UNIVERSITAS
PANCASILA
PROPOSAL SKRIPSI
UTANG)
Disusun Oleh:
NPM 3016210290
1
JAKARTA
2020
2
BAB I
PENDAHULUA
A. Latar Belakang
transaksi ekonomi terjadi semata-mata untuk mendapatkan profit. Utang piutang pun
menjadi hal yang lumrah berapapun nilai transaksinya. Adanya payung hukum yang
mengakomodiir Kreditor dan Debitor seandainya terjadi sengketa yang timbul dalam
utang piutang membuat mereka mendapat kepastian hukum dalam sengketa tersebut,
salah satunya yakni Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan
landasan yuridis penyelesaian sengketa utang piutang yang adil, cepat dan efisien.
“Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan Debitor Pailit yang pengurusan
yang ternyata tidak melunasi utang pada waktunya karena suatu alasan tertentu,
berakibat harta kekayaan Debitor, baik yang bergerak maupun tidak bergerak, baik
yang telah ada maupun yang akan ada di kemudian hari, yang menjadi agunan atas
1
Pasal 1 angka 1 UU KPKPU
2
Pasal 1 angka 2 UU KPKPU.
utangnya dapat dijual untuk menjadi sumber pelunasan utang-utangnya.3 Harta
kekayaan Debitor yang menjadi agunan tersebut tidak hanya digunakan untuk
membayar utangnya, tetapi juga menjadi agunan bagi semua kewajiban lain yang
undang-undang Hal ini diatur dalam Pasal 1131 KUHPerdata. Unsur-unsur kepailitan
diantaranya:
1. Adanya utang
4. Adanya Kreditor.
5. Adanya Debitor.4
mengaturnya. Di Indonesia, peraturan terkait hukum kepailitan telah ada sejak zaman
Van Koophandel atau biasa disebut Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD)
KUHD, Bab III dengan titel Van de Voorzieningen in Geval van Onvormogen van
mengaturnya dalam Buku Ketiga Bab Ketujuh dengan titel Van den Staat Von
3
Pasal 1131 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
4
Kelik Pramudya, Hukum Kepailitan
3
Aturan seputar kepailitan dalam KUHD dan RV kemudian diganti dengan
1905 dan Staatsblaad No. 348 Tahun 1906. Masa keberlakukan Failistment
Verordenning pun berlangsung cukup lama, sejak tahun 1905 hingga 1998.
krisis moneter (krismon) yang melanda Indonesia. Krisis moneter yang begitu
pailit. Menyikapi kondisi ini, Pemerintah Indonesia yang berkuasa saat itu, era
Tahun 1998 sebenarnya tidak jauh berbeda dengan UU Kepailitan warisan Belanda,
Tahun 1998 yang secara signifikan mengubah konsep pengaturan seputar kepailitan
antara lain batas waktu penyelesaian perkara kepailitan, kurator swasta, dan tentunya
berlaku sebelumnya khususnya yang berkaitan dengan waktu dan sistem pembuktian.
PERPU Nomor 1 Tahun 1998, UU Kepailitan dan PKPU memiliki cakupan yang
lebih luas sebagai respon atas perkembangan hukum kepailitan di Indonesia. Selain
itu, UU KPKPU juga memberikan batasan yang tegas terkait pengertian “utang” dan
semisal adanya perebutan harta debitur jika dalam waktu yang bersamaan terdapat
beberapa kreditur yang menagih piutangnya kepada debitur. Lalu, kreditur selaku
pemegang hak jaminan kebendaan yang menuntut haknya dengan cara menjual
barang milik debitur tanpa memperhatikan kepentingan debitur atau para kreditur
lainnya, dan lain sebagainya. Setelah melalui proses sejarah yang cukup panjang,
hukum kepailitan Indonesia akan kembali mengalami perubahan. Saat ini, revisi UU
Naskah akademik yang dibuat pada tahun 2018 tersebut memuat salah satu
Stay. Dalam halaman 2 naskah akademik tersebut tertulis bahwa: “Setelah lebih dari
dari Keadaan Diam Otomatis/Automatic Stay. Namun jika ditinjau dari rancangan
konsep penerapannya hal tersebut berkaitan dengan larangan bagi Debitur untuk
melakukan peralihan hartanya seperti dalam bentuk jual beli, hibah, transfer, dan-
lain-lain sejak permohonan pailit didaftarkan. Keadaan diam otomatis ini demi
hukum akan berlaku sesaat setelah adanya pendaftaran permohonan pailit tanpa
pernyataan pailit yang diperiksa oleh pengadilan niaga dikabulkan, sehingga debitor
dinyatakan pailit, maka “keadaan diam otomatis” demi hukum berubah menjadi “sita
dalam harta pailit, sejak putusan pernyataan pailit diucapkan. Melalui pernyataan
pailit yang diputuskan oleh Hakim Pengadilan Niaga, maka demi hukum seluruh
harta kekayaan Debitor dilakukan sita (beslag) dan penguasaannya dilakukan oleh
Kurator dengan diawasi oleh Hakim Pengawas. Dalam naskah akademik tersebut
disebutkan bahwa dalam prakteknya norma yang dinyatakan Pasal 24 ayat (1)
tersebut menimbulkan masalah, yaitu justru memberikan ruang bagi Debitor untuk
sebelum Debitor dinyatakan pailit dan mengetahui bahwa dirinya akan mengalami
umum. Selain itu, bagi kreditor yang mengetahui bahwa Debitornya dimohonkan
kekayaannya selama proses permohonan pernyataan pailit tersebut. Karena itu, tidak
diatur dalam Pasal 1341 KUH Perdata yang berbunyi sebagai berikut: “Meskipun
demikian, kreditur boleh mengajukan tidak berlakunya segala tindakan yang tidak
diwajibkan yang dilakukan oleh debitur, dengan nama apa pun juga yang merugikan
kreditur; asal dibuktikan bahwa ketika tindakan tersebut dilakukan, debitur dan
orang yang dengannya atau untuknya debitur itu bertindak, mengetahui bahwa
tindakan itu mengakibatkan kerugian bagi para kreditur. Hak-hak yang diperoleh
pihak ketiga dengan itikad baik atas barang-barang yang menjadi obyek dan
tindakan yang tidak sah, harus dihormati. Untuk mengajukan batalnya tindakan
pada waktu melakukan tindakan itu debitur mengetahui bahwa dengan cara
demikian dia merugikan para kreditur, tak peduli apakah orang yang diuntungkan
Dalam pasal tersebut juga terkandung adanya suatu asas itikad baik yang
menjadi landasan apakah perbuatan tersebut diwajibkan atau tidak. Jadi walaupun
barang-barang atau aset-aset yang dimiliki oleh debitur sudah dikuasai oleh pihak
5
Pasal 1341 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
ketiga, maka aset-aset tersebut dapat diminta kembali dengan action pauliana dan
untuk pihak ketiga yang terlanjur melakukan transaksi dengan debitor yang akan
dinyatakan pailit, akan diberikan pengembalian terhadap harga yang telah dibayarnya
oleh Kurator. Dan hak-hak yang diperoleh oleh pihak ketiga secara itikad baik
perbuatan yang dilakukan oleh Debitor dengan pihak ketiga tersebut tidak dapat
dibatalkan karena dalam action pauliana yang menjadi kunci pokok dikabulkan
tindakannya tersebut merugikan para Kreditornya tanpa peduli apakah orang yang
menerima keuntungan itu juga mengetahuinya atau tidak bahwa perbuatan Debitor
tersebut merugikan para Kreditornya. Jadi tidak perlu harus diajukannya suatu
tuntutan atau gugatan terhadap tindakan Debitor karena pada asasnya bahwa
berbunyi: “(1) Untuk kepentingan harta pailit, kepada Pengadilan dapat dimintakan
pembatalan segala perbuatan hukum Debitor yang telah dinyatakan pailit yang
diucapkan.
(2) Pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan
apabila dapat dibuktikan bahwa pada saat perbuatan hukum dilakukan, Debitor dan
(3) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah
mengarah pada tindakan untuk mengalihkan aset-asetnya maka Kurator wajib untuk
membuktikan adanya kerugian pada pihak Kreditor akibat dari pembuatan perjanjian
atau dilaksanakannya perbuatan hukum tersebut. Selain itu Kurator tersebut harus
membuktikan bahwa perbuatan hukum timbal balik yang dilakukan oleh Debitor
tersebut dalam upaya untuk merugikan Kreditor. Disamping itu juga memungkinkan
adanya suatu pembuktian terbalik, apabila saat dilakukannya perbuatan tertentu yang
merugikan harta pailit tersebut pihak Debitor dan pihak siapapun dengan siapa
tindakan itu dilakukan (kecuali hibah) telah mengetahui atau patut mengetahui
Yaitu dapat dibuktikan bahwa pihak Kreditor dan pihak siapapun dengan siapa
tindakan itu dilakukan (kecuali hibah) tidak dalam keadaan mengetahui atau patut
action pauliana sebetulnya memiliki korelasi. Oleh karena itu salah satu fokus dalam
Otomatis/Automatic Stay dengan gugatan action pauliana. Dari hasil analisa tersebut
6
Pengantar Hukum Kepailitan Indonesia, Dr. H. Nudirman Munir S.H., M.H., Hal. 42
Dalam naskah akademik revisi UU KPKPU juga menjabarkan jangkauan,
arah pengaturan dan ruang lingkup materi muatan undang-undang berkaitan dengan
Keadaan Diam Otomatis/Automatic Stay. Dalam halaman 200 dan 201 naskah
a. Keadaan diam otomatis ini berlaku secara otomatis demi hukum (by law).
adanya ketentuan keadaan diam otomatis dalam hal permohonan dilakukan, serta
transaksi pada bursa efek, netting dalam transaksi derivatif, dan transfer yang
d. Dalam keadaan diam otomatis ini, debitor tetap dapat mengurus hartanya namun
pemegang jaminan. Keadaan diam otomatis akan berlaku sampai adanya hal-hal,
seperti:
(a) perkara pailit dihentikan sebelum putusan pernyataan pailit; atau
(b) perkara pailit telah dicabut. Untuk huruf (a) dimaksud dilakukan oleh pemohon
e. Seluruh pengalihan yang tidak sesuai dengan ketentuan ini adalah bertentangan
f. Keadaan diam otomatis ini dapat dimohonkan untuk diangkat dengan adanya
h. Keadaan diam otomatis ini akan berlaku sampai adanya penetapan Hakim
otomatis.”
terlebih dahulu dilakukan penelusuran lebih lanjut apakah ekuitas dari Debitor lebih
tinggi/rendah daripada liabilitasnya. Karena jika terbukti ekuitas Debitor lebih tinggi
ekuitas Debitor, maka tentu saja itu dapat menciderai hak-hak Debitor atas asetnya
ekuitasnya lebih besar dari liabilitasnya ingin melakukan transaksi atas asetnya
Otomatis/Automatic Stay maka hal tersebut membuat Debitor tidak dapat melakukan
transaksi atas asetnya. Oleh karena itu diperlukan suatu sistem yang mengakomoodir
pengujian lebih lanjut terhadap aset, ekuitas dan liabilitas Debitor sebelum
menetapkan status Debitor apakah solven atau insolven. Insolvency Test ini
Insolvency Test ini pada masanya. Jika dikaitkan dengan Keadaan Diam
dicanangkan dalam program legislasi DPR melalui Naskah Akademik RUU tentang
efektif dan efisien demi kepentingan seluruh pihak yang bersangkutan. Hal itu
membuat Penulis ingin meneliti lebih lanjut terkait pemberlakuan Keadaan Diam
Utang)”
B. Pokok Permasalahan
membatasi ruang lingkup yang berkaitan dengan judul penulisan hukum, yang akan
dan kreditor?
C. Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan dari penulisan hukum ini adalah sebagai
berikut:
1. Menjelaskan urgensi Automatic Stay/Keadaan Diam Otomatis sebagai
dan kreditor.
D. Tinjauan Pustaka
Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan Debitor Pailit yang
seorang atau lebih Kreditor, Kejaksaan atas kepentingan umum, Bank Indonesia
dalam hal Debitor merupakan lembaga bank, Badan Pengawas Pasar Modal dalam
sudah jatuh tempo dan dapat ditagih, adanya Kreditor (lebih dari satu Kreditor),
Niaga.8
7
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang
8
Ibid, Hukum Kepailitan.
9
Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang
Debitor adalah orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau undang-
Debitor pailit adalah debitor yang sudah dinyatakan pailit dengan putusan
Pengadilan.11
Sita umum adalah suatu sita yang bukan untuk kepentingan seorang atau
beberapa pihak kreditur, melainkan untuk semua kreditur atau dengan kata lain untuk
perorangan.13
Demi hukum merupakan frasa yang secara harfiah ditujukan agar tercapainya
E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
2. Pendekatan Penelitian
10
Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang
11
Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang
12
Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang
13
Yurisprudensi Mahkamah Agung
14
Ibid.
dengan permasalahan yang menjadi objek penulisan ini seperti
3. Objek Penelitian
dibedakan menjadi:
F. Sistematika Penulisan
BAB I PENDAHULUAN
INDONESIA
BAB V PENUTUP
BAB II
2.1. Kepailitan
Secara definitif, pailit dapat diartikan sebagai suatu keadaan dimana seorang
Debitor tidak membayar utang-utangnya yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih. 1
Jika dikaji secara historis, hukum tentang kepailitan sudah ada zejak zaman Romawi.
Frasa “bangkrut” yang dalam bahasa Inggris disebut bankrupt awal mulanya berasal
dari peraturan di Italia yang disebut dengan banca rupta.2 Pasal 1 angka 1 UU KPKPU
memberikan definisi kepailitan yakni: “Kepailitan adalah sita umum atas semua
kekayaan Debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator
di bawah pengawasan Hakim Pengawas.” Dalam pasal ini disebutkan “sita umum atas
semua kekayaan Debitor pailit” hal ini menunjukkan bahwa kepailitan semata-mata
dari Pasal 1131 KUH Perdata dan Pasal 1132 KUH Perdata. Jerry Hof dalam Poppy
Indrayati pernah menyebutkan bahwa Prinsip umum UU KPKPU adalah apa yang
disebut prioritas creditorium yang berarti bahwa semua Kreditor mempunyai hak yang
sama terhadap pembayaran dan bahwa hasil penjualan harta pailit harus didistribusikan
1
Zaeny Asyhadie, 2005, Hukum Bisnis Proses dan Pelaksanaannya di Indonesia, Jakarta,
Raja Grafindo Persada, hlm. 225.
2
Jono, 2010, Hukum Kepailitan, Jakarta, Sinar Grafika, hlm. 1.
secara proporsional terhadap besar kecilnya klaim mereka. Dalam Pasal 1132 KUH
Perdata ditentukan bahwa setiap pihak atau kreditor yang berhak atas pemenuhan
perikatan, haruslah mendapatkan pemenuhan perikatan dari harta kekayaan pihak yang
1. Pari passu, yaitu secara bersama-sama memperoleh pelunasan, tanpa ada yang
didahulukan; dan
2. Pro rata atau proporsional, yang dihitung berdasarkan pada besarnya piutang
Hal ini dapat disimpulkan bahwa pada intinya kepailitan merupakan implementasi
lebih lanjut dari prinsip paritas creditorium dan prinsip pari passu prorate parte
menentukan syarat terhadap suatu kepailitan yang tertera didalam Pasal 2 ayat (1) UU
KPKPU, yang berbunyi: “Debitor yang mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak
membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih,
dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonan satu atau lebih
Kreditornya.” Jika dijabarkan secara unsur demi unsur maka syarat dari kepailitan
1. Adanya utang
definisi mengenai “utang” seperti Sutan Remy Sjahdeini atau Kartini dan
3
Jono, Op. Cit, hlm. 19
dari “utang” sehingga dalam Pasal 1 angka 6 UU KPKPU memberikan
dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang, baik dalam mata uang
Indonesia maupun mata uang Asing, baik secara langsung maupun yang akan
timbul di kemudian hari atau kontinjen, yang timbul karena perjanjian atau
Undang-undang dan yang wajib dipenuhi oleh Debitor dan bila tidak dipenuhi
kekayaan Debitor.”
Dari definisi utang yang diberikan UU KPKPU, perlu diketahui bersama bahwa
utang harus ditafsirkan secara luas, tidak hanya meliputi utang yang timbul dari
perjanjian utang-piutang atau pinjam meminjam tetapi juga utang yang timbul
uang.4
Apabila utang tersebut telah jatuh tempo maka Kreditor memiliki hak untuk
menuntut prestasinya kepada Debitor. Selain itu, utang yang timbul juga harus
lahir dari perikatan sempurna (mengandung schuld dan haftung). Apabila utang
lahir dari perikatan alamiah (mengandung schuld tanpa adanya haftung) maka
tidak dapat diajukan untuk dimohonkan pernyataan pailit, semisal utang yang
3. Adanya Debitor
“Debitor adalah orang yang mepunyai utang karena perjanjian atau undang-
4
Jono, Op. Cit, hlm. 11
Lebih lanjut, UU KPKPU menyebutkan terkait siapa saja yang dapat
UU KPKPU)
(5) UU KPKPU)
Manusia
Kreditor, hal tersebut dapat dilihat pada Pasal 1 angka 2 UU KPKPU yang
korporasi yang berbentuk badan hukum maupun yang bukan badan hukum
dalam likuidasi.”
jenis kreditor berasal dari Pasal 1131-Pasal 1135 KUH Perdata. Berdasarkan
terdiri dari Kreditor Preferem Khusus (diatur dalam Pasal 1139 KUH
Perdata) dan Kreditor Preferen Umum (diatur dalam Pasal 1149 KUH
Perdata)
Separatis dan Kreditor Preferen (Pasal 1131 jo. Pasal 1132 KUH
Perdata)
Kreditor
Pasal 55 ayat (1) dan ayat (2) ditegaskan bahwasanya seluruh tugas,
fungsi dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa
sidang pemeriksaan.
lainnya, karena putusan pailit bersifat “serta merta”. Artinya, sita umum langsung
putusan pailit tersebut. Debitor pailit kehilangan hak nya untuk menguasai dan
mengurus kekayaannya ketika putusan pailit telah diucap, namun debitor pailit
tetap dapat melakukan perbuatan hukum selama perbuatan hukum itu tidak
berkaitan dengan harta dan kekayaannya. Secara otomatis, sita umum pun
Actio Pauliana mulanya berasal dari bahasa Romawi yang maksudnya menunjukan
pada tindakan atau usaha membatalkan tindakan dari debitor. Pada dasarnya actio
pauliana merupakan suatu hak yang diberikan oleh undang-undang kepada kreditor
untuk melakukan tuntutan yang berisikan pembatalan dari segala bentuk perjanjian
yang dilakukan oleh debitur dan dengan siapa debitor tersebut mengikatkan diri
dengan catatan bahwa dapat dibuktikan bahwa debitor dan pihak yang mengikatkan
diri kepada debitor pada saat melakukan perbuatan telah mengetahui bahwa tindakan
yang dilakukan dapat memberikan kerugian kepada kreditor. Tujuannya ialah untuk
maksimal sesuai dengan jumlah piutang yang dimiliki oleh para Kreditor.5
Secara umum, actio pauliana di Indonesia diatur dalam Pasal 1341 Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata, yang berbunyi: “Meskipun demikian, tiap kreditor boleh
mengajukan tidak berlakunya segala tindakan yang tidak diwajibkan yang dilakukan
oleh debitor, dengan nama apapun juga, yang merugikan kreditor, asal dibuktikan,
bahwa ketika tindakan tersebut dilakukan, debitor dan orang yang dengannya atau
kerugian bagi para kreditor. Hak-hak yang diperoleh pihak ketiga dengan itikad baik
atas barang-barang yang menjadi obyek dari tindakan yang tidak sah, harus
debitur, cukuplah kreditur menunjukkan bahwa pada waktu melakukan tindakan itu
debitur mengetahui bahwa dengan cara demikian dia merugikan para kreditur, tak
peduli apakah orang yang diuntungkan juga mengetahui hal itu atau tidak.”
Ketentuan ini merupakan realisasi dari Pasal 1131 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata yang menentukan bahwa segala kebendaan/kekayaan milik debitur, baik yang
5
Siti Anisah, Op. Cit, hlm. 273
bergerak maupun tidak bergerak, yang sudah ada maupun yang akan ada di kemudian
hari, menjadi tanggungan atau jaminan untuk segala perikatan seseorang. Melalui
actio pauliana ini, undang-undang membatasi debitur untuk bertindak atas kekayaan
yang dimilikinya dengan memberikan hak kepada kreditur untuk meminta pembatalan
terhadap tindakan debitur, jika tindakan debitur itu bermaksud merugikan kreditur.
Pada dasarnya hubungan hukum perdata terjadi karena adanya dua pihak mengikatkan
diri yang melahirkan hak di satu pihak dan kewajiban di pihak lain. Hak untuk
menuntut prestasi di satu pihak (kreditur) dan kewajiban untuk melakukan prestasi
(debitur), lahir dari adanya suatu hubungan hukum yang dikenal dengan perikatan.
Tuntutan prestasi dalam perikatan dapat dilakukan, baik akibat kerugian yang
karena perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad). Oleh karena itu hubungan
Sebagai pihak ketiga, kreditur hanya dapat melakukan pembatalan segala perbuatan
yang tidak diwajibkan yang dilakukan oleh debiturnya, yang merugikan kreditur atas
berdasarkan Pasal 1341 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Yang menarik ialah
terdapat ketentuan dalam Pasal 1340 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang
menyatakan bahwa perjanjian hanya berlaku dan mengikat bagi para pihak yang
membuatnya. Karena kedua pasal ini baik 1340 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
dan 1341 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata merupakan pasal yang saling
pengecualian dari Pasal 1340 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata karena bisa saja
perjanjian yang dibuat antara masing-masing pihak merugikan pihak ketiga meskipun
pihak ketiga tidak ikut serta dalam perjanjian tersebut. Dengan actio pauliana, maka
pihak ketiga dapat menuntut pembatalan atas perbuatan yang dilakukan debitor yang
merugikan dirinya.
Pasal 1381 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, harus didahului dengan tindakan
harus dilakukan adalah tuntutan atau permohonan pembatalan oleh pihak yang merasa
mempunyai kepentingan untuk itu, baik karena adanya wanprestasi maupun karena
perbuatan melawan hukum. Pembatalan oleh pihak ketiga berkaitan dengan asas
pribadi yang terkandung dalam ketentuan Pasal 1315 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata jo. Pasal 1340 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, bahwa perjanjian hanya
berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya. Pembatalan yang dapat diajukan oleh
pembatalan relatif. Artinya yang dapat mengajukan pembatalan hanyalah kreditur saja,
dan perjanjian yang diadakan tetap berlaku bagi pihak-pihak yang mengadakan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, dimuat lagi ketentuan actio pauliana secara
khusus yakni dalam Pasal 41-Pasal 49. Ketentuan actio pauliana didalam UUKPKPU
ini merupakan ketentuan khusus dibanding actio pauliana dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata. Dalam Pasal 41 ayat (1) UUKPKPU disebutkan bahwa:
“(1) Untuk kepentingan harta pailit, kepada Pengadilan dapat dimintakan pembatalan
segala perbuatan hukum Debitor yang telah dinyatakan pailit yang merugikan
Perbedaan antara actio pauliana dalam KUH Per dengan actio pauliana dalam UU
KPKPU terletak pada pemohon dan Pengadilannya. Dalam Pasal 1341 KUH Perdata
menyebutkan bahwa yang dapat mengajukan actio pauliana ialah Kreditor, yang
juga yang merugikan Kreditor; atau untuknya Debitor itu bertindak, mengetahui
bahwa tindakan itu mengakibatkan kerugian bagi para Kreditor.” Sedangkan actio
pauliana dalam UU KPKPU dapat diajukan oleh Kurator. Memang tidak disebut
secara eksplisit mengenai Kurator yang dapat mengajukan actio pauliana, namun jika
ditinjau lagi Pasal 41 ayat (1) UU KPKPU yang berbunyi: “Untuk kepentingan harta
pailit, kepada Pengadilan dapat dimintakan segala perbuatan hukum Debitor yang
telah dinyatakan pailit yang merugikan kepentingan Kreditor, yang dilakukan sebelum
pernyataan pailit diucapkan.” Terdapat frasa “untuk kepentingan harta pailit” disana,
yang mana menurut pendapat Fred B.G. Tumbuan terkait dengan kepentingan harta
pailit kewenangannya berada pada Kurator. Oleh karena itu, frasa tersebut dapat
Selain itu, perbedaan antara actio pauliana dalam KUH Perdata dengan actio
pauliana dalam UU KPKPU juga terletak pada Pengadilannya. Actio pauliana dalam
KUH Perdata diajukan kepada Pengadilan Negeri biasa, sedangkan actio pauliana
Niaga, namun jika ditinjau lebih lanjut Pasal 41 ayat (1) UU KPKPU menyatakan
bahwa: “Untuk kepentingan harta pailit, kepada Pengadilan dapat dimintakan segala
perbuatan hukum Debitor yang telah dinyatakan pailit yang merugikan kepentingan
seperti pendapat Fred B.G. Tumbuan ataupun Kartini Muljadi. Fred B.G. Tumbuan
terdapat lima persyaratan yang harus dipenuhi agar actio pauliana itu berlaku, antara
lain:
Selain Fred B.G. Tumbuan, Kartini Muljadi dalam M. Hadi Shubhan 8 mengatakan
6
Jono, Op. Cit, hlm. 13.
7
Ibid
8
M. Hadi Shubhan, Op. Cit,, hlm. 178.
perbuatan hukum tersebut dilakukan Debitor mengetahui atau sepatutnya mengetahui
bahwa perbuatan hukum tersebut akan merugikan Kreditor. Disinilah peran Kurator
sehubungan perbuatan hukum yang dilakukan oleh Debitor. Apalagi dalam perikatan
terhadap tindakan atau perbuatan hukum sepihak yang tidak disertai dengan kontra
prestasi oleh pihak ketiga, maka Kurator tidak perlu membuktikan bahwa pihak ketiga
9
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Op. Cit, hlm. 43.
Hukum kepailitan Indonesia sejak zaman kolonialisme Belanda hingga kini
belum ada dalam literatur manapun di Indonesia. Namun jika dikaji secara global, Keadaan
11 Section 362. Automatic Stay merupakan istilah yang digunakan dalam US Bankrupcty
Act. Dalam Duhaime’s Law Dictionary dijelaskan bahwa: “In the United States Code, at
all efforts outside of the bankrupcty proceedings to collect a debt against the bankrupt”.
Dalam Investopedia juga menjelaskan bahwa: “An automatic stay is a provision in United
government entities, and individuals from pursuing debtors for amounts owed.”
terlindungi dari jangkauan kreditor sehingga diwaktu yang bersamaan diharapkan debitur
lebih fokus untuk mengatur kembali utangnya dan urusan keuangan internalnya. Ketika
automatic stay berlaku, kreditor dilarang melakukan tindakan tertentu terhadap debitur
sehubungan dengan utang yang timbul sebelum permohonan pailit diajukan. Yang paling
penting ialah automatic stay mencegah kreditor untuk menagih piutangnya kepada debitor
dan menyita aset debitur. Dalam voluntary bankrupcty sebagaimana diatur dalam Chapter
untuk dapat mengidentifikasi untuk mengumpulkan property of the estate (harta pailit),
yang akan dibagikan secara prorata kepada para kreditor konkuren. Dalam kasus voluntary
reorganization (semacam) 5