Anda di halaman 1dari 48

KEPERAWATAN GERONTIK

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN TRAUMA

MEDULA SPINALIS

Disusun Oleh:

NAMA : INDRAWAN

NIM : 18.018

KELAS : III A

Fasilitator: Ns. RESKI RAHMAWATI, S.Kep,M.Kep

PROGRAM STUDI D-III KEPERAWATAN

PEMERINTAH KABUPATEN KONAWE

TAHUN 2020

i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberi

rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas ―Penelusuran

Masalah/Topik Penelitian‖.

Makalah ini disusun khusus untuk memenuhi tugas mata kuliah

Keperawatan Gerontik.

Kami berharap makalah ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Segala kritik,

koreksi, dan saran yang bersifat membangun sangat kami harapkan demi

perbaikan di masa mendatang. Terima kasih.

Unaaha, 07 Oktober 2020

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Kata Pengantar …………………………………………………………...... ii

Daftar Pustaka …………………………………………………...………… iii

Bab 1 Pandahuluan

1.1 Latar Belakang ………………………...………………………... 1

1.2 Rumusan Masalah......................................................................... 2

1.3 Tujuan ………………………………...………………………… 2

Bab 2 Tinjauan Pustaka

2.1 Anatomi dan Fisiologi................................................................... 3

2.2 Definisi Trauma Medula Spinalis.........…………......................... 5

2.4 Etiologi Trauma Medula Spinalis.......………………..….……… 5

2.5 Klasifikasi Trauma Medula Spinalis............................................. 6

2.6 Patofisiologi Trauma Medula Spinalis..………….………......… 9

2.7 Pemeriksaan Diagnostik Trauma Medula Spinalis……….……... 12

2.8 Penatalaksanaan Trauma Medula Spinalis ……..………….....… 13

2.9 Komplikasi Trauma Medula Spinalis..………….......…………... 16

2.10 Prognosis Trauma Medula Spinalis …………...…………....... 17

2.11 WOC............................................................................................ 19

iii
Bab 3 Asuhan Keperawatan Trauma Medula Spinalis.................................. 22

Bab 4 Penutup................................................................................................ 30

iv
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Cedera medula spinalis adalah cedera yang mengenai servikalis

vertebralis dan lumbalis akibat dari suatu trauma yang mengenai tulang

belakang. Cedera medula spinalis adalah masalah kesehatan mayor yang

mempengaruhi 150.000 sampai 500.000 orang di Amerika Serikat,

dengan perkiraan 20.000 cedera baru yang terjadi setiap tahun. Insiden

tahunan spinal cord injury termasuk kematian pra-rumah sakit telah

diperkirakan 43-77 per juta penduduk di Amerika Serikat yang setara

dengan sekitar 20.000 pasien setiap tahun. (Bernhard et al, 2005)

Sekitar 20% dari pasien ini meninggal sebelum mereka diterima di

rumah sakit. Kejadian spinal cord injury dikaitkan dengan prevalensi

sekitar 200.000 pasien di Amerika Serikat. Dari pasien SCI ini 50-70%

adalah antara 15 dan 35 tahun usia, sedangkan 4-14% berusia 15 tahun

atau lebih muda. Rasio kejadian pada pria dan wanita adalah 4:1.

Estimasi biaya untuk perawatan Spinal cord injury di Amerika Serikat

adalah sekitar US $ 4 miliar per tahun. Oleh karena itu, Spinal cord

injury merupakan penyebab utama mortalitas dan morbiditas pada orang

muda dan sebagai hasilnya memiliki besar dampak pada masyarakat

secara keseluruhan (Bernhard et al, 2005).

Penyebab paling sering Spinal cord injury pada orang dewasa

adalah kecelakaan kendaraan bermotor (40%), jatuh (21%), tindak

5
kekerasan (15%), dan cedera yang berhubungan dengan olahraga (13%).

Pada anak-anak, spinal cord injury sebagian besar disebabkan karena

olahraga (24%) dan kegiatan rekreasi air (13%). Dalam tampilan grafik

retrospektif dari 331 pasien, pada penelitian yang dilakukan Domeier et

al (2005), menggambarkan distribusi lokasi cidera spinal cord injury

29% terjadi pada servikal, 24% pada torakal, 37% pada lumbal, dan 10%

pada sakral. Penilaian pada pasien trauma (Trauma Life Support)

dilakukan pemeriksaan neurologis menyeluruh untuk mengidentifikasi

cedera tulang belakang serta transfer pasien pada petugas kesehatan

yang berkompeten. Kolaborasi tim kesehatan yang berasal dari

multidisplin ilmu dapat mengelola penatalaksanaan pasien spinal cord

injury. Medical and surgical tim serta nursing expertise bersama-sama

memanajemen pasien mulai dari penanganan pertama yang tepat, fase

hospitalisasi, pencegahan komplikasi seperti menghindari ulserasi

dekubitus dan komplikasi lain dari cedera tulang belakang hingga fase

rehabilitasi seperti rehabilitasi medik; dan psikososial. (White &

Thumbikat, 2012).

Pada kasus trauma ini, peran perawat sangat diperlukan untuk

dapat membantu dalam memberikan asuhan keperawatan pada klien

dengan spinal cord injury baik saat prehospital management, fase

hospital, maupun rehabilitatif, sehingga masalah yang dihadapi oleh

klien dapat teratasi dan terhindar dari komplikasi yang lebih lanjut.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa pengertian Trauma Medula Spinalis?

6
2. Bagaiman mekanisme Trauma Medula Spinalis?

3. Apa penyebap terjadinya Trauma Medula Spinalis?

4. Bagaimana patofisiologi Trauma Medula Spinalis?

5. Bagaimana manifestasi klinis Trauma Medula Spinalis?

6. Apa saja pemeriksaan penunjang untuk mengetahui terjadinya

Trauma Medula Spinalis?

7. Bagaiamana pentalaksanaan medis bagi Trauma Medula Spinalis?

8. Apa saja komplikasi yang terjadi pada Trauma Medula Spinalis?

9. Bagaimana konsep Asuhan Keperawatan pada pasien dengan

Trauma Medula Spinalis?

1.3 Tujuan Umum

Untuk memenuhi tugas kelompok yang diberikan oleh dosen

fasilitator, serta mengetahui bagaimana konsep penyakit atau Trauma

Medula Spinalis serta bagaimana Asuhan Keperawatannya.

1.4 Tujuan Khusus

1. Mengetahui pengertian Trauma Medula Spinalis

2. Mengetahui mekanisme terjadinya Trauma Medula Spinalis

3. Mengetahui penyebap Trauma Medula Spinalis

4. Mengetahui patofisiologi Trauma Medula Spinalis

5. Mengetahui manifestasi klinis Trauma Medula Spinalis

6. Mengidentifikasi pemeriksaan penunjang Trauma Medula Spinalis

7
7. Mengidentifikasi penatalaksanaan dan algoritma medis Trauma

Medula Spinalis

8. Mengetahui komplikasi yang terjadi pada Trauma Medula Spinalis

9. Mengidentifikasi dan menjelaskan konsep asuhan keperawatan

Trauma Medula Spinalis

8
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Fisiologi

Medula Spinalis adalah bagian dari sistem saraf yang membentuk

sistem kontinu dengan batang otak yang keluar dari hemisfer serebral dan

memberikan tugas sebagai penghubung otak dan saraf perifer, seperti pada

kulit dan otot. Panjangnya rata-rata 45 cm dan menipis pada jari-jari.

Medula spinalis ini memanjang dari foramen magnum di dasar tengkorak

sampai bagian lumbar kedua tulang belakang, yang berakhir di dalam

berkas serabut yang disebut konus medullaris. Seterusnya di bawah lumbar

kedua adalah akar saraf, yang memanjang melebihi konus, dan disebut

kauda equina dimana akar saraf ini menyerupai akar kuda. Saraf-saraf

medula spinalis tersusun atas 33 segmen yaitu 7 segmen servikal, 12

torakal, 5 lumbal, 5 sakral, dan 5 segmen koksigius. Medula spinalis

mempunyai 31 pasang saraf spinal, masing-masing segmen mempunyai

satu untuk setiap sisi tubuh. Seperti otak, medula spinalis terdiri atas

substansi grisea dan alba. Substansi grisea di dalam otak ada di daerah

eksternal dan substansi alba ada pada bagian internal ( Sherwood,2001).

Vertebralis dikelompokkan sebagai

berikut : a. Vetebrata Thoracalis

(atlas).

9
Vetebrata Thoracalis mempunyai ciri yaitu tidak memiliki corpus

tetapi hanya berupa cincin tulang. Vertebrata cervikalis kedua (axis) ini

memiliki dens, yang mirip dengan pasak. Veterbrata cervitalis ketujuh

disebut prominan karena mempunyai prosesus spinasus paling panjang. b.

Vertebrata Thoracalis.

Ukurannya semakin besar mulai dari atas kebawah. Corpus

berbentuk jantung, berjumlah 12 buah yang membentuk bagian belakang

thorax. c. Vertebrata Lumbalis.

Corpus setiap vertebra lumbalis bersifat masif dan berbentuk ginjal,

berjumlah 5 buah yang membentuk daerah pinggang, memiliki corpus

vertebra yang besar ukurnanya sehingga pergerakannya lebih luas kearah

fleksi. d. Os. Sacrum.

Terdiri dari 5 sacrum yang membentuk sakrum atau tulang

kengkang dimana ke 5 vertebral ini rudimenter yang bergabung yang

membentuk tulang bayi.

e. Os. Coccygis.

Terdiri dari 4 tulang yang juga disebut ekor pada manusia,

mengalami rudimenter.

Lengkung koluma vertebralis.kalau dilihat dari samping maka kolumna

vertebralis memperlihatkan empat kurva atau lengkung antero-pesterior :

lengkung vertikal pada daerah leher melengkung kedepan daerah torakal

melengkung kebelakang, daerah lumbal kedepan dan daerah pelvis

melengkung kebelakang. Kedua lengkung yang menghadap pasterior, yaitu

torakal dan pelvis, disebut promer karena mereka mempertahankan

10
lengkung aslinya kebelakang dari hidung tulang belakang, yaitu bentuk

(sewaktu janin dengna kepala membengkak ke bawah sampai batas dada

dan gelang panggul dimiringkan keatas kearah depan badan. Kedua

lengkung yang menghadap ke anterior adalah sekunder → lengkung

servikal berkembang ketika kanak-kanak mengangkat kepalanya untuk

melihat sekelilingnya sambil menyelidiki, dan lengkung lumbal di bentuk

ketika ia merangkak, berdiri dan berjalan serta mempertahankan tegak.

Fungsi dari kolumna vertebralis. Sebagai pendukung badan yang

kokoh dan sekaligus bekerja sebagai penyangga kedengan prantaraan

tulang rawan cakram intervertebralis yang lengkungnya memberikan

fleksibilitas dan memungkinkan membonkok tanpa patah. Cakramnya juga

berguna untuk menyerap goncangan yang terjadi bila menggerakkan berat

badan seperti waktu berlari dan meloncat, dan dengan demikian otak dan

sumsum belkang terlindung terhadap goncangan. Disamping itu juga untuk

memikul berat badan, menyediakan permukaan untuk kartan otot dan

membentuk tapal batas pasterior yang kukuh untuk rongga-rongga badan

dan memberi kaitan pada iga.

Medulla spinalis atau sumsum tulang belakang bermula ada medula

ablongata, menjulur kearah kaudal melalu foramen magnum dan berakhir

diantara vertebra-lumbalis pertama dan kedua. Disini medula spinalis

meruncing sebagai konus medularis, dna kemudian sebuah sambungan tipis

dasri pia meter yang disebut filum terminale, yang menembus kantong

durameter, bergerak menuju koksigis. Sumsum tulang belakang yang

berukuran panjang sekitar 45 cm ini, pada bagian depannya dibelah oleh

11
figura anterior yang dalam, sementara bagian belakang dibelah oleh sebuah

figura sempit.

Pada sumsum tulang belakang terdapat dua penebalan, servikal dan

lumbal. Dari penebalan ini, plexus-plexus saraf bergerak guna melayani

anggota badan atas dan bawah dan plexus dari daerah thorax membentuk

saraf-saraf interkostalis.

Fungsi sumsum tulang belakang :

1. Organ sensorik : menerima impuls, misalnya kulit.

2. Serabut saraf sensorik ; mengantarkan impuls-impuls tersebut

menuju selsel dalam ganglion radix pasterior dan selanjutnya

menuju substansi kelabu pada karnu pasterior mendula spinalis.

3. Sumsum tulang belakang, dimana serabut-serabut saraf penghubung

menghantarkan impuls-impuls menuju karnu anterior medula

spinalis.

4. Sel saraf motorik ; dalam karnu anterior medula spinalis yang

menerima dan mengalihkan impuls tersebut melalui serabut sarag

motorik.

5. Organ motorik yang melaksanakan gerakan karena dirangsang oleh

impuls saraf motorik.

6. Kerusakan pada sumsum tulang belakang khususnya apabila

terputus pada daerah torakal dan lumbal mengakibatkan (pada

daerah torakal) paralisis beberapa otot interkostal, paralisis pada

otot abdomen dan otot-otot pada kedua anggota gerak bawah, serta

paralisis sfinker pada uretra dan rektum.

12
2.2 Definisi

Trauma medula spinalis adalah suatu kerusakan fungsi neurologis

yang disebabkan oleh benturan pada daerah medulla spinalis (Brunner &

Suddarth, 2001). Trauma medulla spinalis adalah buatan kerusakan tulang

dan sumsum yang mengakibatkan gangguan sistem persyarafan didalam

tubuh manusia yang diklasifikasikan menurut Marilyn E. Doengoes,

1999;338) sebagai :

- komplet (kehilangan sensasi dan fungsi motorik total)

- tidak komplet (campuran kehilagan sensori dan fungsi motorik)

Trauma medulla spinalis adalah suatu kerusakan fungsi neurologis

yang disebabkan sering kali oleh kecelakaan lalu lintas. Apabila Trauma itu

mengenai daerah servikal pada lengan, badan dan tungkai mata penderita

itu tidak tertolong. Dan apabila saraf frenitus itu terserang maka dibutuhkan

pernafasan buatan, sebelum alat pernafasan mekanik dapat digunakan.

2.3 Etiologi

Penyebab dari Trauma medulla spinalis dibedakan menjadi dua, yaitu

traumatic spinal-cord injury dan non-traumatic spinal-cord injury

(McDonald & Sadowsky, 2002). Termasuk Traumatic spinal cord injury

adalah kecelakaan di jalan raya (penyebab tersering), tindak kekerasan,

terjatuh, kegiatan olahraga (menyelam), Luka tusuk; tembak; tikam, dan

rekreasi. Sedangkan non-traumatic spinal-cord injury terdiri dari:

Congenital and developmental, gangguan CNS Degenerative, Infeksi,

Inflammatory: Multiple sclerosis, transverse myelitis Toxic, radiasi, dan

13
Tumor. Gangguan lain yang dapat menyebabkan cedera medula spinalis

non traumatic seperti spondiliosis servikal dengan mielopati (yang

menghasilkan saluran sempit dan mengakibatkan cedera progresif terhadap

medula spinalis dan akar), mielitis (akibat proses inflamasi infeksi maupun

non-infeksi), osteoporosis (disebabkan oleh fraktur kompensasi pada

vertebra), siringemelia, tumor infiltrasi maupun kompresi, dan penyakit

vascular.

Gambar 2.1 penyakit penyebab non-traumatic spinal cord injury

2.4 Klasifikasi

Klasifikasi fraktur dapat diklasifikasikan berdasar beberapa hal,

diantaranya:

1. Berdasarkan dari besar kecilnya kerusakan anatomis atau berdasarkan

stabil atau tidak stabil.

’Major Fracture’ bila fraktur mengenai pedikel, lamina atau

korpus vertebra. ’Minor Fracture’ bila fraktur terjadi pada prosesus

transversus, prrosesus spinosus atau prosesus artikularis.

14
Gambar 2.2 Major Frcture

Gambar 2.3 Minor Fracture

Suatu fraktur disebut ’stable’, bila kolumna vertebralis

masih mampu menahan beban fisik dan tidak tampak tanda – tanda

pergeseran atau deformitas dari struktur vertebra dan jaringan lunak.

Suatu fraktur disebut ’unstable’, bila kolumna vertebralis tidak

mampu menahan beban normal, kebanyakan menunjukkan

deformitas dan rasa nyeri serta adanya ancaman untuk terjadi

gangguan neurologik.

2. Berdasarkan penyebab

Klasifikasi SCI berdasarkan penyebabnya adalah traumatic dan

nontraumatic spinal cord injury. Kecelakan di jalan raya serta

trauma secara langsung lainnya merupakan jenis traumatic,

sedangkan non traumatic akibat dari penyakit degenerative, infeksi,

tumor, dan penyakit inflammatory lain.

15
3. Berdasarkan letak trauma

Klasifikasi berdasar Letak trauma pada vertebra: (Hanafiah, 2007)

a. Cervical Spine, terjadi sebanyak 55%

b. Thoracic Spine, pada 15% kejadian

c. Thoracolumbar Spine, 15% kejadian; dan

d. Lumbosacral Spine, 15% kasus.

4. Berdasarkan mekanisme

Klasifikasi berdasar mekanisme ini dibagi dua yakni complete dan

incomplete. Penilaian terhadap gangguan motorik

dan sensorik dipergunakan Frankel Score. (Chin, 2013)

a. FRANKEL SCORE A: kehilangan fingsi motorik

dan sensorik lengkap/complete loss. Motoris (-)

sensoris (-)

b. FRANKEL SCORE B: Fungsi motoric hilang, fungsi

sensorik utuh. Motoris (-), sensoris (+)

c. FRANKEL SCORE C: Fungsi motoric ada tetapi

secara praktis tidak berfungsi (dapat menggerakkan

tungkai tetapi tidak dapat berjalan). Motoris (+)

dengan ROM 2 atau 3, sensoris (+)

d. FRANKEL SCORE D: Fungsi motoric terganggu

(dapat berjalan tetapi tidak dengan normal‖gait‖).

Motoris )+) dengan ROM 4, sensoris (+)

e. FRANKEL SCORE E: Tidak terdapat gangguan

neurologik. Motoris (+), sensoris (+)

16
Klasifikasi menurut American Spinal Injury Association

(ASIA) impairement scale (modifikasi dari klasifikasi frankle)

(Chin, 2013)

a. Grade A : komplit. Motoris (-), sensoris (-) termasuk

pada segmen sacral s4-s5

b. Grade B : inkomplit. Motoris (-), sensoris (+)

c. Grade C : inkomplit. Motoris (+) dengan kekuatan

otot < 3

d. Grade D : inkomplit. Motoris (+) dengan kekuatan

otot > 3 atau lebih dari sama dengan 3

e. Grade E : Motoris dan sensoris normal

5. Berdasarkan level

Gambar 2.4 Level Kerusakan Spinal Cord, fungsi, dan aktivitas

yang memungkinkan

17
6. Berdasarkan klasifikasi lain (Hanafiah, 2007)

Metode Klasifikasi Dennis

Metode ini dipakai untuk menilai fraktur didaerah torakolumbal dan

daerah cervical.

Gambar 2.5 Tampak lateral dari 2 buah korpus vertebra

Penilaian ini berdasarkan ’Teori 3 Kolom’ dari vertebra.

a. Bagian Anterior adalah ligamentum longitudinale anterior

dan 2/3 bagian depan dari korpus vertebra dan diskus.

b. Bagian Tengah (Middle) adalah 1/3 bagian posterior dari

korpus vertebra dan diskus serta ligamentum longitudinale

posterior.

c. Bagian Posterior adalah pedikel, lamina, facets, dan

ligamentum posterior. Kolom Tengah (Middle Column)

adalah ‖kunci‖ dari stabilitas.

18
Metode Klasifikasi Magerl

Klasifikasi ini dipakai untuk menilai fraktur daerah torakolumbal.

Gambar 2.6 Klasifikasi Magerl pada fraktur torakolumbal

Terdapat 3 jenis fraktur berdasarkan mekanismenya

(mechanism of failure):

a) Type A Compressive loads

b) Type B Distraction forces

c) Type C Multidirectional forces and translation

Berdasarkan Gangguan Neurologik

Yang dimaksud dengan gangguan neurologik (neurologic

injury) ialah trauma yang mengenai medula spinalis, cauda equine

dan radices (nerve roots). Keadaan ini mungkin terjadi karena

kompresi dari vertebra, fragmen tulang, atau diskus terhadap

struktur neurologik. Dalam hal ini semua struktur atau organ yang

dipersarafi oleh saraf yang terkena/terganggu akan kehilangan

fungsinya baik sebagaian taupun secara keseluruhan.

19
2.5 Patofisiologi

Kerusakan medulla spinalis berkisar dari kamosio sementara (pasien

sembuh sempurna) sampai kontusio, laserasi dan kompresi substansi

medulla, (lebih salah satu atau dalam kombinasi) sampai transaksi lengkap

medulla (membuat pasien paralisis). Bila hemoragi terjadi pada daerah

medulla spinalis, darah dapat merembes ke ekstradural subdural atau daerah

subaracnoid pada kanal spinal, segera sebelum terjadi kontusio atau

robekan pada cedera, serabut-serabut saraf mulai membengkak dan hancur.

Sirkulasi darah ke medulla spinalis menjadi terganggu, tidak hanya ini saja

tetapi proses patogenik menyebabkan kerusakan yang terjadi pada cidera

medulla spinalis akut.

Hubungan pelepasan neurotransmiter terhadap cedera seluler telah

diteliti baik pada cedera kepala maupun cedera spinal. Kebanyakan

penyelidikan awal terpusat pada turunan asam amino eksitasi yaitu

glutamat dan aspartat. Terdapat pelepasan dramatis glutamat dan aspartat

hingga 6 kali kadar normal, dimana konsentrasi ini cukup untuk membunuh

neuron. Hal ini dapat terjadi hingga 1 jam setelah cedera. Perbedaan

peningkatan spesies asam amino mendukung bahwa aktivitas neuron lebih

berperan daripada lisis sel. Berbagai model telah menunjukkan disfungsi

ekstremitas dapat terjadi ketika cord terpapar asam amino eksitasi.

Beberapa tipe reseptor kemungkinan berperan pada cedera sekunder

pada spinal cord, termasuk reseptor kainate dan quisqualate, yang

mengontrol saluran untuk sodium (natrium) influx dan potassium (kalium)

efflux, serta reseptor Nmethyl-D-aspartate (NMDA) yang memiliki saluran

20
untuk natrium dan kalium dan saluran untuk calcium influx. Akumulasi

kalsium intraseluler dengan kalium efflux telah diamati pada pada SCI

eksperimental. Awal dari pembengkakan neuron berhubungan dengan

natrium influx, dimana dimana disintegrasi neuron disebabkan oleh calcium

influx. Baik antagonis kompetitif seperti 3-(2carboxypiperazin-4-yl)-

propyl-1-phosphoric acid dan aminophosphoheptanoates, serta antagonis

nonkompetitif seperti phencyclidine, ketamin, magnesium, dextrorphan,

dan MK-801 telah menunjukkan dapat menurunkan cedera neurologis

sekunder.

Substansi lain yang berperan adalah peptida opioid. Dynorphin,

betaendorphin, leu-enkephalin, dan met-enkephalin bersifat aktif pada

reseptor kappa, mu, dan delta. Opiat berhubungan dengan hipotensi yang

terjadi setelah SCI. Perawatan dengan obat yang dapat bekerja sebagai

antagonis opiat menghasilkan fungsi yang lebih baik.

Mekanisme selanjutnya pada cedera sekunder melibatkan aktivasi

membrane phospholipase, yang berakibat pada hidrolisis fosfolipid,

bebasnya asam arakidonat dan asam lemak lain dari membran sel. Aktivitas

enzimatik oleh siklooksigenase terhadap asam ini memproduksi peroksida

lipid, sedangkan aktivitas enzimatik oleh lipooksigenase memproduksi

leukotrien dan prostanoid. Lebih spesifik, level tromboksan A2 meningkat

sesaat setelah terjadi SCI eksperimental, dimana rasio tromboksan terhadap

prostasiklin meningkat abnormal hingga 18 jam. Ketidakseimbangan ini

dapat menyebabkan cedera sekunder oleh karena terbatasnya perfusi

jaringan. Faktanya, pada model eksperimental aliran darah pada spinal cord

21
terukur pada 40-54% terhadap level kontrol. Penggunaan steroid dan

analognya dapat meningkatkan pemulihan, kemungkinan berhubungan

dengan inhibisi oleh substansi tersebut terhadap peroksidasi lipid atau

supresinya terhadap pelepasan asam amino eksitasi. (Rowland, 2008).

2.6 Manifestasi Klinis

Gejala bervariasi tergantung pada lokasi cedera. Cedera tulang

belakang menyebabkan kelemahan dan hilangnya rasa pada lokasi cidera

dan di bawahnya. Seberapa berat gejala yang ditimbulkan tergantung pada

apakah seluruh corda spinalis cidera berat, (complete) atau hanya terluka

sebagian (incomplete). Berikut adalah gejala yang timbul sesuai dengan

lokasi cidera: (Bhimji, 2014)

1. Cervical (Neck) Injuries

Ketika cedera tulang belakang terjadi pada daerah leher,

gejala dapat mempengaruhi lengan, kaki, dan bagian tengah

tubuh. Gejalagejala dapat terjadi pada satu atau kedua sisi

tubuh. Gejala juga dapat mencakup kesulitan bernapas dari

kelumpuhan otot-otot pernapasan, jika cedera yang terjadi

setinggi/diatas leher.

2. Thoracic (Chest Level) Injuries

Ketika cedera tulang belakang terjadi pada level dada, gejala

dapat mempengaruhi kaki. Cedera yang terjadi pada cervical

atau high thoracic spinal cord juga dapat mengakibatkan

22
masalah tekanan darah, berkeringat abnormal, dan kesulitan

mempertahankan suhu tubuh normal.

3. Lumbar Sacral (Lower Back) Injuries

Ketika cedera tulang belakang terjadi pada level punggung

bawah, gejala dapat mempengaruhi satu atau kedua kaki, serta

otot-otot yang mengontrol usus dan kandung kemih.

Cedera pada lumbar vertebra pertama dan di bawahnya tidak

menyebabkan cedera tulang belakang (SCI). Namun, mereka dapat

menyebabkan "sindrom cauda equina" yang trejadi cedera pada akar saraf

di daerah ini. Jenis cedera tulang belakang yang seperti ini merupakan

keadaan darurat medis dan membutuhkan operasi segera. Tanda dan gejala

umum: (Bhimji, 2014)

1. Peningkatan tonus otot ( spastisitas )

2. Kehilangan kontrol bowel dan bladder (konstipasi, inkontinensia,

dan bladder spasms)

3. Kekebasan (numbness)

4. perubahan sensori

5. nyeri

6. Kelemahan dan kelumpuhan (paralysis)

2.7 Pemeriksaan Penunjang

1. Haemoglobin and haematocrit levels untuk memonitor kadar

kehilangan darah

23
2. Renal function and electrolytes: dehidrasi.

3. urinalisis untuk mendeteksi terkait cedera genitourinary

4. X-ray :

Pencitraan diagnostik dimulai dengan sinar - X dari wilayah yang

terkena dampak dari tulang belakang. Di beberapa tempat, CT

scan telah menggantikan plain X-ray dan menampilkann lokasi

fraktur yang terlewat saat x-ray. Serangkaian pemeriksaan trauma

X - ray biasanya pertama kali dilakukan (cervical spine, chest and

pelvis). 3 standart views untuk pemeriksaan cervical spine yang

direkomendasikan adalah anteroposterior, lateral and odontoid.

5. MRI

Fraktur C6 dengan burst component. A) pemeriksaan radiografi

(x-ray) lateral view dari cervical spine. B) pemeriksaan CT scan

axial. C) pemeriksaan MRI (T2-weighted sagittal) menunjukkan

fraktur yang meluas di tiga kolumna vertebralis menyebabkan

cidera yang ekstensif pada corda spinalis (bright signal dalam

cord). Perubahan sinyal terang(bright signal) di sepanjang C

anterior dari badan vertebra (panah) menunjukkan kerusakan

ligament. Elemen posterior dari C4 terlihat fraktur (panah). CT

scan yang paling baik dan berguna dalam menggambarkan cedera

24
tulang, sedangkan MRI membantu untuk mengidentifikasi tingkat

kerusakan corda dan ligament (Thumbikat et al, 2009)

6. CT myelography

Jika lateral cervical radiograph dan CT scan negative, MRI

merupakan pilihan investigasi untuk menyingkirkan

ketidakstabilan. Pasien dengan focal neurological signs, yang

dibuktikan dengan cord atau disc injury, and pasien yang

membutuhkan pemeriksaan pre-operative Sebelum dikakukan

operasi. Whole spine MRI diindikasikan untuk multilevel atau

ligamentous injuries, dan cauda equine injuries. MRI merupakan

pilihan terbaik untuk pemeriksaan suspected spinal cord lesions,

cord compressions, vertebral fractures pada multiple levelsdan

ligamentous injuries atau soft tissue injuries lain maupun

pathology. MRI digunakan untuk mengevaluasi soft tissue lesions,

seperti extradural spinal haematoma, abscess atau tumour, spinal

cord haemorrhage, contusion and/or oedema. Neurological

kerusakan biasanya disebabkan karena secondary injury, resulting

in oedema and/or haemorrhage. MRI adalah gambar diagnostik

terbaik untuk menggambarkan perubahan ini. (Tidy, 2014)

2.8 Penatalaksanaan

Didalam penatalaksanaan trauma spinal ada dua hal yang sangat

penting yaitu, Instabilitas dari Kolumna Vertebralis (Spinal Instability) dan

Kerusakan jaringan saraf, baik yang terancam maupun yang sudah terjadi

25
(actual and potential neurologic injury) (Hanafiah, 2007). Yang dimaksud

dengan instabilitas kolumna vertebralis (spinal instability) ialah hilangnya

hubungan normal antara strukturstruktur anatomi dari kolumna vertebralis

sehingga terjadi perubahan dari fungsi alaminya. Kolumna vertebralis tidak

lagi mampu menahan beban normal. Deformitas yang permanen dari

kolumna vertebralis dapat menyebabkan rasa nyeri; keadaan ini juga

merupakan ancaman untuk terjadinya kerusakan jaringan saraf yang berat

(catastrophic neurologic injury). Instabilitas dapat terjadi karena fraktur

dari korpus vertebralis, lamina dan atau pedikel. Kerusakan dari jaringan

lunak juga dapat menyebabkan dislokasi dari komponen komponen anatomi

yang pada akhirnya menyebabkan instabilitas. Fraktur dan dislokasi dapat

terjadi secara bersamaan.

Terdapat lima prinsip-prinsip utama penatalaksanaan trauma spinal yaitu:

immobilisasi, stabilisasi medis, mempertahankan posisi normal vertebrae,

dokempresi dan stabilisasi spinal, serta rehabilitasi. (Hanafiah, 2007)

1. Immobilisasi

Tindakan immobilisasi harus sudah dimulai dari tempat

kejadian/kecelakaan sampai ke unit gawat darurat.. Yang pertama

ialah immobilisasi dan stabilkan leher dalam posisi normal; dengan

menggunakan ’cervical collar’. Cegah agar leher tidak terputar

(rotation). Baringkan penderita dalam posisi terlentang (supine)

pada tempat/alas yang keras. Pasien diangkat/dibawa dengan cara ‖4

men lift‖ atau menggunakan ’Robinson’s orthopaedic stretcher’

2. Stabilisasi Medis

26
Terutama pada penderita tetraparesis/etraplegia.

a. Periksa vital signs

b. Pasang ’nasogastric tube’

c. Pasang kateter urin

d. Segera normalkan ’vital signs’. Pertahankan tekanan darah

yang normal dan perfusi jaringan yang baik. Berikan

oksigen, monitor produksi urin, bila perlu monitor BGA

(analisa gas darah), dan periksa apa ada neurogenic shock.

Pemberian megadose Methyl Prednisolone Sodium

Succinate dalam kurun waktu 6 jam setaleh kecelakaan dapat

memperbaiki konntusio medula spinalis.

3. Mempertahankan posisi normal vertebra (‖Spinal Alignment‖)

Bila terdapat fraktur servikal dilakukan traksi dengan

Cruthfield tong atau Gardner- Wells tong dengan beban 2.5 kg

perdiskus. Bila terjadi dislokasi traksi diberikan dengan beban yang

lebih ringan, beban ditambah setiap 15 menit sampai terjadi reduksi.

4. Dekompresi dan Stabilisasi Spinal

Bila terjadi ’realignment’ artinya terjadi dekompresi. Bila

’realignment’ dengan cara tertutup ini gagal maka dilakukan ’open

reduction’ dan stabilisasi dengan ’approach’ anterior atau posterior.

5. Rehabilitasi.

Rehabilitasi fisik harus dikerjakan sedini mungkin.

Termasuk dalam program ini adalah ’bladder training’, ’bowel

training’, latihan otot pernafasan, pencapaian optimal fungsi –

27
fungsi neurologik dan program kursi roda bagi penderita

paraparesis/paraplegia.

Hal-hal yang harus diperhatikan pada kasus trauma spinal adalah sebagai

berikut:

1. Penanganan trauma spinal telah dimulai sejak di tempat kejadian.

2. Proteksi terhadap ’cervical spine’ merupakan hal yang sangat

penting

3. Mobilisasi penderita ke rumah sakit harus dilaksanakan dengan cara

yang benar.

4. Penatalaksanaan trauma spinal harus menurut prinsip-prinsip baku

yang telah dianut.

5. Tindakan operasi dan instrumentasi banyak menolong penderita dari

cacat neurologik yang berat. (Hanafiah, 2007)

28
Gambar 2.7 Algoritma Spinal Cord Injury menurut U.S. National Library

of Medicine, National Institute of Health.

i. lakukan pengkajian terhadap faktor risiko adanya spinal cord injury,

yaitu

a. terdapat luka tusuk dan tembak

29
b. terdapat luka terbuka/ langsung pada wajah, leher, atau

punggung

(misal karena kecelakaan)

c. kecelakaan saat menyelam

d. sengatan listrik

e. putaran yang ekstrim pada tulang belakang

f. cedera olahraga (mendarat di kepala)

g. pukulan yang kuat dan besar pada kepala atau dada

(kecelakaan mobil, jatuh dari ketinggian)

ii. jika tidak: mulailah untuk memberi pendidikan kesehatan

a. Anjurkan untuk melakukan tindakan safety precautions:

memakai helm, seatbelts, menghindari prilaku berisiko.

b. Mencegah faktor risiko: mengindari mabuk saat mengemudi,

penyalagunaan alcohol dan obat-obatan terlarang, bahaya

industry, berenang dikolam dangkal atau sedikit air tanpa

diketahui, berada ditempat tak berpagar. iii. jika iya: kaji

adanya

a. posisi kepala yang tidak seperti biasa (abnormal)

b. mati rasa atau kesemutan yang menjalar ke bawah lengan atau

kaki

c. kelemahan

d. kesulitan berjalan

e. paralisis lengan atau kaki

f. tidak ada control baldder dan bowel

30
g. syok: pucat, kulit lembab, dimgin, bibir dan kuku kebiruan,

bertindak kebingungan, atau setengah sadar

h. tidak sadar

i. kaku leher, sakit kepala, sakit leher

iv. Diagnose ditegakkan, bahwa terdapat spinal cord injury. Buat

perencanaan tindakan mengenai perkembangan dan persyaratan

untuk rehabilitasi; diskusikan mengenai prosedur diagnostic,

pemeriksaan radiologis. Pantau adanya tanda gejala dari

komplikasi: autonomic disreflexia, neurogenic syok. Diskusikan

menganai medikasi: steroid, atropine, vasopressor. Pastikan untuk

membuat strategi untuk mencegah terjadinya komplikasi akibat

immobilisasi

v. Lalu kaji apakah pasien berpotensi unstable. Jika iya, buat rencana

perawatan mengenai potensial komplikasi: nurogenik syok.

Autonomic disreflexia, spinal syok; rencana perawatan untuk

hipoventilasi, pneumonia, sepsis, fraktur, neurogenic bladder,

konstipasi, ileus pain, disuse syndrome.

2.9 Komplikasi

1. Perubahan tekanan darah yang ekstrim

(autonomic hyperreflexia)

2. Chronic kidney disease 3. Komplikasi dari

immobilisasi:

Deep vein thrombosis

31
Lung infections

Skin breakdown

Muscle contractures

4. Increased risk of injury to numb areas of the body

5. Peningkatan risiko urinary tract infections

6. Kehilangan control bladder

7. Kehilangan control bowel

8. Loss of feeling

9. Kehilangan fungsi seksual (male impotence)

10. Muscle spasticity

11. Nyeri

12. Paralysis dari otot pernafasan

13. Paralysis (paraplegia, quadriplegia)

14. Pressure sores

15. Shock (Bhimji, 2014)

2.10 Prognosis

1. Sumsum tulang belakang memiliki kekuatan regenerasi.yang sangat

terbatas

2. Pasien dengan complete cord injury memiliki kesempatan recovery

yang sangat rendah, terutama jika paralysis berlangsung selama

lebih dari 72 jam.

3. Prognosis jauh lebih baik untuk incomplete cord syndromes

32
4. Prognosis untuk cervical spine fractures and dislocations sangat

bervariasi, tergantung pada tingkat kecacatan neurologis.

5. Prognosis untuk defisit neurologis tergantung pada besarnya

kerusakan saraf tulang belakang pada saat onset.

6. Selain disfungsi neurologis, prognosis juga ditentukan oleh

pencegahan dan keefektifan pengobatan infeksi - misalnya,

pneumonia, dan infeksi saluran kemih.

7. Secara umum, sebagian besar individu mendapatkan kembali

beberapa fungsi motorik, terutama dalam enam bulan pertama,

meskipun mungkin ada perbaikan lebih lanjut yang perlu diamati

diamati di tahun akan dating. (Tidy, 2014)

33
BAB 3

ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 Kasus Trauma Medula Spinalis

Tn. G, usia 28 tahun dibawa oleh polisi ke IRD RSUD Dr. Soetomo

setelah mengalami kecelakaan kerja, Tn. G jatuh dari ketinggian 10 m.

Selama perjalanan menuju rumah sakit Tn. G mengeluh tidak bisa

menggerakkan tangan serta tungkainya, Tn. G terlihat sulit bernapas,

napas pendek . RR 29 x/menit, TD 90/60mmHg, Nadi 60x/ menit, GCS:

2-4-1, skala nyeri 9. Dari hasil pemeriksaan nadi lemah, tekanan darah

menurun, kesadaran menurun, urine keluar menetes, kandung kemih

terisi penuh, . Dari hasil CT Scan terjadi dislokasi C 4.

3.2 Primary Survey

1. Airway

Assessment :

1. Perhatikan patensi

airway :Paten 2. Dengar

suara napas: vesikuler

Management :

1. Inspeksi orofaring secara cepat dan menyeluruh, bila diduga

terjadi fraktur servikal maka lakukan jaw thrust, hilangkan

benda yang menghalangi jalan napas

34
2. Immobilisasi stabilkan leher dalam posisi normal kalau ada

pasang collar-neck untuk mencegah parahnya fraktur

servikal

3. Mempertahankan posisi normal vertebra (‖Spinal

Alignment‖)

1. Breathing

Assesment

1. Periksa frekwensi napas : 29x/menit.

2. Perhatikan gerakan respirasi:asimetris dan dada tidak terlalu

mengembang

3. Auskultasi dan dengarkan bunyi napas: bunyi nafas

vesikuler Management:

Lakukan bantuan ventilasi atau pasang ventilator

2. Circulation

Assesment

1. Periksa frekwensi denyut jantung dan denyut nadi:

60x/menit.

2. Periksa tekanan darah: 90/60 mmHg.

3. Pemeriksaan pulse oxymetri

4. Periksa vena leher dan warna kulit (adanya sianosis)

5. Periksa keluaran urine

Management

1.Resusitasi cairan dengan memasang iv lines

35
2.Pasang kateter untuk mengetahui haluaran urine dan

untuk mencegah refluks urine karena kelumpuhan otot 3.

Disability

Assessment
Respon : Alert
Kesadaran : Compos Mentis
GCS : 241
Pupil : Isokor
Refleks Cahaya : Ada
Keluhan Lain : Nyeri
Management : Lakukan monitoring kesadaran dan kerusakan

syaraf pusat

4. Exposure

Assessment
Deformitas : Tidak
Contisio : Tidak
Abrasi : Tidak
Laserasi : Tidak
Edema : Tidak
Jejas : Terdapat jejas pada leher
Keluhan Lain : Nyeri
Management : Lakukan management nyeri

3.3 Pengkajian

1. Umur pasien: 28 tahun

2. Alergi terhadap obat, makanan tertentu: tidak ada

3. Pengobatan terakhir: tidak ada

4. Pengalaman pembedahan: tidak ada

5. Riwayat penyakit dahulu: tidak ada

36
6. Riwayat penyakit sekarang: Tn. G dibawa ke rumah sakit setelah

mengalami kecelakaan kerja, jatuh dari ketinggian 10 m, selama

perjalanan px mengeluh nyeri dan tidak bisa menggerakkan tungkai

dan tangannya.

7. Keluhan: Nyeri (+), susah bernafas (+)

3.4 Pemeriksaan Fisik

B 1(Sistem pernapasan)RR : 29 x/menit, napas pendek, kesulitan

bernapas, dan terdapat kelemahan otot pernafasan

B 2 (sistem kardiovaskuler): Brakikardi ( N: 60x/menit), TD 90/60

mmHg

B 3 (sistem peersyarafan): GCS 2-4-1

B 4 (sistem perkemihan): palpasi kandung kemih penuh, urine keluar

menetes B 5 (sistem pencernaan):-

B 6 (sistem muskuloskeletal): terdapat jejas dibagian leher, dan

kelumpuhan pada seluruh badan

3.5 Analisa Data

No Data Etiologi Masalah keperawatan

1 DS: pasien Kecelakaan kerja Pola nafas tidak efektif

mengatakan

kesulitan
Dislokasi C 4
bernapas.

DO: RR 29

37
x/mnt, napas Disfungsi C4

pendek, cepat

Gangguan pada otot

diafragma

Pola nafas tidak efektif

2 DS: paien Kecelakaan kerja Hambatan mobilitas fisik

mengatakan

tangan dan
Dislokasi C4
tungkai tidak

bisa digerakkan

DO: tungkai dan Disfungsi C 4

tangan tidak bisa

digerakkan
Kerusakan fungsi motorik

Hambatan mobilitas fisik


3 DS: pasien Kecelakaan kerja Nyeri akut

mengeluh nyeri

pada belakang
Dislokasi C 4
leher

38
DO: pasien
terlihat kesakitan
, skala nyeri 8 Kompresi saraf

Respon nyeri

Nyeri akut

4 DS: Px Kecelakaan kerja Perubahan pola eliminasi


mengatakan urin
urine keluar
menetes Kelumpuhan saraf
perkemihan
DO: nyeri tekan
pada abdomen
bawah dan
keinginan Kandung kemih terasa
kencing saat penuh
palpasi.

Otot detrusor tidak


bereaksi

Perubahan pola eliminasi


urin

3.6 Diagnosa Keperawatan

1. Ketidakefektifan pola nafas yang berhubungan dengan kelemahan

otot diafragma

2. Hambatan mobilitas fisik yang berhubungan dengan kerusakan

fungsi motorik

3. Nyeri akut yang berhubungan dengan kompresi saraf

39
4. Perubahan pola eliminasi urine yang berhubungan dengan

kelumpuhan saraf perkemihan

3.7 Intervensi Keperawatan

Diagnosa Keperawatan : Ketidakefektifan Pola Nafas b.d gangguan persarafan pada

kontrol gerak diafragma, kehilangan fungsi otot interkosta

komplit/sebagian.
Tujuan : Dalam waktu 1x24 jam pasien akan menunjukkan pola nafas efektif yang

ditandai dengan :

RR dalam rentang normal

Kriteria hasil : Pemeliharaan ventilasi yang memadai yang dibuktikan dengan tidak

adanya gangguan pernapasan dan hasil dari BGA dalam batas yang dapat

normal. Menunjukkan perilaku yang sesuai untuk mendukung upaya

pernafasan

Intervensi Keperawatan Rasional


Kelola oksigen dengan metode Metode ditentukan oleh tingkat cedera, tingkat

yang sesuai, misal ventilator, insufisiensi respirasi, dan jumlah pemulihan fungsi

masker, nasal kanul, intubasi. otot pernapasan setelah fase syok spinal.
Berikan oksigen masker 3lpm Menyediakan supply oksigen yang adekuat,

meminimalkan resiko kelelahan, dan

mencegah terjadinya ARDS.

40
Memelihara kepatenan jalan nafas: Pasien dengan cedera leher rahim tinggi dan

menjaga kepala dalam posisi yang gangguan muntah / batuk refleks akanmemerlu kan

tepat yaitu mempertahankan posisi bantuan dalam

normal vertebra (‖Spinal mencegah aspirasi / mempertahankan jalan napas

Alignment‖). paten
Memeriksa serangan tiba-tiba dari Perkembangan emboli paru dapat ―silent‖ karena

dispnea, sianosis dan/atau tanda lain persepsi nyeri mengalami perubahan dan/atau

yang mengarah pada distress thrombosis vena dalam tidak mudah dikenali.

pernafasan.
Auskultasi bunyi nafas. Catat area Hiperventilasi secara umum dapat menyebabkan

dimana terjadi perubahan suara akumulasi sekret, atelektasis dan pneumonia

nafas (komplikasi yang sering terjadi)


Kaji warna kulit dari sianosi, Dapat menunjukkan kegagalan pernafasan,

kehitam-hitaman membutuhkan segera evaluasi pengobatan dan

intervensi.
Latih otot pernafasan pasien, Untuk mengoptimalkan fungsi pernafasan pasien,
dengan cara pengaturan dari fungsi dan untuk meningkatkan kekuatan otot pernafasan

ventilator yang dipasang atau pasien.

metode weaninguntuk pasien yang

dipasang ventilator.

Diagnosa Keperawatan : Nyeri akut b.d kompresi saraf


Tujuan : dalam waktu 1x24 jam pasien memperlihatkan penurunan rasa nyeri

Kriteria hasil : pasien melaporkan penurunan rasa nyeri, mengidentifikasi cara-cara

mengatasi nyeri, pasien bisa mendemontrasikan teknik relaksasi da distraksi

Intervensi Keperawatan Rasional


Jelaskan dan bantu klien dengan tindakan Pendekatan dengan menggunakan relaksasi

41
pereda nyeri nonfarmakologi dan non dan nonfarmakologi lainnya telah

invasif. Seperti pereda nyeri golongan 1 menunjukkan keefektifan dalam mengurangi

yaitu morphinatau petidhin nyeri


Ajarkan Relaksasi : Tehnik-tehnik untuk Akan melancarkan peredaran darah,

menurunkan ketegangan otot rangka, yang sehingga kebutuhan O2 oleh jaringan akan

dapat menurunkan intensitas nyeri dan terpenuhi, sehingga akan mengurangi

juga tingkatkan relaksasi masase. nyerinya.


Ajarkan metode distraksi selama nyeri Mengalihkan perhatian nyerinya ke hal-hal

akut. yang menyenangkan

Kolaborasi denmgan dokter, pemberian Analgetik memblok lintasan nyeri, sehingga

analgetik. nyeri akan berkurang.


Observasi tingkat nyeri, dan respon Pengkajian yang optimal akan memberikan

motorik klien, 30 menit setelah pemberian perawat data yang obyektif untuk mencegah

obat analgetik untuk mengkaji kemungkinan komplikasi dan melakukan

efektivitasnya. Serta setiap 1 - 2 jam intervensi yang tepat.

setelah tindakan perawatan selama 1 - 2

hari.

Diagnosa Keperawatan : perubahan pola eliminasi urine yang berhubungan dengan

kelumpuhan otot perkemihan


Tujuan : dalam waktu 2x24 jam pola eliminasi optimal sesuai keadaan normal

Kriteria hasil : produksi urine 50 cc/jam, klien dapat melakukan eliminasi urin dengan atau

tanpa pemasangan urine


Intervensi Keperawatan Rasional
Kaji pola berkemih, dan catat setiap 6 jam Untuk mengetahui fungsi ginjal

sekali

42
Palpasi adanya distensi kandung kemih, Menilai perubahan akibat dari inkontinensia

dan observasi pengeluaran urine urine


Anjurkan klien minum 2000 cc/hari Membantu mempertahankan fungsi ginjal

Pasang well kateter Membantu proses pengeluaran urine

Lakukan bladder training Membantu meningkatkan kemampuan pola

eliminasi urin.

Diagnosa Keperawatan : Gangguan mobilitas fisik b.d. kerusakan fungsi motorik


Tujuan : Gangguan mobilitas dapat diminimalkan.

Kriteria hasil : Mempertahankan posisi fungsi yang dibuktikan dengan tidak adanya

kontraktur, footdrop. Meningkatkan kekuatan tidak

terpengaruh/kompensasi bagian tubuh. Menunjukkan teknik/perilaku yang

memungkinkan dimulainya kembali kegiatan.


Intervensi Keperawatan Rasional
Kaji fungsi motorik secara berkala Evaluasi status situasi individu (gangguan

sensorik-motorik) untuk tingkatan spesifik

cedera dan memilih intervensi.


Menjaga pergelangan kaki 90o dengan Mencegah footdrop dan rotasi eksternal

papan kaki. Gunakan trochanter rolls pangkal paha.

sepanjang paha saat di ranjang.


Ukur dan pantau tekanan darah pada fase Hipotensi orthostatic dapat terjadi sebagai

akut atau hingga stabil. Ubah posisi secara hasil dari penyatuan vena (sekunder untuk

perlahan. kehilangan tonus pembuluh darah).


Inspeksi kulit setiap hari. Kaji terhadap Perubahan sirkulasi, kehilangan sensai, dan

area yang tertekan, dan memberikan paralisis memungkinkan pembentukan

perawatan kulit secara teliti. tekanan sakit. Ini merupakan pertimbangan

seumur hidup
Membantu/mendorong pulmonary hygiene Imobilisasi/bedrest meningkatkan resiko

43
seperti nafas dalam, batuk, suction
infeksi pulmonal.

Kaji dari kemerahan,bengkak/ketegangan Dalam presentasi tinggi pasien dengan cedera

otot jaringan betis. medulla spinal, thrombus berkembang karena

sirkulasi perifer berubah, imobilisasi, dan

paralisis lemah

44
BAB 4

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Cedera medula spinalis adalah cedera yang mengenai servikalis

vertebralis dan lumbali akibat dari suatu trauma yang mengenai tulang

belakang. Trauma medulla spinalis adalah suatu kerusakan fungsi

neurologis yang disebabkan sering kali oleh kecelakaan lalu lintas. Gejala

yang ditimbulkan bervariasi tergantung pada lokasi cedera. Cedera tulang

belakang menyebabkan kelemahan dan hilangnya rasa (lumpuh) pada

lokasi cidera dan pada area bawahnya. Klasifikasi dari trauma medula

spinalis dibedakan menjadi 2 yaitu komplet (kehilangan sensasi dan fungsi

motorik total) dan tidak komplet (kehilangan dari salah satu fungsi sensori

dan fungsi motorik).

4.2 Saran

Setelah anda mengetahui dampak dari trauma medula spinalis maka

penting bagi kita untuk mengetahui cara menangani atau mencegah cedera

medula spinalis agar tidak terjadi trauma yang lebih fatal atau parah lagi.

Untuk kedepannya apabila terdapat korban kecelakaan di jalan maka kita

sebagai tenaga kesehatan harus tahu cara yang benar dalam penanganan

gawat darurat sebagai pencegahan terhadap trauma medula spinalis.

45
DAFTAR PUSTAKA

Batticaca, B Fransisca. 2008. Asuhan Keperawatan Pasien dengan Gangguan

Sistem Persyarafan. Jakarta: Salemba Medika

Bernhard et all, 2005. Spinal cord injury (SCI)—Prehospital management.

Journal Elsevier Resuscitation 66 (2005) 127–139.

Bhimji, S. 2014. Spinal cord trauma. U.S. National Library of Medicine

U.S.

Department of Health and Human Services National Institutes of

Health. A.D.A.M., Inc

B.K. Kwon et al. / The Spine Journal 4 (2004) 451–464. Pathophysiology

and pharmacologic treatment of acute spinal cord injury.

Brunner & Suddath. 2001. Keperawatan Medikal Bedah edisi 8 volume 2.

Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran

Care of Patients With Head and Spinal Cord Injuries. chapter 22.

http://evolve.elsevier.com/deWit halaman 549-557

Carpenito, Lynda Jual. 2009. Diagnosa Keperawatan: Aplikasi pada Praktik

Klinik, Ed. 9. Jakarta: EGC

Chin, L. S. 2013. Spinal Cord Injuries. American Association of

Neurological Surgeons WebMD LLC

Doengoes, E Marilyn. 1999. Rencana Keperawatan: pedoman untuk

perencanaan dan pendokumentasian perawatan pasien edisi 3. Jakarta:

EGC

46
Domeier et al/ 2005. Prehospital clinical findings associated with spinal

injury. Prehospital Emerge Care ;1:11–5. Journal Elsevier

Hanafiah, H. 2007. Penatalaksanaan Trauma Spinal. Majalah Kedokteran

Nusantara Volume 40 No. 2 Juni 2007. Medan

McDonald, John W, & Cristina Sadowsky. THE LANCET • Vol 359 •

February 2, 2002. Spinal-cord injury

Rowland. 2008.. Neurosurgery Focus. American Association of

Neurological

Surgeons 2008;25(5):E2 WebMD LLC

Sherwood, Lauralee.2001.Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem, edisi

kedua.

Jakarta : EGC

Tidy, C. 2014. Spinal Cord Injury and Compression. EMIS Egton Medical

Information System www.patient.co.uk/doctor/spinal-cord-injury-

and-compression.

Tambayong, J. 2000. Patofisiologi untuk keperawatan. Jakarta: Penerbit

Buku Kedokteran EGC

Thumbikat, et al. 2009. Acute spinal cord injury. Orthopaedics II: spine and

pelvis. SURGERY 27:7 282 © Elsevier Ltd. All rights reserved.

Urden, Linda D., Mary E. Lough. 2013. Critical Care Nursing - Diagnosis

and

Management. Elsevier - Health Sciences Division

47
White, James P, & Pradeep Thumbikat. 2012. Orthopaedics Ii: Spine And

Pelvis.

Surgery 30:7 326 _ 2012 Elsevier Ltd. All Rights Reserved..

48

Anda mungkin juga menyukai