Anda di halaman 1dari 16

1

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia menjadi negara yang paling rawan terhadap bencana di dunia
berdasar data yang dikeluarkan oleh Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk
Strategi Internasional Pengurangan Risiko Bencana (UN-ISDR). Tingginya posisi
Indonesia ini dihitung dari jumlah manusia yang terancam risiko kehilangan
nyawa bila bencana alam terjadi. Indonesia menduduki peringkat tertinggi untuk
ancaman bahaya tsunami, tanah longsor, gunung berapi. Dan menduduki
peringkat tiga untuk ancaman gempa serta enam untuk banjir.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) selama Januari 2013
mencatat ada 119 kejadian bencana yang terjadi di Indonesia. BNPB juga
mencatat akibatnya ada sekitar 126 orang meninggal akibat kejadian tersebut.
kejadian bencana belum semua dilaporkan ke BNPB. Dari 119 kejadian bencana
menyebabkan 126 orang meninggal, 113.747 orang menderita dan mengungsi,
940 rumah rusak berat, 2.717 rumah rusak sedang, 10.945 rumah rusak ringan.
Untuk mengatasi bencana tersebut, BNPB telah melakukan penanggulangan
bencana baik kesiapsiagaan maupun penanganan tanggap darurat. Untuk siaga
darurat dan tanggap darurat banjir dan longsor sejak akhir Desember 2012 hingga
sekarang, BNPB telah mendistribusikan dana siap pakai sekitar Rp 180 milyar ke
berbagai daerah di Indonesia yang terkena bencana.
Namun, penerapan manajemen bencana di Indonesia masih terkendala
berbagai masalah, antara lain kurangnya data dan informasi kebencanaan, baik di
tingkat masyarakat umum maupun di tingkat pengambil kebijakan. Keterbatasan
data dan informasi spasial kebencanaan merupakan salah satu permasalahan yang
menyebabkan manajemen bencana di Indonesia berjalan kurang optimal.
Pengambilan keputusan ketika terjadi bencana sulit dilakukankarena data yang
beredar memiliki banyak versi dan sulit divalidasi kebenarannya.
Dari uraian diatas, terlihat bahwa masih terdapat kelemahan dalam sistem
manajemen bencana di Indonesia sehingga perlu diperbaiki dan ditingkatkan
untuk menghindari atau meminimalisasi dampak bencana yang terjadi.

1
2

1.2 Rumusan Masalah


Dari latar belakang diatas dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:
1.2.1. Apa Definisi Manajemen Bencana?
1.2.2. Bagaimana Dampak Bencana terhadap Kesehatan?
1.2.3. Bagaimana Sistem Penanggulangan Bencana Terpadu?
1.2.4. Bagaimana Sistem Pelayanan Kesehatan?
1.2.5. Bagaimana Aspek Legal dan Etik dalam Keperawatan Bencana?
1.2.6. Bagaimana Perencanaan Penanggulangan Bencana?
1.2.7. Bagaimana Pengembangan dan Perencanaan Kebijakan?

1.3 Tujuan Penulisan


Dari rumusan masalah diatas yang menjadi tujuan penulisan adalah:
1.3.1. Untuk Mengetahui Definisi Manajemen Bencana.
1.3.2. Untuk Mengetahui Dampak Bencana terhadap Kesehatan.
1.3.3. Untuk Mengetahui Sistem Penanggulangan Bencana Terpadu.
1.3.4. Untuk Mengetahui Sistem Pelayanan Kesehatan.
1.3.5. Untuk Mengetahui Aspek Legal dan Etik dalam Keperawatan
` Bencana.
1.3.6. Untuk Mengetahui Perencanaan Penanggulangan Bencana.
1.3.7. Untuk Mengetahui Pengembangan dan Perencanaan Kebijakan.

1.4 Manfaat Penulisan


Dari tujuan penulisan diatas yang menjadi manfaat penulisan adalah:
1.4.1. Untuk Memahami Definisi Manajemen Bencana.
1.4.2. Untuk Memahami Dampak Bencana terhadap Kesehatan.
1.4.3. Untuk Memahami Sistem Penanggulangan Bencana Terpadu.
1.4.4. Untuk Memahami Sistem Pelayanan Kesehatan.
1.4.5. Untuk Memahami Aspek Legal dan Etik dalam Keperawatan
Bencana.
1.4.6. Untuk Memahami Perencanaan Penanggulangan Bencana.
1.4.7. Untuk Memahami Pengembangan dan Perencanaan Kebijakan.
3

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Manajemen Bencana


Penanggulangan bencana atau yang sering didengar dengan manajemen
bencana (disaster  management) adalah serangkaian upaya yang meliputi
penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya bencana, kegiatan
pencegahan bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi.
Konsep manajemen bencana saat ini telah mengalami pergeseran paradigma
dari pendekatan konvensional menuju pendekatan holistik (menyeluruh). Pada
pendekatan konvensial bencana itu suatu peristiwa atau kejadian yang tidak
terelakkan dan korban harus segera mendapatkan pertolongan, sehingga
manajemen bencana lebih fokus pada hal yang bersifat bantuan (relief) dan
tanggap darurat (emergency response). Selanjutnya paradigma manajemen
bencana berkembang ke arah pendekatan pengelolaan risiko yang lebih fokus
pada upaya-upaya pencegahan dan mitigasi, baik yang bersifat struktural maupun
non-struktural di daerah-daerah yang rawan terhadap bencana, dan upaya
membangun kesiap-siagaan.
Sebagai salah satu tindak lanjut dalam menghadapi perubahan paradigma
manajemen bencana tersebut, pada bulan Januari tahun 2005 di Kobe-Jepang,
diselengkarakan Konferensi Pengurangan Bencana Dunia ( World Conferenceon
Disaster reduction) yang menghasilkan beberapa subtansi dasar dalam
mengurangi kerugian akibat bencana, baik kerugian jiwa, sosial, ekonomi dan
lingkungan. Substansi dasar tersebut yang selanjutnya merupakan lima prioritas
kegiatan untuk tahun 2005-2015 yaitu: 
1. Meletakkan pengurangan risiko bencana sebagai prioritas nasional maupun
daerah yang pelaksanaannya harus didukung oleh kelembagaan yang kuat.
2. Mengidentifikasi,  mengkaji  dan  memantau  risiko  bencana
serta menerapkan sistem peringatan dini 
3. Memanfaatkan pengetahuan, inovasi dan pendidikan membangun kesadaran
kesadaran keselamatan diri dan ketahanan terhadap bencana pada semua
tingkat masyarakat.

3
4

4. Mengurangi faktor-faktor penyebab risiko bencana.

2.2 Dampak Bencana terhadap Kesehatan


Salah satu dampak bencana terhadap menurunnya kualitas hidup penduduk
dapat dilihat dari berbagai permasalahan kesehatan masyarakat yang terjadi.
Bencana yang diikuti dengan pengungsian berpotensi menimbulkan masalah
kesehatan yang sebenarnya diawali oleh masalah bidang/sektor lain. Bencana
gempa bumi, banjir, longsor dan letusan gunung berapi, dalam jangka pendek
dapat berdampak pada korban meninggal, korban cedera berat yang memerlukan
perawatan intensif, peningkatan risiko penyakit menular, kerusakan fasilitas
kesehatan dan sistem penyediaan air (Pan American Health Organization, 2006).
Timbulnya masalah kesehatan antara lain berawal dari kurangnya air bersih yang
berakibat pada buruknya kebersihan diri, buruknya sanitasi lingkungan yang
merupakan awal dari perkembangbiakan beberapa jenis penyakit menular.
Persediaan pangan yang tidak mencukupi juga merupakan awal dari proses
terjadinya penurunan derajat kesehatan yang dalam jangka panjang akan
mempengaruhi secara langsung tingkat pemenuhan kebutuhan gizi korban
bencana. Pengungsian tempat tinggal (shelter) yang ada sering tidak memenuhi
syarat kesehatan sehingga secara langsung maupun tidak langsung dapat
menurunkan daya tahan tubuh dan bila tidak segera ditanggulangi akan
menimbulkan masalah di bidang kesehatan. Sementara itu, pemberian pelayanan
kesehatan pada kondisi bencana sering menemui banyak kendala akibat rusaknya
fasilitas kesehatan, tidak memadainya jumlah dan jenis obat serta alat kesehatan,
terbatasnya tenaga kesehatan dan dana operasional. Kondisi ini tentunya dapat
menimbulkan dampak lebih buruk bila tidak segera ditangani (Pusat
Penanggulangan Masalah Kesehatan Sekretariat Jenderal Departemen Kesehatan,
2001).
Dampak bencana terhadap kesehatan masyarakat relatif berbeda-beda,
antara lain tergantung dari jenis dan besaran bencana yang terjadi. Kasus cedera
yang memerlukan perawatan medis, misalnya, relatif lebih banyak dijumpai pada
bencana gempa bumi dibandingkan dengan kasus cedera akibat banjir dan
gelombang pasang. Sebaliknya, bencana banjir yang terjadi dalam waktu relatif
5

lama dapat menyebabkan kerusakan sistem sanitasi dan air bersih, serta
menimbulkan potensi kejadian luar biasa (KLB) penyakit-penyakit yang
ditularkan melalui media air (water-borne diseases) seperti diare dan
leptospirosis. Terkait dengan bencana gempa bumi, selain dipengaruhi kekuatan
gempa, ada tiga faktor yang dapat mempengaruhi banyak sedikitnya korban
meninggal dan cedera akibat bencana ini, yakni: tipe rumah, waktu pada hari
terjadinya gempa dan kepadatan penduduk (Pan American Health Organization,
2006).
Bencana menimbulkan berbagai potensi permasalahan kesehatan bagi
masyarakat terdampak. Dampak ini akan dirasakan lebih parah oleh kelompok
penduduk rentan. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 55 (2) UU Nomor 24
Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, kelompok rentan meliputi: 1).
Bayi, balita dan anak-anak; 2). Ibu yang sedang mengandung atau menyusui; 3).
Penyandang cacat; dan 4) Orang lanjut usia. Selain keempat kelompok penduduk
tersebut, dalam Peraturan Kepala BNPB Nomor 7 Tahun 2008 tentang Pedoman
Tata Cara Pemenuhan Kebutuhan Dasar ditambahkan ‘orang sakit’ sebagai bagian
dari kelompok rentan dalam kondisi bencana. Upaya perlindungan tentunya perlu
diprioritaskan pada kelompok rentan tersebut, mulai dari penyelamatan, evakuasi,
pengamanan sampai dengan pelayanan kesehatan dan psikososial.
Identifikasi kelompok rentan pada situasi bencana menjadi salah satu hal
yang penting untuk dilakukan. Penilaian cepat kesehatan (rapid health
assessment) paska gempa bumi 27 Mei 2006 di Kabupaten Bantul, misalnya,
dapat memetakan kelompok rentan serta masalah kesehatan dan risiko penyakit
akibat bencana. Penilaian cepat yang dilakukan pada tanggal 15 Juni 2006 di lima
kecamatan terpilih di wilayah Kabupaten Bantul (Pleret, Banguntapan, Jetis,
Pundong dan Sewon) ini meliputi aspek keadaan umum dan lingkungan, derajat
kesehatan, sarana kesehatan dan bantuan kesehatan Hasil penilaian cepat terkait
dengan kelompok rentan beserta permasalahan kesehatan yang dihadapi adalah
permasalahan kecukupan gizi dijumpai pada kelompok penduduk rentan balita
dan ibu hamil, sedangkan kondisi fisik yang memerlukan perhatian terutama
dijumpai pada kelompok rentan ibu baru melahirkan, korban cedera, serta
penduduk yang berada dalam kondisi tidak sehat.
6

Pemberian pelayanan kesehatan pada kondisi bencana sering tidak


memadai. Hal ini terjadi antara lain akibat rusaknya fasilitas kesehatan, tidak
memadainya jumlah dan jenis obat serta alat kesehatan, terbatasnya tenaga
kesehatan, terbatasnya dana operasional pelayanan di lapangan. Hasil penilaian
cepat paska gempa Bantul 2006, misalnya, mencatat sebanyak 55,6 persen
Puskesmas Induk dan Perawatan dari 27 unit yang ada di Kabupaten Bantul
mengalami kerusakan berat, begitu juga dengan kondisi Puskesmas Pembantu
(53,6 persen) serta Rumah Dinas Dokter dan Paramedis (64,8 persen). Bila tidak
segera ditangani, kondisi tersebut tentunya dapat menimbulkan dampak yang
lebih buruk akibat bencana tersebut.
Tidak hanya fasilitas kesehatan yang rusak, bencana alam tidak jarang juga
menimbulkan dampak langsung pada masyarakat di suatu wilayah yang menjadi
korban. Pada kasus gempa Bantul 2006, sebagian besar (81,8 persen) rumah
penduduk hancur, bahkan tidak ada rumah yang tidak rusak meskipun hanya rusak
ringan (3,1 persen). Selain itu, 70,4 persen penduduk masih mengandalkan
sumber air bersih dari sumur, namun ada sebagian kecil (4,8 persen) penduduk
dengan kualitas fisik sumur yang tidak memenuhi syarat kesehatan. Masih banyak
masyarakat yang mengobati dirinya sendiri di rumah (30,2 persen) atau bahkan
mendiamkan saja luka yang diderita (6,6 persen). Ketersediaan cadangan bahan
makanan pokok masih bisa mencukupi kebutuhan keluarga untuk 14 hari,
sedangkan bahan makanan lain masih bisa mencukupi untuk kebutuhan selama
satu minggu, kecuali buah-buahan (3 hari). Hampir dua minggu paskagempa,
sudah banyak lingkungan responden yang telah mendapatkan bantuan kesehatan
dari berbagai instansi atau LSM, namun bantuan pengasapan (fogging) untuk
mengurangi populasi nyamuk baru 47,6 persen, penyemprotan (spraying) untuk
membunuh bibit penyakit berbahaya baru 20 persen, dan upaya pengolahan air
hanya 21,9 persen.
Salah satu permasalahan kesehatan akibat bencana adalah meningkatnya
potensi kejadian penyakit menular maupun penyakit tidak menular. Bahkan, tidak
jarang kejadian luar biasa (KLB) untuk beberapa penyakit menular tertentu,
seperti KLB diare dan disentri yang dipengaruhi lingkungan dan sanitasi yang
memburuk akibat bencana seperti banjir. Infeksi saluran pernafasan akut (ISPA)
7

merupakan keluhan yang yang palinug banyak diderita pengungsi sepuluh jenis
penyakit bencana letusan Gunung Merapi tahun 2010 di Kabupaten Sleman. Data
EHA - WHO Indonesia (2010) per 27 Oktober 2010 juga mencatat 91 korban
bencana Merapi harus dirujuk ke RS Sardjito di Yogyakarta, sebagian besar
diantaranya karena mengalami gangguan pernafasan dan/atau luka bakar.
Permasalahan kesehatan lingkungan dan sanitasi juga sering dijumpai pada
kondisi bencana alam. Berbagai literatur menunjukkan bahwa sanitasi merupakan
salah satu kebutuhan vital pada tahap awal setelah terjadinya bencana (The Sphere
Project, 2011; Tekeli-Yesil, 2006). Kondisi lingkungan yang tidak higienis,
persediaan air yang terbatas dan jamban yang tidak memadai, misalnya, seringkali
menjadi penyebab korban bencana lebih rentan untuk mengalami kesakitan
bahkan kematian akibat penyakit tertentu. Pengalaman bencana letusan Gunung
Merapi pada tahun 2006 (USAID Indonesia – ESP, 2006) dan 2010 (EHA – WHO
Indonesia, 2010; Forum PRB DIY, 2010; ACT Alliance, 2011; BNPB, 2010,
gempa bumi di Pakistan (Amin dan Han, 2009) dan Iran (Pinera, Reed dan Njiru,
2005) pada tahun 2005, banjir di Bangladesh pada tahun 2004 (Shimi, Parvin,
Biswas dan Shaw, 2010), serta gempa disertai tsunami di Indonesia (Widyastuti
dkk, 2006) dan Srilanka (Fernando, Gunapala dan Jayantha, 2009) pada akhir
2004 menunjukkan beberapa masalah terkait kesehatan lingkungan dan sanitasi.
Permasalahan tersebut termasuk terkait penilaian kebutuhan (assessment) yang
tidak mudah dan cepat, ketersediaan dan kecukupan sarana, distribusi dan akses
yang tidak merata, privasi dan kenyamanan korban bencana (khusunya kelompok
perempuan) serta kurangnya kesadaran dan perilaku masyarakat terkait sanitasi
pada kondisi darurat bencana.
Kesehatan reproduksi merupakan salah satu permasalahan kesehatan yang
perlu mendapatkan perhatian, khususnya pada bencana yang berdampak kepada
masyarakat dalam waktu relatif lama. Studi Hapsari dkk (2009) mengidentifkasi
temuan menarik berkaitan dengan kebutuhan pelayanan keluarga berencana (KB)
paskabencana gempa bumi di Bantul (Yogyakarta) pada tahun 2006. Satu tahun
paskagempa, mereka yang menggunakan alat KB suntik dan implant cenderung
menurun, sebaliknya mereka yang menggunakan pil KB dan metode pantang
berkala cenderung meningkat. Studi ini juga menunjukkan bahwa prevalensi
8

kehamilan tidak direncanakan lebih tinggi dijumpai pada mereka yang sulit
mengakses pelayanan KB dibandingkan mereka yang tidak mengalami kendala.
Oleh karena itu, peran penting petugas kesehatan diperlukan, tidak hanya untuk
memberikan pelayanan KB pada situasi bencana, tetapi juga untuk mengedukasi
pasangan untuk mencegah kejadian kehamilan yang tidak direncanakan.

2.3 Sistem Penanggulangan Bencana Terpadu


Sistem dalam penanggulangan bencana berdasarkan pasal 3 UU No. 24
tahun 2007, yaitu:
1) Cepat dan tepat. Yang dimaksud dengan “prinsip cepat dan tepat” adalah
bahwa dalam penanggulangan bencana harus dilaksanakan secara cepat dan
tepat sesuai dengan tuntutan keadaan.
2) Prioritas. Yang dimaksud dengan “prinsip prioritas” adalah bahwa apabila
terjadi bencana, kegiatan penanggulangan harus mendapat prioritas dan
diutamakan pada kegiatan penyelamatan jiwa manusia.
3) Koordinasi dan keterpaduan. Yang dimaksud dengan “prinsip koordinasi”
adalah bahwa penanggulangan bencana didasarkan pada koordinasi yang
baik dan saling mendukung. Yang dimaksud dengan “prinsip keterpaduan”
adalah bahwa penanggulangan bencana dilakukan oleh berbagai sektor
secara terpadu yang didasarkan pada kerja sama yang baik dan saling
mendukung.
4) Berdaya guna dan berhasil guna. Yang dimaksud dengan “prinsip berdaya
guna” adalah bahwa dalam mengatasi kesulitan masyarakat dilakukan
dengan tidak membuang waktu, tenaga, dan biaya yang berlebihan. Yang
dimaksud dengan “prinsip berhasil guna” adalah bahwa kegiatan
penanggulangan bencana harus berhasil guna, khususnya dalam mengatasi
kesulitan masyarakat dengan tidak membuang waktu, tenaga, dan biaya
yang berlebihan.
5) Transparansi dan akuntabilitas. Yang dimaksud dengan “prinsip
transparansi” adalah bahwa penanggulangan bencana dilakukan secara
terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan. Yang dimaksud dengan “prinsip
akuntabilitas” adalah bahwa penanggulangan bencana dilakukan secara
terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan secara etik dan hukum.
9

6) Kemitraan
7) Pemberdayaan
8) Nondiskriminatif. Yang dimaksud dengan “prinsip nondiskriminasi” adalah
bahwa negara dalam penanggulangan bencana tidak memberikan perlakuan
yang berbeda terhadap jenis kelamin, suku, agama, ras, dan aliran politik
apa pun.
9) Nonproletisi. Yang dimaksud dengan ”nonproletisi” adalah bahwa dilarang
menyebarkan agama atau keyakinan pada saat keadaan darurat bencana,
terutama melalui pemberian bantuan dan pelayanan darurat bencana.

2.4 Sistem Pelayanan Kesehatan


a) Tim gerak cepat penanggulangan bencana bersama-sama dengan semua
sarana kesehatan pemerintah daerah dan pemerintah daerah kabupaten/kota,
serta swasta menyediakan pelayanan darurat dan siaga bencana sesuai
dengan tingkatan bencana dan kewenangannya.
b) Pada kasus bencana, polisi dan aparat keamanan lain wajib memfasilitasi
tenaga kesehatan dalam pengamanan dan kelancaran penanganan korban.
c) RSUD dan RS swasta wajib menerima dan menangani tanpa melihat status
dan latar belakang korban termasuk status kepesertaan jaminan kesehatan.
d) Seluruh pembiayaan penanganan kesehatan korban bencana menjadi
tanggung jawab Pemerintah Daerah dan Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota.
e) Pembiayaan penanganan kesehatan korban bencana dikecualikan terhadap
bencana yang disebabkan oleh perbuatan dan kegiatan pelaku, biaya
ditanggung oleh pelaku.

2.5 Aspek Legal dan Etik dalam Keperawatan Bencana


The American Medical Association telah menciptakan aturan baru yang
kuat menangani tugas dokter untuk merawat pasien sejak peristiwa 11 September
2001, namun profesi lainnya belum mengikuti. Sampai saat ini, penyedia layanan
kesehatan akan terus dihadapkan pada pembuatan keputusan etis menantang
dengan sedikit arah (Grimaldi, 2007).
10

Menurut ANA, Etik dalam Keperawatan Bencana adalah:


1. Perawat, dalam semua hubungan profesional, praktek dengan kasih sayang
dan rasa hormat terhadap martabat yang melekat, nilai, dan keunikan setiap
individu, dibatasi oleh pertimbangan status sosial atau ekonomi, atribut
pribadi, atau sifat masalah kesehatan
2. Perawat bertanggung jawab dan akuntabel untuk praktek keperawatan
individu dan menentukan delegasi yang sesuai tugas sesuai dengan
kewajiban perawat untuk memberikan perawatan pasien yang optimal.
3. Perawat bertanggung jawab untuk dirinya dan untuk lainnya, termasuk
tanggung jawab untuk menjaga integritas dan keamanan, untuk menjaga
kompetensi, dan melanjutkan pertumbuhan pribadi dan profesional.
2.5.1 Analisis Risiko Bencana Dan Disaster Plan (Rumah Sakit/Regional)
1) Analisis Resiko
• Resiko adalah segala kemungkinan yang diperkirakan dapat terjadi pada
seseorang atau masyarakat di suatu tempat. Semua orang atau masyarakat
dimanapun berada, selalu mempunyai resiko terjadi bencana (besar
ataupun kecil). Resiko bencana adalah potensi kerugian yang ditimbulkan
akibat bencana pada suatu wilayah dan kurun waktu tertentu yang dapat
berupa kematian, luka, sakit jiwa terancam, hilangnya rasa aman,
mengungsi, kerusakan atau kehilangan harta, dan gangguan kegiatan
masyarakat (UU No. 24 tahun 2007).
• Analisis risiko merupakan suatu metodologi untuk menentukan proses dan
keadaan risiko melalui analisis potensi bahaya (hazards) dan evaluasi
kondisi kini dari kerentanan yang dapat berpotensi membahayakan orang,
harta, kehidupan, dan lingkungan tempat tinggal. (ISDR – Living with
Risk, 2004 dalam Muntohar 2012)
• Hazard (ancaman) adalah suatu kondisi, secara alamiah maupun karena
ulah manusia, yang berpotensi menimbulkan kerusakan atau kerugian
dan kehilangan jiwa manusia. Bahaya berpotensi menimbulkan bencana,
tetapi tidak semua bahaya selalu menjadi bencana.
• Kerentanan (vulnerability) adalah sekumpulan kondisi dan atau suatu
akibat keadaan (faktor fisik, sosial, ekonomi dan lingkungan) yang
11

berpengaruh buruk terhadap upaya-upaya pencegahan dan


penanggulangan bencana.
Tingkat risiko bencana amat bergantung pada:
a. Tingkat ancaman kawasan
b. Tingkat kerentanan kawasan yang terancam
c. Tingkat kapasitas kawasan yang terancam

2.6 Perencanaan Penanggulangan Bencana


Perencanaan penanggulangan bencana disusun berdasarkan hasil analisis
risiko bencana dan upaya penanggulangannya yang dijabarkan dalam program
kegiatan penanggulangan bencana dan rincian anggarannya.
Perencanaan penanggulangan bencana merupakan bagian dari perencanaan
pembangunan. Setiap rencana yang dihasilkan dalam perencanaan ini merupakan
program/kegiatan yang terkait dengan pencegahan, mitigasi dan kesiapsiagaan
yang dimasukkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP), Jangka
Menengah (RPJM) maupun Rencana Kerja Pemerintah (RKP) tahunan.
Rencana penanggulangan bencanaditetapkan oleh Pemerintah dan
pemerintah daerah sesuai dengan kewenangan untuk jangka waktu 5 (lima) tahun.
Penyusunan rencana penanggulangan bencana dikoordinasikan oleh:
1. BNPB untuk tingkat nasional;
2. BPBD provinsi untuk tingkat provinsi; dan
3. BPBD kabupaten/kota untuk tingkat kabupaten/kota.

2.7 Pengembangan dan Perencanaan Kebijakan


Berdasarkan perspektif geografi, geologi, klimatologi, dan demografi,
Indonesia berada pada posisi ke 7 sebagai negeri paling rawan akan risiko
bencana alam (UNESCO). Dua di antara kejadian bencana yang terakhir yang
menyebabkan kerusakan sangat besar, kerugian-kerugian dan korban-korban
adalah Tsunami di Aceh (2004) dan gempabumi di Yogyakarta dan Jawa Tengah
(2006). Oleh karena itu, masyarakat Indonesia dituntut untuk belajar dari itu
pengalaman-pengalaman dengan mengidentifikasi semua aspek yang
12

berhubungan dengan risiko dan kerentanan untuk meningkatkan kapasitas


mengatasi bencana.
Indonesia terletak pada persimpangan 4 lempeng tektonik utama  gempa,
tsunami, termasuk jalur Pacific Ring of Fire, > 500 gunung berapi, sekitar 128
aktif, pengaruh perubahan iklim kian parah banjir, kekeringan, kebakaran hutan,
kelaparan. Kerentanan Indonesia 383 dari total 440 kabupaten/kota merupakan
kawasan dengan kerentanan cukup tinggi, dengan faktor-faktor kerentanan, antara
lain: kepadatan tidak merata dan sangat tinggi di kota-kota, kesenjangan tingkat
pendapatan yang tinggi, posisi dan kondisi (konstruksi) bangunan tidak sesuai
tingkat ancaman, kawasan rawan bencana berpenduduk padat.
Belajar dari pengalaman Jepang yang begitu reaktif dan responsif dalam
menghadapi bencana alam, semestinya demikian pula-lah Indonesia. Sebagai
negri yang sarat bencana dengan bentangan alam yang jauh lebih luas serta jumlah
penduduk yang jauh lebih banyak, semestinya kita tak bertaruh lagi untuk masalah
ini. Bencana sendiri diartikan sebagai peristiwa atau rangkaian peristiwa yang
mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang
disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor
manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan
lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Definisi yang sama
adalah berlangsungnya suatu kejadian bahaya yang luar biasa yang menimbulkan
dampak pada komunitas-komunitas rentan dan mengakibatkan kerusakan,
gangguan dan korban yang besar, serta membuat kehidupan komunitas yang
terkena dampak tidak dapat berjalan dengan normal tanpa adanya bantuan dari
pihak luar.
Dari dua pengertian diatas dapat disarikan prasyarat suatu kejadian atau
fenomena alam dapat disebut sebagai bencana ketika terjadi kerugian materi
(harta benda, bangunan fisik) dan timbulnya korban jiwa yang besar, serta
dampak psikologis sehingga kehidupan komunitas yang terkena dampak tidak
dapat berjalan normal tanpa adanya bantuan pihak luar. Ketika suatu kejadian atau
fenomena alam tidak memenuhi prasyarat diatas, maka hanya disebut bahaya yang
mengancam kerugian-kerugian diatas.
13

Kebijakan pemerintah dalam penanggulangan bencana sendiri tertuang


dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana.
Penanggulangan bencana yang diamanatkan dalam undang-undang tersebut
memuat aktivitas yaitu pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan, peringatan dini,
tanggap darurat, rehabilitasi, dan rekonstruksi. Semua aktivitas tersebut
dilaksanakan dalam rangkaian kerja holistik-berkesinambunga dengan kerangka
menyukseskan pembangunan. Penyelenggaraan penanggulangan bencana adalah
serangkaian upaya yang meliputi penetapan kebijakan pembangunan yang
berisiko timbulnya bencana, kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat, dan
rehabilitasi. Dalam definisi diatas tidak memasukkan kegiatan rekonstruksi.
Namun pada prinsipnya upaya penanggulangan bencana mengacu pada siklus
menejemen bencana yang memuat upaya mitigasi, emergensi, rehabilitasi, dan
rekonstruksi. Kebijakan ini telah lama ditunggu-tunggu oleh sebagian masyarakat
dan stakeholder yang berkepentingan dalam urusan kebencanaan, terkait
Indonesia belum mempunyai undang-undang tentang kebencanaan. Sangat riskan
kiranya dilihat dengan mempertimbangkan kondisi geografi, geologi, dan
demografi Indonesia yang rawan bencana, mulai dari bencana alam seperti gempa
bumi, tsunami, banjir, tanah longsor, angin rebut, kebakaran hutan. Bahkan
bencana sosial seperti konflik antar komunitas sebagai dampak negatif dari
keberagaman adat, budaya, agama, disparitas pendapatan ekonomi, dan
sebagainya.
Kebijakan penanggulangan bencana ini termasuk dalam model kebijakan
imperatif. Kebijakan imperatif adalah kebijakan sosial terpusat, yakni seluruh
tujuan-tujuan sosial, jenis, sumber, dan jumlah pelayanan sosial, seluruhnya telah
ditentukan. Seringkali pemerintah di negara-negara berkembang memilih
kebijakan imperatif dimana peran perencanaan pembangunan sebagian besar
dilaksanakan oleh pemerintah. Berdasarkan keajegan dan keberlanjutannya,
kebijakan penanggulangan bencana termasuk dalam model residual. Menurut
model residual, kebijakan sosial hanya diperlukan apabila lembaga-lembaga
alamiah, yang karena suatu sebab (misalnya keluarga kehilangan pencari nafkah
karena meninggal dunia) tidak dapat menjalankan peranannya. Pelayanan sosial
14

yang diberikan biasanya bersifat temporer, dalam arti segera dihentikan manakala
lembaga tersebut berfungsi kembali.
15

BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Indonesia merupakan salah satu yang rawan bencana sehingga diperlukan
manajemen atau penanggulangan bencana yang tepat dan terencana. Manajemen
bencana merupakan serangkaian upaya yang meliputi penetapan kebijakan
pembangunan yang berisiko timbulnya bencana, kegiatan pencegahan bencana,
tanggap darurat, dan rehabilitasi. Manajemen bencana di mulai dari tahap
prabecana, tahap tanggap darurat, dan tahap pascabencana.
Pertolongan pertama dalam bencana sangat diperlukan untuk meminimalkan
kerugian dan korban jiwa. Pertolongan pertama pada keadaan bencana
menggunakan prinsip triage.

3.2 Saran
Masalah penanggulangan bencana tidak hanya menjadi beban pemerintah
atau lembaga-lembaga yang terkait. Tetapi juga diperlukan dukungan dari
masyarakat umum. Diharapkan masyarakat dari tiap lapisan dapat ikut
berpartisipasi dalam upaya penanggulangan bencana.

15
16

DAFTAR PUSTAKA

Badan Koordinasi Nasional Penanganan Bencana. 2007. Pengenalan Karakteristik


Bencana dan Upaya Mitigasinya Di Indonesia. (2th ed). Jakarta: Direktorat
Mitigasi.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana. 2008. Peraturan Kepala Badan
Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 4 Tahun 2008 Tentang Pedoman
Penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana. Jakarta: BNPB
Kamus Kesehatan. http://kamuskesehatan.com/arti/triage/. Diakses tanggal 12
September 2019
Sinurat, Hulman., & Adiyudha, Ausi. 2012. Sistem Manajemen Penanggulangan
Bencana Alam Dalam Rangka Mengurangi Dampak Kerusakan Jalan Dan
Jembatan. Jakarta: Puslitbang Jalan dan Jembatan

Anda mungkin juga menyukai