Anda di halaman 1dari 55

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Pembenahan serta penguatan birokrasi termasuk di dalamnya lembaga-


lembaga penegakan hukum seperti Kejaksaan merupakan suatu keharusan
untuk memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Upaya
penegakan hukum dan pemberantasan korupsi yang menjadi salah satu
program prioritas Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono sendiri akan
banyak mengalami kendala jika tidak diiringi oleh upaya pembenahan dari
dalam.

Kejaksaan menyadari kebutuhan akan perubahan ini, bukan saja karena


tuntutan masyarakat semakin tinggi, namun juga karena kebutuhan dalam
menjalankan profesi Kejaksaan saat ini membutuhkan adanya suatu organisasi
yang solid dan mendukung.

Kejaksaan telah meluncurkan Agenda Pembaharuan Kejaksaan yang


meliputi Aspek Pembaharuan Organisasi Kejaksaan dan SDM, Pembaharuan
Organisasi dan Tata Kerja Bidang Intelejen Kejaksaan, Pembaharuan
Manajemen Umum, Pembaharuan Manajemen Perkara dan Pembaharuan
Sistem Pengawasan Kejaksaan. Program-program tersebut merupakan
program prioritas terpilih yang dapat dilaksanakan oleh Kejaksaan tanpa harus
menunggu prakarsa dari lembaga-lembaga negara yang lain.

Sebagai tindak lanjut dari perubahan Kejaksaan di bentuk 7 (tujuh)


Kelompok Kerja Pembaharuan Kejaksaan yang dalam pelaksanaannya turut
melibatkan masyarakat sipil (Civil Society) khususnya kalangan Lembaga Swadaya
Masyarakat (SDM) dan Perguruan Tinggi.

Adapun ke (7) Tujuh Kelompok Kerja tersebut meliputi Pokja Ortala


Kejaksaan, Pokja Rekruitmen dan Pembinaan Karier, Pokja Diklat, Pokja

1
Pembaharuan Ortala Intelejen, Pokja Penyusunan Kode Perilaku Jaksa (Code
of Conduct) dan Standar Minimal Profesi Jaksa, Pokja Mekanisme dan
Prosedur Pengawasan serta Pokja Comparative Study.

Peningkatan profesionalisme sumber daya manusia aparatur Kejaksaan


menjadi titik perhatian yang fundamental sehingga pada setiap pendidikan
kejenjangan karier dan diklat-diklat tekhnis senantiasa diupayakan
sebagaimana mestinya dan tidak saja dalam lingkup pusat namun sampai
kepada pelaksanaan di daerah. Dengan demikian diharapkan terjadinya check
and balances sebagai harapan dalam Pencitraan Kejaksaan. Oleh karena itu ke
6 (enam) bidang ini dianggap sebagai prioritas guna meningkatkan
profesionalitas, integritas dan kualitas Jaksa. Salah satu titik berat dalam
pembaharuan Kejaksaan adalah menegakan pengawasan sebagai suatu
kekuatan kontrol.

2. Pokok Masalah dan Persoalan


a. Pokok Masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang, maka dirumuskan pokok
permasalahannya sebagai berikut:
“Belum optimalnya kepemimpinan Kejaksaan RI yang mandiri sehingga
belum tercapainya aparatur yang profesional dalam rangka terwujudnya
penegakan supremasi hukum”

b. Persoalan
Berdasarkan pokok permasalahan yang telah dirumuskan maka
pokok persoalan dalam penulisan Naskah Karya Perorangan ini, yaitu:
a. Bagaimana Penerapan paradigma Kejaksaan pada saat ini?
b. Bagaimana strategi terciptanya aparatur profesional yang dilandasi
moral dalam rangka terwujudnya penegakan supremasi hukum?

2
3. Ruang lingkup
Ruang lingkup penulisan Naskah Karya Perorangan ini penulis batasi
pada upaya aktualisasi Kepemimpinan Kejaksaan RI yang mandiri demi
terciptanya aparatur yang profesional dengan dilandasi moral dalam rangka
terwujudnya penegakan supremasi hukum.

4. Tata Urut
a. Bab I Pendahuluan
Dalam bab ini diuraikan mengenai latar belakang mengapa Naskah Karya
Perorangan ini dipilih dan diuraikan tentang hal-hal yang menjadikan
pertimbangan yang kemudian dimunculkan permasalahan dan persoalan
yang akan menjadi pokok bahasan.
b. Bab II Landasan teori
Bab ini berisikan tentang Kejaksaan RI, Teori Kepemimpinan, Teori
SWOT (EFAS, IFAS dan SFAS), dan Teori Scenario Learning
c. Bab III Kondisi awal
Dalam bab ini diuraikan tentang keadaan yang terjadi pada saat ini.
d. Bab IV faktor-Faktor yang mepengaruhi
Bab ini memaparkan faktor-faktor yang menyebabkan kondisi itu terjadi
e. Bab V Kondisi yang diharapkan
Di dalam dipaparkan tentang idealnya fungsi dari penegakan hukum dan
kondisi kepemimpinan Kejaksaan RI
f. Bab VI upaya pemecahan
Bab ini membahas mengenai strategi yang digunakan.
g. Bab VII Penutup
Dalam bab ini penulis membuat kesimpulan dari pembahasan.

3
BAB II

LANDASAN TEORI

5. Kejaksaan RI

Sesuai dengan makna Undang-undang Nomor 16 tahun 2004 tentang


Kejaksaan Republik Indonesia yang pada intinya untuk lebih memantapkan
kedudukan dan peran Kejaksaan RI sebagai lembaga negara pemerintahan
yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan harus bebas dari
pengaruh kekuasaan pihak manapun, yakni yang dilaksanakan secara merdeka
terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan penegak hukum lainnya.

Kejaksaan sebagai salah satu lembaga penegak hukum dituntut untuk lebih
berperan dalam menegakan supremasi hukum, perlindungan kepentingan
umum, penegakan hak asasi manusia (HAM), serta pemberantasan korupsi,
kolusi dan nepotisme (KKN). Oleh karena itu perlu dilakukan penataan
kembali terhadap Kejaksaan untuk menyesuaikan dengan perubahan tersebut.

Dalam melaksanakan fungsi, tugas dan wewenangnya, Kejaksaan RI


sebagai lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di
bidang pemerintahan harus mampu mewujudkan kepastian hukum, ketertiban
hukum, keadilan dan kebenaran berdasarkan hukum dan mengindahkan
norma-norma keagamaan, kesopanan dan kesusilaan serta wajib menggali
nilai-nilai kemanusiaan, hukum dan keadilan yang hidup dimasyarakat.

6. Teori Kepemimpinan
Kepemimpinan adalah masalah relasi dan pengaruh antara pemimpin dan
yang dipimpin. Kepemimpinan muncul dan berkembang sebagai hasil dari
interaksi otomatis diantara pemimpin dan individu-individu yang dipimpin
(Ada Relasi Interpersonal). Kepemimpinan ini dapat berfungsi atas dasar
kekuasaan pemimpin untuk mengajak, mempengaruhi dan menggerakan orang
lain guna melakukan sesuatu, demi tercapai satu tujuan tertentu.

4
Salah satu teori yang mengemukakan mengenai gaya kepemimpinan
adalah Teori Path-Goal, Robert House (Dalam Miftah Thoha, 2001 : 42)
memasukan empat tipe atau gaya utama kepemimpinan, yakni:
a. Kepemimpinan Direktif.
Tipe ini sama dengan model kepemimpinan yang otokrasi dari Lippit dan
White. Bawahan tahu senyatanya apa yang diharapkan darinya dan
pengarahan yang khusus diberikan oleh pimpinan. Dalam model ini tidak
ada partisipasi dari bawahan.
b. Kepemimpinan yang mendukung (Supportive Leadership).
Kepemimpinan model ini mempunyai kesediaan untuk menjelaskan
sendiri, bersahabat, mudah didekati, dan mempunyai perhatian yang murni
terhadap para bawahannya
c. Kepemimpinan Parsisipatif.
Pemimpin berusaha meminta dan mempergunakan saran-saran dari
bawahannya, namun pengambilan keputusan masih tetap berada padanya.
d. Kepemimpinan yang berorientasi pada prestasi.
Menetapkan serangkaian tujuan yang menantang para bawahannya untuk
berpartisipasi. Demikian pula pemimpin memberikan keyakinan kepada
mereka bahwa mereka mampu melaksanakan tugas pekerjaan mencapai
tujuan secara baik.

7. Teori Scenario Learning

Scenario adalah berbagai proyeksi tentang masa depan yang potensial,


yang merupakan kombinasi tentang prakiraan apa yang mungkin terjadi
dengan asumsi-asumsi mengenai apa yang akan terjadi di masa depan.
Sedangkan learning bukan sekedar sarana untuk menghasilkan atau mengejar
pengetahuan, tetapi juga untuk menggunakannya. Dengan demikian, maka
scenario learning adalah mengembangkan scenario dan pengintegrasian ke
dalam proses pengambilan keputusan mengenai Plausibilitas (Harus Mungkin

5
Terjadi, Kredibel dan Relevan) masa depan serta meningkatkan pengambilan
keputusan.1

Secara teknis, langkah-langkah penyusunan Scenario Learning adalah


sebagai berikut:

a. Menetapkan Focal Concern (FC), suatu kerangka waktu (time frame) yang
jelas yang menjadi pilar pembicaraan.

b. Mengidentifikasikan Driving Force (DF), faktor yang mendorong


perubahan yang mengidentifikasikan hal sebanyak mungkin dan diyakini
akan mempengaruhi FC.

c. Analisis hubungan antara Driving Forces, dengan memetakan hubungan


seluruh DF dengan FC dan bagaimana seluruh DF itu mempengaruhi FC.

d. Memilih Critical Driving Force (CDF), suatu faktor DF yang paling kritis
dan paling berpengaruh terhadap FC.

e. Menyusun matrik scenario yang dikembangkan dari dua DF yang terpilih


untuk menentukan sumbu ordinat dan aksis dengan setiap kuadrannya
berisi inti scenario.

f. Menentukan ciri kunci setiap scenario, menentukan simbol atau fase untuk
masing-masing scenario dengan menentukan implikasi dan bertemunya
ciri-ciri yang relevan pada satu DF dengan DF lainnya.

g. Menyusun narasi scenario, berisi deskripsi elaboratif yang menekankan


proses peristiwa hingga pada akhirnya menjelaskan akibat yang akan
terjadi.

8. Teori SWOT

1
Nusyirwan Zen, Paradigma Organisasi Pembelajaran dan Scenario Learning, Bahan Ajaran
Sespati Polri Dikreg 18 T.P. 2010, Lembang

6
Konsep dasar analisa SWOT sebagaimana dikemukakan oleh Sun
Tzu, 1992 bahwa: “Apabila kita telah mengenal kekuatan dan kelemahan diri
sendiri, dan mengetahui kekuatan dan kelemahan lawan, sudah dapat
dipastikan kita akan dapat memenangkan pertempuran”. Dalam
perkembangannya saat ini analisis SWOT tidak hanya dipakai untuk
menyusun strategi di medan pertempuran, melainkan banyak dipakai dalam
penyusunan perencanaan strategis diberbagai bidang, yang bertujuan untuk
menyusun strategi-strategi jangka panjang, sehingga arah tujuan dapat dicapai
dengan jelas dan dapat diambil keputusan, berikut semua perubahannya dalam
menghadapi pesaing.

Untuk mendapatkan gambaran yang jelas mengenai pemakaian metode


SWOT ini secara jelas dapat dilihat prosesnya, mulai dari analisis eksternal,
internal sampai dengan penyusunan formulasi dan keputusan strategi yang
sesuai untuk mencapai tujuan.

Teori SWOT adalah suatu teori yang memberikan wawasan tentang


cara melakukan analisis melalui identifikasi terhadap berbagai faktor secara
sistematis untuk merumuskan strategi organisasi. Analisis ini berdasarkan
pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (Strengths) peluang
(Opportunities) suatu organisasi secara internal, namun secara bersamaan
dapat meminimalkan kelemahan (Weaknesses) dan ancaman (Threats) yang
dihadapi organisasi tersebut dari eksternal. Proses pengambilan keputusan
selalu berkaitan dengan pengembangan misi, tujuan, strategi dan kebijakan
organisasi termasuk Kejaksaan RI.

Dengan demikian perencana strategis (Strategic Planner) harus


menganalisa faktor-faktor strategis yang dihadapi organisasi (kekuatan,
kelemahan, peluang dan ancaman) dalam kondisi yang ada pada saat ini.
Dengan demikian analisis strategi merupakan alat untuk memperoleh
pemahaman yang jelas mengenai suatu permasalahan, sehingga dapat
memformulasikan tindakan yang nyata dan konkret.

7
Dari analisis SWOT dapat dilanjutkan dengan menganalisis Faktor
Eksternal dan Internal untuk menentukan strategi yang tepat dengan analisis
EFAS – IFAS dengan pentahapan analisis EPAS dan IPAS sebagai berikut:
Analisis faktor Eksternal, Analisis Faktor Internal, Menetapkan posisi
Organisasi, Menetapkan Grand Strategi, Analisis Strategi Kunci (SFAS),
Implementasi Strategi

BAB III

KONDISI AWAL

8
9. Kepemimpinan Kejaksaan saat ini
Kepemimpinan adalah masalah relasi dan pengaruh antara pemimpin
dan yang di pimpin. Kepemimpinan muncul dan berkembang sebagai hasil
dari interaksi otomatis diantara pemimpin dan individu-individu yang
dipimpin (ada relasi interpersonal). Kepemimpinan ini dapat berfungsi atas
dasar kekuasaan pemimpin untuk mengajak, mempengaruhi dan menggerakan
orang lain guna melakukan sesuatu, demi tercapai satu tujuan tertentu. Adapun
Kepemimpinan Kejaksaan RI saat ini dapat digambarkan sebagai berikut:
a. Sebagian Pimpinan Kejaksaan RI belum memperlihatkan ketulusan hati
dan kejujuran yang merupakan faktor menentukan kepercayaan dan
kewibawaan.
b. Kurangnya pengendalian emosi. Pengendalian emosi bagi seorang
pemimpin sangat penting sekali karena selain berhadapan dengan
anggota, maupun masyarakat yang memiliki karakter dan sifat yang
berbeda.
c. Kaderisasi Kepemimpinan di Kejaksaan RI tidak optimal.
d. Pimpinan Kejaksaan RI tidak optimal dalam fungsi pengawasan dalam
mutasi pegawai dari pimpinan.
e. Pimpinan Kejaksaan RI belum optimal memberikan kewenangan secara
penuh ke daerah (Mutasi pegawai lokal dan bidang penuntutan).
f. Kurang memberikan motivasi, antusiasme (semangat, kegairahan,
kegembiraan) kepada anak buahnya, sehingga kurang menimbulkan
semangat dan esprit de corps.
Dari uraian di atas, mencerminkan masih kurangnya pemahaman
tentang peran dan fungsi seorang pemimpin, sehingga dengan ketidakpahaman
tersebut banyak berakibat pada penyimpangan wewenang yang dilakukan oleh
Pimpinan Kejaksaan RI. Hal ini terjadi karena belum meratanya pengetahuan
dikalangan pemimpin yang disebabkan masih kurangnya pendidikan dan
pelatihan kepemimpinan. Penyimpangan yang terjadi dan ketidakpahaman
seorang pemimpin dalam mengemban fungsinya merupakan gambaran bahwa

9
belum semua pemimpin dapat mengaplikasikan berbagai pengetahuan dan
keahlian dan cenderung masih belum dapat dikatakan sebagai pemimpin yang
memiliki sikap visioner, profesional dan modern.

10. Kondisi penegakan hukum pada saat ini


Dari pelaksanaan RPJMN 2004-2009, pembangunan bidang hukum dan
aparatur telah mencapai berbagai kemajuan, yang dapat diukur melalui
penerapan prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik. Berkaitan
dengan sasaran periode tersebut, yang meliputi penataan kembali NKRI,
dalam membangun Indonesia yang aman dan damai, yang adil dan
demokratis, dengan tingkat kesejahteraan yang lebih baik, yang dapat
digambarkan dengan berbagai perkembangan dalam hal kehidupan
berkonstitusi, pembenahan peraturan perundang-undangan, perbaikan
pelayanan publik, reformasi birokrasi, akuntabilitas pemerintahan,
pemberantasan korupsi, kinerja lembaga penegak hukum dan penghormatan
terhadap HAM.
Walaupun demikian dalam suasana lingkungan dewasa ini, godaan untuk
tidak taat hukum dan perundang-undangan sangat besar. Profesionalisme
penegak hukum, pelayanan publik yang berbelit-belit, peraturan perundang-
undangan yang masih belum efektif, dan terkikisnya citra penegak hukum,
serta kesadaran hukum masyarakat yang masih rendah masih menjadi
permasalahan dalam Pembangunan Supremasi Hukum Nasional.
Cukup lama sebagian masyarakat merasakan dan mengalami kasus-kasus
ketidakadilan pada sistem peradilan. Penegakan hukum terkait erat dengan
profesionalisme lembaga dan orang-orang yang berada pada sistem peradilan
dan hukum di Indonesia. Tidak sedikit pihak yang memanfaatkan kelemahan-
kelemahan sistem yang saat ini berlaku.
Tingginya kebutuhan hidup dan rendahnya pendapatan aparat penegak
hukum ikut memicu terjadinya penyimpangan perilaku yang dilakukan oleh
oknum aparat penegak hukum untuk mendeponir perkara yang ditangani atau
menghentikan penyidikan, penuntutan dan pemutusan perkara bahkan

10
seringkali menjadikan perkara yang ditangani sebagai lahan mata pencaharian
sehingga mengakibatkan penanganan perkara tidak objektif lagi.
Pelayanan oleh aparatur birokrasi masih identik dengan pelayanan yang
kompleks, berbelit-belit, dan menghambat akses warga untuk mendapat
layanan publik yang diperlukannya secara wajar. Padahal, pelayanan publik
merupakan hak masyarakat untuk mendapatkannya dengan lebih baik.
Birokrasi pada hampir semua level juga belum mengalami perubahan
paradigma dari budaya minta dilayani menjadi budaya melayani.
Penyelenggaraan pelayanan publik terlalu berorientasi pada kegiatan dan
pertanggungjawaban formal dan kurang berorientasi pada hasil berupa
pelayanan yang prima kepada warga.
Upaya untuk melakukan efektivitas peraturan perundang-undangan sampai
dengan saat ini masih terkendala dengan masih adanya peraturan perundang-
undangan yang ada tumpang tindih, inkonsisten, tidak jelas, multitafsir dan
pertentangan antara peraturan perundang-undangan yang satu dengan yang
lain, baik yang sederajat maupun antara peraturan yang lebih tinggi dengan
peraturan di bawahnya, dan antara Peraturan Tingkat Pusat dan Daerah.
Pada sisi lain, berkaitan dengan masalah-masalah yang mendapat sorotan
masyarakat luas seperti kolusi, korupsi, mafia peradilan dan bentuk-bentuk
penyalahgunaan kekuasaan atau persekongkolan lainnya di bidang prosedur/
penegakkan hukum. Belum maksimalnya pekerjaan penegak hukum dari
kasus-kasus tersebut di atas, menjadikan masyarakat pesimis terhadap aparat
penegak hukum. Rasa pesimis ini dirasakan oleh masyarakat karena
masyarakat menganggap bahwa hukum itu sebagai sesuatu yang mahal dan
hukum masih berpihak pada individu tertentu, yaitu orang-orang kaya,
sementara rakyat kecil akan sangat sulit untuk menenangkan perkara karena
tidak mampu membayar Penasehat Hukum/Pengacara.
Faktor pelaksanaan penegakkan hukum seringkali dijadikan cermin oleh
masyarakat ketika masyarakat memberikan respon terhadap hukum.
Masyarakat tidak akan menghormati hukum atau bahkan melanggar hukum
karena melihat aparat penegak hukumnya juga melanggar hukum dan tidak

11
mendapat sanksi apapun atau hilangnya kepercayaan kepada aparat penegak
hukum karena penegakan hukum tidak berjalan dengan baik dengan adanya
KKN, mafia peradilan dan lain-lain, atau walaupun penegakan hukumnya
berjalan dengan baik tetapi sanksi yang dijatuhkan tidak memenuhi rasa
keadilan masyarakat.
Kondisi penegakan hukum yang yang dilaksanakan Kejaksaan adalah:
a. Masih adanya diskriminasi dari Kejaksaan yang dirasakan masyarakat.
b. Masih ada aparat dari Kejaksaan yang kurang simpatik dalam melayani
masyarakat.
c. Masih sering terjadi penyimpangan-penyimpangan dalam proses
penegakan hukum (berdasarkan KUHAP).

BAB IV
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI

11. Internal

12
a. Kekuatan
1) Sumber Daya Manusia
(a) Secara kuantitas SDM Kejaksaan bertambah.
(b) Tersebarnya SDM Kejaksaan dan disusun secara hirakhis.
(c) Pemerataan dan kaderisasi kepemimpinan melalui jenjang
pendidikan yang ada secara berkesinambungan.
2) Komitmen dari Kejaksaan Agung RI dan anggota yang kuat
mendukung paradigma baru dan mendukung reformasi birokrasi
Kejaksaan.
3) Profesionalisme tingkat pimpinan dan anggota berbasis
pengetahuan dan keterampilan telah memanfaatkan kemajuan
teknologi informasi yang berkembang pesat.
4) Kepemimpinan Kejaksaan RI yang menjunjung tinggi etika
kepemimpinan, khususnya hubungan antara pimpinan dan
bawahan berjalan secara harmonis.
5) Parameter keberhasilan sebagai wujud profesionalisme Kejaksaan
yang telah dicapai saat ini adalah penanganan kasus-kasus korupsi
dan mafia hukum.

b. Kelemahan
1) Sumber Daya Manusia
(a) Meskipun bertambah secara kuantitas, namun masih rendah
dalam kualitas.
(b) Kaderisasi kepemimpinan tidak optimal berjalan,
penempatan dalam jabatan tertentu tidak berdasarkan pada
kemampuan dan kompetensi yang dimiliki.
2) Komitmen yang telah dibangun tidak dilaksanakan terutama
implementasi paradigma baru, sehingga banyak yang tidak sesuai
sebagai aparat penegak hukum yang baik.
3) Sikap dan karakter yang dimiliki pimpinan belum mendukung
pelaksanaan tugas-tugas Kejaksaan, sebagai aparat penegak hukum.

13
4) Masih ada pemimpin yang mengabaikan etika kepemimpinan,
sehingga ada kesenjangan atasan dan anggota dan dominasi
kewenangan yang berlebihan.
5) Banyaknya permasalahan yang menimpa Kejaksaan saat ini telah
menimbulkan penurunan kredibilitas dan kepercayaan masyarakat.

12. Eksternal
a. Peluang
1) Undang-Undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan
Republik Indonesia.
2) Pemerintah sangat mendukung terciptanya Pimpinan Kejaksaan
RI yang profesional.
3) Dukungan DPR terhadap terciptanya kepemimpinan yang
profesional dalam tubuh Kejaksaan RI cukup besar.

b. Kendala
1) Masih tingginya sikap apriori masyarakat terhadap perubahan yang
terjadi di Lingkungan Kejaksaan terutama dalam restrukturisasi
yang terjadi di tubuh Kejaksaan RI.
2) Pengetahuan, pemahaman, kesadaran dan kepatuhan masyarakat
terhadap hukum masih rendah.
3) Anggaran yang tersedia untuk melatih dan mendidik kader
Kejaksaan RI masih kurang.

BAB V
KONDISI YANG DIHARAPKAN

13. Kepemimpinan Kejaksaan RI yang diharapkan.

14
Kejaksaan RI sesuai tugas, fungsi dan peran berdasarkan UU No. 16
tahun 2004 tentang Kejaksaan RI sebagai alat Negara penegak hukum di
bidang penuntutan serta tugas lain berdasarkan peraturan perundang-undangan
lainnya.
Kejaksaan sebagai lembaga penegak hukum melaksanakan tugasnya
secara merdeka dengan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia (HAM) dalam
negara hukum berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Adapun kepemimpinan
Jaksa yang diharapkan adalah:
1) Jaksa Agung selaku pimpinan dan penanggung jawab tertinggi Kejaksaan
RI yang memimpin, mengendalikan pelaksanaan tugas, dan wewenang
Kejaksaan dalam rangka menjaga kehormatan dan martabat profesi
sebagaimana diamanatkan UU Kejaksaan RI.
2) Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, diperlukan sosok Pimpinan
dan atau Jaksa sebagai abdi hukum yang profesional, memiliki integritas
kepribadian, disiplin, etos kerja yang tinggi dan penuh tanggung jawab,
senantiasa mengaktualisasikan diri dengan memahami perkembangan
global, tanggap dan mampu menyesuaikan diri dalam rangka memelihara
citra profesi dan kinerja jaksa serta tidak bermental korup.
3) Kepemimpinan Jaksa dan seluruh anggota Kejaksaan RI sebagai pejabat
publik senantiasa menunjukan pengabdiannya melayani publik dengan
mengutamakan kepensumpah jabatan, menjunjung tinggi doktrin Tri
Krama Adhyaksa, serta membina hubungan kerjasama dengan pejabat
publik lainnya.
4) Kepemimpinan Jaksa dan seluruh anggota Kejaksaan RI sebagai anggota
masyarakat selalu menunjukan keteladanan yang baik, bersikap dan
berperilaku sesuai dengan nilai-nilai yang hidup dan berkembang sesuai
dengan pearturan perundang-undangan
14. Kondisi Penegakan Hukum yang diharapkan

Sesuai dengan makna Undang-undang Nomor 16 tahun 2004 tentang


Kejaksaan Republik Indonesia yang pada intinya untuk lebih memantapkan

15
kedudukan dan peran Kejaksaan RI sebagai lembaga negara pemerintahan
yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan harus bebas dari
pengaruh kekuasaan pihak manapun, yakni yang dilaksanakan secara merdeka
terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan penegak hukum lainnya.

Kejaksaan sebagai salah satu lembaga penegak hukum dituntut untuk lebih
berperan dalam menegakan supremasi hukum, perlindungan kepentingan
umum, penegakan hak asasi manusia, serta pemberantasan korupsi, kolusi dan
nepotisme. Oleh karena itu perlu dilakukan penatan kembali terhadap
Kejaksaan untuk menyesuaikan dengan perubahan tersebut.

Dalam melaksanakan fungsi, tugas dan wewenangnya, Kejaksaan RI


sebagai lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di
bidang pemerintahan harus mampu mewujudkan kepastian hukum, ketertiban
hukum, keadilan dan kebenaran berdasarkan hukum dan mengindahkan
norma-norma keagamaan, kesopanan dan kesusilaan serta wajib menggali
nilai-nilai kemanusiaan, hukum dan keadilan yang hidup dimasyarakat.

BAB VI
UPAYA PEMECAHAN MASALAH

16
15. Implementasi Scenario Learning

a. Menetapkan Focal Concern

Penetapan Focal concern yang merupakan suatu kerangka waktu (time


frame) yang jelas yang menjadi pilar pembicaraan yaitu Aparatur yang
Profesional.

b. Mengidentifikasi Driving Force

Kekuatan pendorong yang mempengaruhi FC yang menjadi fokus bahasan


adalah Rekruitmen, Diklat, Kode Perilaku Jaksa (KPJ), Undang-Undang,
Pemerintah, Pengawasan, Anggaran, Kebijakan Pimpinan Kejaksaan RI
dan Standar Profesi

c.Analisa Hubungan antar DF :


HUBUNGAN ANTAR DRIVING FORCE

REKRUITME
N
DIKLAT

ANGGARAN

PENGAWASAN

KEPEMIMPINAN
KEBIJAKAN

PERUNDANG- STANDAR
UNDANGAN PROFESI
KPJ

d. Menentukan Critical Driving Force

17
Setelah di analisa hubungan antar DF, maka ditentukan DF yang
paling kritis dan paling berpengaruh terhadap FC, yaitu: PENGAWASAN
dan STANDAR PROFESI

e. Menyusun matriks scenario


STANDAR PROFESI
+

KUADRAN III KUADRAN I

PENGAWASAN
- PENGAWASAN
+
YA

KUADRAN IV KUADRAN II YANG TIDAK BAIK


-
STANDAR PROFESI

f. Indicator dari masing-masing kutub.


STANDAR PROFESI
Aparatur yang profesional belum bisa
diharapkan karena standar profesi +
baik tetapi standar pengawasan Aparatur yang profesional tercapai
belum baik maka penegakan hukum dengan standar profesi yang baik serta
yang mewujudkan keadilan dan ditunjang oleh pengawasan yang baik
kebenaran belum dapat diwujudkan maka terciptalah penegakan hukum
secara optimal yang mewujudkan keadilan dan
kebenaran

PENGAWASAN
-
Aparatur yang profesional jauh dari +
Aparatur yang profesional agak sulitPENGAWASAN
yang diharapkan karena pengawasan tercapai karena pengawasan baik
tidak accountable dan standar profesi tetapi standar profesi yang kurang baik
tidak terlaksana maka penegakan hukum maka akan sulit terciptanya penegakan
yang mewujudkan keadilan dan hukum yang mewujudkan keadilan dan
kebenaran tidak tercapai kebenaran

-
STANDAR PROFESI

g. Narasi scenario

Kuadran I: Bulan Purnama yang indah

Seperti suasana bulan purnama yang indah, bersinar di malam hari,


menerangi bumi dan angin berhembus sepoi-sepoi menambah keindahan
alam yang penuh kedamaian. Aparatur yang profesional tercapai dengan
Pengawasan yang baik serta ditunjang oleh standar profesi yang jelas

18
maka terciptalah penegakan hukum yang mewujudkan keadilan dan
kebenaran

Kuadran II: Bulan sabit di langit nan cerah


Indahnya malam hari tidak terasa karena hanya diterangi oleh
bulan sabit. Aparatur yang profesional agak sulit tercapai karena
pengawasan baik tetapi standar profesi yang kurang mumpuni maka akan
sulit terciptanya penegakan hukum yang mewujudkan keadilan dan
kebenaran

Kuadran III: Malam hari diselimuti awan

Indahnya angkasa di malam hari tertutupi oleh awan, untuk


dinikmati ada perasaan ngeri karena takut datangnya hujan. Aparatur yang
profesional belum bisa diharapkan karena standar profesi baik tetapi
pengawasan belum baik maka penegakan hukum yang mewujudkan
keadilan dan kebenaran belum dapat diwujudkan secara optimal.

Kuadran IV : Malam hari turun hujan disertai petir dan gempa


Keindahan malam sama sekali tidak ada sedikit pun keindahan,
karena hujan turun disertai petir dan gempa. Yang dirasakan hanya
ketakutan karena ancaman bencana akan datang. Aparatur yang
profesional jauh dari yang diharapkan karena standar profesi tidak
accountable dan pengawasan tidak terlaksana maka penegakan hukum
yang mewujudkan keadilan dan kebenaran tidak tercapai

16. Pendekatan analisa SWOT (IFAS, EFAS dan SFAS)

19
a. IFAS

Tabel 1
INTERNAL STRATEGIC FAKTORS ANALYIS SUMMARY (IFAS)

Bobot Peringkat Skor


No Faktor Internal
0,0-1,0 1-9

Kekuatan
Sumber Daya Manusia (Secara kuantitas SDM
Kejaksaan bertambah, Tersebarnya SDM Kejaksaan
1 dan disusun secara hirakhis dan Pemerataan dan 0,10 6 0,60
kaderisasi kepemimpinan melalui jenjang pendidikan
yang ada secara berkesinambungan)

Komitmen dari Kejaksaan Agung RI dan anggota yang


2 kuat mendukung paradigma baru dan mendukung 0,25 8 2,00
reformasi birokrasi Kejaksaan.

Profesionalisme tingkat pimpinan dan anggota


berbasis pengetahuan dan keterampilan telah
3 0,15 7 1,05
memafaatkan kemajuan teknologi informasi yang
berkembang pesat.

Kelemahan
Sumber Daya Manusia (Meskipun bertambah secara
kuantitas, namun masih rendah dalam kualitas,
1 Kaderisasi kepemimpinan tidak optimal berjalan, 0,12 8 0,96
penempatan dalam jabatan tertentu tidak berdasarkan
pada kemampuan dan kompetensi yang dimiliki)

Komitmen yang telah dibangun tidak dilaksanakan


terutama implementasi paradigma baru, sehingga
2 0.30 6 1,80
banyak yang tidak sesuai sebagai aparat penegak
hukum yang baik.

Sikap dan karakter yang dimiliki pimpinan belum


3 mendukung pelaksanaan tugas-tugas Kejaksaan, 0,08 7 0,56
sebagai aparat penegak hukum.

TOTAL 1,00 6,97

b. EFAS

20
Tabel 2
EKSTERNAL STRATEGIC FAKTORS ANALYIS SUMMARY (EFAS)

Bobot Peringkat Skor


No Faktor Eksternal
0,0-1,0 9-1

Peluang
1 UU No. 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan RI 0,22 7 1,54

Dukungan DPR terhadap terciptanya kepemimpinan


2 yang profesional dalam tubuh Kejaksaan RI cukup 0,17 5 0,85
besar.

Pemerintah sangat mendukung terciptanya pimpinan


3 0,11 6 0,66
Kejaksaan RI yang profesional

Kendala 0,50

Masih tingginya sikap apriori masyarakat terhadap


perubahan yang terjadi di Lingkungan Kejaksaan
1 0,12 7 0,84
terutama dalam restrukturisasi yang terjadi di tubuh
Kejaksaan RI.

Pengetahuan, pemahaman, kesadaran dan kepatuhan


2 0,23 4 0,92
masyarakat terhadap hukum masih rendah.

Anggaran yang tersedia untuk melatih dan mendidik


3 0,15 6 0,90
kader Kejaksaan RI masih kurang.

TOTAL 1,00 5,71

c. Posisi Kejaksaan RI

Untuk melihat posisi organisasi Kejaksaan RI dalam pemeliharaan


kamtibmas saat ini, hasil analisis IFAS dan EFAS di atas dimasukan ke
dalam strategic sebagaimana tampak di bawah ini:

21
9 6,97 6 3 0

1. Growth 2. Growth
3. Retrechment
Konsentrasi Konsentrasi
melalui integrasi melalui integrasi Penghematan
vertikal horizontal

6
5,71 5a. Growth

Konsentrasi integrasi
horizontal 6. Captive
4. Growth
5b. Stability
Keterikatan
Carefully
Tidak melakukan
perubahan
3

7. Growth 8. Growth 9. Retrechment

Diversifikasi Diversifikasi Likuidasi


Konsentrik Konglomerasi

Berdasarkan matriks di atas dapat dilihat pula bahwa total skor


IFAS (6,97) dan EFAS (5,71), posisi organisasi berada pada KUADRAN
4 yaitu Growth - Carefully. Dalam matriks di atas posisi strategic
Kejaksaan RI berada pada Kondisi Growth (Pertumbuhan) - carefully
ini berarti bahwa Kejaksaan RI merupakan organisasi yang memiliki
kekuatan, namun dihadapkan kepada kendala yang semakin besar.

Hal ini berarti aparatur Kejaksaan yang lebih profesional dapat


ditingkatkan melalui pembenahan secara internal dan menyelesaikan
kendala-kendala agar segera diatasi, apabila tidak diatasi segera maka
Kejaksaan tidak akan optimal dalam penegakan hukum karena
Kepemimpinan yang profesional tidak tercapai.

Berdasarkan matriks tersebut di atas, organisasi yang berada pada


sel ini, kunci kegiatan utama yang dapat dilakukan antara lain:

1. Meningkatkan kualitas personil organisasi, yaitu anggota Kejaksaan


RI.

22
2. Memperbaiki kendala-kendala yang ada di dalam internal Kejaksaan
RI.

Hasil analisis IFAS dan EFAS di atas menunjukan pula bahwa


faktor eksternal lebih kecil dari faktor internal. Ini berarti bahwa
membangun grand strategi memecahkan masalah aparatur yang
profesional, yakni Kejaksaan harus menggunakan kekuatan yang ada serta
mengintensifkan kekuatan kekutan secara internal.

d. Analisis Strategi Faktor Strategik (SFAS)

Berdasarkan analisis yang telah dilakukan pada bagian lalu dapat


ditetapkan faktor-faktor kunci yang akan menentukan strategi jangka
pendek, jangka menengah dan jangka panjang sebagaimana tampak pada
tabel berikut:

Tabel 3
STRATEGIC FAKTORS ANALYSIS SUMMARY (SFAS)

Bobot Peringkat Jangka Waktu


No Faktor Strategic kunci Skor
0,0-1,0 JPd JM JPj
Komitmen dari Kejaksaan Agung RI
dan anggota yang kuat mendukung
1
paradigma baru dan mendukung
0,25 8 2,00 x x x
reformasi birokrasi Kejaksaan.

Komitmen yang telah dibangun


tidak dilaksanakan terutama
implementasi paradigma baru,
2
sehingga banyak yang tidak sesuai
0.30 6 1,80 x x x
sebagai aparat penegak hukum
yang baik.

UU No. 16 tahun 2004 tentang


3
Kejaksaan RI
0,22 7 1,54 x x

Pengetahuan, pemahaman,
kesadaran dan kepatuhan
4
masyarakat terhadap hukum masih
0,23 4 0,92 x
rendah

23
TOTAL 1,00 6,26

Keterangan :

- Skor tertinggi = 2.00

- Skor terendah = 0,92

- Dikurangi jadi selisih 1,08 : 3 jangka waktu = 0,36

- Jangka Pendek 0,92 + 0,36 = 1,28

(0,92 - 1,28 masuk ke jangka pendek)

- Jangka Menengah 1,28 + 0,36 = 1,64

(1,28 – 1,64 masuk ke jangka menengah)

- Jangka Panjang 1,64 + 0,36 = 2,00

(1,64 – 2,00 masuk ke jangka panjang)

Berdasarkan perhitungan tabel di atas ditemukan bahwa strategi


yang harus dilakukan Kejaksaan RI adalah sebagai berikut:

a) Strategi Jangka Pendek (1 tahun)

1) Penegasan komitmen dari Kejaksaan Agung RI dan anggota yang


kuat mendukung paradigma baru dan mendukung reformasi
birokrasi Kejaksaan.

2) Komitmen yang telah dibangun harus dilaksanakan terutama


implementasi paradigma baru, sehingga Kejaksaan RI memiliki
aparat penegak hukum yang profesional.

3) UU No. 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan RI sebagai pegangan


pokok yang fundamental dalam pelaksanaan tugas pokok
Kejaksaan.

4) Menambah Pengetahuan, pemahaman, kesadaran dan kepatuhan


masyarakat terhadap hukum dengan cara melakukan penyuluhan
hukum dan penerangan hukum.

24
b) Strategi Jangka Menengah (2 tahun)

1) Melanjutkan program sebelumnya tentang penegasan komitmen


dari Kejaksaan Agung RI dan anggota yang kuat mendukung
paradigma baru dan mendukung reformasi birokrasi Kejaksaan.

2) Melanjutkan program sebelumnya yaitu komitmen yang telah


dibangun dilaksanakan dengan baik, terutama implementasi
paradigma baru, sebagai aparat penegak hukum yang profesional.

3) UU No. 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan RI sebagai pegangan


pokok yang fundamental dalam pelaksanaan tugas pokok
Kejaksaan.

c) Strategi Jangka Panjang (3-4 tahun)

1) Memantapkan program sebelumnya yaitu penegasan komitmen dari


Kejaksaan Agung RI dan anggota yang kuat mendukung paradigma
baru dan mendukung reformasi birokrasi Kejaksaan.

2) Memantapkan program sebelumnya yaitu komitmen yang telah


dibangun dilaksanakan dengan baik, terutama implementasi
paradigma baru, sebagai aparat penegak hukum yang baik.

e. Implementasi

1. Penegasan yang kuat tentang komitmen dari Kejaksaan Agung RI dan


anggota yang kuat mendukung paradigma baru dan mendukung
reformasi birokrasi Kejaksaan.

2. Melaksanakan komitmen yang telah dibangun terutama implementasi


paradigma baru, sehingga terciptalah aparat penegak hukum yang baik.

25
3. UU No. 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan RI, dirasakan sudah cukup
pada saat ini sebagai payung hukum sebagai pegangan pokok yang
fundamental dalam pelaksanaan tugas pokok Kejaksaan.

4. Menambah Pengetahuan, pemahaman, kesadaran dan kepatuhan


masyarakat terhadap hukum dengan cara melakukan penyuluhan hukum
dan penerangan hukum.

26
BAB VII
PENUTUP

17. Kesimpulan
Dari uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa:
a. Penegakan hukum belum dapat dilakukan secara optimal karena masalah
kepemimpinan di Kejaksaan RI mencerminkan masih kurangnya
pemahaman tentang peran dan fungsi seorang pemimpin, sehingga dengan
ketidakpahaman tersebut banyak berakibat pada penyimpangan wewenang
yang dilakukan oleh pimpinan Kejaksaan RI.
b. Hal di atas terjadi karena dikalangan pemimpin masih kurang optimal
dalam melaksanakan tugas dan wewenang sesuai Tri Krama Adhyaksa.
c. Belum semua pemimpin dapat mengaplikasikan berbagai pengetahuan
dan keahlian dan cenderung masih belum dapat dikatakan sebagai
pemimpin yang memiliki sikap visioner, profesional dan modern.
18. Rekomendasi
Dalam mewujudkan terciptanya aparatur yang profesional dengan
dilandasi moral dalam rangka terwujudnya penegakan supremasi hukum di
masa depan diharapkan untuk:
a. Perlunya menyempurnakan dan memadukan ketentuan tentang
Rekruitmen Calon Pegawai Negeri Sipil dan Calon Jaksa dalam suatu
Peraturan Jaksa Agung.
b. Perlunya peningkatan profesionalitas dan integritas kepribadian melalui
Pendidikan dan Pelatihan.
c. Perlunya penyempurnaan dan memadukan ketentuan tentang Pembinaan
Karier Pegawai Kejaksaan RI
d. Perlunya memiliki integritas kepribadian serta disiplin yang tinggi guna
melaksanakan tugas penegakan hukum dalam mewujudkan keadilan dan
kebenaran.
e. Penyelenggaraan pengawasan perlu ditingkatkan baik kualitas maupun
intensitasnya.

27
BAB I

PENDAHULUAN

19. Latar Belakang

Pembenahan serta penguatan birokrasi termasuk di dalamnya lembaga-


lembaga penegakan hukum seperti Kejaksaan merupakan suatu keharusan
untuk memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Upaya
penegakan hukum dan pemberantasan korupsi yang menjadi salah satu
program prioritas Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono sendiri akan
banyak mengalami kendala jika tidak diiringi oleh upaya pembenahan dari
dalam.

Kejaksaan menyadari kebutuhan akan perubahan ini, bukan saja karena


tuntutan masyarakat semakin tinggi, namun juga karena kebutuhan dalam
menjalankan profesi Kejaksaan saat ini membutuhkan adanya suatu organisasi
yang solid dan mendukung.

Kejaksaan telah meluncurkan Agenda Pembaharuan Kejaksaan yang


meliputi Aspek Pembaharuan Organisasi Kejaksaan dan SDM, Pembaharuan
Organisasi dan Tata Kerja Bidang Intelejen Kejaksaan, Pembaharuan
Manajemen Umum, Pembaharuan Manajemen Perkara dan Pembaharuan
Sistem Pengawasan Kejaksaan. Program-program tersebut merupakan
program prioritas terpilih yang dapat dilaksanakan oleh Kejaksaan tanpa harus
menunggu prakarsa dari lembaga-lembaga negara yang lain.

Sebagai tindak lanjut dari perubahan Kejaksaan di bentuk 7 (tujuh)


Kelompok Kerja Pembaharuan Kejaksaan yang dalam pelaksanaannya turut
melibatkan masyarakat sipil (Civil Society) khususnya kalangan Lembaga Swadaya
Masyarakat (SDM) dan Perguruan Tinggi.

28
Adapun ke (7) Tujuh Kelompok Kerja tersebut meliputi Pokja Ortala
Kejaksaan, Pokja Rekruitmen dan Pembinaan Karier, Pokja Diklat, Pokja
Pembaharuan Ortala Intelejen, Pokja Penyusunan Kode Perilaku Jaksa (Code
of Conduct) dan Standar Minimal Profesi Jaksa, Pokja Mekanisme dan
Prosedur Pengawasan serta Pokja Comparative Study.

Peningkatan profesionalisme sumber daya manusia aparatur Kejaksaan


menjadi titik perhatian yang fundamental sehingga pada setiap pendidikan
kejenjangan karier dan diklat-diklat tekhnis senantiasa diupayakan
sebagaimana mestinya dan tidak saja dalam lingkup pusat namun sampai
kepada pelaksanaan di daerah. Dengan demikian diharapkan terjadinya check
and balances sebagai harapan dalam Pencitraan Kejaksaan. Oleh karena itu ke
6 (enam) bidang ini dianggap sebagai prioritas guna meningkatkan
profesionalitas, integritas dan kualitas Jaksa. Salah satu titik berat dalam
pembaharuan Kejaksaan adalah menegakan pengawasan sebagai suatu
kekuatan kontrol.

20. Pokok Masalah dan Persoalan


a. Pokok Masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang, maka dirumuskan pokok
permasalahannya sebagai berikut:
“Belum optimalnya kepemimpinan Kejaksaan RI yang mandiri sehingga
belum tercapainya aparatur yang profesional dalam rangka terwujudnya
penegakan supremasi hukum”

b. Persoalan
Berdasarkan pokok permasalahan yang telah dirumuskan maka
pokok persoalan dalam penulisan Naskah Karya Perorangan ini, yaitu:
c. Bagaimana Penerapan paradigma Kejaksaan pada saat ini?

29
d. Bagaimana strategi terciptanya aparatur profesional yang dilandasi
moral dalam rangka terwujudnya penegakan supremasi hukum?

21. Ruang lingkup


Ruang lingkup penulisan Naskah Karya Perorangan ini penulis batasi
pada upaya aktualisasi Kepemimpinan Kejaksaan RI yang mandiri demi
terciptanya aparatur yang profesional dengan dilandasi moral dalam rangka
terwujudnya penegakan supremasi hukum.

22. Tata Urut


a. Bab I Pendahuluan
Dalam bab ini diuraikan mengenai latar belakang mengapa Naskah Karya
Perorangan ini dipilih dan diuraikan tentang hal-hal yang menjadikan
pertimbangan yang kemudian dimunculkan permasalahan dan persoalan
yang akan menjadi pokok bahasan.
b. Bab II Landasan teori
Bab ini berisikan tentang Kejaksaan RI, Teori Kepemimpinan, Teori
SWOT (EFAS, IFAS dan SFAS), dan Teori Scenario Learning
c. Bab III Kondisi awal
Dalam bab ini diuraikan tentang keadaan yang terjadi pada saat ini.
d. Bab IV faktor-Faktor yang mepengaruhi
Bab ini memaparkan faktor-faktor yang menyebabkan kondisi itu terjadi
e. Bab V Kondisi yang diharapkan
Di dalam dipaparkan tentang idealnya fungsi dari penegakan hukum dan
kondisi kepemimpinan Kejaksaan RI
f. Bab VI upaya pemecahan
Bab ini membahas mengenai strategi yang digunakan.
g. Bab VII Penutup
Dalam bab ini penulis membuat kesimpulan dari pembahasan.

30
BAB II

LANDASAN TEORI

23. Kejaksaan RI

Sesuai dengan makna Undang-undang Nomor 16 tahun 2004 tentang


Kejaksaan Republik Indonesia yang pada intinya untuk lebih memantapkan
kedudukan dan peran Kejaksaan RI sebagai lembaga negara pemerintahan
yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan harus bebas dari
pengaruh kekuasaan pihak manapun, yakni yang dilaksanakan secara merdeka
terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan penegak hukum lainnya.

Kejaksaan sebagai salah satu lembaga penegak hukum dituntut untuk lebih
berperan dalam menegakan supremasi hukum, perlindungan kepentingan
umum, penegakan hak asasi manusia (HAM), serta pemberantasan korupsi,
kolusi dan nepotisme (KKN). Oleh karena itu perlu dilakukan penataan
kembali terhadap Kejaksaan untuk menyesuaikan dengan perubahan tersebut.

Dalam melaksanakan fungsi, tugas dan wewenangnya, Kejaksaan RI


sebagai lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di
bidang pemerintahan harus mampu mewujudkan kepastian hukum, ketertiban
hukum, keadilan dan kebenaran berdasarkan hukum dan mengindahkan
norma-norma keagamaan, kesopanan dan kesusilaan serta wajib menggali
nilai-nilai kemanusiaan, hukum dan keadilan yang hidup dimasyarakat.

24. Teori Kepemimpinan


Kepemimpinan adalah masalah relasi dan pengaruh antara pemimpin dan
yang dipimpin. Kepemimpinan muncul dan berkembang sebagai hasil dari
interaksi otomatis diantara pemimpin dan individu-individu yang dipimpin

31
(Ada Relasi Interpersonal). Kepemimpinan ini dapat berfungsi atas dasar
kekuasaan pemimpin untuk mengajak, mempengaruhi dan menggerakan orang
lain guna melakukan sesuatu, demi tercapai satu tujuan tertentu.
Salah satu teori yang mengemukakan mengenai gaya kepemimpinan
adalah Teori Path-Goal, Robert House (Dalam Miftah Thoha, 2001 : 42)
memasukan empat tipe atau gaya utama kepemimpinan, yakni:
e. Kepemimpinan Direktif.
Tipe ini sama dengan model kepemimpinan yang otokrasi dari Lippit dan
White. Bawahan tahu senyatanya apa yang diharapkan darinya dan
pengarahan yang khusus diberikan oleh pimpinan. Dalam model ini tidak
ada partisipasi dari bawahan.
f. Kepemimpinan yang mendukung (Supportive Leadership).
Kepemimpinan model ini mempunyai kesediaan untuk menjelaskan
sendiri, bersahabat, mudah didekati, dan mempunyai perhatian yang murni
terhadap para bawahannya
g. Kepemimpinan Parsisipatif.
Pemimpin berusaha meminta dan mempergunakan saran-saran dari
bawahannya, namun pengambilan keputusan masih tetap berada padanya.
h. Kepemimpinan yang berorientasi pada prestasi.
Menetapkan serangkaian tujuan yang menantang para bawahannya untuk
berpartisipasi. Demikian pula pemimpin memberikan keyakinan kepada
mereka bahwa mereka mampu melaksanakan tugas pekerjaan mencapai
tujuan secara baik.

25. Teori Scenario Learning

Scenario adalah berbagai proyeksi tentang masa depan yang potensial,


yang merupakan kombinasi tentang prakiraan apa yang mungkin terjadi
dengan asumsi-asumsi mengenai apa yang akan terjadi di masa depan.
Sedangkan learning bukan sekedar sarana untuk menghasilkan atau mengejar
pengetahuan, tetapi juga untuk menggunakannya. Dengan demikian, maka

32
scenario learning adalah mengembangkan scenario dan pengintegrasian ke
dalam proses pengambilan keputusan mengenai Plausibilitas (Harus Mungkin
Terjadi, Kredibel dan Relevan) masa depan serta meningkatkan pengambilan
keputusan.2

Secara teknis, langkah-langkah penyusunan Scenario Learning adalah


sebagai berikut:

h. Menetapkan Focal Concern (FC), suatu kerangka waktu (time frame) yang
jelas yang menjadi pilar pembicaraan.

i. Mengidentifikasikan Driving Force (DF), faktor yang mendorong


perubahan yang mengidentifikasikan hal sebanyak mungkin dan diyakini
akan mempengaruhi FC.

j. Analisis hubungan antara Driving Forces, dengan memetakan hubungan


seluruh DF dengan FC dan bagaimana seluruh DF itu mempengaruhi FC.

k. Memilih Critical Driving Force (CDF), suatu faktor DF yang paling kritis
dan paling berpengaruh terhadap FC.

l. Menyusun matrik scenario yang dikembangkan dari dua DF yang terpilih


untuk menentukan sumbu ordinat dan aksis dengan setiap kuadrannya
berisi inti scenario.

m. Menentukan ciri kunci setiap scenario, menentukan simbol atau fase untuk
masing-masing scenario dengan menentukan implikasi dan bertemunya
ciri-ciri yang relevan pada satu DF dengan DF lainnya.

n. Menyusun narasi scenario, berisi deskripsi elaboratif yang menekankan


proses peristiwa hingga pada akhirnya menjelaskan akibat yang akan
terjadi.

2
Nusyirwan Zen, Paradigma Organisasi Pembelajaran dan Scenario Learning, Bahan Ajaran
Sespati Polri Dikreg 18 T.P. 2010, Lembang

33
26. Teori SWOT

Konsep dasar analisa SWOT sebagaimana dikemukakan oleh Sun


Tzu, 1992 bahwa: “Apabila kita telah mengenal kekuatan dan kelemahan diri
sendiri, dan mengetahui kekuatan dan kelemahan lawan, sudah dapat
dipastikan kita akan dapat memenangkan pertempuran”. Dalam
perkembangannya saat ini analisis SWOT tidak hanya dipakai untuk
menyusun strategi di medan pertempuran, melainkan banyak dipakai dalam
penyusunan perencanaan strategis diberbagai bidang, yang bertujuan untuk
menyusun strategi-strategi jangka panjang, sehingga arah tujuan dapat dicapai
dengan jelas dan dapat diambil keputusan, berikut semua perubahannya dalam
menghadapi pesaing.

Untuk mendapatkan gambaran yang jelas mengenai pemakaian metode


SWOT ini secara jelas dapat dilihat prosesnya, mulai dari analisis eksternal,
internal sampai dengan penyusunan formulasi dan keputusan strategi yang
sesuai untuk mencapai tujuan.

Teori SWOT adalah suatu teori yang memberikan wawasan tentang


cara melakukan analisis melalui identifikasi terhadap berbagai faktor secara
sistematis untuk merumuskan strategi organisasi. Analisis ini berdasarkan
pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (Strengths) peluang
(Opportunities) suatu organisasi secara internal, namun secara bersamaan
dapat meminimalkan kelemahan (Weaknesses) dan ancaman (Threats) yang
dihadapi organisasi tersebut dari eksternal. Proses pengambilan keputusan
selalu berkaitan dengan pengembangan misi, tujuan, strategi dan kebijakan
organisasi termasuk Kejaksaan RI.

Dengan demikian perencana strategis (Strategic Planner) harus


menganalisa faktor-faktor strategis yang dihadapi organisasi (kekuatan,
kelemahan, peluang dan ancaman) dalam kondisi yang ada pada saat ini.
Dengan demikian analisis strategi merupakan alat untuk memperoleh

34
pemahaman yang jelas mengenai suatu permasalahan, sehingga dapat
memformulasikan tindakan yang nyata dan konkret.

Dari analisis SWOT dapat dilanjutkan dengan menganalisis Faktor


Eksternal dan Internal untuk menentukan strategi yang tepat dengan analisis
EFAS – IFAS dengan pentahapan analisis EPAS dan IPAS sebagai berikut:
Analisis faktor Eksternal, Analisis Faktor Internal, Menetapkan posisi
Organisasi, Menetapkan Grand Strategi, Analisis Strategi Kunci (SFAS),
Implementasi Strategi

35
BAB III

KONDISI AWAL

27. Kepemimpinan Kejaksaan saat ini


Kepemimpinan adalah masalah relasi dan pengaruh antara pemimpin
dan yang di pimpin. Kepemimpinan muncul dan berkembang sebagai hasil
dari interaksi otomatis diantara pemimpin dan individu-individu yang
dipimpin (ada relasi interpersonal). Kepemimpinan ini dapat berfungsi atas
dasar kekuasaan pemimpin untuk mengajak, mempengaruhi dan menggerakan
orang lain guna melakukan sesuatu, demi tercapai satu tujuan tertentu. Adapun
Kepemimpinan Kejaksaan RI saat ini dapat digambarkan sebagai berikut:
a. Sebagian Pimpinan Kejaksaan RI belum memperlihatkan ketulusan hati
dan kejujuran yang merupakan faktor menentukan kepercayaan dan
kewibawaan.
b. Kurangnya pengendalian emosi. Pengendalian emosi bagi seorang
pemimpin sangat penting sekali karena selain berhadapan dengan
anggota, maupun masyarakat yang memiliki karakter dan sifat yang
berbeda.
c. Kaderisasi Kepemimpinan di Kejaksaan RI tidak optimal.
d. Pimpinan Kejaksaan RI tidak optimal dalam fungsi pengawasan dalam
mutasi pegawai dari pimpinan.
e. Pimpinan Kejaksaan RI belum optimal memberikan kewenangan secara
penuh ke daerah (Mutasi pegawai lokal dan bidang penuntutan).
f. Kurang memberikan motivasi, antusiasme (semangat, kegairahan,
kegembiraan) kepada anak buahnya, sehingga kurang menimbulkan
semangat dan esprit de corps.
Dari uraian di atas, mencerminkan masih kurangnya pemahaman
tentang peran dan fungsi seorang pemimpin, sehingga dengan ketidakpahaman
tersebut banyak berakibat pada penyimpangan wewenang yang dilakukan oleh
Pimpinan Kejaksaan RI. Hal ini terjadi karena belum meratanya pengetahuan

36
dikalangan pemimpin yang disebabkan masih kurangnya pendidikan dan
pelatihan kepemimpinan. Penyimpangan yang terjadi dan ketidakpahaman
seorang pemimpin dalam mengemban fungsinya merupakan gambaran bahwa
belum semua pemimpin dapat mengaplikasikan berbagai pengetahuan dan
keahlian dan cenderung masih belum dapat dikatakan sebagai pemimpin yang
memiliki sikap visioner, profesional dan modern.

28. Kondisi penegakan hukum pada saat ini


Dari pelaksanaan RPJMN 2004-2009, pembangunan bidang hukum dan
aparatur telah mencapai berbagai kemajuan, yang dapat diukur melalui
penerapan prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik. Berkaitan
dengan sasaran periode tersebut, yang meliputi penataan kembali NKRI,
dalam membangun Indonesia yang aman dan damai, yang adil dan
demokratis, dengan tingkat kesejahteraan yang lebih baik, yang dapat
digambarkan dengan berbagai perkembangan dalam hal kehidupan
berkonstitusi, pembenahan peraturan perundang-undangan, perbaikan
pelayanan publik, reformasi birokrasi, akuntabilitas pemerintahan,
pemberantasan korupsi, kinerja lembaga penegak hukum dan penghormatan
terhadap HAM.
Walaupun demikian dalam suasana lingkungan dewasa ini, godaan untuk
tidak taat hukum dan perundang-undangan sangat besar. Profesionalisme
penegak hukum, pelayanan publik yang berbelit-belit, peraturan perundang-
undangan yang masih belum efektif, dan terkikisnya citra penegak hukum,
serta kesadaran hukum masyarakat yang masih rendah masih menjadi
permasalahan dalam Pembangunan Supremasi Hukum Nasional.
Cukup lama sebagian masyarakat merasakan dan mengalami kasus-kasus
ketidakadilan pada sistem peradilan. Penegakan hukum terkait erat dengan
profesionalisme lembaga dan orang-orang yang berada pada sistem peradilan
dan hukum di Indonesia. Tidak sedikit pihak yang memanfaatkan kelemahan-
kelemahan sistem yang saat ini berlaku.

37
Tingginya kebutuhan hidup dan rendahnya pendapatan aparat penegak
hukum ikut memicu terjadinya penyimpangan perilaku yang dilakukan oleh
oknum aparat penegak hukum untuk mendeponir perkara yang ditangani atau
menghentikan penyidikan, penuntutan dan pemutusan perkara bahkan
seringkali menjadikan perkara yang ditangani sebagai lahan mata pencaharian
sehingga mengakibatkan penanganan perkara tidak objektif lagi.
Pelayanan oleh aparatur birokrasi masih identik dengan pelayanan yang
kompleks, berbelit-belit, dan menghambat akses warga untuk mendapat
layanan publik yang diperlukannya secara wajar. Padahal, pelayanan publik
merupakan hak masyarakat untuk mendapatkannya dengan lebih baik.
Birokrasi pada hampir semua level juga belum mengalami perubahan
paradigma dari budaya minta dilayani menjadi budaya melayani.
Penyelenggaraan pelayanan publik terlalu berorientasi pada kegiatan dan
pertanggungjawaban formal dan kurang berorientasi pada hasil berupa
pelayanan yang prima kepada warga.
Upaya untuk melakukan efektivitas peraturan perundang-undangan sampai
dengan saat ini masih terkendala dengan masih adanya peraturan perundang-
undangan yang ada tumpang tindih, inkonsisten, tidak jelas, multitafsir dan
pertentangan antara peraturan perundang-undangan yang satu dengan yang
lain, baik yang sederajat maupun antara peraturan yang lebih tinggi dengan
peraturan di bawahnya, dan antara Peraturan Tingkat Pusat dan Daerah.
Pada sisi lain, berkaitan dengan masalah-masalah yang mendapat sorotan
masyarakat luas seperti kolusi, korupsi, mafia peradilan dan bentuk-bentuk
penyalahgunaan kekuasaan atau persekongkolan lainnya di bidang prosedur/
penegakkan hukum. Belum maksimalnya pekerjaan penegak hukum dari
kasus-kasus tersebut di atas, menjadikan masyarakat pesimis terhadap aparat
penegak hukum. Rasa pesimis ini dirasakan oleh masyarakat karena
masyarakat menganggap bahwa hukum itu sebagai sesuatu yang mahal dan
hukum masih berpihak pada individu tertentu, yaitu orang-orang kaya,
sementara rakyat kecil akan sangat sulit untuk menenangkan perkara karena
tidak mampu membayar Penasehat Hukum/Pengacara.

38
Faktor pelaksanaan penegakkan hukum seringkali dijadikan cermin oleh
masyarakat ketika masyarakat memberikan respon terhadap hukum.
Masyarakat tidak akan menghormati hukum atau bahkan melanggar hukum
karena melihat aparat penegak hukumnya juga melanggar hukum dan tidak
mendapat sanksi apapun atau hilangnya kepercayaan kepada aparat penegak
hukum karena penegakan hukum tidak berjalan dengan baik dengan adanya
KKN, mafia peradilan dan lain-lain, atau walaupun penegakan hukumnya
berjalan dengan baik tetapi sanksi yang dijatuhkan tidak memenuhi rasa
keadilan masyarakat.
Kondisi penegakan hukum yang yang dilaksanakan Kejaksaan adalah:
d. Masih adanya diskriminasi dari Kejaksaan yang dirasakan masyarakat.
e. Masih ada aparat dari Kejaksaan yang kurang simpatik dalam melayani
masyarakat.
f. Masih sering terjadi penyimpangan-penyimpangan dalam proses
penegakan hukum (berdasarkan KUHAP).

BAB IV

39
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI

29. Internal
a. Kekuatan
6) Sumber Daya Manusia
(a) Secara kuantitas SDM Kejaksaan bertambah.
(b) Tersebarnya SDM Kejaksaan dan disusun secara hirakhis.
(c) Pemerataan dan kaderisasi kepemimpinan melalui jenjang
pendidikan yang ada secara berkesinambungan.
7) Komitmen dari Kejaksaan Agung RI dan anggota yang kuat
mendukung paradigma baru dan mendukung reformasi birokrasi
Kejaksaan.
8) Profesionalisme tingkat pimpinan dan anggota berbasis
pengetahuan dan keterampilan telah memanfaatkan kemajuan
teknologi informasi yang berkembang pesat.
9) Kepemimpinan Kejaksaan RI yang menjunjung tinggi etika
kepemimpinan, khususnya hubungan antara pimpinan dan
bawahan berjalan secara harmonis.
10) Parameter keberhasilan sebagai wujud profesionalisme Kejaksaan
yang telah dicapai saat ini adalah penanganan kasus-kasus korupsi
dan mafia hukum.

b. Kelemahan
6) Sumber Daya Manusia
(a) Meskipun bertambah secara kuantitas, namun masih rendah
dalam kualitas.
(b) Kaderisasi kepemimpinan tidak optimal berjalan,
penempatan dalam jabatan tertentu tidak berdasarkan pada
kemampuan dan kompetensi yang dimiliki.

40
7) Komitmen yang telah dibangun tidak dilaksanakan terutama
implementasi paradigma baru, sehingga banyak yang tidak sesuai
sebagai aparat penegak hukum yang baik.
8) Sikap dan karakter yang dimiliki pimpinan belum mendukung
pelaksanaan tugas-tugas Kejaksaan, sebagai aparat penegak hukum.
9) Masih ada pemimpin yang mengabaikan etika kepemimpinan,
sehingga ada kesenjangan atasan dan anggota dan dominasi
kewenangan yang berlebihan.
10) Banyaknya permasalahan yang menimpa Kejaksaan saat ini telah
menimbulkan penurunan kredibilitas dan kepercayaan masyarakat.

30. Eksternal
a. Peluang
4) Undang-Undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan
Republik Indonesia.
5) Pemerintah sangat mendukung terciptanya Pimpinan Kejaksaan
RI yang profesional.
6) Dukungan DPR terhadap terciptanya kepemimpinan yang
profesional dalam tubuh Kejaksaan RI cukup besar.

b. Kendala
1) Masih tingginya sikap apriori masyarakat terhadap perubahan yang
terjadi di Lingkungan Kejaksaan terutama dalam restrukturisasi
yang terjadi di tubuh Kejaksaan RI.
2) Pengetahuan, pemahaman, kesadaran dan kepatuhan masyarakat
terhadap hukum masih rendah.
3) Anggaran yang tersedia untuk melatih dan mendidik kader
Kejaksaan RI masih kurang.

41
BAB V
KONDISI YANG DIHARAPKAN

31. Kepemimpinan Kejaksaan RI yang diharapkan.


Kejaksaan RI sesuai tugas, fungsi dan peran berdasarkan UU No. 16
tahun 2004 tentang Kejaksaan RI sebagai alat Negara penegak hukum di
bidang penuntutan serta tugas lain berdasarkan peraturan perundang-undangan
lainnya.
Kejaksaan sebagai lembaga penegak hukum melaksanakan tugasnya
secara merdeka dengan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia (HAM) dalam
negara hukum berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Adapun kepemimpinan
Jaksa yang diharapkan adalah:
5) Jaksa Agung selaku pimpinan dan penanggung jawab tertinggi Kejaksaan
RI yang memimpin, mengendalikan pelaksanaan tugas, dan wewenang
Kejaksaan dalam rangka menjaga kehormatan dan martabat profesi
sebagaimana diamanatkan UU Kejaksaan RI.
6) Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, diperlukan sosok Pimpinan
dan atau Jaksa sebagai abdi hukum yang profesional, memiliki integritas
kepribadian, disiplin, etos kerja yang tinggi dan penuh tanggung jawab,
senantiasa mengaktualisasikan diri dengan memahami perkembangan
global, tanggap dan mampu menyesuaikan diri dalam rangka memelihara
citra profesi dan kinerja jaksa serta tidak bermental korup.
7) Kepemimpinan Jaksa dan seluruh anggota Kejaksaan RI sebagai pejabat
publik senantiasa menunjukan pengabdiannya melayani publik dengan
mengutamakan kepensumpah jabatan, menjunjung tinggi doktrin Tri
Krama Adhyaksa, serta membina hubungan kerjasama dengan pejabat
publik lainnya.
8) Kepemimpinan Jaksa dan seluruh anggota Kejaksaan RI sebagai anggota
masyarakat selalu menunjukan keteladanan yang baik, bersikap dan
berperilaku sesuai dengan nilai-nilai yang hidup dan berkembang sesuai
dengan pearturan perundang-undangan

42
32. Kondisi Penegakan Hukum yang diharapkan

Sesuai dengan makna Undang-undang Nomor 16 tahun 2004 tentang


Kejaksaan Republik Indonesia yang pada intinya untuk lebih memantapkan
kedudukan dan peran Kejaksaan RI sebagai lembaga negara pemerintahan
yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan harus bebas dari
pengaruh kekuasaan pihak manapun, yakni yang dilaksanakan secara merdeka
terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan penegak hukum lainnya.

Kejaksaan sebagai salah satu lembaga penegak hukum dituntut untuk lebih
berperan dalam menegakan supremasi hukum, perlindungan kepentingan
umum, penegakan hak asasi manusia, serta pemberantasan korupsi, kolusi dan
nepotisme. Oleh karena itu perlu dilakukan penatan kembali terhadap
Kejaksaan untuk menyesuaikan dengan perubahan tersebut.

Dalam melaksanakan fungsi, tugas dan wewenangnya, Kejaksaan RI


sebagai lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di
bidang pemerintahan harus mampu mewujudkan kepastian hukum, ketertiban
hukum, keadilan dan kebenaran berdasarkan hukum dan mengindahkan
norma-norma keagamaan, kesopanan dan kesusilaan serta wajib menggali
nilai-nilai kemanusiaan, hukum dan keadilan yang hidup dimasyarakat.

43
BAB VI
UPAYA PEMECAHAN MASALAH

33. Implementasi Scenario Learning

a. Menetapkan Focal Concern

Penetapan Focal concern yang merupakan suatu kerangka waktu (time


frame) yang jelas yang menjadi pilar pembicaraan yaitu Aparatur yang
Profesional.

b. Mengidentifikasi Driving Force

Kekuatan pendorong yang mempengaruhi FC yang menjadi fokus bahasan


adalah Rekruitmen, Diklat, Kode Perilaku Jaksa (KPJ), Undang-Undang,
Pemerintah, Pengawasan, Anggaran, Kebijakan Pimpinan Kejaksaan RI
dan Standar Profesi

c.Analisa Hubungan antar DF :


HUBUNGAN ANTAR DRIVING FORCE

REKRUITME
N
DIKLAT

ANGGARAN

PENGAWASAN

KEPEMIMPINAN
KEBIJAKAN

PERUNDANG- STANDAR
UNDANGAN PROFESI
KPJ

44
d. Menentukan Critical Driving Force

Setelah di analisa hubungan antar DF, maka ditentukan DF yang


paling kritis dan paling berpengaruh terhadap FC, yaitu: PENGAWASAN
dan STANDAR PROFESI

e. Menyusun matriks scenario


STANDAR PROFESI
+

KUADRAN III KUADRAN I

PENGAWASAN
- PENGAWASAN
+
YA

KUADRAN IV KUADRAN II YANG TIDAK BAIK


-
STANDAR PROFESI

f. Indicator dari masing-masing kutub.


STANDAR PROFESI
Aparatur yang profesional belum bisa
diharapkan karena standar profesi +
baik tetapi standar pengawasan Aparatur yang profesional tercapai
belum baik maka penegakan hukum dengan standar profesi yang baik serta
yang mewujudkan keadilan dan ditunjang oleh pengawasan yang baik
kebenaran belum dapat diwujudkan maka terciptalah penegakan hukum
secara optimal yang mewujudkan keadilan dan
kebenaran

PENGAWASAN
-
Aparatur yang profesional jauh dari +
Aparatur yang profesional agak sulitPENGAWASAN
yang diharapkan karena pengawasan tercapai karena pengawasan baik
tidak accountable dan standar profesi tetapi standar profesi yang kurang baik
tidak terlaksana maka penegakan hukum maka akan sulit terciptanya penegakan
yang mewujudkan keadilan dan hukum yang mewujudkan keadilan dan
kebenaran tidak tercapai kebenaran

-
STANDAR PROFESI

g. Narasi scenario

Kuadran I: Bulan Purnama yang indah

45
Seperti suasana bulan purnama yang indah, bersinar di malam hari,
menerangi bumi dan angin berhembus sepoi-sepoi menambah keindahan
alam yang penuh kedamaian. Aparatur yang profesional tercapai dengan
Pengawasan yang baik serta ditunjang oleh standar profesi yang jelas
maka terciptalah penegakan hukum yang mewujudkan keadilan dan
kebenaran

Kuadran II: Bulan sabit di langit nan cerah


Indahnya malam hari tidak terasa karena hanya diterangi oleh
bulan sabit. Aparatur yang profesional agak sulit tercapai karena
pengawasan baik tetapi standar profesi yang kurang mumpuni maka akan
sulit terciptanya penegakan hukum yang mewujudkan keadilan dan
kebenaran

Kuadran III: Malam hari diselimuti awan

Indahnya angkasa di malam hari tertutupi oleh awan, untuk


dinikmati ada perasaan ngeri karena takut datangnya hujan. Aparatur yang
profesional belum bisa diharapkan karena standar profesi baik tetapi
pengawasan belum baik maka penegakan hukum yang mewujudkan
keadilan dan kebenaran belum dapat diwujudkan secara optimal.

Kuadran IV : Malam hari turun hujan disertai petir dan gempa


Keindahan malam sama sekali tidak ada sedikit pun keindahan,
karena hujan turun disertai petir dan gempa. Yang dirasakan hanya
ketakutan karena ancaman bencana akan datang. Aparatur yang
profesional jauh dari yang diharapkan karena standar profesi tidak
accountable dan pengawasan tidak terlaksana maka penegakan hukum
yang mewujudkan keadilan dan kebenaran tidak tercapai

46
34. Pendekatan analisa SWOT (IFAS, EFAS dan SFAS)

a. IFAS

Tabel 1
INTERNAL STRATEGIC FAKTORS ANALYIS SUMMARY (IFAS)

Bobot Peringkat Skor


No Faktor Internal
0,0-1,0 1-9

Kekuatan
Sumber Daya Manusia (Secara kuantitas SDM
Kejaksaan bertambah, Tersebarnya SDM Kejaksaan
1 dan disusun secara hirakhis dan Pemerataan dan 0,10 6 0,60
kaderisasi kepemimpinan melalui jenjang pendidikan
yang ada secara berkesinambungan)

Komitmen dari Kejaksaan Agung RI dan anggota yang


2 kuat mendukung paradigma baru dan mendukung 0,25 8 2,00
reformasi birokrasi Kejaksaan.

Profesionalisme tingkat pimpinan dan anggota


berbasis pengetahuan dan keterampilan telah
3 0,15 7 1,05
memafaatkan kemajuan teknologi informasi yang
berkembang pesat.

Kelemahan
Sumber Daya Manusia (Meskipun bertambah secara
kuantitas, namun masih rendah dalam kualitas,
1 Kaderisasi kepemimpinan tidak optimal berjalan, 0,12 8 0,96
penempatan dalam jabatan tertentu tidak berdasarkan
pada kemampuan dan kompetensi yang dimiliki)

Komitmen yang telah dibangun tidak dilaksanakan


terutama implementasi paradigma baru, sehingga
2 0.30 6 1,80
banyak yang tidak sesuai sebagai aparat penegak
hukum yang baik.

Sikap dan karakter yang dimiliki pimpinan belum


3 mendukung pelaksanaan tugas-tugas Kejaksaan, 0,08 7 0,56
sebagai aparat penegak hukum.

TOTAL 1,00 6,97

47
b. EFAS

Tabel 2
EKSTERNAL STRATEGIC FAKTORS ANALYIS SUMMARY (EFAS)

Bobot Peringkat Skor


No Faktor Eksternal
0,0-1,0 9-1

Peluang
1 UU No. 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan RI 0,22 7 1,54

Dukungan DPR terhadap terciptanya kepemimpinan


2 yang profesional dalam tubuh Kejaksaan RI cukup 0,17 5 0,85
besar.

Pemerintah sangat mendukung terciptanya pimpinan


3 0,11 6 0,66
Kejaksaan RI yang profesional

Kendala 0,50

Masih tingginya sikap apriori masyarakat terhadap


perubahan yang terjadi di Lingkungan Kejaksaan
1 0,12 7 0,84
terutama dalam restrukturisasi yang terjadi di tubuh
Kejaksaan RI.

Pengetahuan, pemahaman, kesadaran dan kepatuhan


2 0,23 4 0,92
masyarakat terhadap hukum masih rendah.

Anggaran yang tersedia untuk melatih dan mendidik


3 0,15 6 0,90
kader Kejaksaan RI masih kurang.

TOTAL 1,00 5,71

c. Posisi Kejaksaan RI

Untuk melihat posisi organisasi Kejaksaan RI dalam pemeliharaan


kamtibmas saat ini, hasil analisis IFAS dan EFAS di atas dimasukan ke
dalam strategic sebagaimana tampak di bawah ini:

48
9 6,97 6 3 0

1. Growth 2. Growth
3. Retrechment
Konsentrasi Konsentrasi
melalui integrasi melalui integrasi Penghematan
vertikal horizontal

6
5,71 5a. Growth

Konsentrasi integrasi
horizontal 6. Captive
4. Growth
5b. Stability
Keterikatan
Carefully
Tidak melakukan
perubahan
3

7. Growth 8. Growth 9. Retrechment

Diversifikasi Diversifikasi Likuidasi


Konsentrik Konglomerasi

Berdasarkan matriks di atas dapat dilihat pula bahwa total skor


IFAS (6,97) dan EFAS (5,71), posisi organisasi berada pada KUADRAN
4 yaitu Growth - Carefully. Dalam matriks di atas posisi strategic
Kejaksaan RI berada pada Kondisi Growth (Pertumbuhan) - carefully
ini berarti bahwa Kejaksaan RI merupakan organisasi yang memiliki
kekuatan, namun dihadapkan kepada kendala yang semakin besar.

Hal ini berarti aparatur Kejaksaan yang lebih profesional dapat


ditingkatkan melalui pembenahan secara internal dan menyelesaikan
kendala-kendala agar segera diatasi, apabila tidak diatasi segera maka
Kejaksaan tidak akan optimal dalam penegakan hukum karena
Kepemimpinan yang profesional tidak tercapai.

Berdasarkan matriks tersebut di atas, organisasi yang berada pada


sel ini, kunci kegiatan utama yang dapat dilakukan antara lain:

1. Meningkatkan kualitas personil organisasi, yaitu anggota Kejaksaan


RI.

49
2. Memperbaiki kendala-kendala yang ada di dalam internal Kejaksaan
RI.

Hasil analisis IFAS dan EFAS di atas menunjukan pula bahwa


faktor eksternal lebih kecil dari faktor internal. Ini berarti bahwa
membangun grand strategi memecahkan masalah aparatur yang
profesional, yakni Kejaksaan harus menggunakan kekuatan yang ada serta
mengintensifkan kekuatan kekutan secara internal.

d. Analisis Strategi Faktor Strategik (SFAS)

Berdasarkan analisis yang telah dilakukan pada bagian lalu dapat


ditetapkan faktor-faktor kunci yang akan menentukan strategi jangka
pendek, jangka menengah dan jangka panjang sebagaimana tampak pada
tabel berikut:

Tabel 3
STRATEGIC FAKTORS ANALYSIS SUMMARY (SFAS)

Bobot Peringkat Jangka Waktu


No Faktor Strategic kunci Skor
0,0-1,0 JPd JM JPj
Komitmen dari Kejaksaan Agung RI
dan anggota yang kuat mendukung
1
paradigma baru dan mendukung
0,25 8 2,00 x x x
reformasi birokrasi Kejaksaan.

Komitmen yang telah dibangun


tidak dilaksanakan terutama
implementasi paradigma baru,
2
sehingga banyak yang tidak sesuai
0.30 6 1,80 x x x
sebagai aparat penegak hukum
yang baik.

UU No. 16 tahun 2004 tentang


3
Kejaksaan RI
0,22 7 1,54 x x

Pengetahuan, pemahaman,
kesadaran dan kepatuhan
4
masyarakat terhadap hukum masih
0,23 4 0,92 x
rendah

50
TOTAL 1,00 6,26

Keterangan :

- Skor tertinggi = 2.00

- Skor terendah = 0,92

- Dikurangi jadi selisih 1,08 : 3 jangka waktu = 0,36

- Jangka Pendek 0,92 + 0,36 = 1,28

(0,92 - 1,28 masuk ke jangka pendek)

- Jangka Menengah 1,28 + 0,36 = 1,64

(1,28 – 1,64 masuk ke jangka menengah)

- Jangka Panjang 1,64 + 0,36 = 2,00

(1,64 – 2,00 masuk ke jangka panjang)

Berdasarkan perhitungan tabel di atas ditemukan bahwa strategi


yang harus dilakukan Kejaksaan RI adalah sebagai berikut:

d) Strategi Jangka Pendek (1 tahun)

5) Penegasan komitmen dari Kejaksaan Agung RI dan anggota yang


kuat mendukung paradigma baru dan mendukung reformasi
birokrasi Kejaksaan.

6) Komitmen yang telah dibangun harus dilaksanakan terutama


implementasi paradigma baru, sehingga Kejaksaan RI memiliki
aparat penegak hukum yang profesional.

7) UU No. 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan RI sebagai pegangan


pokok yang fundamental dalam pelaksanaan tugas pokok
Kejaksaan.

8) Menambah Pengetahuan, pemahaman, kesadaran dan kepatuhan


masyarakat terhadap hukum dengan cara melakukan penyuluhan
hukum dan penerangan hukum.

51
e) Strategi Jangka Menengah (2 tahun)

4) Melanjutkan program sebelumnya tentang penegasan komitmen


dari Kejaksaan Agung RI dan anggota yang kuat mendukung
paradigma baru dan mendukung reformasi birokrasi Kejaksaan.

5) Melanjutkan program sebelumnya yaitu komitmen yang telah


dibangun dilaksanakan dengan baik, terutama implementasi
paradigma baru, sebagai aparat penegak hukum yang profesional.

6) UU No. 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan RI sebagai pegangan


pokok yang fundamental dalam pelaksanaan tugas pokok
Kejaksaan.

f) Strategi Jangka Panjang (3-4 tahun)

3) Memantapkan program sebelumnya yaitu penegasan komitmen dari


Kejaksaan Agung RI dan anggota yang kuat mendukung paradigma
baru dan mendukung reformasi birokrasi Kejaksaan.

4) Memantapkan program sebelumnya yaitu komitmen yang telah


dibangun dilaksanakan dengan baik, terutama implementasi
paradigma baru, sebagai aparat penegak hukum yang baik.

e. Implementasi

5. Penegasan yang kuat tentang komitmen dari Kejaksaan Agung RI dan


anggota yang kuat mendukung paradigma baru dan mendukung
reformasi birokrasi Kejaksaan.

6. Melaksanakan komitmen yang telah dibangun terutama implementasi


paradigma baru, sehingga terciptalah aparat penegak hukum yang baik.

52
7. UU No. 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan RI, dirasakan sudah cukup
pada saat ini sebagai payung hukum sebagai pegangan pokok yang
fundamental dalam pelaksanaan tugas pokok Kejaksaan.

8. Menambah Pengetahuan, pemahaman, kesadaran dan kepatuhan


masyarakat terhadap hukum dengan cara melakukan penyuluhan hukum
dan penerangan hukum.

53
BAB VII
PENUTUP

35. Kesimpulan
Dari uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa:
a. Penegakan hukum belum dapat dilakukan secara optimal karena masalah
kepemimpinan di Kejaksaan RI mencerminkan masih kurangnya
pemahaman tentang peran dan fungsi seorang pemimpin, sehingga dengan
ketidakpahaman tersebut banyak berakibat pada penyimpangan wewenang
yang dilakukan oleh pimpinan Kejaksaan RI.
b. Hal di atas terjadi karena dikalangan pemimpin masih kurang optimal
dalam melaksanakan tugas dan wewenang sesuai Tri Krama Adhyaksa.
c. Belum semua pemimpin dapat mengaplikasikan berbagai pengetahuan
dan keahlian dan cenderung masih belum dapat dikatakan sebagai
pemimpin yang memiliki sikap visioner, profesional dan modern.
36. Rekomendasi
Dalam mewujudkan terciptanya aparatur yang profesional dengan
dilandasi moral dalam rangka terwujudnya penegakan supremasi hukum di
masa depan diharapkan untuk:
f. Perlunya menyempurnakan dan memadukan ketentuan tentang
Rekruitmen Calon Pegawai Negeri Sipil dan Calon Jaksa dalam suatu
Peraturan Jaksa Agung.
g. Perlunya peningkatan profesionalitas dan integritas kepribadian melalui
Pendidikan dan Pelatihan.
h. Perlunya penyempurnaan dan memadukan ketentuan tentang Pembinaan
Karier Pegawai Kejaksaan RI
i. Perlunya memiliki integritas kepribadian serta disiplin yang tinggi guna
melaksanakan tugas penegakan hukum dalam mewujudkan keadilan dan
kebenaran.
j. Penyelenggaraan pengawasan perlu ditingkatkan baik kualitas maupun
intensitasnya.

54
55

Anda mungkin juga menyukai