Komunitas di Indonesia
Abstract
Eksplorasi Pengetahuan Lokal Etnomedisin dan Tumbuhan Obat Berbasis Komunitas di Indonesia, yang
selanjutnya disebut Riset Tumbuhan Obat dan Jamu (RISTOJA), merupakan riset pemetaan pengetahuan
tradisional dalam pemanfaatan tumbuhan obat berbasis komunitas yang dilaksanakan oleh Badan Litbang
Kesehatan. Riset ini dilaksanakan untuk menjawab kebutuhan informasi terkait data tumbuhan obat dan ramuan
tradisional yang digunakan oleh setiap etnis di Indonesia. RISTOJA bertujuan mendapatkan basis data
pengetahuan etnofarmakologi, ramuan obat tradisional (OT) dan tumbuhan obat (TO) di Indonesia. Data yang
dikumpulkan meliputi: karakteristik informan, gejala dan jenis penyakit, jenis-jenis tumbuhan, kegunaan
tumbuhan dalam pengobatan, bagian tumbuhan yang digunakan, ramuan, cara penyiapan dan cara pakai untuk
pengobatan, kearifan lokal dalam pengelolaan dan pemanfaatan TO dan data lingkungan. RISTOJA 2017
dilaksanakan di 65 kabupaten (11 provinsi) mencakup 100 etnis, bekerja sama dengan dinas kesehatan provinsi
di masing-masing wilayah. Penyehat tradisional (hattra) yang menjadi informan berjumlah 505 hattra, merupakan
etnis asli di masing-masing tempat pengumpulan data. Penentuan informan dengan menggunakan metode
purposive sampling berdasarkan informasi dari tokoh masyarakat adat, kepala desa, puskesmas, atau dinas
kesehatan kabupaten setempat. Jumlah penyehat tradisional sebagai informan untuk masing-masing etnis
sebanyak 5 orang. Pengumpulan data dilakukan dengan metode wawancara, observasi, dan dokumentasi.
Setiap tim beranggotakan 4 orang yang terdiri dari kelompok botanis (biologi, pertanian, kehutanan), kelompok
antropolog (antropologi, sosiologi), dan kesehatan (dokter, apoteker, kesehatan masyarakat, perawat).
Wawancara dilakukan dengan teknik terstruktur dan bebas untuk mendapatkan informasi selengkap mungkin.
Observasi/pengamatan langsung terhadap kegiatan-kegiatan informan meliputi aktivitas dalam melakukan
pengobatan dan penyiapan ramuan dan pengamatan di lokasi pengambilan tumbuhan obat sebagai bahan
pembuatan ramuan. Pendokumentasian dalam bentuk catatan, foto, audio, dan video (jika memungkinkan) atas
semua kegiatan informan dalam melakukan pengobatan termasuk keadaan tumbuhan obat di lapangan untuk
membantu identifikasi jenis tumbuhan yang digunakan. Karakteristik penyehat tradisional Hattra yang berusia
diatas 61 tahun sejumlah 38%, apabila tidak ada regenerasi dikhawatirkan pengetahuan pengobatan tradisional
yang dimiliki oleh hattra tersebut akan vi hilang. Kekhawatiran ini juga diperkuat dengan jumlah hattra yang
mempunyai murid hanya 47%, sedangkan yang tidak mempunyai murid atau tidak ada penerus untuk
melestarikan pengetahuannya berjumlah 53%. Hal ini menunjukkan bahwa regenerasi hattra tidak berjalan
dengan baik mengingat tidak semua murid hattra tersebut melakukan praktek mandiri. Sebanyak 14% informan
mengaku berprofesi utama sebagai hattra, 60% adalah petani/nelayan, sedangkan 26% berprofesi lain.
Sebagian besar hattra berpendapat bahwa mengobati orang merupakan kegiatan sosial untuk menolong
sesama. Tingkat pendidikan 35% hattra tidak sekolah atau tidak tamat SD. Hal ini berarti mereka lebih banyak
memperoleh pengetahuan pengobatan secara informal. Dengan demikian kemungkinan besar keaslian
pengetahuan pengobatan mereka tetap terjaga dari pengaruh luar. Sumber pengetahuan pengobatan tradisional
sebagian besar diperoleh secara turun temurun (empiris) dari orang tua atau keluarganya (430 hattra). Hal
tersebut terjadi karena seorang hattra cenderung mewariskan pengetahuan kepada anak keturunannya yang
diyakini mampu meneruskan dan mengemban tanggung jawab sebagai hattra. Sebanyak 63% hattra memiliki
jumlah pasien rata-rata kurang dari 10 pasien/bulan. Namun demikian terdapat seorang hattra di Etnis Ledo
melayani 600 pasien/bulan dan seorang hattra di Etnis Alor melayani 900 pasien/bulan. Berdasarkan cara
pengobatan yang dilakukan hattra terdapat 42% yang murni menggunakan ramuan (hattra ramuan), sedangkan
58% lainnya menggunakan kombinasi dengan cara pengobatan tradisional lain. Pijat menempati peringkat
pertama sebagai kombinasi dalam pengobatan diikuti oleh metode supranatural dan spiritual. Dengan demikian
pengobatan tradisional Indonesia merupakan pengobatan yang memadukan berbagai cara pengobatan (holistik)
untuk dapat memperoleh hasil pengobatan sesuai dengan yang diharapkan. Hattra yang tidak punya buku
rujukan berjumlah 88%, dengan demikian dapat dikatakan masih mengandalkan tradisi lisan dan ingatan.
Kondisi ini sesuai data hattra yang melakukan pencatatan hanya 37 orang. Sebanyak 47% hattra memiliki murid
yang di harapkan menjadi penerusnya, dan hanya 17% sudah melakukan praktek mandiri. Hattra yang memiliki
murid memiliki kepedulian terhadap terjaganya pengetahuan pengobatan tradisional.
Eksplorasi Kearifan Lokal Bali
Bab II Pembahasan
Pengertian Kearifan Lokal Pengertian kearifan lokal dilihat dari kamus bahasa Inggris-
Indonesia, terdiri dari dua kata, yaitu kearifan (wisdom) dan lokal (local). Lokal berarti
setempat, dan wisdom sama dengan kebijaksanaan. Dengan kata lain, dapat dipahami
sebagai gagasan, nilai, pandangan setempat (lokal) yang bersifat bijaksana, penuh
kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya. Dalam
disiplin ilmu antropologi dikenal istilah lokal jenius. Lokal jenius ini merupakan istilah
yang mula pertama dikenalkan oleh Quaritch Wales. Para antropolog membahas secara
panjang lebar pengertian lokal jenius ini (Ayatrohedi, 1986), antara lain Haryati Soebadio
mengatakan bahwa lokal jenius adalah juga culture identity. Identitas atau kepribadian
budaya bangsa yang menyebabkan bangsa tersebut mampu menyerap dan mengolah
kebudayaan asing sesuai watak dan kemampuan sendiri (Ayatrohedi, 1986; 18-19).
Sementara Moendardjito (Ayatrohedi 1986: 40-41) mengatakan bahwa unsur budaya
daerah potensial sebagai lokal jenius karena telah teruji kemampuannya untuk bertahan
sekarang. Ciri-cirinya adalah : 1. Mampu berperan terhadap budaya luar 2. Mamiliki
kemampuan mengakomodasi unsur-unsur budaya luar 3. Mempunyai kemampuan
mengintegrasikan unsur budaya luar ke dalam budaya asli 4. Mempunyai kemampuan
mengendalikan 5. Mampu memberi arah pada perkembangan budaya. Kearifan lokal
merupakan perpaduan antara nilai-niali suci dalam firman Tuhan dan berbagai nilai yang
ada. Kearifan lokal terbentuk sebagai keunggulan budaya masyarakat setempat maupun
kondisi geografis dalam arti luas. Kearifan lokal merupakan produk budaya masa lalu
yang patut dijadikan pegangan hidup selamanya. Meskipun bernilai lokal tapi nilai yang
terkandung di dalamnya dianggap universal. Kearifan lokal adalah nilai yang dianggap
baik dan benar sehingga dapat bertahan waktu yang sangat lama dan bahkan
melembaga. Kearifan lokal dipahami sebagai segala sesuatu yang didasari
pengetahuan dan diakui oleh akal serta dianggap oleh ketentuan agama. Adat
kebiasaan pada dasarnya teruji secara ilmiah dan bernilai baik karena kebiasaan
tersebut merupakan tindakan sosial yang berulang-ulang dan mengalami penguatan
(reinforcement). Apabila suatu tindakan tidak dianggap baik oleh masyarakat, maka ia
tidak akan mengalami penguatan secara terus menerus. Pergerakan secara ilmiah
terjadi secara sukarela karena dianggap baik untuk mengandung kebaikan. Adat yang
tidak baik hanya akan terjadi apabila ada pemaksaan oleh penguasa. Secara filosofi,
kearifan lokal dapat diartikan sebagai sistem pengetahuan masyarakat lokal/pribumi
(endigenous-knowledge systems) yang bersifat empirik dan pragmatis. Bersifat empirik
karena hasil olahan masyarakat secara lokal berangkat dari fakta-fakta yang terjadi di
sekeliling kehidupan mereka. Kearifan lokal merupakan suatu yang berkaitan secara
spesifik dengan budaya tertentu (budaya lokal) dan mencerminkan cara hidup suatu
masyarakat tertentu (masyarakat lokal). Dengan kata lain, kearifan lokal bersemayam
pada budaya lokal (local culture). Budaya lokal merupakan istilah yang biasanya
digunakan untuk membedakan suatu budaya dari budaya nasional dan budaya global.
Budaya lokal adalah budaya yang dimiliki oleh masyarakat yang menempati lokalitas
atau daerah tertentu yang berbeda dari budaya yang dimiliki oleh masyarakat yang
berada di tempat yang lain. Pasal 1, Permendagri Nomor 39 Tahun 2007,
mendefinisikan budaya daerah sebagai “suatu sistem nilai yang dianut oleh komunitas
atau kelompok masyarakat tertentu di daerah yang diyakini akan dapat memenuhi
harapan warga masyarakat dan didalamnya terdapat nilai-nilai, sikap tata cara
masyarakat yang diyakini dapat memenuhi kehidupan masyarakatnya. Di Indonesia,
istilah budaya lokal juga sering disepadankan dengan budaya etnik/sub etnik. Setiap
bangsa, etnik, dan sub etnik, memiliki kebudayaan yang mencakup unsur, yaitu bahasa,
sistem, sistem pengetahuan, organisasi sosial, sistem peralatan hidup dan teknologi,
sistem mata pencaharian, sistem religi, dan kesenian. Secara umum, kearifan lokal
dianggap sebagai pandangan hidup dan ilmu pengetahuan serta sebagai strategi
kehidupan yang berwujud aktifitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal dalam
menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka. Dengan
pengertian-pengertian tersebut, kearifan lokal bukan sekedar nilai tradisi atau ciri
lokalitas semata melainkan nilai tradisi yang mempunyai daya guna untuk mewujudkan
harapan, nilai-nilai kemapanan yang universal. Dari definisi-definisi tersebut, kita dapat
memahami bahwa kearifan lokal adalah pengetahuan yang dikembangkan oleh para
leluhur dalam mensiasati lingkungan hidup sekitar mereka, dan menjadikan
pengetahuan itu sebagai budaya dan memperkenalkan serta meneruskan dari generasi
ke generasi. Beberapa bentuk pengetahuan tradisional muncul lewat cerita-cerita
legenda-legenda, nyanyian-nyanyian, ritual-ritual, dan juga aturan atau hukum setempat.
Dengan cara itulah kearifan lokal dapat disebut juga sebagai jiwa dari budaya lokal.
Jenis-jenis kearifan lokal : 1. Tata kelola, berkaitan dengan kemasyarakatan yang
mengatur kelompok sosial 2. Nilai-nilai adat, tata nilai yang dikembangkan masyarakat
tradisional yang mengatur etika 3. Tata cara dan prosedur, bercocok tanam sesuai
dengan waktunya untuk melestarikan alam 4. Pemilihan tempat dan ruangan Kearifan
lokal yang terwujud nyata, antara lain : 1. Tekstual (kitab kuno, primbon) 2. Tangible
(candi, batik). Kearifan lokal yang tidak terwujud : 1. Petuah yang secara verbal,
berbentuk nyanyian seperti balamut Fungsi kearifan lokal, yaitu : 1. Pelestarian alam 2.
Mengembangkan pengetahuan 3. Mengembangkan SDM
Bab III Kesimpulan
Kearifan lokal apabila diterjemahkan secara bebas dapat diartikan nilai-nilai budaya
yang baik yang ada di dalam suatu masyarakat. Kalau mau jujur, sebenarnya nilai-nilai
kearifan lokal sudah diajarkan secara turun temurun dan orang tua kepada anak-
anaknya. Budaya gotong royong, saling menghormati dan tepa salira merupakan contoh
kecil dari kearifan lokal. Sudah selaiknya, generasi muda mencoba menggali kembali
nilai-nilai kearifan lokal yang ada agar tidak hilang ditelan perkembangan jaman.
Daftar Pustaka