Anda di halaman 1dari 3

Latar Belakang

Secara umum akuntansi memiliki konsep dasar yang menjadi acuan dalam menyusun standar
akuntansi yang ditujukan bagi praktek akuntansi. Basis postulat akuntansi inilah yang kemudian
muncul konsep-konsep dasar dalam penyajian maupun pelaporan keuangan entitas.
Dalam menghasilkan laporan keuangan yang valid dan akurat, para akuntan harus
menjalankan proses akuntansi dengan baik, terstruktur, sesuai prosedur serta memenuhi prinsip
akuntansi yang diterima umum. Tujuan dari penggunaan prinsip akuntansi tersebut adalah untuk
menciptakan kesesuaian antara pengguna akuntansi satu dengan lainnya. Sehingga informasi
keuangan yang dihasilkan dapat diperbandingkan dan memenuhi kebutuhan dari pengguna
informasi tersebut.
Prinsip akuntansi merupakan dasar atau acuan dalam melaksanakan proses akuntansi.
Pemakaian prinsip ini memunculkan penilaian secara objektif terhadap produk akuntansi
sehingga tidak menyebabkan terjadinya perbedaan atau permasalahan. Selain itu, laporan
keuangan sebagai produk akuntansi haruslah bisa dibaca dan dipahami oleh semua pihak. Karena
itu perlu adanya penyeragaman pada prosedur akuntansi. Beda negara maka beda pula prinsip
akuntansinya.
Hal itu disesuaikan dengan kebutuhan dan faktor-faktor lain yang ada di masing-masing
negara. Di Indonesia, prinsip akuntansi diatur oleh IAI atau Ikatan Akuntansi Indonesia, yaitu
badan yang mengatur peraturan dan kebijakan akuntansi yang berlaku di Indonesia. Adapun
prinsip-prinsip akuntansi yang perlu Anda ketahui adalah sebagai berikut.
 Prinsip Entitas Ekonomi.
 Prinsip Periode Akuntansi
 Prinsip Biaya Historis
 Prinsip Satuan Moneter
 Prinsip Pengungkapan Penuh
 Prinsip Pengakuan Pendapatan
 Prinsip Mempertemukan
 Prinsip Konsistensi
 Prinsip Materialitas
Konsep dasar akuntansi menurut Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) dalam Kerangka Dasar
Penyajian dan Pelaporan Keuangan (KDPPLK) paragraf 22 dan 23 menyatakan bahwa asumsi
dasar akuntansi berdasarkan dasar akrual dan kelangsungan usaha(going concern). Menurut
International Financial Reporting Standards (IFRS) pada The Conceptual Framework for
Financial Reporting paragraf 4.1, sebagai asumsi dasar akuntansi adalah hanya kelangsungan
usaha. Sedangkan menurut Paton dan Littleton yang dikutip Suwardjono (2005), konsep dasar
akuntansi terdiri dari, konsep kesatuan usaha (Entity Theory), kontinuitas usaha(going concern),
penghargaan sepakatan, kos melekat(cost attach), upaya dan hasil(effort and accomplishment),
bukti terverifikasi, dan asumsi.
Dengan lebih lengkap, Anthony, Hawkins, dan Merchant sebagaimana yang dikutip
Suwardjono (2005), konsep dasar akuntansi terdapat beberapa poin, di antaranya konsep
pengukuran dengan unit uang, konsep entitas, konsep kelangsungan usaha, konsep kos, aspek
ganda, periode akuntansi, konservatisme, realisasi, penandingan, konsistensi, dan materialitas.
Maka, untuk kepentingan penelitian, hanya akan dijelaskan konsep dasar yang merupakan
postulat akuntansi dan berhubungan dengan asumsi dasar akrual sebagai basis pencatatan
akuntansi. Yaitu, konsep entitas, konsep pengukuran uang, konsep kelangsungan usaha, konsep
dua aspek akuntansi, konsep kos, konsep periode akuntansi, konsep penandingan (matching
concept), dan konsep upaya dan hasil (effort and accomplishment). Berikut penjelasan masing-
masing konsepnya:
Konsep Entitas Bisnis (Entity Theory)
Dalam konsep ini bisnis perusahaan sebagai suatu organisasi bisnis diperlakukan berbeda
atau secara hukum terpisah dengan pemilik dari bisnis tersebut. Hal ini termasuk bahwa
transaksi-transaksi dalam bisnis tersebut harus dijaga secara keseluruhannya agar terpisah dari
urusan pribadi dari seorang pemiliknya. Namun, diperbolehkan bagi seorang pemilik untuk dapat
memperoleh informasi yang benar mengenai kondisi perusahaannya.
Business entity concept atau dalam literatur-literatur teori akuntansi dikenal dengan entity
theory digagas oleh William A Paton, seorang professor dari Universitas Michigan. Ditegaskan
olehnya, bahwa dengan adanya entity theory, perusahaan dengan pemiliknya menjadi terpisah.
Kepemilikan aset dimiliki oleh perusahaannya, dan antara kewajiban dengan pemegang ekuitas
oleh investor dalam aset tersebut merupakan hak yang berbeda. Atas dasar konsep ini, maka
dapat dirumuskan dalam posisi keuangan atau neraca bahwa aset sama dengan jumlah kewajiban
ditambah dengan ekuitas pemilik. Konsep ini menurut Suwardjono (2005) mempersonifikasi
badan usaha sebagai orang yang dapat melakukan perbuatan hukum dan ekonomi, misalnya
dalam pembuatan kontrak dan kepemilikan aset. Menurutnya, sebagai konsekuensi dari konsep
entitas, hubungan antara entitas dengan pemilik dipandang sebagai hubungan bisnis terutama
dalam hak dan kewajiban atau utang piutang.
Meskipun antara perusahaan dengan pemiliknya terpisah, namun pemilik tetap berhak atas
keuntungan yang harus diberikan oleh perusahaan dalam bentuk dividen. Laba bersih yang
diperoleh dengan demikian bukanlah semerta-merta adalah hak dari pemilik perusahaan.
Diperlukan proses dalam menentukan untuk dapat ditentukan kebijakan distribusi laba dalam
bentuk dividen atau mengambil kebijakan untuk menahan laba, yang dikenal dengan laba ditahan
yang ditambahkan pada ekuitas pada posisi keuangan. Yang secara substansi juga menambah
kekayaan dari pemilik perusahaan itu sendiri.
Dalam hubungan antara perusahaan dengan pemilik ini memang perlu pengkajian apakah
entity theory selamanya menjadi relevan pada semua bentuk bisnis. Sebab pada tiap bentuk
bisnis, tetap ada keinginan pemilik untuk menjadi bagian dari manajemen dan mengoperasikan
bisnisnya tersebut. Namun, American Accounting Association (AAA) yang dikutip Wolk,
Francis, dan Tearney (1991) dalam bukunya Accounting Theory: a Conceptual and Institutional
Approach menyatakan bahwa:
Although the entity theory provides a good description of the relationship between the firm and
its owners, its duality relative to income and owner’s equity in the traditional form has probably
been responsible for fact that its precepts have not taken a strong hold in committee reports and
release of various accounting bodies. (hlm 132)
Suwardjono (1986) menyatakan bahwa yang dimaksud dengan konsep entitas bisnis
(business entity concept) memberikan konsekuensi bahwa laporan keuangan merupakan
pertanggungjawaban perusahaan dan bukanlah pertanggungjawaban pemilik, maka dengan
demikian pendapatan dan biaya dipandang sebagai perubahan dalam kekayaan perusahaan
bukannya perubahan dalam kekayaan pemilik.
Sebagai implikasi dalam administrasi perusahaan yang baik, Suwardjono (1986)
menyatakan bahwa menjadi hal yang sangat penting untuk memisahkan transaksi perusahaan dan
transaksi pribadi. Dalam administrasi lainnya, terutama dalam memperlakukan biaya, semua
biaya yang secara nyata terjadi dalam perusahaan adalah tepat untuk dicatat pertama kali sebagai
bagian dari total kekayaan (aset atau aktiva) perusahaan. “Jadi, biaya pendirian perusahaan,
biaya emisi saham, dan biaya yang ada hubungannya dengan hal tersebut adalah unsur aktiva
perusahaan,(Suwardjono, 1986, hlm.5). Yang jelas konsep ini mendapat legitimasi dengan
diakuinya dalam bentuk badan usaha Perseroan Terbatas (PT) secara hukum.
Penyimpangan prisip akuntansi yaitu bussiness entity yang terjadi lebih banyak terjadi pada
UMKM. UMKM pada dasarnya di dirikan untuk melaksanakan serangkaian aktivitas dan
kegiatan yang bersifat ekonomi dan diharapkan dapat memperoleh suatu hasil akhir yang
menguntungkan bagi pihak -- pihak yang berkepentingan. Hasil akhir dari aktivitas dan kegiatan
pada UMKM tergambar dalam laporan keuangan yang disusun oleh pihak manajemen.
Namun di dalam praktiknya masih banyak UMKM yang tidak menerapkan EEC ( Economic
Entity Concept ) dalam pengelolaan keuangannya, hal tersebut dikarenakan pelaku UMKM
beranggapan bahwa pengelolaan keuangan merupakan hal yang mudah dan sederhana serta
kurangnya tenaga kerja yang tidak terdidik dalam bidang akuntansi.
Beberapa pelaku UMKM menyatakan bahwa tanpa akuntansi, usaha mereka tetap berjalan
lancar, selalu memperoleh laba dan beraggapan usaha mereka berjalan normal, namun
sebenarnya tidak mengalami perkembangan. Para pelaku UMKM sebatas mengetahui pola jika
produk yang dihasilkan terjual banyak maka untung, tetapi jika produk yang dihasilkan terjual
sedikit maka rugi.
Ketika mereka mendapatkan pertanyaan tentang keuntungan yang di dapatkan, mereka tidak
bisa menunjukkan dengan nominal angka melainkan dengan asset berwujud seperti tanah, sawah,
rumah dan kendaraan. Padahal asset tersebut di dapatkan tidak hanya dengan dana UMKM,
tetapi terkadang ditambah dengan harta pribadi. Asset tersebut terkadang digunakan bukan untuk
kepentingan UMKM saja namun terkadang digunakan untuk kepentingan pribadi dan tidak ada
pencatatan atau pemisahan diantara keduanya.

Anda mungkin juga menyukai