Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Pada dekade akhir-akhir ini, dunia kontemporer berkembang
dengan berbagai kerumitan hidup yang menimpa kehidupan umat Islam,
baik dalam persoalan sosial-politik, budaya, ekonomi maupun hukum.
Kerumitan itu telah mempengaruhi eksistensi kehidupan umat Islam yang
paling esensial yang disebut dengan keyakinan agama sebagai ajaran yang
sakral dan abadi, sehingga dirasa sulit menerima segala perubahan
walaupun kenyataan hidup umat Islam selalu berubah seiring dengan
perkembangan zaman.
Lebih rumit lagi karena ajaran Islam ada dasarnya merupakan
ajaran yang bermuatan hukum (religion of law) yang diturunkan oleh
Allah SWT. Melalui proses pewahyuan yang disampaikan kepada Nabi
Muhammad saw untuk dilaksanakan tana terkecuali dan tanda direduksi
sedikitpun. Karakter dasar ajaran Islam ini menandakan serba normatif dan
orientasinya juga serba legal formalistik. Dalam artian bahwa hukum-
hukum Islam harus dilaksanakan secara keseluruhan dalam kehidupan
bermasyarakat dan berbangsa pada semua level tanpa adanya perbaikan
atau penafsiran ulang.
Untuk problematika ertentangan antara dinamisme dan
konservatisme, relativisme dan absolutisme tersebut, paradigma berpikir
hukum fiqih multikultural yang bersifat banyak wajah (multifaces), bukan
lagi berwajah tunggal. Fiqih harusnya tidak lagi hanya dipahami sebagai
persoalan ketuhanan, kepercayaan, keimanan dan ultimate cercern, tetapi
juga perlu dilihat sebagai persoalan-persoalan historis kultural yang
dirumuskan oleh para ulama untuk menjawab kepentingan historis aktual
umatnya. Sehingga perlunya penafsiran ulang terhadap ajaran agama
Islam.

1
Dalam konteks ini, K.H Abdurrahman Wahid menekankan
perlunya paradigma berpikir yang memadai dalam memahami nas-nas
hukum (fiqih) Islam yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Bahkan
ia menyatakan bahwa semangat dan hakikat fiqih harus dijadikan prinsip
utama dalam perumusan hukum fiqih daripada ungkapan yang tersurat dari
nas-nas Al-Qur’an dan Sunnah. Dapat ditegaskan bahwa rumusan ilmu
ushul fiqih yang perlu dikembangkan harus mampu menjawab
perkembangan zaman dan waktu yang terus berkembang. Dengan kata
lain, pengembangan paradigma baru dalam merumuskan hukum fiqih
harus mampu mensinergikan antara penalaran literal dan penalarann
rasional-empiris.
B. METOLOLOGI PENULISAN
1. Pendekatan Hermeneutik
Hans G. Gadamer meyatakan bahwa pemahaman adalah proses
produksi makna yang berarti bahw penafsir dengan wacana teks dan
konteks. Dalam hal ini, proses penafsiran terhadap suatu teks berjalan
dengan proses “pembauran cakrawala (fusion of horizon)” yang berarti
bahwa penafsir dan teks selalu saling terkait dan mempengaruhi dalam
wacana keilmuan yang kemudian mengarah ke proses transformasi makna.
Bagi Gadamer, hermeneutika dianggap sebagai pengalaman bukan
pengetahuan, dialektika bukan metode.
Teori-teori pokok hermeneutika Gadamer dapat dijabarkan dalam
beberapa bentuk teori yang memiliki keterkaitan antara satu teori dengan
teori lainnya: Pertama, teori Kesadaran Keterpengaruhan oleh Sejarah,
Kedua, teori Pra-Pemahaman, Ketiga, teori Pembauran Horison, Keempat,
Teori Penerapan.
Dengan menggunakan teori hermeneutika Gadamer ini diharapkan
akan mampu membuka tabir kekayaan pemikiran ushul fiqih multikultural
KH. Abdurrahman Wahid yang hingga kini belum banyak dilakukan oleh
kalangan Intelektual Muslim. Padahal, gagasannya memiliki muatan ushul
fiqih yang sangat kaya dan membumi, sehingga perlu diungkap akar

2
pemikiran, paradigma pemikirannya hingga produk pemikirannya dimana
ia selalu membaca realitas factual sebagai pertimbangan dalam
menentukan dan menerapkan kebijakan hukum Islam/fiqih.
2. Dasar Konsep Multikulturalitas
Adapun istilah multikultural adalah gabungan dari kata multy
(banyak) dan culture (budaya). Secara terminologis, multikultural adalah
sebuah paradigma tentang keseteraan semua ekspresi budaya. Kesetaraan
peran atau nilai sebagai paham multikultural ini telah meletakkan
komunitas lain sebagai satu kesatuan integral yang setara walaupun
terdapat perbedaan dalam tradisi, keyakinan keagamaan, ataupun
kebudayaan.
Dalam konteks Pluralitas budaya/multikultural, Syamsul Hidayat
menerangkan sebagai berikut: Pertama, Kebudayaan sebagai proses
aktualisasi hasil karya cipta manusia harus ditumbuhkan dan
dikembangkan dari ajaran esensial agama Islam. Kedua, ajaran esensial
agama Islam dapat memberikan motivasi kepada manusia untuk menjalani
hidup yang berbudaya. Ketiga, apresiasi ajaran esensial agama Islam
terhadap kreatifitas manusia menjadi salah satu prinsip penerapan ijtihad
hukum/fiqih.
3. Teknik Analisis Data
Untuk menganalisis data yang terkumpul digunakan metode
deduktif, induktif dan historis kritis. Pertama, metode deduktif digunakan
ketika menjelaskan prinsip-prinsip hukum Islam/ Fiqih KH. Abdurrahman
Wahid dalam ushul fiqih multikultural. Kedua, metode induktif digunakan
ketika mengkai berbagai paradigma pemikiran hukum Islam yang terdapat
dlam berbagai karya ulama ushul fiqih kemudian dikerucutkan pada
pemikiran ushul fiqih KH. Abdurrahman Wahid. Ketiga, metode historis
kritis digunakan untuk mengkaji eksistensi nilai kemanusiaan KH
Abdurrahman Wahid dalam realitas budaya masyarakat dan bangsa yang
majemuk.

3
BAB II
BIOGRAFI INTELEKTUAL DAN AKAR-AKAR PEMIKIRAN USHUL
FIQIH MULTIKULTURAL KH ABDURRAHMAN WAHID

A. Biografi Intelektual K.H Abdurrahman Wahid


Perjalanan hidup Abdurrahman Wahid dimulai dengan bimbingan
kedua orang tuanya. Gus Dur Jakarta bersama ayahnya disekolahkan di
Sekolah Dasar Matraman Perwari, yang terletak dekat dengan kediaman
KH. Wahid Hasyim. Pada tahap ini pendidikan Gus Dur bersifat sekuler.
Pada tahun 1954, Gus Dur mulai menempu SLTA, yakni Sekolah
Menengah Ekonomi Pertama (SMEP) dan tinggal di rumah Kiai Junaid,
seorang Kiai Muhammadiyah dan Anggota Majlis Tarjih Muhammadiyah.
Disamping itu ia juga belajar di pesantren Krapyak Yogakarta tiga sekali
seminggu. Lalu Gus Dur mulai melanjutkan belajar di pesantren Tegalrejo
hingga tahun 1959.
B. Prinsip-Prinsip Ushul Fiqih Multikultural KH Abdurrahman Wahid
Secara garis besar kata pluralitas atau kemajemukan kalau
digabungkan dengan kata lain dapat digolongkan pada dua pemikiran:
Pertama, pluralitas sosiologi yang mempunyai pengertian bahwa semua
kehidupan sosial diatur menurut sudut pandang kelompok secara
individual praktis. Kedua, pluralitas filosofis adalah model pluralitas ang
melihat setiap individu memiliki sudut pandangan yang berbeda berkaitan
dengan agama dan makna kehidupannya.
Dalam kenyataan ini KH. Abdurrahman Wahid mengatakan bahwa
ajaran fiqih (hukum Islam) sebagai karya ahli hukum Islam yang memiliki
akar historis dan budaya tertentu sulit untuk mengatakan tidak mungkin
menjadi hukum negara. Karena itu, fiqih harus menjadi etika sosial
kemasyarakatan dan baru bisa menjadi peraturan perundangan negara
ketika ia sudah melalui proses legislasi yang disepakati tanpa ada unsur
diskriminasi dan marginalisasi terhadap pihak-pihak tertentu.

4
C. Fiqih dan Pluralitas Agama di Indonesia
Pemikiran fiqih di Indonesia perlu memperhatikan karya-karya
tafsir hukum terlebih dahulu terhadap sumber Al-Qur’an dan Sunnah agar
tidak muncul pemikiran fiqih ang sempit dan keras. Pembaruan fiqihitu
bukan dengan cara permunian fiqih berlebihan sebagaimana dilakukan
para pembaru Islam, tetapi dengan cara melakukan telaah mendalam dan
sekaligus membersihkan ekses-ekses yang keliru dalam pengalaman ajaran
fiqih.
Pembaruan ajaran fiqih perlu dilakukan bukan untuk mengubah
norma-norma fiqih dengan mengakomodir pluralitas budaya bangsa ini.
Tetapi, perbaruan ini bertujuan mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan
lokal di dalam merumuskan hukum-hukum fiqih. Norma fiqih harus
mampu mengakomodir kebutuhan-kebutuhan dari budaya dengan
mempergunakan peluang yang disediakan oleh variasi pemahaman nash
dengan tetap memberikan peranan kepada ushul fiqih dan qawaid fiqih
yang ada.
D. Manusia, Masyarakat, dan Fiqih/Hukum Agama
Dinamika hidup manusia berada dalam sistem yang saling
tergantung. Oleh sebab itu, pembangunan tatanan kehidupan masyarakat di
Indonesia juga memerlukan atas kemajemukan dan keharmonisan. Hal ini
penting, karena adanya sejumlah pertimbangan. Pertama, secara fitrah,
Allah swt telah menciptakan manusia dalam keragaman budaya, sehingga
pembangunan wawasan yang majemuk perlu dilakukan dalam sistem
kebudayaan ini. Pembangunan manusia di Indonesia yang berwawasan
kebudayaan dan manusiawi harus dilakukan, karena sistem negara ini
berada diatas kemajemukan budaya dan keagamaan. Kedua, dalam banyak
kasus konflik sosial yang bernuansa SARA (suku, agama dan ras) di
Indonesia pada dasarwasa terakhir disinalir berhubungan dengan masalah
rendahnya penghargaan nilai-nilai kemanusiaan dan dangkalnya
pemahaman keagamaan. Ketiga, dangkalnya pemahaman keagamaan dan

5
lemahnya penghargaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan menjadi salah
satu faktor kunci dalam memicu konflik bernuanas SARA.
E. Tradisi Pesantren dan Syariah (Fiqih)
Agama Islam telah menyebar di Jawa melalui proses yang tidak
mudah, penuh tantangan dan secara bertahap. Tahapan tersebut dapat
dibagi dua golongan: golongan pertama adalah pengislaman orang Jawa
menjadi orang Islam sekedarnya, yang selesai pada abad ke 16. Pada
periode ini agama Islam disebarkan kepada orang jawa secara sederhana
tanpa ada penekanan yang terlalu mendalam sehingga tujuan utama dari
proses penyebaran ini hanyalah sekedar pengenalan ajaran-ajaran agama
Islam. Golongan kedua adalah proses penyebaran agama Islam secara
lebih mendalam dan utuh sehingga target penyebaran agama Islam adalah
untuk menjadikan orang-orang Islam yang taat dan sekaligus mengganti
adat istiadat lama yang bertentangan dengan ajaran agama Islam, yang
hampir menyeluruh walaupun tidak totalitas.
F. Kalangan Pembaru Fiqih/ Islam di Indonesia
Soekarno juga memandang bahwa ajaran (fiqih) Islam adalah ide
progresif (idea of progress). Ia menyimpulkan bahwa Islam yang tampak
mundur dan tertatih-tatih untuk bangkit bukanlah ajaran Islam yang sejati.
Fenomena kemunduruan peradaban Islam muncul karena adanya
keenggahan sarjana-sarjana Muslim untuk menggunakan perspektif
pengetahuan modern (modern science) dalam pembaruan Islam. Ia
mengusulkan untuk mengajarkan ilmu pengetahuan Barat, disamping
tradisi keilmuan (fiqih) Islam di pesantren-pesantren.

6
BAB III
SUMBER DAN METODE USHUL FIQIH MULTIKULTURAL KH
ABDURRAHMAN WAHID

A. Konsepsi Syari’ah, Fiqih dan Ushul Fiqih


1. Syari’ah
Kata syari’ah pada awalnya bermakna “jalan ke sumber mata air”.
Secara etimologis, kata syaraa berarti “menggambarkan jalan yang terang
menuju ke sumber air”. Secara terminologis, kata syariah adalah segala
ketentuan hukum yang ditetapkan Allah yang diperuntukkan bagi hamba-
Nya untuk diikuti dan dijalankan. Dalam arti ini juga meliputi aturan
hukum dalam Al-Qur’an, Hadis, Tafsir, pendapat-pendapat, ijtihad, fatwa
ulama dan keputusan-keputusan hakim. KH. Abdurrahman Wahid juga
memberikan definisi syariah sebagai jalan hidup kaum muslimin berupa
hukum dan aturan Islam yang mengatur sendi-sendi kehidupannya.
2. Fiqih
Secara etimologis, kata fiqih berarti “paham yang mendalam”.
Secara terminologis, adalah sejumlah definisi dikalangan fuqaha’
diantaranya. Pertama, Amir Syarifuddin menyebutkan bahwa fiqih adalah
ilmu tentang hukum-hukum syara’ yang bersifat amaliah ang digali dan
ditemukan dari dalil-dalil yang rinci. Kedua, Al-Jurjaini mengatakan
bahwa fiqih adalah ilmu tentang hukum-hukum yang digali dari sumberna
melalui proses penalaran atau ijtihad.
3. Ushul Fiqih
Ilmu ushul fiqih adalah ilmu yang mengupas tentang sumber-
sumber pokok dan metode-metode pengambilan kesimpulan atau istimbat
hukum Islam. Para Fuqaha’ melakuakn hal itu untuk menemukan
pemecahan-pemecahan di bidang hukum dari sumber-sumber dan dalil-
dalil Al-Qur’an dan Sunnah. Ilmu Ushul Fiqih yang artinya penegtahuan
tentang kaidah-kaidah dan pembahasan-pembahasannya yang dijadikan

7
pedoman di dalam menetapkan hukum syariah yang bersifat amaliah yang
digali dan dalil-dalil yang rinci.
B. Akar-akar Historis dan Paradigma Ijtihad Fiqih K.H Abdurrahman
Wahid
1. Akar-akar Historis Teologis Ijtihad Fiqih KH Abdurrahman Wahid
a. Akar Teologis Ijtihad Fiqih KH Abdurrahman Wahid
Yunahar Ilyas memberikan definisi kalam dengan arti berbicara
atau pembicaraan, sedangkan penamaan ilmu kalam berarti banyak
pembicaraan atau dialog serta perdebatan yang terjadi dalam pemikiran
masalah-masalah akidah. Dalam wacana keislaman, ilmu kalam memiliki
beberapa pengertian, diantaranya: ada yang menyebutkan bahwa ilmu
kalam merupakan teologi rasional yang lahir untuk membela kepentingan
dan eksistensi aliran pemikiran tertentu. Al-Farabi berpendapat bahwa
ilmu kalam adalah ilmu teologi yang bertugas membela kelompok Islam
tertentu dari kelompok Islam lainnya atau kelompok non-Islam yang
cenderung bersifat apologis.
b. Akar Historis Ijtihad Fiqih KH. Abdurrahman Wahid
Sejarah perkembangan hukum Islam/Fiqih terbagi kedalam tiga
periode, pembentukan/pertumbuhan,kejayaan dan kemunduran.
Periode pertumbuhan dan pembentukan hukum Islam dimulai sendiri
oleh Nabi dengan menanamkan dasar-dasar keimanan, kehidupan,
sosial, dan kenegaraan. Yang dimaksud dengan masa kenabian adalah
masa hidup Nabi Muhammad saw dan sahabatnya yang bermula dari
turunnya wahyu dan berakhir dengan wafatnya Nabi pada Tahun 11 H.
Masa ini merupakan masa pertumbuhan dan pembentukan hukum
agama, suatu masa turunnya syariah Islam dalam pengertian yang
sebenarnya. Periode kedua adalah periode madinah yang mana ayat-
ayatnya memiliki perhatian terhadap hukum-hukum Islam dari semua
persoalan kehidupan manusia, baik ibadat seperti shalat, zakat, puasa
dan haji atau muamalah seperti aturan jual beli, masalah keluarga,
kriminalitas maupun masalah kenegaraan.

8
2. Signifikansi Paradigma Ijtihad Multikultural KH. Abdurrahman
Wahid
Kepentingan yang mendesak di zaman modern bukanlah
membebaskan manusia dari ajaran fiqih spekulatif, melainkan membangun
ajaran fiqih yang membumi, sehingga ia mampu bertanggung jawab
terhadap berbagai penindasan, keterbelakangan, kemiskinan, kelaparan
dan kelemahan. Oleh sebab itu, fiqih harus mampu memecahkan masalah-
masalah sosial-ekonomi yang menjadi kepentingan Umat Islam.
Permasalahan yang mendasar yang dihadapi oleh KH.
Abdurrahman Wahid adalah paradigma ijtihad yang bercorak doktinal-
dogmatik dan juga pemikiran empiris-positivistik. Paradigma ijtihad ini
telah mempengaruhi corak keberagaman bangsa Indonesia, khususnya
dalam kajian fiqih, dan pola hubungan antaragama di Indonesia, sehingga
pola keberagamaannya bersifat konfliktual, baik secara psikis maupun
fisik.

9
BAB 1V
PRINSIP-PRINSIP DAN IMPLEMENTASI USHUL FIQIH KH
ABDURRAHMAN WAHID

A. Prinsip-Prinsip Fiqih Multikultural


1. Prinsip Keadilan
Secara umum, ada empat pandangan tentang keadilan, yaitu
Pertama, pandangan positivis yang menyebutkan bahwa keadilan itu dapat
diukur dan dinilai dari sudut pandang legaformal sebagaimana tertuang
dalam peraturan perundang-undangan. Kedua, Von Savigny
mengemukakan bahwa hukum merupakan hasil dari perwujudan dari
kehidupan dan jiwa rakyat masyarakat dan bukan berasal dari yang
berdaulat, keadilan itu lahir dari adanya kesadaran masyarakat untuk
melaksanakan atau menerima hukum yang hidup di dalam masyarakat.
Prinsip hukum yang berwawasan keadilan tersebut harus menjadi
dasar dalam pengambilan kebijakan pemerintah dan tindakan warga tanpa
memandang jenis kelamin, ras, agama, warna kulit, dan golongan,
sehingga haruslah dilihat dan dipertimbangkan segala kebijakan tindakan
ang diambil pemerintah dan tindakan warga, sehingga kebijakan
pemerintah dan tindakan warga memperhatikan rasa keadilan. Kh.
Abdurrahman Wahid menyatakan bahwa syari’ telah menyempurnakan
prinsip-prinsip yang tetap seperti pengharaman bangkai dan daging babi,
sedangkan fiqih atau hukum-hukum agama sebagai hasil karya ulama atau
pakar terus berkembang dan dikembangkan sesuai dengan kebutuhannya.
2. Prinsip Kemanusiaan
Prinsip kemanusiaan digunakan untuk membangun sikap inklusif
dan pengakuan perbedaan, yaitu prinsip yang bisa memberikan
kesempatan yang setara dengan manusia tanpa diskriminasi atas dasar
jenis kelamin, suku maupun agama.
Prinsip agama ini dapat terwujud dengan beberapa penopang
utama:Pertama, kebebasan Nurani. Fiqih ini memberikan kebebasan pada

10
manusia untuk melakukan segala sesuatu dengan syarat tidak melanggar
hak-hak kemanusiaan. Kedua, kebebasan manusia dijamin, yang berarti
bahwa segala tindakan berdasarkan kemauannya sendiri. Ketiga, fiqih
memperhatikan keselamatan akal dan jiwa manusia. Keempat, fiqih perlu
memberdaakan manusia, baik dalam tataran intelektual maupun tataran
perilaku.
3. Prinsip Negara Hukum
Secara historis, konsepsi negara hukum terus berkembang sejalan
dengan arus perkembangan sejarah. Sistem negara ini berkembang mulai
dari sistem negara hukum liberal ke sistem negara hukum formal
kemudian, menjadi sistem negara hukum materiil hingga lahirnya ide
sistem negara kemakmuran yang bertujuan membangun dan menjamin
kemakmuran warganya.
Dalam upaya menegakkan konstitusi, Kh Abdurrahman Wahid
ketika menjadi presiden RI kemudian mencabut TAP No
XXV/MPRS/1966 karena banyak sekali bentuk-bentuk pelanggaran
hukum dan asasi manusia yang jelas bertentangan dengan falsafah
pancasila dan UUD 1945.
4. Prinsip Universalitas
Prinsip Universalitas hukum Islam nampak dalam berbagai
manifestasinya dalam mengakomodir segala kepentingan umat atau warga
selama sesuai dengan kepentingan kemaslahatan hidup. Rangkaian ajaran
agama Islam meliputi berbagai bidang seperti bidang hukum fiqih, prinsip-
prinsip persamaan di antara sesama manusia.
Ajara Islam telah menyerap berbagai budaya dan peradaban selama
sekian abad yang kemudian mampu mendorong kemajuan peradaban
Islam. Dengan menyerap beragam kebudayaan dan tersebut, ajaran hukum
Islam dapat mendorong kemajuan dan kegemilangan peradaban dunia
Islam pada masa keemasan Dinasti Umayyah dan Dinasti Abbasiyah.

11

Anda mungkin juga menyukai