Anda di halaman 1dari 15

1.

Pemeriksaan berkaitan dengan hormon-hormon pada obesitas


Gangguan tiroid
- Hipotiroidisme merupakan kelainan yang mana terjadi penurunan kadar hormon tiroid
yang dapat disebabkan oleh berbagai hal akibat disfungsi kelenjar tiroid.
- Hormon tiroid berperan dalam meningkatkan laju metabolik basal tubuh dan efek
kalorigenik.
- Hipotiroidisme menyebabkan peningkatan berat badan pada penderitanya dan
bermanifestasti sebagai obesitas.
- Peningkatan berat badan akibat hipotiroidisme biasanya tidak terlalu signifikan dan
bersifat revesible (dapat kembali kekondisi semula) dengan pemberian hormon tiroksin.
- Pemeriksaan yang dapat dilakukan berupa pemeriksaan fungsi tiroid. Pada kondisi
hipotiroidisme diperoleh hasil T3 dan T4 rendah, TSH meningkat. Pada kondisi
hipotiroidisme subklinis (tanpa gejala) diperoleh hasil free T4 normal dan TSH meningkat.

Kelebihan hormon glukokortikoid


- Kelebihan (excess) hormon glukokortikoid umumnya lebih jarang dibanding gangguan
tiroid. Kondisi ini biasanya disertai dengan berbagai manifestasi klinis lainnya.
- Kondisi diabetes, hipertensi, dan berbagai tanda kelebihan hormon
glukokortikoid/kortisol mengarah pada Cushing’s syndrome.
- Hormon kortisol meningkatkan lipogenesis dan glukoneogenesis pada hepar, serta
meningkatkan adipogenesis. Adipogenesis yang terjadi secara terus-menerus akibat
kelebihan hormon kortisol menimbulkan akumulasi lemak berlebihndalam tubuh.
Akumulasi lemak berlebih dalam tubuh penderita akan menyebabkan obesitas.
- Pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk screening kelebihan kortisol pada seseorang
yang obesitas ialah dexamethasone high-dose overnight suppression test dan kadar
kortisol dalam urin.
1
- Dexamethasone high-dose overnight suppression test dilakukan dengan pemberian 8 mg
deksametason pada pasien pada jam 11 malam, kemudian hari berikutnya dilakukan
pengukuran kadar kortisol pada pukul 8-9 pagi. Jika kadar kortisol dalam urin atau
kortisol serum dalam darah mengalami reduksi lebih dari 50% maka dapat dipastikan
telah terjadi kelebihan hormon kortisol pada penderita obesitas.

Hipogonadisme pada laki-laki

- Kondisi hipogonadisme pada laki-laki berhubungan dengan peningkatan lemak tubuh dan
terjadinya gangguan metabolik seperti dislipidemia disglikemia.
- Terjadinya hipogonadisme ini dikarenakan adanya kelainan pada aksis hipotalamus-
hipofisis anterior-gonad. Kelainan ini mengakibatkan terganggunya produksi hormon
testosteron (yang distimulasi oleh LH) dan produksi sperma (yang distimulasi oleh FSH).
Testosteron berperan dalam dalam produksi sperma dan karakteristik sekunder pada
laki-laki. Rendahnya kadar testosteron menyebabkan peningkatan adipogenesis yang
memicu terjadinya obesitas.
- Kadar testosteron yang rendah juga berhubungan dengan penurunan SHBG (sex-
hormone binding globulin) yang dapat terjadi pada obesitas terkait hiperinsulinemia.
SHBG merupakan glikoprotein yang diproduksi hepar dan berperan dalam transpor sex
steroid. Patofisiologi hubungan antara menurunnya kadar SHBG dan hiperinsulinemia
belum diketahui secara pasti.
- Berdasarkan hasil meta-analisis, prevalensi obesitas pada laki-laki dengan hipogonadisme
ialah 37% dan prevalensinya lebih tinggi dengan obesitas berat.
- Sebagian besar laki-laki dengan obesitas terkait hipigonadisme bersifat asimptomatik
atau gejala bersifat non-spesifik berupa kelelahan. Gejala spesifik dapat berupa disfungsi
ereksi dan infertilitas.
- Pemeriksaan yang dapat dilakukan pada laki-laki dengan obesitas yang diduga
mengalami hipogonadisme ialah pemeriksaan free testosterone atau total testosteron
dan pemeriksaan SHBG (sex-hormone binding globulin). Pada kondisi hipigonadisme

2
ditemukan kadar free testosterone atau total testosterone dan SHBG rendah. Selain
pemeriksaan penunjang, sangat penting juga dilakukan pemeriksaan fisik pada genitalia
pasien terutama ukuran testis.
- Berdasarkan penelitian penurunan BB <15% dari BB semula dapat meningkatkan kadar
free testosterone dan SHBG.
- Bagan disamping menjelaskan
hubungan antara obesitas dan
rendahnya kadar testosteron
pada penderita hipogonadisme.
- Terganggunya produksi
gonadotropin dari hipotalamus
dan hipofisis menyebabkan
menurunnya kadar testosteron.
Hal ini memicu terjadinya
sarcopenia (hilangnya massa
otot dan bertambahnya masa
lemak), disfungsi adiposit
(peningkatan adipogenesis),
resistensi insulin, dan
menurunnya motivasi dalam beraktivitas. Berbagai kondisi ini memicu terjadinya
obesitas.

Disfungsi Gonad pada Wanita – Polycystic Ovary Syndrome (PCOS)


- PCOS merupakan kelainan reproduksi yang biasanya dialami wanita dalam usia produktif
yang paling sering disebabkan gangguan hormonal berupa peningkatan produksi
androgen dan gangguan sekresi gonadotropin.
- PCOS terjadi pada 9 – 25% wanita dengan obesitas dan 40-80% dengan PCOS mengalami
peningkatan berat badan atau obesitas.

3
- Kriteria diagnosis PCOS berdasarkan Rotterdam Criteria ialah : (1) oligio dan/ anovulasi,
(2) manifestasi klinis dari hiperandrogenisme, dan (3) morfologi polycystic ovary.

- Penyebab dari PCOS antara lain predisposisi genetik, obesitas, sedentary (physical
inactive) lifestyle, resistensi insulin (hiperinsulinemia, peningkatan kadar lemak dalam
tubuh, dan gangguan metabolisme lemak), dan hiperandrogenemia.
- Pada seseorang dengan PCOS dapat ditemukan manifestasi seperti berjerawat, alopecia
(kerontokan rambut kepala), dan hirsutisme (tumbuh rambut dibagian-bagian tubuh
yang pada umumnya tidak ditumbuhi rambut yang tebal pada wanita). Berbagai
manifestasi ini muncul karena excess dari hormon androgen. PCOS juga dapat
menyebabkan infertilitas atau kemandulan dan meningkatkan faktor risiko terjadinya
kanker endometrium (kanker rahim).
- Berbagai studi menunjukkan kemungkinan adanya disfungsi pada aktivitas p450-
aromatase pada penderita dengan PCOS. Aromatase merupakan suatu enzim produk
dari gen CYP19 dan merupakan bagian dari sitokrom P450. Selama steroidogenesis,
aromatase akan mengkonversi androstenedione menjadi estrone dan testosteron
menjadi estradiol. Abnormalitas ini bisa dikarenakan hiperfungsi atau insufisiensi enzim
tersebut, namun mekanismenya belum diketahui secara jelas.

4
- Pada PCOS juga ditemukan
kadar LH yang jauh lebih
tinggi dibanding FSH, hal ini
memicu fenomena anovulasi.
- Ghrelin merupakan hormon
yang dihasilkan oleh sel
endokrin pada gaster. Ghrelin
berperan dalam meningkatkan
nafsu makan dan berat badan,
menimbulkan rasa lapar, serta
menekan nafsu makan setelah
kenyang. Pada beberapa studi yang telah dilakukan, diduga terjadi disregulasi
homeostasis Ghrelin pada PCOS. Pada penderita PCOS ditemukan kadar hormon Ghrelin
puasa dan post-prandial lebih rendah, serta merasa kurang kenyang setelah makan.
Kurangnya penekanan Ghrelin setelah makan dapat mengganggu sensasi kenyang dan
menyebabkan penderita akan terus makan hingga kenyang. Hal ini memicu kenaikan
berat badan dan obesitas.
- Resistensi insulin sering ditemukan pada penderita PCOS dengan obesitas. Terjadi
penurunan aksi insulin pada otot skelet sebanyak 35-40% pada penderita PCOS
dibandingkan dengan wanita normal. Resistensi insulin hepatik terjadi peningkatan
produksi glukosa dan menurunnya sensitivitas terhadap insulin pada wanita PCOS. Pada
penderita PCOS terjadi peningkatan sekresi insulin namun respons insulin terhadap
glukosa terlalu rendah. PCOS berhubungan dengan sekresi dan defek pada sensitivitas
insulin yang diperburuk oleh obesitas. Kondisi hiperinsulinemia menimbulkan rendahnya
kabar SHBG seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.
- Screening untuk PCOS tidak disarankan pada wanita dengan keluhan obesitas tanpa
adanya abnormalitas menstruasi, infertilitas, dan hirsutisme.
- Beberapa pemeriksaan hormon yang dapat dilakukan untuk memastikan kondisi PCOS
ialah sebagai berikut :

5
a. Pemeriksaan kadar testosteron (free/total) dalam darah (ditemukan meningkat pada
PCOS), biasanya > 14 ng/ml
b. Pemeriksaan kadar Sex-hormone binding globulin (SHBG) dalam darah (dapat
menurun pada PCOS)
c. Pemeriksaan kadar insulin dalam darah (biasanya meningkat jika ada resistensi
insulin).

Pemeriksaan sekunder yang bisa dilakukan :

a. Pemeriksaan kadar FSH (bisa normal atau menurun pada PCOS)


b. Pemeriksaan kadar LH (meningkat pada PCOS)
c. Pemeriksaan kadar estrogen (bisa normal atau meningkat pada PCOS), nilai normal :
25-75 pg/ml
d. Pemeriksaan kadar androstenedione (biasanya meningkat pada PCOS), nilai normal :
0,7 – 3,1 ng/ml
e. Pemeriksaan kadar DHEA-S (dehydroepiandrosterone) yang dihasilkan kelenjar
adrenal biasanya ditemukan >200 ug/dl (nilai normal : 35-430 ug/dl).

Pemeriksaan penunjang lain yang dapat dilakukan ialah pemeriksaan modalitas USG.

Gangguan Metabolisme Growth Hormone (GH) dan IGF1

- Defisiensi GH berperan dalam peningkatan lemak tubuh dan menurunnya massa otot,
serta dapat berkaitan dengan gangguan metabolik, seperti intoleransi glukosa dan
peningkatan kadar lemak dalam darah.
- Pada obesitas berat dapat terjadi gangguan sekresi hormon GH, namun sangat sedikit
ditemukan hubungan dengan penurunan konsentrasi IGF1 dan kontribusinya dalam
gangguan metabolik.
- Supresi sekresi GH dapat berkaitan dengan beberapa kondisi berikut : obesitas terkait
hiperinsulinemia, hipoadiponektinemia, hiperleptinemia, penurunan ghrelin serum, dan
peningkatan free fatty acid (FFA). Kondisi lain dapat berupa obesitas visceral, diabetes
melitus tipe 2, dan penyakit liver non-alkaholik.
6
- Penurunan kadar GH meningkatkan akumulasi lemak karena penurunan aktivitas lipolisis
dan memicu terjadinya obesitas. Salah satu manifestasi klinis dari defisiensi GH
syndrome pada dewasa ialah terjadinya perlemakan bagian truncal (truncal adiposity).
- Dikarenakan sebagian besar defisiensi atau supresi dari GH berkaitan dengan gangguan
lainnya, pemeriksaan GH secara langsung cukup jarang dilakukan pada dewasa. Pada
umumnya pemeriksaan GH lebih sering dikerjakan pada anak-anak dengan indikasi
pertumbuhan yang lambat. Pada dewasa pemeriksaan ini bisa pula dilakukan dengan
indikasi penurunan densitas massa tulang dan peningkatan kadar lemak darah yang
diduga berkaitan dengan abnormalitas GH, serta bila ditemukan acromegali.
- Pemeriksaan GH tidak boleh dilakukan sembarangan mengingat kerja hormon ini
mengikuti irama sirkadian, diperlukan uji provokasi terlebih dahulu.
- Pemeriksaan GH ialah GH stimulation test dan GH suppression test.
- Jika pada GH stimulation test tidak terjadi peningkatan GH secara signifikan dan terdapat
manifestasi defisiensi GH, maka seseorang tersebut kemungkinan menderita defisiensi
GH.
- Jika pada GH suppression test tidak terjadi penurunan GH secara signifikan dan terdapat
manifestasi kelebihan hormon GH, maka seseorang tersebut kemungkinan menderita
kelebihan/excess GH.

Pemeriksaan Hormon Leptin dan Ghrelin

- Pada penderita obesitas kadar hormon leptin biasanya meningkat, kecuali pada kasus
yang jarang yaitu defiensi leptin. Defisiensi leptin bisa terjadi pada usia sangat muda
denga obesitas berat. Pemeriksaan rutin hormon leptin tidaklah dibutuhkan jika tidak
ada keluhan tertentu.
- Tidak ada penelitian yang menunjukkan kelebihan/excess hormon ghrelin menyebabkan
obesitas. Peningkatan hormon ghrelin berkontribusi dalam nafsu makan berlebih pada
penderita Prader-Will syndrome. Pemeriksaan kadar hormon ghrelin disebutkan tidak
membantu dalam penanganan pasien obesitas.

7
Sumber :
- Endocrine Testing in Obesity (2020) oleh John.P.H.Wilding Obesity and Endocrinology
Research, Institute of Ageing and Chronic Disease, University of Liverpool, UK dalam
European Journal of Endocrinology.
https://eje.bioscientifica.com/view/journals/eje/182/4/EJE-20-0099.xml
- Dexamethasone Suppression Test (2019) oleh Prerna Dogra dan Narasimha P.V.
StatPearls Publishing. NCBI Journal.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK542317/
- Lowered Testosterone in Male Obesity : Mechanism, Morbidity, and Management (2014)
oleh Mark Ng Tang Fui, dkk dalam Asian Journal of Andrology (diakses melalui NCBI
Journal)
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3955331/
- A Review on Role of Medical Plants in Polycystic Ovarian Syndrome : Pathophysiology,
Neuroendocrine Signaling, Therapeutic Status, and Future Prospect (2018) oleh Zahra
Abasian, dkk dalam Middle East Fertility Society Journal Volume 23 Issue 4 pages 255-
162. https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S1110569018300700
- The Correction of Aromatase Activity and Obesity in Women with or without Polycystic
Ovary Syndrome (2015) oleh Jie Chen, dkk dalam Journal of Ovarian Research (diakses
melalui NCBI Journal)
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4392749/
- Obesity and Polycystic Ovary Syndrome (2007) oleh Susan Sam. NCBI Journal.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2861983/
- Polycystic Ovary Syndrome and Periodontal Disease : Underlying Link – A Review (2018)
oleh Sri Chandana T dan Sreenivas N dalam Indian Journal of Endocrinology and
Metabolism.
https://europepmc.org/article/PMC/5972486
- Growth Hormone Deficiency in Patients with Obesity (2015) oleh Roberto Salvatori.
International Journal of Basic and Clinical Endocrinology.
https://link.springer.com/article/10.1007/s12020-015-0571-4#ref-CR3n

8
2. Buat bagan terkait proses inflamasi pada obesitas

- Inflamasi merupakan suatu respons jaringan dalam memproteksi/mempertahankan diri


dari jejas atau agen yang bersifat merusak jaringan.
- Obesitas merupakan akumulasi lemak secara berlebihan pada tubuh yang dapat
mengganggu kondisi fisiologis tubuh.
- Terdapat dua jenis jaringan adiposa yaitu jaringan adiposa putih dan jaringan adiposa
coklat.
- Pada bayi baru lahir, jaringan adiposa coklat berperan dalam meregulasi pengeluaran
energi melalui mekanisme termogenesis yang dimediasi oleh ekspresi uncoupling
protein-1 (UCP-1).

9
- Jaringan lemak putih berperan dalam isolasi panas, bantalan mekanik, dan sebagai
sumber energi. Jaringan lemak subkutan memiliki daya konduksi 1/3 dibandingkan
jaringan lain sehingga sangat berperan dalam isolasi panas. Jaringan lemak sebagai
bantalan mekanik yaitu dengan melapisi dan melindungi organ dalam tubuh.
- Obesitas sangat erat dengan terjadinya inflamasi kronik/low-grade pada tubuh yang
dapat menimbulkan berbagai komplikasi berkaitan dengan gangguan kardiovaskular dan
lainnya.
- Sel adiposit akan mensekresi berbagai inflammatory adipokines seperti leptin, TNF
(tumor necrosis factor) alfa, monocyte chemoattractans protein-1 (MCP-1), IL-6, dan
resistin. MCP-1 sangat berperan dalam terjadinya aterosklerosis. TNF alfa berperan
memberi sinyal agar dihasilkan IL-6 lebih banyak.
- Indikator inflamasi pada obesitas ini meliputi IL-6 dan CRP sebagai marker inflamasi dan
adiponectin sebagai marker anti-inflamasi.
- IL-6 merupakan sitokin yang diproduksi oleh berbagai tipe sel seperti sel imun dan sel
adiposa yang memediasi respons inflamasi. IL-6 terutama akan berikatan dengan
reseptor IL-6 (IL-6R) membentuk kompleks IL-6/IL-6R.

Akumulasi asam Aktivasi kaskade pro- Stimulasi jaringan


lemak bebas inflamasi serine kinase adiposa  IL-6

Disfungsi CRP mengganggu fungsi IL-6 stimulasi


endotel glikokaliks endotel hepatosit  CRP

- Akumulasi asam lemak bebas pada penderita obesitas mengaktivasi kaskade pro-
inflamasi serine kinase (IKB Kinase dan c-Jun N-terminal kinase). Kaskade ini
menstimulasi jaringan adiposa untuk melepaskan IL-6 yang kemudian menstimulasi
hepatosit untuk mensintesis dan mensekresi CRP. CRP merupakan reaktan fase akut, jika
kadarnya meningkat menandakat terjadinya inflamasi. CRP akan mengganggu fungsi

10
glikokaliks yang melapisi dan melindungi permukaan luminal endotel yang
mengakibatkan disfungsi endotel dan aterogenesis.

Overeksoresi sitokin inflamasi yang Peningkatan kebutuhan Hiperplasia dan


dihasilkan sel adiposa nutrisi jaringan adiposa hipertrofi sel-sel adiposit

Inisiasi nekrosis sel dan Hipoksia sel-sel Penurunan sulpai darah


infiltrasi makrofag adiposit ke sel-sel adiposit

Inflamasi terlokalisir Inflamasi


pada jaringan adiposa sistemik

- Ekspresi berlebihan sitokin inflamasi yang dihasilkan sel adiposa pada penderita obesitas
menimbulkan respons jaringan adiposa berupa kebutuhan ekstra terhadap nutrisi yang
termanifestasi sebagai hiperplasia dan hipertrofi sel-sel adiposit. Pembesaran adiposit
yang progresif menyebabkan suplai darah ke sel-sel adiposit menurun memicu terjadinya
hipoksia sel. Kondisi hipoksia sel-sel adiposit menginisiasi nekrosis sel dan infliltrasi
makrofag. Hal ini selanjutnya memicu terjadinya ekspresi berlebihan sitokin inflamasi
kembali. Berbagai mekanisme ini menimbulkan inflamasi terlokalisasi pada jaringan
adiposa yang dapat menyebar menjadi inflamasi sistemik yang sangat berkaitan dengan
komorbiditas terkait obesitas.
- Adiponectin merupakan derivat
protein yang dihasilkan sel adiposa
dan merupakan marker anti-
inflamasi.
- Adiponectin berperan dalam
meregulasi pengeluaran energi,
menurunkan aktivitas lipogenesis
dan glukoneogenesis dari hepar,
meningkatkan sensitivitas insulin

11
pada hepar, meningkatkan sistem imun, dan meregulasi metabolisme lipid, serta
menurunkan risiko aterosklerosis.

-Pada individu yang sehat, level adiponectin > 20% menurunkan risiko miokard infark dua
kali lipat dan menurunkan risiko kalsifikasi arteri koronaria tujuh kali lipat.

- Adiponectin meningkatkan produksi lokal NO (nitrit oksida) yang memproteksi endotel dari
terjadinya jejas/disfungsi endotel, menghambat inisiasi plak dan trombosis. Mekanisme
tersebut bersifat vasoprotektif dan mampu menurunkan stres oksidatif.
- Pada penderita obesitas, terjadi penurunan produksi adiponectin yang berarti terjadi
penurunan mekanisme vasoprotektif. Penurunan produksi adiponectin ini mungkin berkaitan
dengan peningkatan produksi mediator inflamasi lainnya oleh sel adiposit yang
menginhibisi/mengurangi sintesis dan sekresi adiponectin.
- Penurunan adiponectin menurunkan mekanisme vasoprotektif sehingga lebih mudah terjadi
jejas/disfungsi endotel. Hal lain yang bisa terjadi ialah terjadinya stres oksidatif yang terjadi
akibat ketidakseimbangan antara zat pro-oksidan (pro-inflamasi) dan anti-oksidan (anti-
inflamasi).

Penurunan produksi NO Stres oksidatif pada


Penurunan adiponectin
oleh endotel endotel dan adanya jejas

Penurunan mekanisme Disfungsi endotel


vasoprotektif

Menghambat inisiasi
plak dan trombosis
Peningkatan LDL Aterosklerosis

Sumber :
- Obesity and Inflammation : The Linking Mechanism and The Complications (2017) oleh
Asmah Rahmat, dkk dalam Achieves of Medical Science (diakses melalui NCBI Journal).
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5507106/

12
3. Perbedaan IMT Asia Pasifik dan IMT Kaukasian

Untuk mengetahui status gizi seseorang, sangat sulit untuk mengukur lemak tubuh
secara langsung. Sebagai metode pengganti dapat digunakan pengukuran indeks massa tubuh
(IMT). IMT merupakan indikator yang paling sering digunakan untuk menentukan status gizi
karena bersifat praktis. Penghitungan IMT ialah dengan berat badan dalam kilogram dibagi
tinggi badan dalam meter kuadrat. Penghitungan IMT ini harus dilakukan secara teliti dengan
pengukuran berat badan dan tinggi badan dengan benar.

Penilaian IMT ditentukan berdasarkan perbedaan individu dan etnis. Pada


perbedaan individu misalnya terdapat variasi bentuk dan proporsi tubuh, sehingga IMT belum

13
tentu menunjukkan status gizi kelebihan jumlah lemak pada semua populasi. IMT bisa saja
memberikan kesan umum derajat kelebihan jumlah lemak pada populasi usia lanjut atau pada
atlit dengan muscle mass yang tinggi.

Penilaian IMT juga ditentukan berdasarkan perbedaan etnik. Hasil dari meta-analisis
terhadap beberapa kelompok etnik berdasarkan konsentrasi lemak tubuh, usia, dan gender
pada sekelompok orang dengan etnis tertentu menunjukkan IMT etnis Amerika berkulit hitam
memiliki IMT lebih tinggi 1,3 kg/m 2dibandingkan dengan etnis Kaukasia. Untuk etnis Polinesia
memiliki IMT lebih tinggi 4,5 kg/m2 dibandingkan dengan etnis Kaukasia.

Klasifikasi IMT yang ditetapkan WHO pada tahun 2000 seperti yang terlihat dari
tabel 1 merupakan klasifikasi yang lebih tepat digunakan pada etnis Kaukasia. Untuk nilai IMT
pada bangsa Cina, Ethiopia, Indonesia dan Thailand lebih rendah 2,9 kg/m2 dibandingkan IMT
pada ras Kaukasia. IMT pada tabel 2 merupakan klasifikasi yang sesuai digunakan bagi etnis Asia
Pasifik termasuk Indonesia. Misalnya, pada klasifikasi etnis Kaukasia IMT >25 kg/m 2
dikategorikan dalam berat badan berlebih, sedangkan pada klasifikasi etnis Asia Pasifik kategori
serupa ditemukan pada IMT >/sama dengan 23 kg/m 2. Penjelasan ini menunjukkan adanya nilai
cutoff IMT untuk obesitas yang spesifik pada populasi atau etnis tertentu.

Sumber :

- Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam PAPDI Edisi IV BAB 333 mengenai Obesitas halaman
2.563-2.564.

14
15

Anda mungkin juga menyukai