Nino Fin
Nino Fin
ABSTRACT
Waste service levels are not optimal in several areas affected by the limited ability of
local government financing. These conditions encourage cooperation between
government and private sector in waste management including solid waste final
treatment. This study intends to explain the obstacles and challenges of
implementation of the government and private cooperation in descriptive explorative
approach to the theory of structuration. The study shows most of the problems found
on the domain structure and agency. Nevertheless some obstacles and challenges can
be addressed through the strategy de-bureaucratization, de-politicization, network
development, and development of independent institutions that manage the
cooperation. Most of these strategies was tested region of Surabaya, Gresik and
Sidoarjo to support the cooperation of government, private sector and communities in
managing the regional solid waste final treatment.
ABSTRAK
PENDAHULUAN
METODE PENELITIAN
dan swasta dalam pengelolaan TPAS. Penelitian ini dilaksanakan pada tahun 2008
dengan lokasi penelitian di wilayah Sarbagita, Kartamantul dan Bekasi.
Proses pengumpulan data primer penelitian ini mengunakan beberapa metode
antara lain ; wawancara mendalam, focused group discussion (FGD) dan pengamatan
lapangan. Narasumber kunci dan informan yang diwawancarai dan digali informasinya
melalui FGD antara lain Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kota Bekasi, Kepala Badan
Pelaksana Kebersihan (BPK) Sarbagita, Manajer Sekber Kartamantul, Kepala Dinas
Kebersihan dan Pertamanan Kota Denpasar, Badung dan Gianyar, serta Humas PT.
Gikoko Kogyo Indonesia dan PT. Navigat Organik Energi Indonesia. Sementara untuk
data-data sekunder seperti dokumen-dokumen resmi pemerintah dan leaflet/booklet
perusahaan menggunakan metode dokumentasi data sekunder.
Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini menerapkan kaidah-
kaidah dalam penelitian kualitatif, yaitu dengan cara mengumpulkan data,
mengklasifikasi data, kemudian menafsirkan data dan yang terakhir membuat
kesimpulan dari data tersebut (Miles dan Huberman, 1992). Dalam analisis data,
kategorisasi data yang digunakan menggunakan teori strukturasi yang di kemukakan
oleh Anthony Giddens. Strukturasi menurut Giddens adalah kondisi-kondisi yang
mengatur keterulangan atau transformasi struktur-struktur dan karenanya reproduksi
sistem-sistem sosial itu sendiri (Giddens, 2010).
Dalam teori strukturasi terdapat kategori struktur dan agensi dimana struktur
didefinisikan sebagai aturan dan sumber daya atau seperangkat relasi transformasi,
terorganisasi sebagai kelengkapan-kelengkapan sistem-sistem sosial. Sementara
agensi berkaitan dengan kejadian-kejadian yang melibatkan individu sebagai pelaku,
dalam artian bahwa individu itu bisa bertindak berbeda dalam setiap fase apapun
dalam suatu tindakan tertentu. Struktur dalam makalah ini dioperasionalisasikan
sebagai kebijakan, mekanisme dan sumberdaya sistemik. Sementara untuk konsep
agensi dioperasionalisasikan sebagai kapasitas SDM, motivasi dan tindakan agen.
Profil KPS
Setiap daerah yang mengembangkan KPS dalam pengelolaan TPA sampah
memiliki alasan, bentuk kemitraan dan pola pembiayaan sendiri-sendiri. Namun
demikian alasan keterbatasan dana pemerintah masih menjadi faktor dominan
pendorong kerjasama pemda dan swasta. Selain itu penangkapan/pembakaran gas
metan melalui skema CDM dan waste to energy menjadi pilihan teknologi pengolahan
yang dipilih di ketiga daerah. Untuk lebih detailnya profil KPS yang dikembangkan di
masing-masing daerah dapat dilihat dalam tabel 1.
Mitra Swasta Tsimitsu Jepang PT. Navigat Organik PT. Gikoko Kogyo
Energi Indonesia Indonesia
Bentuk Kemitraan Penangkapan gas Pengolahan gas metan Proyek Land Gas
metan untuk menghasilkan Flarring
energi listrik
untuk wilayah Tabanan. Jarak dan waktu tempuh menyebabkan biaya transportasi
sampah dari Tabanan ke TPA Suwung menjadi tinggi. Padahal pemda Sarbagita
termasuk Tabanan terikat kontrak penyediaan pasokan sampah minimal 500 ton per
hari. Kemudian hambatan yang lain berada pada wilayah struktur legitimasi berupa
kontradiksi kewajiban 3 R dengan jumlah kuota minimal sampah yang harus dipasok di
TPA Suwung. UU Pengelolaan Sampah secara normatif mewajibkan seluruh
stakeholder mereduksi sampah dari sumbernya, namun dalam kontrak KPS
mensyaratkan kuota minimal sampah yang harus disediakan pemda.
Untuk hambatan KPS pada domain agensi di Bali lebih bersumber pada
motivasi dan tindakan. Dengan pemda tidak mau dibebani tipping fee berpotensi
menjadi hambatan serius ketika swasta tidak segera mendapatkan pemasukan dari
penjualan produk perdagangan carbon maupun dari produksi listrik. Padahal swasta
harus membiayai operasional dan pemeliharaan TPA sekaligus bangunan dan
teknologi yang ada didalamnya. Ketika pemda tidak mau terlibat dalam pemasaran
produk perdagangan carbon maupun dari produksi listrik masih bisa dipahami. Namun
untuk produk kompos relatif sulit pemasarannya karena biasanya masih mengandung
unsur logam berat yang tinggi, untuk itu masih diperlukan campur tangan pemda dalam
pemasarannya. Misalnya kompos dibeli pemda melalui dinas pertamanan untuk
pemupukan tanaman hias di taman-taman atau RTH.
Hambatan implementasi KPS di Bekasi pada domain struktur bersumber dari
kebijakan dan sumberdaya sistemik. Perpres 67 tahun 2005 sebagai struktur legitimasi
ternyata tidak sepenuhnya di patuhi oleh pemda-pemda yang melakukan KPS. Bagi
PT. Gikoko ketidakpastian dalam implementasi Perpres 67 tahun 2005 khususnya
kewajiban melakukan pelelangan menimbulkan keragu-raguan dalam berinvestasi.
Lemahnya akurasi database sampah di TPA juga dapat menimbulkan kerugian karena
dapat mengacaukan semua rencana pengelolaan maupun perhitungan bisnis yang
telah direncanakan. Database sampah yang akurat merupakan sumberdaya sistemik
yang sangat penting artinya, untuk itu kelengkapan alat ukur (jembatan timbang)
maupun pengukur digital yang terkalibrasi dengan baik adalah suatu keharusan.
Untuk hambatan pada domain agensi di Bekasi terkait perbedaan persepsi
mengenai kewenangan dan fungsi operator dalam pengelolaan sampah di TPA Sumur
Batu. PT. Gikoko memandang bahwa mereka hanya memanfaatkan gas metan dan
mengolahnya menjadi energi listrik sehingga kewenangan dan fungsi operator TPA
sebagai suatu sistem berada di pundak Pemkot Bekasi. Pemkot Bekasi memandang
bahwa PT. Gikoko harus bertanggungjawab dalam pengelolaan sampah di TPA Sumur
Batu karena melakukan aktifitas pengolahan gas metan di TPA Sumur Batu. Situasi ini
menegaskan ketegangan struktur signifikansi dimana interpretasi terhadap fungsi dan
kewenangan operator diantara kedua agensi ini belum tuntas. Dengan demikian masih
ada celah multitafsir yang lebar dalam dokumen kontrak antara pemkot Bekasi dan PT.
Gikoko.
Tantangan KPS pada domain struktur berupa prosedur CDM yang panjang dan
rumit dihadapi oleh ketiga daerah. Untuk menggambarkan panjangnya prosedur CDM
dapat di lihat pada gambar 1 (Setiabudi, 2008). Pada bagan tersebut ada 10 langkah
dari pelaksanaan feasibility study dan due diligence hingga terjadinya transaksi CER
yang berarti telah terjadi jual beli karbon. Pengalaman di Bali dan Bekasi menunjukkan
proses validasi dan verifikasi oleh tim operational entity (langkah no. 4 dan 8) untuk
memastikan berapa emisi karbon yang telah tereduksi dengan tepat bisa dilakukan
berulang-ulang kali.
Dalam cara pandang strukturasi, prosedur ini berada pada level struktur
legitimasi dimana upaya mengolah gas metan di TPA sampah belum diakui secara sah
jika belum di pastikan kesahihannya oleh sekelompok ahli dalam tim operational entity
yang memiliki legitimasi untuk melakukan proses validasi dan verifikasi. Dalam kedua
proses tersebut ada metode-metode perhitungan, pengujuan-pengujian, pengukuran
dan serangkaian aktivitas yang mengikuti standar atau rumus-rumus baku tertentu
yang diakui obyektifitasnya. Standar-standar dan rumus-rumus inilah yang menjadi
norma yang menentukan apakah pengolahan gas metan di TPA tersebut sahih atau
tidak sehingga layak atau tidak untuk diberikan sertifikat CER.
Feasibility dan
1 Due Diligence
Penyetujuan Registrasi ke
2 Metodologi 6 Executive Board
8 Verifikasi oleh OE
Implementasi
7
Penerbitan CERs
9 oleh EB
SUMBER : KLH
10 Transaksi CERs
PEMKOT BEKASI 14
Tantangan lain yang jamak adalah kebijakan harga jual listrik dalam skema
PPA (power purchase agreement) yang menjadi dasar jual beli listrik hasil pengolahan
sampah dengan PLN. Dalam FGD yang diselenggarakan di Bali terungkap bahwa
skema PPA ini dirasakan masih sangat murah jika dibandingkan dengan biaya yang
diinvestasikan untuk pembangkit listrik di TPA. Untuk biaya operasional 800 ton
sampah diperlukan biaya sebesar $ 30 juta menghasilkan energi listrik 10 MW.
Tantangan ini membuat swasta harus mampu meningkatkan kapasitas produksinya
sehingga energi yang dihasilkan bisa lebih besar.
Penentuan kebijakan harga jual listrik dalam skema PPA merupakan masuk
dalam kategori struktur signifikansi. Kepentingan swasta dan pemda yang bekerjasama
agar harga jual listrik dinaikkan dan kepentingan pemerintah pusat bertemu dalam
menginterpretasikan berapa harga jual listrik yang kompetitif.
Untuk kasus Bekasi dimana dalam dokumen kontrak terdapat klausul seluruh
kewajiban Pemkot Bekasi ke Bank Dunia dilimpahkan kepada PT. Gikoko, menjadi
tantangan yang tidak mudah untuk dihadapi. Ketika motivasi/kepentingan pengalihan
kewajiban ini dituangkan kedalam dokumen kontrak, maka pada saat itu yang berlaku
adalah struktur dominasi. Meskipun merupakan struktur dominasi, dengan melihatnya
sebagai tantangan akan lebih memungkinkan PT. Gikoko mensiasati struktur tersebut
secara kreatif dengan berbagai upaya untuk meningkatkan produktifitas.
Tantangan pada domain agensi secara umun berkaitan dengan kepentingan
masyarakat sekitar TPA dan komunitas pemulung yang jauh sebelum adanya KPS
sudah beraktifitas di TPA sampah. Dalam FGD di Yogyakarta masyarakat dan
perwakilan pemulung mempertanyakan bagaimana keberadaan mereka jika proses
penangkapan gas metan jadi dilakukan. Padahal dalam ketentuannya penangkapan
gas metan harus steril dari aktifitas pemulungan dan peternakan sapi. Dalam konteks
ini tantangan yang sebenarnya adalah bagaimana pewadahan aktifitas masyarakat
yang tidak mengganggu proses penangkapan gas metan sekaligus bisa menjaga mata
pencaharian dan tingkat penghasilan yang selama ini diterima masyarakat/pemulung.
Jika tantangan ini tidak bisa dijawab maka berpotensi besar menimbulkan konflik atau
resistensi dari masyarakat.
Untuk kasus Bekasi konteks dan ketegangannya agak berbeda dengan Bali
dan Yogyakarta. Dalam dokumen kontrak disebutkan bahwa dari hasil penjualan
karbon kredit, masyarakat sekitar TPA akan mendapatkan 7 % untuk community
development. Tantangan bagi PT. Gikoko adalah bagaimana meningkatkan
produktifitas dan memastikan karbon kredit terjual sehingga tersedia dana untuk
pelaksanaan community development kepada masyarakat sekitar TPA. Apabila
penjualan karbon kredit tidak terlaksana maka konsekuensinya berpotensi
menimbulkan konflik dengan masyarakat. Masyarakat telah menyetujui aktifitas
penangkapan gas metan di TPA Sumur Batu dengan harapan bisa mendapatkan
kompensasi yang disepakati.
dibuituhkan PT. NOEI dan keterbatasan dalam pengangkutan sampah dari Tabanan.
Dengan memperluas area pelayanan seperti pasar-pasar, hotel dan kawasan-kawasan
pariwisata bisa menjawab kekhawatiran berkurangnya pasokan sampah jika dilakukan
3 R dipernukiman-permukiman. Bukan kebetulan kawasan-kawasan tersebut
mayoritas berada di Denpasar dan Badung sehingga lebih efesien dalam
pengangkutannya karena lebih dekat dari TPA Suwung.
Untuk kesepakatan sharing pembiayaan TPA Suwung oleh pemda Sarbagita
sebenarnya merupakan komitmen dalam kerangka kerjasama regional. Dengan
adanya tipping fee bisa menjadi dobel sharing pembiayaan sehingga akan sangat
membebani APBD pemda Sarbagita. Kesepakatan ini bisa menjadi jawaban
sementara dari ketidakmauan Pemda membayar tipping fee kepada swasta.
Kesepakatan ini sudah terlembaga sebelum adanya KPS di TPA Suwung sehingga
relatif sudah berjalan cukup lama.
Pada daerah Bekasi, untuk menjawab semua tantangan khususnya untuk
meningkatkan kapasitas produksi gas metan yang dibakar maka yang dilakukan
meliputi strategi penambahan pengumpulan sampah sebanyak 5 % / tahun yang
dibebankan pemkot Bekasi dan pengembangan jaringan pasokan bahan baku sampah
ke kabupaten/lota terdekat lainnya. Dengan upaya ini diharapkan produktifitas
pengolahan gas metan semakin meningkat sehingga dapat segera dijadikan karbon
kredit yang dapat menghasilkan kompensasi yang setimpal.
Berdasarkan strategi-strategi tersebut sebenarnya belum dapat menjawab
semua hambatan dan tantangan yang dihadapi. Hambatan berupa perbedaan persepsi
mengenai kewenangan dan fungsi operator dalam pengelolaan sampah dan tantangan
kebijakan harga jual listrik dalam skema PPA (power purchase agreement) belum
mampu dan tidak akan mampu diselesaikan oleh para agensi diketiga daerah tersebut.
Hal ini karena struktur permasalahannya berada diluar jangkauan mereka yang
melibatkan agensi pengambil kebijakan ditingkat pusat seperti Bappenas, Kemenko
Perekonomian, Kemeneg PU, Kementerian ESDM, dan Kemeng LH. Untuk itu
memang diperlukan upaya-upaya lobi kepada para agensi ditingkat pusat tersebut.
Sebagian strategi tersebut seperti strategi de-birokratisasi, de-politisasi,
pengembangan jaringan kerja, dan pengembangan lembaga independen yang
mengelola kerjasama tengah diujicobakan konsep-konsepnya dalam proses fasilitasi
kerjasama antar pemda, swasta, dan masyarakat dalam pengelolaan TPAS regional di
wilayah Surabaya, Gresik dan Sidoarjo. Hasil ujicoba konsep strategi tersebut
menunjukkan bahwa perbedaan karakter stakeholder di wilayah Surabaya, Gresik dan
Sidoarjo sangat mempengaruhi jalannya kerjasama antar pemerintah daerah, swasta
dan masyarakat dalam pengelolaan TPAS regional.
DAFTAR PUSTAKA
Bastary, Indra P. 2009, Public Private Partnership : Kerjasama Pemerintah dan Swasta
di Indonesia, Bahan materi Short Course On Integrated Urban Planning for
Sustainable Management di Jakarta.
[DPU, 2006] Departemen Pekerjaaan Umum. 2006, Kebijakan dan Strategi Nasional
Pengembangan Sistem Pengelolaan Persampahan Nasional. Jakarta: Buku
Pedoman.
Giddens, Anthony. 2010. Teori Strukturasi : Dasar-Dasar Pembentukkan Struktur
Sosial Masyarakat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Humas Bappenas. 2010. Menjadikan Kerjasama Pemerintah Swasta di Indonesia
Semakin Atraktif
http://www.bappenas.go.id/node/116/2523 (accessed, 22 April 2010)
Mathew B, Miles dan Huberman.1992. Analisis Data Kualitatif. Jakarta: UI Press.
Setiabudi, Dudy. 2008, Implementasi CDM di TPA Sumur Batu Kota Bekasi. Makalah
Deseminasi Kajian Sosek Lingkungan Pengembangan TPA Sampah
Perkotaan, Yogyakarta 27 November 2008.
Sudarma, I Made. 2008, Upaya dan Tantangan Pengelolaan Sampah Wilayah
Sarbagita. Makalah Deseminasi Kajian Sosek Lingkungan Pengembangan TPA
Sampah Perkotaan, Yogyakarta 27 November 2008.
Setyoadi, Nino H. 2009, Peluang Manfaat Ekonomi Kerjasama Pemerintah dan Swasta
(KPS) dalam Pengelolaan Tempat Pengolahan Akhir Sampah. Jurnal Sosek
Pekerjaan Umum Volume 1 No. 1 April 2009 hal 46