Anda di halaman 1dari 12

2.

1 Giant Cell Arteritis


2.1.1 Anatomi dan Histologi
Arteri merupakan pembuluh darah berbentuk silinder yang berfungsi mengalirkan
darah dari jantung ke seluruh bagian tubuh. Arteri berstruktur padat, kuat, dan elastis. Dinding
arteri terdiri dari 3 lapis, yaitu dinding internal (tunika intima), medial (tunika media), dan
eksternal (tunika adventisia). Dinding internal terdiri dari epitel selapis yang tipis (endotel),
dinding medial terdiri dari jaringan ikat elastis dan otot polos, serta dinding eksternal terdiri
dari jaringan ikat areolar dan elastis.12,13

Gambar 2.1 Histologi potongan transversal dinding aorta. Pulasan elastik. 13

Aorta merupakan pembuluh darah yang langsung berasal dari ventrikel kiri jantung.
Aorta dibagi menjadi 3 bagian yaitu aorta asendens, aorta transversus, dan aorta desendens
yang secara keseluruhan membentuk arkus aorta. Terdapat lima cabang dari arkus aorta yaitu
2 cabang dari aorta asendens (A. coronaria dextra dan sinistra) dan 3 cabang dari aorta
transversal (truncus brachiocephalicus, A. carotis communis sinistra, dan A. subclavia
sinistra). Truncus brachiocephalicus kemudian akan bercabang menjadi A. carotis communis
dextra dan A. subclavia dextra.12
Gambar 2.2 Percabangan Aorta.14

Kedua A. carotis communis berjalan ke atas menyusuri leher dan bercabang dua
(bifurcatio) menjadi A. carotis externa dan A. carotis interna. A. carotis externa menyuplai
darah ke leher, otot wajah, dan scalp (gambar 2.3) sedangkan A. carotis interna menyuplai
darah ke intrakranial (gambar 2.4).12,15
Vaskularisasi mata berasal dari A. ophthalmica. Arteri ini merupakan cabang dari A.
carotis interna pars cerebralis. A. ophthalmica terdapat di bawah dan lateral dari N. opticus
dan masuk ke rongga orbital melalui canalis opticus. A. ophthalmica akan bercabang menjadi
2 kelompok arteri yaitu ocular group yang memperdarahi bola mata dan otot-otot mata, serta
orbital group yang memperdarahi orbit dan struktur disekitarnya.12
Gambar 2.3 Arteri-arteri eksternal kepala.15

Gambar 2.4 Arteri-arteri internal kepala.15


Gambar 2.5 Percabangan A. Ophthalmica.12

2.1.2 Definisi
Giant cell arteritis (GCA) merupakan penyakit vaskulitis pembuluh sedang dan besar
yang bersifat granulomatous. GCA merupakan penyakit vaskulitis sistemik primer yang paling
sering terjadi, dan umumnya terjadi pada aorta, cabang A. ophthalmica dan percabangan
ekstrakranial dari arteri karotis seperti arteri temporalis.16-19
Vaskulitis akibat GCA dapat dikategorikan sebagai penyakit autoimun, sehingga dapat
menyebabkan berbagai gejala klinis tergantung pada arteri yang terserang. GCA pada A.
ophthalmica dan percabangannya disebut juga arteritic anterior ischemic optic neuropathy
(AAION) dapat menyebabkan gangguan penglihatan hingga kebutaan.20,21

2.1.3 Epidemiologi dan Faktor Risiko


GCA merupakan penyakit yang menyerang lansia. Rata-rata usia onset penyakit yaitu
72 tahun, dan hampir semua penderita berusia di atas 50 tahun. Perkiraan angka kejadian GCA
yaitu sebesar 2,3 kasus dalam 100.000 orang pada usia 60 tahun, dan 44,7 kasus per 100.000
orang pada kelompok usia 90 tahun. Penyakit ini lebih sering menyerang wanita dibanding
pria, dengan perbandingan 2-3:1. Berdasarkan ras, GCA lebih sering ditemukan pada
keturunan Skandinavia, dan jarang pada ras Asia ataupun Afrika. Selain itu, faktor independen
lain yang memiliki hubungan dengan kejadian GCA antara lain merokok, BMI rendah, dan
early menopause.2,3
2.1.4 Etiopatofisiologi
Penyebab GCA, seperti pada kebanyakan penyakit autoimun, tidak diketahui secara
pasti. GCA menyerang pembuluh darah besar dikarenakan tunia adventisia pada pembuluh
darah besar memiliki vaskularisasi berupa vasa vasorum yang dapat memudahkan makrofag
dan sel T untuk masuk ke dinding arteri. Berdasarkan penelitian, diketahui adanya sejumlah
antigen yang memicu kaskade imunologis yang dimulai dari pengenalan antigen tersebut oleh
sel dendritik vaskuler di tunika adventitia pembuluh darah besar.21,22
Sel dendritik tersebut teraktivasi dan mempresentasikan antigen serta mengaktivasi sel
CD4+ dan naive T cells. CD4+ dan naive T cells kemudian berdiferensiasi menjadi sel T-helper
(Th) 1, Th17, dan T regulatory (Treg). Th1 dan Th17 kemudian memproduksi IFN-γ dan IL-
17. IFN- γ menyebabkan endotel dan otot polos menghasilkan kemokin yang akan merekrut
Th1, CD8+T dan monosit. Monosit kemudian akan berdiferensiasi menjadi makrofag. Pada
sebagian penderita, IFN-γ mengaktivasi diferensiasi dan fusion dari makrofag sehingga
membentuk sel raksasa yang berinti banyak (gambar 2.6). Sel tersebut juga akan mensekresi
sitokin dan growth factors.1,3,21-23
Selanjutnya, makrofag pada tunika adventisia pembuluh darah memproduksi IL-6 dan
IL-1β. Di dalam tunika media makrofag akan mensekresi matrix metalloproteinase yang akan
mendegradasi jaringan elastis dan jaringan ikat lainnya. IL-6 yang tersekresi serta spesies
oksigen reaktif dari degradasi akan berkontribusi dalam proses inflamasi lokal vaskuler.1,3,22,23
Kerusakan jaringan pada dinding tersebut kemudian akan memicu aktivasi growth
factor seperti VEGF dan platelet derived growth factor sehingga terjadi hiperplasia pada tunia
intima yang kemudian akan menyebabkan stenosis dan oklusi vaskuler. Respon dari terlukanya
dinding arteri berupa dysfunctional repair tersebut akan menyebabkan penebalan dinding
vaskuler, oklusi, iskemia pada organ, dan end organ damage.1,3,22,23
Faktor infeksi pernah dihubungkan dengan kejadian GCA, dimana ditemukan infeksi
terjadi lebih sering pada pasien GCA dibanding orang normal. Penelitian tersebut menyatakan
kemungkinan adanya respon inflamasi berlebihan yang berhubungan dengan faktor
polimorfisme genetik, sehingga terjadi peningkatan risiko baik infeksi maupun vaskulitis.24,25
Beberapa penelitian kemudian menemukan adanya agen infeksi pada spesimen arteri
temporalis penderita GCA berupa Herpes Simplex Virus (HSV), Chlamydia, Mycoplasma,
Virus Epstein-Barr, parvovirus, dan Varisela Zoster, akan tetapi sampai saat ini belum ada data
dan kesimpulan yang jelas antara temuan tersebut.26,27
Gambar 2.6 Giant cell berinti banyak menyerang lamina elastis pada biopsi arteri temporalis.3

Polimyalgia Reumatika (PMR) berhubungan erat dengan GCA. PMR dijumpai pada
40-60% pasien dengan GCA, dan sebaliknya GCA dijumpai pada 16-21% pasien dengan PMR.
Beberapa sumber menyebut PMR sebagai varian dari GCA, dimana vaskulitis belum terjadi
atau terinhibisi oleh suatu mekasnisme tertentu.28,29

2.1.5 Manifestasi Klinis


Manifestasi klinis GCA dapat dibagi menjadi sistemik dan okuler. Gejala okuler pada
GCA yang sering dikeluhkan merupakan akibat dari AAION, dimana hiperplasia dinding
pembuluh darah menyebabkan iskemia terutama pada A. ciliaris brevis, berupa nyeri pada
mata, diplopia, dan transient loss of vision (Amaurosis fugax). Amaurosis fugax dideskripsikan
berupa adanya tirai yang secara perlahan menutupi pandangan baik dari atas ataupun bawah.
Serangan Amaurosis biasanya berlangsung selama 2-5 menit akibat iskemia sesaat dan
membaik dengan sendirinya. Hilangnya penglihatan dapat berubah dari transien menjadi
permanen, serta monokuler menjadi binokuler secara cepat. Bila terjadi keluhan monokuler
yang tidak ditangani, biasanya keterlibatan mata kontralateral akan terjadi dalam 1-14 hari.
Beberapa penderita melaporkan kehilangan penglihatan secara simultan pada kedua mata,
namun berdasarkan funduskopi biasanya dijumpai salah satu mata dengan tanda iskemia lebih
dahulu.3,21,30
Gejala sistemik lebih sering muncul terlebih dahulu dibanding gejala okuler. Gejala
sistemik dikeluhkan sekitar 50% pasien GCA yaitu berupa:3
• Nyeri kepala akut
• Myalgia
• Nyeri pada scalp (nyeri saat menyisir rambut)
• Nyeri pada arteri temporalis
• Klaudikasio rahang
• Klaudikasio lengan
• Gejala konstitusional

Gambar 2.7 Arteri temporalis prominen yang terasa nyeri pada pasien terkonfirmasi GCA.9
2.1.6 Diagnosis
Kriteria diagnosis GCA pernah dikemukakan oleh American College of Rheumatology
(ACR) yaitu ditemukannya 3 dari 5 poin berikut:
1. Usia di atas 50 tahun
2. New onset headache
3. Abnormalitas arteri temporalis
4. Peningkatan erythrocyte sedimentation rate (ESR) di atas 50 mm/jam
5. Abnormalitas biopsi arteri berupa necrotizing vasculitis dengan predominan sel
mononuklear dan sel granul.

Kriteria diagnosis tersebut sensitif dan spesifik untuk mendiagnosis secara cepat, tetapi
karena kriteria tersebut dibuat oleh ahli rheumatologi, dapat disimpulkan terjadi under-
representation penderita dengan gejala okuler. History taking secara lengkap dan pemeriksaan
fisik yang disertai klinisi berpengalaman masih menghasilkan sensitivitas dan spesifisitas
tertinggi.21,31
Pada anamnesis, keluhan okuler GCA umumnya berupa hilangnya pandangan
unilateral akut, yaitu pada 6-70% kasus. Penyebabnya lebih sering akibat AAION, namun dapat
juga akibat oklusi arteri retina sentral, dan posterior ischemic optic neuropathy (PION).
Kebutaan yang terjadi bersifat ireversibel, meskipun dilakukan pengobatan. Umumnya
sebelum terjadi kebutaan permanen, pasien telah mengalami kehilangan penglihatan transien
berupa amaurosis fugax serta gejala sistemik lainnya.21
Pemeriksaan fisik pada pasien GCA harus mencakup beberapa poin sebagai berikut:21
1. Pemeriksaan mendetail arteri temporal untuk melihat adanya arteri prominen,
nodularitas, atau nyeri palpasi. Evaluasi kekuatan pulsasi juga penting dilakukan.
2. Pemeriksaan oftalmologis berupa visual acuity, pemeriksaan pupil, tekanan intraokuler,
pemeriksaan segmen anterior, motilitas, atau pemeriksaan fundus (untuk menilai
iskemia nervus optikus atau retina). Pada pasien dengan AAION dapat dijumpai
gambaran iskemia berupa cotton wool spot (gambar 2.8).
3. Pemeriksaan lapangan pandang.
4. Pemeriksaan arteri karotis serta cabangnya. Inspeksi, palpasi, dan auskultasi dilakukan
pada arteri temporalis, karotis, subklavia, aksilaris, brakialis, aorta torakalis, dan aorta
abdominalis. Penting bagi pemeriksa untuk melakukan pemeriksaan di arteri kiri dan
kanan untuk membandingkan kekuatan pulsasi. Pada auskultasi diperiksa bruit untuk
mengetahui lokasi penyempitan terutama pada pasien dengan klaudikasio, namun
sensitivitasnya tergolong rendah.17
5. Auskultasi jantung untuk menilai adanya bising akibat regurgitasi aorta untuk
mengevaluasi aneurisma aorta.

Gambar 2.8 Cotton wool spot pada AAION.21

Pemeriksaan serologis dapat dilakukan, yaitu berupa pemeriksaan sedimentation rate


(ESR) dan/atau c-reactive protein (PCR). Sebelumnya hanya ESR yang digunakan untuk
mendiagnosis GCA, namun saat ini digunakan kombinasi ESR dan PCR untuk menghasilkan
sensitivitas dan spesifisitas lebih tinggi. Hasil ESR biasanya di atas 50 mm/jam dan dapat
mencapai 100 mm/jam. Trombositosis, anemia normositik normokrom, dengan leukosit
normal atau leukositosis ringan dapat menjadi faktor prediktif GCA. Enzim hati dan alkaline
phosphatase umumnya dijumpai sedikit meningkat.20,32
Pada penderita GCA dengan gejala okuler, marker inflamasi dapat meningkat, namun
hasil CRP dan ESR dapat dijumpai rendah. Pada beberapa individu, marker inflamasi juga
dapat dijumpai dalam batas normal. Penelitian terhadap 136 pasien dengan GCA menunjukkan
hasil ESR dan CRP yang lebih rendah pada pasien dengan gejala visual berupa kebutaan.33
Pemeriksaan imaging dapat dilakukan berupa ultrasonografi (USG), CT-angiografi,
MRI-angiografi, serta positron emission tomography (PET). Pemeriksaan USG dengan color
Doppler dapat dilakukan dengan mudah dan invasif, serta dengan sensitivitas dan spesifisitas
cukup tinggi. Pemeriksaan USG pada pasien GCA menunjukkan adanya gambaran: (1)
penebalan dinding hipoekoik (halo sign); (2) noncompressible arteries (compression sign); (3)
stenosis; dan (4) oklusi.34
Gold standard diagnosis GCA sampai saat ini yaitu temporal artery biopsy (TAB).
Arteri temporalis superfisial merupakan bagian yang paling umum dilakukan biopsi, namun
bila tidak memungkinkan, arteri fasialis atau arteri oksipitalis dapat digunakan. TAB umumnya
dilakukan dalam setting rawat jalan dan perawatan luka dilakukan di rumah pasien. TAB
biasanya tidak menimbulkan scarring berlebihan. Interpretasi hasil TAB umumnya berupa
normal, arteritis aktif, healed arteritis, arteriosklerosis, atau atherosklerosis. Hasil pemeriksaan
TAB juga digunakan sebagai bahan pertimbangan penggunaan steroid pada pasien
immunocompromised.35

Gambar 2.9 Pasca prosedur TAB. Kiri: hari ke 3 pascaoperasi; kanan: beberapa minggu kemudian.2

Sejumlah komplikasi dapat terjadi setelah prosedur TAB, antara lain:35


• Perdarahan
• Hematoma
• Infeksi
• Kerusakan saraf
• Scarring
• Wound dehiscence

2.1.7 Diagnosis Banding


Diagnosis banding pada pasien dengan manifestasi klinis GCA antara lain:20
• Non-arteritic ischemic optic neuropathy (NAION), memiliki gejala berupa vision
loss seperti GCA namun biasanya marker inflamasi dan hasil CRP tidak memadai.
• Vaskulitis jenis lain (misalnya Takayasu vaskulitis) dapat menimbulkan gejala
konstitusi.
• Infeksi, terutama pada pasien dengan gejala konstitusi serta demam.

Pada pasien dengan keluhan berupa amaurosis fugax perlu dipertimbangkan penyebab
lain seperti carotid transient ischaemic attack (TIA), emboli pada sirkulasi retina, papiledema,
Raynaud’s disease, migrain, oklusi arteri retinal, retinopati hipertensi, dan venous stasis
retinopathy.30

2.1.8 Tatalaksana
Immediate treatment
Tatalaksana segera bagi pasien GCA adalah mengurangi inflamasi yaitu dengan
pemberian glukokortikosteroid dosis tinggi. Obat golongan kortikosteroid diberikan dalam
dosis tinggi terutama pada pasien dengan gejala oftalmis dan kranial, yaitu berupa 1 mg/kgBB
kortikosteroid (maksimal 60 mg/hari) atau setara dengan 40-60 mg/ hari. Dosis tinggi
diperlukan bagi pasien dengan gejala iskemia kranial, terutama untuk mencegah terjadinya
kebutaan. Bagi pasien tanpa gejala iskemia kranial, dosis 40 mg/kgBB dianggap mencukupi.9,36

Maintenance therapy
Setelah dosis kortokosteroid inisial diberikan, regime tapering off dilakukan selama 1-
2 tahun tergantung pada respon pasien. Berikut regime tapering berdasarkan British Society for
Rheumatology (BSR):37
• 40-60 mg prednisolone diberikan hingga gejala dan hasil laboratorium normal (2-4
minggu).
• Dosis diturunkan 10 mg setiap 2 minggu hingga menjadi 20 mg.
• Dosis diturunkan 2.5 mg setiap 2-4 minggu hingga menjadi 10 mg.
• Dosis diturunkan 1 mg setiap 1-2 bulan apabila tidak terjadi relaps.

Pasien perlu diedukasi bahwa kortikosteroid tidak dapat menyembuhkan GCA, dan
relaps sering terjadi sehingga diperlukan waktu yang lama dalam terapi kortikosteroid. Salain
situ dosis yang tinggi (di atas 40 mg/kgBB) juga akan menyebabkan efek samping lebih tinggi,
seperti cushingoid appearance, kenaikan berat badan, serta atrofi kulit. Penyakit komorbid lain
juga dapat dieksaserbasi oleh kortikosteroid termasuk diabetes, glaukoma, dan osteoporosis.
Faktor risiko penderita yang mungkin mengalami relaps atau memerlukan terapi kortikosteroid
lebih lama yaitu pasien wanita, penderita artritis perifer, marker inflamasi tinggi pada
diagnosis, dan pasien dengan keterlibatan pembuluh darah besar.9

Adjunctive therapy
Efek samping kortikosteroid menjadi hambatan utama bagi pengobatan GCA jangka
panjang, sehingga diperlukan obat nonsteroid yang dapat diberikan sebagai pendamping
ataupun pengganti. Sayangnya, obat adjunctive sampai saat ini masih memberikan hasil yang
kurang memuaskan. Obat nonsteroid yang dapat diberikan pada penderita GCA antara lain:9
• Methotrexate: 7,5-15 mg diberikan sekali seminggu memiliki efikasi sedang
berdasarkan penelitian meta analisis.38
• Aspirin: pemberian aspirin perlu dipertimbangkan dengan baik. Di satu sisi aspirin
dapat membantu mencegah terjadinya iskemia melalui inhibisi trombus, namun di sisi
lain aspirin, terutama bersamaan dengan kortikosteroid, meningkatkan risiko
perdarahan gastrointestinal dan serebral.
• Cylclophosphamide: menurunkan aktivitas penyakit dan menurunkan dosis
prednisolon yang diberikan, namun angka kejadian efek samping tinggi.
• Tocilizumab (TCZ): menginhibisi reseptor IL-6. TCZ telah digunakan cukup lama
dalam rheumatoid arthritis dan ditoleransi dengan baik. Berdasarkan penelitian39,
kelompok pasien GCA dengan TCZ dan prednisolon memiliki fase sustained remission
lebih tinggi dibandingkan kelompok pasien dengan prednisolon saja.
2.1.9 Prognosis
Prognosis pasien GCA bergantung pada kecepatan diagnosis dan penanganan awal.
Pasien yang ditatalaksana dini memiliki angka morbiditas lebih rendah, terutama terhadap
kebutaan. Berdasarkan sebuah penelitian, pasien GCA memiliki 5-year survival rate sebesar
37%. Hal ini kemungkinan besar disebabkan bukan dari penyakit itu sendiri, namun merupakan
efek samping dari pemberian kortikosteroid karena pasien GCA hampir semua berusia lanjut
serta mengidap berbagai penyakit komorbid. Follow-up jangka panjang perlu dilakukan pada
pasien dengan pengobatan kortikosteroid.9,40,41

Anda mungkin juga menyukai