Anda di halaman 1dari 11

Kolokium Sebranmas 2010

HAMBATAN DAN TANTANGAN IMPLEMENTASI KERJASAMA


PEMERINTAH DAN SWASTA DALAM PENGELOLAAN
TEMPAT PEMROSESAN AKHIR SAMPAH (TPAS)

Nino Heri Setyoadi


Balai Litbang Sosial Ekonomi Bidang Permukiman, Puslitbang Sebranmas
Jl. Laksda Adisucipto No. 165 Yogyakarta
ninososekkim@hotmail.com

ABSTRACT

Waste service levels are not optimal in several areas affected by the limited ability of
local government financing. These conditions encourage cooperation between
government and private sector in waste management including solid waste final
treatment. This study intends to explain the obstacles and challenges of
implementation of the government and private cooperation in descriptive explorative
approach to the theory of structuration. The study shows most of the problems found
on the domain structure and agency. Nevertheless some obstacles and challenges can
be addressed through the strategy de-bureaucratization, de-politicization, network
development, and development of independent institutions that manage the
cooperation. Most of these strategies was tested region of Surabaya, Gresik and
Sidoarjo to support the cooperation of government, private sector and communities in
managing the regional solid waste final treatment.

Key words: constrain, challenge, strategie, settlement, waste

ABSTRAK

Tingkat pelayanan persampahan diberbagai daerah yang belum optimal dipengaruhi


oleh keterbatasan kemampuan pembiayaan pemerintah daerah. Permasalahan
tersebut mendorong implementasi kerjasama pemerintah dan swasta dalam
pengelolaan sampah termasuk pengelolaan tempat pemrosesan akhir sampah.
Penelitian ini bermaksud menjelaskan hambatan dan tantangan implementasi
kerjasama pemerintah dan swasta secara deskriptif eksploratif dengan pendekatan
teori strukturasi. Hasil kajian menunjukkan sebagian besar masalah terdapat pada
domain struktur dan agensi. Meskipun demikian sebagian hambatan dan tantangan
dapat ditangani melalui strategi de-birokratisasi, de-politisasi, pengembangan jaringan
kerja, dan pengembangan lembaga independen yang mengelola kerjasama. Sebagian
strategi tersebut tengah diujicobakan diwilayah Surabaya, Gresik, dan Sidoarjo untuk
mendukung kerjasama pemerintah, swasta dan masyarakat dalam pengelolaan tempat
pemrosesan akhir sampah regional.

Kata kunci : hambatan, tantangan, strategi, permukiman, sampah

PENDAHULUAN

Pada tanggal 14-17April 2010 yang lalu diselenggarakan sebuah konferensi


tingkat menteri se-Asia Pasifik tentang Kerjasama Pemerintah dan Swasta (KPS)
dalam Pembangunan Infrastruktur di Jakarta International Expo, Kemayoran.
Konferensi ini sangat penting dan relevan dikaitkan dengan kondisi ketersediaan
infrastruktur dan tingkat pelayanannya yang menjadi salah satu masalah terbesar di
Indonesia. Tingginya kebutuhan akan ketersediaan infrastruktur dan terbatasnya
penyediaan pendanaan pemerintah telah mendorong upaya peningkatan kerjasama

Nino Heri Setyoadi 1


Kolokium Sebranmas 2010

antara pemerintah dan swasta dalam pengelolaan infrastruktur. Partisipasi swasta


tidak sekedar dalam kerangka mempercepat tersedianya infrastruktur, namun juga
mendorong pengelolaan infrastruktur yang lebih profesional (Bappenas, 2010).
Jenis-jenis infrastruktur yang dikerjasamakan dalam kerjasama pemerintah dan
swasta di Indonesia meliputi 9 (sembilan) sektor. Salah satu sektor yang
dikerjasamakan adalah sektor persampahan dengan lingkup kerjasama dalam
pengangkutan sampah dan pengelolaan tempat pemrosesan akhir (TPA) sampah
(Indra, 2009).
Kerjasama antara pemerintah khususnya pemerintah daerah dan swasta dalam
pengelolaan TPA sampah dilatarbelakangi oleh belum maksimalnya tingkat pelayanan
persampahan sebagai akibat dari keterbatasan kemampuan pembiayaan masing-
masing daerah. Dalam Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan Sistem
Pengelolaan Persampahan Nasional disebutkan bahwa menurunnya alokasi APBD
bagi pengelolaan sampah terkait dengan menurunnya penerimaan retribusi kebersihan
(secara nasional hanya dicapai 22 %). Selain itu terbatasnya sarana dan prasarana,
lemahnya kapasitas SDM pengelola sampah dan kondisi TPA sampah yang tidak
sesuai kaidah teknis yang ramah lingkungan turut mendorong pengembangan
kerjasama pemerintah daerah dan swasta dalam pengelolaan TPA sampah (DPU,
2006).
Pada sisi yang lain, saat ini terbuka peluang pemanfaatan sampah menjadi
energi yang bermanfaat bagi manusia atau yang dikenal dengan waste to energy.
Beberapa negara seperti Rumania, Brasil, India dan Mesir mengubah gas metan yang
dihasilkan sampah di TPA sampah sebagai pembangkit tenaga listrik. Dari aktivitas
tersebut, mereka juga mendapatkan penghasilan dari perdagangan karbon (carbon
trade) menurut skema clean development mecanism (CDM) sebagai hasil kesepakatan
dalam Protokol Kyoto. Skema CDM ini menjadi salah satu alternatif dalam menjawab
permasalahan pemanasan global dan perubahan iklim yang dirasakan dunia saat ini.
Beberapa pemerintah daerah di Indonesia memanfaatkan peluang skema CDM dan
waste to energy dengan mengimplementasikan pola KPS. Kabupaten/kota tersebut
antara lain; pemda di wilayah Sarbagita (Denpasar, Badung, Gianyar dan Tabanan),
DKI Jakarta, Bekasi, Pontianak, Palembang, Semarang, Banjarmasin dan Pasuruan.
Selain kedua daerah tersebut, Pemkot Bandung dan pemda di wilayah Kartamantul
(Yogyakarta Sleman dan Bantul) tengah mengupayakan terwujudnya KPS dalam
pengelolaan TPA sampah (Nino, 2009).
Upaya mewujudkan kerjasama pemerintah daerah dan swasta dalam
pengelolaan TPA sampah yang transparan, akuntabel, dan saling menguntungkan
bukan perkara yang mudah. Ada berbagai hambatan dan tantangan dalam proses
penyiapan maupun implementasinya. Untuk itu berbagai hambatan dan tantangan
tersebut harus diidentifikasi secara jelas agar dapat dirumuskan strategi dan kebijakan
yang tepat sehingga dapat menjawab hambatan dan tantangan tersebut. Berdasarkan
uraian tersebut permasalahan yang dapat dijawab adalah; apa saja hambatan dan
tantangan dalam implementasi kerjasama pemerintah dan swasta dalam pengelolaan
TPAS? Kemudian bagaimana strategi masing-masing daerah dalam mengatasi
hambatan dan tantangan tersebut? Dengan demikian tujuan dari makalah ini adalah;
pertama, menggambarkan profil KPS di wilayah Sarbagita, Kartamantul dan Bekasi;
kedua, mendeskrisikan hambatan dan tantangan serta strategi yang dilakukan dalam
kerjasama pemerintah dan swasta dalam pengelolaan TPAS di ketiga wilayah.

METODE PENELITIAN

Untuk mendeskripsikan dan menjawab pertanyaan penelitian tersebut diatas,


digunakan pendekatan penelitian kualitatif dengan jenis penelitian deskriptif eksploratif.
Jenis penelitian ini digunakan untuk menggambarkan dan menjelaskan hambatan,
tantangan dan strategi dalam penyiapan dan implementasi kerjasama antara pemda

Nino Heri Setyoadi 2


Kolokium Sebranmas 2010

dan swasta dalam pengelolaan TPAS. Penelitian ini dilaksanakan pada tahun 2008
dengan lokasi penelitian di wilayah Sarbagita, Kartamantul dan Bekasi.
Proses pengumpulan data primer penelitian ini mengunakan beberapa metode
antara lain ; wawancara mendalam, focused group discussion (FGD) dan pengamatan
lapangan. Narasumber kunci dan informan yang diwawancarai dan digali informasinya
melalui FGD antara lain Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kota Bekasi, Kepala Badan
Pelaksana Kebersihan (BPK) Sarbagita, Manajer Sekber Kartamantul, Kepala Dinas
Kebersihan dan Pertamanan Kota Denpasar, Badung dan Gianyar, serta Humas PT.
Gikoko Kogyo Indonesia dan PT. Navigat Organik Energi Indonesia. Sementara untuk
data-data sekunder seperti dokumen-dokumen resmi pemerintah dan leaflet/booklet
perusahaan menggunakan metode dokumentasi data sekunder.
Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini menerapkan kaidah-
kaidah dalam penelitian kualitatif, yaitu dengan cara mengumpulkan data,
mengklasifikasi data, kemudian menafsirkan data dan yang terakhir membuat
kesimpulan dari data tersebut (Miles dan Huberman, 1992). Dalam analisis data,
kategorisasi data yang digunakan menggunakan teori strukturasi yang di kemukakan
oleh Anthony Giddens. Strukturasi menurut Giddens adalah kondisi-kondisi yang
mengatur keterulangan atau transformasi struktur-struktur dan karenanya reproduksi
sistem-sistem sosial itu sendiri (Giddens, 2010).
Dalam teori strukturasi terdapat kategori struktur dan agensi dimana struktur
didefinisikan sebagai aturan dan sumber daya atau seperangkat relasi transformasi,
terorganisasi sebagai kelengkapan-kelengkapan sistem-sistem sosial. Sementara
agensi berkaitan dengan kejadian-kejadian yang melibatkan individu sebagai pelaku,
dalam artian bahwa individu itu bisa bertindak berbeda dalam setiap fase apapun
dalam suatu tindakan tertentu. Struktur dalam makalah ini dioperasionalisasikan
sebagai kebijakan, mekanisme dan sumberdaya sistemik. Sementara untuk konsep
agensi dioperasionalisasikan sebagai kapasitas SDM, motivasi dan tindakan agen.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Profil KPS
Setiap daerah yang mengembangkan KPS dalam pengelolaan TPA sampah
memiliki alasan, bentuk kemitraan dan pola pembiayaan sendiri-sendiri. Namun
demikian alasan keterbatasan dana pemerintah masih menjadi faktor dominan
pendorong kerjasama pemda dan swasta. Selain itu penangkapan/pembakaran gas
metan melalui skema CDM dan waste to energy menjadi pilihan teknologi pengolahan
yang dipilih di ketiga daerah. Untuk lebih detailnya profil KPS yang dikembangkan di
masing-masing daerah dapat dilihat dalam tabel 1.

Tabel. 1 Profil kemitraan pemda swasta


KOMPONEN YOGYAKARTA BALI BEKASI
PROFIL

Mitra Swasta Tsimitsu Jepang PT. Navigat Organik PT. Gikoko Kogyo
Energi Indonesia Indonesia

Alasan Kemitraan - Keterbatasan dana - Keterbatasan dana - Keterbatasan dana


pemerintah - Belum adanya - Mengalihkan resiko
- Adanya potensi gas gambaran teknologi hutang thd Bank
metan yg besar pengolahan yg Dunia kpd swasta
cocok
- Agar Pemda
terbebas dari tipping
fee

Nino Heri Setyoadi 3


Kolokium Sebranmas 2010

Bentuk Kemitraan Penangkapan gas Pengolahan gas metan Proyek Land Gas
metan untuk menghasilkan Flarring
energi listrik

Berdasarkan tabel 2 ada beberapa alasan spesifik yang perlu dijelaskan.


Pemda Sarbagita (Bali) melalui Badan Pelaksana Kebersihan (BPK) Sarbagita
mengundang swasta mengelola TPA Suwung karena kondisi TPA yang sangat
memprihatinkan. Pengolahan sampah di TPA Suwung pada saat itu menggunakan
pola open dumping. Dalam pengelolaannya, di TPA Suwung tidak ada kolam
pengolahan air lindi yang berfungsi dengan baik, tidak ada instalasi pengolahan air
limbah, dan tidak ada pipa ventilasi gas metan padahal lokasi TPA berada di tepi
pantai. Dengan kondisi tersebut bisa dibayangkan jika terjadi pencemaran ke air laut
tentunya akan merugikan lingkungan dan sektor pariwisata Bali. Dengan kondisi
tersebut, BPK Sarbagita belum mengetahui gambaran teknologi pengolahan sampah
di TPA yang cocok dan dapat dipertanggungjawabkan secara ekologis, ekonomi, dan
sosial. Dengan menggandeng swasta yang kredibel diharapkan dapat ditemukan
teknologi yang sesuai untuk kondisi TPA Suwung sekaligus dapat
dipertanggungjawabkan secara ekologis, ekonomi, dan sosial (Sudarma, 2008).
Untuk konteks Bekasi dilatarbelakangi oleh adanya kerjasama antara Pemkot
Bekasi dengan Bank Dunia yang menawarkan kerjasama pengelolaan TPA Sumur
Batu dalam proyek CDM. Dalam salah satu klausulnya Bank Dunia akan
mengalokasikan sejumlah biaya yang diperlukan untuk membiayai seluruh persiapan
proyek CDM sampai dengan mendapatkan CER (certified emission reduction) dan
pihak pemkot akan menjual CER kepada bank dunia. Berdasarkan CER inilah yang
bisa dilakukan perdagangan karbon dengan negara-negara maju sehingga
mendapatkan kompensasi atas upaya reduksi emisi gas rumah kaca dalam
pengelolaan TPA.
Sedangkan pada konteks Yogyakarta memang ada investor yang tertarik untuk
mengolah sampah di TPA Piyungan. Proposal yang diajukan oleh Tsimitsu Jepang
dianggap layak dan Tsimitsu menunjukkan keseriusan untuk melakukan serangkaian
aktivitas seperti studi-studi kelayakan dan pengukuran gas metan pasca
ditandatangani MoU kerjasama.

Hambatan Implementasi KPS


Dalam proses penyiapan maupun implementasi KPS dalam pengelolaan
sampah ditemukan adanya hambatan-hambatan yang dapat mengganggu
berlangsungnya KPS di daerah tersebut. Proses penyiapan KPS secara normatif
dimulai dari pelaksanaan studi pra-FS, perencanaan bentuk kerjasama, perencanaan
pembiayaan, dan rencana pelakasanaan penawaran kerjasama (Indra, 2009). Dalam
prakteknya, tidak semua tahapan ini dilakukan sepenuhnya, ada daerah yang tidak
melakukan pra-FS terlebih dulu, ada daerah yang tidak melakukan pelelangan tetapi
menggunakan skema sejenis seperti beauty contest di Bali dan penilaian proposal
proyek dari swasta di Yogyakarta. Untuk tahapan implementasi dimulai sejak
ditandatanganinya MoU dan perjanjian kerjasama yang mengikat kedua belah pihak.
Pada kasus Yogyakarta proses yang terjadi baru pada penandatanganan MoU
sementara untuk Bali dan Bekasi sudah dilakukan perjanjian kerjasama dan
pelaksanaan konstruksi serta mulai beroperasi. Pada setiap proses inilah terdapat
hambatan baik yang berada didomain struktur mapun agensi sebagaimana dapat
dilihat di tabel 2.

Tabel. 2 Hambatan implementasi


LOKASI HAMBATAN
STRUKTUR AGENSI

Nino Heri Setyoadi 4


Kolokium Sebranmas 2010

Yogyakarta - Sistem konsultatif dalam - Minimnya pengalaman &


penilaian proposal investor kapasitas SDM terkait prosedur
- Sistem konsultatif untuk anggota CDM
DPRD yang setiap periode 5 - Lemahnya kredibilitas swasta
tahunan berganti-ganti yang mengajukan proposal
- Masih dominannya motivasi
investor untuk mengambil
keuntungan sebesar-besarnya
dibandingkan motivasi
pelayanan publik

Bali - Terbatasnya sumberdaya - Pemda tidak mau dibebani


khususnya sarana & sistem tipping fee
pengangkutan sampah - Pemda tidak mau terlibat dalam
- Kontradiksi kewajiban 3 R pemasaran produk
dengan jumlah kuota sampah di
TPA

Bekasi - Penerapan Perpres 67/2005 - Minimnya pengalaman &


tentang kewajiban melakukan kapasitas SDM terkait prosedur
pelelangan CDM
- Lemahnya akurasi database - Perbedaan persepsi terkait
sampah di TPA sampah kewenangan dan fungsi
operator TPA

Hambatan implementasi KPS di Yogyakarta pada domain strukur berupa


sistem konsultasi dalam penilaian investor merupakan konsekuensi dari adanya
kerjasama regional Kartamantul sehingga setiap tawaran/proposal kerjasama dari
swasta harus dikonsultasikan oleh Sekber Kartamantul kepada ketiga pemda
kabupaten/kota. Kemudian perubahan komposisi anggota DPRD setiap
kabupaten/kota yang berganti pasca pemilu juga menghambat implementasi KPS
karena biasanya anggota-anggota DPRD yang baru dan tidak mengetahui sejarah
KPS yang dijalankan mempertanyakan kembali manfaat KPS bagi daerahnya.
Hambatan riil yang dirasakan investor dalam sistem tersebut sebenarnya lebih terkait
dengan kepastian berusaha dan kerugian waktu apabila proses konsultasi memakan
waktu yang lama.
Untuk hambatan KPS dalam domain agensi di Yogyakarta khususnya untuk
point lemahnya kredibilitas swasta merupakan pengalaman Sekber Kartamantul yang
selama menerima tawaran swasta (sebelum Tsimitsu) biasanya berhenti sampai MoU
saja. Kurang lebih terdapat 17 investor yang masuk dengam berbagai tawaran
teknologi, namun umumnya berhenti beraktifitas pasca MoU. Hal ini terkait dengan
point ketiga dimana motivasi investor untuk mengambil untung sebesar-besarnya lebih
dominan sehingga ketika hasil studi kelayakan ekonomi menunjukkan keuntungan
minimal atau bahkan berpotensi merugi maka mereka segera pergi meninggalkan MoU
yang telah disepakati.
Minimnya pengalaman dan kapasitas SDM mengenai prosedur CDM di
Yogyakarta dan Bekasi menjadi suatu kelemahan ketika dikaitkan dengan tantangan
panjang dan rumitnya prosedur dalam CDM. Kelemahan pada domain agensi dan
kuatnya struktur CDM menunjukkan struktur dominasi. Hal ini berarti semakin tinggi
kapasitas dan pengetahuan seorang pengelola TPA sampah terhadap prosedur CDM
maka akan semakin kuat posisi tawar (bargaining position) terhadap negara pembeli
CER dan agensi yang bertugas mengeluarkan CER dalam hal ini adalah UNFCCC.
Begitu juga sebaliknya dengan lemahnya pengalaman dan kapasitas SDM pengelola
TPA sampah terhadap prosedur CDM maka posisi tawarnya juga semakin lemah.
Hambatan implementasi KPS di Bali pada domain struktur bersumber dari
sumberdaya sistemik berupa sarana dan prasarana pengangkutan sampah khususnya

Nino Heri Setyoadi 5


Kolokium Sebranmas 2010

untuk wilayah Tabanan. Jarak dan waktu tempuh menyebabkan biaya transportasi
sampah dari Tabanan ke TPA Suwung menjadi tinggi. Padahal pemda Sarbagita
termasuk Tabanan terikat kontrak penyediaan pasokan sampah minimal 500 ton per
hari. Kemudian hambatan yang lain berada pada wilayah struktur legitimasi berupa
kontradiksi kewajiban 3 R dengan jumlah kuota minimal sampah yang harus dipasok di
TPA Suwung. UU Pengelolaan Sampah secara normatif mewajibkan seluruh
stakeholder mereduksi sampah dari sumbernya, namun dalam kontrak KPS
mensyaratkan kuota minimal sampah yang harus disediakan pemda.
Untuk hambatan KPS pada domain agensi di Bali lebih bersumber pada
motivasi dan tindakan. Dengan pemda tidak mau dibebani tipping fee berpotensi
menjadi hambatan serius ketika swasta tidak segera mendapatkan pemasukan dari
penjualan produk perdagangan carbon maupun dari produksi listrik. Padahal swasta
harus membiayai operasional dan pemeliharaan TPA sekaligus bangunan dan
teknologi yang ada didalamnya. Ketika pemda tidak mau terlibat dalam pemasaran
produk perdagangan carbon maupun dari produksi listrik masih bisa dipahami. Namun
untuk produk kompos relatif sulit pemasarannya karena biasanya masih mengandung
unsur logam berat yang tinggi, untuk itu masih diperlukan campur tangan pemda dalam
pemasarannya. Misalnya kompos dibeli pemda melalui dinas pertamanan untuk
pemupukan tanaman hias di taman-taman atau RTH.
Hambatan implementasi KPS di Bekasi pada domain struktur bersumber dari
kebijakan dan sumberdaya sistemik. Perpres 67 tahun 2005 sebagai struktur legitimasi
ternyata tidak sepenuhnya di patuhi oleh pemda-pemda yang melakukan KPS. Bagi
PT. Gikoko ketidakpastian dalam implementasi Perpres 67 tahun 2005 khususnya
kewajiban melakukan pelelangan menimbulkan keragu-raguan dalam berinvestasi.
Lemahnya akurasi database sampah di TPA juga dapat menimbulkan kerugian karena
dapat mengacaukan semua rencana pengelolaan maupun perhitungan bisnis yang
telah direncanakan. Database sampah yang akurat merupakan sumberdaya sistemik
yang sangat penting artinya, untuk itu kelengkapan alat ukur (jembatan timbang)
maupun pengukur digital yang terkalibrasi dengan baik adalah suatu keharusan.
Untuk hambatan pada domain agensi di Bekasi terkait perbedaan persepsi
mengenai kewenangan dan fungsi operator dalam pengelolaan sampah di TPA Sumur
Batu. PT. Gikoko memandang bahwa mereka hanya memanfaatkan gas metan dan
mengolahnya menjadi energi listrik sehingga kewenangan dan fungsi operator TPA
sebagai suatu sistem berada di pundak Pemkot Bekasi. Pemkot Bekasi memandang
bahwa PT. Gikoko harus bertanggungjawab dalam pengelolaan sampah di TPA Sumur
Batu karena melakukan aktifitas pengolahan gas metan di TPA Sumur Batu. Situasi ini
menegaskan ketegangan struktur signifikansi dimana interpretasi terhadap fungsi dan
kewenangan operator diantara kedua agensi ini belum tuntas. Dengan demikian masih
ada celah multitafsir yang lebar dalam dokumen kontrak antara pemkot Bekasi dan PT.
Gikoko.

Tantangan Implementasi KPS


Tantangan implementasi KPS baik pada domain struktur maupun agensi
bersumber dari luar agensi utama yakni pemda dan swasta. Sumber-sumber tersebut
berasal dari struktur yang terkait dengan institusi dalam skema CDM, institusi dalam
pengelolaan energi listrik, institusi Bank Dunia, komunitas pemulung dan masyarakat
sekitar TPA. Tantangan tersebut dihadapi oleh pemda dan swasta baik dalam
penyiapan maupun implementasi KPS di masing-masing daerah sebagaimana terlihat
pada tabel 3.

Tabel. 3 Tantangan implementasi


LOKASI TANTANGAN
STRUKTUR AGENSI
Yogyakarta • Prosedur CDM yang panjang dan • Banyaknya aktifitas pemulung

Nino Heri Setyoadi 6


Kolokium Sebranmas 2010

rumit dan pengembalaan ternak


• Rendahnya harga jual listrik oleh masyarakat di TPA Piyungan
PLN dalam mekanisme PPA
(power purchase agreement)
Bali • Prosedur CDM yang panjang dan • Banyaknya aktifitas pemulung
rumit dan pengembalaan ternak
• Rendahnya harga jual listrik oleh masyarakat di TPA Suwung
PLN dalam mekanisme PPA • Belum adanya negara pembeli
(power purchase agreement) yang membayarkan kompensasi
kepada PT. NOEI
Bekasi • Prosedur CDM yang panjang dan • Mewujudkan community
rumit development sebagai bagian
• Kewajiban beban hutang pemkot kompensasi kepada masyarakat
kepada Bank Dunia yang harus sekitar TPA
ditanggung PT. Gikoko

Tantangan KPS pada domain struktur berupa prosedur CDM yang panjang dan
rumit dihadapi oleh ketiga daerah. Untuk menggambarkan panjangnya prosedur CDM
dapat di lihat pada gambar 1 (Setiabudi, 2008). Pada bagan tersebut ada 10 langkah
dari pelaksanaan feasibility study dan due diligence hingga terjadinya transaksi CER
yang berarti telah terjadi jual beli karbon. Pengalaman di Bali dan Bekasi menunjukkan
proses validasi dan verifikasi oleh tim operational entity (langkah no. 4 dan 8) untuk
memastikan berapa emisi karbon yang telah tereduksi dengan tepat bisa dilakukan
berulang-ulang kali.
Dalam cara pandang strukturasi, prosedur ini berada pada level struktur
legitimasi dimana upaya mengolah gas metan di TPA sampah belum diakui secara sah
jika belum di pastikan kesahihannya oleh sekelompok ahli dalam tim operational entity
yang memiliki legitimasi untuk melakukan proses validasi dan verifikasi. Dalam kedua
proses tersebut ada metode-metode perhitungan, pengujuan-pengujian, pengukuran
dan serangkaian aktivitas yang mengikuti standar atau rumus-rumus baku tertentu
yang diakui obyektifitasnya. Standar-standar dan rumus-rumus inilah yang menjadi
norma yang menentukan apakah pengolahan gas metan di TPA tersebut sahih atau
tidak sehingga layak atau tidak untuk diberikan sertifikat CER.

MEKANISME PELAKSANAAN CDM

Feasibility dan
1 Due Diligence

2 Dokumentasi 3 Konsultasi Publik

Persetujuan Validasi oleh


5 Komnas MPB 4 Operational Entity

Penyetujuan Registrasi ke
2 Metodologi 6 Executive Board

8 Verifikasi oleh OE
Implementasi
7
Penerbitan CERs
9 oleh EB

SUMBER : KLH
10 Transaksi CERs

PEMKOT BEKASI 14

Gambar. 1 Mekanisme CDM

Nino Heri Setyoadi 7


Kolokium Sebranmas 2010

Tantangan lain yang jamak adalah kebijakan harga jual listrik dalam skema
PPA (power purchase agreement) yang menjadi dasar jual beli listrik hasil pengolahan
sampah dengan PLN. Dalam FGD yang diselenggarakan di Bali terungkap bahwa
skema PPA ini dirasakan masih sangat murah jika dibandingkan dengan biaya yang
diinvestasikan untuk pembangkit listrik di TPA. Untuk biaya operasional 800 ton
sampah diperlukan biaya sebesar $ 30 juta menghasilkan energi listrik 10 MW.
Tantangan ini membuat swasta harus mampu meningkatkan kapasitas produksinya
sehingga energi yang dihasilkan bisa lebih besar.
Penentuan kebijakan harga jual listrik dalam skema PPA merupakan masuk
dalam kategori struktur signifikansi. Kepentingan swasta dan pemda yang bekerjasama
agar harga jual listrik dinaikkan dan kepentingan pemerintah pusat bertemu dalam
menginterpretasikan berapa harga jual listrik yang kompetitif.
Untuk kasus Bekasi dimana dalam dokumen kontrak terdapat klausul seluruh
kewajiban Pemkot Bekasi ke Bank Dunia dilimpahkan kepada PT. Gikoko, menjadi
tantangan yang tidak mudah untuk dihadapi. Ketika motivasi/kepentingan pengalihan
kewajiban ini dituangkan kedalam dokumen kontrak, maka pada saat itu yang berlaku
adalah struktur dominasi. Meskipun merupakan struktur dominasi, dengan melihatnya
sebagai tantangan akan lebih memungkinkan PT. Gikoko mensiasati struktur tersebut
secara kreatif dengan berbagai upaya untuk meningkatkan produktifitas.
Tantangan pada domain agensi secara umun berkaitan dengan kepentingan
masyarakat sekitar TPA dan komunitas pemulung yang jauh sebelum adanya KPS
sudah beraktifitas di TPA sampah. Dalam FGD di Yogyakarta masyarakat dan
perwakilan pemulung mempertanyakan bagaimana keberadaan mereka jika proses
penangkapan gas metan jadi dilakukan. Padahal dalam ketentuannya penangkapan
gas metan harus steril dari aktifitas pemulungan dan peternakan sapi. Dalam konteks
ini tantangan yang sebenarnya adalah bagaimana pewadahan aktifitas masyarakat
yang tidak mengganggu proses penangkapan gas metan sekaligus bisa menjaga mata
pencaharian dan tingkat penghasilan yang selama ini diterima masyarakat/pemulung.
Jika tantangan ini tidak bisa dijawab maka berpotensi besar menimbulkan konflik atau
resistensi dari masyarakat.
Untuk kasus Bekasi konteks dan ketegangannya agak berbeda dengan Bali
dan Yogyakarta. Dalam dokumen kontrak disebutkan bahwa dari hasil penjualan
karbon kredit, masyarakat sekitar TPA akan mendapatkan 7 % untuk community
development. Tantangan bagi PT. Gikoko adalah bagaimana meningkatkan
produktifitas dan memastikan karbon kredit terjual sehingga tersedia dana untuk
pelaksanaan community development kepada masyarakat sekitar TPA. Apabila
penjualan karbon kredit tidak terlaksana maka konsekuensinya berpotensi
menimbulkan konflik dengan masyarakat. Masyarakat telah menyetujui aktifitas
penangkapan gas metan di TPA Sumur Batu dengan harapan bisa mendapatkan
kompensasi yang disepakati.

Strategi dan langkah-langkah


Untuk menjawab hambatan dan tantangan baik yang berasal dari struktur
maupun agensi, para agensi dimasing-masing daerah memiliki strategi dan langkah-
langkah tersendiri. Oleh karena sumber hambatan dan tantangan dari struktur dan
agensi, maka strategi yang di tempuh juga berada pada domain struktur dan agensi.
Strategi pada domain struktur merupakan respon kreatif untuk mensiasati kebijakan,
prosedur/mekanisme dan sumberdaya sistemik. Sementara untuk strategi pada
domain agensi bertumpu pada upaya peningkatan kapasitas dan peneguhan
motivasi/komitmen sebagaimana terlihat pada tabel 4.

Tabel. 4 Strategi yang dilakukan


STRATEGI YOGYAKARTA BALI BEKASI

Struktur - Membuat forum - Mengoptimalkan - Kewajiban

Nino Heri Setyoadi 8


Kolokium Sebranmas 2010

koordinasi rutin volume sampah dari penambahan


antar pemda Denpasar & Badung pengumpulan
- Melakukan - Memperluas area sampah 5 % / tahun
roadshow rutin pelayanan
kepada DPRD pengangkutan
- Membuat norma sampah
dan skema - Kesepakatan antar
penilaian kinerja pemda sharing
swasta biaya operasional
TPA
Agensi - Adanya lembaga - Adanya lembaga - Menunjuk tim
semi independen semi independen independen utk
dan manajer dan manajer menilai potensi gas
independen yang independen yang metan di TPA
mengelola KPS mengelola KPS dan - Pengembangan
dan menekuni terus menekuni jaringan pasokan
prosedur CDM prosedur CDM bahan baku sampah
- Pengembangan ke kabupaten lain
jaringan kerja
- Pewadahan aktifitas
masyarakat dalam
rantai produksi

Strategi pada domain struktur di Yogyakarta dengan membuat forum koordinasi


rutin tiap selasa dan kamis oleh Sekretariat Bersama (Sekber) Kartamantul merupakan
strategi de-birokratisasi. Pola de-birokratisasi ini untuk memangkas jalur konsultasi
sehingga menjadi efektif dan efesien. Pola de-birokratisasi ini sebenarnya juga muncul
pada domain agensi dengan adanya lembaga semi independen seperti Sekber
Kartamantul dan BPK Sarbagita serta salah seorang pejabat di pemkot Bekasi.
Dengan adanya lembaga serta manajer / pejabat yang tetap mengawal dan mengelola
KPS memberikan kepastian dan kemudahan pada swasta bagaimana mereka menjalin
hubungan kerjasama. Selain itu dilakukan pula strategi de-politisasi KPS dengan
melakukan roadshow rutin kepada anggota DPRD sehingga memahami dan
mendukung KPS yang dijalankan.
Dalam menghadapi prosedur CDM yang panjang dan rumit memang tidak ada
pilihan lain dari para agensi diketiga daerah kecuali terus menekuni setiap tahapan dan
proses dalam CDM. Dengan terus menekuni proses CDM, sejatinya pengalaman dan
kapasitas ilmu dan wawasan bertambah sehingga bisa memberdayakan agensi
diketiga daerah. Selain itu strategi pengembangan jaringan kerja khususnya yang
dilakukan BPK Sarbagita melalui konsultasi-konsultasi kepada Kemeng Lingkungan
Hidup, Departemen PU dan stakeholder lainnya juga dapat meningkatkan kapasitas
agensi dalam menghadapi proses CDM.
Untuk menghadapi swasta yang tidak kredibel dan hanya berorientasi profit
semata strategi yang ditempuh Sekber Kartamantul adalah dengan mengembangkan
norma dan skema penilaian kinerja swasta. Pada tataran normatif, asas yang dipegang
adalah mendahulukan pelayanan publik dibandingkan dengan keuntungan ekonomi
semata. Swasta yang dipilih harus memiliki capability, capacity, dan experience.
Kemudian secara skematik diterjemahkan dalam MoU yang mengatur masa berlaku
MoU selama 6 bulan dan setiap 3 bulan sekali dievaluasi oleh Sekber bersama pemda
Kartamantul. Jika dalam masa 6 bulan tersebut ada aktifitas yang terus dilakukan
swasta, maka MoU bisa dikembangkan menuju perjanjian kerjasama. Akan tetapi jika
dalam masa 3 bulan pertama tidak ada aktifitas apapun maka Sekber berhak memutus
MoU secara sepihak karena menunjukkan pihak swasta tidak serius.
Strategi mengoptimalkan volume sampah dari Denpasar dan Badung serta
memperluas area pelayanan pengangkutan sampah untuk menjawab ketegangan
antara kewajiban mereduksi sampah dengan kesepakatan kuota sampah yang

Nino Heri Setyoadi 9


Kolokium Sebranmas 2010

dibuituhkan PT. NOEI dan keterbatasan dalam pengangkutan sampah dari Tabanan.
Dengan memperluas area pelayanan seperti pasar-pasar, hotel dan kawasan-kawasan
pariwisata bisa menjawab kekhawatiran berkurangnya pasokan sampah jika dilakukan
3 R dipernukiman-permukiman. Bukan kebetulan kawasan-kawasan tersebut
mayoritas berada di Denpasar dan Badung sehingga lebih efesien dalam
pengangkutannya karena lebih dekat dari TPA Suwung.
Untuk kesepakatan sharing pembiayaan TPA Suwung oleh pemda Sarbagita
sebenarnya merupakan komitmen dalam kerangka kerjasama regional. Dengan
adanya tipping fee bisa menjadi dobel sharing pembiayaan sehingga akan sangat
membebani APBD pemda Sarbagita. Kesepakatan ini bisa menjadi jawaban
sementara dari ketidakmauan Pemda membayar tipping fee kepada swasta.
Kesepakatan ini sudah terlembaga sebelum adanya KPS di TPA Suwung sehingga
relatif sudah berjalan cukup lama.
Pada daerah Bekasi, untuk menjawab semua tantangan khususnya untuk
meningkatkan kapasitas produksi gas metan yang dibakar maka yang dilakukan
meliputi strategi penambahan pengumpulan sampah sebanyak 5 % / tahun yang
dibebankan pemkot Bekasi dan pengembangan jaringan pasokan bahan baku sampah
ke kabupaten/lota terdekat lainnya. Dengan upaya ini diharapkan produktifitas
pengolahan gas metan semakin meningkat sehingga dapat segera dijadikan karbon
kredit yang dapat menghasilkan kompensasi yang setimpal.
Berdasarkan strategi-strategi tersebut sebenarnya belum dapat menjawab
semua hambatan dan tantangan yang dihadapi. Hambatan berupa perbedaan persepsi
mengenai kewenangan dan fungsi operator dalam pengelolaan sampah dan tantangan
kebijakan harga jual listrik dalam skema PPA (power purchase agreement) belum
mampu dan tidak akan mampu diselesaikan oleh para agensi diketiga daerah tersebut.
Hal ini karena struktur permasalahannya berada diluar jangkauan mereka yang
melibatkan agensi pengambil kebijakan ditingkat pusat seperti Bappenas, Kemenko
Perekonomian, Kemeneg PU, Kementerian ESDM, dan Kemeng LH. Untuk itu
memang diperlukan upaya-upaya lobi kepada para agensi ditingkat pusat tersebut.
Sebagian strategi tersebut seperti strategi de-birokratisasi, de-politisasi,
pengembangan jaringan kerja, dan pengembangan lembaga independen yang
mengelola kerjasama tengah diujicobakan konsep-konsepnya dalam proses fasilitasi
kerjasama antar pemda, swasta, dan masyarakat dalam pengelolaan TPAS regional di
wilayah Surabaya, Gresik dan Sidoarjo. Hasil ujicoba konsep strategi tersebut
menunjukkan bahwa perbedaan karakter stakeholder di wilayah Surabaya, Gresik dan
Sidoarjo sangat mempengaruhi jalannya kerjasama antar pemerintah daerah, swasta
dan masyarakat dalam pengelolaan TPAS regional.

KESIMPULAN DAN SARAN


Berdasarkan pembahasan tersebut dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai
berikut :
1. Pengembangan kerjasama pemerintah dan swasta di ketiga wilayah didorong oleh
keterbatasan dana pemerintah daerah dalam pelayanan persampahan dan adanya
peluang untuk mendapatkan pendapatan dari pengelolaan sampah berbasis CDM
dan waste to energy.
2. Dalam pengembangan kerjasama pemerintah dan swasta di ketiga wilayah
ditemukan berbagai hambatan berupa hambatan kebijakan, prosedur, keterbatasan
sarana prasarana, lemahnya kapasitas SDM, motivasi dan tindakan yang tidak
kondusif. Selain itu terdapat sejumlah tantangan seperti tantangan prosedur CDM
dan tantangan mewujudkan hubungan yang harmonis dengan masyarakat di
sekitar TPAS.
3. Sebagian hambatan dan tantangan dalam implementasi KPS tersebut dapat
ditangani melalui strategi de-birokratisasi dan de-politisasi melalui agensi lembaga
semi independen dan manajer/pejabat profesional.

Nino Heri Setyoadi 10


Kolokium Sebranmas 2010

Untuk peningkatan KPS kedepan dan menjawab sebagian hambatan dan


tantangan yang berada diluar agensi di ketiga wilayah diperlukan beberapa langkah
sebagai berikut :
1. Melakukan revisi kebijakan-kebijakan yang kurang mendukung KPS menjadi
kebijakan yang lebih mendukung KPS dalam pengelolaan TPA sampah. Hal ini
nampaknya sudah direspon dengan revisi Perpres 67 tahun 2005 dengan
keluarnya Perpres 13 tahun 2010 tentang Kerjasama Pemerintah dan Swasta
dalam Penyelenggaraan Infrastruktur.
2. Mengembangkan wadah komunikasi dan koordinasi antara pemda dan swasta
yang bekerjasama dengan pemangku kepentingan di level pusat seperti
Kementerian PU, Kemeneg Luar Negeri dan Kemeneg LH dalam mendesakkan
agenda de-birokratisasi skema CDM.

DAFTAR PUSTAKA

Bastary, Indra P. 2009, Public Private Partnership : Kerjasama Pemerintah dan Swasta
di Indonesia, Bahan materi Short Course On Integrated Urban Planning for
Sustainable Management di Jakarta.
[DPU, 2006] Departemen Pekerjaaan Umum. 2006, Kebijakan dan Strategi Nasional
Pengembangan Sistem Pengelolaan Persampahan Nasional. Jakarta: Buku
Pedoman.
Giddens, Anthony. 2010. Teori Strukturasi : Dasar-Dasar Pembentukkan Struktur
Sosial Masyarakat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Humas Bappenas. 2010. Menjadikan Kerjasama Pemerintah Swasta di Indonesia
Semakin Atraktif
http://www.bappenas.go.id/node/116/2523 (accessed, 22 April 2010)
Mathew B, Miles dan Huberman.1992. Analisis Data Kualitatif. Jakarta: UI Press.
Setiabudi, Dudy. 2008, Implementasi CDM di TPA Sumur Batu Kota Bekasi. Makalah
Deseminasi Kajian Sosek Lingkungan Pengembangan TPA Sampah
Perkotaan, Yogyakarta 27 November 2008.
Sudarma, I Made. 2008, Upaya dan Tantangan Pengelolaan Sampah Wilayah
Sarbagita. Makalah Deseminasi Kajian Sosek Lingkungan Pengembangan TPA
Sampah Perkotaan, Yogyakarta 27 November 2008.
Setyoadi, Nino H. 2009, Peluang Manfaat Ekonomi Kerjasama Pemerintah dan Swasta
(KPS) dalam Pengelolaan Tempat Pengolahan Akhir Sampah. Jurnal Sosek
Pekerjaan Umum Volume 1 No. 1 April 2009 hal 46

Nino Heri Setyoadi 11

Anda mungkin juga menyukai