Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Masyarakat tidak dapat berfungsi tanpa aturan yang memberitahukan
mengenai bagaimana berkomunikasi satu sama lain, bagaimana menghindari
untuk menyakiti orang-orang lain, dan bagaimana bergaul dalam kehidupan
pada umunya. Manusia pada hakekatnya akan selalu mengalami
perkembangan. Perkembangan tersebut dimulai dari awal pembentukkan
manusia itu sendiri kemudian manusia itu dilahirkan, sejak bayi, balita, anak-
anak, remaja, dewasa, hingga mereka tua dan mati. Perkembangan tersebut
merupakan suatu proses perubahan yang sistematif, progresif, dan
berkesinambungan. Dalam proses perkembangan terdapat tahap-tahap berbeda
dengan pola tertentu namun saling berhubungan. Dan dalam diri manusia itu
sendiri tidak hanya mengalami satu jenis perkembangan tetapi ada beberapa
perkembangan yang manusia alami semasa hidupnya. Diantaranya adalah
perkembangan fisik, perkembangan kognitif, perkembangan psiokososial,
perkembangan moral, dan lain sebagainya sesuai dengan usia perkembangan.
Dimana seperti disebutkan diatas bahwa masing-masing perkembangan
tersebut saling berhubungan dan ditiap tahapnya bersifat kontinyu.
Usia dewasa di atas 20 tahun dikelompokkan sebagai usia dewasa, dan
masih dibagi lagi menjadi ; kelompok dewasa muda (usia 20-40 tahun), dewasa
(usia 40- 65 tahun), dewasa lanjut (usia 65 tahun keatas). Pada usia dewasa
aspek jasmaniah mulai berjalan lamban, berhenti dan secara berangsur-angsur
menurun. Aspek-aspek psikis (intelektual-sosial-emosional-nilai) masih terus
berkembang, walaupun tidak dalam bentuk penambahan atau peningkatan
kemampuan tetapi berupa perluasan dan pematangan kualitas. Pada masa akhir
masa dewasa muda (usia 40 tahun), kekuatan aspek-aspek psikis secara
berangsur-angsur mulai menurun dan penurunannya mulai drastis pada akhir
masa usia dewasa.
Periode perkembangan masa dewasa sangatlah penting bagi setiap
individu. Setiap individu harus bisa menuntaskan tugas setiap periode
perkembangan, termasuk pada periode perkembangan masa dewasa. Tugas
setiap periode perkembangan harus dituntaskan pada masanya agar individu
tersebut menimbulkan rasa bahagia dan tidak ada rasa penyesalan serta tidak
menimbulkan hambatan pada periode perkembangan berikutnya.

B. Rumusan Masalah
1. Apa itu perkembangan moral?
2. Bagaimana perkembangan moral pada orang dewasa?
3. Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan moral pada orang
dewasa?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian perkembangan moral
2. Untuk mengetahui bagaimana perkembangan moral pada orang dewasa
3. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan moral
pada orang dewasa.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Perkembangan Moral
Moral adalah perbuatan, tingkah laku atau ucapan seseorang dalam
berinteraksi dengan manusia. Apabila yang dilakukan seseorang itu sesuai
dengan nilai rasa yang berlaku di masyarakat tersebut dan dapat diterima serta
menyenangkan lingkungan masyarakatnya, maka orang itu dinilai mempunyai
moral yang baik, begitu juga sebaliknya. Moral adalah produk dari budaya dan
Agama.
Perkembangan moral (moral development) berhubungan dengan
peraturan-peraturan dan nilai-nilai mengenai apa yang harus dilakukan
seseorang dalam interaksinya dengan orang lain. Ketika dilahirkan, anak-anak
tidak memiliki moral (imoral). Tetapi dalam dirinya memiliki potensi yang siap
untuk dikembangkan. Karena itu, melalui pengalamannya berinteraksi dengan
orang lain (orang tua, teman sebaya, atau saudaranya) seorang anak belajar
memahami mana perilaku yang baik, yang boleh dikerjakan dan tingkah laku
yang buruk, yang tidak boleh dikerjakan. Jadi perkembangan moral adalah
pikiran, perasaan dan perilaku yang dikaitkan dengan standar benar atau salah,
atau juga bisa dikatakan sebagai sesuatu yang menyangkut kebiasaan atau
aturan yang harus dipatuhi oleh seseorang dalam berinteraksi dengan orang
lain.
Perkembangan moral memiliki 2 dimensi, yaitu:
1. Dimensi Interpersonal
Merupakan aturan atau nilai dasar dan penilaian diri individu, dimensi ini
mengatur atau mengarahkan aktivitas orang tersebut saat dia tidak terlibat
dalam interaksi sosial.
2. Dimensi Intrapersonal
Dimensi ini titik perhatiannya adalah pada apa yang seharusnya dilakukan
individu saat berinteraksi dengan orang lain. Dimensi ini mengatur interaksi
sosial individu dengan orang lain dan menengahi konflik.
B. Perkembangan Moral pada Orang Dewasa
Perkembangan moral pada dewasa ini dibagi menjadi 2 bagian, yaitu
perkembangan moral pada orang dewasa muda (umur 21-40 tahun) dan
perkembangan moral pada orang dewasa (41-60 tahun);
1. Perkembangan moral dewasa muda
a. Pra-konvensional
Tingkat pra-konvensional dari penalaran moral umumnya ada pada
anak-anak, walaupun orang dewasa juga dapat menunjukkan penalaran
dalam tahap ini. Seseorang yang berada dalam tingkat pra-konvensional
menilai moralitas dari suatu tindakan berdasarkan konsekuensinya
langsung. Tingkat pra-konvensional terdiri dari dua tahapan awal dalam
perkembangan moral, dan murni melihat diri dalam bentuk egosentris.
Dalam tahap pertama, individu-individu memfokuskan diri pada
konsekuensi langsung dari tindakan mereka yang dirasakan sendiri.
Sebagai contoh, suatu tindakan dianggap salah secara moral bila orang
yang melakukannya dihukum. Semakin keras hukuman diberikan
dianggap semakin salah tindakan itu. Sebagai tambahan, ia tidak tahu
bahwa sudut pandang orang lain berbeda dari sudut pandang dirinya.
Tahapan ini bisa dilihat sebagai sejenis otoriterisme. Tahap dua
menempati posisi apa untungnya buat saya, perilaku yang benar
didefinisikan dengan apa yang paling diminatinya. Penalaran tahap dua
kurang menunjukkan perhatian pada kebutuhan orang lain, hanya sampai
tahap bila kebutuhan itu juga berpengaruh terhadap kebutuhannya
sendiri, seperti “kamu garuk punggungku, dan akan kugaruk juga
punggungmu.” Dalam tahap dua perhatian kepada orang lain tidak
didasari oleh loyalitas atau faktor yang berifat intrinsik. Kekurangan
perspektif tentang masyarakat dalam tingkat pra-konvensional, berbeda
dengan kontrak sosial (tahap lima), sebab semua tindakan dilakukan
untuk melayani kebutuhan diri sendiri saja. Bagi mereka dari tahap dua,
perpektif dunia dilihat sebagai sesuatu yang bersifat relative secara
moral.

b. Konvensional
Tingkat konvensional umumnya ada pada seorang remaja atau
orang dewasa. Orang di tahapan ini menilai moralitas dari suatu tindakan
dengan membandingkannya dengan pandangan dan harapan masyarakat.
Tingkat konvensional terdiri dari tahap ketiga dan keempat dalam
perkembangan moral. Dalam tahap tiga, seseorang memasuki masyarakat
dan memiliki peran sosial. Individu mau menerima persetujuan atau
ketidaksetujuan dari orang-orang lain karena hal tersebut merefleksikan
persetujuan masyarakat terhadap peran yang dimilikinya. Mereka
mencoba menjadi seorang anak baik untuk memenuhi harapan tersebut,
karena telah mengetahui ada gunanya melakukan hal tersebut. Penalaran
tahap tiga menilai moralitas dari suatu tindakan dengan mengevaluasi
konsekuensinya dalam bentuk hubungan interpersonal, yang mulai
menyertakan hal seperti rasa hormat, rasa terimakasih, dan golden rule.
Keinginan untuk mematuhi aturan dan otoritas ada hanya untuk
membantu peran sosial yang stereotip ini. Maksud dari suatu tindakan
memainkan peran yang lebih signifikan dalam penalaran di tahap ini;
‘mereka bermaksud baik. Dalam tahap empat, adalah penting untuk
mematuhi hukum, keputusan, dan konvensi sosial karena berguna dalam
memelihara fungsi dari masyarakat. Penalaran moral dalam tahap empat
lebih dari sekedar kebutuhan akan penerimaan individual seperti dalam
tahap tiga; kebutuhan masyarakat harus melebihi kebutuhan pribadi.
Idealisme utama sering menentukan apa yang benar dan apa yang salah,
seperti dalam kasus fundamentalisme. Bila seseorang bisa melanggar
hukum, mungkin orang lain juga akan begitu – sehingga ada kewajiban
atau tugas untuk mematuhi hukum dan aturan. Bila seseorang melanggar
hukum, maka ia salah secara moral, sehingga celaan menjadi faktor yang
signifikan dalam tahap ini karena memisahkan yang buruk dari yang
baik.

c. Pasca konvensional
Tingkatan pasca konvensional, juga dikenal sebagai tingkat
berprinsip, terdiri dari tahap lima dan enam dari perkembangan moral.
Kenyataan bahwa individu-individu adalah entitas yang terpisah dari
masyarakat kini menjadi semakin jelas. Perspektif seseorang harus dilihat
sebelum perspektif masyarakat. Akibat ‘hakekat diri mendahului orang
lain’ ini membuat tingkatan pasca-konvensional sering tertukar dengan
perilaku pra-konvensional. Dalam tahap lima, individu-individu
dipandang sebagai memiliki pendapat-pendapat dan nilai-nilai yang
berbeda, dan adalah penting bahwa mereka dihormati dan dihargai tanpa
memihak. Permasalahan yang tidak dianggap sebagai relatif seperti
kehidupan dan pilihan jangan sampai ditahan atau dihambat.
Kenyataannya, tidak ada pilihan yang pasti benar atau absolute. Sejalan
dengan itu, hukum dilihat sebagai kontrak sosial dan bukannya keputusan
kaku. Aturan-aturan yang tidak mengakibatkan kesejahteraan sosial harus
diubah bila perlu demi terpenuhinya kebaikan terbanyak untuk sebanyak-
banyaknya orang. Hal tersebut diperoleh melalui keputusan mayoritas,
dan kompromi. Dalam hal ini, pemerintahan yang demokratis tampak
berlandaskan pada penalaran tahap lima. Dalam tahap enam, penalaran
moral berdasar pada penalaran abstrak menggunakan prinsip etika
universal. Hukum hanya valid bila berdasar pada keadilan, dan komitmen
terhadap keadilan juga menyertakan keharusan untuk tidak mematuhi
hukum yang tidak adil. Tindakan yang diambil adalah hasil konsensus.
Dengan cara ini, tindakan tidak pernah menjadi cara tapi selalu menjadi
hasil; seseorang bertindak karena hal itu benar, dan bukan karena ada
maksud pribadi, sesuai harapan, legal, atau sudah disetujui sebelumnya.
Walau Kohlberg yakin bahwa tahapan ini ada, ia merasa kesulitan untuk
menemukan seseorang yang menggunakannya secara konsisten.
Tampaknya orang sukar, kalaupun ada, yang bisa mencapai tahap enam
dari model Kohlberg ini. Dalam teori Kohlberg, perkembangan moral
seseorang mengiringi kematangan kognitifnya. Seseorang akan memiliki
penilaian moral lebih maju seiring dengan mereka meninggkalkan
egosentrisme, menjadi mampu berpikir abstrak. Namun, pada masa
dewasa penilaian moral sering kali menjadi rumit. Menurut Kohlberg,
perkembangan moral menuju tahap ketiga yaitu postconventional
morality merupakan fungsi utama pengalaman. Kebanyakan seseorang
baru mencapai tahap ini pada usia dua puluhan (Kohlberg, 1973). Dua
pengalaman yang memunculkan penalaran moral pada dewasa awal
adalah menghadapi konflik nilai ketika jauh dari rumah, seperti ketika
kuliah atau bekerja di luar kota ataupun luar negeri, serta bertanggung
jawab atas kesejahteraan orang lain, seperti ketika menjadi orang tua.
Pengalaman dapat menuntun orang dewasa mengevaluasi ulang kriteria
meraka tentang apa yang benar dan yang salah. Beberapa orang dewasa
menggunakan pengalaman pribadinya sebagai jawaban atas dilema
sosialnya. Setelah mempertimbangkan penilaian moral, tentu saja
seseorang yang cara berpikirnya masih egosentris kecil kemungkinan
dapat mengambil keputusan pada tahap paskakonvensional ini.
Seseorang yang dapat berpikir abstrak mungkin hanya dapat mencapai
tingkat tertinggi ini ketika pengalamannya lebih banyak atau
mendominasi dari pada kognnisinya. Banyak orang-orang dewasa yang
mampu berpikir sendiri namun masih dalam tahap konvensional, hal
tersebut terjadi karena kurangnya pengalaman yang dapat
mempersiapkan mereka untuk mencapai tahap selanjutnya, yaitu
paskakonvensional. Dalam teori Piaget orang dewasa seharusnya berada
pada tahap operasional formal karena ia sudah dapat menilai suatu
masalah dengan mempertimbangkan situasi yang lebih spesifik, seperti
lebih mempertimbangkan niat dari suatu perilaku.
2. Perkembangan moral dewasa
Ditinjau dari teori perkembangan moral dari Piaget yang disebut juga
dengan teori perkembangan stuktur-kognitif seseorang yang telah mencapai
usia dewasa madya (40-60 th) sewajarnya telah mencapai
tahap “Operasional Formal”dimana seseorang telah mampu berpikir secara
abstrak termasuk penalarannya mengenai aturan-aturan dan moral.
Seorang yang telah mencapai tahap ini menyadari bahwa aturan merupakan
suatu kesepakatan bersama Dalam perkembangan dari remaja menjadi
dewasa awal kemudian dewasa madya, seseorang dalam tahap
perkembangan moralnya mengalami tahap kodifikasi atau pemantapan
peraturan seiring dengan pertambahan usianya. Selain itu, orang-orang
dewasa madya mampu mempertimbangkan moral yang menyangkut orang
lain namun ia juga menyadari akan maksunya sendiri. Sehingga ia sudah
dapat menilai suatu masalah dengan mempertimbangkan situasi yang lebih
spesifik, seperti lebih mempertimbangkan niat dari suatu perilaku.
Sementara bila ditinjau dari teori perkembangan moral Kohlberg, seorang
dewasa madya yaitu 40-60 tahun telah mencapai tahap “Pasca-
Konvensinal” atau “Post-Conventional”. Pada tahap Post-Conventional oleh
Kohlberg dibagi lagi menjadi dua tahap yaitu tahap orientasi kontrak sosial
dan tahap prinsip etika universal. Seorang manusia dewasa baik dewasa
awal maupun dewasa madya menurut Kohlberg telah mencapai tahap Post-
conventional ini, namun menurut Kohlberg tidak semua orang mampu
mencapai tahap perkembangan moral terakhir yaitu prinsip etika universal.
Oleh karena itu tahap perkembangan moral dewasa madya berkisar pada
tahap Post-conventional.
Pada tahap Post-Conventional, seseorang menganggap bahwa aturan adalah
suatu kontrak sosial yang dapat berubah apabila aturan tersebut
memunculkan suatu ketidaksejahteraan melalui pendapat meyoritas atau
kompromi. Selain itu semakin berkembangnya moral seseorang, keputusan
dalam berperilaku berdasarkan atas prinsip-prinsip moral dan kepentingan
orang lain. Keyakinan terhadap moral dan nilai-nilai melekat meskipun
sewaktu-waktu berlawanan dengan hukum yang dibuat untuk menetapkan
aturan sosial.
Dari kedua teori perkembangan tersebut, keduanya memandang suatu
perkembangan secara bertahap. Sementara itu berdasarkan teori Bioekologi
Bronfenbrenner sperkembangan moral seseorang selalu dipengaruhi oleh
faktor lingkungannya. Seperti keluarga, teman sebaya, media massa,
budaya, dan sebagainya. Sehingga dalam sekelompok orang usia dewasa
madya yang berasal dari (misalanya) budaya yang berbeda dan daerah yang
berbeda dapat terjadi perbedaan dalam perkembangan moralnya.

C. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Moral pada Orang


Dewasa
Para peneliti perkembangan telah mengidentifikasi sejumlah faktor yang
berhubungan dengan perkembangan penalaran dan perilaku moral:
1. Perkembangan kognitif umum
Penalaran moral yang tinggi yaitu penalaran yang dalam mengenai hukum
moral dan nilai-nilai luhur seperti kesetaraan, keadilan, hak-hak asasi
manusia dan memerlukan refleksi yang mendalam mengenai ide-ide abstrak.
Dengan demikian dalam batas-batas tertentu, perkembangan moral
tergantung pada perkembangan kognitif.
Contoh: Anak-anak secara intelektual berbakat, umumnya lebih sering
berpikir tentang isu moral dan bekerja keras mengatasi ketidakadilan di
masyarakat lokal ataupun dunia secara umum ketimbang teman-teman
sebayanya. Meski demikian, perkembangan kognitif tidak menjamin
perkembangan moral.
2. Penggunaan rasio dan rationale
Anak-anak lebih cenderung memperoleh manfaat dalam perkembangan
moral ketika mereka memikirkan kerugian fisik dan emosional yang
ditimbulkan perilaku-perilaku tertentu terhadap orang lain. Menjelaskan
kepada anak-anak alasan perilaku-perilaku tertentu tidak dapat diterima,
dengan fokus pada sudut pandang orang lain, dikenal sebagai induksi.
Contoh: induksi berpusat pada korban induksi membantu siswa berfokus
pada kesusahan orang lain dan membantu siswa memahami bahwa mereka
sendirilah penyebab kesesahan-kesusahan tersebut. Penggunaan konduksi
secara konsisten dalam mendisiplinkan anak-anak, terutama ketika disertai
hukuman ringan bagi perilaku yang menyimpang misalnya menegaskan
bahwa mereka harus meminta maaf atas perilaku yang keliru.
3. Isu dan dilema moral
Kolhberg dalam teorinya mengenai teori perkembangan moral menyatakan
bahwa di sekuilibrium adalah anak-anak berkembang secara moral ketika
mereka menghadapi suatu dilemma moral yang tidak dapat ditangani
secara memadai dengan menggunakan tingkat penalaran moralnya saat itu.
Dalam upaya membantu anak-anak yang mengahadapi dilema semacam itu
Kulhborg menyarankan agar guru menawarkan penalaran moral satu tahap
diatas tahap yang dimiliki anak pada saat itu.
Contoh: bayangkanlah seorang remaja laki-laki yang sangat mementingkan
penerimaan oleh teman-teman sebayanya, dia rela membiarkan temannya
menyalin pekerjaan rumahnya. Gurunya mungkin menekankan logika
hukum dan keteraturan dengan menyarankan agar semua siswa seharusnya
menyelesaikan pekerjaan rumahnya tanpa bantuan orang lain karena
tugas-tugas pekerjaan rumah dirancang untuk membantu siswa belajar
lebih efektif.
BAB III
ANALISIS MASALAH
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA

http://azizherwitselalu.blogspot.co.id/2013/02/perkembangan-moral-pada-masa-
dewasa.html
http://evayuliawati.blogspot.co.id/2013/03/makalah-perkembangan-moral.html
http://fedelisrudi.blogspot.co.id/2012/05/perkembangan-orang-dewasa.html
http://kataque.blogspot.co.id/2014/05/masa-perkembangan-dewasa-awal.html
http://vivisophieelfada.blogspot.co.id/2014/09/periode-perkembangan-masa-
dewasa.html
http://thejourneyoftree.blogspot.co.id/2012/11/perkembangan-moral-dewasa-
muda-dan-madya.html
https://malpalenisatriana.wordpress.com/2010/11/05/perkembangan-moral-
menurut-teori-lawrence-kohlberg/
https://orthevie.wordpress.com/2010/05/29/teori-perkembangan-moral-menurut-
kohlberg/

Anda mungkin juga menyukai