PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
1
Pembaharuan Ortala Intelejen, Pokja Penyusunan Kode Perilaku Jaksa (Code
of Conduct) dan Standar Minimal Profesi Jaksa, Pokja Mekanisme dan
Prosedur Pengawasan serta Pokja Comparative Study.
b. Persoalan
Berdasarkan pokok permasalahan yang telah dirumuskan maka
pokok persoalan dalam penulisan Naskah Karya Perorangan ini, yaitu:
a. Bagaimana Penerapan paradigma Kejaksaan pada saat ini?
b. Bagaimana strategi terciptanya aparatur profesional yang dilandasi
moral dalam rangka terwujudnya penegakan supremasi hukum?
2
3. Ruang lingkup
Ruang lingkup penulisan Naskah Karya Perorangan ini penulis batasi
pada upaya aktualisasi Kepemimpinan Kejaksaan RI yang mandiri demi
terciptanya aparatur yang profesional dengan dilandasi moral dalam rangka
terwujudnya penegakan supremasi hukum.
4. Tata Urut
a. Bab I Pendahuluan
Dalam bab ini diuraikan mengenai latar belakang mengapa Naskah Karya
Perorangan ini dipilih dan diuraikan tentang hal-hal yang menjadikan
pertimbangan yang kemudian dimunculkan permasalahan dan persoalan
yang akan menjadi pokok bahasan.
b. Bab II Landasan teori
Bab ini berisikan tentang Kejaksaan RI, Teori Kepemimpinan, Teori
SWOT (EFAS, IFAS dan SFAS), dan Teori Scenario Learning
c. Bab III Kondisi awal
Dalam bab ini diuraikan tentang keadaan yang terjadi pada saat ini.
d. Bab IV faktor-Faktor yang mepengaruhi
Bab ini memaparkan faktor-faktor yang menyebabkan kondisi itu terjadi
e. Bab V Kondisi yang diharapkan
Di dalam dipaparkan tentang idealnya fungsi dari penegakan hukum dan
kondisi kepemimpinan Kejaksaan RI
f. Bab VI upaya pemecahan
Bab ini membahas mengenai strategi yang digunakan.
g. Bab VII Penutup
Dalam bab ini penulis membuat kesimpulan dari pembahasan.
3
BAB II
LANDASAN TEORI
5. Kejaksaan RI
Kejaksaan sebagai salah satu lembaga penegak hukum dituntut untuk lebih
berperan dalam menegakan supremasi hukum, perlindungan kepentingan
umum, penegakan hak asasi manusia (HAM), serta pemberantasan korupsi,
kolusi dan nepotisme (KKN). Oleh karena itu perlu dilakukan penataan
kembali terhadap Kejaksaan untuk menyesuaikan dengan perubahan tersebut.
6. Teori Kepemimpinan
Kepemimpinan adalah masalah relasi dan pengaruh antara pemimpin dan
yang dipimpin. Kepemimpinan muncul dan berkembang sebagai hasil dari
interaksi otomatis diantara pemimpin dan individu-individu yang dipimpin
(Ada Relasi Interpersonal). Kepemimpinan ini dapat berfungsi atas dasar
kekuasaan pemimpin untuk mengajak, mempengaruhi dan menggerakan orang
lain guna melakukan sesuatu, demi tercapai satu tujuan tertentu.
4
Salah satu teori yang mengemukakan mengenai gaya kepemimpinan
adalah Teori Path-Goal, Robert House (Dalam Miftah Thoha, 2001 : 42)
memasukan empat tipe atau gaya utama kepemimpinan, yakni:
a. Kepemimpinan Direktif.
Tipe ini sama dengan model kepemimpinan yang otokrasi dari Lippit dan
White. Bawahan tahu senyatanya apa yang diharapkan darinya dan
pengarahan yang khusus diberikan oleh pimpinan. Dalam model ini tidak
ada partisipasi dari bawahan.
b. Kepemimpinan yang mendukung (Supportive Leadership).
Kepemimpinan model ini mempunyai kesediaan untuk menjelaskan
sendiri, bersahabat, mudah didekati, dan mempunyai perhatian yang murni
terhadap para bawahannya
c. Kepemimpinan Parsisipatif.
Pemimpin berusaha meminta dan mempergunakan saran-saran dari
bawahannya, namun pengambilan keputusan masih tetap berada padanya.
d. Kepemimpinan yang berorientasi pada prestasi.
Menetapkan serangkaian tujuan yang menantang para bawahannya untuk
berpartisipasi. Demikian pula pemimpin memberikan keyakinan kepada
mereka bahwa mereka mampu melaksanakan tugas pekerjaan mencapai
tujuan secara baik.
5
Terjadi, Kredibel dan Relevan) masa depan serta meningkatkan pengambilan
keputusan.1
a. Menetapkan Focal Concern (FC), suatu kerangka waktu (time frame) yang
jelas yang menjadi pilar pembicaraan.
d. Memilih Critical Driving Force (CDF), suatu faktor DF yang paling kritis
dan paling berpengaruh terhadap FC.
f. Menentukan ciri kunci setiap scenario, menentukan simbol atau fase untuk
masing-masing scenario dengan menentukan implikasi dan bertemunya
ciri-ciri yang relevan pada satu DF dengan DF lainnya.
8. Teori SWOT
1
Nusyirwan Zen, Paradigma Organisasi Pembelajaran dan Scenario Learning, Bahan Ajaran
Sespati Polri Dikreg 18 T.P. 2010, Lembang
6
Konsep dasar analisa SWOT sebagaimana dikemukakan oleh Sun
Tzu, 1992 bahwa: “Apabila kita telah mengenal kekuatan dan kelemahan diri
sendiri, dan mengetahui kekuatan dan kelemahan lawan, sudah dapat
dipastikan kita akan dapat memenangkan pertempuran”. Dalam
perkembangannya saat ini analisis SWOT tidak hanya dipakai untuk
menyusun strategi di medan pertempuran, melainkan banyak dipakai dalam
penyusunan perencanaan strategis diberbagai bidang, yang bertujuan untuk
menyusun strategi-strategi jangka panjang, sehingga arah tujuan dapat dicapai
dengan jelas dan dapat diambil keputusan, berikut semua perubahannya dalam
menghadapi pesaing.
7
Dari analisis SWOT dapat dilanjutkan dengan menganalisis Faktor
Eksternal dan Internal untuk menentukan strategi yang tepat dengan analisis
EFAS – IFAS dengan pentahapan analisis EPAS dan IPAS sebagai berikut:
Analisis faktor Eksternal, Analisis Faktor Internal, Menetapkan posisi
Organisasi, Menetapkan Grand Strategi, Analisis Strategi Kunci (SFAS),
Implementasi Strategi
BAB III
KONDISI AWAL
8
9. Kepemimpinan Kejaksaan saat ini
Kepemimpinan adalah masalah relasi dan pengaruh antara pemimpin
dan yang di pimpin. Kepemimpinan muncul dan berkembang sebagai hasil
dari interaksi otomatis diantara pemimpin dan individu-individu yang
dipimpin (ada relasi interpersonal). Kepemimpinan ini dapat berfungsi atas
dasar kekuasaan pemimpin untuk mengajak, mempengaruhi dan menggerakan
orang lain guna melakukan sesuatu, demi tercapai satu tujuan tertentu. Adapun
Kepemimpinan Kejaksaan RI saat ini dapat digambarkan sebagai berikut:
a. Sebagian Pimpinan Kejaksaan RI belum memperlihatkan ketulusan hati
dan kejujuran yang merupakan faktor menentukan kepercayaan dan
kewibawaan.
b. Kurangnya pengendalian emosi. Pengendalian emosi bagi seorang
pemimpin sangat penting sekali karena selain berhadapan dengan
anggota, maupun masyarakat yang memiliki karakter dan sifat yang
berbeda.
c. Kaderisasi Kepemimpinan di Kejaksaan RI tidak optimal.
d. Pimpinan Kejaksaan RI tidak optimal dalam fungsi pengawasan dalam
mutasi pegawai dari pimpinan.
e. Pimpinan Kejaksaan RI belum optimal memberikan kewenangan secara
penuh ke daerah (Mutasi pegawai lokal dan bidang penuntutan).
f. Kurang memberikan motivasi, antusiasme (semangat, kegairahan,
kegembiraan) kepada anak buahnya, sehingga kurang menimbulkan
semangat dan esprit de corps.
Dari uraian di atas, mencerminkan masih kurangnya pemahaman
tentang peran dan fungsi seorang pemimpin, sehingga dengan ketidakpahaman
tersebut banyak berakibat pada penyimpangan wewenang yang dilakukan oleh
Pimpinan Kejaksaan RI. Hal ini terjadi karena belum meratanya pengetahuan
dikalangan pemimpin yang disebabkan masih kurangnya pendidikan dan
pelatihan kepemimpinan. Penyimpangan yang terjadi dan ketidakpahaman
seorang pemimpin dalam mengemban fungsinya merupakan gambaran bahwa
9
belum semua pemimpin dapat mengaplikasikan berbagai pengetahuan dan
keahlian dan cenderung masih belum dapat dikatakan sebagai pemimpin yang
memiliki sikap visioner, profesional dan modern.
10
seringkali menjadikan perkara yang ditangani sebagai lahan mata pencaharian
sehingga mengakibatkan penanganan perkara tidak objektif lagi.
Pelayanan oleh aparatur birokrasi masih identik dengan pelayanan yang
kompleks, berbelit-belit, dan menghambat akses warga untuk mendapat
layanan publik yang diperlukannya secara wajar. Padahal, pelayanan publik
merupakan hak masyarakat untuk mendapatkannya dengan lebih baik.
Birokrasi pada hampir semua level juga belum mengalami perubahan
paradigma dari budaya minta dilayani menjadi budaya melayani.
Penyelenggaraan pelayanan publik terlalu berorientasi pada kegiatan dan
pertanggungjawaban formal dan kurang berorientasi pada hasil berupa
pelayanan yang prima kepada warga.
Upaya untuk melakukan efektivitas peraturan perundang-undangan sampai
dengan saat ini masih terkendala dengan masih adanya peraturan perundang-
undangan yang ada tumpang tindih, inkonsisten, tidak jelas, multitafsir dan
pertentangan antara peraturan perundang-undangan yang satu dengan yang
lain, baik yang sederajat maupun antara peraturan yang lebih tinggi dengan
peraturan di bawahnya, dan antara Peraturan Tingkat Pusat dan Daerah.
Pada sisi lain, berkaitan dengan masalah-masalah yang mendapat sorotan
masyarakat luas seperti kolusi, korupsi, mafia peradilan dan bentuk-bentuk
penyalahgunaan kekuasaan atau persekongkolan lainnya di bidang prosedur/
penegakkan hukum. Belum maksimalnya pekerjaan penegak hukum dari
kasus-kasus tersebut di atas, menjadikan masyarakat pesimis terhadap aparat
penegak hukum. Rasa pesimis ini dirasakan oleh masyarakat karena
masyarakat menganggap bahwa hukum itu sebagai sesuatu yang mahal dan
hukum masih berpihak pada individu tertentu, yaitu orang-orang kaya,
sementara rakyat kecil akan sangat sulit untuk menenangkan perkara karena
tidak mampu membayar Penasehat Hukum/Pengacara.
Faktor pelaksanaan penegakkan hukum seringkali dijadikan cermin oleh
masyarakat ketika masyarakat memberikan respon terhadap hukum.
Masyarakat tidak akan menghormati hukum atau bahkan melanggar hukum
karena melihat aparat penegak hukumnya juga melanggar hukum dan tidak
11
mendapat sanksi apapun atau hilangnya kepercayaan kepada aparat penegak
hukum karena penegakan hukum tidak berjalan dengan baik dengan adanya
KKN, mafia peradilan dan lain-lain, atau walaupun penegakan hukumnya
berjalan dengan baik tetapi sanksi yang dijatuhkan tidak memenuhi rasa
keadilan masyarakat.
Kondisi penegakan hukum yang yang dilaksanakan Kejaksaan adalah:
a. Masih adanya diskriminasi dari Kejaksaan yang dirasakan masyarakat.
b. Masih ada aparat dari Kejaksaan yang kurang simpatik dalam melayani
masyarakat.
c. Masih sering terjadi penyimpangan-penyimpangan dalam proses
penegakan hukum (berdasarkan KUHAP).
BAB IV
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
11. Internal
12
a. Kekuatan
1) Sumber Daya Manusia
(a) Secara kuantitas SDM Kejaksaan bertambah.
(b) Tersebarnya SDM Kejaksaan dan disusun secara hirakhis.
(c) Pemerataan dan kaderisasi kepemimpinan melalui jenjang
pendidikan yang ada secara berkesinambungan.
2) Komitmen dari Kejaksaan Agung RI dan anggota yang kuat
mendukung paradigma baru dan mendukung reformasi birokrasi
Kejaksaan.
3) Profesionalisme tingkat pimpinan dan anggota berbasis
pengetahuan dan keterampilan telah memanfaatkan kemajuan
teknologi informasi yang berkembang pesat.
4) Kepemimpinan Kejaksaan RI yang menjunjung tinggi etika
kepemimpinan, khususnya hubungan antara pimpinan dan
bawahan berjalan secara harmonis.
5) Parameter keberhasilan sebagai wujud profesionalisme Kejaksaan
yang telah dicapai saat ini adalah penanganan kasus-kasus korupsi
dan mafia hukum.
b. Kelemahan
1) Sumber Daya Manusia
(a) Meskipun bertambah secara kuantitas, namun masih rendah
dalam kualitas.
(b) Kaderisasi kepemimpinan tidak optimal berjalan,
penempatan dalam jabatan tertentu tidak berdasarkan pada
kemampuan dan kompetensi yang dimiliki.
2) Komitmen yang telah dibangun tidak dilaksanakan terutama
implementasi paradigma baru, sehingga banyak yang tidak sesuai
sebagai aparat penegak hukum yang baik.
3) Sikap dan karakter yang dimiliki pimpinan belum mendukung
pelaksanaan tugas-tugas Kejaksaan, sebagai aparat penegak hukum.
13
4) Masih ada pemimpin yang mengabaikan etika kepemimpinan,
sehingga ada kesenjangan atasan dan anggota dan dominasi
kewenangan yang berlebihan.
5) Banyaknya permasalahan yang menimpa Kejaksaan saat ini telah
menimbulkan penurunan kredibilitas dan kepercayaan masyarakat.
12. Eksternal
a. Peluang
1) Undang-Undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan
Republik Indonesia.
2) Pemerintah sangat mendukung terciptanya Pimpinan Kejaksaan
RI yang profesional.
3) Dukungan DPR terhadap terciptanya kepemimpinan yang
profesional dalam tubuh Kejaksaan RI cukup besar.
b. Kendala
1) Masih tingginya sikap apriori masyarakat terhadap perubahan yang
terjadi di Lingkungan Kejaksaan terutama dalam restrukturisasi
yang terjadi di tubuh Kejaksaan RI.
2) Pengetahuan, pemahaman, kesadaran dan kepatuhan masyarakat
terhadap hukum masih rendah.
3) Anggaran yang tersedia untuk melatih dan mendidik kader
Kejaksaan RI masih kurang.
BAB V
KONDISI YANG DIHARAPKAN
14
Kejaksaan RI sesuai tugas, fungsi dan peran berdasarkan UU No. 16
tahun 2004 tentang Kejaksaan RI sebagai alat Negara penegak hukum di
bidang penuntutan serta tugas lain berdasarkan peraturan perundang-undangan
lainnya.
Kejaksaan sebagai lembaga penegak hukum melaksanakan tugasnya
secara merdeka dengan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia (HAM) dalam
negara hukum berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Adapun kepemimpinan
Jaksa yang diharapkan adalah:
1) Jaksa Agung selaku pimpinan dan penanggung jawab tertinggi Kejaksaan
RI yang memimpin, mengendalikan pelaksanaan tugas, dan wewenang
Kejaksaan dalam rangka menjaga kehormatan dan martabat profesi
sebagaimana diamanatkan UU Kejaksaan RI.
2) Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, diperlukan sosok Pimpinan
dan atau Jaksa sebagai abdi hukum yang profesional, memiliki integritas
kepribadian, disiplin, etos kerja yang tinggi dan penuh tanggung jawab,
senantiasa mengaktualisasikan diri dengan memahami perkembangan
global, tanggap dan mampu menyesuaikan diri dalam rangka memelihara
citra profesi dan kinerja jaksa serta tidak bermental korup.
3) Kepemimpinan Jaksa dan seluruh anggota Kejaksaan RI sebagai pejabat
publik senantiasa menunjukan pengabdiannya melayani publik dengan
mengutamakan kepensumpah jabatan, menjunjung tinggi doktrin Tri
Krama Adhyaksa, serta membina hubungan kerjasama dengan pejabat
publik lainnya.
4) Kepemimpinan Jaksa dan seluruh anggota Kejaksaan RI sebagai anggota
masyarakat selalu menunjukan keteladanan yang baik, bersikap dan
berperilaku sesuai dengan nilai-nilai yang hidup dan berkembang sesuai
dengan pearturan perundang-undangan
14. Kondisi Penegakan Hukum yang diharapkan
15
kedudukan dan peran Kejaksaan RI sebagai lembaga negara pemerintahan
yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan harus bebas dari
pengaruh kekuasaan pihak manapun, yakni yang dilaksanakan secara merdeka
terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan penegak hukum lainnya.
Kejaksaan sebagai salah satu lembaga penegak hukum dituntut untuk lebih
berperan dalam menegakan supremasi hukum, perlindungan kepentingan
umum, penegakan hak asasi manusia, serta pemberantasan korupsi, kolusi dan
nepotisme. Oleh karena itu perlu dilakukan penatan kembali terhadap
Kejaksaan untuk menyesuaikan dengan perubahan tersebut.
BAB VI
UPAYA PEMECAHAN MASALAH
16
15. Implementasi Scenario Learning
REKRUITME
N
DIKLAT
ANGGARAN
PENGAWASAN
KEPEMIMPINAN
KEBIJAKAN
PERUNDANG- STANDAR
UNDANGAN PROFESI
KPJ
17
Setelah di analisa hubungan antar DF, maka ditentukan DF yang
paling kritis dan paling berpengaruh terhadap FC, yaitu: PENGAWASAN
dan STANDAR PROFESI
PENGAWASAN
- PENGAWASAN
+
YA
PENGAWASAN
-
Aparatur yang profesional jauh dari +
Aparatur yang profesional agak sulitPENGAWASAN
yang diharapkan karena pengawasan tercapai karena pengawasan baik
tidak accountable dan standar profesi tetapi standar profesi yang kurang baik
tidak terlaksana maka penegakan hukum maka akan sulit terciptanya penegakan
yang mewujudkan keadilan dan hukum yang mewujudkan keadilan dan
kebenaran tidak tercapai kebenaran
-
STANDAR PROFESI
g. Narasi scenario
18
maka terciptalah penegakan hukum yang mewujudkan keadilan dan
kebenaran
19
a. IFAS
Tabel 1
INTERNAL STRATEGIC FAKTORS ANALYIS SUMMARY (IFAS)
Kekuatan
Sumber Daya Manusia (Secara kuantitas SDM
Kejaksaan bertambah, Tersebarnya SDM Kejaksaan
1 dan disusun secara hirakhis dan Pemerataan dan 0,10 6 0,60
kaderisasi kepemimpinan melalui jenjang pendidikan
yang ada secara berkesinambungan)
Kelemahan
Sumber Daya Manusia (Meskipun bertambah secara
kuantitas, namun masih rendah dalam kualitas,
1 Kaderisasi kepemimpinan tidak optimal berjalan, 0,12 8 0,96
penempatan dalam jabatan tertentu tidak berdasarkan
pada kemampuan dan kompetensi yang dimiliki)
b. EFAS
20
Tabel 2
EKSTERNAL STRATEGIC FAKTORS ANALYIS SUMMARY (EFAS)
Peluang
1 UU No. 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan RI 0,22 7 1,54
Kendala 0,50
c. Posisi Kejaksaan RI
21
9 6,97 6 3 0
1. Growth 2. Growth
3. Retrechment
Konsentrasi Konsentrasi
melalui integrasi melalui integrasi Penghematan
vertikal horizontal
6
5,71 5a. Growth
Konsentrasi integrasi
horizontal 6. Captive
4. Growth
5b. Stability
Keterikatan
Carefully
Tidak melakukan
perubahan
3
22
2. Memperbaiki kendala-kendala yang ada di dalam internal Kejaksaan
RI.
Tabel 3
STRATEGIC FAKTORS ANALYSIS SUMMARY (SFAS)
Pengetahuan, pemahaman,
kesadaran dan kepatuhan
4
masyarakat terhadap hukum masih
0,23 4 0,92 x
rendah
23
TOTAL 1,00 6,26
Keterangan :
24
b) Strategi Jangka Menengah (2 tahun)
e. Implementasi
25
3. UU No. 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan RI, dirasakan sudah cukup
pada saat ini sebagai payung hukum sebagai pegangan pokok yang
fundamental dalam pelaksanaan tugas pokok Kejaksaan.
26
BAB VII
PENUTUP
17. Kesimpulan
Dari uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa:
a. Penegakan hukum belum dapat dilakukan secara optimal karena masalah
kepemimpinan di Kejaksaan RI mencerminkan masih kurangnya
pemahaman tentang peran dan fungsi seorang pemimpin, sehingga dengan
ketidakpahaman tersebut banyak berakibat pada penyimpangan wewenang
yang dilakukan oleh pimpinan Kejaksaan RI.
b. Hal di atas terjadi karena dikalangan pemimpin masih kurang optimal
dalam melaksanakan tugas dan wewenang sesuai Tri Krama Adhyaksa.
c. Belum semua pemimpin dapat mengaplikasikan berbagai pengetahuan
dan keahlian dan cenderung masih belum dapat dikatakan sebagai
pemimpin yang memiliki sikap visioner, profesional dan modern.
18. Rekomendasi
Dalam mewujudkan terciptanya aparatur yang profesional dengan
dilandasi moral dalam rangka terwujudnya penegakan supremasi hukum di
masa depan diharapkan untuk:
a. Perlunya menyempurnakan dan memadukan ketentuan tentang
Rekruitmen Calon Pegawai Negeri Sipil dan Calon Jaksa dalam suatu
Peraturan Jaksa Agung.
b. Perlunya peningkatan profesionalitas dan integritas kepribadian melalui
Pendidikan dan Pelatihan.
c. Perlunya penyempurnaan dan memadukan ketentuan tentang Pembinaan
Karier Pegawai Kejaksaan RI
d. Perlunya memiliki integritas kepribadian serta disiplin yang tinggi guna
melaksanakan tugas penegakan hukum dalam mewujudkan keadilan dan
kebenaran.
e. Penyelenggaraan pengawasan perlu ditingkatkan baik kualitas maupun
intensitasnya.
27
BAB I
PENDAHULUAN
28
Adapun ke (7) Tujuh Kelompok Kerja tersebut meliputi Pokja Ortala
Kejaksaan, Pokja Rekruitmen dan Pembinaan Karier, Pokja Diklat, Pokja
Pembaharuan Ortala Intelejen, Pokja Penyusunan Kode Perilaku Jaksa (Code
of Conduct) dan Standar Minimal Profesi Jaksa, Pokja Mekanisme dan
Prosedur Pengawasan serta Pokja Comparative Study.
b. Persoalan
Berdasarkan pokok permasalahan yang telah dirumuskan maka
pokok persoalan dalam penulisan Naskah Karya Perorangan ini, yaitu:
c. Bagaimana Penerapan paradigma Kejaksaan pada saat ini?
29
d. Bagaimana strategi terciptanya aparatur profesional yang dilandasi
moral dalam rangka terwujudnya penegakan supremasi hukum?
30
BAB II
LANDASAN TEORI
23. Kejaksaan RI
Kejaksaan sebagai salah satu lembaga penegak hukum dituntut untuk lebih
berperan dalam menegakan supremasi hukum, perlindungan kepentingan
umum, penegakan hak asasi manusia (HAM), serta pemberantasan korupsi,
kolusi dan nepotisme (KKN). Oleh karena itu perlu dilakukan penataan
kembali terhadap Kejaksaan untuk menyesuaikan dengan perubahan tersebut.
31
(Ada Relasi Interpersonal). Kepemimpinan ini dapat berfungsi atas dasar
kekuasaan pemimpin untuk mengajak, mempengaruhi dan menggerakan orang
lain guna melakukan sesuatu, demi tercapai satu tujuan tertentu.
Salah satu teori yang mengemukakan mengenai gaya kepemimpinan
adalah Teori Path-Goal, Robert House (Dalam Miftah Thoha, 2001 : 42)
memasukan empat tipe atau gaya utama kepemimpinan, yakni:
e. Kepemimpinan Direktif.
Tipe ini sama dengan model kepemimpinan yang otokrasi dari Lippit dan
White. Bawahan tahu senyatanya apa yang diharapkan darinya dan
pengarahan yang khusus diberikan oleh pimpinan. Dalam model ini tidak
ada partisipasi dari bawahan.
f. Kepemimpinan yang mendukung (Supportive Leadership).
Kepemimpinan model ini mempunyai kesediaan untuk menjelaskan
sendiri, bersahabat, mudah didekati, dan mempunyai perhatian yang murni
terhadap para bawahannya
g. Kepemimpinan Parsisipatif.
Pemimpin berusaha meminta dan mempergunakan saran-saran dari
bawahannya, namun pengambilan keputusan masih tetap berada padanya.
h. Kepemimpinan yang berorientasi pada prestasi.
Menetapkan serangkaian tujuan yang menantang para bawahannya untuk
berpartisipasi. Demikian pula pemimpin memberikan keyakinan kepada
mereka bahwa mereka mampu melaksanakan tugas pekerjaan mencapai
tujuan secara baik.
32
scenario learning adalah mengembangkan scenario dan pengintegrasian ke
dalam proses pengambilan keputusan mengenai Plausibilitas (Harus Mungkin
Terjadi, Kredibel dan Relevan) masa depan serta meningkatkan pengambilan
keputusan.2
h. Menetapkan Focal Concern (FC), suatu kerangka waktu (time frame) yang
jelas yang menjadi pilar pembicaraan.
k. Memilih Critical Driving Force (CDF), suatu faktor DF yang paling kritis
dan paling berpengaruh terhadap FC.
m. Menentukan ciri kunci setiap scenario, menentukan simbol atau fase untuk
masing-masing scenario dengan menentukan implikasi dan bertemunya
ciri-ciri yang relevan pada satu DF dengan DF lainnya.
2
Nusyirwan Zen, Paradigma Organisasi Pembelajaran dan Scenario Learning, Bahan Ajaran
Sespati Polri Dikreg 18 T.P. 2010, Lembang
33
26. Teori SWOT
34
pemahaman yang jelas mengenai suatu permasalahan, sehingga dapat
memformulasikan tindakan yang nyata dan konkret.
35
BAB III
KONDISI AWAL
36
dikalangan pemimpin yang disebabkan masih kurangnya pendidikan dan
pelatihan kepemimpinan. Penyimpangan yang terjadi dan ketidakpahaman
seorang pemimpin dalam mengemban fungsinya merupakan gambaran bahwa
belum semua pemimpin dapat mengaplikasikan berbagai pengetahuan dan
keahlian dan cenderung masih belum dapat dikatakan sebagai pemimpin yang
memiliki sikap visioner, profesional dan modern.
37
Tingginya kebutuhan hidup dan rendahnya pendapatan aparat penegak
hukum ikut memicu terjadinya penyimpangan perilaku yang dilakukan oleh
oknum aparat penegak hukum untuk mendeponir perkara yang ditangani atau
menghentikan penyidikan, penuntutan dan pemutusan perkara bahkan
seringkali menjadikan perkara yang ditangani sebagai lahan mata pencaharian
sehingga mengakibatkan penanganan perkara tidak objektif lagi.
Pelayanan oleh aparatur birokrasi masih identik dengan pelayanan yang
kompleks, berbelit-belit, dan menghambat akses warga untuk mendapat
layanan publik yang diperlukannya secara wajar. Padahal, pelayanan publik
merupakan hak masyarakat untuk mendapatkannya dengan lebih baik.
Birokrasi pada hampir semua level juga belum mengalami perubahan
paradigma dari budaya minta dilayani menjadi budaya melayani.
Penyelenggaraan pelayanan publik terlalu berorientasi pada kegiatan dan
pertanggungjawaban formal dan kurang berorientasi pada hasil berupa
pelayanan yang prima kepada warga.
Upaya untuk melakukan efektivitas peraturan perundang-undangan sampai
dengan saat ini masih terkendala dengan masih adanya peraturan perundang-
undangan yang ada tumpang tindih, inkonsisten, tidak jelas, multitafsir dan
pertentangan antara peraturan perundang-undangan yang satu dengan yang
lain, baik yang sederajat maupun antara peraturan yang lebih tinggi dengan
peraturan di bawahnya, dan antara Peraturan Tingkat Pusat dan Daerah.
Pada sisi lain, berkaitan dengan masalah-masalah yang mendapat sorotan
masyarakat luas seperti kolusi, korupsi, mafia peradilan dan bentuk-bentuk
penyalahgunaan kekuasaan atau persekongkolan lainnya di bidang prosedur/
penegakkan hukum. Belum maksimalnya pekerjaan penegak hukum dari
kasus-kasus tersebut di atas, menjadikan masyarakat pesimis terhadap aparat
penegak hukum. Rasa pesimis ini dirasakan oleh masyarakat karena
masyarakat menganggap bahwa hukum itu sebagai sesuatu yang mahal dan
hukum masih berpihak pada individu tertentu, yaitu orang-orang kaya,
sementara rakyat kecil akan sangat sulit untuk menenangkan perkara karena
tidak mampu membayar Penasehat Hukum/Pengacara.
38
Faktor pelaksanaan penegakkan hukum seringkali dijadikan cermin oleh
masyarakat ketika masyarakat memberikan respon terhadap hukum.
Masyarakat tidak akan menghormati hukum atau bahkan melanggar hukum
karena melihat aparat penegak hukumnya juga melanggar hukum dan tidak
mendapat sanksi apapun atau hilangnya kepercayaan kepada aparat penegak
hukum karena penegakan hukum tidak berjalan dengan baik dengan adanya
KKN, mafia peradilan dan lain-lain, atau walaupun penegakan hukumnya
berjalan dengan baik tetapi sanksi yang dijatuhkan tidak memenuhi rasa
keadilan masyarakat.
Kondisi penegakan hukum yang yang dilaksanakan Kejaksaan adalah:
d. Masih adanya diskriminasi dari Kejaksaan yang dirasakan masyarakat.
e. Masih ada aparat dari Kejaksaan yang kurang simpatik dalam melayani
masyarakat.
f. Masih sering terjadi penyimpangan-penyimpangan dalam proses
penegakan hukum (berdasarkan KUHAP).
BAB IV
39
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
29. Internal
a. Kekuatan
6) Sumber Daya Manusia
(a) Secara kuantitas SDM Kejaksaan bertambah.
(b) Tersebarnya SDM Kejaksaan dan disusun secara hirakhis.
(c) Pemerataan dan kaderisasi kepemimpinan melalui jenjang
pendidikan yang ada secara berkesinambungan.
7) Komitmen dari Kejaksaan Agung RI dan anggota yang kuat
mendukung paradigma baru dan mendukung reformasi birokrasi
Kejaksaan.
8) Profesionalisme tingkat pimpinan dan anggota berbasis
pengetahuan dan keterampilan telah memanfaatkan kemajuan
teknologi informasi yang berkembang pesat.
9) Kepemimpinan Kejaksaan RI yang menjunjung tinggi etika
kepemimpinan, khususnya hubungan antara pimpinan dan
bawahan berjalan secara harmonis.
10) Parameter keberhasilan sebagai wujud profesionalisme Kejaksaan
yang telah dicapai saat ini adalah penanganan kasus-kasus korupsi
dan mafia hukum.
b. Kelemahan
6) Sumber Daya Manusia
(a) Meskipun bertambah secara kuantitas, namun masih rendah
dalam kualitas.
(b) Kaderisasi kepemimpinan tidak optimal berjalan,
penempatan dalam jabatan tertentu tidak berdasarkan pada
kemampuan dan kompetensi yang dimiliki.
40
7) Komitmen yang telah dibangun tidak dilaksanakan terutama
implementasi paradigma baru, sehingga banyak yang tidak sesuai
sebagai aparat penegak hukum yang baik.
8) Sikap dan karakter yang dimiliki pimpinan belum mendukung
pelaksanaan tugas-tugas Kejaksaan, sebagai aparat penegak hukum.
9) Masih ada pemimpin yang mengabaikan etika kepemimpinan,
sehingga ada kesenjangan atasan dan anggota dan dominasi
kewenangan yang berlebihan.
10) Banyaknya permasalahan yang menimpa Kejaksaan saat ini telah
menimbulkan penurunan kredibilitas dan kepercayaan masyarakat.
30. Eksternal
a. Peluang
4) Undang-Undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan
Republik Indonesia.
5) Pemerintah sangat mendukung terciptanya Pimpinan Kejaksaan
RI yang profesional.
6) Dukungan DPR terhadap terciptanya kepemimpinan yang
profesional dalam tubuh Kejaksaan RI cukup besar.
b. Kendala
1) Masih tingginya sikap apriori masyarakat terhadap perubahan yang
terjadi di Lingkungan Kejaksaan terutama dalam restrukturisasi
yang terjadi di tubuh Kejaksaan RI.
2) Pengetahuan, pemahaman, kesadaran dan kepatuhan masyarakat
terhadap hukum masih rendah.
3) Anggaran yang tersedia untuk melatih dan mendidik kader
Kejaksaan RI masih kurang.
41
BAB V
KONDISI YANG DIHARAPKAN
42
32. Kondisi Penegakan Hukum yang diharapkan
Kejaksaan sebagai salah satu lembaga penegak hukum dituntut untuk lebih
berperan dalam menegakan supremasi hukum, perlindungan kepentingan
umum, penegakan hak asasi manusia, serta pemberantasan korupsi, kolusi dan
nepotisme. Oleh karena itu perlu dilakukan penatan kembali terhadap
Kejaksaan untuk menyesuaikan dengan perubahan tersebut.
43
BAB VI
UPAYA PEMECAHAN MASALAH
REKRUITME
N
DIKLAT
ANGGARAN
PENGAWASAN
KEPEMIMPINAN
KEBIJAKAN
PERUNDANG- STANDAR
UNDANGAN PROFESI
KPJ
44
d. Menentukan Critical Driving Force
PENGAWASAN
- PENGAWASAN
+
YA
PENGAWASAN
-
Aparatur yang profesional jauh dari +
Aparatur yang profesional agak sulitPENGAWASAN
yang diharapkan karena pengawasan tercapai karena pengawasan baik
tidak accountable dan standar profesi tetapi standar profesi yang kurang baik
tidak terlaksana maka penegakan hukum maka akan sulit terciptanya penegakan
yang mewujudkan keadilan dan hukum yang mewujudkan keadilan dan
kebenaran tidak tercapai kebenaran
-
STANDAR PROFESI
g. Narasi scenario
45
Seperti suasana bulan purnama yang indah, bersinar di malam hari,
menerangi bumi dan angin berhembus sepoi-sepoi menambah keindahan
alam yang penuh kedamaian. Aparatur yang profesional tercapai dengan
Pengawasan yang baik serta ditunjang oleh standar profesi yang jelas
maka terciptalah penegakan hukum yang mewujudkan keadilan dan
kebenaran
46
34. Pendekatan analisa SWOT (IFAS, EFAS dan SFAS)
a. IFAS
Tabel 1
INTERNAL STRATEGIC FAKTORS ANALYIS SUMMARY (IFAS)
Kekuatan
Sumber Daya Manusia (Secara kuantitas SDM
Kejaksaan bertambah, Tersebarnya SDM Kejaksaan
1 dan disusun secara hirakhis dan Pemerataan dan 0,10 6 0,60
kaderisasi kepemimpinan melalui jenjang pendidikan
yang ada secara berkesinambungan)
Kelemahan
Sumber Daya Manusia (Meskipun bertambah secara
kuantitas, namun masih rendah dalam kualitas,
1 Kaderisasi kepemimpinan tidak optimal berjalan, 0,12 8 0,96
penempatan dalam jabatan tertentu tidak berdasarkan
pada kemampuan dan kompetensi yang dimiliki)
47
b. EFAS
Tabel 2
EKSTERNAL STRATEGIC FAKTORS ANALYIS SUMMARY (EFAS)
Peluang
1 UU No. 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan RI 0,22 7 1,54
Kendala 0,50
c. Posisi Kejaksaan RI
48
9 6,97 6 3 0
1. Growth 2. Growth
3. Retrechment
Konsentrasi Konsentrasi
melalui integrasi melalui integrasi Penghematan
vertikal horizontal
6
5,71 5a. Growth
Konsentrasi integrasi
horizontal 6. Captive
4. Growth
5b. Stability
Keterikatan
Carefully
Tidak melakukan
perubahan
3
49
2. Memperbaiki kendala-kendala yang ada di dalam internal Kejaksaan
RI.
Tabel 3
STRATEGIC FAKTORS ANALYSIS SUMMARY (SFAS)
Pengetahuan, pemahaman,
kesadaran dan kepatuhan
4
masyarakat terhadap hukum masih
0,23 4 0,92 x
rendah
50
TOTAL 1,00 6,26
Keterangan :
51
e) Strategi Jangka Menengah (2 tahun)
e. Implementasi
52
7. UU No. 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan RI, dirasakan sudah cukup
pada saat ini sebagai payung hukum sebagai pegangan pokok yang
fundamental dalam pelaksanaan tugas pokok Kejaksaan.
53
BAB VII
PENUTUP
35. Kesimpulan
Dari uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa:
a. Penegakan hukum belum dapat dilakukan secara optimal karena masalah
kepemimpinan di Kejaksaan RI mencerminkan masih kurangnya
pemahaman tentang peran dan fungsi seorang pemimpin, sehingga dengan
ketidakpahaman tersebut banyak berakibat pada penyimpangan wewenang
yang dilakukan oleh pimpinan Kejaksaan RI.
b. Hal di atas terjadi karena dikalangan pemimpin masih kurang optimal
dalam melaksanakan tugas dan wewenang sesuai Tri Krama Adhyaksa.
c. Belum semua pemimpin dapat mengaplikasikan berbagai pengetahuan
dan keahlian dan cenderung masih belum dapat dikatakan sebagai
pemimpin yang memiliki sikap visioner, profesional dan modern.
36. Rekomendasi
Dalam mewujudkan terciptanya aparatur yang profesional dengan
dilandasi moral dalam rangka terwujudnya penegakan supremasi hukum di
masa depan diharapkan untuk:
f. Perlunya menyempurnakan dan memadukan ketentuan tentang
Rekruitmen Calon Pegawai Negeri Sipil dan Calon Jaksa dalam suatu
Peraturan Jaksa Agung.
g. Perlunya peningkatan profesionalitas dan integritas kepribadian melalui
Pendidikan dan Pelatihan.
h. Perlunya penyempurnaan dan memadukan ketentuan tentang Pembinaan
Karier Pegawai Kejaksaan RI
i. Perlunya memiliki integritas kepribadian serta disiplin yang tinggi guna
melaksanakan tugas penegakan hukum dalam mewujudkan keadilan dan
kebenaran.
j. Penyelenggaraan pengawasan perlu ditingkatkan baik kualitas maupun
intensitasnya.
54
55