BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Trunyan terletak di dalam sutu kepundan gunung berapi purba, yang telah
meletus beberapa ribu tahun yang lalu. Gunung berapi itu ialah gunung Batur
Purba. Sebagian dari lubang kepunden itu kemudia berisi dengan air, dan
sekarang berubah menjadi danau, yang bernama Danau Batur. Disebelah barat
kepundan danau tersebut, tumbuhlah gunung yang tingginya mencapai ribuan
meter, yang kini dikenal dengan nama Gunung Batur.
Trunyan tepatnya terletak disebelah pantai timur Danau Batur, dan di
sebrang Gunung Batur. Desa ini berawal dari kisah Raja Solo yang bertahta di
Surakarta, yang mempunyai satu anak prempuan dan tiga laki-laki. yang suatu
hari menghirup aroma wangi yang sangat tajam, hingga beliau memutuskan
untuk mencari asal wangi itu, hingga sampailah di desa Trunyan.
B. Rumusan Masalah
1. Asal-asal suku Trunyan Bali Aga
2. Religi, Tempat, dna Upacara Keagamaan di Desa Trunyan
3. Upacara kematian dan Pemakaman di Desa Trunyan
C. Tujuan
Tujuan disusunnya makalah ini ialah agar mahasiswa dapat mengetahui
dengan jelas tentang asal-usul Trunyan, ritual, tempat dan upacara kematian,
serta bagaimana pemakamannya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Asal Usul suku Trunyan atau Bali Aga
Menurut legenda, pohon Taru Menyan ini dulu baunya sampai tercium
hingga Keraton Solo yang jaraknya beratu-ratus kilometer dari Bali. Karena bau
wangi itulah, empat bersaudara dari Keraton Solo mencoba untuk mencari
sumbernya. Alkisah, Raja Solo yang bertahta di Keraton Surakarta mempunyai
empat orang anak, tiga anak laki-laki dan seorang anak perempuan yang paling
bungsu. Suatu hari, tiba-tiba mereka mencium bau harum yang sangat
menyengat. Keempat bersaudara itu amat penasaran dan tertarik pada bau
harum itu. Akhirnya, mereka pun bersepakat untuk mencari sumbernya. Setelah
menyiapkan segala keperluan dan mendapat izin dari sang Ayah, mereka pun
mengadakan perjalanan menuju ke arah timur. Semakin jauh mereka ke timur,
bau harum itu kian menyengat. Setelah berbulan-bulan berjalan dengan
menyusuri hutan lebat, menyeberangi sungai, dan Selat Bali, akhirnya mereka
tiba di Pulau Bali. Kemudian mereka melanjutkan perjalanan hingga ke
perbatasan Pulau Bali di sebelah timur, yaitu perbatasan antara Desa Ciluk
Karangasem dan Tepi yang terletak di dekat Buleleng. Setiba di kaki Gunung
Batur sebelah selatan, si Putri Bungsu tiba-tiba menghentikan langkahnya dan
dia berkata kepada kakaknya bahwa dia menyukai tempat tersebut dan ingin
tinggal disana. Permintaan Putri Bungsu pun disetejui oleh ketiga kakaknya.
Sejak itulah, Putri Bungsu dari Kerajaan Surakarta itu berdiam di tempat
tersebut. Namun, ia kemudian pindah ke lereng Gunung Batur sebelah timur,
tempat Pura Batur berdiri. Selanjutnya, sang Putri diberi gelar Ratu Ayu Mas
Maketeg. Sementara itu, ketiga kakak Putri Bungsu kembali melanjutkan
perjalanan. Saat tiba di suatu dataran bernama Kedisan yang terletak di sebelah
barat daya Danau Batur, mereka mendengar suara burung yang amat merdu.
Saking senangnya, Pangeran Ketiga berteriak kegirangan. Namun, Pangeran
Sulung tidak senang mendengar kelakuan adiknya itu dan memarahinya. Akan
tetapi, Pangeran Sulung sudah terlanjur murka maka, ia pun menendang adiknya
hingga terjatuh dalam keadaan posisi duduk bersila dan berubah menjadi
patung. Hingga saat ini, patung batu Bathara (Dewa) itu itu masih dapat kita
temukan di Kedisan dengan posisi duduk bersila. Patung Bathara yang
merupakan penjelmaan Pangeran Ketiga Raja Solo itu diberi gelar Ratu Sakti
Sang Hyang Jero dan kini sedang bersemayam (melinggih) di Meru Tumpang
Pitu atau bangunan suci dalam pura yang beratap tujuh tingkat di Pura Dalam
Pingit, di Desa Kedisan. Tinggal dua orang pangeran yang tersisa dalam
perjalanan itu, yaitu Pangeran Sulung dan Pangeran Kedua. Mereka kemudian
melanjutkan perjalanan dengan menyusuri tepi Danau Batur sebelah timur.
Ketika sampai di sebuah dataran, mereka bertemu dua gadis cantik. Oleh karena
tertarik pada gadis-gadis itu, Pangeran Kedua pun menyapa mereka. Namun,
Pangeran Sulung tidak menyukai tindakan adiknya itu. Sekali lagi, Pangeran
Sulung sudah terlanjur naik pitam kepada adiknya. Pangeran Sulung kemudian
menyepak adiknya hingga jatuh dalam keadaan tertelungkup. Konon, Pangeran
Kedua itu kemudian menjadi kepala desa dan desa itu dinamakan Desa Abang
Dukuh. Disebut Abang karena tempat itu merupakan bagian dari Desa Abang,
dan dinamakan dukuh karena berasal dari kata telungkup yang dalam bahasa
setempat disebut dengan istilah dukuh.
Di Desa Trunyan, jenazah tidak dikubur atau dikremasi seperti yang umumnya
terjadi di wilayah lainnya, masyarakat Desa Trunyan menyimpan jenazah
kerabatnya yang telah meninggal di atas tanah, dengan ditutupi kain dan
bambu yang disusun membentuk prisma. Masyarakat desa Trunyan
menamakan upacara pemakamannya dengan istilah Mepasah. Seperti yang
telah disinggung di atas, bahwa dalam mepasah, setelah upacara pembersihan
dengan cara dimandikan dengan air hujan, jenazah hanya digeletakan di
permukaan tanah. Tempat pembaringan jenazah diberi lobang sekitar 10
hingga 20 cm agar posisi jenazah tidak bergeser akibat kontur tanah
pemakaman yang tidak rata. Kemudian selain bagian wajah, bagian tubuh
jenazah dibalut kain berwarna putih. Sebagai penanda, jenazah ditutup dengan
bambu yang disusun membentuk prisma yang disebut ancak saji. Yang unik
adalah meski pun jenazah diletakan di permukaan tanah, mayat tersebut tidak
tercium baunya. Jenazah tersebut diletakan di antara pohon Taru Menyan.
Aroma yang keluar dari pohon taru menyan inilah yang dapat menetralisir
udara di sekitarnya. Pohon yang mengeluarkan aroma khas yang kuat tersebut
hanya dapat tumbuh di daerah ini, meskipun telah dicoba ditanam di daerah
lain. Keunikan pohon ini agaknya telah menjadi cikal bakal nama desa
Trunyan. Di bawah satu pohon taru menyan, hanya dapat diletakkan maksimal
sebelas jenazah. Hal tersebut sudah diatur oleh kepercaan adat setempat.
Tetapi ada yang mengatakan bahwa satu pohon taru menyan hanya bisa
menetralisir sebelas jenazah, jadi jika lebih dari itu maka jenazah tersebut akan
mengeluarkan bau. Bila ada jenazah yang baru, maka maka satu jenazah yang
paling lama akan dipindahkan, ke tempat terbuka, tidak ditutupi dengan
kurung ancak saji lagi melainkan disatukan dengan dengan jenazah lainnya
dalam tatanan batu atau di bawah pohon. Maka tidak heran jika di tempat
tersebut, terdapat tulang belulang dan barang-barang bekal sesaji seperti
sandal, sendok, piring, pakaian, dan lain-lain berserakan di area pemakaman.
Hal tersebut memang disengaja karena tidak boleh ada barang yang yang
dibawa keluar dari area pemakaman ini. Tetapi tidak semua jenazah dapat
diperlakukan sama seperti yang telah disebutkan. Hanya pada kondisi tertentu
saja jenazah dapat dimakamkan seperti ini. Syarat jenazah yang dapat
dimakamkan dengan cara tersebut adalah mereka yang pada waktu meninggal
termasuk orang-orang yang telah berumah tangga, orang-orang yang masih
bujangan dan anak kecil yang gigi susunya telah tanggal, orang-orang yang
meninggal dalam keadaan wajar dan tidak terdapat luka yang belum sembuh,
serta memiliki bagian tubuh yang lengkap. Jika tidak memenuhi syarat
tersebut, maka jenazah disemayamkan dengan cara dikubur. Adat Desa
Trunyan telah mengatur tata cara pemakaman untuk masyarakatnya.
Terdapat tiga jenis sema (makam) yang berada di Desa Trunyan dan telah
dibedakan berdasar umur orang yang meninggal, keutuhan bagian-bagian
tubuh, dan cara penguburannya. Area pemakaman pertama disebut
sebagai sema wayah, tempat pemakaman yang dianggap paling baik dan
paling suci, yaitu ketika jenazah dapat dimakamkan dengan cara mepasah.
Jenis pemakaman kedua adalah sema muda, di tempat ini jenazah
dikebumikan dengan cara dikubur, diperuntukkan bagi anak-anak atau bayi
yang gigi susunya belum tanggal. Jenis ketiga adalah sema bantas, sama
halnya dengan sema muda jenazah dikebumikan dengan cara dikubur, namun
diperuntukkan bagi orang-orang yang Ulah Pati dan Salah Pati, yaitu pada
saat meninggal masih meninggalkan luka dan penyebab kematiannya tidak
wajar seperti kecelakaan, kehilangan nyawa disebabkan oleh tindakan
orang lain, kehilangan nyawa karena sengaja, dan ada bagian tubuh yang tidak
utuh.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Suku Trunyan awalnya terjadi disebabkan bau harum dari sebuah pohon
yang disebut Taru Menyan, yang mempunyai arti pohon harum, yang
menjadikan ketertarikan bagi siapa saja yang menghirupnya, hingga pangeran
dan putri dari kerajaan Surakarta memutuskan untuk mencari bau harum itu.
Dari cerita itulah awal mula terjadi DesamTrunyan.
Dari segala adat kebudayaan yang menjadi sorotan adalah tradisi
pemakaman di desa ini. Jika pada umumnya di Bali, orang meninggal di
makamkan, ataupun dengan cara Ngaben, namun di Trunyan hanya di letakkan
dibawah pohon Taru Menyan, atau disebut dengan peristiwa Mepasah.
Walaupun banyak yang bilang Bali Trunyan adalah Hindu namun pada
kenyatannya banyak dari ajaran maupun kepercayaan mereka yang berbeda dari
orang Hindu yang ada di Bali pada umumnya. Mereka mempunyai dewa-dewa
sendiri.
B. Saran
Makalah ini hanya mengambil sebagian kecil dari apa yang kita bahas.
Maka dari itu di sarankan buat pembaca supaya lebih mendalami dari tulisan-
tulisan lain agar bertambah dalam kepahaman dan ilmu yang didapatkan
mengenai tempat-tempat yang ada dan bagaimana asal-usul serta adat maupaun
kebudayaan yang ada pada tempat tresebut.