Anda di halaman 1dari 17

DESENTRALISASI ASIMETRIS:

Sebuah Model Alternatif Bagi Indonesia?1

Cornelis Lay2
(conny@ugm.ac.id atau cornelislay@yahoo.com)

Rasionale
Pelaksanaan politik desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia telah melewati tahun-
tahun yang sangat panjang sejak kali pertama ide ini diintrodusir pemerintahan Kolonial
Belanda melalui Decentralisatie Wet 23 Juli 1903 (The Liang Gie, 1993; Josef Riwu
Kaho, 2012;). Sekalipun demikian, pelaksanaan politik desentralisasi yang bersifat masif
dan menyeluruh baru dimulai satu dekade yang lalu menyusul dikeluarkannya UU No. 22
tahun 1999 dan kemudian diubah dengan UU No. 32 tahun 2004. Dalam
perkembangannya, UU ini disepakati sebagai skala prioritas DPR dan pemerintah sejak
2010 untuk kembali disempurnakan. Rencana perubahan UU ini bahkan memunculkan
tiga rancangan UU berbeda yang hingga awal 2013 ini masih terus diperdebatkan.
Hanya saja, sebagaimana diungkapkan melalui berbagai riset dan evaluasi, pengalaman
pelaksanaan politik desentralisasi dan otonomi daerah dalam 10 tahun terakhir ini, untuk
sebagian terbesar gagal memenuhi janji awalnya. Mendagri dalam Semiloka penyusunan
Grand Design Penataan Daerah, 18 Desember 2008 di Jakarta mengungkapkan dari 203
daerah otonom baru yang dihasilkan dalam hampir 10 tahun terakhir, sebagian terbesar
gagal memenuhi tujuan awalnya. Evaluasi ini menjadi dasar pertimbangan penting
Departemen Dalam Negeri (DDN), dengan dukungan berbagai lembaga donor
internasional, membentuk setidaknya delapan Pokja yang dirancang untuk mengkaji
Grand Design penataan daerah ke depan. Secara lebih spesifik, Daan Patiasina dari DSF
dalam forum yang sama, sehari kemudian, 19 Desember 2008, mengungkapkan hasil
survey DSF yang menunjukan lebih besarnya kekecewaan publik atas performance
daerah otonom baru ketimbang daerah-daerah lama dalam memproduksi dan mendelivery
dua produk pelayanan dasar, yakni pendidikan dan kesehatan (Djojosukanto, dkk, 2008).
Evaluasi lebih kemudian menyingkap tabir persoalan yang lebih serius lagi: meluasnya
korupsi dan nepotisme di ranah politik lokal. Data awal tahun 2013 dari DDN
menunjukan hampir 300 gubnernur/ wakil gubernur, bupati/ wakil bupati, dan
walikota/wakil walikota sedang dihadapkan pada persoalan hukum terkait korupsi. Data
terakhir menunjukan angka 312 kasus pasca penetapan gubernur Banten sebagai
tersangka kasus korupsi. Demikian pula dengan data yang mengungkapkan semakin
1
Makalah pengantar Sidang Komite I DPD RI, Selasa 5 Maret 2013. Makalah ini didasarkan
pada laporan penelitian Hibah Dikti 2008-2009 dan Tifa 2009-2010. Gagasan awal dalam
makalah ini dipresentasikan pada Seminar 50 Tahun Kagama, Yogyakarta 20 Desember 2008.
2
Dosen Jurusan Politik dan Pemerintahan (JPP) Fisipol UGM; Ketua Tim Peneliti
Pengembangan Model Desentralisasi Asimetris untuk Indonesia, Hibah Dikti 2008-2009 dan
Tifa 2009-2010.

1
merebaknya “politik keluarga atau dinasti” di ranah lokal yang semakin menjauhkan
desentralisasi dan otonomi daerah dari demokrasi. Mengutip Dirjen Otonomi Daerah,
Kompas memberitakan semakin meluasnya dinasti di daerah-daerah. Diindikasikan,
setidak-tidaknya terdapat 57 kepala daerah yang membangun dinasti ditingkat lokal.3 Hal
ini memunculkan ide mensterilkan rekrutmen kepala daerah dari garis keturunan
langsung penguasa lokal, bahkan dalam ruang lingkup daerah-daerah dalam satu
provinsi: ide yang di satu sisi tampak sebagai jalan keluar, tapi sisi lain menabrak
“persamaan” sebagai fondasi dasar dari prinsip kewarga-negaraan dan demokrasi;
menabrak hak konstitusional seorang warga negara.
Secara lebih makro, demokrasi, kesejahteraan dan sistem pelayanan yang lebih baik,
dengan sejumlah pengecualian yang terbatas, gagal dipenuhi daerah-daerah. Sebagian
daerah justru dihinggapi sejumlah patologi yang kronis. Dipengaruhi oleh kajian-kajian
dengan perspektif post colonial state (Robinson dan Haditz, 2004; Barter, Joshua Shane,
tanpa tahun; Nordholt, 2004) dan governability (Archon Fung and Erick Olin Wright,
2003) sejumlah riset terkini mengungkapkan secara gamblang terus bertahan dan
meluasnya fenomena patologis pengelolaan pemerintahan di daerah-daerah di era
otonomi ini. Robison dan Hadiz (2003) misalnya, menyimpulkan bahwa desentralisasi
telah menjadi lahan kekuasaan baru bagi praktek-praktek politik kotor dan premanisme
politik yang sudah mengakar sejak lama. Sebuah fenomena anti-demokrasi yang sudah
diidentifikasi oleh para penulis dalam buku yang diedit oleh Aspinall dan Faley (2002)
yang mengungkapkan bahwa, sekalipun para politisi dan birokrat lokal yang sedang
berkekuasa harus melakukan berbagai penyesuaian yang radikal dalam era desentraliasi,
dalam kenyataannya merekalah yang paling diuntungkan. Di banyak daerah sebagaimana
diargumentasikan Pradjna. R. (2002), mereka telah mereorganisasi ekonomi politiknya
melampui batas-batas regulasi formal dan memanfaatkan berbagai ‘kelemahan’ aturan
untuk meningkatkan kekuasaanya. Perkembangan lebih akhir menunjukan, proses
bertahannya kekuatan-kekuatan lama mengalami pergeseran dramatis. Kelompok
oligarkis yang dibangun semasa Orde Baru berhasil mereorganisasi diri tidak semata-
mata dengan mengandalkan cara-cara yang kotor seperti politik uang, premanisme,
manipulasi dan pemanfaatan jaringan intelejen dan tentara, juga tidak semata-mata
mampu mengkonsolidasi diri dalam suasana demokratis, tapi juga dengan menggunakan
mekanisme demokratis. Hal ini dipertegas oleh studi Hidayat (2007).
Meminjam konseptualisasi yang dibangun perspektif governability (William Reno,
1991), Hidayat menggunakan studi kasus pemilihan kepala daerah langsung untuk
membongkar meluasnya fenomena corak negara lokal yang digambarkannya sebagai
shadow state yang dikombinasikan dengan bekerjanya corak ekonomi informal. Norholdt
(2004) dan Harris, Stokke dan Turnquist (2004) menggambarkan hal-hal di atas sebagai
fenomena keberlanjutan dari praktek politik non-demokratik yang berakar jauh di masa
lalu nusantara yang dirumuskan Norholdt sebagai fenomena “strong continuities of
patrimonial patterns” atau “changing countinuites” dalam bahasanya Harris, dkk.
3
Dalam catatan Kompas, 6 Maret 2013, fenomena paling menonjol adalah di Banten dimana jaringan
kekerabatan Ratu Atut Chosifah, Gubernur Banten menguasai politik di kawasan ini: Atut adalah kakak
kandung Bupati Serang Ratu Tatu Chasanah, kakak tiri walikota Serang, Tb Hairul Jaman; kakak ipar
walikota Tangerang Selatan, Airin Rachmi Diany; dan sekaligus anak tiri wakil bupati Pandeglang,
Heryani. Gejala serupa ditemui di Sulsel, Sulut, Sumbar, Lampung, Jateng, Jatim, dan masih banyak
daerah lainnya.

2
Sejumlah studi di atas membawa sejumlah ahli semisal Priyambudi dan Foucher (2005)
yang menghimpun kumpulan tulisan dari berbagai kalangan dengan spektrum
bakcground kelembagaan yang luas, mempersoalkan kembali asumsi desentralisasi
sebagai konsep yang ideal. Melalui pengungkapan kembali sisi gelap pengalaman
desentralisasi Indonesia, keduanya menyimpulkan, desentralisasi dalam banyak hal justru
berakibat pada meluasnya korupsi, kekerasan yang xephobia, dan represi terhadap
komunitas-komunitas lokal yang dimobilisasi oleh para politisi yang haus kekuasaan. Hal
ini diperkuat oleh perkembangan di banyak daerah di Indonesia dalam beberapa tahun
terakhir ini dimana konflik semakin meluas, termasuk dan terutama konflik agraria
sebagaimana didemosntrasikan melalui kasus Mesuji dan banyak daerah lainnya.

Limitasi dan Kebutuhan Akan Paradigma Baru


Temuan-temuan di atas, telah menjadi dasar bagi munculnya sejumlah riset dan kegiatan
advokasi dalam beberapa tahun terakhir yang secara umum diarahkan untuk menata
kembali politik desentralisasi dan otonomi daerah melalui perubahan UU Otonomi
Daerah. Sesuatu yang juga sedang dipersiapkan oleh sejumlah NGO, termasuk NGO dan
lembaga donor internasional berserta DDN. Rencana perubahan ini tampaknya akan
segera terealisasi menyusul disepakatinya perubahan UU No. 32 sebagai skala prioritas
kebijakan parlemen bersama pemerintah sejak 2010 yang masih terus berproses hingga
hari ini di parlemen.
Hanya saja, evaluasi cepat yang dilakukan penulis atas berbagai usulan perubahan UU
No. 32 tahun 2003 menunjukan mayoritas gagasan penyelesaian yang ditawarkan
terjebak pada argumentasi yang melebih-lebihkan sentralitas dari persoalan teknokratik,
mengabaikan akar masalah yang justru terletak pada cara pandang kita sebagai bangsa
dalam melihat desentralisasi. Saya belum melihat adanya pergeseran pada level
paradigmatik dalam berbagai usulan yang ada yang justru menjadi akar persoalan.
Kebanyakan usulan melihat persoalan di sekitar desentralisasi dan otononmi daerah
sebagai akibat logis dari kegagalan teknokratik; dan karenanya, pemecahan yang
ditawarkan juga bergerak ke arah sana. Kita misalnya, mendengar usulan mengenai
pengembalian kewenangan DPR Provinsi sebagai institusi untuk menghasilkan gubernur;
kita juga mendengar gagasan “pembirokratan wakil gubernur” melalui pembebasannya
dari keharusan untuk melewati seleksi politik untuk menduduki jabatan tersebut. Kita
juga mendengar usulan untuk memberikan “perlindungan legal bagi prakarsa inovatif
kepala daerah” yang konon merupakan penjelas penting dari banyaknya kepala daerah
yang terjerat kasus korupsi. Dan masih banyak lainnya. Tetapi gagasan yang mencoba
keluarga dari kerangka berpikir lama, kerangka uniformitas, praktis sangat terbatas.
Beberapa tahun lalu, Pokja DDN, memang mengusulkan adanya kebutuhan untuk
mengatur “kawasan khusus”, tetapi secara umum desentralisasi masih dipahami dalam
makna uniformitasnya (Djojosukanto, dkk, 2008) sebagai paradigma hampir tunggal
yang menuntun keseluruhan logika rancangan kebijakan desentralisasi hingga sekarang.
Paradigma uniformitas menafikan fakta keragaman yang melekat dalam daerah-daerah
dan sekaligus menafikan kepentingan nasional dalam kerangka desentralisasi, seperti
kepentingan untuk menjaga keutuhan negara atau meningkatkan derajat competitiveness
suatu bangsa. Yang tampak kemudian, ide penyebaran kekuasaan lewat disentralisasi

3
dilaksanakan secara seragam untuk semua daerah tanpa mempetimbangkan perbedaan-
perbedaan fundamental antar berbagai daerah, dan tanpa mempertimbangkan keunikan
atau kekhususan yang dimiliki daerah-daerah, dan tanpa mempertimbangkan kepentingan
nasional di masing-masing daerah.
Kita tampaknya, membutuhkan cara berpikir baru yang menekankan pada adanya
kebutuhan untuk memperhatikan perbedaan antar daerah dan keunikan masing-masing
daerah, sekaligus kepentingan obyektif Indonesia sebagai sebuah negara bangsa sebagai
dasar untuk merancang kebijakan desentralisasi ke depan.
Paradigma semacam ini dikenal sebagai asymetrical decentralization yang secara legal-
konstitusional sebenarnya memiliki akar yang kuat pada konstitusi dan spirit yang
inherent dalam praktek desentralisasi Indonesia sejak awal kemerdekaaan, tetapi tidak
dirumuskan secara tajam dalam regulasi-regulasi nasional mengenai desentralisasi.
Bahkan penafsiran atas UU 5/74 yang sentralisitis sekalipun mengindikasikan adanya
ruang bagi bekerjanya desentralisasi asimetris, sekalipun gagal diwujudkan4. Lebih lagi,
secara empirik Indonesia telah melaksanakan desentralisasi asimetris di NAD, Papua,
DIY dan DKI Jakarta. Sementara dari sejumlah daerah, telah muncul keinginan yang kuat
untuk mendapatkan status ”istimewa” atau ”khusus” sebagaimana dimunculkan oleh
forum 7 provinsi daerah kepulauan,5 serta Bali.6 Demikian pula, terdapat banyak desain
kelembagaan yang berangkat dari cara pandang asymetrical decentralization ini. Kita
mengenal adanya pengembangan ragam zona spesifik seperti Kapet (Kawasan
Pengembangan Ekonomi Terpadu)7, pusat-pusat pertumbuhan, kawasan otorita misalnya
Otorita Batam, berikut ”kota-kota mandiri”, seperti BSD, dsbnya yang berangkat dari
logika asymetrical decentralization. Hanya saja, praktek-praktek pengaturan daerah atau
kawasan secara asimetris di atas belum terintegrasi sebagai bagian dari ”regim
desentralisasi” yang dikembangkan di Indonesia. Masing-masingnya menjadi ”regim”
yang berdiri sendiri-sendiri, tanpa kaitan antara satu dengan lainnya.
Tulisan ini merupakan penuangan kembali upaya Jurusan Politik dan Pemerintahan (JPP)
Fisipol UGM menginisiasi dan mendorong perdebatan publik yang makin luas mengenai
ide dan model-model asymetrical decentralization sejak lima tahun lalu berdasarkan
panduan teoritik yang diperkaya oleh pengalaman komparatif dari berbagai negara, serta
pengalaman Indonesia sendiri. Ide dan model-model yang dikembangkan diharapkan
akan terakumulasi secara lebih baik dan pada waktunya dapat digunakan sebagai dasar
baru dalam merancang kebijakan desentralisasi di masa-masa yang akan datang.

4
Perdebatan tentang penafsiran terhadap UU 5/74 mengemuka dalam sejumlah diskusi, antara
lain dalam Expert Meeting 23-24 Juni 2008, Workshop CSO Forum Yogyakarta I 18-20
September 2008, Workshop CSO Forum Yogyakarta II 23-25 Oktober 2008, dan Workshop
Penyusunan Policy Paper tanggal 20-21 April 2009. Keempat forum tersebut dilaksanakan atas
kerjasama S2 Politik Lokal dan Otonomi Daerah UGM dengan DRSP-USAID.
5
Kompas, 19 Oktober 2009.
6
Lihat ”Naskah Akademik dan RUU Otonomi Bali”, http://www.baliprov.go.id/index.php?
action=news&task=detail&id=265).
7
Terdapat 13 daerah Kapet yang seharusnya bekerja dari tahun 1998, meskipun kemudian
banyak yang tidak efektif. Kapet tersebut adalah Biak, Sanggau, Kakab, Batulicin, Sasamba,
Seram, Mbay, Bima, Pare Pare, Manado Bitung, Batui, Bukari, Sabang. www.kapet.org.

4
Apa, Mengapa dan Bagaimana: Ilham dari Negeri Lain
Pemberian otonomi yang berbeda pada satu daerah atau wilayah merupakan praktek
penyelenggaraan pemerintahan yang cukup umum ditemui dalam pengalaman pengaturan
politik di banyak negara. Pengalaman ini berlangsung baik di dalam bentuk negara
kesatuan yang didesentralisasikan, maupun dalam format pengaturan federatif (lihat peta
berikut). FGD dengan sejumlah Kedutaan besar di Jakarta, 20 November 2009 dan kajian
komparasi atas berbagai negara mengungkapkan luasnya penerapan model ini di berbagai
negara. Lebih lanjut kajian komparasi mengungkapkan terjadinya masifikasi
pengadopsian model ini dalam beberapa tahun terakhir ini seperti yang tergambar dari
kasus negara-negara lain: India (Jammu Kashmir), Pakistan (Gilgit-Baltistan), Spanyol
(Basque Country, sejak 1839 ), Cina (Kunshan, Hongkong, Macao), Filipina (Mindanao,
Cordillera sejak 1990), Afrika Selatan, Meksiko (Chiapas ), Finlandia (Aland Islands,
sejak 1899), Norwegia (Sami), Kanada (Quebec, Nunavut), Denmark (Greenland sejak
1975, Faroe Islands sejak 1948), Perancis (Corsica, Brittany), Italia (Sardinia, Trentino
Alto Adige, Friuli Venezia Giulia, Valle d’Aosta), Portugal (Azires & Medeira sejak
1976), Belgia (Flemish, French, German community/regions ), Bangladesh (The
Chittagong Hill Tracts/CHT), Thailand (Pattani), Filipina (Moro/Mindanau), Korsel
(Pulau Jeju), dll.
Peta berikut ini memberikan gambaran mengenai sebaran penggunaan desentralisasi
asimetris di berbagai kawasan dunia.

Sumber: Gabriele Ferrazzi and Wawan Mas’udi


Makalah disampaikan dalam “Aceh Workshop”, 19 November 2008

5
Dalam khasanah ilmu politik dan pemerintahan, pola pengaturan yang tidak sebanding ini
disebut sebagai asymetrical decentralization, asymetrical devolution atau asymetrical
federalis, atau secara umum asymetrical intergovernmental arrangements (Wehner,
2000; Congleton: 2006). Bagi Indonesia, fakta sosiologis masyarakat kita yang plural dan
bersifat fragmented (Furnivall: 1939) bisa menjadi insentif struktural untuk mengembang
model ini ke depan. Demikian pula, nature dari geopolitik, geoekonomi, dan geostrategis
Indonesia merupakan insentif lain yang sama krusialnya.
Secara prinsipil, berbagai bentuk penyebaran kekuasaan yang bercorak asimetris di atas
merupakan instrumen kebijakan yang dimaksudkan untuk mengatasi beberapa tantangan
fundamental yang dihadapi suatu negara-bangsa. Sejumlah literatur (Upadhyaya, 1996;
Garcia-Mila & McGuire, 2002; Chien, 2007, 2008) mengindikasikan skema kebijakan ini
dimaksudkan untuk menjawab tantangan-tantangan atau untuk mencapai tujuan-tujuan
yang secara tipologis dapat dibedakan ke dalam lima tipe berikut ini:
Pertama, tantangan yang bersifat politik, terutama yang terkait dengan “regional
questions”. Pengaturan asimetris ditempuh sebagai strategi kebijakan untuk
mempertahankan basic boundaries unit politik suatu negara. Rancangan desentralisasi
asimetris – federasi asimetris – dengan motivasi politis ini adalah yang paling luas
ditemukan dalam pengalaman negara-negara dari berbagai belahan dunia. Dia
dimaksudkan untuk meredakan ancaman dari adanya gerakan separatis bersenjata
maupun gerakan sesionist dalam sebuah negara bangsa.
Pengalaman komparasi yang dilakukan atas sejumlah negara menunjukan, dengan tingkat
keberhasilan yang berbeda-beda, representasi minoritas pada level sub-nasional serta
pemberian status keistimewaan/ khusus bagi satu daerah atau kawasan daerah dapat
mendorong kelompok/ daerah yang menuntut status keistimewaan/ kekhususan untuk
meniadakan/ meminimalkan kekerasan dan mempertahankan keutuhan wilayah.
Sejumlah contoh berikut ini memberikan ilustrasi mengenai hal ini.
Dihadapkan pada persoalan “regional question” yang sangat akut sejak pemerintahan
Franco, konstitusi Spanyol tahun 1978 setelah jatuhnya Franco menetapkan adanya
“historical rights” serta memberikan otonomi khusus yang dipercepat bagi beberapa
daerah, diantaranya Castile-Leon, Catalonia, Valencia. Basque salah satunya,
memperoleh otonomi yang lebih dibanding daerah lain dan dipercepat. Setelah 30 tahun
berjuang melalui aksi terorisme, menjelang dilaksanakannya pemilu lokal Oktober 1998
organisasi separatis ETA mendeklarasikan gencatan senjata -- sekalipun pada akhir
Desember 2006 ETA melancarkan aksi pengeboman bandar udara Spanyol. Pemilu ini
dimenangkan kelompok nasionalis moderat, the Basque Nationalist Party, yang
membantu gerilyawan mencapai kesepakatan gencatan senjata. Skema asimetris Spanyol
memberikan keistimewaan pada daerah-daerah di atas dalam bahasa, kultur, kontrol
terhadap pajak, dan perubahan undang-undang, khususnya untuk Catalonia8.

8
Benedikter, Thomas (2006), “The Working Autonomies in Europe – Territorial Autonomy as A
Means of Minority Protection and Conflict Solution in the European Experience - An Overview
and Schematic Comparison”, June. Diambil dari http://www.gfbv.it/3dossier/eu-
min/autonomy.html

6
Pengalaman Kanada dalam mengatur keistimewaan Qubec dalam kesatuannya dengan
Federasi Kanada (Beland & Lecours, 2006; Ladduwahetty: 1995) menjadi contoh lain
yang penting untuk dilihat. Kanada yang secara berulang diancam terpecah melalui
referendum pemisahan diri Quebec sejak tahun 1774 menyepakati untuk menempatkan
bahasa Perancis sebagai bahasa khas Quebec sebagai bahasa resmi yang disetarakan
dengan bahasa Inggris dalam keseluruhan dokumen resmi negara, diikuti kewajiban
penggunaannya oleh semua birokrasi pemerintah dan tempat-tempat kerja dengan jumlah
pegawai tertentu. Diluar bahasa, reformasi kebijakan sosial semenjak referendum 1995
juga meletakkan Quebec sebagai elemen pokok dari upaya peletakan kontrol terhadap
kebijakan sosial menuju pelembagaan yang lebih egalitarian dan progresif.
Philipina yang terus dihadapkan dengan persoalan Mindanao di kawasan selatan yang
mengancam keutuhan teritorial dihadapan pemberontakan bersenjata sejak tahun 1960 -
1970an. Filipina memutuskan untuk menempuh jalan desentralisasi asimetris. Jalan ini –
dengan peran penting yang dimainkan oleh Indonesia (1996) dalam forum the Davao
Consensus memberikan perlakukan yang khusus bagi kawasan selatan yang mayoritas
rakyatnya adalah Muslim (Macapado: 1999). Konsensus perdamaian Davao adalah hasil
dari Jakarta Informal Meeting dengan Indonesia sebagai mediator dengan meletakkan
tiga aspek fundamental. Pertama adalah penerapan zona damai dan pembangunan,
Special Zone and Peace Development (SZOPAD), institusionalisasi the Southern
Philippines Council for Peace and Development (SPCPD); and the Consultative
Assembly and Amendment of The Organic Act for the Creation of the Autonomous
Region for Muslim Mindanao (ARMM). Kedua adalah Davoa Consensus meletakkan
periode transisional sebagai fase stabilisasi SZOPAD, SPCPD dan penggabungan sayap
militer MNLF dalam kesatuan angkatan bersenjata Filipina. Dan ketiga perluasan
kewenangan dan pelembagaan regionalisasi baru otonomi pemerintah dalam kerangka
pemerintahan nasional termasuk dalam lembaga executive, legislative assembly,
administrative system dan representation didalam pemerintahan; establishment of the
special regional security forces for the autonomous region; penyusunan sistem
pendidikan, implementasi syariah Islam dan Judiciary system; dan kreasi sistem ekonomi
dan financial baru termasuk dalam sistem pengelolaan pertambangan dan mineral di
bawah kendali gubernur di Filipina selatan.
Perjanjian Davoa ini merespon dinamika resolusi konflik yang diinisiasi sebelumnya
dalam Jeddah Accord, 1987. Point penting dalam pencapaian perdamaian ini adalah
pendekatan otonomi propinsi di 13 daerah yang semula diatur dalam Tripoli Agreement
diperluas menjadi 23 provinsi, termasuk didalamnya otonomi regional di kepulauan
Mindanao, Basilan, Sulu, Palawan dan Tawi-Tawi sebagai jawaban atas tuntutan gerakan
MNLF. Akomodasi tuntutan otonomi ini direspon oleh Corazon Aquino, presiden
pengganti Marcos, dalam konstitusi 6734 of ARMM, 1 August 1989. Akan tetapi,
perkembangan selanjutnya justru ARMM mengalami problem representasi dengan
keluarnya Tawi-Tawi, Basilan, Sulu, Lanao del Sur and Maguindanao dalam konfirgurasi
ini. Misuari sebagai motor gerakan MNLF kemudian menolak untuk merekognisi
ARMM dan mendorong kembali gerakan kembali pada statuta Tripoli Agreement.
Secara spesifik kawasan ini diberikan otoritas untuk mengatur sumber daya ekonomi
terutama tanah, minyak dan gas, dengan desain kelembagaan yang asimetris. Sekalipun
pengalaman Philipina masih tetap diperhadapkan dengan persoalan yang sama hingga
hari ini, penerapan model asimetris ini setidak-tidaknya menolong negeri ini dari

7
kehancuran kemanusiaan yang lebih parah sebagai akibat dari meluasnya penggunaan
kekerasan bersenjatan pada era darurat militer9.
Kedua, sebagai instrumen kebijakan untuk mengakomodasi keunikan budaya dan
perbedaan alur kesejarahan, termasuk dalam kerangka perlindungan kaum minoritas dan
manajemen konflik sebagaimana dipahami Benedikter (2006) dalam konteks Eropa.
Sami Land dalam kesatuannya dengan Norwegia merupakan contoh klasik yang bisa
diambil dari sebuah negara dengan pluralitas yang sangat rendah (Minde, 2001).
Sekalipun kawasan ini terbebas dari pergolakan untuk memerdekan diri dari Norwegia,
keunikan budaya dan kepemilikan sumber-daya alam yang besar menyebabkan Sami
Land yang terletak di kawasan Skandinavia ini mendapatkan perlakukan istimewa
sebagai entitas sosial dan kultural setelah melalui proses yang panjang (Jernsletter, 1998).
Pengaturan politik lokal yang berbeda dalam kerangka politik nasional juga ditemukan
dalam pengalan Finlandia sebagai terungkap dalam FGD JPP dengan pihak Kedutaan
Besar Finlandia. Sekalipun pada menjelang paruh tengah 2009 otoritas politik di tingkat
pemerintahan setingkat kota sudah dihapuskan dari peta kelembagaan politik Finlandia,
perlakuan khusus tetap dinikmati oleh Aaland, sebuah pulau kecil di kawasan selatan
yang berada di antara Finlandia dan Swedia. Faktanya, kawasan ini sepenuhnya berada
dalam pengaruh kebudayaan Swedia yang penduduknya diperkirakan berjumlah 26.711
di tahun 2005. Demikian juga dalam domain bahasa, penduduk kawasan ini
menggunakan bahasa Swedia. Interaksi politik, Aaland Finlandia juga berada di bawah
bayang-bayang Swedia. Pun demikian, konteks Aaland Finlandia menikmati lokasi
pelabuhan sebagai fokal poin yang memainkan posisi sentral sebagai pelabuhan dagang
utama Eropa dengan 3 perusahaan perkapalan raksasa Eropa berkantor. Fenomena ini
menjadikan daerah Aaland mendapatkan status istimewa dalam kesatuannya dengan
Finlandia. Sejumlah literatur menegaskan, kawasan kepulauan ini mendapatkan
diperlakukan istimewa dalam hal kebudayaan (termasuk bahasa), kesehatan, rumah sakit,
pendidikan, pekerjaan, perumahan, social welfare, konservasi, public entertainment,
sekuriti, bahkan kewarganegaraan ganda bagi penduduknya. Keistimewaan juga termasuk
dalam lembaga legislatif (landsting), pola hubungannya dengan DPR di Helsinki, dan
keberadaan Komisi Aaland yang sangat berpengaruh dalam memperjuangkan
kepentingan warga Aaland. Format asimetrisme di Aaland Island menunjukkan rekognisi
minoritas sebagai bagian dari agenda pengaturan hubungan nasional-lokal. (Benedikter,
2006, sebagaimana terkonfirmai dalam FGD dengan Kedutaan Besar Finlandia, 20
November 2009).
Ketiga, kebijakan untuk menjembatani tantangan yang bercorak teknokratik-managerial,
yakni keterbatasan kapasitas suatu daerah atau suatu wilayah dalam menjalankan fungsi
dasar pemerintahan. Hal ini muncul ketika daerah tidak mampu menyampaikan atau
menyediakan pelayanan publik secara memadai dan efisien sebagaimana daerah lain yang
berada di level yang sama. Pendekatan asimetris memungkinkan pejabat pemerintah yang
berwenang di tingkat nasional memaksimalkan rentang kemungkinan fungsi dan
kekuasaannya. Rentang fungsi dan kekuasaan ini bisa dibatasi di kemudian hari apabila
9
Serangkaian operasi militer antara tahun 1972-1976 telah memakan korban kurang lebih
120,000 jiwa, lebih dari 100,000 warga sipil mengungsi ke Malaysia dan sekitar satu juta berada
di pengungsian. R.J. May, “The Moro Conflict and the Philippine Experience with Muslim
Autonomy”, Paper presented before CCPCSAP Workshop, Canberra, September, 2002.

8
telah terbangun kapasitas yang cukup memadai di daerah yang mendapatkan perlakuan
khusus. Untuk itu perlu dilakukan pengukuran terhadap kapasitas. Penggunaan
desentralisasi asimetris karena argumen ini, boleh jadi sangat relevan bagi Indonesia hari
ini, terutama jika berbagai data dan informasi mengenai kegagalan atau kemerotan
pelayanan publik seiring dengan lahirnya daerah-daerah baru adalah benar.
Keempat, kebijakan yang dirancang untuk memperkuat kapasitas competitiveness sebuah
negara bangsa dalam kerangka persaingan global dan regional yang semakin keras.
Rasionalitas politik pengaturan daerah secara asimetris yang terkait dengan kebutuhan
untuk menjaga atau meningkatkan kapasitas competitiveness sebuah bangsa bisa
disimpulkan dari pengalaman Hongkong dimana Cina memilih untuk membuat
kesepakatan dengan Inggris dengan menetapkan status Hongkong sebagai special
administrative region pada tahun 1997 dan perancangan model ini di Cina (Chien: 2008).
Skema formasi hubungan nasional dan lokal di China ternyata sangat memperhatikan
derajat kompetitif lokal dalam menghadapi persaingan regional. China sangat tergantung
sekaligus mengedepankan kemampuan tiap – tiap daerah terutama di kawasan
pengembangan ekonomi untuk tumbuh. Perkembangan asimetrisme diadopsi oleh China
dalam format desentralisasi ekonomi yang menjembatani hubungan antara urban-regional
dengan sentralisasi sistem politik dalam kendali partai Komunis. Karakteristik dalam
perkembangan urban-regional ini dapat dilihat dari tiga dimensi; pertama adalah
tumbuhnya urbanisasi, kedua, fenomena kemunculan mega-cities dan ketiga adalah
tumbuh berkembangnya secara mengglobal fenomena city-regions. Dalam konteks ini
China mengalami perkembangan dramatis hampir 30 tahun terakhir dengan
meningkatnya urbanisasi dari 20% di tahun 1978 menjadi 40% di tahun 2005, serta
pertumbuhan luar biasa perkotaan di Pearl Delta dan Hongkong sebagai core-
pertumbuhan dan pertumbuhan ekonomi lokal terutama di Kunshan, Delta Sungai
Yangtze dengan Shanghai sebagai fokus (Chien, 2006). Dua sentrum ini menjadi “pusat
pabrik pertumbuhan” bagi China (Chien, 2007). Merujuk pada elaborasi Chien, Kunshan
menjadi contoh bagaimana format asimetrisme menjadi motivasi kuat untuk membangun
daerah yang dikenal kemudian dengan New Industial Area atau guo ye xin qu atau KETZ
dengan fase-fase yang sangat spesifik, dan kontrol dan distribusi kader dari PKC.

Fase pertama dimulai dengan adanya inisiasi kebijakan yang dilakukan secara rahasia
oleh Kunshan sebagai self development zone yang dimulai 1978. Keberhasilan program
rahasia ini kemudian mendapatkan apresiasi nasional, bahkan diadopsi menjadi model

9
yang dikenal dengan KETZ. Adopsi di level nasional menandai fase kedua dari
implementasi desentralisasi asimetris di nasional level zone. Merujuk pada domument
sejarah yang dipublikasi KETZ Administration Office and Party History Research Office
of Kunshan CCP, 2000, Chien menggaris bawahi bahwa apresiasi Li Peng – pucuk
pimpinan tertinggi Cina -- menjadi salah satu faktor pemicu adopsi KETZ di level
nasional dan penjelas bagaimana pembangunan ekonomi China sedemikian massif.
Apresiasi dari Li Peng, perdana menteri China, yang dinyatakan di bulan Juli, 1992
menggarisbawahi bahwa ``Every locality is encouraged to learn from Kunshan to self-
develop its own zone. After the zone has grown to some extent, the state will evaluate and
then grant `the hat [of national title]' to become a national development zone.''
Sebagai sebuah model, desentralisasi asimetris di China ini mulai diduplikasi secara
massif melalui pengembangan 14 national development zones dengan tetap meletakkan
KETZ sebagai percontohan primer. Akumulasi kerja ini kemudian mendorong secara
dialektif fase ketiga dari proses desentralisasi asimetris, sebuah kebijakan untuk
pengembangan export-process zone (EPZ), 1992-2001-sekarang. Dalam fase ini, EPZ
tidak memfokuskan diri dalam pajak, melainkan simplifikasi otoritas zona dan pelayanan
administrasi eksport yang langsung di supervisi oleh otoritas tertinggi pemerintah
(General Customs of the State Council ) yang berkoordinasi secara substantif dengan
kepolisian, petugas pajak, container pelabuhan, bandara, inspektur komoditi, departemen
keuangan, bank, foreign trade customs declaration companies, dll. Hal yang menarik
bahwa sistem administrasi yang cepat, tepat dan menyatu ini secara genuin bukan usulan
dari pusat melainkan pemerintah lokal di Kunshan.
Penggunaan skema ini sebagai sarana penguatan kapasitas competitiveness sebuah
negara-bangsa dalam kerangka persaingan dan kerjasama global dan regional telah
menjadi praktek yang sangat luas. Sejumlah praktek semisal Pemerintah Brasil yang
mempercepat pembangunan di kawasan North, North East, dan Centre West, dan desain
Pemerintah Federal Jerman dalam menyediakan dana khusus bagi lander (provinsi) baru
pasca re-union antara Barat dan Timur menjadi penanda praktek desentralisasi asimetris
yang dirancang untuk mencapai derajat competitiveness tertentu dari sebuah negara.
Korea Selatan memberikan status istimewa pada pulau Jeju di bagian selatan. Pulau yang
kini masuk dalam salah satu dari tujuh keajaiban natural dunia (the seven natural
wonder) ini dirancang sebagai “Balinya Korea”. Sebagai pulau yang dirancang untuk
tujuan utama wisata, pulau Jeju menikmati kebijakan keimigrasian yang longgar: tidak
diperlukan visa bagi turis untuk memasuki kawasan ini.
Di sejumlah tempat, desentralisasi asimetris secara negatif dimaksudkan sebagai sarana
untuk menahan laju out flight sejumlah modal dasar, terutama capital flight. Secara
positif desentralisasi asimetris dimaksudkan sebagai dasar pengorganisasian keunggulan
komparatif dan kompetisi negara-bangsa melalui konsolidasi ekonomi hingga mencapai
skala ekonomi yang masuk akal. Bagi Indonesia, hal ini dapat menjadi instrumen
kebijakan untuk melunakan kelemahan paling dasar dari perumusan desentralisasi dan
otonomi kita yang bercorak ”inward looking”. Kita sebenarnya sudah memulai jauh
sebelum Cina, yakni melalui pengembangan Batam. Sayangnya, setelah reformasi Batam
ditransformasi menjadi daerah otonom biasa tanpa keunikan dan mandat apapun. Lebih
naas lagi, dari sebuah kawasan yang awalnya diracang untuk “outward looking”, Batam

10
justru dipaksa mengadopsi semua corak “inward looking” yang menandai sejarah panjang
desentralisasi Indonesia.
Kelima, kebijakan yang dirancang sebagai instrumen untuk meminimalisasi “resiko”,
misalnya bagi kawasan-kawasan perbatasan yang mengandung resiko bagi keamanan
negara dan keutuhan teritorial negara-bangsa, kawasan dengan resiko pengulangan
bencana yang tinggi, ataupun kawasan dengan siklus “rawan pangan” yang ajeg.
Dalam kaitannya dengan ancaman, India dan pakistan menyajikan kasus menarik. Guna
menjawab keunikan kawasan, status Kashmir dalam peta kawasan Jammu-Kashmir, dan
sekaligus sebagai bagian integral dari kebijakan keamanan nasional, diskusi kami dari
JPP dengan representasi kedutaan India dan Pakistan 20 November 2009 mengungkap
bahwa sebagai pusat sengketa lintas negara, India sejak dini merancang model federasi
yang berjenjang dimana negara bagian ini diperlakukan secara berbeda dari negara-
negara bagian lainnya, tapi pada saat yang bersamaan, masing-masing unit politik dalam
negara bagian Khasmir sekaligus menikmati perbedaan perlakukan dari negara bagian.
Kajian atas sejumlah lieratur mengkonfirmasi kawasan yang masih berstatus sebagai
“dispute area” antara India dan Pakistan ini dirancang sebagai negara bagian yang
diperlakukan khusus dalam hal hak untuk memiliki konstitusi sendiri yang antara lain
memberikan kekhususan dalam hal alokasi kursi di DPR dan kewenangan parlemen
untuk mengatur hal-hal yang lebih luas dibandingkan negara bagian lainnya. Namun
demikian, detil kekhususan ini belum diatur lebih lanjut hingga bertahun-tahun setelah
ketentuan ini ditetapkan (Upadhyaya, 1996). Sementara itu, masing-masing unit di
bawahnya (Panchayat) mendapatkan keistimewaan dalam mengatur urusannya sendiri.
Pada saat bersamaan, kawasan Kashmir lainnya yang berada dalam kontrol Pakistan juga
mendapatkan perlakuan istimewa dari otoritas nasional Pakistan untuk alasan yang persis
sama dengan apa yang dialami Khasmir India. FGD kami dari JPP dengan Kedubes
Pakistan mengungkapkan, kawasan yang diberi nama Gilgit-Baltistan dan memiliki dua
ibukota berbeda ini didesain sebagai kawasan khusus dengan keleluasaan dalam hal
menentukan ketergantungannya ke pemerintah pusat dan pengelolaan pemerintahan
sendiri yang antara lain ditunjukkan dengan keberadaan Menteri Utama (Chief Minister)
yang dibantu oleh 6 menteri.
Di Indonesia, penerapan asymetrical decentralization bukan merupakan pengalaman
baru. Aceh dan Papua adalah contoh tipikal dari penerapan prinsip ini guna menjawab
terus menguatnya “regional questions” di dua kawasan panas ini. Sementara Yogyakarta,
merupakan contoh penting dari penggunaan instrumen kebijakan asymetrical
decentralization sebagai instrumen untuk mengakomodasi, melindungi, mengapresiasi,
memberikan ruang bagi eksistensi keunikan kultur dan sejarah.

Model-Model
Secara umum desentralisasi asimetris memang sudah sangat luas dipraktekan. Hanya
saja, berkaca pada pengalaman banyak negara, terdapat variasi model yang
mengharuskan kita melakukan kajian yang komprehensif dan mendalam sebelum ide ini
diterapkan di Indonesia. Tiga skema berikut ini, yang juga dikutip dari Ferrazzi dan
Mas’udi mengungkapkan tiga tipologi utama desentralisasi asimetris yang diterapkan di

11
berbagai negara. Setiap tipologi memiliki asumsi dan sekaligus implikasi yang berbeda-
beda. Berikut ini penjelasan cepat mengenai ketiga tipologi desentralisasi asismetris.
Pertama, adalah tipologi yang menekankan bahwa setiap daerah adalah unik dalam
dirinya sendiri dan karenanya setiapnya harus diperlakukan secara istimewa pula.
Konsekwensinya, variasi daerah atau kawasan yang dirancang berdasarkan prinsip
asimetris ini adalah setara dengan jumlah daerah atau kawasan yang ada dalam sebuah
negara bangsa.
Tipologi ini dikembangkan di beberapa negara, misalnya India dimana konstitusinya
menempatkan seluruh negara bagiannya dalam status yang berbeda-beda (Upadhyaya,
1996). Tipologi ini mengandung resiko yang sangat besar karena variasi daerah yang
dihasilkan dapat sangat ekstrim sehingga pemenuhan syarat-syarat dasar yang diperlukan
dalam pengelolaan pemerintahan modern bisa bermasalah. Sebagai contoh, kebutuhan
negara-bangsa untuk menjamin equalisasi dan penerapan prinsip good governance
melalui instrumen teknokrasi seumpama standarisai menjadi sulit.

Figure 1: Fully asymmetrical decentralization (horizontal)

Kedua, tipologi desentralisasi asimetris yang dirancang berdasarkan pembedaan baik


secara dikhotomis maupun gradual corak dan perkembangan sosio-ekonomi dan kultural
masyarakat. Secara sederhana desain desentralisasi asimetris disusun berdasarkan
pembedaan antara daerah atau kawasan yang bercorak perkotaan dan yang bercorak
pedesaan sebagaimana ditemukan dalam pengalaman semisal China maupun Spanyol.
Tipologi ini menjadi relevan bagi Indonesia, karena uniformitas pelaksanaan kebijakan
desentralisasi yang tidak membedakan kawasan pedesaan dan perkotaan dengan segala
akibatnya. Tipologi ini, bahkan dapat diperluas melalui pembedaan kota ke dalam skala
yang berbeda-beda berdasarkan pertimbangan tertentu, misalnya jumlah populasi
sebagaimana terungkap dalam dokumen Pokja DDN untuk Penataan Daerah
(Djojosukanto, dkk: 2008). Sejumlah negara seperti Afrika Selatan, sebagaimana hasil
FGD JPP dengan pihak Kedubes Afrika Selatan, melalui konstitusinya telah
memberlakukan model ini. Dalam kaitannya dengan ini, pembedaan tipe kota ditentukan
oleh beberapa indikator seperti sosio-ekonomik (populasi, level urbanisasi, tingkat
kemiskinan, dll); kapasitas kota (tingkat pengeluaran rumah tangga, tingkat
ketergantungan terhadap hibah, dll); serta tingkat pelayanan (Ovens, 2008). Tampaknya,

12
watak geografi Indonesia dapat juga dipertimbangkan sebagai dasar baru dalam
perancangan desentralisasi asimetris sehingga memunculkan kemungkinan baru, yakni
pembedaan otonomi berdasarkan pembilahan daerah-daerah kepulauan dan daratan.

Figure 2: Asymmetric treatment by rural and urban designation

Ketiga, tipologi yang menekankan asimetris sebagai pembedaan dengan daerah/kawasan


lainnya. Desentralisasi asimetris merupakan “pengecualian” pelaksanaan desentralisasi
“normal” di kawasan di luarnya. Negara-negara seperti Norwegia menerapkan model ini
untuk kawasan Sami Land, Finlandia dengan Aland Islands, atau Kanada dengan Quebec
yang masing-masing dilatar-belakangi keunikan kultural dan historis (Bendikter, 2006).
Pengalaman Indonesia dengan NAD, Papua, DIY dan DIK Jakarta adalah contoh
kongkrit dari negeri sendiri yang bisa dijadikan sebagai ilham bagi penerapannya di
kawasan lainnya seperti Bali atau bahkan Kalimantan secara keseluruhan.
Panjangnya pengalaman Indonesia dalam menerapkan model ketiga ini merupakan modal
penting bagi kita dalam membayangkan kemungkinan pengaturan daerah berdasarkan
prinsip ini di masa-masa yang akan datang. Fakta juga menunjukan, variasi
“pemerintahan” – tapi masih merupakan bagian dari regim sentralisasi atau “regim pasar
bebas ” , bukan “regim desentralisasi”– sangat luar biasa di Indonesia, mulai dari bentuk
pengaturan “otorita” hingga pada “kota-kota mandiri”, termasuk dengan memanfaatkan
desa-desa eks-transmigrasi yang dirancang Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi
sebagai kota mandiri.

Figure 3: Special Autonomy as one form of asymmetry

13
Penutup: Implikasi
Gagasan-gagasan di atas, harus diakui masih sangat belia. Karenanya, sangat jauh dari
siap untuk dilaksanakan. Jurusan Politik dan Pemerintahan Fisipol sebagai institusi di
lingkungan UGM dalam beberapa tahun terakhir ini sedang mengembangkan melalui
studi yang semakin intensif atas isu ini. Kita berharap dalam beberapa tahun ke depan,
akumulasi informasi dan argumentasi sudah cukup memadai sebagai dasar bagi
perdebatan yang lebih luas. Kajian yang mendalam yang ditopang oleh kajian komparasi
yang kuat diperlukan sebelum sebuah kebijakan diambil. Besarnya implikasi yang
ditimbulkan oleh transformasi design kelembagaan mengharuskan kita untuk melakukan
kajian secara berhati-hati dan sangat serius terutama untuk menilai fisibilitas dan
reabilitasnya.
Penerapan desentralisasi asimetris akan mengubah secara fundamental pola hubungan
kewenangan, keuangan dan pengawasan antara daerah dan pemerintah pusat. Pengalaman
dari berbagai negara seumpama Finlandia—sebagai contoh dari negara yang paling
ekstrim dalam menerapkan asimetrisme—menunjukkan bahwa asimetrisme telah
memperluas kewenangan daerah untuk isu-isu tertentu, misalnya kultural, bahasa,
kewarganegaraan khusus, dan lain-lain. Termasuk, keleluasaan dalam hal keuangan
dimana daerah (Land Islands) dapat menentukan budget tahunan dan penarikan pajak.
Model pengembangan kapasitas ekonomi lokal Kunshan menjadi contoh lain bagaimana
desain asimetrisme lahir sebagai respon terhadap perkembangan ekonomi regional.
Transformasi kelembagaan pada level nasional dan lokal sangat diperlukan untuk
memberikan kepastian otoritas bagi daerah untuk lebih maju berikut dengan implikasi-
implikasi teknokratisnya. China dengan model administrasi satu atap telah memberikan
contoh bagaimana memotong rantai birokrasi yang panjang dalam perijinan. Pengalaman
Norwegia maupun Finlandia memastikan pengaturan khusus ini membawa implikasi
pada kelembagaan politik nasional dan lokal dengan hadirnya lembaga legislatif
(Landsting) dan Komisi Asland (Joint Aaland Island Commission) yang memiliki
kewenangan cukup luas pada tingkat lokal dan memiliki wakil di tingkat nasional.
Pengalaman berbagai negara di atas memastikan rancang bangun kelembagaan di tingkat
lokal, tidak lagi dapat bertumpu pada “kebiasaan tradisional” yang bersifat “tunggal”
dengan batas administrasi pemerintahan sebagai satu-satunya batasan, tapi mengalami
pergeseran ke arah pengaturan yang bersifat “kewilayahan” dengan mengikuti logika
kerja sistem dengan berbagai variasi basisnya. Dalam konteks negara Kashmir di India
dan Gilgit-Baltistan di Pakistan pengaturan berbasis logika sistem ini mendapatkan
prioritas utama. Bagi Indonesia, pengalaman di atas boleh jadi mengharuskan kita untuk
memikirkan, misalnya, hadirnya “gubernur jenderal kawasan” sebagai otoritas politik
yang bersifat koordinatif untuk mensinkronkan sebuah kawasan khusus. Sementara pada
tingkat nasional, pengalaman dari Norwegia, spanyol, Canada maupun China
memberikan ilham untuk merancang balik tata-kelembagaan nasional. Watak “inward
looking” pemerintah nasional, boleh jadi sudah harus diakhiri dan dipertukarkan dengan
watak yang “outward looking”. Perancangan kelembagaan Menko, misalnya, yang kini
berbasis sektoral dan dimaksudkan untuk “sekadar” mengurus ke dalam, boleh jadi perlu
memberikan ruang bagi perancangan Menko berbasis kewilayahan dengan orientasi yang
kuat keluar. Demikian pula, kelembagaan nasional kita boleh jadi memerlukan kehadiran

14
sebuah otoritas baru yang sepenuhnya didedikasikan untuk memastikan bekerjanya
secara baik rancangan desentralisasi asimetris yang dikembangkan.
Masih banyak lagi implikasi yang bisa ditimbulkan oleh transformasi model
desentralisasi di atas, termasuk transformasi sistem SDM kita, mulai dari rekrutmen
hingga demosi dan promosi, berikut kriteria-kriteria baru yang diperlukan.
Kesemua pergeseran dan transformasi di atas membutuhkan pendefinisian baru mengenai
“tempat” pemerintah nasional dalam keseluruhan bangunan politik nasional dan “tempat”
dari lokalitas dalam matriks besar jaringan politik nasional dan global. Karenanya,
diperlukan kesiapan timbal-balik baik di daerah maupun nasional, dan pada saat
bersamaan kesiapan horisontal aneka stakeholders governance. Untuk itu, kajian
mendalam yang bukan saja bercorak verifikatif tapi sekaligus evaluatif atas penerapan
model ini di berbagai negara dan di Indonesia menjadi bahan baku yang sangat
diperlukan. Hal ini menjadi agenda kami dari Jurusan Politik dan Pemerintahan Fisipol
UGM saat sekarang dan untuk tahun-tahun ke depan.

Daftar Pustaka

Aland (2000), “The Autonomy of Aland”, January 23, diambil dari http://www.
aland.fi/virtual/eng/sjalvsttillk.html;
Aland (2000), “A State in the State”, diambil dari http://www.atc.aland.fi/
~museum/austat.html
Fung, Archon and Erick Olin Wright (2003), Deepening Democracy: Institutional
Innovations in Empowered Participatory Governance, Verso Press, 2003.
Barter, Shane Joshua, Tanpa Tahun, The Dangers of Decentralization Clientelism, the
State, & Nature in a Democratic Indonesia, University of British Columbia.
Benedikter, Thomas (2006), “The Working Autonomies in Europe - Territorial
Autonomy as a Means of Minority Protection and Conflict Solution in the
European Experience - an Overview and Schematic Comparison”, June. Diambil
dari http://www.gfbv.it/3dossier/eu-min/autonomy.html
CoGTA (2009), State of Local Government in South Africa: Overview Report,
November, Cooperative Governance and Cooperative Affairs Republic of South
Africa
Congleton, Roger D. (2006). Asymmetric Federalism and the Political Economy of
Decentralization, unpublished (January 5).
Chien, Shiuh-Shen, “Urban/Regional Governance, Chinese Style, A Perspective of
Asymmetric Decentralization”, Paper prepared to Urban Planet: Collective
Identities, Governance and Empowerment in Megacities, International Essay
Competition and Workshop organized by the Irmgard Coninx Foundation, the
Social Science Research Centre Berlin and Humboldt-University Berlin, 11-16
June 2008.

15
------------------; “Institutional Innovations, Asymmetric Decentralization, and Local
Economic Development: a Case Study of Kunshan, in Post-Mao China”,
Environment and Planning C: Government and Policy 2007, Volume 25.
Djojosukanto, dkk (2008), Grand Strategy Penataan Daerah Tahun 2025, Partnership,
Jakarta.
Ecuador (2000). Ecuador Weekly Report, Embassy of Equador, Washington D.C.
January 03.
Aspinall, Edward & Greg Fealy (2003), Local Power and Politics in Indonesia:
Decentralization and Democratization, Singapore: ISEAS
Garcia-Mila, Teresa & McGuire, Theresa J (2002). Fiscal Decentralization in Spain: An
Asymmetric Transition to Democracy, unpublished (revised March 22, 2002).
Gie, The Liang (1993). Pertumbuhan Pemerintahan Daerah di Negara Republik
Indonesia, Yogyakarta: Liberty, Jilid I.
Furnivall, J.S., (1939), Netherlands India: A Study of Plural Economy, Cambridge at The
University Press.
Harriss, John, Kristian Stokke, and Olle Tornquist (ed.) (2004), Politicising Democracy :
The New Local Politics of Democratisation. Palgrave.
Hidayat, Syarif, ”Kinerja Pemerintahan Daerah Pasca Pilkada: Perspektif Ekonomi
Politik”, Paper presented before the 21st AIPI National Seminar, Menado 14-15
Agust 2007.
Jennie, Litvack, Ahmad Junaid, Bird Richard (1998), Rethinking Decentralization in
Developing Countries, The World Bank – Sector Studies Series.
Jernsletten, Regnor (1998), The Sami Movement in Norway: Ideology and Practice
1900-1940; Senter for samiske studier, Universitetet i Tromsø 1998. ISSN 0804-
6093. http://www.sami.uit.no/girji/n06/roj9810en.html
Kaho, Josef, Riwo. 2012. Prospek Otonomi Daerah Di Negara Republik Indonesia
(revised edition), Yogyakarta, Polgov.
Kompas, 19 Oktober 2009, “7 Daerah Berjuang Menjadi Provinsi Kepulauan”
Kompas, 6 Maret 2013.
Ladduwahetty, Neville S. (1995), “Autonomy Of The Aland Province Of Finland, Not A
Model For Sri Lanka”, Lakbima- Lakbima - Sri Lankan Issues, November 4,
diambil dari http://members.aol.com/mahnel/lbima5.htm
Ladduwahetty, Neville S. (1995), “Devolution Of Power - A Lesson From Canada”
Lakbima - Sri Lankan Issues October 16, diambil dari
http://members.aol.com/mahnel/lbima4.htm;
Ladduwahetty, Neville S. (1996), “The Non-Territorial Alternative To Regional
Devolution”, Lakbima - Sri Lankan Issues, diambil dari
http://members.aol.com/mahnel/lbima6.htm;

16
Muslim, Macapado A. (1999), “Sustaining the Constituency for Moro Autonomy”,
April. Diambil November 15, 2008 at http://www.c-r.org/our-work/
accord/philippines-mindanao/sustaining-constituency.php
May, R.J., “The Moro Conflict and the Philippine Experience with Muslim Autonomy”,
paper before presented on CCPCSAP Workshop, Canberra, September, 2002.
Ovens and Associates, Wendy (2008), Comparing Of Local And District Municipality
Classifications In South Africa,
Otsus Bali Mulai Temukan Titik Terang, http://www.baliprov.go.id/ index.php?
action=news&task=detail&id=265, 13/08/2007
Pakistani President Signs Gilgit-Baltistan Autonomy Order; http://
english.peopledaily.com.cn/90001/90777/90851/6750725.html# September 7, 2008
Robison, Richard & Vedi R. Hadiz (2004), Reorganizing Power in Indonesia: The
Politic of oligarchy in the Age of Market. London & New York: Routledge
Curzon.
Richard, Balme, Phillipe Garraud, Vincent Hoffmann-Martinot, Stephane Le May &
Evelyn Ritaine, (1994), “Analysing territorial policies in Western Europe”,
European Journal of Political Research, 25: 389-411.
Samuel, Hanneman & Henk Schulte Nordholt (eds.) (2004), Indonesia in Transition:
Rethinking Civil Society, Region and Crisis: Pustaka Pelajar
Schulte Nordholt, Henk (2004), “Decentralisation in Indonesia: Less State: More
Democracy?”, in John Harris, et.all., Politicising Democracy. The New Local
Politics of Democracy, Palgrave Macmillan, New York.
Spain approves Catalonia autonomy, http://74.125.153.132/search?q=cache:
Tre8jRQEQ3sJ:news.bbc.co.uk/2/hi/4398702.stm+spain+autonomy&cd=4&hl=id
&ct=clnk&gl=id
Upadhyaya, M. L. (1996). Autonomy and Special Status to Jammu and Kashmir Under
the Constitution of India, Central India Law Quarterly, Vol 9
Vepsalainen, Virpi (2003). The Sami people in Finland, Land Rights, Linguistic Rights
and Right to Self Government, Multiculturalism in Western Europe and North
America.
Wehner, Joachim H-G (2000), “Asymmetrical Devolution”, Development Southern
Africa Vol. 17, No.2, June.
Wang, Elaine (2007), “Diversifying Identity, Diversifying Strategy: Revisiting the Sami
of Sweden”, paper, University of Vermont.

17

Anda mungkin juga menyukai