Anda di halaman 1dari 2

Negara yang menerapkan hukuman mati :

1. China
2. Iran
3. Pakistan
4. Arab saudi
5. Amerika serikat

. Sebagaimana yang kita ketahui, landasan yuridis diterapkannya pidana mati adalah KUHP
Pasal 10 yang isinya menyebutkan bahwa Pidana Pokok antara lain adalah pidana mati,
pidana penjara, kurungan dan denda, sementara itu Pidana Tambahan antara lain adalah
pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu dan pengumuman
putusan hakim. Selain KUHP, ternyata ada 10 Peraturan Perundang-Undangan lain yang juga
mencantumkan pidana mati sebagai ganjaran bagi yang melanggarnya, diantaranya adalah
Undang-Undang Darurat Nomor 12 tahun 1951, Penpres Nomor 5 Tahun 1959, Perpu Nomor
21 Tahun 1959, UU Nomor 11/PNPS/1963, UU Nomor 4 Tahun 1976, UU Nomor 5 dan
Nomor 22 Tahun 1997, UU No. 31 Tahun 1999, UU No. 26 Tahun 2000 dan UU No. 15 Tahun
2003. KUHP yang menjadi landasan yuridis penerapan pidana mati sebenarnya adalah
warisan penjajah Belanda yang diberlakukan sejak 1 Januari 1918 yang pada saat itu disebut
WvS atau Wetboek van Strafrecht. Ironisnya, ketika Belanda memberlakukan KUHP, di
Belanda sendiri sejak tahun 1870 hukuman mati sudah dihapuskan untuk kejahatan biasa
atau ordinary crime. Belanda akhirnya menghapuskan seluruh penerapan hukuman mati
termasuk untuk pelanggaran kejahatan luar biasa atau extraordinary crime pada tahun 1982.
Patut dicurigai, Belanda menerapkan hukuman mati di negara jajahannya tentulah untuk
memberangus penduduk pribumi yang melakukan kejahatan dan melawan kekuasaan
mereka. Meskipun demikian, Indonesia terus menerapkan pidana mati, eksekusi pidana mati
sebelumnya dilakukan oleh Pemerintah Indonesia adalah berturut-turut pada bulan Mei dan
November 2013, yang mengeksekusi sebanyak 4 orang termasuk salah seorang warga
Negara Pakistan. Dari tahun 1979 sampai saat ini, September 2014, setidak-tidaknya
sebanyak 64 orang telah dieksekusi mati dan sebanyak 133 orang telah divonis dengan
hukuman mati dengan kata lain menunggu saatnya dieksekusi mati. Eksekusi mati ini
sebenarnya kontraproduktif dengan upaya-upaya diplomasi yang sudah dilakukan oleh
Pemerintah Indonesia yang mengupayakan perlindungan hak atas hidup bagi buruh migran
warga negara Indonesia yang menjalani tuntutan maupun proses hukuman mati di luar
negeri seperti Saudi Arabia dan Malaysia. Padahal dalam forum internasional pemerintah
Indonesia kerap menyampaikan bahwa Indonesia turut mendukung tren global untuk
melakukan moratorium hukuman mati di forum-forum internasional. Pidana Mati dan Hak
Asasi Manusia Pidana mati sebenarnya bertentangan dengan Hak Asasi Manusia jika kita
merujuk pada Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Undang-
Undang tersebut dengan tegas menyebutkan bahwa Hak Asasi Manusia adalah seperangkat
hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha
Esa dan merupakan anugrah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh
negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat
dan martabat manusia. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 bahkan dengan tegas
menyebutkan pada pasal 33 ayat 2 bahwa setiap orang berhak untuk bebas dari
penghilangan paksa dan penghilangan nyawa. Nyawa adalah sesuatu yang melekat pada
manusia sejak lahir, nyawa tidak diberikan oleh manusia atau negara, sehingga negara dan
manusianya tidak berhak mencabut nyawa orang lain. Pidana mati yang diancam kepada
pelaku pembunuhan berencana, pengedar narkotika, pelaku tindakan terorisme tidak
menjadikan pelaku kejahatan tersebut jera, buktinya peredaran narkotika semakin massif
dan melibatkan aparat penegak hukum. Baru-baru ini dua orang aparat kepolisian Indonesia
ditangkap di Malaysia dengan dugaan membawa narkotika. Dilain hal, pelaku terorisme yang
dieksekusi mati acapkali menjadi amunisi ideologi bagi kaum fundamentalis untuk
melanjutkan perjuangan orang yang dieksekusi tersebut. Bahkan angka pembunuhan
berencana tidak semakin menurun meskipun ancaman hukuman mati diterapkan. Sebagai
negara yang sudah 69 tahun merdeka dari jajahan Belanda, sudah sepatutnya kita
memperbaharui KUHP yang diwariskan oleh Belanda tersebut. Sebenarnya, Rancangan
Perubahan KUHP sudah disusun sejak tahun 1999-2006 oleh Depkumham, bahkan sudah
direvisi selama 30 tahun terakhir, namun sampai saat ini. Perubahan KUHP tersebut belum
berhasil ditetapkan oleh Pemerintah kita. Bagaimanapun, Rancangan perubahan KUHP
tersebut masih tetap mencantumkan Pidana Mati sebagai pidana pokoknya, meskipun
dengan pengaturan yang lebih ketat, namun substansinya masih menerapkan pidana mati.
Kesimpulan Pemerintahan Jokowi melaksanakan Pidana Mati karena masih berlakunya
landasan yuridis KUHP yang mencantumkan pidana mati sebagai salah satu pidana
pokoknya. Kita berharap banyak kepada Jokowi untuk menggunakan masa
kepemimpinannya sebagai Presiden untuk mengubah KUHP dengan menetapkan RUU KUHP
yang berisikan penolakan diterapkannya pidana mati. Sebagai negara yang menjunjung
tinggi nilai-nilai Ketuhanan dan nilai-nilai Hak Asasi Manusia, maka sudah selayaknya
Indonesia turut serta mendukung tren global menghapuskan hukuman mati. Dari 193 negara
anggota PBB saat ini, tercatat 141 negara sudah menghapus total ketentuan hukuman mati,
dan 52 negara masih menerapkannya termasuk Indonesia. Kemiskinan, ketidakpastian
hukum, ketidakadilan dan prilaku aparat negara yang masih berwatak korup adalah akar dari
terorisme, peredaran narkotika dan pembunuhan berencana yang selama ini diancam
dengan pidana mati. Jokowi diharapkan mampu memberi solusi atas kemiskinan rakyat,
memberikan contoh bagi penegakan hukum, memberikan kesempatan yang sama dalam
mengakses pendidikan dan kesehatan kepada seluruh rakyat dan melakukan revolusi mental
bagi aparat negara yang selama ini membekingi peredaran narkoba. Dengan demikian, maka
kita tidak perlu lagi menggunakan ancaman pidana mati, bagaimanapun, pelaku kejahatan
tersebut harus diberikan kesempatan untuk mengubah sikapnya dan memberikan
kesempatan untuk mengetahui bahwa apa yang dilakukannya adalah sebuah kesalahan yang
harus diperbaiki, bukan di alam baka dengan cara kematian, tetapi di bumi dimana dia
hidup. * Penulis adalah Koordinator FORSDEM (Forum Organisasi Non Pemerintah Sumatera
Utara Untuk Demokrasi) pernah dimuat di Harian Analisa 25 Februari 2015

Anda mungkin juga menyukai