena vasodilatasi dan
depresi miokard.

Halotan sudah tidak dipakai lagi dikarenakan sering menyebabkan aritmia diduga karena
katekolamin yang tinggi

Dan hepatotoksisitas dimana terjadi penurunan aliran darah porta sehingga terjadi oksigenasi
hipoksia hepatosit

Gas inhalasi menekan fungsi mukosiliaris jalan nafas dan jika berlangsung lama akan
menyebabkan penumpukan mucus yang dapat menjadi infeksi pascabedah, tetapi juga
mempunyai efek bronkodilator shingga menjadi pilihan pada pasien asma, bronchitis,
PPOK). Bagi pasien obesitas maka pertimbangkan low lipid solube dikarenakan jaringan
lemak termasuk jaringan kurang pendarahannya sehingga lebih membutuhkan waktu dalam
proses eleminasinya sehingga pemilihan seperti N2O, desfluran dan sevofluran
Indikasi anestesia IV

1. Induksi anestesia

2. Anestesia tunggal bedah singkat

3. Tambahan pada analgesia regional

4. Anti konvulsi

Keuntungan IV 1. Mula kerja cepat 2. Induksi mulus 3. Jarang iritasi pernapasan 4. Alat
sederhana 5. Aman dengan listrik 6. Bangun cepat, kecepatan dosis besar( Cepat
diredistribusi - Cepat dimetabolisme )

7. Bangun mulus

Kerugian Intravena 1. Infeksi / infeksi silang 2. Trauma jarum / kateter (saraf, arteri) 3.
Hematoma pasca suntikan 4. Iritasi / nekrosis (Tio, dia, eto) propofol 5. Prolaps sirkulasi 6.
Depresi napas (pronanidid) 7. Kadang-kadang sulit cari vena 8. Obat masuk tidak bisa keluar

REGIONAL ANALGESIA

Keuntungan Kontraindikasi - Anak < 10 tahun - Stupor – Psikose

Pemakaian < karena (?) - Takut gagal - Waktu yang lama - Takut komplikasi neurologis -
Pasien sadar

Blok saraf Analgesik lokal menghambat depolarisasi membran 1. 2. Molekul-molekul


menempati kanal-kanal sehingga kanal edema

Toksisitas, tergantung : - Jumlah obat - Konsentrasi - Ada / tidaknya adrenalin - Vaskularitas


(banyaknya pembuluh darah) - Absorpsi - Destruksi – Hipersensitivitas

Keuntungan digunakan adrenalin : 1. Karena vasokonstriktor, penyerapan obat menjadi lebih


lama sehingga blokade lebih lama 2. Dosis maksimal menjadi lebih tinggi Dosis maksimal
Lidocain 400 mg (+) adrenalin --> 600 mg
Macam dan Obat Terdiri dari molekul : - Aromatik - Lipohilic - Hidrophilic - Ester - Cocain -
Procain - Choroprocaine - Amide - Lignocain - Mepivacain - Bupivacain - Etidocain –
Ropivacain

Obat anastesi akan menduduki reseptor2 sitikolin dan akan bekerja sampai waktu durasi, jika
sebelum mencapai waktu paruh sudah diberi referrsal (sulfas atropine dan ) obat pengusir dr
ion channel itu ga akan mempan, krn dia bakal pergi bentar tp kemudian balik menduduki ion
channel tsb krn waktu paruh tersebut belum juga selesai.

Premed fentanyl, midazolam analgetik sedasi non depresi,

Ramsay score untuk menentukan derajat seberapa dalam dia telah tersedasi

Propol, ketamine, tiopenton, digunakan saat induksi

Induksi digunakan untuk menganastesi maksimal sampai apnue, ada pembagian stadium2
anastesi :

1. Stadium
2. Stadium
3. Stadium bedah

Obat pelumpuh otot digunakan untuk memudahkan proses intubasi

Suksinil kolin itu menyerupai asetil kolin menyebakan depolarisasi dan merupakan agonis
dari asetil kolin tapi terlalu banyak efek samping karena meningkatkan kalium, pertukaran
ion kana da pertukaran pada ion2 channel. Maka dr itu dicari obat yg tidak menimbulkan
banyak kelojotan, dicari yang non depolarisasi dipake lah atrakumin dan kawan2.
Neumuskular junction disini lah obat bekerja memblokade.

Kerja sedang itu atrakum

kerja panjang itu neoferon

onset of action itu kecepatan relaksasi itu yg dikejar oleh dr2 anastesi, suksinil kolin 3-5
menit uda habis kerja obatnya tapi 30 detik aja uda mulai onsetnya. Keuntungannya

atrakum 15-20 menit obat br habis, tapi mulainya itu 3 menit.

bandingkan dngan tramus onset nya itu 3 menit.

bes index untuk mengetahui uda berapa saraf yang lumpuh ditaruh koyok di kepala.
Depolarisasi
Terapi cairan resusitasi ditujukan untuk menggantikan kehilangan akut cairan tubuh atau
ekspansi cepat dari cairan intravaskuler untuk memperbaiki perfusi jaringan. Misalnya pada
keadaan syok dan luka bakar. 

Terapi cairan resusitasi dapat dilakukan dengan pemberian infus Normal Saline (NS), Ringer
Asetat (RA), atau Ringer laktat (RL) sebanyak 20 ml/kg selama 30-60 menit. Pada syok
hemoragik bisa diberikan 2-3 l dalam 10 menit. 
Pemulihan Pasca-Anestesi  aldrete score

Stadium Anestesi
Guedel (1920) membagi anestesi umum dengan eter dalam 4 stadium
(stadium III dibagi menjadi 4 plana), yaitu:

a. Stadium I

Stadium I (analgesi) dimulai dari saat pemberian zat anestetik sampai hilangnya


kesadaran. Pada stadium ini pasien masih dapat mengikuti perintah dan terdapat
analgesi (hilangnya rasa sakit). Tindakan pembedahan ringan, seperti pencabutan
gigi dan biopsi kelenjar dapat dilakukan pada stadium ini
b. Stadium II
Stadium II (delirium/eksitasi, hiperrefleksi) dimulai dari hilangnya kesadaran
dan refleks bulu mata sampai pernapasan kembali teratur.

c. Stadium III

Stadium III (pembedahan) dimulai dengan tcraturnya pernapasan sampai


pernapasan spontan hilang. Stadium I I I  dibagi menjadi 4 plana yaitu:
1) Plana 1 : Pernapasan teratur, spontan, dada dan perut seimbang,  terjadi
gerakan bola mata yang tidak menurut kehendak, pupil midriasis, refleks
cahaya ada, lakrimasi meningkat, refleks faring dan muntah tidak ada, dan
belum tercapai relaksasi otot lurik yang sempurna. (tonus otot
mulaimenurun).
2) Plana 2 : Pernapasan teratur, spontan, perut-dada, volume tidak menurun,
frekuensi meningkat, bola mata tidak bergerak, terfiksasi di tengah, pupil
midriasis, refleks cahaya mulai menurun, relaksasi otot sedang, dan refleks
laring hilang sehingga dikerjakan intubasi.

3) Plana 3 : Pernapasan teratur oleh perut karena otot interkostal mulai paralisis,
lakrimasi tidak ada, pupil midriasis dan sentral, refleks laring dan
peritoneum tidak ada, relaksasi otot lurik hampir sempuma (tonus otot
semakin menurun).
4) Plana 4 : Pernapasan tidak teratur oleh perut karena otot interkostalparalisis
total, pupil sangat midriasis, refleks cahaya hilang, refleks sfmgter ani dan
kelenjar air mata tidak ada, relaksasi otot lurik sempuma (tonus otot
sangat menurun).
d. Stadium IV

Stadium IV (paralisis medula oblongata) dimulai dengan  melemahnya


pernapasan perut dibanding stadium III plana 4. pada stadium ini tekanan darah
tak dapat diukur, denyut jantung berhenti, dan akhirnya terjadi kematian.
Kelumpuhan pernapasan pada stadium ini tidak dapat diatasi dengan pernapasan
buatan.
SKALA RESIKO “ASA”
“American Society of Anaesthesiologists” (ASA) menetapkan sistem penilaian yang
membagi status fisik penderita ke dalam lima kelompok.
Golongan Status Fisik
Tidak ada gangguan organic, biokimia dan psikiatri, misalnya
I penderita dengan hernia inguinalis tanpa kelainan lain, orang tua
sehat dan bayi muda yang sehat.
Gangguan sistemik ringan sampai sedang yang bukan disebabkan
oleh penyakit yang akan dibedah, misalnya penderita dengan
II
obesitas, penderita bronchitis dan penderita DM ringan yang akan
menjalani apendektomi
Penyakit sistemik berat, misalnya penderita DM dengan
III
komplikasi pembuluh darah dan datang dengan appendicitis akut
Penyakit gangguan sistemik berat yang membahayakan jiwa yang
IV tidak selalu dapat diperbaiki dengan pembedahan, missal
insufisiensi koroner atau MCI
Keadaan terminal dengan kemungkinan hidup kecil, pembedahan
V dilakukan sebagai pilihan terakhir, missal penderita syok berat
karena perdarahan akibat kehamilan di luar uterus yang pecah.

Anda mungkin juga menyukai