Anda di halaman 1dari 4

ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI

No. 46/PUU-VIII/2010

HUKUM KELUARGA, PERKAWINAN, DAN WARIS ADAT

Disusun oleh :

Karina Widi Kusuma


11000219410135
Kelas A2

UNIVERSITAS DIPONEGORO

MAGISTER KENOTARIATAN

2020
ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI No. 46/PUU-VIII/2010

Hj. Aisyah Mochtar alias Machica binti H. Mochtar Ibrahim (Pemohon I) dan

Muhammad Iqbal Ramadhan bin Moerdino diatas (Pemohon II) mengajukan

permohonan untuk dilakukan pengujian Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1)

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disebut UU

Perkawinan), antara lain:

1. Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan menimbulkan

ketidakpastian hukum yang merugikan para Pemohon, berkaitan dengan status

perkawinan dan status hukum anak;

2. Hak Konstitusional para Pemmohon dicederai norma hukum UU Perkawinan,

dikarenakan:

a. Perkawinan Pemohon I adalah sah sesuai dengan rukun nikah islam dan

norma konstitusional dalam Pasal 28B ayat (1) UUD 1945. Namun, terhalang

Pasal 2 UU Perkawinan, akibatnya tidak sah menurut norma hukum.

b. Karena status perkawinan menjadi tidak sah, hal tersebut berdampak pada

status hukum anak (Pemohon II) dilahirkan dari perkawinan Pemohon I

menjadi anak diluar nikah (norma hukum Pasal 34 ayat (1) UU Perkawinan).

Status anak di muka hukum menjadi tidak jelas dan sah.

3. Ketentuan a quo menimbulkan perlakuan tidak sama di hadapan hukum dan

perlakuan bersifat diskriminatif, karena ketentuan a quo bertentangan denga

ketentuan Pasal 28B ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 28D ayat (1) UUD 1945

Berdasarkan pada permohonan para pemohon diatas, maka isi pertimbangan hukum

hakim antara lain:


1. Maksud dan tujuan permohonan a quo adalah untuk menguji Pasal 2 ayat (2) dan

Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019, selanjutnya disebut UU

1/1974) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

(selanjutnya disebut UUD 1945);

2. Sebelum mempertimbangkan pokok permohonan, Mahkamah Konstitusi

(selanjutnya disebut Mahkamah) terlebih dahulu akan mempertimbangkan:

a. Kewenangan Mahkamah untuk mengadili permohonan a quo;

b. Kedudukan hukum (legal standing) para Pemohon untuk mengajukan

permohonan a quo.

Sehingga dihasilkan putusan amar, bahwa Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan

dianggap bertentangan dengan UUD 1945. Karena dalam pasal tersebut memberikan

makna hilangnya hubungan perdata dengan ayahnya, hal tersebut tidak memiliki

kepastian hukum apabila dimaknai demikian. Seharusnya dalam ayat tersebut dibaca

bahwa anak diluar kawin memilik hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya

serta dengan laki-laki sebagai ayahnya termasuk hubungan perdata terhadap keluarga

ayahnya apabila dapat dibuktikan memiliki hubungan darah.

Menurut saya, putusan hakim mengenai status anak di luar kawin pasti menuai

pro dan kontra dari berbagai pihak. Makna hukum mengenai anak yang dilahirkan di luar

perkawinan mengandung 2 (dua) makna, tidak hanya dimaknai bahwa anak dilahirkan

tanpa perkawinan (zina), tetapi juga memiliki makna bahwa anak tersebut di lahirkan di

luar perkawinan yang menurut dimata hukum tidak sah tetapi sah menurut hukum agama

atau sering disebut dengan pernikahan sirri. Menurut pendapat saya, anak dengan ayah

(apabila dibuktikan memiliki hubungan biologis) masih memiliki hubungan keperdataan


mengenai menafkahi sang anak, membiayai pendidikan, kesehatan, maupun kebutuhan

lainnya, apabila mengenai pewarisan sebagai ahli waris hal tersebut telah diatur dalam

Pasal 863 KUHPerdata:

“Bila Pewaris meninggal dengan meninggalkan keturunan yang sah dan atau suami istri,

maka anak luar kawin yang diakui mewaris 1/3 bagian, dari mereka yang sedianya harus

mendapat, seandainya mereka adalah anak sah” (dengan persyaratan tertentu). Akan

tetapi, ketentuan Pasal 867 KUHPerdata menentukan bahwa peraturan mengenai hukum

waris anak luar kawin tidak berlaku bagi anak yang dibenihkan karena zina atau dalam

sumbang. Oleh karena tidak diatur maka dapat disimpulkan bahwa mereka tidak berhak

mewaris.

Anda mungkin juga menyukai