Anda di halaman 1dari 17

PENDAHULUAN

Kata “Demokrasi” memiliki berbagai makna. Dalam konsep ilmu hukum (tata
Negara) demokrasi mengandung arti bahwa kekuasaan tertinggi dalam unsur-unsur politik
merupakan hak rakyat. Dalam UUD 1945 misalnya konsep demokrasi ini kita temukan pada
pasal 1 ayat (2) menegaskan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan
menurut Undang-Undang Dasar.

Amien Rais dalam hal demokrasi, mengemukakan bahwa sedikitnya terdapat tiga
alasan dasar mengapa banyak negara setelah perang dunia II menilai sebagian sistem politik
yang tepat. Pertama: demokrasi merupakan bentuk vital dan terbaik bagi suatu pemerintahan
yang mungkin diciptakan, yang merupakan doktrin luhur pemberi manfaat bagi kebanyakan
Negara. Kedua: demokrasi sebagai sistem politik dan pemerintahan dianggap punya akar
sejarah panjang, sehingga ia tahan banting dan dapat menjamin terselenggaranya suatu
lingkungan politik yang stabil. Ketiga: demokrasi dipandang sebagai suatu sistem paling
alamiah dan manusiawi, sehingga semua rakyat di negara manapun akan memilih demokrasi
apabila mereka diberi kebebasan untuk melakukan pilihannya.1 Demokrasi dalam
perkembangannya menjadi sulit didefinisikan, karena hampir setiap negara menamakan
dirinya sebagai negara paling demokratik.

PEMBAHASAN
1
Seri PRISMA. Demokrasi dan Proses Politik. Jakarta. LP3ES. 1986. Hal VII-XXXIII.
Dalam rangka membahas pengaruh demokrasi dan kehidupan politik terhadap proses
penegakan hukum di Indonesia, maka tidak sebagaimana dijelaskan di atas bahwa patokan
tidak semata-mata pada ketentuan formal tentang sistem ketatanegaraan dari suatu negara
yang tidak jarang justru menyesatkan. Kita ambil contoh suatu negara dipandang demokratis
bila negara itu telah mempunyai lembaga perwakilan rakyat, sistem kepartaian dan lembaga
pemilihan umum serta hak pilih bagi setiap warga negara. Andaikata bentuk-bentuk formal
semacam ini dijadikan patokan untuk mengukur kedemokrasian suatu negara, bisa
menyesatkan karena perlu membedakan antara formal dan subtansi, bahwa suatu sistem
politik bisa saja berbentuk demokrasi, sementara subtansinya otoriter. Maka pada hakekatnya
pemahaman demokrasi secara riil harus didasarkan pada subtansi yakni: government of
people by the people and for the people.

Seperti yang dikemukakan Mariam Budiharjo bahwa untuk melaksanakan nilai-nilai


demokrasi (menyelesaikan perselisihan secara damai dan melembaga, menjamin
terselenggarnya perubahan dalam masyarakat yang sedang berubah, menyelenggarakan
pergantian pemimpin secara teratur, membatasi pemakaian kekerasan sampai minimum,
mengakui adanya keanekaragaman, dan menjamin tegaknya hukum dan keadilan). Perlu
diselenggarakan beberapa lembaga. Pemerintahan yang bertanggung jawab, DPR yang bebas
dan rahasia untuk mengawasi dan menilai pemerintah, pers yang bebas menyatakan pikiran,
dan sistem peradilan yang bebas untuk menjamin hak-hak asasi manusia, mempertahankan
hukum dan keadilan.

Negara modern, konstitusi Indonesia dengan tegas menggariskan bahwa sistem


pemerintahan Indonesia adalah menganut asas negara hukum, dan asas negara demokrasi,
bukan negara kekuasaan. Berdasarkan ketentuan konstitusi tersebut berarti pemerintah
mempunyai kekuasaan yang terbatas dan tidak dibenarkan sewenang-wenang.2 Asas yang
dianut tersebut harus tercemin dalam praktek penyelenggaraan negara. Artinya dalam praktek
penyelenggaraan negara Indonesia, hukum harus mengendalikan kekuasaan, bukan
sebaliknya hukum dipercundangi oleh kekuasaan. Kalu hukum dipercundangi oleh
kekuasaan, maka salah satu dampaknya adalah pada proses penegakan hukum itu sendiri.3

Karena itu demi tegaknya hukum dan demi terlaksananya cita-cita negara hukum dan
demokrasi, maka sebagian penguasa, pemerintah hendaknya dapat bertindak sesuai dengan

2
Mariam Budiharjo. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Gramedia. Jakarta. 1985. Hal 57
3
Dahlan. Kedaulatan Rakyat Negara Hukum dan Konstitusi. Liberty. Yogyakarta. 2000. Hal 56
garis yang telah ditetapkan, sehingga tegaknya hukum dalam praktek ketatanegaraan dapat
dirasakan oleh rakyat sebagai pemilik sah negara ini. Dalam negara hukum, Indonesia tidak
boleh terjadi hukum berdiri pada satu sisi, sementara politik atau kekuasaan dengan
angkuhnya seolah-olah menetukan hukum di sisi lain.

A. Teori Negara Hukum

Munculnya pemikiran tentang negara hukum sebenarnya sudah dimulai sejak abad
XIX sampai dengan abad XX artinya negara hukum itu sendiri pada hakekatnya berakar dari
konsep teori kedaulatan hukum yang pada prinsipnya menyatakan bahwa kekuasaan tertinggi
di dalam suatu negara adalah hukum, oleh sebab itu seluruh alat perlengkapan negara apapun
namanya termasuk warga negara harus tunduk dan patuh serta menjunjung tinggi hukum
terkecuali. Krabe mengemukakan:

“Negara sebagai pencipta dan penegak hukum didalam segala kegiatannya harus
tunduk pada hukum yang berlaku. Dalam arti ini hukum membawakan negara. Berdasarkan
pengertian hukum itu bersumber dari kesadaran hukum rakyat, maka hukum mempunyai
wibawa yang tidak berkaitan dengan seseorang (impersonal)”.4
Berdasarkan konsep teroritis inilah berkembang konsep negara hukum yang
menghendaki adanya unsur-unsur tertentu dalam penyelenggarakan sistem ketatanegaraan,
yaitu:

1. Adanya jaminan hak asasi manusia (warga negara). Unsur ini ditempatkan yang
pertama kali, karena sejatinya negara itu terbentuk karena adanya kontrak social. Dari
kontrak social inilah individu-individu dalam ikatan kehidupan bersama dalam negara
menyerahkan hak-hak politik dan sosialnya kepada ikatan komunitas negara dan
masyarakat.

2. Adanya pemisahan atau pembagian kekuasaan. Untuk melindung hak-hak asasi


manusia, amak kekuasaan di dalam negara harus dipisah-pisahkan atau dibagi-bagi ke
dalam beberapa organ negara. Implementasi tersebut, pada hakekatnya adanya unsur
pemisahan ataupun pembagian kekuasaan tanpa bertujuan untuk menjadikan kekuasaan
yang ada di dalam negara tidak di salahgunakan yang pada akhirnya justru akan
melanggar hak-hak asasi manusia warga negara.

4
Krabe, dalam Handoyo. Hukum Tata Negara, Kewarganegaraan & Hak Asasi Manusia. Andi Offset.
Yogyakarta. 2003. Hal 12
3. Adanya asas legalitas pemerintah. Maksud dari asas ini adalah pemerintah dalam
melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya harus berdasarkan pada hukum atau
peraturan perundang-undangan yang berlaku.

4. Adanya prinsip peradilan yang bebas dan tidak memihak. Prinsip seperti ini sangat
penting dalam negara hukum. Supermasi hukum yang diletakkan dalam kehidupan
ketatanegaraan harus dijamin pelaksanaannya.

Dalam konsep negara hukum yang demikian ini, menjadikan negara berperan sebagai
pencipta hukum dan penegak hukum dalam rangka menjaga keamanan dan ketertiban hidup
bersama dalam ikatan organisasi yang disebut negara. Kendati negara dalam pencipta hukum,
ia juga harus tunduk pada hukum ciptaannya. Argumentasi seperti inilah yang mengakibatkan
negara hanya berfungsi layaknya sebagai penjaga malam, artinya negara berfungsi
menciptakan hukum, dan melalui hukum ciptaannya itulah diharapkan dapat tercipta
keamanan dan ketertiban di dalam negara. Negara hanya di konstruksikan sebagai alat untuk
menjunjung keamanan dan ketertiban hidup bersama.

Masih berkaitan dengan negara, Max Waber mengemukakan bahwa negara adalah
satu-satunya lembaga yang memiliki keabsahan untuk melakukan tindakan kekerasan
terhadap warganya. Hal ini menunjukkan bahwa kalau kita berbicara mengenai negara salah
satu aspek yang paling menonjol adalah kekuasaannya yang besar.5 Argumentasi seperti ini
menunjukkan sekali lagi bahwa unsur utama dan pertama dari suatu organisasi yang disebut
negara tidak lain adalah kekuasaan. Oleh sebab itu tidaklah berlebihan jika negara bisa juga
disebut sebagai organisasi kekuasaan.6

Dalam bukunya Ni’matul Huda, Plato mulai memberikan perhatian dan arti yang
lebih tinggi pada hukum. Menurutnya, penyelenggaraan pemerintah yang baik ialah yang
diatur oleh hukum. Plato kemudian dilanjutkan oleh muridnya bernama Aristoteles. Menurut
Aristoteles, suatu negara yang baik ialah negara yang diperintah dengan konstitusi dan
kedaulatan hukum.

Aristoteles, menyatakan bahwasanya pemerintahan dalam suatu negara bukanlah


manusia melainkan pikiran yang adil, dan kesusilaanlah yang menentukan baik buruknya
suatu hukum. Manusia perlu di didik menjadi warga yang baik, yang bersusila, yang pada

5
Arief Budiman. Teori Negara (negara, kekuasaan dan ideologi). Gramedia. Jakarta. 1996. Hal 6.
6
Hestu Cipto handoyo. Ibid. Hal 11.
akhirnya akan menjelmakan manusia yang bersifat adil. Apabila keadaan semacam itu telah
terwujud, maka terciptalah suatu “negara hukum”. Karena tujuan negara adalah
kesempurnaan warganya yang berdasarkan ataas keadilan. Jadi, keadilanlah yang memerintah
dalam kehidupan bernegara. Agar manusia yang bersikap adil itu dapat terjelma dalam
kehidupan bernegara, maka manusia harus di didik menjadi warga yang baik dan benar.

Meskipun cita-cita negara hukum telah lahir sekian abad yang lalu, tetapi untuk
mewujudkan dalam kehidupan bernegara hingga saat ini bukanlah persoalan yang mudah.
Dalam perkembangannya, dengan kedaulatan rakyat yang dijalankan melalui sistem
demokrasi, partisipasi rakyat merupakan esensi dari sistem ini. Dengan kata lain, negara
harus ditopang dengan sistem demokrasi. Demokrasi tanpa pengaturan hukum akan
kehilangan bentuk dan arah, sedangkan hukum tanpa demokrasi akan kehilangan makna.
Demokrasi merupakan cara paling aman untuk mempertahankan kontrol atas negara hukum.7

Prinsip negara hukum demokrasi sudah menjadi paradigma teori ketatanegaraan yang
tidak terbantahkan. Dalam dataran paham konstitusionalisme Indonesia. Prinsip semacam ini
juga telah ditegaskan secara eksplisit di dalam UUD 1945 (sebelum dan sesudah
amandemen). Prinsip-prinsip yang dimaksud adalah menghendaki adanya perlindungan
terhadap hak-hak manusia, prinsip kekuasaan, legalitas pemerintahan dan peradilan yang
bebas. Oleh sebab itu dalam konteks untuk memberikan isi atau muatan konstitusi Indonesia,
maka minimal unsur-unsur inilah yang harus dipergunakan sebagai referensi utama. Dengan
demikian substansi konstitusi antara lain menyangkut:

1. Terjaminnya perlindungan hak asasi manusia yang meliputi dalam aspek individu
(klasik) maupun aspek social politik (HAM Modern).

2. Pemisahan kekuasaan. Sampai saat ini persoalan pemisahan kekuasaan dalam struktur
ketatanegaraan Indonesia belum secara tegas dimasukkan dalam UUD 1945.

3. Legalitas pemerintah. Tidak dapat di pungkiri bahwa pemerintah (dalam arti luas)
berdasarkan rambu-rambu hukum sangat dibutuhkan untuk membatasi pelaksanaan yang
ada.

4. Peradilan yang bebas. Unsur ini sampai sekarang masih belum menunjukkan tanda-
tanda adanya jaminan pelaksanaannya.8
7
Ni’matul Huda. Negara Hukum Demokraasi Judicial Review. UII Press Yogyakarta. 2005. Hal 2.
8
Ibid. Hal 32-43.
Berdasarkan beberapa catatan tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa rekontruksi
konstitusi dalam rangka menangkap tuntutan dan keharusan reformasi Indonesia merupakan
sebuah keniscayaan. Reformasi tanpa pembenahan konstitusi jelas akan “mati suri”. Hal ini
disebabkan dalam praktek ketatanegaraan bersifat otoritarian, konstitusi hanya dipergunakan
sebagai alat untuk mempertahankan hegemoni kekuasaan. Celakanya UUD 1945 dapat
ditefsirkan kearah itu. Executive Heavy memang menjadi paradigma UUD 1945 selama ini.
UUD 1945 ibarat “kitab suci” yang tidak tersentuh oleh tangan-tangan politik dan hukum,
karena kekuasaannya.9

Amandemen I, II, III, dan IV UUD 1945 sudah terjadi. Pendek kata untuk melakukan
amandemen terhadap suatu konstitusi tidak hanya dibatasi oleh periodesasi masa jabatan dari
badan yang berwenang untuk itu. Kondisi-kondisi tersebut diatas semakin diperparah dengan
adanya anggapan bahwa selama UUD 1945 masih dalam proses amandemen, sistem
ketatanegaraan seperti berjalan tanpa arah, tanpa aturan main, tanpa landasan konstitusi.
Keadaan semacam ini harus dihentikan. Cara yang paling efektif adalah dengan melakukan
rekonstruksi konstitusi sambil menjalankan konstitusi secara normatif tanpa penafsiran yang
ambigu. Dan diserahkan kepada lembaga yang berwenang untuk menafsirkan untuk itu, yakni
Mahkamah Konstitusi.

B. Teori Konstitusi

Istilah konstitusi berasal dari bahasa Perancis (constituer) yang berarti membentuk.
Pemakaian istilah ini yang dimaksudkan ialah pembentukan suatu negara atau menyusun dan
menyatakan suatu negara.

Sedangkan istilah undang-undang dasar merupakan terjemahan istilah yang dalam


bahasa Belandanya Gronwet. Perkataan wet diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia
undang-undang, dan grond berarti tanah/dasar. Dalam bahasa latin kata konstitusi merupakan
gabungan dari dua kata, yakni cume dan statuere. Cume adalah sebuah preposisi yang berarti
“bersama dengan…” sedangkan statuere berasal dari kata sta yang membentuk kata kerja
pokok istare yang berarti berdiri. Atas dasar itu, kata statuere mempunyai arti “membuat
sesuatu agar berdiri atau mendirikan/menetapkan”. Dengan demikian bentuk tunggal

9
Ibid
(constitution) berarti menetapkan sesuatu secara bersama-sama dan bentuk jamak
(constitusiones) berarti segala sesuatu yang telah ditetapkan.10

Dalam banyak literatur istilah “constitution” digunakan dalam dua arti, yaitu arti luas
(wider sense) dan arti sempit (narrower sense). K.C Wheare membedakan konstitusi dalam
arti luas dan konstitusi dalam arti sempit. Konstitusi dalam arti luas adalah keseluruhan
sistem pemerintahan dari suatu negara (the whole system of government of country), berupa
kumpulan aturan yang menetapkan dan mengatur tentang pemerintah.

Konstitusi dalam arti luas meliputi pengertian “legal” dan “non-legal rules”.
Termasuk dalam “the non-legal rules” adalah customs dan conventions. Sedangkan konstitusi
dalam arti sempit diartikan sebagai suatu kumpulan aturan yang disusun dalam satu dokumen
formal (single document) atau dalam beberapa dokumen (multi document) yang satu sama
lain saling berhubungan erat.11

James Bryce dalam bukunya yang berjudul “Studies in History and Jurispridence”
menggolongkan undang-undang dasar atau konstitusi dalam dua golongan, yaitu: pertama,
konstitusi fleksibel; kedua, konstitusi rijid. Yang dimaksud dengan konstitusi atau undang-
undang dasar fleksibel adalah suatu undang-undang dasar yang mengandung ciri-ciri pokok12:

1. Elastis yang oleh karenanya dapat menyesuaikan diri dengan mudah.

2. Diumumkan dan diubah dengan cara yang sama seperti undang-undang.

Yng dimaksud dengan undang-undang dasar rijid adalah undang-undang dasar yang
mempunyai cirri-ciri antara lain:

1. Mempunyai kedudukan dan derajat yang lebih tinggi dari peraturan perundang-
undangan yang lainnya.

2. Hanya dapat diubah dengan cara yang khusus atau istimewa.13

10
Dahlan Tahib. Teori dan Hukum Konstitusi. Jakarta. Raja grafindo Persada. 2004. Hal 08.
11
Rosjidi ranggawidjaji. Wewenang Menafsirkan dan Mengubah undang-Undang Dasar. Cita Bhakti
Akademik. Bandung. 1996. Hal 03.
12
Ibid.
13
Sri Soemantri. Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi. Bandung. Penerbit Alumni. Hal 61.
Meskipun tulisan di atas tidak membahas tentang tafsir hukum yang dilakukan oleh
Makamah Konstitusi secara khusus, namun persyaratan-persyaratan yang diuraikan di atas
berkaitan dengan konstitusi negara.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa


kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.
Ditegaskan pula bahwa negara Indonesia adalah negara hukum.

Sejalan dengan prinsip ketatanegaraan di atas, maka salah satu substansi penting
perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah keberadaan
Makamah Konstitusi sebagai lembaga negara yang berfungsi menangani perkara tertentu di
bidang ketatanegaraan, dalam rangka menjaga konstitusi agar dilaksanakan secara
bertanggung jawab sesuai dengan kehendak rakyat dan cita-cita demokrasi. Keberadaan
Makamah Konstitusi juga sekaligus bertujuan untuk menjaga terselenggaranya pemerintahan
negara yang stabil dan juga merupakan koreksi terhadap pengalaman kehidupan
ketatanegaraan di masa lalu yang ditimbulkan oleh tafsir ganda terhadap konstitusi.14

Pasal 50 Undang-Undang Makamah Konstitusi menyatakan:

“Undang-undang yang dapat dimohonkan untuk diuji adalah undang-undang yang


diundangkan setelah perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945”.

Dengan demikian, Makamah Konstitusi merupakan salah satu pelaku kekuasaan


kehakiman, di samping Makamah Agung sebagaimana dimaksud dalam pasal 24 ayat (1) dan
ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Hal ini berarti
Makamah Konstitusi terikat pada prinsip umum penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang
merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan lembaga lainnya dalam menegakkan hukum dan
keadilan.

Karena sebab itu, Undang-Undang Dasar 1945 menentukan bahwa Makamah


Konstitusi mempunyai empat kewenangan konstitusi (constitutionally entrusted powers) dan

14
Rancangan atas Penjelasan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor…Tahun…Tentang Makamah
Konstitusi.
satu kewajiban konstitusional (constitutional obligation). Keempat kewenangan15 Makamah
Konstitusi itu adalah:

1. Menguji Undang-Undang (UU) terhadap Undang-Undang Dasar 1945

2. Memutuskan sengketa kewenangan antara lembaga yang kewenangannya diberikan


oleh Undang-Undang Dasar 1945

3. Memutuskan sengketa hasil pemilihan umum

4. Memutuskan pembubaran partai politik.

Sedangkan kewajiban Makamah Konstitusi adalah memutus pendapat DPR bahwa


Presiden dan atau Wakil Presiden telah bersalah melakukan pelanggaran hukum ataupun
tidak lagi memenuhi pesyaratan sebagai Presiden dan Wakil Presiden seperti yang dimaksud
dalam UUD 1945.16 Maka tanpa harus mengecilkan arti kewenangan lainnya, dari keempat
kewenangan diatas ditambah satu kewajiban tersebut, yang dapat dikatakan paling banyak
mendapat sorotan di dunia ilmu pengetahuan dalam pengujian atas konstitusionalitas UU.
Sejarah pengujian (judicial review) dapat dikatakan dimulai sejak kasus Marbury versus
Modison ketika Makamah Agung Amerika Serikat dipimpin oleh John Marshall pada tahun
1803. Sejak itu, ide pengujian UU menjadi popular dan secara luas didiskripsikan dimana-
mana. Ide ini juga mempengaruhi sehingga “the fouding fathers” Indonesia dalam siding
BPUPKI tanggal 15 Juli 1945 mendiskusikannya secara mendalam. Muhammad Yamin yang
pertama kali mengusulkan agar Makamah Agung diberi kewenangan untuk “…membanding
Undang-Undang..”, demikian istilah Muhammad Yamin ketika itu. Republik Indonesia,
Risalah Sidang BPUPKI dan PPKI tanggal 26 Mei 1945-22 Agustus 1945, Sekretaris Negara
RI, Jakarta, 1995, hal 295 dan baca Muhammad Yamin mengusulkan agar “Makamah Agung
melakukan kekuasaan kehakiman dan membanding undang-undang supaya sesuai dengan
hukum adat, hukum Islam (syari’ah) dan dengan undang-undang dasar dan melakukan aturan
pembatalan undang-undang, pendapat balai agung disampaikan kepada Presiden yang
mengabarkan berita itu kepada Dewan Perwakilan Rakyat”. Dalam perdebatan, ketiga norma

15
Keempat kewenangan ini diatur dalam pasal 24C ayat (1) UUD 1945, dibawah judul BAB IX tentang
kekuasaan kehakiman, sedangkan ketentuan mengenai kewajiban memutus pendapat DPR dalam rangka
tuntutan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden diatur dalam pasal 7B ayat (4) UUD 1945.
16
Lihat Pasal 7B ayat (4) UUD 1945.
pengukur itu ditegaskan lagi oleh Muhammad Yamin, yaitu: Undang-Undang Dasar atau
hukum adat atau Syari’ah.17

Akan tetapi, ide ini ditolak oleh Soepomo karena dinilai tidak sesuai dengan paradigm
yang telah disepakati dalam rangka penyusunan UUD 1945, yaitu bahwa UUD 1945
Indonesia itu menganut sistem supremasi MPR dan tidak menganut ajaran “trias politica”
Montesqieu, sehingga tidak memungkinkan ide pengujian UU dapat diadopsikan ke dalam
UUD 1945.18

Dalam perubahan keempat UUD 1945 antara lain yang berkaitan dengan kekuasaan
kehakiman yang didalamnya menyinggung tentang lembaga Makamah Konstitusi. Di dalam
Pasal 24 ayat (1) ditegaskan kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka
untuk menyelenggarkan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Ketentuan ini telah
mengangkat jaminan kekuasaan kehakiman yang merdeka didalam penjelasan Pasal 24 UUD
1945 kedalam batang tubuh.

Kekuasaan kehakiman yang merdeka ini mengandung pengertiannya didalam


kekuasaan kehakiman yang bebas dari campur tangan pihka keuasaan negara
lainnya dan kebebasan dari paksaan, direktiva atau rekomendasi dari pihak extra-
judicial, kecuali dalam hal-hal yang diijinkan oleh undang-undang; kebebasan dalam
melaksanakan wewenang judicial tidaklah mutlak sifatnya, karena tugas daripada
hakim adalah untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan pancasila dengan
jalan menafsirkan hukum dan mencari dasar-dasr serta asas-asas yang jadi
landasannya, melalui perkara-perkara yang dihadapkan kepadanya, sehingga
keputusannya mencerminkan perasaan keadilan bangsa dan rakyat Indonesia
Rumusan diatas merupakan penjelasan dalam Pasal 1 UU No 14 tahun 1970, yang
menyatakan tentang kekuasaan kehakiman dengan kata lain dijelaskan pula, Pasal 1 yang
berbunyi:

Kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan h=guna


menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya
negara hukum republik Indonesia.
Pada hakekatnya, kedudukan Makamah Konstitusi dan Makamah Agung memang
berbeda. Makamah Agung lebih merupakan pengadilan keadilan (Court of Justice),
sedangkan Makamah Konstitusi lebih berkenaan dengan lembaga pengadilan hukum (Court
of Law). Memang tidak dapat dibedakan seratus persen dan mutlak sebagai “court of justice”
versus “court of law”. Namun hal itu dapat ditengarai dengan pendapat Jimly Asshiddiqie
17
Op. Cit. hal 6
18
Juncto Pasal 20 ayat (1), hasil dariperubahan pertama tahun 1999.
yang mengusulkan seluruh kegiatan “judicial review” diserahkan kepada Makamah
Konstitusi, sehingga Makamah Agung dapat berkonsentrasi menangani perkara-perkara yang
diharapkan dapat mewujudkan rasa adil bagi setiap warga negara. Akan tetapi, pada
kenyatannya UUD 1945 tetap memberikan kewenangan pengujian terhadap peraturan di
bawah UU kepada Makamh Agung. Di pihak lain, Makamah Konstitusi juga diberi tugas dan
kewajiban memutus dan membuktikan unsur kesalahan dan tanggung jawab pidana Presiden
dan Wakil Presiden yang menurut pandapat DPR telah melakukan pelanggaran hukum
menurut Undang-Undang Dasar. Dengan kata lain, Makamah Agung tetap diberi kewenangan
sebagai “court of law” disamping fungsinya sebagai “court of justice”. Sedangkan Makamah
Konstitusi tetap diberi tugas yang berkenaan dengan fungsinya sebagai “court of justice”
disamping fungsi utamanya sebagai “court of law”. Artinya, meskipun keduanya tidak dapat
dibedakan secara seratus persen antara “court of law” dan “court of justice” tetapi hakekatnya
penekanan fungsi hakiki keduanya memang berbeda satu sama lain. Makamah Agung lebih
merupakan “court of justice” daripada “court of law”. Sedangkan Makamah Konstitusi lebih
merupakan “court of law” daripada “court of justice”. Keduanya sama-sama merupakan
pelaku kekuasaan kehakiman menurut ketentuan Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar
1945.19

C. Teori Demokrasi

Terdapat korelasi yang jelas antara negara hukum, yang bertumpuan pada konstitusi
dengan kedaultan rakyat, yang dijalankan melalui sistem demokrasi. Korelasi ini tampak dari
kemunculan istilah demokrasi konstitusional. Dalam sistem demokrasi, partisipasi rakyat
merupakan esensi dari sistem ini. Dengan kata lain, negara hukum harus ditopang dengan
sistem demokrasi. Hubungan diantar kedua tidak dapat dipisahkan. Demokrasi tanpa
pengaturan hukum akan kehilangan bentuk dan arah, sedangkan hukum tanpa demokrasi akan
kehilangan makna. Menurut Maganis Suseno, “demokrasi yang bukan negara hukum bukan
demokrasi dalam artian yang sesungguhnya. Demokrasi merupakan cara paling aman untuk
mempertahankan kontrol atas negara hukum”. Dengan demikian, negara hukum yang
bertopang pada sistem demokrasi dapat disebut sebagai negara hukum demokrasi
(demokratische rechsstaat), sebagai perkembangan lebih lanjut dari demokrasi konstitusional.

19
Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 ini menyatakan: “kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Makamah Agung
dan badan peradlan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama,
lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Makamah Kontitusi”.
Disebut negara hukum demokrasi, karena didalamnya mengakomodir prinsip-prinsip negara
hukum dan prinsip-prinsip demokrasi J.B.J.M. ten Bergen menyebutkan prinsip-prinsip
tersebut sebagai berikut:20

1. Prinsip-prinsip negara hukum.

a. Asas legalitas. Pembatasan kebebasan warga negara (oleh pemerintah) harus


ditemukan dasarnya dalam undang-undang yang merupakan peraturan umum.
Pelaksanaan wewenang oleh organ pemerintahan harus dikembalikan dasarnya pada
undang-undang tertulis yakni undang-undang formil.

b. Perlindungan hak-hak asasi

c. Ketetarikan pemerintah kepada hukum

d. Monopoli paksaan pemerintah untuk menjamin penegakan hukum. Harus


dapat ditegakkan ketika hukum tersebut dilanggar.

e. Pengawasan oleh hakim yang merdeka. Superioritas hukum tidak dapat


ditunjukkan, jika aturan-aturan hukum hanya dilaksanakan dan ditegakkan oleh
organ-organ pemerintah.

2. Prinsip-prinsip demokrasi

a. Perwakilan politik. Kekuasaan politik tertinggi dalam suatu negara dan dalam
masyarakat hukum yang lebih rendah diputuskan oleh badan perwakilan, yang diisi
melalui pemilihan umum.

b. Pertanggungjawaban politik. Organ-organ pemerintahan dalam menjalankan


fungsinya sedikit banyak tergantung secara politik yang kepada lembaga perwakilan.

c. Pemecahan kewenangan. Konsentrasi kekuasaan dalam masyarakat pada satu organ


pemerintahan dalam kesewenang-wenangan. Oleh karena itu kewenangan badan-
badan publik itu harus dipancarkan pada organ-organ yang berbeda.

d. Pengawasan dan kontrol. Penyelenggaraan pemerintah harus dapat dikontrol.

e. Kejujuran dan terbuka untuk umum.

20
J.B.J.M. Ten Bregen, dalam Ridwan. Hukum Adminstrsi Negara. UII Press. Yogyakarta. 2002. Hal 07.
f. Rakyat diberi kemungkinan untuk mengajukan keberatan.

Pengaruh terhadap hukum, jika dikatakan bahwa hubungan antara demokrasi dan
hukum itu ibarat dua sisi sekeping mata uang, dapat disimpulkan bahwa kualitas demokrasi
suatu negara akan menentukan kualitas hukumnya. Artinya, negara-negara yang demokratis
akan melahirkan pula hukum-hukum yang berwatak demokratis, sedangkan di negara-negara
yang otoriter atau non-demokratis akan lahir hukum-hukum non-demokratis.

Secara teoritis dikenal bentuk atau karakter hukum yang bersifat dikotomi yakni
hukum menindas atau hukum responsif dan hukum ortodok. Meskipun dilahirkan oleh
sarjana yang berbeda, saya melihat bahwa secara subtansial hukum otonom paralel dengan
hukum responsif, sedangkan hukum menindas paralel dengan hukum ortodoks. Dengan
demikian, negara yang memberi bobot berat pada demokrasi tentu akan melahirkan hukum-
hukumnya dengan karakter otoriter, sedangkan negara yang member bobot lebih berat pada
otoritarian akan melahirkan hukum-hukum yang berkarakter menindas.21

D. Negara Hukum Demokrasi

Sebelum menampilkan negara hukum modern, terlebih dahulu dikemukakan beberapa


pendapat para sarjana yang berkenaan dengan negara dan pemerintahan. Pendapat sarjana ini
dapat di ilmiahkan oleh kenyataan historis bahwa bencana bagi kehidupan demokrasi dan
kemasyarakatan. Oleh karena itu kekuasaan negara perlu dipancarkan dan dipilahkan.

John Locke yang dianggap pertama kali mengintrodusir ajaran pemisahan kekuasaan
negara, dengan membaginya menjadi kekuasaan legislative (membuat undang-undang),
kekuasaan eksekutif (melaksanakan undang-undang), dan kekuasaan federative (keamanan
dan hubungan luar negeri).

Montesquieu, yang mengajarkan pemisahan kekuasaan yaitu, kekuasaan legislative


(membuat undang-undang), kekuasaan eksekutif (melaksanakan undang-undang), dan
kekuasaan yudikatif (mengadili pelanggaran undang-undang).

Disamping pembagian tersebut diatas terdapat pula pembagian lain yang


dikemukakan oleh para sarjana. Berikut ini akan disajikan beberapa pendapat para sarjana
tentang pembagian tugas negara tersebut:
21
Mahfud. Pengantar Politik Hukum di Indonesia. Gama media. Yogyakarta. 1999. Hal 53.
Presthus, menyatakan tugas negara itu meliputi dua hal, yaitu:

1. Policy making, ialah penentuan haluan negara,

2. Task executing, yaitu pelaksanaan tugas menurut haluan yang telah ditetapkan oleh
negara.

E. Utrecht yang mengikuti AM. Donner, yaitu pertama berupa lapangan yang
menentukan tujuan atau tugas, dan yang kedua lapangan merealisasikan tujuan atau tugas
yang telah ditentukan itu.

Hans Kelsen menyatakan pembagian tugas negara menjadi dua, yaitu:

1. Politik sebagi etika, yakni memilih tujuan-tujuan kemasyarakatan,

2. Politik sebagai teknik, yaitu bagaimana merealisasikan tujuan-tujuan tersebut.

Van Vollenhoven membagi tugas negara menjadi empat, yaitu:

1. Membuat peraturan dalam bentuk undang-undang baik dalam arti formal maupun
meteril yang disebut regeling,

2. Pemerintahan dalam arti nyata memelihara kepentingan umum yang disebut bestuur,

3. Penyelesaian sengketa dalam peradilan perdata yang disebut yustitusi,

4. Mempertahankan ketertiban umum baik secara preventif maupun repertif, didalamnya


termasuk peradilan pidana yang disebut politie.

Lemaire membagi tugas negara dalam lima jenis, yaitu:

1. Perundang-undangan,

2. Pelaksanaan yaitu pembuatan aturan-aturan hukum oleh penguasa sendiri,

3. Pemerintahan

4. Kepolisian

5. Pengadilan.22

22
Pembagian tugas-tugas negara ini disarikan dari, Soehardjo, pengantar hukum administrasi negara.
Pertumbuhan dan perkembanngannya, bagian penerbit Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang,
1994. Hal 10-11
Adanya kekuasaan kehakiman yang bebas merupakan salah satu syarat utama dari
suatu negara untuk dikatakan sebagai negara hukum demokrasi. Karena itu dalam praktek
politik atau praktek ketatanegaraan perlu terus menerus diupayakan agar semua peraturan
perundang-undangan dalam rangka penegakan hukum tidak bertentangan secara material
dengan amanat kontitusi UUD 1945. Dalam negara yang demokratis dan berdasarkan hukum
seperti Indonesia , maka hukum haruslah dilihat sebagai aturan main untuk menegakkan
kebenaran, keadilan dan ketertiban.

KESIMPULAN

Dalam perkembangannya, paham negara hukum tidak dapat dipisahkan dari paham
kerakyatan. Sebab pada akhirnya, hukum yang mengatur dan membatasi kekuasaan negara
atau pemerintah diartikan sebagai hukum yang disebut atas dasar kekuasaan atau kedaulatan
rakyat. Begitu eratnya tali-temali antar paham negara hukum dan kerakyatan, sehingga ada
sebutan negara hukum yang demokratis. Dalam kaitannya dengan negara hukum, kedaulatan
rakyat merupakan unsur material negara hukum, disamping masalah kesejahteraan rakyat.
DAFTAR PUSTAKA

Arief Budiman. Teori Negara (negara, kekuasaan, dan Ideologi). Gramedia. Jakarta. 1996

Dahlan. Kedaulatan Rakyat Negara Hukum dan Konstitusi. Liberty. Yogyakarta. 2000.

_____. Teori dan Hukum Konstitusi. Jakarta. Raja Grafindo Persada. 2004

PRISMA. Demokrasi dan Proses Politik. Jakarta. LP3ES. 1986.

Mariam Budiharjo. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Gramedia. Jakarta. 1985.

Krabe, dalam Handoyo. Hukum Tata Negara, Kewarganegaraan & Hak Asasi Manusia.
Andi Offset. Yogyakarta. 2003.
Ni’matul Huda. Negara Hukum Demokrasi Judicial Review. UII Press. Yogyakarta. 2005.

Rosjidi Ranggawidjaji. Wewenang Menafsirkan dan Mengubah Undang-Undang Dasar. Cita


Bhakti Akademik. Bandung. 1996.

Sri Soemantri. Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi. Bandung. Penerbit Alumni.

Rancangan atas penjelasan Undang-Undang Republik Indonesia nomor…tahun…tentang


Makamah Konstitusi.

J.B.J.M. Ten Brege, dalam Ridwan. Hukum Adminstrasi Negara. UII Press. Yogyakarta.
2002.

Mahfud. Pengantar Politik Hukum di Indonesia. Gama Media. Yogyakarta. 1999.

Soehardjo. Pengantar Hukum Administrasi Negara. Pertumbuhan dan Perkembangannya.


Fakultas Hukum Universitas Diponegoro. Semarang. 1994.

Anda mungkin juga menyukai