Anda di halaman 1dari 13

ILMU ALAMIAH DASAR

(LEGENDA PROSESI PENGUBURAN MASYARAKAT TERUNYAN)

NAMA : DESAK NYM AVRILIA TRIANGGITA D.


NIM : 1802013422
KELAS : 1C MANAJEMEN

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Trunyan terletak di dalam sutu kepundan gunung berapi purba, yang telah
meletus beberapa ribu tahun yang lalu. Gunung berapi itu ialah gunung Batur
Purba. Sebagian dari lubang kepunden itu kemudia berisi dengan air, dan
sekarang berubah menjadi danau, yang bernama Danau Batur. Disebelah barat
kepundan danau tersebut, tumbuhlah gunung yang tingginya mencapai ribuan
meter, yang kini dikenal dengan nama Gunung Batur.
Trunyan tepatnya terletak disebelah pantai timur Danau Batur, dan di
sebrang Gunung Batur. Desa ini berawal dari kisah Raja Solo yang bertahta di
Surakarta, yang mempunyai satu anak prempuan dan tiga laki-laki. yang  suatu
hari menghirup aroma wangi yang sangat tajam, hingga beliau memutuskan
untuk mencari asal wangi itu, hingga sampailah di  desa Trunyan.

B.     Rumusan Masalah
1.      Asal-asal suku Trunyan Bali Aga
2.      Religi, Tempat, dna Upacara Keagamaan di Desa Trunyan
3.      Upacara kematian dan Pemakaman di Desa Trunyan

C.    Tujuan
Tujuan disusunnya makalah ini ialah agar mahasiswa dapat mengetahui
dengan jelas tentang asal-usul Trunyan, ritual, tempat dan upacara kematian,
serta bagaimana pemakamannya.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Asal Usul suku Trunyan atau Bali Aga

Menurut legenda, pohon Taru Menyan ini dulu baunya sampai tercium
hingga Keraton Solo yang jaraknya beratu-ratus kilometer dari Bali. Karena bau
wangi itulah, empat bersaudara dari Keraton Solo mencoba untuk mencari
sumbernya. Alkisah, Raja Solo yang bertahta di Keraton Surakarta mempunyai
empat orang anak, tiga anak laki-laki dan seorang anak perempuan yang paling
bungsu. Suatu hari, tiba-tiba mereka mencium bau harum yang sangat
menyengat. Keempat bersaudara itu amat penasaran dan tertarik pada bau
harum itu. Akhirnya, mereka pun bersepakat untuk mencari sumbernya. Setelah
menyiapkan segala keperluan dan mendapat izin dari sang Ayah, mereka pun
mengadakan perjalanan menuju ke arah timur. Semakin jauh mereka ke timur,
bau harum itu kian menyengat. Setelah berbulan-bulan berjalan dengan
menyusuri hutan lebat, menyeberangi sungai, dan Selat Bali, akhirnya mereka
tiba di Pulau Bali. Kemudian mereka melanjutkan perjalanan hingga ke
perbatasan Pulau Bali di sebelah timur, yaitu perbatasan antara Desa Ciluk
Karangasem dan Tepi yang terletak di dekat Buleleng. Setiba di kaki Gunung
Batur sebelah selatan, si Putri Bungsu tiba-tiba menghentikan langkahnya dan
dia berkata kepada kakaknya bahwa dia menyukai tempat tersebut dan ingin
tinggal disana. Permintaan Putri Bungsu pun disetejui oleh ketiga kakaknya.
Sejak itulah, Putri Bungsu dari Kerajaan Surakarta itu berdiam di tempat
tersebut. Namun, ia kemudian pindah ke lereng Gunung Batur sebelah timur,
tempat Pura Batur berdiri. Selanjutnya, sang Putri diberi gelar Ratu Ayu Mas
Maketeg. Sementara itu, ketiga kakak Putri Bungsu kembali melanjutkan
perjalanan. Saat tiba di suatu dataran bernama Kedisan yang terletak di sebelah
barat daya Danau Batur, mereka mendengar suara burung yang amat merdu.
Saking senangnya, Pangeran Ketiga berteriak kegirangan. Namun, Pangeran
Sulung tidak senang mendengar kelakuan adiknya itu dan memarahinya. Akan
tetapi, Pangeran Sulung sudah terlanjur murka maka, ia pun menendang adiknya
hingga terjatuh dalam keadaan posisi duduk bersila dan berubah menjadi
patung. Hingga saat ini, patung batu Bathara (Dewa) itu itu masih dapat kita
temukan di Kedisan dengan posisi duduk bersila. Patung Bathara yang
merupakan penjelmaan Pangeran Ketiga Raja Solo itu diberi gelar Ratu Sakti
Sang Hyang Jero dan kini sedang bersemayam (melinggih) di Meru Tumpang
Pitu atau bangunan suci dalam pura yang beratap tujuh tingkat di Pura Dalam
Pingit, di Desa Kedisan. Tinggal dua orang pangeran yang tersisa dalam
perjalanan itu, yaitu Pangeran Sulung dan Pangeran Kedua. Mereka kemudian
melanjutkan perjalanan dengan menyusuri tepi Danau Batur sebelah timur.
Ketika sampai di sebuah dataran, mereka bertemu dua gadis cantik. Oleh karena
tertarik pada gadis-gadis itu, Pangeran Kedua pun menyapa mereka. Namun,
Pangeran Sulung tidak menyukai tindakan adiknya itu. Sekali lagi, Pangeran
Sulung sudah terlanjur naik pitam kepada adiknya. Pangeran Sulung kemudian
menyepak adiknya hingga jatuh dalam keadaan tertelungkup. Konon, Pangeran
Kedua itu kemudian menjadi kepala desa dan desa itu dinamakan Desa Abang
Dukuh. Disebut Abang karena tempat itu merupakan bagian dari Desa Abang,
dan dinamakan dukuh karena berasal dari kata telungkup yang dalam bahasa
setempat disebut dengan istilah dukuh.

Pangeran Sulung melanjutkan perjalanan seorang diri untuk mencari sumber


bau harum itu. Ia kembali menyusuri pinggir Danau Batur yang curam di
sebelah timur. Setiba di sebuah dataran, ia mendapati seorang dewi yang cantik
jelita sedang duduk sendirian di bawah pohon Taru Menyan. Pangeran Sulung
rupanya amat terpesona pada kecantikan sang Dewi dan berniat untuk
melamarnya. Ketika ia menghampiri dewi itu, bau harum yang berasal dari
pohon Taru Menyan itu semakin menusuk hidungnya. Pangeran Sulung pun
semakin mantap untuk melamar dewi itu. Lamaran itu ia sampaikan kepada
kakak sang Dewi dengan syarat bahwa Pangeran Sulung diperintahkan untuk
menjadi pancer jagat (pasak dunia) atau pemimpin desa tersebut dan syarat
itupun langsung diterimanya. Akhirnya, pesta perkawinan Pangeran Sulung dan
sang Dewi dilangsungkan dengan meriah. Setelah itu, Pangeran Sulung
dinobatkan sebagai pemimpin desa yang dikenal dengan nama Desa Trunyan.
Nama desa itu diambil dari nama pohon Taru Menyan. Taru berarti pohon dan
menyan berarti harum.Kemudian, setelah menjadi suami sang Dewi, Pangeran
Sulung diberi gelar Ratu Sakti Pancering Jagat, sedangkan istrinya bergelar
Ratu Ayu Pingit Dalam Dasar. Ratu Sakti Pancering Jagat kemudian menjadi
dewa tertinggi orang Trunyan, sedangkan istrinya menjadi Dewi Danau Batur
yang hingga kini dipercaya sebagai penguasa danau tersebut. Sejak itulah, Ratu
Sakti Pancering Jagat dibantu sang istri memimpin Desa Trunyan dengan arif
dan bijaksana. Lama-kelamaan, desa itu pun berkembang menjadi kerajaan
kecil. Sebagai raja yang arif dan bijaksana, Ratu Sakti Pancering Jagat
menginginkan negeri dan seluruh rakyatnya hidup aman dan tenteram serta
terhindar dari serangan luar. Oleh karena itulah, ia pun memerintahkan seluruh
rakyat untuk menghilangkan bau semerbak itu. Diperintahkan agar jenazah-
jenazah orang Trunyan tidak lagi dikuburkan, tetapi dibiarkan saja membusuk
di bawah pohon Taru Menyan sehingga bau harum itu tidak akan lagi
mengundang kedatangan orang luar ke negeri ini Sejak itulah, setiap ada
penduduk Trunyan yang meninggal, jenazah mereka hanya dibiarkan
membusuk di atas tanah. Karena bau busuk itulah, Desa Trunyan tidak lagi
mengeluarkan bau harum. Demikian pula sebaliknya, jenazah-jenazah
penduduk Trunyan itu juga tidak mengeluarkan bau busuk. Bau harum dan bau
busuk tersebut telah saling menetralisir.
Sampai saat ini masyarakat Desa Trunyan masih melakukan pemakaman
dengan cara meletakkan jenazah begitu saja dibawah pohon Taru Menyan.

B. Religi, Tempat dan Upacara Keagamaan

1. Sistem Religi Desa Trunyan


Kepercayaan yang menghubungkan dengan sistem kepercayaan orang
Trunyan adalah kepercayaan mengenal: Dunia gaib, Dewa-dewa, Mahluk-
mahluk halus, Roh pribadi dan roh leluhur, dan Kekuatan sakti. Berikut
penjelasan dari kepercayaan-kepercayaan tersebut.
a) Dunia Gaib, orang trunyan sadar bahwa dunianya terdiri dari dua aspek, yaitu
dunia nyata dan yang tidak tampak. Yang tidak tampak itu lah yang menjadi
sistem kepercayaan. Dunia ini berada di luar jangkauan panca indrannya dan
diluar batas akalnya, yang disebut dengan dunia gaib. Di dunia tersebutlah
terdapat berbagai mahluk halus dan kekuatan sakti, yang tidak dapat dikuasai
manusia secara biasa, melainkan dengan cara luar biasa, dan karena kebanyakan
orang  Trunyan tergolong mereka yang tidak mempunyai ilmu gaib untuk
menghadapi mahluk-mahluk dan tenaga-tenaga gaib tersebut, maka timbullah
ketakutan yang sangat terhadap mereka. Jalan yang ditempuh untuk
menhadapinya adalah mengambil hati dan menyembahnya.
b) Dewa-dewa, jumlah dewa-dewa yang diyakini di Trunyan sendiri sangat
banyak. Kebanyakan dari mereka mempunyai tempat persemayaman
(palinggih) sendiri di dalam kuil utama di Trunyan. Mereka meyakini bahwa
dewa akan berada di tempat persemayaman ketika sedang ada upacara tertentu
seperti peringatan untuk mereka pribadi masing-masing. Dewa disana dapat
dibagi menjadi beberapa golongan, misalnya dewa-dewa di sana dapat dibagi
menjadi dua golongan berdasarkan perhubungannya dengan dewanya (Ratu
Sakti Pancering Jagat), yaitu dalam hubungan kekerabatan, atau dalam
hubungan pemerintahan. Adapun pembagian yang lain dilihat dari perbedaan
lokasi palinggihnya, yaitu berada di desa induk Trunyan. Dewa yang berada
digolongan pertama adalah yang dipuja oleh setiap penduduk Trunyan, yang
kedua hanya dipuji oleh penduduk desa tertentu saja.
c) Mahluk-mahluk Halus, Selain para dewa orang Trunyan juga mempercayai
tentang dunia alam gaib mereka, berdiam lain-lain mahluk halus, seperti buta
kala, anak di petang, jim, bintang-bintang gaib dan lain-lain.
d) Roh Pribadi dan Roh Leluhur, Orang trunyan juga membedakan antara badan
halus dan badan kasar. Jika badan kasar akan lenyap ketika orang yang
memiliki meninggal, maka badan halus atau rohnya tidak. Roh manusia itu
abadi, dan roh tersebut akan terus kembali menitis ke tubuh orang sedadianya. 
Penitisan terus menerus suatu roh di dalam suatu dadia, dari generasi yang satu
ke generasi yang lain, menyebabkan orang Trunyan tidak berani menyakiti anak
dam keturunannya, karena takut anak dan keturunannya itu sebenarnya titisan
roh leluhur.
e) Kekuatan Sakti, percaya tentang adanya kekuatan-kekuatan gaib dalam gelaja-
gejala, hal-hal dan peristiwa luar biasa. Gejala dan hal-hal itu dapat berupa
gejala alam, tokoh-tokoh manusia, bagian-bagian tubuh manusia, tumbuh-
tumbuhan, benda- benda serta suara yang luar biasa. Peristiwa luar biasanya itu
peristiwa yang semata-mata menyimpang dari kebiasaan jalan kehidupannya
sehari hari.

2. Tempat dan Upacara Keagamaan


Upacara keagamaan yang terdapat di suku Trunyan terbagi menjadi lima,
yaitu sebagai berikut:
Pertama, Dewa Yadnya, biasa disebut dengan Odalan, yang bertujuan untuk
mengambil hati dewa yang diupacarakan. Hampir setiap bulan ada upacara ini.
Salah satunya adalah upacara Saba Gede yang dilakukan pada saat Tilem
Kesangadan Odalan Ratu Pingit Dalem pada saat purnama Sadha.
Kedua, Pitra Yadnya, upacara yang dilakukan untuk para leluhur dan para
kerabat, apabila ada kematian. Ketiga, Resi Yadnya, upacara yang dilakukan
untuk pentahbisan pendeta.Keempat, Buta Yadnya, Upacara yang dilakukan
untuk para buta kala, biasanya juga dengan Mercaru.
Kelima, Manusia Yadnya, upacara yang dilakukan untuk manusia yang masih
hidup. Misalnya upacara ulang tahun otonan yang berlangsung enam bulan
sekali.
Dalam kebudayaan orang Trunyan, jika seseoran tidak dalam keadaan sebel
maka bisa dikatakan bahwa upacara-upacara yang rutin akan dilakukan setiap
lima belas hari sekali. Dari  kelima jenis upacara diatas hanya upacara Odalan,
Mecaru dan Otonan yang dapat dikatakan sebagai upacara rutin.
Hindu Trunyan tidak memiliki hari raya yang sama dengan Hindu di Bali pada
umumnya. Hari-hari raya seperti galangan, kunigan, ciwartri, saraswatri, dan
pagerwesi, tidak dirayakan. Bahkan nyepi pun tidak. Jika diantara mereka
melakukan amati geni pada saat nyepi bukan karena mereka merayakan tatapi
karena takut tidak disebut sebagai orang Hindu oleh orang Hindu Bali fanatik.
Hari dimana upacara seba gede dilakukan bisa dikatakan sebagai hari raya yagn
terbesar bagi orang Trunyan, selain itu hair pelaksanaannya bertepatan dengan
hari raya nyepi.

C. Upacara kematian dan pemakaman di Desa Trunyan

Di Desa Trunyan, jenazah tidak dikubur atau dikremasi seperti yang umumnya
terjadi di wilayah lainnya, masyarakat Desa Trunyan menyimpan jenazah
kerabatnya yang telah meninggal di atas tanah, dengan ditutupi kain dan
bambu yang disusun membentuk prisma. Masyarakat desa Trunyan
menamakan upacara pemakamannya dengan istilah Mepasah. Seperti yang
telah disinggung di atas, bahwa dalam mepasah, setelah upacara pembersihan
dengan cara dimandikan dengan air hujan, jenazah hanya digeletakan di
permukaan tanah. Tempat pembaringan jenazah diberi lobang sekitar 10
hingga 20 cm agar posisi jenazah tidak bergeser akibat kontur tanah
pemakaman yang tidak rata. Kemudian selain bagian wajah, bagian tubuh
jenazah dibalut kain berwarna putih. Sebagai penanda, jenazah ditutup dengan
bambu yang disusun membentuk prisma yang disebut ancak saji. Yang unik
adalah meski pun jenazah diletakan di permukaan tanah, mayat tersebut tidak
tercium baunya. Jenazah tersebut diletakan di antara pohon Taru Menyan.
Aroma yang keluar dari pohon taru menyan inilah yang dapat menetralisir
udara di sekitarnya. Pohon yang mengeluarkan aroma khas yang kuat tersebut
hanya dapat tumbuh di daerah ini, meskipun telah dicoba ditanam di daerah
lain. Keunikan pohon ini agaknya telah menjadi cikal bakal nama desa
Trunyan. Di bawah satu pohon taru menyan, hanya dapat diletakkan maksimal
sebelas jenazah. Hal tersebut sudah diatur oleh kepercaan adat setempat.
Tetapi ada yang mengatakan bahwa satu pohon taru menyan hanya bisa
menetralisir sebelas jenazah, jadi jika lebih dari itu maka jenazah tersebut akan
mengeluarkan bau. Bila ada jenazah yang baru, maka maka satu jenazah yang
paling lama akan dipindahkan, ke tempat terbuka, tidak ditutupi dengan
kurung ancak saji lagi melainkan disatukan dengan dengan jenazah lainnya
dalam tatanan batu atau di bawah pohon. Maka tidak heran jika di tempat
tersebut, terdapat tulang belulang dan barang-barang bekal sesaji seperti
sandal, sendok, piring, pakaian, dan lain-lain berserakan di area pemakaman.
Hal tersebut memang disengaja karena tidak boleh ada barang yang yang
dibawa keluar dari area pemakaman ini. Tetapi tidak semua jenazah dapat
diperlakukan sama seperti yang telah disebutkan. Hanya pada kondisi tertentu
saja jenazah dapat dimakamkan seperti ini. Syarat jenazah yang dapat
dimakamkan dengan cara tersebut adalah mereka yang pada waktu meninggal
termasuk orang-orang yang telah berumah tangga, orang-orang yang masih
bujangan dan anak kecil yang gigi susunya telah tanggal, orang-orang yang
meninggal dalam keadaan wajar dan tidak terdapat luka yang belum sembuh,
serta memiliki bagian tubuh yang lengkap. Jika tidak memenuhi syarat
tersebut, maka jenazah disemayamkan dengan cara dikubur. Adat Desa
Trunyan telah mengatur tata cara pemakaman untuk masyarakatnya.
Terdapat tiga jenis sema (makam) yang berada di Desa Trunyan dan telah
dibedakan berdasar umur orang yang meninggal, keutuhan bagian-bagian
tubuh, dan cara penguburannya. Area pemakaman pertama disebut
sebagai sema wayah,  tempat pemakaman yang dianggap paling baik dan
paling suci, yaitu ketika jenazah dapat dimakamkan dengan cara mepasah.
Jenis pemakaman kedua adalah sema muda, di tempat ini jenazah
dikebumikan dengan cara dikubur, diperuntukkan bagi anak-anak atau bayi
yang gigi susunya belum tanggal. Jenis ketiga adalah sema bantas, sama
halnya dengan sema muda jenazah dikebumikan dengan cara dikubur, namun
diperuntukkan bagi orang-orang yang Ulah Pati dan Salah Pati,  yaitu pada
saat meninggal masih meninggalkan luka dan penyebab kematiannya tidak
wajar seperti kecelakaan, kehilangan nyawa disebabkan oleh tindakan
orang lain, kehilangan nyawa karena sengaja, dan ada bagian tubuh yang tidak
utuh.
BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Suku Trunyan awalnya terjadi disebabkan bau harum dari sebuah pohon
yang disebut Taru Menyan, yang mempunyai arti pohon harum, yang
menjadikan ketertarikan bagi siapa saja yang menghirupnya, hingga pangeran
dan putri dari kerajaan Surakarta memutuskan untuk mencari bau harum itu.
Dari cerita itulah awal mula terjadi DesamTrunyan.
Dari segala adat kebudayaan yang menjadi sorotan adalah tradisi
pemakaman di desa ini. Jika pada umumnya di Bali, orang meninggal di
makamkan, ataupun dengan cara Ngaben, namun di Trunyan hanya di letakkan
dibawah pohon Taru Menyan, atau disebut dengan peristiwa Mepasah.
Walaupun banyak yang bilang Bali Trunyan adalah Hindu namun pada
kenyatannya banyak dari ajaran maupun kepercayaan mereka yang berbeda dari
orang Hindu yang ada di Bali pada umumnya. Mereka mempunyai dewa-dewa
sendiri.

B.     Saran
Makalah ini hanya mengambil sebagian kecil dari apa yang kita bahas.
Maka dari itu di sarankan buat pembaca supaya lebih mendalami dari tulisan-
tulisan lain agar bertambah dalam kepahaman dan ilmu yang didapatkan
mengenai tempat-tempat yang ada dan bagaimana asal-usul serta adat maupaun
kebudayaan yang ada pada tempat tresebut.

Anda mungkin juga menyukai