Anda di halaman 1dari 8

Perbandingan Thresholding Metode Otsu dengan

Thresholding dengan Perataan Histogram untuk


Menghasilkan Citra Biner Berinformasi Tinggi

David T. Panjaitan1
1
Informatika, Institut Teknologi Bandung, Bandung, Indonesia
E-mail: davidtpanjaitan@gmail.com

Abstraksi. Metode otsu merupakan algoritma yang memungkinkan untuk mencari batas
thresholding optimal secara otomatis dan unsupervised untuk mendapatkan citra biner yang
menyimpan informasi maksimal. Hal ini dilakukan dengan mencari titik pemisah yang
memaksimalkan variansi antara kelas piksel hitam dengan kelas piksel putih. Algoritma ini
digunakan secara luas karena dapat memberikan hasil yang baik tanpa harus melakukan
percobaan manual. Sebagai perbandingan, penulis ingin membandingkan pertambahan kekuatan
komputasi yang digunakan untuk metode otsu dan perbedaan citra biner yang dihasilkan
dibandingkan dengan metode yang lebih sederhana seperti perataan histogram yang diikuti
dengan thresholding pada titik pemisah yang statik.
Kata kunci: Metode Otsu, Thresholding, Perataan Histogram

1. Pendahuluan
Citra biner merupakan jenis citra yang hanya terdiri dari dua warna, yaitu warna putih dan warna hitam.
Dengan kata lain, citra biner merupakan citra yang hanya memiliki dua derajat keabuan. Citra jenis ini
sering digunakan dalam operasi-operasi citra karena sifatnya yang sederhana, hemat memori, dan
kemampuannya mewakili operasi Boolean dengan dua warna yang dimilikinya mewakili setiap nilai
Boolean, yaitu warna putih untuk true dan warna hitam untuk false. Operasi Boolean yang menggunakan
citra biner dapat digunakan untuk penghapusan latar belakang, segmentasi objek, dan deteksi objek.
Citra biner dapar juga digunakan untuk memfokuskan analisis citra pada bentuk-bentuk objek tanpa
perlu memperhatikan intensitas derajat keabuan dari objek. Citra biner yang digunakan seperti ini
contohnya adalah citra biner yang digunakan untuk menggambarkan hasil pendeteksian tepi. Dengan
banyaknya kegunaan dari citra biner, dibutuhkan suatu metode untuk mengubah sebuah citra ke bentuk
citra biner. Metode itu adalah thresholding.
Thresholding merupakan metode untuk mengubah citra yang memiliki derajat keabuan lebih
tinggi dari dua menjadi citra biner yang memiliki derajat keabuan dua menggunakan sebuah ambang
batas. Seluruh piksel citra yang memiliki nilai keabuan di bawah ambang batas akan dijadikan bernilai
nol, yaitu menjadi berwarna hitam. Sementara itu, seluruh piksel yang memiliki nilai keabuan lebih
besar sama dengan ambang batas akan dijadikan bernilai maksimal, yaitu berwarna putih. Penentuan
ambang batas ini dapat dilakukan secara static, misalnya dengan menentukan ambang batas tepat di
tepat setengah dari nilai keabuan maksimal. Namun, hal ini dapat mengalami masalah untuk citra-citra
yang secara keseluruhan terlalu gelap atau terlalu terang. Pada citra yang terlalu gelap atau terlalu terang,
thresholding dengan batas ambang statik mungkin saja gagal mengambil objek yang diinginkan,
sehingga ada informasi penting yang hilang dalam citra biner yang dihasilkan.
Untuk mengatasi masalah dari thresholding dengan batas ambang statik, dapat digunakan sebuah
algoritma yang menentukan batas ambang secara dinamik dengan disesuaikan terhadap citra yang ingin
diproses. Salah satu algoritma yang dapat melakukan hal tersebut adalah algoritma yang dinamakan
metode Otsu, sesuai dengan nama penemunya, Nobuyuki Otsu. Metode ini dipakai secara luas karena
dapat secara otomatis menemukan ambang batas optimal untuk melakukan thresholding. Metode ini
berusaha memaksimalkan variansi antara kedua warna dari citra biner yang dihasilkan. Karena itu,
dalam proses pencarian ambang batasnya, metode ini melakukan perhitungan secara lebih intensif
dibandingkan algoritma thresholding biasa.
Di sisi lain, permasalahan dasar yang mengakibatkan diperlukannya metode tersebut (citra yang
terlalu gelap atau terlalu terang) dapat ditangani, atau setidaknya dikurangi efeknya, dengan metode-
metode perbaikan citra. Metode perbaikan citra yang mungkin berguna adalah peregangan kontras,
pencerahan citra, transformasi log atau inverse log, dan perataan histogram. Di antara metode tersebut,
yang dapat dilakukan kepada citra secara umum tanpa penyesuaian parameter adalah perataan
histogram. Dengan kata lain, secara teori thresholding dengan ambang batas statik juga dapat dibuat
menangani citra yang terlalu gelap atau terlalu terang secara otomatis jika citra diproses terlebih dahulu
dengan perataan histogram.
Dalam makalah ini akan dibahas mengenai perbandingan antara kedua pendekatan yang mungkin
untuk menangani thresholding pada citra yang terlalu gelap atau terlalu terang ini. Pertama, akan
dibandingkan selisih kekuatan komputasi yang dibutuhkan antara kedua metode. Kemudian, akan
dibandingkan citra biner hasil thresholding dari kedua metode secara kualitatif dan kuantitatif. Sebagai
variabel kendali, akan digunakan juga thresholding biasa dengan ambang batas statik pada citra yang
tidak dilakukan pemrosesan apa-apa.

2. Teori Dasar

Untuk membahas perbandingan thresholding dengan metode otsu dan thresholding dengan perataan
histogram, dibutuhkan pengetahuan dasar mengenai derajat keabuan, citra biner, perataan histogram,
thresholding, dan metode otsu.

2.1. Derajat keabuan


Setiap citra memiliki derajat keabuan yang mewakili skala intensitas warna pada suatu piksel. Derajat
keabuan suatu citra menunjukkan jumlah warna yang dapat ditampilkan oleh citra tersebut. Dalam citra
dengan satu kanal, jumlah warna yang dapat ditampilkan citra sejumlah dengan derajat keabuan kanal
tersebut. Namun, pada citra dengan lebih dari satu kanal, jumlah warna yang dapat ditampilkan citra
tersebut adalah hasil perkalian derajat keabuan seluruh kanal.

Gambar 1 Ilustrasi perbedaan derajat keabuan


2.2. Citra Biner

Citra biner merupakan citra yang memiliki dua derajat keabuan. Sebagai akibatnya, pada citra biner
hanya terdapat dua warna, yaitu hitam dan putih. Citra jenis ini sering digunakan dalam operasi
pengolahan citra karena sifatnya yang hemat memori dan kemampuannya mewakili operasi aritmatika
biner pada citra dua dimensi.

Gambar 2 Contoh citra biner

2.3. Perataan Histogram

Histogram dari suatu citra adalah grafik batang yang memberikan visualisasi dari distribusi frekuensi
kemunculan setiap intensitas warna dari nol sampai derajat keabuan maksimal dalam citra. Distribusi
frekuensi kemunculan warna pada histogram memberikan pemahaman dasar tentang beberapa kualitas
citra seperti tingkat kecerahan dan kontras. Histogram yang memuat puncak dengan lebar sempit
menunjukkan citra dengan kontras yang kurang, sementara jika piksel banyak terdapat di intensitas
rendah saja atau intensitas tinggi saja, berarti citra terlalu gelap atau terlalu terang.

Perataan histogram adalah suatu teknik pengolahan citra yang berusaha menyebarkan frekuensi
kemunculan warna untuk memperbaiki kontras dan kecerahan dari gambar.

Gambar 3 Contoh citra hasil perataan histogram dan histogramnya

2.4. Thresholding

Thresholding merupakan teknik pemrosesan citra yang dapat mengubah citra ke derajat keabuan yang
lebih rendah menggunakan satu atau lebih ambang batas. Ambang batas membagi intensitas piksel
pada citra menjadi kelas-kelas terpisah, kemudian semua piksel dengan kelas yang sama akan diubah
menjadi warna yang sama. Jika hanya ada satu ambang batas, maka intensitas piksel pada citra hanya
akan terbagi menjadi dua kelas dan citra yang dihasilkan dari thresholding tersebut adalah citra biner.
Contoh dari citra hasil pemrosesan thresholding dapat dilihat pada gambar 4.

Gambar 4 Contoh citra hasil thresholding

2.5. Metode Otsu

Metode otsu merupakan metode untuk menentukan titik ambang batas optimal untuk melakukan
thresholding. Hal ini dilakukan dengan meminimalkan variansi intrakelas, atau sama saja dengan
memaksimalkan variansi antarkelas dari kelas-kelas yang dipisahkan dengan threshold. Untuk
melakukannya, algoritma ini menghitung variansi antarkelas untuk setiap nilai threshold yang mungkin.
Ilustrasi dari proses ini dapat dilihat pada gambar 5.

Algoritma dari metode Otsu adalah sebagai berikut:

1. Hitung histogram dari setiap level intensitas


2. Inisialisasi class probability 𝜔 dan 𝑚𝑒𝑎𝑛 𝜇
3. Untuk setiap threshold t yang mungkin,
a. Update 𝜔 dan 𝜇
b. Hitung variansi antarkelas 𝜎 (𝑡)
4. Threshold yang dipilih adalah yang memberikan nilai 𝜎 (𝑡) terbesar.

Gambar 5 Proses perhitungan variansi antarkelas dan penentuan ambang batas

Citra biner yang dihasilkan dari metode ini memiliki hasil yang bagus jika diasumsikan histogram
memiliki distribusi bimodal dengan lembah yang cukup dalam di antara kedua puncak. Jika citra
masukan memiliki perbandingan luas objek dengan latar belakang yang tidak seimbang sehingga
distribusi bimodal terganggu, atau jika variansi intrakelas cukup tinggi sehingga tidak terdapat lembah
yang dalam, metode otsu mungkin memberikan nilai ambang batas yang salah.
3. Implementasi

Implementasi dilakukan dalam bahasa C++ dan perhitungan waktu eksekusi dilakukan menggunakan
library chronos. Bahasa C++ dipilih karena merupakan bahasa yang low level sehingga dapat diharapkan
perhitungan waktunya cukup akurat karena tidak ada delay dari interpretasi perintah dalam bahasanya.

4. Hasil

Beberapa contoh hasil dari kedua metode thresholding akan dibandingkan dalam tabel 1 berikut:
Tabel 1 Perbandingan hasil thresholding
N Citra Asli Thresholding statik Thresholding Thresholding Otsu
o equalized
1

493 x 364 piksel 14082 mikrosekon 17975 mikrosekon 17470 mikrosekon


2

512 x 512 piksel 17024 mikrosekon 26778 mikrosekon 23286 mikrosekon


3

600 x 600 piksel 21492 mikrosekon 36689 mikrosekon 31121 mikrosekon


4

512 x 512 piksel 12276 mikrosekon (seluruhnya putih) 17119 mikrosekon


17859 mikrosekon
5

600 x 338 piksel 11937 mikrosekon 14030 mikrosekon 13838 mikrosekon


Dari citra uji coba di atas, perhitungan untuk perbandingan waktu eksekusi kedua algoritma sebagai
persentase terhadap waktu thresholding statik yang digunakan sebagai variabel kendali dituliskan dalam
tabel 2 berikut:
Tabel 2 Perbandingan persentase waktu eksekusi terhadap thresholding dasar
No Jumlah Piksel Equalized Thresholding Otsu Thresholding
1 179452 127.64% 124.05%
2 262144 157.29% 136.78%
3 360000 170.71% 144.82%
4 262144 145.47% 144.34%
5 202800 117.53% 115.92%

Jika data tersebut diplot ke dalam grafik perubahan persentase terhadap perubahan jumlah piksel
dalam gambar, kemudian dilakukan regresi linear pada data, maka grafik yang terbentuk digambarkan
dalam gambar 6 berikut:

Gambar 6 Grafik perbandingan waktu eksekusi antara kedua metode thresholding

5. Analisis

Di luar dugaan awal, hasil eksperimen menunjukkan bahwa thresholding yang menggunakan metode
otsu cenderung berjalan dengan lebih cepat daripada thresholding yang menggunakan perataan
histogram. Hal ini menarik karena secara perhitungan matematika yang dilakukan, metode otsu
menggunakan perhitungan yang lebih kompleks, yaitu mencakup perhitungan mean, perhitungan
probabilitas, perpangkatan, dan pencarian nilai maksimal, yang seluruhnya dilakukan menggunakan tipe
data double precision floating point. Sementara itu, algoritma perataan histogram hanya menggunakan
operasi penjumlahan dan pembagian integer.
Satu hal yang dapat menjelaskan fenomena ini adalah fakta bahwa pada thresholding dengan
perataan histogram, algoritma perlu membentuk histogram baru dan mengubah piksel pada gambar
menjadi sesuai dengan histogram yang baru tersebut sebelum thresholding dilakukan. Sebagai
akibatnya, meskipun kompleksitas perhitungan dalam perataan histogram lebih rendah, algoritma
perataan histogram mengakses memori lebih banyak daripada algoritma metode otsu, sehingga waktu
eksekusi algoritma tergelembungkan oleh waktu akses memori.
Penjelasan ini didukung dengan fakta bahwa selisih waktu eksekusi antara kedua metode semakin
besar seiring dengan bertambahnya jumlah piksel pada citra, seperti yang digambarkan dalam grafik
pada gambar 6. Seiring bertambahnya jumlah piksel, akses ke memori juga akan semakin banyak
sehingga metode yang lebih banyak mengakses memori akan terpengaruh lebih besar.
Gambar 7 Perbandingan citra hasil eksperimen 2, dari thresholding perataan histogram (kiri) dan
thresholding metode otsu (kanan)

Untuk perbandingan secara kualitatif, dapat dilihat dari citra hasil eksperimen nomor 2 pada
gambar 7 bahwa thresholding menggunakan perataan histogram memberikan hasil yang lebih
menyimpan detail citra, sementara hasil thresholding dengan metode otsu agak terlalu terang. Di sisi
lain, dapat juga dikatakan bahwa citra hasil metode otsu lebih bersih dari derau dibandingkan citra hasil
thresholding dengan perataan histogram. Sehingga di antara kedua metode terdapat pertukaran antara
detail gambar dan derau, di mana semakin banyak detail yang dipertahankan, semakin banyak derau
yang tersisa pada hasil thresholding.

Gambar 8 citra hasil eksperimen 4, dari thresholding biasa (kiri), thresholding perataan histogram
(tengah) dan thresholding metode otsu (kanan)

Dari citra eksperimen nomor 4 terlihat kelemahan dari metode thresholding dengan perataan
histogram, yaitu menghasilkan citra yang sepenuhnya berwarna putih. Dengan implementasi perataan
histogram yang digunakan dalam eksperimen, nilai intensitas piksel terendah hasil perataan adalah
setara dengan jumlah kemunculan piksel dengan nilai intensitas terendah sebelum perataan. Sehingga,
misalnya thresholding statik yang mengikuti perataan histogram menggunakan ambang batas setengah
dari derajat keabuan maksimal, jika piksel tergelap pada citra sebelum perataan meliputi lebih dari 50%
piksel dalam citra, piksel dengan nilai tersebut akan diberikan nilai baru yang lebih tinggi dari setengah
derajat keabuan. Sebagai akibatnya, keseluruhan citra setelah thresholding akan menjadi berwarna putih.
Sebenarnya kelemahan ini spesifik pada implementasi perataan histogram yang digunakan dalam
eksperimen, dan tidak dapat mewakili seluruh jenis perataan histogram. Namun, menentukan algoritma
perataan histogram yang tepat untuk menangani kelemahan ini berada di luar lingkupan makalah ini.
Makalah ini hanya bertujuan membandingkan hasil dan kinerja kedua metode, dan terlihat dalam kasus
ini bahwa hasil dari metode thresholding dengan perataan histogram tidak terjamin.

Secara keseluruhan, thresholding dengan metode otsu memberikan hasil yang lebih bersih dan
lebih terjamin dalam waktu yang lebih cepat daripada metode thresholding dengan perataan histogram.
Namun, metode perataan histogram juga dapat memberikan hasil yang cukup baik dan dalam beberapa
kasus, bahkan mungkin menyimpan lebih banyak detail daripada metode otsu.
6. Kesimpulan

Dalam kasus perbandingan metode thresholding, jumlah akses ke memori lebih berpengaruh kepada
waktu eksekusi daripada kompleksitas operasi matematika yang digunakan, sehingga metode otsu
memiliki waktu eksekusi yang lebih cepat. Sementara itu, dari segi kualitas, kedua metode memberikan
hasil yang hampir sama, dengan metode otsu memberikan hasil yang lebih bersih dari derau.

7. Ucapan Terima Kasih

Pertama, penulis ingin memberikan ucapan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena hanya berkat
rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah berjudul “Perbandingan Thresholding Metode Otsu
dengan Thresholding dengan Perataan Histogram untuk Citra Biner Berinformasi Tinggi” ini. Penulis
juga ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak, yang secara langsung maupun tidak
langsung, telah mendukung penulisan makalah ini. Tidak lupa, penulis juga berterima kasih kepada Pak
Dr. Ir. Rinaldi Munir, MT. sebagai dosen pengajar mata kuliah pengolahan citra yang telah membimbing
penulis selama satu semester ini.

8. Referensi

[1] Nobuyuki Otsu (1979). "A threshold selection method from gray-level histograms". IEEE Trans.
Sys. Man. Cyber. 9 (1): 62–66.
[2] P. E. Trahanias and A. N. Venetsanopoulos, "Color image enhancement through 3-D histogram
equalization," in Proc. 15th IAPR Int. Conf. Pattern Recognition, vol. 1, pp. 545–548, Aug.-Sep.
1992.
[3] Rinaldi Munir, Slide Presentasi Bahan Kuliah Mata Kuliah Pengolahan Citra IF4073, Teknik
Informatika, Institut Teknologi Bandung, 2019.

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa makalah yang saya tulis ini adalah tulisan saya sendiri, bukan
saduran atau terjemahan dari makalah orang lain, dan bukan hasil plagiasi.

Bandung, 11 Desember 2019

David Timothy Panjaitan


NIM 13516075

Anda mungkin juga menyukai