Anda di halaman 1dari 20

BAB II

TINJAUAN TEORITIS

2.1 Defenisi
Sirosis Hepatis (Sirosis Hati) adalah penyakit hati menahun yang difus
ditandai dengan adanya pembentukan jaringan ikat disertai nodul. Biasanya
dimulai dengan adanya proses peradangan nekrosis sel hati yang luas,
pembentukan jaringan ikat dan usaha regenerasi nodul. Distorsi arsitektur hati
akan menimbulkan perubahan sirkulasi mikro dan makro menjadi tidak
teratur akibat penambahan jaringan ikat dan nodul tersebut (Suzanne C.
Smeltzer dan Brenda G. Bare, 2001)
Sirosis adalah penyakit hati kronis yang dicirikan dengan distorsi
arsitektur hati normal oleh lembar-lembar jaringan ikat dan nodul-nodul
regenerasi sel hati, yang tidak berkaitan dengan vaskulatur normal (Price &
Wilson, 2005).
Sirosis hepatis (SH) merupakan konsekuensi dari penyakit hati kronis
yang ditandai dengan penggantian jaringan hati oleh fibrosis, jaringan parut
dan nodul regeneratif (benjolan yang terjadi sebagai hasil dari sebuah proses
regenerasi jaringan yang rusak) akibat nekrosis hepatoseluler, yang
mengakibatkan penurunan hingga hilangnya fungsi hati (Vidyani dkk, 2011).

2.2 Anatomi dan Fisiologi

Ns. FILCHA NOVIRMAN, S.Kep


Menurut Evelyn C. Peare (2002) hati merupakan pusat dari
metabolisme seluruh tubuh, merupakan sumber energi tubuh sebanyak 20%
serta menggunakan 20 – 25% oksigen darah. Ada beberapa fung hati yaitu :
1. Metabolisme karbohidrat
Pembentukan, perubahan dan pemecahan KH, lemak dan protein
saling berkaitan 1 sama lain.Hati mengubah pentosa dan heksosa yang
diserap dari usus halus menjadi glikogen, mekanisme ini disebut
glikogenesis. Glikogen lalu ditimbun di dalam hati kemudian hati akan
memecahkan glikogen menjadi glukosa. Proses pemecahan glikogen
menjadi glukosa disebut glikogenelisis.Karena proses-proses ini, hati
merupakan sumber utama glukosa dalam tubuh, selanjutnya hati
mengubah glukosa melalui heksosa monophosphat shunt dan
terbentuklah pentosa.
2. Metabolisme lemak
Hati tidak hanya membentuk/ mensintesis lemak tapi sekaligus
mengadakan katabolisis asam lemak Asam lemak dipecah menjadi
beberapa komponen yaitu Senyawa 4 karbon – KETON BODIES,
Senyawa 2 karbon – ACTIVE ACETATE (dipecah menjadi asam
lemak dan gliserol), Pembentukan cholesterol, Pembentukan dan
pemecahan fosfolipid, Hati merupakan pembentukan utama, sintesis,
esterifikasi dan ekskresi kholesterol .Dimana serum Cholesterol
menjadi standar pemeriksaan metabolisme lipid.
3. Metabolisme protein
Hati mensintesis banyak macam protein dari asam amino. dengan
proses deaminasi, hati juga mensintesis gula dari asam lemak dan asam
amino.Dengan proses transaminasi, hati memproduksi asam amino dari
bahan-bahan non nitrogen. Hati merupakan satu-satunya organ yg
membentuk plasma albumin dan ∂ - globulin dan organ utama bagi
produksi urea.

Ns. FILCHA NOVIRMAN, S.Kep


4. Pembekuan darah
Hati merupakan organ penting bagi sintesis protein-protein yang
berkaitan dengan koagulasi darah, misalnya: membentuk fibrinogen,
protrombin, faktor V, VII, IX, X. Benda asing menusuk ke pembuluh
darah, sedangakan Vit K dibutuhkan untuk pembentukan protrombin
dan beberapa faktor koagulasi.
5. Metabolisme vitamin
Hati merupakan organ penting bagi penyimpan vitamin khususnya
vitamin A, vitamin D, vitamin E dan vitamin K.
6. Detoksikasi
Hati adalah pusat detoksikasi tubuh, Proses detoksikasi terjadi pada
proses oksidasi, reduksi, metilasi, esterifikasi dan konjugasi terhadap
berbagai macam bahan seperti zat racun, obat over dosis.
7. Fagositosis dan imunitas
Sel kupfer merupakan saringan penting bakteri, pigmen dan
berbagai bahan melalui proses fagositosis. Selain itu sel kupfer juga
ikut memproduksi ∂ - globulin sebagai imun livers mechanism.
8. Fungsi hemodinamik
Hati menerima ± 25% dari cardiac output, aliran darah hati yang
normal ± 1500 cc/ menit atau 1000 – 1800 cc/ menit. Darah yang
mengalir di dalam a.hepatica ± 25% dan di dalam v.porta 75% dari
seluruh aliran darah ke hati. Aliran darah ke hepar dipengaruhi oleh
faktor mekanis, pengaruh persarafan dan hormonal, aliran ini berubah
cepat pada waktu exercise, terik matahari, shock.Hepar merupakan
organ penting untuk mempertahankan aliran darah.

2.1 Etiologi
Penyebab sirosis hepatis belum diketahui secara pasti tetapi ada dua
penyebab yang dianggap paling sering menyebabkan sirosis hepatis antara
lain:

Ns. FILCHA NOVIRMAN, S.Kep


1. Hepatitis virus
Hepatitis virus terutama tipe B sering disebut sebagai salah satu
penyebab chirrosis hati, apalagi setelah penemuan Australian Antigen
oleh Blumberg pada tahun 1965 dalam darah penderita dengan penyakit
hati kronis , maka diduga mempunyai peranan yang besar untuk
terjadinya nekrosa sel hati sehingga terjadi sirrosisi.
2. Zat hepatotoksik atau Alkoholisme.
Beberapa obat-obatan dan bahan kimia dapat menyebabkan
terjadinya kerusakan pada sel hati secara akut dan kronis. Kerusakan
hati akut akan berakibat nekrosis atau degenerasi lemak, sedangkan
kerusakan kronis akan berupa sirosis hati. Zat hepatotoksik yang sering
disebut-sebut ialah alcohol. Sirosis hepatis oleh karena alkoholisme
sangat jarang, namun peminum yang bertahun-tahun mungkin dapat
mengarah pada kerusakan parenkim hati.
3. Hemokromatosis
Kelebihan zat besi juga akan memperberat kerja hati sehingga hati
tidak dapat mengolah zat besi yang dapat diabsorbsi tubuh tetapi zat
besi akan tertimbun dalam jumlah banyak yang dapat menyebabkan
sirosis hepatis.
(Brunner, 2002)
2.4 Patofisiologi
Infeksi hepatitis viral tipe B/C menyebabkan peradangan hati.
Peradangan ini menyebabkan nekrosis meliputi daerah yang luas
(hepatoseluler), terjadi kolaps lobules hati dan ini memacu timbulnya jaringan
parut disertai terbentuknya septa fibrosa difus dan nodul sel hati. Walaupun
etiologi beda, gambaran histologis sama atau hampir sama. Serta bisa
dibentuk dari sel retikulum penyangga yang kolaps dan berubah jadi parut.
Beberapa sel tumbuh kembali dan membentuk nodul dengan berbagai ukuran
dan ini menyebabkan distorsi percabangan pembuluh hepatic dan gangguan
aliran darah porta dan menimbulkan hipertnsi portal. Tahap berikutnya terjadi
peradangan dan nekrosis pada sel duktules, sinusoid, retikulo endotel, terjadi

Ns. FILCHA NOVIRMAN, S.Kep


fibrogenesis dan septa aktif. Jaringan kolagen berubah fari reversible menjadi
irreversible bila telah terbentuk septa permanen yang aselular pada daerah
porta dan parenkim hati.
Hati pada awal perjalanan penyakitnya cenderung membesar dan sel-
selnya dipenuhi oleh lemak-lemak. Hati tersebut menjadi keras dan dapat
diketahui melalui palpasi. Nyeri abdomen dapat terjadi akibat pembesaran
hati yang cepat sehingga menyebabkan regangan pada selubung fibrosa hati
(kapsule glissoni). Pada perjalanan penyakit yang lebih lanjut ukuran hati
akan mengecil setelah jaringan parut menyebabkan pengerutan jaringan.
Apabila dapat dipalpasi maka permukaan hati akan teraba benjol-benjol
(Brunner, 2001).
Sirosis Laennec merupakan penyakit yang ditandai oleh episode
nekrosis yang melibatkan sel-sel hati dan kadang-kadang berulang di
sepanjang perjalanan penyakit tersebut.Sel-sel hati tersebut secara berangsur-
angsur digantikan oleh jaringan parut. Akhirnya jumlah jaringan parut
melebihi jumlah jaringan hati yang masih berfungsi. Pulau-pulau jaringan
normal yang masih tersisa dan jaringan hati hasil regeneasi dapat menonjol
dari bagian-bagian yang berkonstruksi sehingga hati yang sirotik
memperlihatkan gambaran mirip paku sol sepatu berkepala besar (hobnail
appearance) yang khas. Sirosis hepatis biasanya memiliki awitan yang
insidius dan perjalanan penyakit yang sangat panjang sehingga kadang-
kadang melewati rentang waktu 30 tahun atau lebih (Brunner, 2002).
Varises esofagus merupakan pembuluh darah yang berdilatasi,
berkelok-kelok dan biasanya dijumpai pada sub mukosa bagian bawah,
namun varises ini dapat terjadi pada bagian lebih tinggi atau meluas sampai
ke lambung. Keadaaan semacam ini hampir selalu disebabkan oleh hipertensi
portal yang terjadi obstruksi pada saluran vena porta, pada hati yang
mengalami serosis. Peningkatan obstrukisi pada vena porta menyebabkan
darah vena dari traktus intestinal dan limpa akan mencari jalan keluar melalui
kolateral (lintasan baru untuk kembali ke atrium kanan). Akibat yang
ditimbulkan adalah peningkatan tekanan, khusunya adalah pembuluh darah

Ns. FILCHA NOVIRMAN, S.Kep


pada lapisan submukosa esofagus bagian bawah dan lambung bagian atas.
Pembuluh-pembuluh kolateral ini tidak bersifat elastis tapi bersifat rapuh,
berkelok-kelok dan mudah mengalami perdarahan. Penyebab varises lainya
yang lebih jarang ditemukan adalah kelainan sirkulasi dalam vena linealis
atau vena kava superior dan trombosis vena hepatika.
Varises esofagus yang mengalami perdarahan dapat menyebabkan
kematian dan menyebabkan syok haemorargik yang menyebabkan penurunan
perfusi serebral, hepatik serta ginjal. Selanjutnya akan terjadi peningkatan
beban nitrogen akibat perdarahan kedalam traktus gastrointestinal dan
kenaikan kadar amonia serum yang meningkatkan resiko encefalopati.
Kemungkinan terjadinya perdarahan pada varises esofagus harus dicurigai
jika ada hematemisis dan melena, khususnya pada klien yang biasa
mengkonsumsi minuman keras.
Vena yang mengalami dilatasi biasanya tidak mengalami gejala kecuali
jika ada peningkatan tekanan porta yang tajam dan mukosa atau struktur yang
menyangga menjadi tipis, sehingga kemungkinan akan timbul haemorargik
masif. Faktor-faktor yang menimbulkan perdarahan bisa jadi dari mengangkat
barang berat, mengejan pada saat defekasi, bersin, batuk atau muntah,
esofagitis, atau iritasi pembuluh darah akibat makan makanan yang tidak
dikunyah dengan baik atau minum cairan yang merangsang. Salisilat dan
setiap obat yang dapat menimbulkan erosi mukosa, serta mengganggu
replikasi sel dapat pula menyebabkan perdarahan. (Brunner, 2000)

2.5 Manifestasi Klinis


Pada pasien dengan sirosis hepatis, gejala yang biasa ditemukan antara lain :
1. Pembesaran hati
Pada awal perjalanan sirosis, hati cenderung membesar dan sel-
selnya dipenuhi oleh lemak. Hati tersebut menjadi keras dan memiliki
tepi tajam yang dapat diketahui melalui palpasi. Nyeri abdomen dapat
terjadi sebagai akibat dari pembesaran hati yang cepat dan baru saja
terjadi sehingga mengakibatkan regangan pada selubung fibrosa hati

Ns. FILCHA NOVIRMAN, S.Kep


(kapsula Glissoni). Pada perjalanan penyakit yang lebih lanjut, ukuran
hati akan berkurang setelah jaringan parut menyebabkan pengerutan
jaringan hati. Apabila dapat dipalpasi, permukaan hati akan teraba
benjol-benjol (noduler).
2. Obstruksi Portal dan Asites
Manifestasi lanjut sebagian disebabkan oleh kegagalan fungsi hati
yang kronis dan sebagian lagi oleh obstruksi sirkulasi portal. Semua
darah dari organ-organ digestif praktis akan berkumpul dalam vena
portal dan dibawa ke hati. Hati yang sirotik tidak memungkinkan
pelintasan darah yang bebas, maka aliran darah tersebut akan kembali
ke dalam limpa dan traktus gastrointestinal dengan konsekuensi bahwa
organ-organ ini menjadi tempat kongesti pasif yang kronis. Kedua
organ tersebut akan dipenuhi oleh darah dan dengan demikian tidak
dapat bekerja dengan baik. Pasien dengan keadaan semacam ini
cenderung menderita dispepsia kronis atau diare. Berat badan pasien
secara berangsur-angsur mengalami penurunan.
3. Varises Gastrointestinal
Obstruksi aliran darah lewat hati yang terjadi akibat perubahan
fibrofik juga mengakibatkan pembentukan pembuluh darah kolateral
sistem gastrointestinal dan pemintasan (shunting) darah dari pernbuluh
portal ke dalam pernbuluh darah dengan tekanan yang lebih rendah.
Sebagai akibatnya, penderita sirosis sering memperlihatkan distensi
pembuluh darah abdomen yang mencolok serta terlihat pada inspeksi
abdomen (kaput medusae), dan distensi pembuluh darah di seluruh
traktus gastrointestinal. Esofagus, lambung dan rektum bagian bawah
merupakan daerah yang sering mengalami pembentukan pembuluh
darah kolateral. Distensi pembuluh darah ini akan membentuk varises
atau temoroid tergantung pada lokasinya.
4. Edema
Gejala lanjut lainnya pada sirosis hepatis ditimbulkan oleh gagal
hati yang kronis. Konsentrasi albumin plasma menurun sehingga

Ns. FILCHA NOVIRMAN, S.Kep


menjadi predisposisi untuk terjadinya edema. Produksi aldosteron yang
berlebihan akan menyebabkan retensi natrium serta air dan ekskresi
kalium.
5. Defisiensi Vitamin dan Anemia
Karena pembentukan, penggunaan dan penyimpanan vitamin
tertentu yan tidak memadai (terutama vitamin A, C dan K), maka tanda-
tanda defisiensi vitamin tersebut sering dijumpai, khususnya sebagai
fenomena hemoragik yang berkaitan dengan defisiensi vitamin K.
Gastritis kronis dan gangguan fungsi gastrointestinal bersama-sama
asupan diet yang tidak adekuat dan gangguan fungsi hati turut
menimbulkan anemia yang sering menyertai sirosis hepatis. Gejala
anemia dan status nutrisi serta kesehatan pasien yang buruk akan
mengakibatkan kelelahan hebat yang mengganggu kemampuan untuk
melakukan aktivitas rutin sehari-hari.
Tanda dan gejala lain yang sering ditemukan pada penderita
penyakit sirosis hepatis ini biasnya dikenal dengan “SEKASIH”
S : Spider nervi (tangan berbentuk seperti jarring laba-laba)
E : Eritema palmaris (kemerahan pada telapak tangan)
K : Keateral vena/ caput medusa (disekitar perut terlihat benjolan-
benjolan kecil memanjang)
A : Ascites (penumpukan cairan dirongga peritonium)
S : Splenomegali (pembesaran limfa)
I : Inversio atrasio (perbandingan terbalik antara albumin dan
globulin)
H : Hematemesis, melena ( muntah berdarah dan BAB berdarah)
(Suzanne C. Smeltzer dan Brenda G. Bare, 2001)

2.6 Komplikasi
Adapun dampak lanjut dari penyakit sirosis hepatis ini biasanya terjadi
karena penderita terlambat datang ke pelayanan medis sehingga pasien
mengalami :

Ns. FILCHA NOVIRMAN, S.Kep


1. Perdarahan
Penyebab perdarahan saluran cerna yang paling sering dan
berbahaya pada chirrosis hati adalah perdarahan akibat pecahnya
varises esofagus. Sifat perdarahan yang ditimbulkan ialah muntah darah
atau hematemesis, biasanya mendadak tanpa didahului rasa nyeri.
Darah yang keluar berwarna kehitam-hitaman dan tidak akan membeku
karena sudah bercampur dengan asam lambung. Penyebab lain adalah
tukak lambung dan tukak duodeni.
2. Karsinoma Hepatoselular
Kemungkinan timbulnya karsinoma pada Sirosis Hepatis terutama
pada bentuk postnekrotik ialah karena adanya hiperplasi noduler yang
akan berubah menjadi adenomata multiple kemudian berubah menjadi
karsinoma yang multiple.
3. Ensefalopati hepatic
Ensefalopati terjadi jika amonia dan zat – zat toksik lainmasuk
dalam sirkulasi sistemik. Sumber amonia adalah pemecahan protein
oleh bakteri saluran cerna. Ensefalopati hepatic akan terjadi jika darah
tidak dikeluarkan melalui aspirasi lambung, pemberian pencahar dan
enma, dan bila pemecahan protein darah oleh bakteri tidak
dicegahdengan pemberian neomisin atau antibiotik sejenis.
(Price & Wilson, 2005).

2.7 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan yang bisa dilakukan pada pasien dengan sirosis ini
terdiri dari 2 antara lain :
1. Medis
a. Asites
 Asites diterapi dengan tirah baring total dan diawali dengan
diet rendah garam, konsumsi garam sebanyak 5,2 gr atau
90mmol/hari.
 Diet rendah garam dikombinasi dengan obat-obatan diuretik.

Ns. FILCHA NOVIRMAN, S.Kep


 Awalnya dengan pemberian spironolakton dengan dosis 100-
200mg sekali sehari.
 Respons diuretik bisa dimonitor dengan penurunan berat badan
0,5 kg/hari, tanpa adanya edema kaki atau 1 kg/ hari bila
edema kaki ditemukan.
 Bila pemberian spironolaktin belum adekuat maka bisa
dikombinasi dengan furosemide dengan dosis 20-40 mg/hari.
Parasintesis dilakukan jika jumlah asites sangat besar.
b. Encephalophaty
Pada pasien dengan adanya ensephalophaty hepatik dapat
digunakan laktulosa untuk mengeluarkan amonia dan neomisin
dapat digunakan untuk mengeliminasi bakteri usus penghasil
amonia.
c. Pendarahan Esofagus
Untuk perdarahan esofagus pada sebelum dan sesudah
berdarah dapat diberikan propanolol. Waktu perdarahan akut, dapat
diberikan preparat somatostatin atau okreotid dan dapat diteruskan
dengan tindakan ligasi endoskopi atau skleroterapi.

2. Keperawatan
a. Pengkajian keperawatan berfokuskan pada awitan gejala dan
riwayat faktor-faktor pencetus
b. Status mental dikaji melalui anamnesis dan interaksi lain dengan
pasien; orientasi terhadap orang, tempat dan waktu harus
diperhatikan
c. Kemampuan pasien untuk melaksanakan pekerjaan atau kegiatan
rumah tangga memberikan informasi tentang status jasmani dan
rohani
(Suzanne C. Smeltzer dan Brenda G. Bare, 2001)

Ns. FILCHA NOVIRMAN, S.Kep


2.8 Pemeriksaan Penunjang
Untuk mendukung penegakan diagnose pada pasien sirosis hepatis
diperlukan pemeriksaan penunjang antara lain :
1. Pemeriksaan Laboratorium
a. Urine
Dalam urine terdapat urobilnogen juga terdapat bilirubin bila
penderita ada ikterus. Pada penderita dengan asites , maka ekskresi
Na dalam urine berkurang ( urine kurang dari 4 meq/l) menunjukkan
kemungkinan telah terjadi syndrome hepatorenal.
b. Tinja
Terdapat kenaikan kadar sterkobilinogen. Pada penderita dengan
ikterus, ekskresi pigmen empedu rendah. Sterkobilinogen yang tidak
terserap oleh darah, di dalam usus akan diubah menjadi sterkobilin
yaitu suatu pigmen yang menyebabkan tinja berwarna cokelat atau
kehitaman.
c. Darah
Biasanya dijumpai normostik normokronik anemia yang ringan,
kadang –kadang dalam bentuk makrositer yang disebabkan
kekurangan asam folik dan vitamin B12 atau karena splenomegali.
Bilamana penderita pernah mengalami perdarahan gastrointestinal
maka baru akan terjadi hipokromik anemi. Juga dijumpai likopeni
bersamaan dengan adanya trombositopeni.
d. Tes Faal Hati
Penderita sirosis banyak mengalami gangguan tes faal hati, lebih lagi
penderita yang sudah disertai tanda-tanda hipertensi portal. Pada
sirosis globulin menaik, sedangkan albumin menurun. Pada orang
normal tiap hari akan diproduksi 10-16 gr albumin, pada orang
dengan sirosis hanya dapat disintesa antara 3,5-5,9 gr per hari. 9
Kadar normal albumin dalam darah 3,5-5,0 g/dL38. Jumlah albumin
dan globulin yang masing-masing diukur melalui proses yang
disebut elektroforesis protein serum. Perbandingan normal albumin :

Ns. FILCHA NOVIRMAN, S.Kep


globulin adalah 2:1 atau lebih. 39 Selain itu, kadar asam empedu
juga termasuk salah satu tes faal hati yang peka untuk mendeteksi
kelainan hati secara dini.
2. Sarana Penunjang Diagnostik
a. Radiologi
Pemeriksaan radiologi yang sering dimanfaatkan ialah,: pemeriksaan
Foto rontgen abdomen (penggunaan X-Ray) dapat menemukan
pembesaran liver dengan menempatkan X-Ray tepat diatas bagian
abdominal.
b. Ultrasonografi
Ultrasonografi (USG) banyak dimanfaatkan untuk mendeteksi
kelaianan di hati, termasuk sirosis hati. Gambaran USG tergantung
pada tingkat berat ringannya penyakit. Pada tingkat permulaan
sirosis akan tampak hati membesar, permulaan irregular, tepi hati
tumpul. Pada fase lanjut terlihat perubahan gambar USG, yaitu
tampak penebalan permukaan hati yang irregular. Sebagian hati
tampak membesar dan sebagian lagi dalam batas nomal.
c. Peritoneoskopi (laparoskopi)
Secara laparoskopi akan tampak jelas kelainan hati. Pada sirosis hati
akan jelas kelihatan permukaan berbentuk nodul yang besar atau
kecil dan terdapatnya gambaran fibrosis hati, tepi biasanya tumpul.
Seringkali didapatkan pembesaran limpa.
(Vidyani dkk, 2011).

Ns. FILCHA NOVIRMAN, S.Kep


ASUHAN KEPERAWATAN TEORITIS

A. Pengkajian
1. Identitas Klien
Nama, Umur, No.RM, Orang yang dapat di hubungi, Alamat
2. Riwayat Kesehatan
a. Riwayat Kesehatan Sekarang
Biasanya klien mengeluh muntah berdarah dan BAB berdarah, inversion atrasio,
pembesaran limfa, penumpukan cairan dirongga peritoneum, perut terlihat
benjolan-benjolan kecil memanjang, kemerahan pada talapak tangan, tangan
berbentuk seperti jarring laba-laba, pembesaran hati, obstruksi portal)
b. Riwayat Kesehatan Dahulu
Pada riwayat dahulu biasaya terdapat perikarditis, gangguan imunologi dan
malnutrisi, hepatitis B/C, penyakit metabolik, obstruksi vena hepatik, kelebihan
zat besi(hemokromatis)
c. Riwayat Kesehatan Keluarga
Apakah ada anggota keluarga yang menderita penyakit menular seperti
Hepatitis A, B atau C?
3. Pola Nutrisi
Klien tidak nafsu makan, distensi abdomen dan muntah darah.
4. Pola Aktifitas
Tubuh klien terasa lemas, lesu untuk bergerak saja terasa berat, dada terasa sesak
setelah melakukan aktivitas.
5. Pola Istirahat
Pola tidur klien terganggu, sering terbangun karena sesak napas, palpebra inferior
berwarna kecoklatan berbeda dengan kulit wajah, klien tidak menggunakan obat
sedatif.
6. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan Umum
Keadaan fisik : sedang, ringan, berat
TTV : TD : meningkat/ menurun
S : Hipotermi/hipertermi
N : bradikardi/ takikardi
R : > 24x/ (cepat)
Ns. FILCHA NOVIRMAN, S.Kep
b. Kepala
Inspeksi : apakah ada luka dikepala, bagaimana hygiennya
Palpasi : apakah ada edema dan nyeri tekan
c. Mata
Inspeksi : edema palpebra (-), konjungtiva : anemis (+), sclera : ikterus (+)
Palpasi : apakah ada nyeri tekan, apakah terdapat benjolan
d. Mulut
Inspeksi : apakah bibir terlihat kering, apakah terdapat sariawan
Palpasi : apakah ada nyeri tekan
e. Hidung
Inspeksi : apakah terdapat polip, sekret, perdarahan, luka dan bagaimana
hygiene.
Palpasi : apakah terdapat nyeri tekan dan benjolan, bagaimana fungsi
pernafasan dan penciuman dan apakah terganggu/tidak
f. Telinga
Inspeksi : apakah ada peradangan dan bagaimana hygien
Palpasi : apakah terdapat nyeri tekan, apakah fungsi pendengaran
terganggu/tidak
g. Leher
Inspeksi : apakah terlihat pembengkakan kelenjer tiroid dan limfe
Palpasi : apakah nyeri tekan dan teraba pembengkakan kelenjer tiroid dan
limfe
h. Thoraks
 Dada
Inspeksi : apakah simetris kiri dan kanan
Palpasi : apakah fremitus taktil simetris kiri dan kanan, apakah terdapat
nyeri tekan
Perkusi : apakah sonor diseluruh lapang paru dan apakah suara redup
Auskultasi : apakah terdapat bunyi nafas broncho vesikuler, vesikuler atau
bronchial
 Jantung
Kapilar reveling : < 3 detik
Inspeksi : apakah terlihat iktus kordis di RIC V mid klavikula
sinistra
Ns. FILCHA NOVIRMAN, S.Kep
Palpasi : apakah teraba iktus kordis di RIC V klavikula sinistra,
apakah ada nyeri tekan.
Perkusi : apakah terdengar pekak pada
batas:
 Atas : RIC II mid klavikula sinistra
 Bawah : RIC V mid klavikula sinistra
 Kiri : Linea axila anterior
 Kanan : 1 jari mid klavikula dextra
Auskultasi : apakah ada bunyi jantung tambahan/mur-mur dan
berapa frekuensinya
i. Abdomen
Inspeksi : terlihat permukaan perut membesar (acitas), terdapat
spider nervi dan caput medusa
Auskultasi : Bising usus menurun
Palpasi : massa tumor (-), nyeri tekan (+), hati/limpa sulit
dinilai (hepatomegali/ splenomegali)
Perkusi : Ascites (+), suara pekak yang berpindah-pindah
(Shifting Dulnes)
j. Alat Kelamin
Tidak Ada Kelainan
k. Ektremitas
 Ekstremitas Atas:
Inspeksi : Pergerakan otot/ kekuatan otot lemah, apakah terpasang
infuse, terlihat spider nervi, eritema Palmaris/ kemerahan pada
telapak tangan
Palpasi : Teraba odema/ bengkak
Motorik : Untuk mengamati besar kecilnya bentuk otot dan tes
keseimbangan
Sensorik : Apakah klien dapat membedakan nyeri, sentuhan dan
temperatur
Reflek : Memulai reflek fisiologis seperti bisep dan trisep
5555 5555
5555 5555

Ns. FILCHA NOVIRMAN, S.Kep


 Ekstremitas bawah
Inspeksi : Bagaiman pergerakan kaki dan otot. Terlihat spider nervi.
Palpasi : Apakah ada nyeri tekan dan benjolan
Motorik : Untuk mengamati besar kecilnya bentuk otot dan tes
Keseimbangan

Sensorik : Apakah klien dapat membedakan nyeri, sentuhan dan


temperatur
Reflek : Memulai reflek fisiologis seperti bisep dan trisep
l. Genitalia
Inspeksi : Terlihat BAB berdarah (melena), hygiene kurang baik

B. Masalah keperawatan
1. Pola napas tidak efektif
2. Intolerans aktivitas
3. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
4. Nyeri kronis
5. Kelebihan volume cairan
6. Resiko Tinggi Infeksi

C. Diagnosa yang Mungkin Muncul


1. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan asites dan restriksi pengembangan
toraks akibat aistes, distensi abdomen serta adanya cairan dalam rongga toraks
2. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan asites dan pembentukan edema.
3. Nyeri kronis berhubungan dengan agen injuri biologi (hati yang membesar serta
nyeri tekan dan asites)
4. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d ketidakmampuan
ingesti (pemasukan makanan) dan absorbs
5. Intolerans aktivitas berhubungan dengan kelemahan
6. Rsiko Tinggi Infeksi b/d penurunan daya tahan tubuh

Ns. FILCHA NOVIRMAN, S.Kep


D. Rencana Asuhan Keperawatan
No Diagnosa Keperawatan NOC NIC
1 Pola napas tidak efektif Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 x 1. Tinggikan bagian kepala tempat tidur.
berhubungan dengan 24 jam diharapkan pola nafas efektif, 2. Monitor kecepatan, irama, kedalaman dan
kelemahan oto dengan kriteria hasil: kemampuan bernapas
pernafasan  Mengalami perbaikan status pernapasan. 3. Ubah posisi dengan interval.
 Melaporkan pengurangan gejala sesak napas. 4. Bantu pasien dalam menjalani parasentesis atau
 Melaporkan peningkatan tenaga dan rasa sehat. torakosentesis.
 Memperlihatkan frekuensi respirasi yang normal 5. Berikan dukungan dan pertahankan posisi selama
(19-24/menit) tanpa terdengarnya suara menjalani prosedur.
pernapasan tambahan. 6. Mencatat jumlah dan sifat cairan yang diaspirasi.
 Memperlihatkan pengembangan toraks yang 7. Melakukan observasi terhadap bukti terjadinya
penuh tanpa gejala pernapasan dangkal. batuk, peningkatan dispnu atau frekuensi denyut
 Memperlihatkan gas darah yang normal. nadi
 Tidak mengalami gejala konfusi atau sianosis. 8. Berikan tambahan O2 sesuai indikasi
2 Kelebihan volume cairan Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 x 1. Pasang kateter urin jika perlu
berhubungan dengan 24 jam diharapkan kelebihan volume cairan teratasi, 2. Catat dan laporkan jika ada peningkatan CVP,
ketidakcukupan protein dengan kriteria hasil: MAP, PAP, pulmonary capillary wedge pressure,
sekunder akibat  Mempertahankan bunyi paru yang bersih; tidak dan kardiak output
penurunan asupan atau ada dispnea atau ortopnea 3. Catat adanya penurunan tekanan darah, takikardi,
peningkatan kehilangan  Bebas dari distensi vena jugularis, refleks dan takipnea

Ns. FILCHA NOVIRMAN, S.Kep


hepatojugular positif, suara gallop ritmik 4. Batasi diet sodium jika perlu dan diinstruksikan
 Mempertahankan CVP, kardiak output, dan dokter
tanda vital normal 5. Memberikan makanan tinggi protein jika perlu
 Mempertahankan haluaran urin 500 ml dari 6. Memberikan diuretik jika perlu
intake dan osmolalitas urin dan gravitasi spesifik 7. Batasi intake cairan jika diinstruksikan, terutama
normal jika sodium serum rendah
 Bebas dari kurang istirahat, kecemasan, atau 8. Mengatur tetesan infus dengan hati-hati
kebingungan 9. Menyediakan waktu istirahat yang cukup
 Menjelaskan penilaian yang dapat digunakan 10. Meningkatkan body image dan harga diri
untuk menangani atau mencegah kelebihan 11. Konsultasi dengan dokter tentang tanda dan gejala
volume cairan, khususnya pembatasan cairan kelabihan volume cairan
dan diet, dan pengobatan
 Mendeskripsikan gejala yang mengindiksikan
kebutuhan konsul dengan penyedia pelayanan
kesehatan
3 Nyeri kronis Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 x 1. Pertahankan tirah baring ketika pasien mengalami
berhubungan dengan 24 jam diharapkan nyeri teratasi, dengan kriteria rasa nyeri dan kurang nyaman pada abdomen
agen-agen penyebab hasil: 2. Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif
cidera  Mempertahankan tirah baring dan mengurangi termasuk lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi,
aktivitas ketika nyeri terasa. kualitas dan faktor presipitasi.
 Melaporkan pengurangan rasa nyeri dan 4. Berikan kompres hangat pada abdomen yang sakit

Ns. FILCHA NOVIRMAN, S.Kep


gangguan rasa nyaman pada abdomen. 5. Ajarkan teknik distraksi dan relaksasi
 Melaporkan rasa nyeri dan gangguan rasa 6. Kolaborasi dengan tim medis untuk pemberian
nyaman jika terasa. terapi analgesic
 Merasakan pengurangan rasa nyeri. 7. Berikan antipasmodik dan sedatif sesuai indikasi
 Memperlihatkan pengurangan rasa nyeri.
 Memperlihatkan pengurangan lingkar perut dan
perubahan berat badan yang sesuai.

Ns. FILCHA NOVIRMAN, S.Kep


DAFTAR PUSTAKA

Doenges, Marilynn E, Mary Frances Moorhouse dan Alice C. Geisser. (2000). Rencana
Asuhan Keperawatan : Pedoman Untuk Perencanaan Dan Pendokumentasian
Perawatan Pasien. Jakarta: EGC.
Kuncara, H. Y. dkk. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Brunner & Suddarth.
Jakarta: EGC
Mansjoer, Arif. dkk. 2002. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: EGC
Price, Sylvia A dan Lorraine M. Wilson. (2005). Patofisiologi, Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit. Jakarta: EGC.
Smeltzer, Suzanne C dan Brenda G. Bare. (2001). Keperawatan medikal bedah 2. (Ed 8).
Jakarta: EGC.
Soeparman. 2004. Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : FKUI
Sudoyo, W. Aru. 2000. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, edisi IV. Jakarta: FKUI

Ns. FILCHA NOVIRMAN, S.Kep

Anda mungkin juga menyukai