Anda di halaman 1dari 32

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS
PANCASILA

PROPOSAL SKRIPSI

PENERAPAN KEADAAN DIAM OTOMATIS/AUTOMATIC STAY DALAM

HUKUM KEPAILITAN INDONESIA (STUDI TERHADAP NASKAH

AKADEMIK RUU TENTANG PERUBAHAN ATAS UU NOMOR 37 TAHUN 2004

TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN

UTANG)

Disusun Oleh:

Nama : Sulistyo Dwi Darmawan

NPM 3016210290

Bagian : Hukum Perdata

Program Kekhususan : Perdata Ekonomi (II)

UNTUK MEMENUHI SEBAGIAN SYARAT-SYARAT GUNA


MENCAPAI GELAR SARJANA HUKUM

1
JAKARTA
2020

2
BAB I

PENDAHULUA

A. Latar Belakang

Di era modern sekarang ini aspek-aspek kehidupan berkembang cukup pesat,

salah satunya yakni ekonomi. Berkembangnya ekonomi membuat banyaknya

transaksi ekonomi terjadi semata-mata untuk mendapatkan profit. Utang piutang pun

menjadi hal yang lumrah berapapun nilai transaksinya. Adanya payung hukum yang

mengakomodiir Kreditor dan Debitor seandainya terjadi sengketa yang timbul dalam

utang piutang membuat mereka mendapat kepastian hukum dalam sengketa tersebut,

salah satunya yakni Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan

Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya disebut UU KPKPU) sebagai

landasan yuridis penyelesaian sengketa utang piutang yang adil, cepat dan efisien.

Kepailitan sebagaimana tertulis dalam Pasal 1 angka 1 UU KPKPU berbunyi:

“Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan Debitor Pailit yang pengurusan

dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator dibawah pengawasan Hakim Pengawas

sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.”1

Kreditor adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau

undang-undang yang dapat ditagih di muka pengadilan, sedangkan Debitor adalah

orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau undang-undang yang

pelunasannya dapat ditagih di muka pengadilan.2 Kepailitan berawal dari Debitor

yang ternyata tidak melunasi utang pada waktunya karena suatu alasan tertentu,

berakibat harta kekayaan Debitor, baik yang bergerak maupun tidak bergerak, baik

yang telah ada maupun yang akan ada di kemudian hari, yang menjadi agunan atas
1
Pasal 1 angka 1 UU KPKPU
2
Pasal 1 angka 2 UU KPKPU.
utangnya dapat dijual untuk menjadi sumber pelunasan utang-utangnya.3 Harta

kekayaan Debitor yang menjadi agunan tersebut tidak hanya digunakan untuk

membayar utangnya, tetapi juga menjadi agunan bagi semua kewajiban lain yang

timbul karena perikatan-perikatan lain maupun kewajiban yang timbul karena

undang-undang Hal ini diatur dalam Pasal 1131 KUHPerdata. Unsur-unsur kepailitan

diantaranya:

1. Adanya utang

2. Minimal satu utang sudah jatuh tempo.

3. Minimal satu utang dapat ditagih.

4. Adanya Kreditor.

5. Adanya Debitor.4

Berbicara mengenai Kepailitan, maka erat kaitannya dengan peraturan yang

mengaturnya. Di Indonesia, peraturan terkait hukum kepailitan telah ada sejak zaman

penjajahan Belanda. Awalnya, aturan seputar kepailitan termaktub dalam Wetboek

Van Koophandel atau biasa disebut Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD)

dan Reglement op de Rechtsvoordering (RV). Kepailitan diatur secara khusus dalam

KUHD, Bab III dengan titel Van de Voorzieningen in Geval van Onvormogen van

Kooplieden atau peraturan tentang ketidakmampuan pedagang. Sementara, RV

mengaturnya dalam Buku Ketiga Bab Ketujuh dengan titel Van den Staat Von

Kenneljk Onvermogen atau tentang keadaan nyata-nyata tidak mampu. Perbedaan

antara KUHD dan RV terletak pada peruntukkannya. KUHD memuat pengaturan

kepailitan untuk pedagang, sedangkan RV untuk bukan pedagang. Pada praktiknya,

implementasi KUHD dan RV memiliki kelemahan seperti terlalu banyak formalitas,

biaya tinggi, minimnya peran kreditur dan waktu yang berlarut-larut.

3
Pasal 1131 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
4
Kelik Pramudya, Hukum Kepailitan

3
Aturan seputar kepailitan dalam KUHD dan RV kemudian diganti dengan

Failistment Verordenning yang berlaku berdasarkan Staatblaads No. 276 Tahun

1905 dan Staatsblaad No. 348 Tahun 1906. Masa keberlakukan Failistment

Verordenning pun berlangsung cukup lama, sejak tahun 1905 hingga 1998.

Keberlakuan Failistment Verordenning kemudian terhenti ‘berkat’ badai

krisis moneter (krismon) yang melanda Indonesia. Krisis moneter yang begitu

dahsyat tidak hanya menghancurkan stabilitas moneter nasional, tetapi juga

mengakibatkan sejumlah perusahaan nasional maupun multinasional di Indonesia

pailit. Menyikapi kondisi ini, Pemerintah Indonesia yang berkuasa saat itu, era

Presiden Soeharto menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

(PERPU) Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-undang Kepailitan.

PERPU Nomor 1 Tahun 1998 kemudian resmi ditetapkan sebagai undang-undang

oleh Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998. Secara substansi PERPU Nomor 1

Tahun 1998 sebenarnya tidak jauh berbeda dengan UU Kepailitan warisan Belanda,

Failistment Verordenning. Namun, beberapa norma baru dalam PERPU Nomor 1

Tahun 1998 yang secara signifikan mengubah konsep pengaturan seputar kepailitan

antara lain batas waktu penyelesaian perkara kepailitan, kurator swasta, dan tentunya

pembentukan pengadilan niaga.

Pembentukan pengadilan niaga merupakan tonggak dimulainya era baru

sistem penyelesaian perkara kepailitan di Indonesia. Sebagaimana ditegaskan dalam

PERPU Nomor 1 Tahun 2004, pembentukan pengadilan niaga dimaksudkan untuk

memperbaiki kelemahan-kelemahan sistem penyelesaian perkara kepailitan yang

berlaku sebelumnya khususnya yang berkaitan dengan waktu dan sistem pembuktian.

Berselang enam tahun, regulasi di bidang kepailitan kembali mengalami dinamika

dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang


Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU). Dibandingkan

PERPU Nomor 1 Tahun 1998, UU Kepailitan dan PKPU memiliki cakupan yang

lebih luas sebagai respon atas perkembangan hukum kepailitan di Indonesia. Selain

itu, UU KPKPU juga memberikan batasan yang tegas terkait pengertian “utang” dan

“jatuh waktu”. UU KPKPU dibuat untuk mengantisipasi permasalahan-permasalahan

semisal adanya perebutan harta debitur jika dalam waktu yang bersamaan terdapat

beberapa kreditur yang menagih piutangnya kepada debitur. Lalu, kreditur selaku

pemegang hak jaminan kebendaan yang menuntut haknya dengan cara menjual

barang milik debitur tanpa memperhatikan kepentingan debitur atau para kreditur

lainnya, dan lain sebagainya. Setelah melalui proses sejarah yang cukup panjang,

hukum kepailitan Indonesia akan kembali mengalami perubahan. Saat ini, revisi UU

KPKPU telah masuk program legislasi nasional di DPR berdasarkan Naskah

Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Atas Undang-Undang

Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan

Kewajiban Pembayaran Utang.

Naskah akademik yang dibuat pada tahun 2018 tersebut memuat salah satu

poin revisi UU KPKPU yakni pemberlakuan Keadaan Diam Otomatis/Automatic

Stay. Dalam halaman 2 naskah akademik tersebut tertulis bahwa: “Setelah lebih dari

14 (empat belas) tahun sejak diundangkan pada 18 November 2004 penyelesaian

melalui kepailitan dan PKPU, UU KPKPU masih mengalami kendala dalam

penerapannya terkait dengan waktu penyelesaian, biaya, recovery kepailitan, serta

permasalahan dan perkembangan hukum lainnya, antara lain:

1. persyaratan kepailitan sebagaimana dalam Pasal 2 ayat (1) UU KPKPU;

2. pembuktian sederhana dalam Pasal 8 ayat (4) UU KPKPU;


3. perlunya diatur mengenai keadaan diam otomatis (automatic stay) dalam

kepailitan yang mulai berlaku sejak kepailitan dimohonkan;”

Dalam naskah akademik tersebut tidak dijelaskan secara definitif pengertian

dari Keadaan Diam Otomatis/Automatic Stay. Namun jika ditinjau dari rancangan

konsep penerapannya hal tersebut berkaitan dengan larangan bagi Debitur untuk

melakukan peralihan hartanya seperti dalam bentuk jual beli, hibah, transfer, dan-

lain-lain sejak permohonan pailit didaftarkan. Keadaan diam otomatis ini demi

hukum akan berlaku sesaat setelah adanya pendaftaran permohonan pailit tanpa

mengharuskan adanya putusan pengadilan. Apabila nantinya ternyata permohonan

pernyataan pailit yang diperiksa oleh pengadilan niaga dikabulkan, sehingga debitor

dinyatakan pailit, maka “keadaan diam otomatis” demi hukum berubah menjadi “sita

umum terhadap seluruh aset debitor pailit”.

Pasal 24 ayat (1) UU KPKPU menyatakan bahwa Debitor demi hukum

kehilangan haknya untuk menguasai dan mengurus kekayaannya yang termasuk

dalam harta pailit, sejak putusan pernyataan pailit diucapkan. Melalui pernyataan

pailit yang diputuskan oleh Hakim Pengadilan Niaga, maka demi hukum seluruh

harta kekayaan Debitor dilakukan sita (beslag) dan penguasaannya dilakukan oleh

Kurator dengan diawasi oleh Hakim Pengawas. Dalam naskah akademik tersebut

disebutkan bahwa dalam prakteknya norma yang dinyatakan Pasal 24 ayat (1)

tersebut menimbulkan masalah, yaitu justru memberikan ruang bagi Debitor untuk

melakukan upaya yang bertentangan dengan hukum terhadap harta kekayaannya

sebelum Debitor dinyatakan pailit dan mengetahui bahwa dirinya akan mengalami

kondisi kepailitan dimana konsekuensinya seluruh asetnya akan dikenakan sita

umum. Selain itu, bagi kreditor yang mengetahui bahwa Debitornya dimohonkan

pernyataan pailit, akan mengalami kekhawatiran terhadap kemampuan pengembalian


utang-utangnya sehingga dapat berujung pada tindakan main hakim sendiri dengan

mengabaikan hak-hak Kreditor lainnya, secara melawan hukum. Ketentuan dalam

UU KPKPU masih memungkinkan Debitor untuk leluasa memindahtangankan harta

kekayaannya selama proses permohonan pernyataan pailit tersebut. Karena itu, tidak

mustahil ketika Debitor dinyatakan pailit, harta kekayaannya sudah banyak

berkurang karena sudah dipindahtangankan oleh Debitor kepada pihak-pihak lain.

Menariknya, dalam hukum kepailitan di Indonesia mengakui adanya gugatan

action pauliana baik didalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata maupun UU

KPKPU. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, gugatan action pauliana

diatur dalam Pasal 1341 KUH Perdata yang berbunyi sebagai berikut: “Meskipun

demikian, kreditur boleh mengajukan tidak berlakunya segala tindakan yang tidak

diwajibkan yang dilakukan oleh debitur, dengan nama apa pun juga yang merugikan

kreditur; asal dibuktikan bahwa ketika tindakan tersebut dilakukan, debitur dan

orang yang dengannya atau untuknya debitur itu bertindak, mengetahui bahwa

tindakan itu mengakibatkan kerugian bagi para kreditur. Hak-hak yang diperoleh

pihak ketiga dengan itikad baik atas barang-barang yang menjadi obyek dan

tindakan yang tidak sah, harus dihormati. Untuk mengajukan batalnya tindakan

yang dengan cuma-Cuma dilakukan debitur, cukuplah kreditur menunjukkan bahwa

pada waktu melakukan tindakan itu debitur mengetahui bahwa dengan cara

demikian dia merugikan para kreditur, tak peduli apakah orang yang diuntungkan

juga mengetahui hal itu atau tidak”5

Dalam pasal tersebut juga terkandung adanya suatu asas itikad baik yang

menjadi landasan apakah perbuatan tersebut diwajibkan atau tidak. Jadi walaupun

barang-barang atau aset-aset yang dimiliki oleh debitur sudah dikuasai oleh pihak

5
Pasal 1341 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
ketiga, maka aset-aset tersebut dapat diminta kembali dengan action pauliana dan

untuk pihak ketiga yang terlanjur melakukan transaksi dengan debitor yang akan

dinyatakan pailit, akan diberikan pengembalian terhadap harga yang telah dibayarnya

oleh Kurator. Dan hak-hak yang diperoleh oleh pihak ketiga secara itikad baik

tersebut dilindungi, artinya perlindungan yang diberikan berupa jaminan bahwa

perbuatan yang dilakukan oleh Debitor dengan pihak ketiga tersebut tidak dapat

dibatalkan karena dalam action pauliana yang menjadi kunci pokok dikabulkan

adalah adanya unsur itikad tidak baik oleh Debitor pailit.

Untuk mengajukan action paulana, Kreditor cukup membuktikan bahwa

debitor pada waktu melakukan perbuatannya tersebut mengetahui bahwa

tindakannya tersebut merugikan para Kreditornya tanpa peduli apakah orang yang

menerima keuntungan itu juga mengetahuinya atau tidak bahwa perbuatan Debitor

tersebut merugikan para Kreditornya. Jadi tidak perlu harus diajukannya suatu

tuntutan atau gugatan terhadap tindakan Debitor karena pada asasnya bahwa

tindakan Debitor tersebut memang batal, bukan dibatalkan.

Gugatan action pauliana tidak hanya dimuat dalam Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata, melainkan juga dimuat dalam UU KPKPU. Pasal 41 UU KPKPU

berbunyi: “(1) Untuk kepentingan harta pailit, kepada Pengadilan dapat dimintakan

pembatalan segala perbuatan hukum Debitor yang telah dinyatakan pailit yang

merugikan kepentingan Kreditor, yang dilakukan sebelum putusan pernyataan pailit

diucapkan.

(2) Pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan

apabila dapat dibuktikan bahwa pada saat perbuatan hukum dilakukan, Debitor dan

pihak dengan siapa perbuatan hukum tersebut dilakukan mengetahui atau


sepatutnya mengetahui bahwa perbuatan hukum tersebut akan mengakibatkan

kerugian bagi Kreditor.

(3) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah

perbuatan hukum Debitor yang wajib dilakukannya berdasarkan perjanjian

dan/atau karena undang-undang.”

Dalam actio pauliana untuk membuktikan perbuatan dari Debitor yang

mengarah pada tindakan untuk mengalihkan aset-asetnya maka Kurator wajib untuk

membuktikan adanya kerugian pada pihak Kreditor akibat dari pembuatan perjanjian

atau dilaksanakannya perbuatan hukum tersebut. Selain itu Kurator tersebut harus

membuktikan bahwa perbuatan hukum timbal balik yang dilakukan oleh Debitor

tersebut dalam upaya untuk merugikan Kreditor. Disamping itu juga memungkinkan

adanya suatu pembuktian terbalik, apabila saat dilakukannya perbuatan tertentu yang

merugikan harta pailit tersebut pihak Debitor dan pihak siapapun dengan siapa

tindakan itu dilakukan (kecuali hibah) telah mengetahui atau patut mengetahui

bahwa perbuatan tersebut dapat merugikan Kreditor kecuali dibuktikan sebaliknya.

Yaitu dapat dibuktikan bahwa pihak Kreditor dan pihak siapapun dengan siapa

tindakan itu dilakukan (kecuali hibah) tidak dalam keadaan mengetahui atau patut

mengetahui jikia perbuatan tersebut merugikan Kreditor.6

Jika ditelusuri lebih lanjut, Keadaan Diam Otomatis/Automatic Stay dengan

action pauliana sebetulnya memiliki korelasi. Oleh karena itu salah satu fokus dalam

penlitian ini akan mengkaitkan hubungan antara penerapan Keadaan Diam

Otomatis/Automatic Stay dengan gugatan action pauliana. Dari hasil analisa tersebut

akan tercipta suatu kesimpulan terkait urgensi penerapan Keadaan Diam

Otomatis/Automatic Stay di Indonesia apakah perlu diterapkan atau tidak.

6
Pengantar Hukum Kepailitan Indonesia, Dr. H. Nudirman Munir S.H., M.H., Hal. 42
Dalam naskah akademik revisi UU KPKPU juga menjabarkan jangkauan,

arah pengaturan dan ruang lingkup materi muatan undang-undang berkaitan dengan

Keadaan Diam Otomatis/Automatic Stay. Dalam halaman 200 dan 201 naskah

akademik revisi UU KPKPU tertulis: “Usulan penerapan keadaan diam otomatis

dimaksud dalam RUU KPKPU, adalah sebagai berikut:

a. Keadaan diam otomatis ini berlaku secara otomatis demi hukum (by law).

b. Menambahkan ketentuan norma dalam Pasal 6 UU KPKPU yang menerapkan

adanya ketentuan keadaan diam otomatis dalam hal permohonan dilakukan, serta

akibat hukum penangguhan, pengecualiannya, dan kapan keadaan diam otomatis

berakhir, serta diperbolehkannya penangguhan dimaksud untuk diangkat oleh

pengadilan dengan permohonan.

c. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 tersebut merupakan ketentuan

mengenai permohonan pailit yang disampaikan kepada Ketua Pengadilan. Pasal 6

diubah dengan menambahkan ketentuan yang menyatakan pada saat permohonan

diterima oleh Ketua Pengadilan Ketua Pengadilan menetapkan seluruh harta

kekayaan Debitor dinyatakan tidak diperbolehkan dialihkan sejak saat waktu

permohonan diterima oleh Pengadilan. Pengalihan hanya diperbolehkan terhadap

harta kekayaan yang dijaminkan berdasarkan ketentuan perundang-undangan,

transaksi pada bursa efek, netting dalam transaksi derivatif, dan transfer yang

dilakukan secara sah berdasarkan perundang-undangan.

d. Dalam keadaan diam otomatis ini, debitor tetap dapat mengurus hartanya namun

tidak diperbolehkan mengalihkannya kepada pihak lain, dan kreditor tidak

diperbolehkan mengambil tindakan hukum terhadap harta kekayaan kecuali kreditor

pemegang jaminan. Keadaan diam otomatis akan berlaku sampai adanya hal-hal,

seperti:
(a) perkara pailit dihentikan sebelum putusan pernyataan pailit; atau

(b) perkara pailit telah dicabut. Untuk huruf (a) dimaksud dilakukan oleh pemohon

pailit, sedangkan huruf (b) dimaksud dilakukan oleh kurator.

e. Seluruh pengalihan yang tidak sesuai dengan ketentuan ini adalah bertentangan

dengan perundang-undangan dan tidak mempunyai akibat hukum terhadap harta

kekayaan yang dialihkan.

f. Keadaan diam otomatis ini dapat dimohonkan untuk diangkat dengan adanya

permohonan kepada Ketua Pengadilan, Ketua Pengadilan dapat mengabulkan

permohonan setelah mendengarkan Hakim yang memeriksa permohonan pada saat

permohonan sedang diperiksa.

g. Mekanisme keadaan diam otomatis perlu diatur mengenai tata pelaksanaannya

dalam peraturan pelaksanaan mengenai pelaksanaan yang dilakukan secara

elektronik dan terpublikasi pada saat kepailitan dimohonkan.

h. Keadaan diam otomatis ini akan berlaku sampai adanya penetapan Hakim

Pengadilan yang menyatakan:

1) perkara pailit dihentikan;

2) perkara pailit telah diputuskan dan beralih menjadi sita umum;

3) harta kekayaan bukan lagi harta pailit; dan/atau

4) adanya perintah Pengadilan untuk mengakhiri atau memodifikasi keadaan diam

otomatis.”

Namun, rasanya tidak adil bagi Debitor apabila Keadaan Diam

Otomatis/Automatic Stay diberlakukan sejak permohonan pailit diajukan tanpa

terlebih dahulu dilakukan penelusuran lebih lanjut apakah ekuitas dari Debitor lebih

tinggi/rendah daripada liabilitasnya. Karena jika terbukti ekuitas Debitor lebih tinggi

dari liabilitasnya, maka seharusnya pengajuan permohonan pailit yang dilakukan


oleh Kreditor tidak dapat diterima dan secara otomatis Keadaan Diam

Otomatis/Automatic Stay tidak dapat diberlakukan terhadap seluruh aset Debitor.

Jika Keadaan Diam Otomatis/Automatic Stay langsung diberlakukan sejak

permohonan pailit diajukan tanpa adanya penelusuran terlebih dahulu mengenai

ekuitas Debitor, maka tentu saja itu dapat menciderai hak-hak Debitor atas asetnya

terlebih Debitor memiliki asas kelangsungan usaha. Semisal, Debitor yang

ekuitasnya lebih besar dari liabilitasnya ingin melakukan transaksi atas asetnya

namun karena seluruh aset Debitor sedang diberlakukan Keadaan Diam

Otomatis/Automatic Stay maka hal tersebut membuat Debitor tidak dapat melakukan

transaksi atas asetnya. Oleh karena itu diperlukan suatu sistem yang mengakomoodir

pengujian lebih lanjut terhadap aset, ekuitas dan liabilitas Debitor sebelum

permohonan pailit diterima.

Menariknya, di Indonesia pernah diberlakukan Insolvency Test untuk menguji

apakah ekuitas Debitor lebih tinggi daripada liabilitasnya untuk kemudian

menetapkan status Debitor apakah solven atau insolven. Insolvency Test ini

diberlakukan melalui PERPU Nomor 1 Tahun 1998 pada masa pemerintahan

Presiden Soeharto, namun tidak satupun perkara yang menggunakan proses

Insolvency Test ini pada masanya. Jika dikaitkan dengan Keadaan Diam

Otomatis/Automatic Stay kedua hal tersebut sebetulnya memiliki korelasi terutama

dalam hal menyempurnakan Keadaan Diam Otomatis/Automatic Stay apabila

nantinya diberlakukan di Indonesia.

Pemberlakuan Keadaan Diam Otomatis/Automatic Stay yang sedang

dicanangkan dalam program legislasi DPR melalui Naskah Akademik RUU tentang

Perubahan Atas UU Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan

Kewajiban Pembayaran Utang memang masih bersifat dinamis terhadap perubahan


didalamnya. Semua dilakukan demi terciptanya regulasi hukum kepailitan yang adil,

efektif dan efisien demi kepentingan seluruh pihak yang bersangkutan. Hal itu

membuat Penulis ingin meneliti lebih lanjut terkait pemberlakuan Keadaan Diam

Otomatis/Automatic Stay ini melalui skripsi yang berjudul: “Penerapan Keadaan

Diam Otomatis/Automatic Stay Dalam Hukum Kepailitan Indonesia (Studi

terhadap Naskah Akademik RUU tentang Perubahan Atas UU Nomor 37

Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran

Utang)”

B. Pokok Permasalahan

Untuk membahas masalah-masalah dalam penulisan hukum ini, maka penulis

membatasi ruang lingkup yang berkaitan dengan judul penulisan hukum, yang akan

dijadikan acuan lebih terarah dan lebih terintegrasi, yaitu:

1. Bagaimana urgensi Automatic Stay/Keadaan Diam Otomatis sebagai

instrumen pengaman aset guna memberikan perlindungan hukum bagi debitor

dan kreditor?

2. Bagaimana konsep ideal terhadap pemberlakuan Automatic Stay/Keadaan

Diam Otomatis di Indonesia?

C. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan dari penulisan hukum ini adalah sebagai

berikut:
1. Menjelaskan urgensi Automatic Stay/Keadaan Diam Otomatis sebagai

instrumen pengaman aset guna memberikan perlindungan hukum bagi debitor

dan kreditor.

2. Menjelaskan konsep ideal terhadap pemberlakuan Automatic Stay/Keadaan

Diam Otomatis di Indonesia.

D. Tinjauan Pustaka

Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan Debitor Pailit yang

pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan

Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004

tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.7

Pailit dapat diajukan atas permohonan Debitor sendiri, atas permintaan

seorang atau lebih Kreditor, Kejaksaan atas kepentingan umum, Bank Indonesia

dalam hal Debitor merupakan lembaga bank, Badan Pengawas Pasar Modal dalam

hal Debitor merupakan perusahaan efek.

Syarat pengajuan pailit diantaranya adanya hutang, minimal satu hutang

sudah jatuh tempo dan dapat ditagih, adanya Kreditor (lebih dari satu Kreditor),

adanya Debitor, permohonan pernyataan pailit, putusan pailit oleh Pengadilan

Niaga.8

Kreditor adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau

undang-undang yang dapat ditagih di muka pengadilan.9

7
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang
8
Ibid, Hukum Kepailitan.
9
Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang
Debitor adalah orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau undang-

undang yang pelunasannya dapat ditagih di muka pengadilan.10

Debitor pailit adalah debitor yang sudah dinyatakan pailit dengan putusan

Pengadilan.11

Pengadilan adalah Pengadilan Niaga dalam lingkup peradilan umum.12

Sita umum adalah suatu sita yang bukan untuk kepentingan seorang atau

beberapa pihak kreditur, melainkan untuk semua kreditur atau dengan kata lain untuk

mencegah penyitaan dari eksekusi yang dimintakan oleh kreditur secara

perorangan.13

Demi hukum merupakan frasa yang secara harfiah ditujukan agar tercapainya

tujuan hukum dibentuk yakni suatu keadilan14

E. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian

yuridis-nomatif atau merupakan metode penelitian kepustakaan yang

dilakukan dengan mengkaji pustaka-pustaka, buku dan peraturan

perundang-undangan yang relevan dengan pembahasan.

2. Pendekatan Penelitian

Metoe pendekatan yang digunakan yaitu dengan meneliti dan

mempelajari data-data sekunder berupa bahan-bahan tertulis berkaitan

10
Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang
11
Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang
12
Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang
13
Yurisprudensi Mahkamah Agung
14
Ibid.
dengan permasalahan yang menjadi objek penulisan ini seperti

peraturan perundang-undangan, konvensi internasional, artikel, buku

dan tulisan lainnya.

3. Objek Penelitian

Objek penelitian ini adalah urgensi Keadaan Diam Otomatis/

Automatic Stay/ sebagai instrumen pengaman aset guna memberikan

perlindungan hukum bagi Debitor dan Kreditor.

4. Sumber Data Penelitian

Data sekunder yang dipergunakan dalam penulisan skripsi ini dapat

dibedakan menjadi:

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum dalam bentuk

peraturan perundang-undangan, antara lain:

1) Undang-Undang Dasar 1945.

2.) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

3.) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan

dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

4.) US Bankruptcy Act, Chapter 11 Section 362

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan tertulis yang dipergunakan

untuk memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer

seperti artikel kepailitan, buku, literatur, jurnal, hasil penelitian.

c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan tertulis yang menjelaskan

bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, yakni Kamus

Besar Bahasa Indonesia, Kamus Inggris-Indonesia.


5. Metode Analisis Data

Dalam penelitian metode analisis data yang digunakan bersifat

deskriptif analitis kemudian dianalisa secara kualitatif, yaitu

dianalisa berdasarkan mutunya, sehingga nantinya data yang

termuat dalam penelitian ini dijabarkan dalam bentuk kata-kata

yang mengandung makna.

F. Sistematika Penulisan

Untuk mempermudah pemahaman menganai hal-hal yang akan

dibahas dalam penulisan ini, maka dikemukakan urutan-urutan atau

sistematika penulisan yaitu:

BAB I PENDAHULUAN

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KEADAAN

DIAM OTOMATIS/AUTOMATIC STAY, ACTIO

PAULIANA dan INSOLVENCY TEST

BAB III URGENSI KEADAAN DIAM/AUTOMATIC STAY OTOMATIS

SEBAGAI INSTRUMEN PENGAMAN ASET GUNA

MEMBERIKAN PERLINDUNGAN HUKUM BAGI

DEBITOR DAN KREDITOR

BAB IV KONSEP IDEAL TERHADAP PEMBERLAKUAN

KEADAAN DIAM OTOMATIS/AUTOMATIC STAY DI

INDONESIA

BAB V PENUTUP
BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG

KEADAAN DIAM OTOMATIS/AUTOMATIC STAY,

ACTIO PAULIANA dan INSOLVENCY TEST

2.1. Kepailitan

2.1.1. Pengertian Kepailitan

Secara definitif, pailit dapat diartikan sebagai suatu keadaan dimana seorang

Debitor tidak membayar utang-utangnya yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih. 1

Jika dikaji secara historis, hukum tentang kepailitan sudah ada zejak zaman Romawi.

Frasa “bangkrut” yang dalam bahasa Inggris disebut bankrupt awal mulanya berasal

dari peraturan di Italia yang disebut dengan banca rupta.2 Pasal 1 angka 1 UU KPKPU

memberikan definisi kepailitan yakni: “Kepailitan adalah sita umum atas semua

kekayaan Debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator

di bawah pengawasan Hakim Pengawas.” Dalam pasal ini disebutkan “sita umum atas

semua kekayaan Debitor pailit” hal ini menunjukkan bahwa kepailitan semata-mata

bertujuan mengenai harta Debitor, bukan subjek hukumnya.

Kepailitan dalam UUKPKPU sendiri pada prinsipnya merupakan cerminan

dari Pasal 1131 KUH Perdata dan Pasal 1132 KUH Perdata. Jerry Hof dalam Poppy

Indrayati pernah menyebutkan bahwa Prinsip umum UU KPKPU adalah apa yang

disebut prioritas creditorium yang berarti bahwa semua Kreditor mempunyai hak yang

sama terhadap pembayaran dan bahwa hasil penjualan harta pailit harus didistribusikan

1
Zaeny Asyhadie, 2005, Hukum Bisnis Proses dan Pelaksanaannya di Indonesia, Jakarta,
Raja Grafindo Persada, hlm. 225.
2
Jono, 2010, Hukum Kepailitan, Jakarta, Sinar Grafika, hlm. 1.
secara proporsional terhadap besar kecilnya klaim mereka. Dalam Pasal 1132 KUH

Perdata ditentukan bahwa setiap pihak atau kreditor yang berhak atas pemenuhan

perikatan, haruslah mendapatkan pemenuhan perikatan dari harta kekayaan pihak yang

berkewajiban tersebut secara:3

1. Pari passu, yaitu secara bersama-sama memperoleh pelunasan, tanpa ada yang

didahulukan; dan

2. Pro rata atau proporsional, yang dihitung berdasarkan pada besarnya piutang

masing-masing dibandingkan terhadap piutang mereka secara keseluruhan,

terhadap seluruh harta kekayaan Debitor tersebut.

Hal ini dapat disimpulkan bahwa pada intinya kepailitan merupakan implementasi

lebih lanjut dari prinsip paritas creditorium dan prinsip pari passu prorate parte

terhadap harta kekayaan Debitor.

2.1.2. Syarat-syarat Kepailitan

UU KPKPU sebagai landasan yuridis pengaturan kepailitan di Indonesia telah

menentukan syarat terhadap suatu kepailitan yang tertera didalam Pasal 2 ayat (1) UU

KPKPU, yang berbunyi: “Debitor yang mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak

membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih,

dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonan satu atau lebih

Kreditornya.” Jika dijabarkan secara unsur demi unsur maka syarat dari kepailitan

berdasarkan pasal tersebut ialah sebagai berikut:

1. Adanya utang

Meskipun terdapat banyak pendapat dari Pakar Hukum yang menjelaskan

definisi mengenai “utang” seperti Sutan Remy Sjahdeini atau Kartini dan

Gunawan Widjaja, UU KPKPU tidak ingin ada multitafsir terhadap penafsiran

3
Jono, Op. Cit, hlm. 19
dari “utang” sehingga dalam Pasal 1 angka 6 UU KPKPU memberikan

penjelasan konkrit mengenai utang, yakni “Utang adalah kewajiban yang

dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang, baik dalam mata uang

Indonesia maupun mata uang Asing, baik secara langsung maupun yang akan

timbul di kemudian hari atau kontinjen, yang timbul karena perjanjian atau

Undang-undang dan yang wajib dipenuhi oleh Debitor dan bila tidak dipenuhi

memberi hak kepada Kreditor untuk mendapat pemenuhannya dari harta

kekayaan Debitor.”

Dari definisi utang yang diberikan UU KPKPU, perlu diketahui bersama bahwa

utang harus ditafsirkan secara luas, tidak hanya meliputi utang yang timbul dari

perjanjian utang-piutang atau pinjam meminjam tetapi juga utang yang timbul

karena Undang-undang atau perjanjian yang dapat dinilai dengan sejumlah

uang.4

2. Minimal satu utang telah jatuh tempo dan dapat ditagih.

Apabila utang tersebut telah jatuh tempo maka Kreditor memiliki hak untuk

menuntut prestasinya kepada Debitor. Selain itu, utang yang timbul juga harus

lahir dari perikatan sempurna (mengandung schuld dan haftung). Apabila utang

lahir dari perikatan alamiah (mengandung schuld tanpa adanya haftung) maka

tidak dapat diajukan untuk dimohonkan pernyataan pailit, semisal utang yang

lahir dari perjudian.

3. Adanya Debitor

UU KPKPU telah memberikan pengertian konkrit terkait definisi Debitor. Hal

tersebut dapat dilihat dalam Pasal 1 angka 3 UUKPKPU yang berbunyi:

“Debitor adalah orang yang mepunyai utang karena perjanjian atau undang-

undang yang pelunasannya dapat ditagih di muka pengadilan.”

4
Jono, Op. Cit, hlm. 11
Lebih lanjut, UU KPKPU menyebutkan terkait siapa saja yang dapat

dikategorikan sebagai Debitor, yakni:

 Bank (berdasarkan Pasal 2 ayat (3) UU KPKPU)

 Perusahaan Efek, Bursa Efek, Lembaga Miring dan Penjaminan,

Lembaga Penyimpnan dan Penyelesaian (berdasarkan pasal 2 ayat (4)

UU KPKPU)

 Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Dana Pensiun, BUMN

yang bergerak dibidang kepentingan publik (berdasarkan Pasal 2 ayat

(5) UU KPKPU)

 Manusia

 Badan Hukum (berdasarkan Pasal 3 ayat (5) UU KPKPU)

 Firma (berdasarkan Pasal 5 UU KPKPU)

4. Adanya paling sedikit 2 Kreditor atau lebih

UU KPKPU telah memberikan definisi konkrit terkait pengertian dari

Kreditor, hal tersebut dapat dilihat pada Pasal 1 angka 2 UU KPKPU yang

berbunyi: “Kreditor adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian

atau undang-undang yang dapat ditagih di muka pengadilan.” Lebih lanjut,

dalam Pasal 1 angka 11 UU KPKPU dijelaskan kembali maksud dari orang

yakni “Setiap orang adalah orang perseorangan atau korporasi termasuk

korporasi yang berbentuk badan hukum maupun yang bukan badan hukum

dalam likuidasi.”

Dalam proses pemeriksaan kepailitan, para Kreditor ini dipisahkan

berdasarkan kategorinya masing-masing. Dasar hukum dari masing-masing

jenis kreditor berasal dari Pasal 1131-Pasal 1135 KUH Perdata. Berdasarkan

ketentuan tersebut, Kreditor dapat digolongkan menjadi 3, yaitu:


 Kreditor Separatis; adalah kreditor pemegang hak jaminan kebendaan.

Saat ini, sistem hukum jaminan Indonesia mengenal 5 macam jaminan

kebendaan diantaranya Gadai, Fidusia, Hak Tanggungan, Hipotik

Kapal, dan Resi Gudang.

 Kreditor Preferen; adalah kreditor yang mempunyai hak mendahului

karena sifat piutangnya oleh undang-undang diberi kedudukan

istimewa. Dalam hukum kepailitan di Indonesia, Kreditor Preferen

terdiri dari Kreditor Preferem Khusus (diatur dalam Pasal 1139 KUH

Perdata) dan Kreditor Preferen Umum (diatur dalam Pasal 1149 KUH

Perdata)

 Kreditor Konkuren; yaitu Kreditor yang tidak termasuk dalam Kreditor

Separatis dan Kreditor Preferen (Pasal 1131 jo. Pasal 1132 KUH

Perdata)

5. Adanya permohonan pernyataan pailit.

UU KPKPU mengenal beberapa subjek hukum yang dapat mengajukan

permohonan pailit, diantaranya:

 Debitor (berdasarkan Pasal 4 ayat (1) UU KPKPU)

 Kreditor

 Kejaksaan (berdasarkan Pasal 2 ayat (2) UU KPKPU)

 Bank Indonesia (berdasarkan Pasal 2 ayat (3) UU KPKPU)

 Bapepam (Pasal 2 ayat (4) UU KPKPU)

 Menteri Keuangan (Pasal 2 ayat (5) UU KPKPU)

Namun seiring dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 21

Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK) khususnya dalam

Pasal 55 ayat (1) dan ayat (2) ditegaskan bahwasanya seluruh tugas,
fungsi dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa

keuangan di sektor Pasar Modal, Perasuransian, Dana Pensiun,

Lembaga Pembiayaan, Lembaga Jasa Keuangan Lainnya, Perbankan

beralih ke OJK, membuat OJK mampu menjadi pemohon pailit

meskipun nama Otoritas Jasa Keuangan tidak disebut dalam UU

KPKPU. Terlebih, dalam Pasal 50 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40

Tahun 2014 tentang Perasuransian juga menyatakan bahwa OJK berhak

mengajukan permohonan pernyataan pailit.

Permohonan pernyataan pailit diajukan kepada Ketua Pengadilan Niaga

tempat Debitor berdomisili yang nantinya jika permohonan diterima, maka

paling lambat 20 hari setelah tanggal permohonan didaftarkan akan digelar

sidang pemeriksaan.

6. Pernyataan pailit oleh Pengadilan Niaga

Pernyataan pailit oleh Pengadilan Niaga diucap setelah adanya proses

pemeriksaan di Pengadilan Niaga. Putusan pailit berbeda dibanding putusan

lainnya, karena putusan pailit bersifat “serta merta”. Artinya, sita umum langsung

dilakukan terhadap kekayaan Debitor meskipun dilakukan upaya hukum terhadap

putusan pailit tersebut. Debitor pailit kehilangan hak nya untuk menguasai dan

mengurus kekayaannya ketika putusan pailit telah diucap, namun debitor pailit

tetap dapat melakukan perbuatan hukum selama perbuatan hukum itu tidak

berkaitan dengan harta dan kekayaannya. Secara otomatis, sita umum pun

dilakukan terhadap seluruh kekayaan Debitor Pailit yang pengurusan dan

pemberesannya dilakukan oleh Kurator dibawah pengawasan Hakim Pengawas.

2.2. Actio Pauliana

2.2.1. Pengertian Actio Pauliana


Dalam hukum perdata di Indonesia, dikenal dengan adanya gugatan actio pauliana.

Actio Pauliana mulanya berasal dari bahasa Romawi yang maksudnya menunjukan

pada tindakan atau usaha membatalkan tindakan dari debitor. Pada dasarnya actio

pauliana merupakan suatu hak yang diberikan oleh undang-undang kepada kreditor

untuk melakukan tuntutan yang berisikan pembatalan dari segala bentuk perjanjian

yang dilakukan oleh debitur dan dengan siapa debitor tersebut mengikatkan diri

dengan catatan bahwa dapat dibuktikan bahwa debitor dan pihak yang mengikatkan

diri kepada debitor pada saat melakukan perbuatan telah mengetahui bahwa tindakan

yang dilakukan dapat memberikan kerugian kepada kreditor. Tujuannya ialah untuk

memperbanyak harta pailit, agar para Kreditor memperoleh pembayaran secara

maksimal sesuai dengan jumlah piutang yang dimiliki oleh para Kreditor.5

Secara umum, actio pauliana di Indonesia diatur dalam Pasal 1341 Kitab Undang-

Undang Hukum Perdata, yang berbunyi: “Meskipun demikian, tiap kreditor boleh

mengajukan tidak berlakunya segala tindakan yang tidak diwajibkan yang dilakukan

oleh debitor, dengan nama apapun juga, yang merugikan kreditor, asal dibuktikan,

bahwa ketika tindakan tersebut dilakukan, debitor dan orang yang dengannya atau

untuknya debitor itu bertindak, mengetahui bahwa tindakan itu mengakibatkan

kerugian bagi para kreditor. Hak-hak yang diperoleh pihak ketiga dengan itikad baik

atas barang-barang yang menjadi obyek dari tindakan yang tidak sah, harus

dihormati. Untuk mengajukan batalnya tindakan yang dengan cuma-cuma dilakukan

debitur, cukuplah kreditur menunjukkan bahwa pada waktu melakukan tindakan itu

debitur mengetahui bahwa dengan cara demikian dia merugikan para kreditur, tak

peduli apakah orang yang diuntungkan juga mengetahui hal itu atau tidak.”

Ketentuan ini merupakan realisasi dari Pasal 1131 Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata yang menentukan bahwa segala kebendaan/kekayaan milik debitur, baik yang

5
Siti Anisah, Op. Cit, hlm. 273
bergerak maupun tidak bergerak, yang sudah ada maupun yang akan ada di kemudian

hari, menjadi tanggungan atau jaminan untuk segala perikatan seseorang. Melalui

actio pauliana ini, undang-undang membatasi debitur untuk bertindak atas kekayaan

yang dimilikinya dengan memberikan hak kepada kreditur untuk meminta pembatalan

terhadap tindakan debitur, jika tindakan debitur itu bermaksud merugikan kreditur.

Pada dasarnya hubungan hukum perdata terjadi karena adanya dua pihak mengikatkan

diri yang melahirkan hak di satu pihak dan kewajiban di pihak lain. Hak untuk

menuntut prestasi di satu pihak (kreditur) dan kewajiban untuk melakukan prestasi

(debitur), lahir dari adanya suatu hubungan hukum yang dikenal dengan perikatan.

Tuntutan prestasi dalam perikatan dapat dilakukan, baik akibat kerugian yang

diakibatkan adanya ingkar janji (wanprestasi), ataupun akibat timbulnya kerugian

karena perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad). Oleh karena itu hubungan

perdata dapat lahir karena disepakati bersama, ataupun karena undang-undang.

Sebagai pihak ketiga, kreditur hanya dapat melakukan pembatalan segala perbuatan

yang tidak diwajibkan yang dilakukan oleh debiturnya, yang merugikan kreditur atas

dasar perbuatan melawan hukum. Tuntutan pembatalan tersebut dapat diajukan

berdasarkan Pasal 1341 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Yang menarik ialah

terdapat ketentuan dalam Pasal 1340 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang

menyatakan bahwa perjanjian hanya berlaku dan mengikat bagi para pihak yang

membuatnya. Karena kedua pasal ini baik 1340 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

dan 1341 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata merupakan pasal yang saling

bertentangan, maka Pasal 1341 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata merupakan

pengecualian dari Pasal 1340 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata karena bisa saja

perjanjian yang dibuat antara masing-masing pihak merugikan pihak ketiga meskipun

pihak ketiga tidak ikut serta dalam perjanjian tersebut. Dengan actio pauliana, maka

pihak ketiga dapat menuntut pembatalan atas perbuatan yang dilakukan debitor yang
merugikan dirinya.

Pembatalan merupakan salah satu cara untuk menghapuskan perikatan. Menurut

Pasal 1381 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, harus didahului dengan tindakan

hukum untuk mengakhiri kekuatan mengikatnya perikatan. Tindakan hukum yang

harus dilakukan adalah tuntutan atau permohonan pembatalan oleh pihak yang merasa

mempunyai kepentingan untuk itu, baik karena adanya wanprestasi maupun karena

perbuatan melawan hukum. Pembatalan oleh pihak ketiga berkaitan dengan asas

pribadi yang terkandung dalam ketentuan Pasal 1315 Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata jo. Pasal 1340 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, bahwa perjanjian hanya

berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya. Pembatalan yang dapat diajukan oleh

kreditur terhadap perbuatan hukum yang dilakukan oleh debitur merupakan

pembatalan relatif. Artinya yang dapat mengajukan pembatalan hanyalah kreditur saja,

dan perjanjian yang diadakan tetap berlaku bagi pihak-pihak yang mengadakan

perjanjian tersebut, namun tidak mempunyai akibat hukum bagi kreditur.

Kemudian dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan

Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, dimuat lagi ketentuan actio pauliana secara

khusus yakni dalam Pasal 41-Pasal 49. Ketentuan actio pauliana didalam UUKPKPU

ini merupakan ketentuan khusus dibanding actio pauliana dalam Kitab Undang-

Undang Hukum Perdata. Dalam Pasal 41 ayat (1) UUKPKPU disebutkan bahwa:

“(1) Untuk kepentingan harta pailit, kepada Pengadilan dapat dimintakan pembatalan

segala perbuatan hukum Debitor yang telah dinyatakan pailit yang merugikan

kepentingan Kreditor, yang dilakukan sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan.”

Perbedaan antara actio pauliana dalam KUH Per dengan actio pauliana dalam UU

KPKPU terletak pada pemohon dan Pengadilannya. Dalam Pasal 1341 KUH Perdata

menyebutkan bahwa yang dapat mengajukan actio pauliana ialah Kreditor, yang

berbunyi: “Meskipun demikian, Kreditor boleh mengajukan tidak berlakunya segala


tindakan yang tidak diwajibkan yang dilakukan oleh Debitor, dengan nama apa pun

juga yang merugikan Kreditor; atau untuknya Debitor itu bertindak, mengetahui

bahwa tindakan itu mengakibatkan kerugian bagi para Kreditor.” Sedangkan actio

pauliana dalam UU KPKPU dapat diajukan oleh Kurator. Memang tidak disebut

secara eksplisit mengenai Kurator yang dapat mengajukan actio pauliana, namun jika

ditinjau lagi Pasal 41 ayat (1) UU KPKPU yang berbunyi: “Untuk kepentingan harta

pailit, kepada Pengadilan dapat dimintakan segala perbuatan hukum Debitor yang

telah dinyatakan pailit yang merugikan kepentingan Kreditor, yang dilakukan sebelum

pernyataan pailit diucapkan.” Terdapat frasa “untuk kepentingan harta pailit” disana,

yang mana menurut pendapat Fred B.G. Tumbuan terkait dengan kepentingan harta

pailit kewenangannya berada pada Kurator. Oleh karena itu, frasa tersebut dapat

diinterpretasikan sebagai Kurator yang bertindak selaku pemohon actio pauliana.

Selain itu, perbedaan antara actio pauliana dalam KUH Perdata dengan actio

pauliana dalam UU KPKPU juga terletak pada Pengadilannya. Actio pauliana dalam

KUH Perdata diajukan kepada Pengadilan Negeri biasa, sedangkan actio pauliana

dalam UU KPKPU diajukan kepada Pengadilan Niaga. Memang UU KPKPU tidak

menyebutkan secara eksplisit mengenai actio pauliana yang diajukan ke Pengadilan

Niaga, namun jika ditinjau lebih lanjut Pasal 41 ayat (1) UU KPKPU menyatakan

bahwa: “Untuk kepentingan harta pailit, kepada Pengadilan dapat dimintakan segala

perbuatan hukum Debitor yang telah dinyatakan pailit yang merugikan kepentingan

Kreditor, yang dilakukan sebelum pernyataan pailit diucapkan.” Terdapat redaksional

“Pengadilan” dengan huruf P kapital disana, yang dapat diinterpretasikan menjadi

Pengadilan Niaga, karena Pasal 1 angka 7 UU KPKPU menyatakan bahwa:

“Pengadilan adalah Pengadilan Niaga dalam lingkup peradilan umum.”

2.2.2. Syarat Pemberlakuan Actio Pauliana


Terdapat pendapat dari beberapa pakar terkait syarat pemberlakuan actio pauliana,

seperti pendapat Fred B.G. Tumbuan ataupun Kartini Muljadi. Fred B.G. Tumbuan

dalam Sutan Remy Sjahdeini6, mengatakan bahwa dalam Pasal 41 UU KPKPU

terdapat lima persyaratan yang harus dipenuhi agar actio pauliana itu berlaku, antara

lain:

a. Debitor telah melakukan suatu perbuatan hukum;


b. Perbuatan hukum tersebut tidak wajib dilakukan Debitor;
c. Perbuatan hukum dimaksud telah merugikan Kreditor;
d. Pada saat melakukan perbuatan hukum, Debitor mengetahui atau sepatutnya
mengetahui bahwa perbuatan hukum tersebut akan merugikan Kreditor; dan
e. Pada saat melakukan perbuatan hukum tersebut, pihak dengan siapa
perbuatan hukum tersebut dilakukan mengetahui itu sepatutnya mengetahui
bahwa perbuatan hukum tersebut akan mengakibatkan kerugian bagi
Kreditor.
Fred B.G. Tumbuan juga berpendapat bahwa tugas Kurator untuk membuktikan

telah terpenuhinya seluruh persyaratan tersebut.7

Selain Fred B.G. Tumbuan, Kartini Muljadi dalam M. Hadi Shubhan 8 mengatakan

terdapat empat syarat pemberlakuan actio pauliana dalam kepailitan, diantaranya:

a. Debitor harus telah melakukan suatu Rechtshandeling atau perbuatan


hukum sebelum pernyataan pailit diucapkan.
b. Pada saat perbuatan hukum dilakukan, Debitor mengetahui atau sepatutnya
mengetahui bahwa perbuatan hukum tersebut akan mengakibatkan kerugian
bagi Kreditor.
c. Pada saat perbuatan dilakukan pihak dengan siapa perbuatan hukum itu
dilakukan mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa perbuatan hukum
tersebut akan mengakibatkan kerugian bagi Kreditor.
d. Debitor melakukan perbuatan hukum itu, walaupun tidak ada kewajiban
Debitor untuk melakukannya (overplicht)
Yang sulit dari keempat persyaratan tersebut adalah pembuktian bahwa ketika

6
Jono, Op. Cit, hlm. 13.
7
Ibid
8
M. Hadi Shubhan, Op. Cit,, hlm. 178.
perbuatan hukum tersebut dilakukan Debitor mengetahui atau sepatutnya mengetahui

bahwa perbuatan hukum tersebut akan merugikan Kreditor. Disinilah peran Kurator

sangat dibutuhkan untuk membuktikan adanya kerugian yang dialami Kreditor

sehubungan perbuatan hukum yang dilakukan oleh Debitor. Apalagi dalam perikatan

bertimbal balik, perbuatan hukum yang merugikan Kreditor tersebut haruslah

diketahui oleh Debitor yang melakukan perbuatan merugikan tersebut. Sedangkan

terhadap tindakan atau perbuatan hukum sepihak yang tidak disertai dengan kontra

prestasi oleh pihak ketiga, maka Kurator tidak perlu membuktikan bahwa pihak ketiga

tersebut dengan penerimaan kebendaan yang dialihkan oleh Debitor, mengetahui

bahwa tindakan penerimaan tersebut telah merugikan kepentingan Kreditor.9

A. Pengertian Umum Tentang Keadaan Diam Otomatis/Automatic Stay

9
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Op. Cit, hlm. 43.
Hukum kepailitan Indonesia sejak zaman kolonialisme Belanda hingga kini

memang belum pernah memberlakukan Keadaan Diam Otomatis/Automatic Stay. Oleh

karenanya pengertian secara definitif tentang Keadaan Diam Otomatis/Automatic Stay

belum ada dalam literatur manapun di Indonesia. Namun jika dikaji secara global, Keadaan

Diam Otomatis/Automatic Stay sudah diberlakukan dalam regulasi kepailitan di beberapa

negara maju, semisal Amerika Serikat, Kanada dan Belanda.

Di Amerika Serikat, automatic stay diatur berdasarkan US Bankrupcty Act, Chapter

11 Section 362. Automatic Stay merupakan istilah yang digunakan dalam US Bankrupcty

Act. Dalam Duhaime’s Law Dictionary dijelaskan bahwa: “In the United States Code, at

Title 11 (Bankrupcty) an automatic stay is defined a 362 as a statutory injunction against

all efforts outside of the bankrupcty proceedings to collect a debt against the bankrupt”.

Dalam Investopedia juga menjelaskan bahwa: “An automatic stay is a provision in United

States bankruptcy law that temporarily prevents creditors, collections agencies,

government entities, and individuals from pursuing debtors for amounts owed.”

"Automatic Stay" di Amerika Serikat mulai berlaku terhitung sejak debitur

mengajukan permohonan pailit. Ketika automatic stay berlangsung, maka debitor

terlindungi dari jangkauan kreditor sehingga diwaktu yang bersamaan diharapkan debitur

lebih fokus untuk mengatur kembali utangnya dan urusan keuangan internalnya. Ketika

automatic stay berlaku, kreditor dilarang melakukan tindakan tertentu terhadap debitur

sehubungan dengan utang yang timbul sebelum permohonan pailit diajukan. Yang paling

penting ialah automatic stay mencegah kreditor untuk menagih piutangnya kepada debitor

dan menyita aset debitur. Dalam voluntary bankrupcty sebagaimana diatur dalam Chapter

7 dari US Bankrupcty Code, Trustee (Kurator menurut UU KPKPU) memerlukan waktu

untuk dapat mengidentifikasi untuk mengumpulkan property of the estate (harta pailit),

yang akan dibagikan secara prorata kepada para kreditor konkuren. Dalam kasus voluntary

reorganization (semacam) 5

Anda mungkin juga menyukai