Anda di halaman 1dari 22

Makalah Nadzir Dan Permasalahannya

Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Fiqh Dan Manajemen Wakaf

Dosen pembimbing : Dr. Dzulfikar Rodafi, Lc

Di susun oleh :

Kelompok 6

Robit Haris Sauqi (21810102059)

Kharunnisa (21801012064)

M. Badrun Tamam Mageskar (21801012068)

UNIVERSITAS ISLAM MALANG

FAKULTAS AGAMA ISLAM

HUKUM KELUARGA ISLAM

2020
KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur marilah kita panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat
rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah ini. Sholawat beserta
salam semoga tercurah limpahkan kepada baginda alam yakni Nabi Besar Muhammad
SAW. Tak lupa juga kepada para thabi‟in yang senantiasa mengikuti ajaran-Nya.

Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas dalam pembelajaran mata
kuliah fiqh dan manajemen wakaq pada jurusan hukum keluarga islam, Universitas
Islam Malang. Kami selaku penulis menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini
masih banyak terdapat kekurangan dan kelemahan dalam penyajian materi-materi
pembahasan, seperti kata pepatah “tak ada gading yang tak retak”. Oleh karena itu,
kritik dan saran pembaca yang bersifat membangun sangat penulis harapkan dalam
penyempurnaan penulisan karya tulis ini di masa yang akan datang.

Malang, 16 April 2020

penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................................................................ii
BAB I................................................................................................................................1
PENDAHULUAN.............................................................................................................1
A. Latar Belakang.....................................................................................................1
B. Rumus Masalah....................................................................................................1
C. Tujuan...................................................................................................................1
BAB II...............................................................................................................................2
PEMBAHASAN...............................................................................................................2
A. Pengertian Nadzir................................................................................................2
B. Dasar Hukum Nadzir...........................................................................................2
C. Syarat - Syarat Nadzir.........................................................................................5
D. Macam-macam Nadzir.........................................................................................7
E. Hak Dan Kewajiban Nadzir................................................................................9
F. Permasalahan Seputar Nadzir..........................................................................12
BAB III...........................................................................................................................18
PENUTUP.......................................................................................................................18
A. Kesimpulan............................................................................................................18
B. Saran.......................................................................................................................18
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................19

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sejak terjadinya krisis ekonomi dan melonjaknya angka kemiskinan di tanah
air kita, maka wakaf sangat dirasa penting perannya dalam menanggulangi problem
sosial dan ekonomi di tengah masyarakat. Nazhir sebagai orang dipercaya sebagai
pengelolaan harta wakaf ini sangat menentukan apakah tercapai atau tidaknya tujuan
dari wakaf ini.
Peran Nazhir sangat menentukan berjalan atau tidaknya harta wakaf, karena
peran Nadzir adalah top sebagai menejer yang menentukan, mengendalikan,
manejerial perwakafan sehingga berdaya guna dan berhasil guna tergantung pada
Nazhir itu sendiri.
Oleh karenanya, keberadaan harta wakaf itu ada di tangan Nazhir, yang
dapat dikelola dan diberdayakan secara maksimal untuk kepentingan kesejahteraan
masyarakat banyak yang bisa dipertanggungjawabkan secara moral dan hukum
Allah.

B. Rumus Masalah
1. Pengertian nazhir
2. Dasar hukum nadzir
3. Syarat - syarat nadzir
4. macam-macam nadzir
5. Hak dan kewajiban nadzir
6. Permasalahan seputar nadzir

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian nazhir
2. Untuk mengetahui dasar hukum nazhir
3. Untuk mengetahui syarat-syarat nazhir
4. Untuk mengetahui macam-macam nazhir
5. Untuk mengetahui hak dan kewajiban nazhir

1
6. Untuk mengetahui permasalahan seputar nazhir

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Nadzir
Kata Nadzir secara etimologi berasal dari kata kerja Nadzira yandzaru yang
berarti “menjaga” dan “mengurus”. Di dalam kamus Arab Indonesia disebutkan
bahwa kata Nadzir berarti; “yang melihat”, “pemeriksa”. Dengan demikian kata ‫ناظر‬
yang bentuk jamaknya ‫ار‬D‫ نظ‬mempunyai arti “pihak yang melakukan pemeriksaan
atau pihak yang memeriksa suatu obyek atau sesuatu hal yang berkaitan dengan
obyek yang ada dalam pemeriksaannya itu.
Dalam terminologi fiqh, yang dimaksud dengan Nadzir adalah orang yang
diserahi kekuasaan dan kewajiban untuk mengurus dan memelihara harta wakaf. Jadi
pengertian Nadzir menurut istilah adalah orang atau badan yang memegang amanat
untuk memelihara dan mengurus harta wakaf dengan sebaik-baiknya sesuai dengan
wujud dan tujuan harta wakaf.
Selain kata Nadzir, dalam hukum Islam juga dikenal istilah mutawalli.
Mutawalli merupakan sinonim dari kata Nadzir yang mempunyai makna yang sama
yakni orang yang diberi kuasa dan kewajiban untuk mengurus harta wakaf. Lebih
jelas lagi dalam Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 di dalam ketentuan umum,
butir keempat menyebutkan bahwa Nadzir adalah kelompok orang atau badan hukum
yang diserahi tugas pemeliharaan dan pengurusan benda wakaf.

B. Dasar Hukum Nadzir


Meskipun Nadzir adalah salah satu unsur pembentuk wakaf, namun Al-
Qur’an tidak menyebutkan dengan jelas mengenai Nadzir, bahkan untuk wakaf
sendiri Al-Qur’an tidak menerangkan secara jelas dan terperinci. Tetapi ada beberapa
ayat Al-Qur’an yang memerintahkan agar manusia berbuat baik untuk kebaikan
masyarakat. Ayat-ayat ini dipandang oleh para ahli hukum bisa dijadikan landasan
atau dasar hukum perwakafan. Ayat-ayat Al-Qur’an tersebut antara lain; Surat Al-
Baqarah ayat 267 dan Surat Ali Imran ayat 92.

2
َ ِ‫وا ۡٱل َخب‬D
‫يث‬ ‫أۡل‬
ِ ۖ ‫ا لَ ُكم ِّمنَ ٱ َ ۡر‬DDَ‫ ۡبتُمۡ َو ِم َّمٓا أَ ۡخ َر ۡجن‬D‫ا َك َس‬DD‫ت َم‬
ْ D‫ض َواَل تَيَ َّم ُم‬ ْ Dُ‫و ْا أَنفِق‬Dٓ Dُ‫ٰيَٓأَيُّهَا ٱلَّ ِذينَ َءا َمن‬
ِ َ‫وا ِمن طَيِّ ٰب‬D
٢٦٧ ‫ٱعلَ ُم ٓو ْا أَ َّن ٱهَّلل َ َغنِ ٌّي َح ِمي ٌد‬ Dْ ‫َٔا ِخ ِذي ِه إِٓاَّل أَن تُ ۡغ ِمض‬Dَِ‫ِم ۡنهُ تُنفِقُونَ َولَ ۡستُم ٔ‍ب‬
ۡ ‫ُوا فِي ۚ ِه َو‬
267. Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan allah) sebagian dari hasil
usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk
kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan
daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan
memincingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi
Maha Terpuji.

ْ ُ‫ُّونَ َو َما تُنفِق‬


٩٢ ‫يم‬ٞ ِ‫وا ِمن َش ۡي ٖء فَإِ َّن ٱهَّلل َ بِ ِهۦ َعل‬ ْ ُ‫وا ۡٱلبِ َّر َحتَّ ٰى تُنفِق‬
ۚ ‫وا ِم َّما تُ ِحب‬ ْ ُ‫لَن تَنَال‬
92. Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum
kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu
nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.
Selain kedua ayat Al-Qur’an di atas, yang menganjurkan manusia untuk
berbuat baik untuk kebaikan orang lain dengan membelanjakan (menyedekahkan)
sebagian dari harta benda kekayaannya, ada beberapa hadits yang juga dapat
dijadikan sebagai dasar hukum perwakafan, salah satunya adalah hadits yang
diriwayatkan oleh Muslim, yang artinya :
Dari Abu Hurairah r.a. berkata: Rasulullah saw. bersabda:
“Apabila seseorang telah mati, maka putuslah amalnya, kecuali tiga perkara; sadaqah
jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak yang shaleh yang selalu mendoakan orang
tuanya.”
Berdasarkan hadits tersebut di atas, para ulama berpendapat bahwa yang
dimaksud shadaqah jariyah dalam hadits tersebut adalah wakaf. Dengan demikian,
wakaf sama dengan shadaqah jariyah dalam hal pahalanya. Oleh karena wakaf
merupakan shadaqah jariyah yang pahalanya terus-menerus mengalir, maka keutuhan
dan kelestarian benda wakaf mutlak diperlukan dalam upaya mencapai tujuan wakaf.
Agar tujuan itu dapat tercapai, maka secara otomatis dibutuhkan seseorang atau
badan hukum yang mengelola dan mengurus benda wakaf yaitu Nadzir.
Ketentuan diperlukannya Nadzir sebagaimana yang diatur dalam PP. No. 28
tahun 1977, terutama Pasal 7 dan 8 tentang Hak dan Kewajiban Nadzir juga merujuk
pada sejarah Islam. Dalam sebuah hadits menerangkan sebagai berikut yang artinya

3
"Telah mengkabarkan kepada kami Quthaibah bin Said, telah mengabarkan kepada
kita Muhammad bin Abdullah al-Anshori, telah mengabarkan kepada kita Ibnu
‘Auni, beliau berkata: telah bercerita kepadaku Nafi’ dari Ibnu Umar r.a.
bahwasannya Umar Ibnu Khattab mendapat bagian sebidang kebun di Khaibar, lalu
ia datang kepda Nabi SAW untuk meminta nasihat tentang harta itu, ia berkata : “Ya
Rasulullah, sesungguhnya aku telah mendapat sebidang tanah di Khaibar yang aku
belum pernah memperoleh tanah seperti itu, apa nasehat Engkau kepadaku tentang
tanah itu ?”. Rasulullah SAW menjawab : “Jika engkau mau, wakafkanlah tanah itu
dan bersedekahlah dengan hasilnya. Berkata Ibnu Umar :Maka Umar mewakafkan
harta itu dengan arti bahwa tanah itu tidak boleh lagi dijual, dihibahkan dan
diwariskan. Ia menyedekekahkan hasil harta itu kepada yang fakir, kepada kerabat,
untuk memerdekakan budak, pada jalan Allah, orang yang terlantar dan tamu. Tidak
ada dosa bagi orangorang yang mengurusnya (nadzir) memakan harta itu secara patut
atau memberi asal tidak bermaksud mencari kekayaan”. (H.R. Bukhori)"
Sesuai keterangan dalam hadits di atas, bahwa tanah yang diwakafkan oleh
Umar bin Khattab adalah dengan menahan pokok asalnya, dengan tidak menjual,
mewariskan, dan tindakan-tindakan lain yang bersifat pengalihan hak. Dengan
demikian maka wakaf harus berlaku untuk selama-lamanya, tidak memakai batas
waktu. Hadits tersebut juga bisa dijadikan rujukan bahwa Nadzir sebagai pengelola
wakaf berhak mendapatkan atau menikmati hasil tanah wakaf dalam batas-batas
tertentu.
Sahabat Umar bin Khattab, dalam praktiknya ketika mewakafkan tanahnya,
beliau sendiri yang menjadi Nadzirnya. Namun setelah beliau meninggal dunia,
pengelolaan wakaf diserahkan kepada putrinya Hafsah. Setelah itu pengelolaan
wakaf ditangani oleh Abdullah ibn Umar, dan seterusnya berdasarkan wasiat Umar
bin Khattab. Peristiwa ini membuktikan bahwa Nadzir sangat diperlukan demi
kelangsungan dan tercapainya tujuan wakaf.

C. Syarat - Syarat Nadzir


Sebagaimana disebutkan terdahulu bahwa Nadzir merupakan salah satu unsur
penting dalam wakaf. Oleh karena itu, untuk menjadi Nadzir diperlukan syarat-syarat

4
yang telah ditentukan hukum Islam, meskipun pada dasarnya semua orang bisa
menjadi Nadzir asalkan memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan. Untuk
menjadi seorang Nadzir, haruslah dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
1. Mempunyai kecakapan dalam melakukan perbuatan hukum Mukallaf sehingga ia
bisa mengelola wakaf dengan baik.
2. Memiliki kreativitas (za ra’y). Ini didasarkan kepada tindakan Umar ketika
menunjuk Hafsah menjadi Nadzir harta wakafnya. Ini karena Hafsah dianggap
mempunyai kreativitas tersebut.
Adapun syarat-syarat Nadzir menurut pasal 219 Kompilasi Hukum Islam adalah :
1. Nadzir sebagaimana dimaksud dalam pasal 215 ayat (4) terdiri dari perorangan
yang harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a. Warga Negara Indonesia
b. Beragama Islam
c. Sudah dewasa
d. Sehat jasmani dan rohani
e. Tidak berada dibawah pengampuan
f. Bertempat tinggal di kecamatan tempat letak benda yang diwakafkannya.
2. Jika berbentuk badan hukum, maka Nadzir harus memenuhi persyaratan sebagai
berikut :
a. Badan hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.

b. Mempunyai perwakilan di Kecamatan tempat letak benda yang


diwakafkannya.

c. Badan Hukum yang tujuan dan usahanya untuk kepentingan peribadatan atau
kepentingan umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam.

d. Para pengurusnya harus memenuhi syarat-syarat sebagai seorang Nadzir.

3. Nadzir dimaksud dalam ayat (1) dan (2) harus didaftar pada Kantor Urusan
Agama (KUA) Kecamatan setempat setelah mendengarkan saran dari Camat dan
Majlis Ulama Kecamatan untuk mendapatkan pengesahan.
4. Nadzir sebelum melaksanakan tugasnya, harus mengucapkan sumpah di hadapan
Kantor Urusan Agama Kecamatan dan disaksikan sekurangkurangnya oleh 2
orang saksi.

5
5. Jumlah Nadzir yang diperbolehkan untuk satu unit perwakafan, seperti dimaksud
pasal 215 ayat (5) sekurang-kurangnya terdiri dari 3 orang dan sebanyak-
banyaknya 10 orang yang di angkat oleh Kepala Kantor Urusan Agama
Kecamatan atas saran Majlis Ulama Kecamatan dan Camat setempat.

Sedangkan dalam kitab Fathul Wahab disebutkan bahwa syarat-syarat Nadzir adalah:

1. Mempunyai sifat adil


2. Mampu membelanjakan apa yang ada padanya sebagai Nadzir, menjaga asalnya,
mengumpulkan hasilnya serta membagikan kepada yang berhak.

Sedangkan dalam buku yang diterbitkan oleh Direktorat Pemberdayaan Wakaf


Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Departemen Agama RI yang berjudul
Paradigama Baru Wakaf di Indonesia membagi syarat-syarat untuk Nadzir ketiga
bagian.

1. Syarat moral

a. Paham tentang hukum wakaf dan ZIS, baik dalam tinjauan syari’ah
b. maupun perundang-undangan negara RI.
c. Jujur, amanah dan adil sehingga dapat dipercaya dalam proses
d. pengelolaan wakaf.
e. Tahan godaan, terutama menyangkut perkembangan usaha.
f. Pilihan, sungguh-sungguh dan suka tantangan.
g. Punya kecerdasan, baik emosional maupun spiritual.

2. Syarat menejemen

a. Mempunyai kapasitas dan kapabilitas yang baik dalam leadership.


b. Visioner
c. Mempunyai kecerdasan yang baik secara intelektual, sosial dan pemberdayaan.
d. Profesional dalam bidang pengelolaan harta.
e. Memiliki program kerja yang jelas.

3. Syarat bisnis

a. Mempunyai keinginan.
b. Mempunyai pengalaman.

6
c. Punya ketajaman melihat peluang usaha sebagaimana layaknya entrerpreneur.

Dari persyaratan diatas menunjukan bahwa Nadzir menempati pada pos yang
sangat sentral dalam pola pengelolaan harta wakaf. Ditinjau dari segi tugas Nadzir,
dimana Nadzir berkewajiban untuk menjaga, mengembangkan dan melestarikan
manfaat dari harta yang diwakafkan bagi orang-orang yang berhak menerimanya.

D. Macam-macam Nadzir
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang pelaksanaan Undang-
Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf ditegaskan bahwa Nadzir mencakup
tiga macam : Nadzir Perorangan, Nadzir Organisasi, dan Nadzir Badan Hukum.
1. Nadzir Perorangan
Hal-hal yang berkaitan dengan syarat-syarat Nadzir perorangan yang telah
ditetapkan dalam Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf adalah :
a. Nadzir ditunjuk oleh wakif dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam
undang-undang.
b. Nadzir wajib di daftarkan kepada Menteri Agama dan Badan Wakaf Indonesia
melalui Kantor Urusan Agama (KUA) setempat.
c. Apabila di suatu daerah tidak terdapat KUA, pendaftaran Nadzir dilakukan
melalui KUA terdekat, Kantor Departemen Agama, atau perwakilan Badan
Wakaf Indonesia di Provinsi/Kabupaten atau Kota.
d. Badan Wakaf Indonesia menerbitkan tanda bukti pendaftaran Nadzir.
e. Nadzir perorangan harus merupakan suatu kelompok yang terdiri dari
sekurang-kurangnya tiga orang, dan salah satu di antara mereka diangkat
menjadi ketua.
f. Salah satu Nadzir perorangan harus bertempat tinggal di kecamatan tempat
benda wakaf berada.
2. Nadzir Organisasi
Ketentuan mengenai Nadzir yang berbentuk organisasi : Pertama, Nadzir
organisasi wajib didaftarkan pada Menteri Agama dan Badan Wakaf Indonesia
melalui KUA setempat. Kedua, Nadzir organisasi yang melaksanakan pendaftaran
harus memenuhi persyaratan : (a) organisasi yang bergerak dibidang sosial,
pendidikan, kemasyarakatan, dan atau keagamaan Islam; (b) pengurus organisasi
harus memenuhi persyaratan Nadzir perseorangan; (c) salah seorang pengurus

7
organisasi harus berdomisili di Kabupaten atau Kota tempat benda wakaf berada;
(d) melampirkan : salinan akta notaris pendirian dan anggaran dasar, daftar
susunan pengurus, anggaran rumah tangga, program kerja dalam pengembangan
wakaf, daftar kekayaan yang berasal dari harta wakaf yang terpisah dari kekayaan
lain atau yang merupakan kekayaan organisasi, dan surat pernyataan bersedia
untuk di audit. Ketiga, pendaftaran Nadzir organisasi dilakukan sebelum
penandatanganan Akta Ikrar Wakaf.
Sedangkan ketentuan-ketentuan mengenai pembubaran dan penggantian
Nadzir organisasi: Pertama, Nadzir organisasi bubar atau dibubarkan sesuai
dengan anggaran dasar organisasi yang bersangkutan. Kedua, apabila salah
seorang Nadzir organisasi meninggal, mengundurkan diri, berhalangan tetap dan
atau dibatalkan kedudukannya sebagai Nadzir, ia harus diganti. Ketiga, apabila
Nadzir perwakilan organisasi tidak melaksanakan tugasnya dan atau melakukan
pelanggaran dalam pendayagunaan wakaf, pengurus pusat organisasi yang
bersangkutan wajib mengatasi dan menyelesaikannya, baik diminta oleh Badan
Wakaf Indonesia maupun tidak. Keempat, Nadzir organisasi yang tidak
menjalankan kewajibannya, dapat diberhentikan dan diganti hak ke Nadzir
lainnya oleh Badan Wakaf Indonesia dengan memperhatikan saran dan
pertimbangan Majlis Ulama Indonesia setempat. Kelima, Nadzir organisasi yang
tidak menjalankan kewajibannya dalam jangka waktu satu tahun (sejak Akta Ikrar
Wakaf dibuat), dapat diusulkan kepada Badan Wakaf Indonesia oleh kepala KUA
untuk diberhentikan dan diganti oleh Nadzir lain. Keenam, apabila salah seorang
Nadzir organisasi meninggal, mengundurkan diri, berhalangan tetap, dan atau
dibatalkan kedudukannya sebagai Nadzir yang di angkat oleh organisasi,
organisasi yang bersangkutan harus melaporkan ke KUA untuk selanjutnya
diteruskan kepada Badan Wakaf Indonesia paling lambat 30 hari sejak kejadian
tersebut.
3. Nadzir Badan Hukum
Ketentuan Nadzir badan hukum pada umumnya sama dengan ketentuan
Nadzir organisasi. Pertama, Nadzir badan hukum wajib didaftarkan pada Menteri
Agama dan Badan Wakaf Indonesia melalui KUA setempat. Kedua, Nadzir badan
hukum yang melaksanakan pendaftaran yang harus memenuhi persyaratan-

8
persyaratan berikut : (a) badan hukum indonesia yang bergerak dibidang sosial,
pendidikan,
kemasyarakatan dan atau keagamaan Islam; (b) pengurus badan hukum
harus memenuhi persyaratan Nadzir perseorangan; (c) salah seorang pengurus
badan hukum harus berdomisili di Kabupaten / Kota tempat benda wakaf berada;
(d) melampirkan : salina akta notaris pendirian dan anggaran dasar badan hukum
yang bersangkutan yang telah disahkan oleh instansi yang berwenang, daftar
susunan pengurus, anggaran rumah tangga, program kerja pengembangan wakaf,
daftar kekayaan yang berasal dari harta wakaf yang terpisah dari kekayaan lain
atau yang merupakan kekayaan badan hukum, surat pernyataan bersedia untuk
diaudit.
Dalam Nadzir organisasi terdapat ketentuan bahwa pendaftaran Nadzir
organisasi dilakukan sebelum penandatanganan Akta Ikrar Wakaf, sedangkan
dalam ketentuan mengenai Nadzir badan hukum tidak terdapat klausul ini.
Meskipun demikian, tidaklah logis jika pendaftaran Nadzir badan hukum
dilakukan setelah penandatanganan Akta Ikrar Wakaf.
Sedangkan ketentuan-ketentuan mengenai pembubaran dan penggantian
Nadzir badan hukum : Pertama, apabila Nadzir perwakilan daerah dari suatu
badan hukum tidak menjalankan kewajibannya, pengurus pusat badan hukum
yang bersangkutan wajib mengatasi dan menyelesaikannya, baik diminta oleh
Badan Wakaf Indonesia maupun tidak. Kedua, apabila pengurus pusat badan
hukum yang bersangkutan tidak dapat menjalankan kewajibannya, Nadzir badan
hukum tersebut dapat diberhentikan dan di ganti hak keNadzirannya oleh Badan
Wakaf Indonesia dengan memeperhatikan saran dan pertimbangan Majlis Ulama
Indonesia setempat. Ketiga, Nadzir badan hukum yang tidak menjalankan
kewajibannya dalam jangka waktu satu tahun (sejak Akta Ikrar Wakaf dibuat),
dapat diusulkan ke Badan Wakaf Indonesia oleh kepala KUA untuk diberhentikan
dan diganti oleh Nadzir lain.

E. Hak Dan Kewajiban Nadzir


Ada beberapa hal yang dibebankan kepada Nadzir, dimana dia wajib
melaksanakannya agar kondisi harta wakaf tetap terjaga dan keuntungannya bisa

9
terus dipertahankan, sehingga kemaslahatan mauquf ‘alaih bisa terpenuhi. Dalam
kitab Fathul Wahab dijelaskan apabila seseorang menjadi Nadzir maka dia
ditugaskan mengembangkan harta wakaf, menyewakannya, menjaga hasilnya,
mengumpulkannya, serta membagikannya kepada yang berhak mendapatkannya.
Nadzir dalam melaksanakan tugasnya sebagai pemelihara dan pengurus benda wakaf
dalam rangka mengekalkan manfaat benda wakaf itu sesuai dengan tujuannya, maka
para Nadzir juga mempunyai kewajiban dan hak.
Ada beberapa hal yang dibebankan kepada Nadzir, dimana Nadzir wajib
melaksanakannya agar kondisi harta wakaf tetap terjaga dan keuntungannya bisa
terus dipertahankan, sehingga kemaslahatan harta wakaf bisa terpenuhi. Kewajiban
Nadzir ialah mengerjakan segala sesuatu yang layak untuk menjaga dan mengelola
harta. Sebagai pengawas harta wakaf, Nadzir dapat mempekerjakan beberapa wakil
atau pembantu untuk menyelenggarakan urusan-urusan yang berkenaan dengan tugas
dankewajibannya. Dalam mengurus dan mengawasi, Nadzir berkewajiban untuk :
1. Memelihara baik-baik atas lembar kedua salinan Akta Ikrar Wakafnya.
Lembaran ini sangat penting, karena itu adalah merupakan bukti autentik yang
akan dapat dipergunakan untuk berbagai kepentingan, seperti dalam
mempertahankan harta wakaf jika suatu saat diperkarakan di Pengadilan.
2. Memelihara, mengurus dan memanfaatkan tanah wakaf serta berusaha
meningkatkan produktifitas hasilnya. Ia berwenang melakukan hal-hal yang
dapat mendatangkan suatu kebaikan dan menciptakan suatu keuntungan
terhadap harta wakaf.
3. Menggunakan hasil-hasil wakaf sesuai dengan ikrar wakaf.
Di samping kewajiban di atas, Nadzir juga mempunyai kewajiban sebagai berikut :
 Mengurus dan mengawasi harta kekayaan wakaf dan hasilnya, meliputi:
a. Menyimpan lembar kedua Salinan Akta Ikrar Wakaf.
b. Memelihara tanah wakaf.
c. Memanfaatkan tanah wakaf.
d. Memanfaatkan dan berusaha meningkatkan hasil wakaf.
e. Menyelenggarakan pembukuan atau administrasi yang meliputi:
1) Buku catatan tentang keadaan tanah wakaf.
2) Buku catatan pengelolaan dan hasil tanah wakaf.

10
3) Buku catatan tentang penggunaan hasil tanah wakaf.
 Memberi laporan kepada Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan tentang:
a. Hasil pencatatan perwakafan tanah milik oleh Pejabat Agraria.
b. Perubahan status tanah milik yang telah diwakafkan dan perubahan
penggunaannya karena tidak sesuai dengan tujuan wakaf seperti diikrarkan
oleh waqif dan untuk kepentingan umum.
c. Pelaksanaan kewajiban mengurus dan mengawasi harta kekayaan wakaf dan
hasil tiap tahun sekali, pada akhir bulan Desember tahun yang sedang
berjalan.
 Melaporkan anggota Nadzir yang berhenti dari jabatannya.
 Mengusulkan kepada Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan anggota
pengganti yang berhenti itu untuk disahkan keanggotaannya.
Adapun kewajiban dan hak-hak Nadzir dalam pasal 220 Kompilasi Hukum Islam,
adalah :
1. Kewajiban Nadzir adalah, sebagai berikut :
a. Nadzir berkewajiban untuk mengurus dan bertanggung jawab atas kekayaan
wakaf serta hasilnya, dan pelaksanaan perwakafan sesuai dengan tujuan menurut
ketentuan-ketentuan yang diatur oleh Menteri Agama.
b. Nadzir diwajibkan membuat laporan secara berkala atas semua hal yang menjadi
tanggung jawabnya sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) kepada Kepala
Kantor Urusan Agama setempat dengan tembusan kepada Majelis Ulama
Kecamatan dan Camat setempat.

2. Tata cara pembuatan laporan seperti dimaksud dalam ayat (2) dilaksanakan sesuai
dengan peraturan Menteri Agama. Hak-hak Nadzir adalah Nadzir berhak
mendapatkan penghasilan dan fasilitas yang jenis dan jumlahnya ditentukan
berdasarkan kelayakan atas saran Majelis Ulama Kecamatan dan Kantor Urusan
Agama Kecamatan setempat. Menurut pasal 11 Peraturan Menteri Agama, bahwa
hak Nadzir adalah:

a. Nadzir berhak menerima penghasilan dari hasil tanah wakaf yang besarnya
ditetapkan oleh Kepala Kandepag cq Kepala Seksi dengan ketentuan tidak
melebihi sepuluh persen dari hasil bersih tanah wakaf.

11
b. Nadzir dalam menunaikan tugasnya berhak menggunakan fasilitas sepanjang
diperlukan dari tanah wakaf atau hasilnya yang jenis dan jumlahnya
ditetapkan oleh Kepala Kandepag cq Kepala Seksi.
Dalam usaha mengembangkan harta wakaf itu agar produktif, Nadzir berhak
mendapat upah yang wajar dan layak dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.
Menurut para fuqoha bahwa Nadzir berhak mendapatkan upah semenjak dia mulai
mengelola dan mengurus harta wakaf baik dengan cara membangun,
mengeksploitasi, menjual hasil produksi dan menyalurkan apa apa yang telah
terkumpul padanya, sesuai dengan syarat wakif dan pekerjaan lainnya yang bisa
dilakukan oleh rekan-rekannya sesama Nadzir. Sebab upah itu sebagai balasan dari
pekerjaan.
Diperbolehkan bagi orang yang mengurusi urusan wakaf untuk memakan
sebagian dari hasil wakaf itu. Sebagaimana hadist Ibnu Umar:
‫ال جناح على من وليها أن يأكل منها بالمعروف‬
Artinya: “Tidak ada dosa bagi orang yang mengurusi harta wakaf untuk
memakan sebagian darinya dengan cara yang ma’ruf”.
Yang dimaksud dengan cara yang ma’ruf adalah kadar yang biasanya berlaku
dan dianggap sebagai suatu kewajaran.. Nadzir wakaf, baik perorangan maupun
badan hukum, harus terdaftar pada Kantor Urusan Agama Kecamatan setempat untuk
mendapat pengesahan dari Kantor Urusan Agama Kecamatan yang bertindak sebagai
Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf. Jumlah Nadzir untuk suatu daerah tertentu
ditetapkan oleh Menteri Agama Nomor 1 Tahun 1978, yaitu jumlah Nadzir
perorangan untuk satu kecamatan adalah sama dengan jumlah desa yang terdapat
dalam kecamatan bersangkutan. Dan di dalam Desa hanya ada satu Nadzir kelompok
perorangan.
Kelompok perorangan tersebut terdiri dari sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang
dan sebanyak-banyaknya 10 (sepuluh) orang yang diangkat oleh Kepala Kantor
Urusan Agama Kecamatan atas saran Majelis Ulama Kecamatan dan Camat
setempat.

F. Permasalahan Seputar Nadzir

12
Dalam pandangan penulis, rumusan standarisasi dari pada nazir professional
sebagaimana disebut di atas sudah cukup ideal. Hanya saja guna terpenuhinya
kriteria tersebut dibutuhkan upaya yang serius serta plotical will dari setiap
stakeholder wakaf serta sinergi dari lembaga-lembaga yang ada. Hal demikian
dikarenakan masalah paradigma di masyarakat bukan hanya pada pandangan masing-
masing individu terhadap wakaf yang masih sebatas pada benda mati. Namun juga
pandangan terhadap nazir yang dinilai sebatas penjaga objek wakaf semata.
Hal demikian dalam pandangan penulis turut membentuk pola piker nazir
yang ada saat ini, Dimana tidak ada kepedulian masyarakat terhadap objek wakaf
yang ada disekitarnya atau pun terhadap nazir sebagai pengelolaanya. Terlebih
sebagian menilai bahwa objek wakaf bukan lah hak milik mereka sehingga rasa
kepedulian terhadap pengelolaan objek wakaf terbilang rendah. Padahal praktik
wakaf yang dilakukan telah secara otomatis melepas kepemilikan pribadi waqif
terhadap objek wakaf dan menjadikannya sebagai objek kemanfaatan umum. Hal ini
disebabkan masih rendahnya pengetahuan masyarakat terhadap hukum wakaf, selain
juga karena rendahnya pengetahuan nazir wakaf itu sendiri.
Permasalahan demikian, hanya sebagian kecil dari permasalahan yang ada
seputar nazir dan perwakafan. Secara lebih sistematis, kelemahan nazir dalam
melaksanakan tugas pengelolaan wakaf sebagaimana disebutkan oleh Tholhah Hasan
(2011, p. 10-11) disebabkan karena beberapa factor diantaranya adalah faktor
pengetahuan. Banyak sekali nazir yang tidak memiliki kefahaman tentang
perwakafan, termasuk tentang tugas tugas dan kewajiban kenaziran. Terbatasnya
pengetahuan menjadi sebab lemahnya kreatifitas dan kompetensi pengelolaan wakaf.
Selain itu kendala yang ada disebabkan karena faktor pembinaan. Selama ini,
upaya-upaya pembinaan terhadap nazir sangat minim, baik oleh pemerintah atau pleh
lembaga-lembaga dan organisasi Islam yang ada di masyarakat. Masalah nazir wakaf
sepertinya masih belum masuk dalam agenda pemberdayaan umat. Banyak nazir
yang sampai meninggal dunia belum pernah tersentuh oleh pembinaan tugasnya.
Kendala selanjutnya adalah faktor perekrutan. Pengangkatan nazir banyak yang
dilakukan atas dasar “siapa yang mau” dan atas dasar “siapa yang mampu”. Bahkan
tidak sedikit jabatan nazir wakaf ini menjadi “warisan” (si ayah yang menjadi nazir,
apabila meninggal, otomatis kenazirannya diganti oleh salah seorang anaknya atau

13
keluarganya yang mau), tanpa melalui prses administrative apapun, tanpa kualifikasi
dan tanpa kompetensi.
Selain factor perekrutan, faktor Imbalan (ujrah) juga menjadi salah satu
kendala. Dalam sejarah perwakafan di Indonesia selama ini belum ada aturan standar
tentang imbalan atau upah nazir, baik secara nominal atau prosentasi. Kalaupun ada
sebagaian nazir yang menerima upah bulanan atau tahunan atau musiman, itu
semata-mata atas dasar kebijakan waqif atau lembaga setempat. Pada umumnya
imbalan atau upah yang diterima oleh nazir itu sangat rendah sekali sehingga tidak
memberi daya motivasi kepada nazir untuk bekerja dengan lebih baik dan dengan
semangat lebih tinggi. Selama ini nazir lebih banyak bekerja secara sambilan.
Faktor kompetensi merupakan salah satu kendala yang ada. Sebagian besar
nazir tidak diangkat berdasarkan keahlian (profesionalitas) dan pengalaman, tetapi
lebih banyak diangkat berdasarkan kepercayaan dan pendekatan personal. Banyak
harta benda wakaf berupa tanah pertanian yang nazirnya bukan ahli atau
berpengalaman dalam pertanian, juga banyak nazir dalam wakaf pendidikan yang
tidak faham tentang dunia pendidikan, sehingga tidak ada kreatifitas yang
mendorong kemajuan pengelolaan dan pendayagunaan asset wakaf secara optimal,
yang akibatnya tujuan wakaf tidak dapat dicapai dengan semestinya.
Kendala lainnya adalah faktor pengawasan. Nazir pada hakikatnya bekerja
sebagai wakil dari orang lain, apakah orang lain berupa waqif atau hakim/ qadhi
(pemerintah), maka seharusnya nazir bertanggung jawab kepada orang atau pihak
yang memberinya mandate itu. Dalam kenyataannya nazir kurang memperhatikan
kewajibannya, bisa jadi karena ia kurang mngerti kewajiban tersebut, atau bisa jadi
karena ia memang lalai dan sengaja tidak memperdulikan kewajiban tersebut, dan
lebih parah lagi karena tidak ada pihak yang mengawasi kinerjanya dan
membetulkan kesalahannya. Sebagai akibatnya, banyak terjadi perubahan status
wakaf atau perubahan status wakaf atau perubahan peruntukan wakaf yang
menyimpang dari maksud semula, seperti wakaf untuk mushalla berubah menjadi
bangunan ruko (rumah toko), atau wakaf tanah untuk pendidikan berubah menjadi
bangunan rumah atas nama pribadi.
Solusi

14
Menanggapi permasalah di atas, penulis mencoba menawarkan beberapa
solusi terkait hambatan-hambatan yangada dalam hal kompetensi dan profesionalitas
nazir wakaf. Solusi ini tentu saja membutuhkan tindak lanjut dan kajian yang
dilakukan secara berkelanjutan (continue). Di antara solusi yang penulis tawarkan
antara lain harus adanya perubahan paradigm (paradigm change). Dalam sejarah
pengelolaan wakaf di Indonesia, majoritas harta wakaf dikelola oleh Nazir tradisional
sehingga harta wakaf tidak produktif. Agar sejarah pengelolaan wakaf di Indonesia
tidak terulang, maka perlu ada perubahan paradigma. Yaitu dari pengelolaan yang
bersifat konsumtif menuju pengelolaan yang bersifat produktif, dan dari Nazir
tradisional yang mendasarkan kepada kepercayaan semata menuju Nazir profesional
yang direkrut berdasarkan keahlian dalam bidang masing-masing. Dan juga
memberdayakan dari Nazir perseorangan menuju Nazir kelembagaan agar mudah
pertanggung jawabannya (Departemen Agama RI, 2008, p. 52).
Dalam pandangan penulis, perubahan paradigma tidak hanyaterbatas pada
nazir semata. Paradigma wakaf yang benar akan menuntun kepedulian setiap
masyarakat Muslim yang hidup atau pun tinggal di sekitar objek wakaf terutama
tanah yang peruntukannya adalah fasilitas pendidikan atau pun peribadatan. Hal ini
dikarenakan ikrar wakaf yang dilakukan oleh waqif secara langsung telah
melepaskan kepemilikannya dan beralih menjadi kepemilikan Allah SWT yang
manfaatnya diperuntukkan untuk sesasm. Dengan demikian meski pengelolaan benda
wakaf tersebut menjadi tanggungan seorang nazir, paling tidak masyarakat Muslim
sekitar turut merasa bertanggung jawab secara moral terhadap eksistensi objek
wakaf.
Solusi selanjutnya bisa dilakukan dengan pembentukan asosiasi Nazir.
Pembentukan asosiasi nazir sejatinya telah direkomendasikan pada momen National
Waqf Forum atau Forum Wakaf Nasional yang diprakarasai oleh Badan Wakaf
Indonesia (BWI) pada bulan Mei 2018 lalu. Asosiasi tersebut sebagaimana dinyataan
oleh Hendri Tanjung (2018) selaku Pembina Nazir BWI pada prinsipnya adalah dari
nazir, oleh nazir dan untuk nazir. Asosiasi nazir ini merupakan salah satu sarana bagi
para nazir wakaf untuk saling menguatkan satu sama lain, meningkatkan kompetensi
dalam pengelolaan harta wakaf, menyuaraan kepentingan nazir dan wakaf, serta

15
memperkuat posisi nazir sebagai suatu profesi yang layak diakui dan diapresiasi
sebagaimaa profesi-profesi lainnya.
Yang tidak kalah pentingnya adalah pada nantinya Asosiasi Nazir akan
merumuskan standar kompetensi yang jelas dan terukur yang harus dimiliki oleh
seorang nazir. Rumusan kompetensi yang disusun asosiasi nazir selanjtnya akan
diusulkan BWI kepada Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP) dan Kementrian
Tenaga Kerja untuk disahkan dan ditetapkan menjadi Standar Kompetensi Kerja
Nasional Indonesia (SKKNI) nazir (Tanjung, 2018).
Selain itu adanya sekolah nazdirdapat menjadi solusi yang tepat guna
mengatasi permasalahan nazir yang ada saat ini. Wacana tentang sekolah nazir
(school of nazir) penulis dapatkan dari artikel yang dipublikasikan melalui website
Badan Wakaf Indonesia. Aspirasi brilian ini sebenarnya cukup menarik untuk terus
disuarakan. Sebagai indikasi kesungguhan pengelolaan wakaf di negeri ini seorang
nazir hendaknya mulai semenjak dini. Apalagi dengan standarisasi profesionalisme
yang begitu tinggi, seorang nazir dituntut untuk membekali dirinya dengan
pembagian macam keahlian dari beberapa disiplin ilmu. Dengan kata lain, nazir
adalah seorang akademisi yang juga bekerja dalam ranah praktis sehingga
pendidikan yang dimulai sejak dini mutlak diperlukan.
Sekola Nazir dapat diaplikasikan menjadi suatu lembaga yang mewadahi
pelatihan bagi para calon nazir yang ingin mendapat pengakuan dalam pengelolaan
aset wakaf. Lembaga ini dapat berada di bawah hierarki organisasi BWI secara
langsung. Beberapa materi yang selayaknya diajarkan dalam Sekolah Nazir antara
lain: (1) Dasar-dasar keislaman, (2) Fikih muamalah khususnya wakaf, (3)
Manajemen keuangan dan investasi, dan (4) isu kontemporer perwakafan.
Selain itu, kehadiran Sekolah Nazir dapat membawa dampak positif antara
lain standarisasi pengelolaan wakaf di Indonesia dapat terwujud. Selain itu sumber
daya insani dalam pengelolaan wakaf dapat dipertanggungjawabkan kredibilitasnya.
Nazir juga akan memiliki pengakuan terkait profesionalitasnya dalam mengelola aset
wakaf. Dengan adanya Sekolah Nazir, maka dalam jangka panjang, potensi aset
wakaf yang berada di Indonesia dapat dikelola oleh SDM-SDM profesional sehingga
manfaat wakaf akan semakin terasa bagi umat dan masyarakat luas (Irawan, 2015).

16
Selain solusi yang disebutkan di atas penulis juga menilai perlunya
peningkatan kesejahteraan nazir. Standarisasi nazir yang sedemikian ketat tentu perlu
diimbangi dengan kesejahteraan nazir. Berdasarkan hasil survey yang dilakukan
CSRC menunjukkan jumlah nazir yang bekerja secara penuh sangat minim (16%).
Umumnya mereka bekerja Sambilan (84%). Mereka melakukan pekerjaan tetap,
seperti nazir PNS/swasta, petani pedagang dan sebagainya yang harus diutamakan di
samping tugas sebagai nazir. Kenyataan ini menggambarkan, bahwa profesi nazir
bukanlah profesi yang diharapkan dalam masyarakat. Hal ini terjadi karena
rendahnya pendapatan yang diterima nazir dari pekerjaan sebagai pengelola wakaf.
Hasil survey yang menunjukkan hanya sebagian kecil nazir yang mengaku menerima
gaji sebagai nazir (8%). Dari yang menerima gaji, sebagian besar menyatakan bahwa
gaj yang mereka terima tidak memadai (82%) (Rozalinda, 2015, p. 134-135).

17
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Kunci pengelolaan wakaf terletak pada eksistensi pengelola wakaf, terutama
nadzir dan tim kerja yang solid untukmemaksimalkan peran wakaf (Hasymi, 1987, p.
21). Wakaf yang dikelola secara profesional, akan menjadi lembaga Islam potensial
yang berguna dalam menyokong serta memperkokoh perekonomian umat. Hal
tersebut dikarenakan maju mundurnya wakaf sangat ditentukan oleh kualitas
manajemen pengelolaan wakaf. Dengan demikian, sudah seyogyanya peran nazir
didorong semaksimal mungkin dalam rangka mencapai level kinerja dan performa
terbaik. Pada akhirnya, fungsi nazir dapat lebih signifikan dalam memainkan peran
sosial untuk pengembangan wakaf.

Kendala-kendala dan permasalahan yang ada seputar profesionalisme nazir


hendaknya menjadi perhatian para pemangku kepentingan. Pembentukan nazir
professional sejatinya merupakan wujud investasi masa depan pengelolaan wakaf di
Indonesia. Hal ini ditambah fakta bahwa potensi wakaf di Indonesia yang sedemikian
besar ternyata terkendala oleh paradigma masyarakat yang masih bersifat tradisional
konsumtif juga nazir wakaf yang masih jauh dari kriteria professional. Dan bila mana
kedua masalah tersebut dapat diatasi, kemungkinan besar peran wakaf terhadap
kesejahteraan public dapat terwujud.

B. Saran
Dalam penulisan makalah ini masih terdapat beberapa kekurangan dan
kesalahan, baik dari segi penulisan maupun dari segi penyusunan kalimatnya dan
dari segi isi juga masih perlu ditambahkan. Oleh karena itu, kami sangat
mengharapkan kepada para pembaca makalah ini agar dapat memberikan kritkan dan
masukan yang bersifat membangun.

18
DAFTAR PUSTAKA

Akabij, Adijani. 1989. Perwakafan Tanah di Indonesia. Jakarta : Rajawali.


Athoillah M. 2014. Hukum Wakaf. Bandung : Rona Widya
Basyir, Ahmad Azhar. 1986. Hukum Islam tentang Wakaf, Ijarah dan Syirkah. Bandung
: Al-Ma’arif.
Departemen Agama RI Direktorat Pengembangan Zakat dan Wakaf
Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, Nazhir
Profesioanl dan Amanah Jakarta: Direktorat Pengembangan Zakat dan Wakaf, 2005
Djamil, Fathurrahman, “Standarisasi dan Profesionalisme Nazhir di Indonesia” Al-
Awqaf Jurnal Wakaf dan Ekonomi Islam, Volume. IV, No. 4, Januari 2011

19

Anda mungkin juga menyukai