Anda di halaman 1dari 28

Amir Hamzah

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Loncat ke navigasiLoncat ke pencarian

Amir Hamzah

Amir Hamzah portrait edit.jpg

Lahir Tengkoe Amir

28 Februari 1911

Bendera Belanda Tanjung Pura, Langkat, Sumatra Timur, Hindia Belanda

Meninggal 20 Maret 1946 (umur 35)

Bendera Indonesia Kwala Begumit, Binjai, Langkat, Indonesia

Makam Masjid Azizi, Tanjung Pura, Langkat, Sumatra Timur, Indonesia

Pekerjaan Sastrawan, Penyair, Pejabat Pemerintahan Daerah

Bahasa Indonesia

Melayu

Kebangsaan Indonesia

Aliran sastra Simbolisme

Tema Cinta, Agama

Karya terkenal Boeah Rindoe (1937)

Njanji Soenji (1941)

Pasangan Tengkoe Poeteri Kamiliah

Anak Tengkoe Tahoera

Tengkoe Amir Hamzah yang bernama lengkap Tengkoe Amir Hamzah Pangeran Indra Poetera, atau
lebih dikenal hanya dengan nama pena Amir Hamzah (lahir di Tanjung Pura, Langkat, Sumatra Timur,
Hindia Belanda, 28 Februari 1911 – meninggal di Kwala Begumit, Binjai, Langkat, Indonesia, 20 Maret
1946 pada umur 35 tahun) [a] adalah sastrawan Indonesia angkatan Poedjangga Baroe dan
Pahlawan Nasional Indonesia. Lahir dari keluarga bangsawan Melayu Kesultanan Langkat di Sumatra
Utara, ia dididik di Sumatra dan Jawa. Saat berguru di SMA di Surakarta sekitar 1930, Amir muda
terlibat dengan gerakan nasionalis dan jatuh cinta dengan seorang teman sekolahnya, Ilik Soendari.
Bahkan setelah Amir melanjutkan studinya di sekolah hukum di Batavia (sekarang Jakarta) keduanya
tetap dekat, hanya berpisah pada tahun 1937 ketika Amir dipanggil kembali ke Sumatra untuk
menikahi putri sultan dan mengambil tanggung jawab di lingkungan keraton. Meskipun tidak
bahagia dengan pernikahannya, dia memenuhi tugas kekeratonannya. Setelah Indonesia
memproklamasikan kemerdekaannya pada tahun 1945, ia menjabat sebagai wakil pemerintah di
Langkat. Namun siapa nyana, pada tahun pertama negara Indonesia yang baru lahir, ia meninggal
dalam peristiwa konflik sosial berdarah di Sumatra yang disulut oleh faksi dari Partai Komunis
Indonesia dan dimakamkan di sebuah kuburan massal.
Amir mulai menulis puisi saat masih remaja: meskipun karya-karyanya tidak bertanggal, yang paling
awal diperkirakan telah ditulis ketika ia pertama kali melakukan perjalanan ke Jawa.
Menggambarkan pengaruh dari budaya Melayu aslinya, Islam, Kekristenan, dan Sastra Timur, Amir
menulis 50 puisi, 18 buah puisi prosa, dan berbagai karya lainnya, termasuk beberapa terjemahan.
Pada tahun 1932 ia turut mendirikan majalah sastra Poedjangga Baroe. Setelah kembali ke Sumatra,
ia berhenti menulis. Sebagian besar puisi-puisinya diterbitkan dalam dua koleksi, Njanji Soenji (EYD:
"Nyanyi Sunyi", 1937) dan Boeah Rindoe (EYD: "Buah Rindu", 1941), awalnya dalam Poedjangga
Baroe, kemudian sebagai buku yang diterbitkan.

Puisi-puisi Amir sarat dengan tema cinta dan agama, dan puisinya sering mencerminkan konflik batin
yang mendalam. Diksi pilihannya yang menggunakan kata-kata bahasa Melayu dan bahasa Jawa dan
memperluas struktur tradisional, dipengaruhi oleh kebutuhan untuk ritme dan metrum, serta
simbolisme yang berhubungan dengan istilah-istilah tertentu. Karya-karya awalnya berhubungan
dengan rasa rindu dan cinta, baik erotis dan ideal, sedangkan karya-karyanya selanjutnya
mempunyai makna yang lebih religius. Dari dua koleksinya, Nyanyi Sunyi umumnya dianggap lebih
maju. Untuk puisi-puisinya, Amir telah disebut sebagai "Raja Penyair Zaman Poedjangga Baroe"
(EYD:"Raja Penyair Zaman Pujangga Baru") dan satu-satunya penyair Indonesia berkelas
internasional dari era pra-Revolusi Nasional Indonesia.[1]

Daftar isi

1 Riwayat hidup

1.1 Masa kecil

1.2 Belajar di Jawa

1.3 Kembali ke Langkat

1.4 Pasca-kemerdekaan dan kematian

2 Pengaruh

3 Karya sastra

3.1 Njanji Soenji

3.2 Boeah Rindoe

4 Gaya penulisan

5 Penghargaan dan pengakuan umum

6 Referensi

7 Catatan kaki

8 Bacaan lanjutan
9 Pranala luar

Riwayat hidup

Masa kecil

Amir lahir dengan nama Tengkoe Amir di Tanjung Pura, Langkat, Sumatra Utara, putra bungsu dari
Wakil Sultan Tengkoe Moehammad Adil dan istri ketiganya, Tengkoe Mahdjiwa. Tengkoe
Moehammad Adil merupakan Wakil Sultan untuk Luhak Langkat Hulu yang berkedudukan di Binjai.
Berdasarkan silsilah keluarga istana Kesultanan Langkat, Amir Hamzah adalah generasi ke-10 dari
Sultan Langkat. Melalui ayahnya, ia terkait dengan Sultan Langkat kala itu, Machmoed. Kepastian
tanggal lahir Amir diperdebatkan, tanggal resmi yang diakui oleh pemerintah Indonesia adalah 28
Februari 1911, tanggal yang digunakan Amir sepanjang hidupnya. Namun kakaknya, Abdoellah Hod
menyatakan bahwa Amir lahir pada tanggal 11 Februari 1911. Amir kemudian mengambil nama
kakeknya, Tengkoe Hamzah, sebagai nama keduanya; sehingga ia disebut sebagai Amir Hamzah.
Meskipun seorang anak bangsawan, dia sering bergaul dalam lingkungan non-bangsawan.[2] Amir
Hamzah menghabiskan masa kecil di kampung halamannya. Oleh teman sepermainannya, Amir kecil
biasa dipanggil dengan sebutan "Tengku Busu" ("tengku yang bungsu"). Said Hoesny, sahabat Amir
pada masa kecilnya menggambarkan bahwa Amir adalah anak manis yang menjadi kesayangan
semua orang.

Diketahui bahwa Amir dididik dalam prinsip-prinsip Islam, seperti mengaji, fikih, dan tauhid, dan
belajar di Masjid Azizi di Tanjung Pura dari usia muda.[3] Dia tetap seorang Muslim yang taat
sepanjang hidupnya. Periode di mana ia menyelesaikan studi formal juga diperdebatkan. Beberapa
sumber, termasuk pusat bahasa pemerintah Indonesia, menyatakan bahwa ia mulai bersekolah pada
tahun 1916,[4] sementara biografer M. Lah Husny menulis bahwa tahun pertama sekolah formal
penyair ini adalah pada tahun 1918.[5] Di sekolah dasar berbahasa Belanda di mana Amir pertama
kali belajar, ia mulai menulis[6] dan mendapat penilaian-penilaian yang bagus; [7] dalam biografi
yang ditulisnya tentang Amir, penulis Nh. Dini menulis bahwa Amir dijuluki "abang" oleh teman-
teman sekelasnya karena ia jauh lebih tinggi daripada mereka.[3]

Pada tahun 1924[8]atau 1925,[9] Amir lulus dari sekolah dasarnya di Langkat dan pindah ke Medan
untuk belajar di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO, sekolah menengah pertama) di sana.[10]
Setelah menyelesaikan studinya sekitar dua tahun kemudian, ia memasuki hubungan formal dengan
sepupunya dari pihak ibunya, Aja[b] Bun.[11] Husny menulis bahwa keduanya sengaja dipertemukan
dan dijodohkan untuk menikah oleh orang tua mereka,[12] namun Dini menganggap hubungan
tersebut sebagai sumpah untuk menjadi selalu setia.[13] Karena orang tuanya mengizinkannya untuk
menyelesaikan studinya di Jawa, Amir kemudian pergi ke ibu kota kolonial Hindia Belanda di Batavia
(sekarang Jakarta) untuk menyelesaikan studinya.[12]

Belajar di Jawa

Amir pergi ke Pulau Jawa sendirian, dalam perjalanan di laut selama tiga hari di kapal Plancus.[14]
[15] Setelah tiba di Batavia, ia masuk di Christelijk MULO Menjangan, di mana ia menyelesaikan
tahun SMP terakhirnya.[12] Anthony H. Johns dari Australian National University menulis bahwa di
sekolah ini Amir mempelajari beberapa konsep dan nilai-nilai Kekristenan.[16] Di Batavia, Amir juga
terlibat dalam organisasi sosial Jong Sumatra.[17] Saat periode ini pemuda Amir menulis puisi
pertamanya. Husny menulis bahwa Amir patah hati setelah menemukan Aja Bun telah menikah
dengan pria lain tanpa sepengetahuan Amir (mereka berdua tidak pernah berbicara lagi),[18]
sementara Dini berpendapat bahwa puisi "Tinggallah " ditulis tidak lama setelah Amir naik kapal
Plancus, saat ia sangat rindu dengan ayah bundanya.[19]

Armijn Pane

Sutan Takdir Alisjahbana

Amir mendirikan Poedjangga Baroe dengan Armijn Pane (atas) dan Sutan Takdir Alisjahbana.

Setelah menyelesaikan sekolah menengah dan kepulangan singkat ke Sumatra, Amir melanjutkan
sekolahnya ke Algemene Middelbare School (AMS, sekolah menengah atas) yang dioperasikan Boedi
Oetomo di Surakarta, Jawa Tengah, di mana ia mempelajari Sastra Timur dan bahasa, termasuk
bahasa Jawa, Sanskerta, dan Arab.[20] Lebih suka menyendiri ketimbang hiruk-pikuknya asrama,
Amir lebih memilih menyewa kamar di sebuah rumah pribadi yang dimiliki oleh residen Surakarta.
[21] Kemudian ia bertemu dengan beberapa orang yang kelak menjadi penulis, termasuk Armijn
Pane dan Achdiat Karta Mihardja;[22] mereka segera menemukan bahwa Amir adalah seorang
pelajar yang ramah, rajin, dan dengan catatan lengkap dan kamar tidur bersih (selimut dilipat
dengan baik, Mihardja kemudian bercerita, bahwa "... lalat jang kesasar akan dapat tergelintjir
atasnja"), tetapi juga seorang romantis; cenderung berpikir sedih di bawah cahaya lampu dan
mengisolasi diri dari teman-teman sekelasnya.[23]

Di Surakarta Amir bergabung dengan gerakan nasionalis. Dia akan bertemu dengan sesama perantau
dari Sumatra dan mendiskusikan masalah sosial rakyat Melayu Nusantara di bawah kekuasaan
kolonial Belanda. Meskipun pemuda berpendidikan kala itu pada umumnya lebih memilih berbicara
menggunakan bahasa Belanda, dia bersikeras bercakap dengan bahasa Melayu.[24] Tahun 1930
Amir menjadi kepala cabang dari Indonesia Moeda di Surakarta, menyampaikan pidatonya dalam
Kongres Pemuda 1930 dan mengabdi sebagai editor majalah organisasi itu, "Garoeda Merapi".[25]
Di sekolah dia kemudian bertemu dan jatuh cinta dengan Ilik Soendari, seorang gadis Jawa yang
hampir seusia dengannya.[26] Soendari, putri Raden Mas Koesoemodihardjo, adalah salah satu dari
sedikit siswa perempuan di sekolah tersebut, dan rumahnya berada di dekat salah satu yang pernah
ditinggali Amir. Menurut Dini, keduanya semakin dekat, Amir mengajari Soendari bahasa Arab, dan
Soendari mengajarinya bahasa Jawa.[27] Mereka segera bertemu setiap hari, bercakap-cakap
tentang berbagai topik.[28]

Ibunda Amir meninggal pada tahun 1931, dan ayahnya setahun setelahnya; pendidikan Amir pun
tidak bisa dibiayai lagi. Setelah studi AMS-nya rampung, ia ingin terus belajar di sekolah hukum di
Batavia. Karena itu, ia menulis kepada saudaranya, Jakfar yang mengatur agar biaya sisa studinya
dibayar oleh Sultan Langkat. Pada tahun 1932 Amir mampu kembali ke Batavia dan memulai studi
hukumnya,[29] mengambil pekerjaan paruh waktu sebagai guru.[30] Pada awalnya, hubungannya
dengan Soendari dilanjutkan melalui surat, meskipun Soendari segera melanjutkan studinya di
Lembang, sebuah kota yang jauh lebih dekat jaraknya ke Batavia daripada Surakarta, hal ini
memungkinkan keduanya untuk bertemu diam-diam[31] – ketika orang tua Soendari mengetahui
hubungan mereka, Amir dan Soendari pun dilarang untuk bertemu.[32]
Tahun tersebut, dua puisi pertama Amir, "Soenji" (EYD":"Sunyi") dan "Maboek ..." (EYD:"Mabuk"),
diterbitkan dalam edisi Maret majalah Timboel. Delapan karyanya yang lain dipublikasikan tahun itu,
termasuk sebuah syair berdasarkan Hikayat Hang Tuah,[33] tiga puisi lainnya, dua potong puisi
prosa, dan dua cerita pendek; puisi itu kembali diterbitkan dalam Timboel, sementara prosa tersebut
terbit dalam majalah Pandji Poestaka.[34] Sekitar September 1932 Armijn Pane, atas dorongan dari
Sutan Takdir Alisjahbana, editor rubrik "Memadjoekan Sastera " (EYD:"Memajukan Sastra ", rubrik
sastra Pandji Poestaka), mengundang Amir untuk membantu mereka mendirikan majalah sastra
independen.[35] Amir menerima, dan ditugasi menulis surat untuk meminta kiriman tulisan.[35]
Sejumlah lima puluh surat dikirimkan Amir kepada penulis-penulis yang sudah dikenal kala itu,
termasuk empat puluh dikirimkan ke para kontributor "Memadjoekan Sastera".[36] Setelah
beberapa bulan persiapan, edisi awal diterbitkan pada bulan Juli tahun 1933,[37] dengan judul
Poedjangga Baroe. Majalah baru ini ada di bawah kendali editorial Armijn dan Alisjahbana,[38]
sementara Amir menerbitkan hampir semua tulisan-tulisannya yang berikutnya di sana.[34]

Pada pertengahan 1933 Amir dipanggil kembali ke Langkat, di mana Sultan Langkat memberitahukan
dua syarat yang harus Amir penuhi untuk melanjutkan studinya, yaitu menjadi siswa yang rajin, dan
meninggalkan gerakan kemerdekaan Indonesia.[39] Meskipun menghadapi penolakan Sultan
Langkat, Amir menjadi terlibat lebih jauh dalam gerakan nasionalis, membawa dia ke bawah
pengawasan Belanda yang semakin meningkat.[40] Ia terus melanjutkan untuk menerbitkan
karyanya dalam Poedjangga Baroe, termasuk serangkaian lima artikel tentang Sastra Timur dari
bulan Juni sampai Desember 1934 dan terjemahan dari Bhagawad Gita dari 1933 sampai 1935.[34]
Namun studi hukumnya menjadi tertunda, bahkan belum merampungkan studinya pada tahun 1937.
[41]

Kembali ke Langkat

Amir dan Kamiliah di upacara pernikahan mereka, 1937.

Hajat Soedirdjo (kiri), Amir Hamzah (tengah), dan Mohammad Lawit (kanan); foto diambil tahun
1932.

Belanda, khawatir tentang kecenderungan nasionalistik Amir, meyakinkan Sultan Langkat untuk
menarik dia kembali ke Langkat; sebuah perintah yang tidak dapat ditolak oleh penyair pemula Amir.
Tahun 1937, Amir bersama dengan dua pengikut Sultan Langkat yang bertugas mengawal dia, naik di
kapal Opten Noort dari Tanjung Priok dan kembali ke Sumatra. Setelah tiba di Langkat, ia diberitahu
bahwa ia akan menikah dengan putri tertua Sultan Langkat, Tengkoe Poeteri Kamiliah, seorang
wanita yang hampir tak pernah ia temui sebelumnya.[41] Sebelum pernikahannya, Amir kembali ke
Batavia untuk menghadapi ujian kuliah terakhirnya – dan mengatur sebuah pertemuan terakhir
dengan Soendari.[42] Beberapa minggu kemudian ia kembali ke Langkat, di mana ia dan Kamiliah
menikah dalam sebuah upacara mewah.[41] Sepupunya, Tengkoe Boerhan, kemudian menyatakan
bahwa ketidakpedulian Amir sepanjang upacara adat tujuh hari tersebut adalah karena Amir terus
memikirkan Soendari.[43]
Sekarang seorang pangeran di Langkat Hilir,[41] Amir diberi gelar Tengkoe Pangeran Indra Poetera.
[44] Dia tinggal bersama Kamiliah di rumah mereka sendiri. Dalam semua kesaksian, Kamiliah adalah
seorang istri yang taat dan penuh kasih, dan pada tahun 1939 pasangan ini memiliki anak tunggal
mereka, seorang putri bernama Tengkoe Tahoera.[c] [45]

Menurut Dini, Amir mengaku pada Kamiliah bahwa dia tidak pernah bisa mencintainya karena ia
telah memiliki Soendari, dan bahwa ia merasa berkewajiban untuk menikahinya, pengakuan yang
kabarnya diterima oleh Kamiliah. Amir menyimpan sebuah album dengan foto-foto Soendari,
kekasih Jawanya di rumahnya [46] dan sering mengisolasi dirinya dari keluarganya, tenggelam dalam
pikirannya.[47] Sebagai seorang pangeran Langkat, Amir menjadi seorang pejabat keraton,
menangani masalah administrasi dan hukum, dan kadang-kadang juga menghakimi kasus pidana.
[48] Ia sempat mewakili Kesultanan Langkat di pemakaman Pakubuwono X di Jawa pada tahun 1939
– sebuah perjalanan terakhir Amir ke pulau Jawa.[49]

Meskipun Amir hanya melakukan sedikit korespondensi dengan teman-temannya di Jawa,[50] puisi-
puisinya yang sebagian besar ditulis di Jawa terus diterbitkan dalam Poedjangga Baroe. Koleksi puisi
pertamanya, Njanji Soenji, diterbitkan dalam edisi November 1937. Hampir dua tahun kemudian,
pada Juni 1939, majalah tersebut menerbitkan kumpulan puisi yang telah diterjemahkan Amir,
berjudul Setanggi Timoer ("Dupa dari Timur"). Pada Juni 1941, koleksi terakhirnya, Boeah Rindoe,
diterbitkan.[34] Semuanya kemudian diterbitkan sebagai buku.[51] Sebuah buku terakhir, Sastera
Melajoe Lama dan Radja-Radjanja (EYD:"Sastra Melayu Lama dan Raja-Rajanya"), diterbitkan di
Medan pada tahun 1942, terbitan ini didasarkan pada pidato radio yang disampaikan Amir.[34]

Setelah invasi Jerman ke Belanda pada tahun 1940, pemerintah Hindia Belanda mulai
mempersiapkan diri untuk kemungkinan invasi Jepang. Di Langkat, divisi Stadswacht (Angkatan
Garda) dibentuk untuk membela Tanjung Pura di Langkat. Amir dan sepupunya Tengkoe Haroen
bertanggung jawab atas angkatan garda ini; kaum bangsawan, dipercaya oleh masyarakat umum,
dipilih untuk memastikan perekrutan rakyat jelata yang lebih mudah. Ketika invasi Jepang menjadi
kenyataan pada awal tahun 1942, Amir adalah salah satu tentara yang dikirim ke Medan untuk
mempertahankannya. Dia dan pasukan lainnya yang bersekutu dengan Belanda dengan cepat
ditangkap oleh Tentara Jepang. Dia ditahan sebagai tawanan perang sampai tahun 1943, ketika
pengaruh dari Sultan memungkinkan dia untuk dibebaskan. Sepanjang sisa masa pendudukan yang
berlangsung sampai 1945 tersebut, Amir bekerja sebagai komentator radio dan sensor di Medan.
[52] Dalam posisinya sebagai pangeran, ia ditugasi untuk membantu mengumpulkan beras dari
petani untuk memberi makan tentara pendudukan Jepang.[50]

Pasca-kemerdekaan dan kematian

Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, keseluruhan Pulau Sumatra
dinyatakan sebagai bagian de facto dari negara Republik Indonesia yang baru lahir. Pemerintah
pusat menetapkan Teuku Muhammad Hasan sebagai gubernur pertama pulau Sumatra, dan pada 29
Oktober 1945 Hasan memilih Amir sebagai wakil pemerintah Republik Indonesia di Langkat (di
kemudian hari disamakan dengan bupati), dengan kantornya di Binjai;[53] Amir menerima posisi
tersebut dengan siap sedia,[54] kemudian menangani berbagai tugas yang ditetapkan oleh
pemerintah pusat, termasuk meresmikan divisi lokal pertama dari Tentara Keamanan Rakjat (yang
kelak menjadi Tentara Nasional Indonesia),[53] membuka pertemuan berbagai cabang lokal dari
partai politik nasional,[55] dan mempromosikan pendidikan – terutama keaksaraan alfabet Latin.[54]

Revolusi Nasional Indonesia sedang berkobar dengan berbagai pertempuran di Jawa, dan Republik
Indonesia yang baru didirikan tidak stabil.[56] Pada awal 1946, rumor menyebar di Langkat bahwa
Amir telah terlihat bersantap dengan perwakilan pemerintah Belanda yang kembali ke Sumatra,[57]
dan bangsawan daerah menyadari tumbuhnya benih-benih kerusuhan dalam populasi jelata
Langkat.[58] Pada tanggal 7 Maret1946 selama revolusi sosial yang dipimpin oleh faksi-faksi dari
Partai Komunis Indonesia, sebuah kelompok (Pemuda Sosialis Indonesia) dengan kukuh menentang
feodalisme dan kaum bangsawan, kekuasaan Amir dilucuti darinya dan ia ditangkap;[59] sementara
Kamiliah dan Tahoera lolos.[60] Bersama dengan anggota-anggota keluarga keraton Langkat yang
lain, Amir dikirim ke sebuah perkebunan yang dikuasai faksi Komunis di Kwala Begumit, sekitar 10
kilometer di luar Binjai.[59] Kesaksian yang muncul di kemudian hari menunjukkan bahwa para
tahanan tersebut, termasuk Amir, diadili oleh penculik mereka, dipaksa untuk menggali lubang, dan
disiksa.[61]

Potongan tulisan Amir terakhir, sebuah fragmen dari puisi 1941-nya Boeah Rindoe, kemudian
ditemukan di selnya:[62]

Wahai maut, datanglah engkau

Lepaskan aku dari nestapa

Padamu lagi tempatku berpaut

Disaat ini gelap gulita

Pada pagi hari 20 Maret 1946, Amir tewas dengan 26 orang tahanan lainnya dan dimakamkan di
sebuah kuburan massal yang telah digali para tahanan tersebut;[d][63] beberapa saudara Amir juga
tewas dalam revolusi tersebut.[64][65] Setelah dilumpuhkan oleh pasukan nasionalis, pemimpin
revolusi tersebut diinterogasi oleh tim yang dipimpin oleh Adnan Kapau Gani; Adnan dilaporkan
telah berulang kali menanyakan "Dimana Amir Hamzah?" selama penyelidikan seputar peristiwa
tersebut.[66] Pada tahun 1948 sebuah makam di Kwala Begumit digali dan jenazah yang ditemukan
diidentifikasi oleh anggota keluarga; tulang belulang Amir berhasil diidentifikasi karena gigi palsu
yang hilang.[67] Pada November 1949 jenazahnya dikuburkan di Masjid Azizi di Tanjung Pura,
Langkat.[68] Atas jasa-jasanya, Amir Hamzah diangkat menjadi Pahlawan Nasional Indonesia
berdasarkan SK Presiden RI Nomor 106/ tahun 1975, tanggal 3 November 1975.

Pengaruh
Amir dibesarkan dalam lingkungan keraton Langkat, di mana ia selalu bercakap dalam bahasa
Melayu, sehingga bahasa tersebut telah "... mendjadi darah daging baginja." (EYD:"menjadi darah
dan daging baginya").[69] Sejak usia muda ia telah diperkenalkan pada sastra lisan, pantun tertulis
dan syair, baik mendengarkan maupun menciptakannya sendiri dengan improvisasi.[70] Seperti
ayahnya sebelum dia, Amir menggemari tulisan Melayu tradisional, seperti Hikayat Hang Tuah, Syair
Siti Zubaidah Perang Cina, dan Hikayat Panca Tanderan. Dia akan mendengarkan tulisan-tulisan
tersebut ketika dibacakan dalam upacara umum, [69] dan setelah dewasa ia menyimpan koleksi
besar tulisan tersebut, meskipun koleksinya tersebut hancur saat revolusi komunis Sumatra Timur
yang merenggut nyawanya.[70]

Sepanjang pendidikan formalnya Amir membaca karya sastra Arab, Persia, dan sastra Hindu.[71] Ia
juga dipengaruhi oleh karya-karya dari negara-negara Timur lainnya:[72] puisi-puisi terjemahan
dalam Setanggi Timoer misalnya, memasukkan karya-karya Umar Khayyām (Persia), Du Fu (China),
Fukuda Chiyo-ni (Jepang), dan Rabindranath Tagore (India).[34] Karya-karya ini tidak dibacanya
dalam bahasa aslinya, tetapi dalam terjemahan berbahasa Belanda.[73] Kritikus sastra Muhammad
Balfas menulis bahwa, tidak seperti rekan sezamannya, Amir menunjukkan hanya sedikit pengaruh
dari soneta dan penyair neo-romantis Belanda, para Tachtigers;[74] Johns menyimpulkan hal yang
sama.[75] Namun pakar sastra Australia Keith Foulcher mencatat bahwa penyair dikutip
"Lenteavond" dari Willem Kloos dalam artikelnya tentang pantun, menunjukkan bahwa Amir sangat
mungkin dipengaruhi oleh Tachtigers.[76]

Ilik Soendari, dalam foto yang diambil sendiri oleh Amir; dia telah banyak disebut sebagai sumber
inspirasi Amir.

Banyak penulis telah berkomentar tentang pengaruh yang didapat Amir dari doktrin Islam. Pencatat
sastra Indonesia H.B. Jassin[77] dan penyair Arief Bagus Prasetyo,[78] adalah termasuk dari
beberapa yang berpendapat bahwa Amir adalah seorang Muslim ortodoks murni, dan itu
ditunjukkan dalam karyanya. Prasetyo berpendapat bahwa hal ini terlihat jelas dalam perkataan
Amir tentang Tuhan, ia tidak memandang Tuhan sebagai sesamanya, sebuah tema yang ditemukan
dalam karya penyair sufi seperti Hamzah Fansuri, tetapi sebagai tuan untuk hamba Amir.[78] Johns
menulis bahwa, meskipun Amir bukanlah seorang mistik, Amir juga bukan seorang penulis renungan
murni, namun mempromosikan suatu bentuk "Humanisme Islam".[79] Pengamat lain, seperti pakar
sastra Indonesia dari Belanda, A. Teeuw dan pakar sastra Indonesia Abdul Hadi WM berpendapat
bahwa Amir dipengaruhi oleh Sufisme.[78] Aprinus Salam dari Universitas Gadjah Mada, dari posisi
yang sama, menunjuk ke contoh di mana Hamzah memperlakukan Tuhan sebagai kekasih sebagai
indikasi pengaruh Sufi.[80] Pada akhirnya, penyair Chairil Anwar menulis bahwa Nyanyi Sunyi karya
Amir bisa disebut "puisi terselubung" karena pembaca tidak dapat memahami karya Amir tanpa
pengetahuan tentang sejarah Melayu dan Islam.[81]

Beberapa upaya juga telah dilakukan untuk menghubungkan karya Amir dengan perspektif
Kekristenan. Dalam menganalisis "Padamu Jua", kritikus Indonesia Bakri Siregar menunjukkan bahwa
beberapa pengaruh dari Alkitab Kristen dapat ditemukan, menunjuk ke beberapa aspek dari puisi
yang tampaknya mendukung pandangan tersebut, termasuk penggambaran Tuhan yang
antropomorfik (tidak diperbolehkan dalam Islam ortodoks) dan pandangan tentang Tuhan yang
cemburu. Dia menulis bahwa konsep tentang Tuhan yang cemburu tidak ditemukan dalam Islam,
tetapi dalam Alkitab, mengutip Keluaran 20:5 dan Keluaran 34:14.[82] Dalam puisi lain,
"Permainanmu", Hamzah menggunakan kalimat "Kau keraskan kalbunya", Jassin menarik
kesejajaran dengan Tuhan yang mengeraskan hati Firaun dalam Kitab Keluaran.[e][83]

Jassin menulis bahwa puisi Amir juga dipengaruhi oleh cintanya pada satu atau lebih wanita, dalam
Buah Rindu disebut sebagai "Tedja" dan "Sendari-Dewi", Jassin beropini bahwa wanita (satu atau
lebih) tak pernah disebutkan namanya karena cinta Amir pada mereka adalah kunci.[84] Husny
menulis bahwa setidaknya sembilan karya di Buah rindu[f] terinspirasi oleh kerinduannya untuk Aja
Bun, menggambarkan rasa kecewa setelah pertunangan mereka dibatalkan.[85] Mengenai dedikasi
tiga-bagian dalam buku tersebut, "Kebawah peduka Indonesia-Raya / Kebawah debu Ibu-Ratu /
Kebawah kaki Sendari-Dewi",[g][86] Mihardja menulis bahwa Soendari telah dikenali setiap teman
sekelas Amir, ia menganggap Soendari sebagai inspirasi Amir, layaknya "Laura terhadap Petrarch,
Mathilde terhadap Jacques Perk".[87] Kritikus Zuber Usman juga menemukan pengaruh
Soendaripada Nyanyi Sunyi, berpendapat bahwa perpisahan Amir dari Soendari membawa Amir
lebih dekat dengan Tuhan,[88] sebuah pendapat yang diulang oleh Dini.[89] Burton Raffel
menghubungkan sebuah kuplet di akhir buku, membaca "Sunting Sanggul melayah rendah / sekaki
sajak seni sedih"[90] ("sebuah bunga mengambang di simpul rambut longgar / melahirkan puisi
sedih saya") sebagai panggilan untuk sebuah cinta terlarang.[91] Dini berpendapat bahwa cinta Amir
pada Soendari menyebabkan penggunaan istilah Jawa yang sering dalam tulisan Amir.[43]

Karya sastra

Artikel utama: Daftar karya Amir Hamzah

Sampul Poedjangga Baroe tahun 1937, majalah yang menerbitkan sebagian besar karya Amir.

Secara keseluruhan Amir telah menulis lima puluh puisi, delapan belas potongan puisi prosa, dua
belas artikel, empat cerita pendek, tiga koleksi puisi, dan satu buku karya asli. Dia juga
menerjemahkan empat puluh empat puisi, satu bagian dari puisi prosa, dan satu buku;[34] Johns
menulis bahwa terjemahan ini umumnya mencerminkan tema penting dalam karya-karya aslinya.
[92]

Sebagian besar tulisan Amir diterbitkan dalam Poedjangga Baroe, meskipun beberapa karya
sebelumnya diterbitkan dalam Timboel dan Pandji Poestaka.[34] Tidak ada karya kreatif-nya yang
bertanggal, dan tidak ada konsensus mengenai kapan setiap individual puisi ditulis.[93] Meskipun
demikian, terdapat konsensus umum bahwa karya-karya yang termasuk dalam Nyanyi Sunyi ditulis
setelah karya yang termasuk dalam Buah Rindu, meskipun Buah rindu diterbitkan terakhir.[94] Johns
menulis bahwa puisi dalam koleksi tersebut muncul seperti diatur dalam urutan kronologis, ia
menunjuk ke berbagai tingkat kematangan yang ditunjukkan Amir kala tulisannya berkembang.[95]
Jassin menulis bahwa Amir mempertahankan identitas Melayu di seluruh karya-karyanya, meskipun
menghadiri sekolah yang dikelola oleh orang Eropa. Berbeda dengan karya-karya rekan sezamannya,
Alisjahbana atau Sanusi Pane, puisi-puisi Amir tidak memasukkan simbol-simbol modernitas Eropa
seperti listrik, kereta api, telepon, dan mesin, yang memungkinkan "Alam dunia Melaju masih
utuh..." dalam puisinya. Pada akhirnya, ketika membaca puisi Amir, "Membatja sadjaknja diruang
fantasi kita tidak terbajang lukisan seorang jang berpantalon, berdjas dan berdasi, melainkan
seorang muda jang berpakaian setjara Melaju." ("dalam imajinasi kita tidak melihat seorang pria
bercelana, jaket, dan dasi, namun pemuda dalam pakaian tradisional Melayu".[96] Mihardja
mencatat bahwa Amir menulis karya-karyanya pada saat teman-teman sekelas mereka, dan banyak
penyair lain, "... mentjurahkan isi hati dan buah pikiran" ("mencurahkan hati atau pikiran mereka")
dalam bahasa Belanda, atau jika "... melepaskan dirinja dari belenggu Bahasa Belanda" ("mampu
membebaskan diri dari belenggu Bahasa Belanda"), dalam bahasa lokal Nusantara.[97]

Karya Amir sering berurusan dengan cinta (baik erotis dan ideal), dengan pengaruh agama
ditunjukkan dalam banyak puisinya.[74] Mistisisme adalah penting dalam banyak karyanya, dan
puisinya sering mencerminkan konflik batin yang mendalam.[98] Pada setidaknya satu cerita
pendek, ia mengkritik pandangan tradisional bangsawan dan "merongrong representasi tradisional
karakter wanita".[99] Ada beberapa perbedaan tematik di antara dua koleksi puisi aslinya,[100]
dibahas lebih lanjut di bawah ini.

Njanji Soenji

Artikel utama: Njanji Soenji

Njanji Soenji (EYD:"Nyanyi Sunyi"), koleksi puisi pertama Amir, diterbitkan dalam Poedjangga Baroe
edisi bulan November 1937,[101] kemudian diterbitkan sebagai buku oleh Poestaka Rakjat pada
tahun 1938.[51] Koleksi ini terdiri dari dua puluh empat potong puisi berjudul dan sajak empat baris
tanpa judul,[102] termasuk puisi Hamzah paling terkenal, "Padamu Jua". Jassin mengklasifikasikan
delapan karya-karya ini sebagai puisi prosa, dengan tiga belas yang tersisa sebagai puisi biasa.[101]
Meskipun ini adalah koleksi pertamanya yang diterbitkan, berdasarkan watak dan pembawaan yang
baik dalam puisi ini,[103] konsensus umum adalah bahwa karya-karya dalam Buah Rindu di ditulis
sebelumnya.[104] Penyair Laurens Koster Bohang menganggap puisi-puisi dalam Nyanyi Sunyi
termasuk yang ditulis antara 1933 dan 1937,[105] sementara Teeuw menanggali puisi tersebut
antara tahun 1936 dan 1937.[106]

Pembacaan Nyanyi Sunyi cenderung fokus pada nada-nada agama. Menurut Balfas, agama dan
Tuhan terlihat di mana-mana di seluruh koleksi tersebut, dimulai dengan puisi pertama "Padamu
Jua".[107] Jassin menulis, di dalamnya, Amir menunjukkan perasaan ketidakpuasan atas kurangnya
kemampuan dirinya dan memprotes kemutlakan Tuhan,[108] tetapi tampak menyadari kecilnya
dirinya di hadapan Tuhan, bertindak sebagai boneka untuk kehendak Tuhan.[109] Teeuw
merangkum bahwa Amir mengakui bahwa ia tidak akan ada jika Tuhan tidak ada.[110] Jassin
menemukan bahwa tema agama tersebut dimaksudkan sebagai sebuah pelarian dari penderitaan
duniawi Amir.[111] Namun Johns menunjukkan bahwa pada akhirnya Amir menemukan sedikit
penghiburan dalam Tuhan, karena Amir "tidak memiliki iman transenden yang dapat membuat
sebuah pengorbanan besar, dan dengan tegas menerima konsekuensinya"; sebaliknya, ia tampak
menyesali pilihannya untuk kembali ke Sumatra dan kemudian memberontak melawan Tuhan.[112]

Boeah Rindoe

Artikel utama: Boeah Rindoe

Koleksi puisi kedua Amir, Boeah Rindoe (EYD:"Buah Rindu"), diterbitkan dalam Poedjangga Baroe
edisi Juni 1941,[113] kemudian diterbitkan sebagai buku oleh Poestaka Rakjat di akhir tahun itu.[51]
Koleksi ini terdiri dari dua puluh lima puisi berjudul dan sajak empat baris tanpa judul; satu, "Buah
Rindu", terdiri dari empat bagian, sementara yang lain, "Bonda", terdiri dari dua. Setidaknya sebelas
karya dalam koleksi ini telah dipublikasikan sebelumnya, baik di Timboel atau dalam Pandji Poestaka.
[113] Koleksi ini, meskipun diterbitkan setelah Nyanyi Sunyi, umumnya dianggap telah ditulis
sebelumnya.[104] Puisi-puisi dalam Buah Rindu juga bertanggal di periode antara 1928 dan 1935,
tahun-tahun pertama Amir di Jawa;[105] Koleksi ini memberikan dua tahun tersebut, serta lokasi
penulisannya, yaitu di Jakarta-Solo (Surakarta) -Jakarta.[17]

Teeuw menulis bahwa koleksi ini disatukan oleh sebuah tema kerinduan,[114] yang diperluas oleh
Jassin: merindukan ibunya, merindukan kekasihnya (baik satu yang di Sumatra dan satu yang di
Jawa), dan kerinduan untuk tanah airnya. Semua yang disebutnya sebagai "kekasih".[115] Teeuw
menulis bahwa kerinduan ini tidak seperti nuansa religius dalam Nyanyi Sunyi: mereka lebih duniawi,
didasarkan pada realitas;[100] Jassin mencatat perbedaan tematik lain di antara keduanya: tidak
seperti Nyanyi Sunyi, dengan penggambaran yang jelas dari tuhan yang satu, Buah Rindu dengan
eksplisit mengedepankan beberapa dewa, termasuk dewa Hindu, Dewa Siwa dan Dewi Parwati dan
dewa abstrak seperti dewa dan dewi cinta.[115]

Gaya penulisan

Diksi Amir dipengaruhi oleh kebutuhan untuk ritme dan metrum, serta simbolisme yang
berhubungan dengan istilah-istilah tertentu.[116] Diksi yang berhati-hati ini menekankan kata-kata
sederhana sebagai unit dasar dan sesekali menggunakan aliterasi dan asonansi.[117] Pada akhirnya
dia lebih bebas dalam penggunaan bahasanya ketimbang penyair tradisional:[107] Jennifer Lindsay
dan Ying Ying Tan menyororti "daya cipta lisan"-nya, menyuntikkan "kemewahan ekspresi,
kemerduan suara dan makna" ke dalam puisinya.[118] Siregar menulis bahwa hasilnya adalah "...
permainan kata jang indah."[119] Teeuw menulis bahwa Amir memiliki pemahaman lengkap tentang
kekuatan dan kelemahan dari Bahasa Melayu, mencampurkan pengaruh sastra timur dan barat,
[117] sementara Johns menulis bahwa "kejeniusannya sebagai seorang penyair terletak dalam
kemampuannya yang luar biasa untuk menghidupkan kembali bara puisi Melayu yang kala itu telah
terbakar habis, dan untuk menanamkan ke dalam bentuk dan kosakata Melayu tradisional yang
kaya, sebuah kesegaran yang tak terduga dan jelas dan kehidupan."[120]

Pilihan kata-kata Amir sangat bergantung pada istilah Bahasa Melayu lama, yang hanya sedikit
menggunakan istilah kontemporer. Amir juga banyak meminjam dari bahasa Nusantara lainnya,
terutama jawa dan Sunda;[121] pengaruh yang lebih dominan di Nyanyi Sunyi.[122] Dengan
demikian, cetakan awal Nyanyi Sunyi dan Buah Rindu disertai dengan catatan kaki yang menjelaskan
kata-kata tersebut.[74] Teeuw menulis bahwa puisi-puisi Amir mencakup berbagai klise yang umum
dalam pantun yang tidak akan dimengerti oleh pembaca asing.[123] Menurut penerjemah John M.
Echols, Amir adalah seorang penulis yang memiliki kepekaan sangat besar, yang "bukan seorang
penulis produktif tetapi prosa dan puisinya berada pada tingkat yang sangat tinggi, meskipun
karyanya sulit, bahkan bagi orang Indonesia."[98] Echols menyanjung Amir karena menbangkitkan
kembali bahasa Melayu, memberikan napas kehidupan baru ke dalam sastra Melayu pada 1930-an.
[124]

Secara struktural, karya-karya awal Amir sangat berbeda dari karya-karyanya di kemudian hari. Karya
yang disusun dalam Buah Rindu umumnya mengikuti pantun tradisional dan gaya syair empat baris
dengan rima ekor, termasuk banyak dengan kuplet berima;[117] namun beberapa karyanya,
menggabungkan keduanya, atau memiliki baris-baris tambahan atau kata-kata lebih dari yang
diterima umum secara tradisional, sehingga menghasilkan ritme yang berbeda.[125] Meskipun
karya-karya awal Amir tidak sedetail karya-karyanya di kemudian hari, Teeuw menulis bahwa karya-
karya tersebut telah mencerminkan penguasaan penyair itu dari bahasa dan dorongan untuk
menulis puisi.[126] Karya-karya dalam antologi ini mengulangi istilah-istilah kesedihan seperti
"menangis", "duka", "rindu", dan "air mata", serta kata-kata seperti "cinta", "asmara", dan
"merantau".[127]

Pada kala Amir menulis karya-karyanya yang kemudian disusun dalam Nyanyi Sunyi, gayanya telah
bergeser. Dia tak lagi membatasi dirinya pada bentuk-bentuk tradisional, melainkan menjelajahi
kemungkinan-kemungkinan yang berbeda: Delapan karyanya mendekati puisi prosa dalam segi
bentuk.[128] Chairil Anwar menggambarkan penggunaan bahasa pendahulunya tersebut dalam
koleksi ini sebagai bersih dan murni, dengan kalimat-kalimat "keras, tajam, tetapi singkat" yang
berangkat dari "daya rusak" puisi tradisional Melayu yang berbunga-bunga.[129]

Penghargaan dan pengakuan umum

Amir telah menerima pengakuan yang luas dari pemerintah Indonesia, dimulai dengan pengakuan
dari pemerintah Sumatra Utara segera setelah kematiannya.[130] Pada tahun 1969 ia secara
anumerta dianugerahi Satya Lencana Kebudayaan dan Piagam Anugerah Seni.[131] Pada tahun 1975
ia dinyatakan sebagai salah satu Pahlawan Nasional Indonesia.[132] Sebuah taman dinamakan
untuknya, Taman Amir Hamzah, yang berlokasi di Jakarta di dekat Monumen Nasional.[71] Sebuah
masjid di Taman Ismail Marzuki yang dibuka untuk umum pada tahun 1977, juga dinamakan
untuknya.[133] Beberapa jalan diberi nama untuk Amir, termasuk di Medan,[134] Mataram,[135]
dan Surabaya.[136]

Teeuw menganggap Amir sebagai satu-satunya penyair Indonesia berkelas internasional dari era
sebelum Revolusi Nasional Indonesia.[1] Anwar menulis bahwa penyair ini adalah "puncak gerakan
Pudjangga Baru", mengingat Nyanyi Sunyi telah menjadi "cahaya terang yang disinarkan dia [Amir] di
atas bahasa baru";[129] namun, Anwar tidak menyukai Buah Rindu, menganggapnya terlalu klasik.
[137] Balfas menggambarkan karya Amir sebagai "karya sastra terbaik yang mengungguli era
mereka".[138] Karya Hamzah, khususnya "Padamu Jua", diajarkan di sekolah-sekolah Indonesia.
Karyanya juga salah satu inspirasi untuk drama panggung posmodern 1992 Afrizal Malna, Biografi
Yanti setelah 12 Menit.[139]

Jassin telah menyebut Amir "Raja Penyair Zaman Poedjangga Baroe", nama yang dia digunakan
sebagai judul bukunya tentang penyair tersebut.[1] Sebagai penutup bukunya tersebut, Jassin
menulis:

"... Amir bukanlah seorang pemimpin bersuara lantang mengerahkan rakjat, baik dalam puisi
maupun prosanja. Ia adalah seorang perasa dan seorang pengagum, djiwanja mudah tergetar oleh
keindahan alam, sendu gembira silih berganti, seluruh sadjaknja bernafaskan kasih : kepada alam,
kampung halaman, kepada kembang, kepada kekasih. Dia merindu tak habis2nja, pada zaman jang
silam, pada bahagia, pada 'hidup bertentu tudju'. Tak satupun sadjak perdjuangan, sadjak adjakan
membangkit tenaga, seperti begitu gemuruh kita dengar dari penjair2 Pudjangga Baru jang lain. Tapi
laguan alamnja adalah peresapan jang mesra dari orang jang tak diragukan tjintanja pada tanah
airnja."

— H.B. Jassin, (Jassin 1962, hlm. 41)


Amir Hamzah
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Loncat ke navigasiLoncat ke pencarian

Amir Hamzah

Lahir Tengkoe Amir


28 Februari 1911
 Tanjung Pura, Langkat, Sumatra Timur, Hindia
Belanda

Meninggal 20 Maret 1946 (umur 35)


 Kwala Begumit, Binjai, Langkat, Indonesia

Makam Masjid Azizi, Tanjung Pura, Langkat, Sumatra


Timur, Indonesia

Pekerjaan Sastrawan, Penyair, Pejabat Pemerintahan Daerah

Bahasa Indonesia
Melayu

Kebangsaan Indonesia

Aliran sastra Simbolisme


Tema Cinta, Agama

Karya Boeah Rindoe (1937)


terkenal
Njanji Soenji (1941)

Pasangan Tengkoe Poeteri Kamiliah

Anak Tengkoe Tahoera

Tengkoe Amir Hamzah yang bernama lengkap Tengkoe Amir Hamzah Pangeran


Indra Poetera, atau lebih dikenal hanya dengan nama pena Amir Hamzah (lahir
di Tanjung Pura, Langkat, Sumatra Timur, Hindia Belanda, 28
Februari 1911 – meninggal di Kwala Begumit, Binjai, Langkat, Indonesia, 20
Maret 1946 pada umur 35
tahun) [a] adalah sastrawan Indonesia angkatan Poedjangga Baroe dan Pahlawan
Nasional Indonesia. Lahir dari keluarga bangsawan Melayu Kesultanan
Langkat di Sumatra Utara, ia dididik di Sumatra dan Jawa. Saat berguru di SMA
di Surakarta sekitar 1930, Amir muda terlibat dengan gerakan nasionalis dan jatuh
cinta dengan seorang teman sekolahnya, Ilik Soendari. Bahkan setelah Amir
melanjutkan studinya di sekolah hukum di Batavia (sekarang Jakarta) keduanya
tetap dekat, hanya berpisah pada tahun 1937 ketika Amir dipanggil kembali ke
Sumatra untuk menikahi putri sultan dan mengambil tanggung jawab di lingkungan
keraton. Meskipun tidak bahagia dengan pernikahannya, dia memenuhi tugas
kekeratonannya. Setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada
tahun 1945, ia menjabat sebagai wakil pemerintah di Langkat. Namun siapa nyana,
pada tahun pertama negara Indonesia yang baru lahir, ia meninggal dalam peristiwa
konflik sosial berdarah di Sumatra yang disulut oleh faksi dari Partai Komunis
Indonesia dan dimakamkan di sebuah kuburan massal.
Amir mulai menulis puisi saat masih remaja: meskipun karya-karyanya tidak
bertanggal, yang paling awal diperkirakan telah ditulis ketika ia pertama kali
melakukan perjalanan ke Jawa. Menggambarkan pengaruh dari budaya
Melayu aslinya, Islam, Kekristenan, dan Sastra Timur, Amir menulis 50 puisi, 18
buah puisi prosa, dan berbagai karya lainnya, termasuk beberapa terjemahan. Pada
tahun 1932 ia turut mendirikan majalah sastra Poedjangga Baroe. Setelah kembali
ke Sumatra, ia berhenti menulis. Sebagian besar puisi-puisinya diterbitkan dalam
dua koleksi, Njanji Soenji (EYD: "Nyanyi Sunyi", 1937) dan Boeah Rindoe (EYD:
"Buah Rindu", 1941), awalnya dalam Poedjangga Baroe, kemudian sebagai buku
yang diterbitkan.
Puisi-puisi Amir sarat dengan tema cinta dan agama, dan puisinya sering
mencerminkan konflik batin yang mendalam. Diksi pilihannya yang menggunakan
kata-kata bahasa Melayu dan bahasa Jawa dan memperluas struktur tradisional,
dipengaruhi oleh kebutuhan untuk ritme dan metrum, serta simbolisme yang
berhubungan dengan istilah-istilah tertentu. Karya-karya awalnya berhubungan
dengan rasa rindu dan cinta, baik erotis dan ideal, sedangkan karya-karyanya
selanjutnya mempunyai makna yang lebih religius. Dari dua koleksinya, Nyanyi
Sunyi umumnya dianggap lebih maju. Untuk puisi-puisinya, Amir telah disebut
sebagai "Raja Penyair Zaman Poedjangga Baroe" (EYD:"Raja Penyair Zaman
Pujangga Baru") dan satu-satunya penyair Indonesia berkelas internasional dari era
pra-Revolusi Nasional Indonesia.[1]

Daftar isi

 1Riwayat hidup
o 1.1Masa kecil
o 1.2Belajar di Jawa
o 1.3Kembali ke Langkat
o 1.4Pasca-kemerdekaan dan kematian
 2Pengaruh
 3Karya sastra
o 3.1Njanji Soenji
o 3.2Boeah Rindoe
 4Gaya penulisan
 5Penghargaan dan pengakuan umum
 6Referensi
 7Catatan kaki
 8Bacaan lanjutan
 9Pranala luar

Riwayat hidup[sunting | sunting sumber]


Masa kecil[sunting | sunting sumber]
Amir lahir dengan nama Tengkoe Amir di Tanjung Pura, Langkat, Sumatra Utara,
putra bungsu dari Wakil Sultan Tengkoe Moehammad Adil dan istri ketiganya,
Tengkoe Mahdjiwa. Tengkoe Moehammad Adil merupakan Wakil Sultan untuk
Luhak Langkat Hulu yang berkedudukan di Binjai. Berdasarkan silsilah keluarga
istana Kesultanan Langkat, Amir Hamzah adalah generasi ke-10 dari Sultan
Langkat. Melalui ayahnya, ia terkait dengan Sultan Langkat kala itu, Machmoed.
Kepastian tanggal lahir Amir diperdebatkan, tanggal resmi yang diakui oleh
pemerintah Indonesia adalah 28 Februari 1911, tanggal yang digunakan Amir
sepanjang hidupnya. Namun kakaknya, Abdoellah Hod menyatakan bahwa Amir
lahir pada tanggal 11 Februari 1911. Amir kemudian mengambil nama kakeknya,
Tengkoe Hamzah, sebagai nama keduanya; sehingga ia disebut sebagai Amir
Hamzah. Meskipun seorang anak bangsawan, dia sering bergaul dalam lingkungan
non-bangsawan.[2] Amir Hamzah menghabiskan masa kecil di kampung halamannya.
Oleh teman sepermainannya, Amir kecil biasa dipanggil dengan sebutan "Tengku
Busu" ("tengku yang bungsu"). Said Hoesny, sahabat Amir pada masa kecilnya
menggambarkan bahwa Amir adalah anak manis yang menjadi kesayangan semua
orang.
1. Diketahui bahwa Amir dididik dalam prinsip-prinsip Islam,
seperti mengaji, fikih, dan tauhid, dan belajar di Masjid Azizi di Tanjung
Pura dari usia muda.[3] Dia tetap seorang Muslim yang taat sepanjang
hidupnya. Periode di mana ia menyelesaikan studi formal juga diperdebatkan.
Beberapa sumber, termasuk pusat bahasa pemerintah Indonesia,
menyatakan bahwa ia mulai bersekolah pada tahun 1916, [4] sementara
biografer M. Lah Husny menulis bahwa tahun pertama sekolah formal penyair
ini adalah pada tahun 1918.[5] Di sekolah dasar berbahasa Belanda di mana
Amir pertama kali belajar, ia mulai menulis[6] dan mendapat penilaian-penilaian
yang bagus; [7] dalam biografi yang ditulisnya tentang Amir, penulis Nh.
Dini menulis bahwa Amir dijuluki "abang" oleh teman-teman sekelasnya
karena ia jauh lebih tinggi daripada mereka. [3]
Pada tahun 1924[8]atau 1925,[9] Amir lulus dari sekolah dasarnya di Langkat dan
pindah ke Medan untuk belajar di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO, sekolah
menengah pertama) di sana.[10] Setelah menyelesaikan studinya sekitar dua tahun
kemudian, ia memasuki hubungan formal dengan sepupunya dari pihak ibunya,
Aja[b] Bun.[11] Husny menulis bahwa keduanya sengaja dipertemukan
dan dijodohkan untuk menikah oleh orang tua mereka, [12] namun Dini menganggap
hubungan tersebut sebagai sumpah untuk menjadi selalu setia. [13] Karena orang
tuanya mengizinkannya untuk menyelesaikan studinya di Jawa, Amir kemudian pergi
ke ibu kota kolonial Hindia Belanda di Batavia (sekarang Jakarta) untuk
menyelesaikan studinya.[12]
Belajar di Jawa[sunting | sunting sumber]
Amir pergi ke Pulau Jawa sendirian, dalam perjalanan di laut selama tiga hari di
kapal Plancus.[14][15] Setelah tiba di Batavia, ia masuk di Christelijk MULO Menjangan,
di mana ia menyelesaikan tahun SMP terakhirnya.[12] Anthony H. Johns
dari Australian National University menulis bahwa di sekolah ini Amir mempelajari
beberapa konsep dan nilai-nilai Kekristenan.[16] Di Batavia, Amir juga terlibat dalam
organisasi sosial Jong Sumatra.[17] Saat periode ini pemuda Amir menulis puisi
pertamanya. Husny menulis bahwa Amir patah hati setelah menemukan Aja Bun
telah menikah dengan pria lain tanpa sepengetahuan Amir (mereka berdua tidak
pernah berbicara lagi),[18] sementara Dini berpendapat bahwa puisi "Tinggallah "
ditulis tidak lama setelah Amir naik kapal Plancus, saat ia sangat rindu dengan ayah
bundanya.[19]
Amir mendirikan Poedjangga Baroe dengan Armijn Pane (atas) dan Sutan Takdir Alisjahbana.

Setelah menyelesaikan sekolah menengah dan kepulangan singkat ke Sumatra,


Amir melanjutkan sekolahnya ke Algemene Middelbare School (AMS, sekolah
menengah atas) yang dioperasikan Boedi Oetomo di Surakarta, Jawa Tengah, di
mana ia mempelajari Sastra Timur dan bahasa, termasuk bahasa Jawa, Sanskerta,
dan Arab.[20] Lebih suka menyendiri ketimbang hiruk-pikuknya asrama, Amir lebih
memilih menyewa kamar di sebuah rumah pribadi yang dimiliki oleh residen
Surakarta.[21] Kemudian ia bertemu dengan beberapa orang yang kelak menjadi
penulis, termasuk Armijn Pane dan Achdiat Karta Mihardja;[22] mereka segera
menemukan bahwa Amir adalah seorang pelajar yang ramah, rajin, dan dengan
catatan lengkap dan kamar tidur bersih (selimut dilipat dengan baik, Mihardja
kemudian bercerita, bahwa "... lalat jang kesasar akan dapat tergelintjir atasnja"),
tetapi juga seorang romantis; cenderung berpikir sedih di bawah cahaya lampu dan
mengisolasi diri dari teman-teman sekelasnya. [23]
Di Surakarta Amir bergabung dengan gerakan nasionalis. Dia akan bertemu dengan
sesama perantau dari Sumatra dan mendiskusikan masalah sosial rakyat Melayu
Nusantara di bawah kekuasaan kolonial Belanda. Meskipun pemuda berpendidikan
kala itu pada umumnya lebih memilih berbicara menggunakan bahasa Belanda, dia
bersikeras bercakap dengan bahasa Melayu. [24] Tahun 1930 Amir menjadi kepala
cabang dari Indonesia Moeda di Surakarta, menyampaikan pidatonya dalam
Kongres Pemuda 1930 dan mengabdi sebagai editor majalah organisasi itu,
"Garoeda Merapi".[25] Di sekolah dia kemudian bertemu dan jatuh cinta dengan Ilik
Soendari, seorang gadis Jawa yang hampir seusia dengannya.[26] Soendari,
putri Raden Mas Koesoemodihardjo, adalah salah satu dari sedikit siswa perempuan
di sekolah tersebut, dan rumahnya berada di dekat salah satu yang pernah ditinggali
Amir. Menurut Dini, keduanya semakin dekat, Amir mengajari Soendari bahasa
Arab, dan Soendari mengajarinya bahasa Jawa. [27] Mereka segera bertemu setiap
hari, bercakap-cakap tentang berbagai topik. [28]
Ibunda Amir meninggal pada tahun 1931, dan ayahnya setahun setelahnya;
pendidikan Amir pun tidak bisa dibiayai lagi. Setelah studi AMS-nya rampung, ia
ingin terus belajar di sekolah hukum di Batavia. Karena itu, ia menulis kepada
saudaranya, Jakfar yang mengatur agar biaya sisa studinya dibayar oleh Sultan
Langkat. Pada tahun 1932 Amir mampu kembali ke Batavia dan memulai studi
hukumnya,[29] mengambil pekerjaan paruh waktu sebagai guru. [30] Pada awalnya,
hubungannya dengan Soendari dilanjutkan melalui surat, meskipun Soendari segera
melanjutkan studinya di Lembang, sebuah kota yang jauh lebih dekat jaraknya ke
Batavia daripada Surakarta, hal ini memungkinkan keduanya untuk bertemu diam-
diam[31] – ketika orang tua Soendari mengetahui hubungan mereka, Amir dan
Soendari pun dilarang untuk bertemu. [32]
Tahun tersebut, dua puisi pertama Amir, "Soenji" (EYD":"Sunyi") dan "Maboek ..."
(EYD:"Mabuk"), diterbitkan dalam edisi Maret majalah Timboel. Delapan karyanya
yang lain dipublikasikan tahun itu, termasuk sebuah syair berdasarkan Hikayat Hang
Tuah,[33] tiga puisi lainnya, dua potong puisi prosa, dan dua cerita pendek; puisi itu
kembali diterbitkan dalam Timboel, sementara prosa tersebut terbit dalam
majalah Pandji Poestaka.[34] Sekitar September 1932 Armijn Pane, atas dorongan
dari Sutan Takdir Alisjahbana, editor rubrik "Memadjoekan Sastera "
(EYD:"Memajukan Sastra ", rubrik sastra Pandji Poestaka), mengundang Amir untuk
membantu mereka mendirikan majalah sastra independen. [35] Amir menerima, dan
ditugasi menulis surat untuk meminta kiriman tulisan.[35] Sejumlah lima puluh surat
dikirimkan Amir kepada penulis-penulis yang sudah dikenal kala itu, termasuk empat
puluh dikirimkan ke para kontributor "Memadjoekan Sastera". [36] Setelah beberapa
bulan persiapan, edisi awal diterbitkan pada bulan Juli tahun 1933, [37] dengan
judul Poedjangga Baroe. Majalah baru ini ada di bawah kendali editorial Armijn dan
Alisjahbana,[38] sementara Amir menerbitkan hampir semua tulisan-tulisannya yang
berikutnya di sana.[34]
Pada pertengahan 1933 Amir dipanggil kembali ke Langkat, di mana Sultan Langkat
memberitahukan dua syarat yang harus Amir penuhi untuk melanjutkan studinya,
yaitu menjadi siswa yang rajin, dan meninggalkan gerakan kemerdekaan Indonesia.
[39]
 Meskipun menghadapi penolakan Sultan Langkat, Amir menjadi terlibat lebih jauh
dalam gerakan nasionalis, membawa dia ke bawah pengawasan Belanda yang
semakin meningkat.[40] Ia terus melanjutkan untuk menerbitkan karyanya
dalam Poedjangga Baroe, termasuk serangkaian lima artikel tentang Sastra
Timur dari bulan Juni sampai Desember 1934 dan terjemahan dari Bhagawad
Gita dari 1933 sampai 1935.[34] Namun studi hukumnya menjadi tertunda, bahkan
belum merampungkan studinya pada tahun 1937. [41]
Kembali ke Langkat[sunting | sunting sumber]

Amir dan Kamiliah di upacara pernikahan mereka, 1937.


Hajat Soedirdjo (kiri), Amir Hamzah (tengah), dan Mohammad Lawit (kanan); foto diambil tahun 1932.

Belanda, khawatir tentang kecenderungan nasionalistik Amir, meyakinkan Sultan


Langkat untuk menarik dia kembali ke Langkat; sebuah perintah yang tidak dapat
ditolak oleh penyair pemula Amir. Tahun 1937, Amir bersama dengan dua pengikut
Sultan Langkat yang bertugas mengawal dia, naik di kapal Opten Noort dari Tanjung
Priok dan kembali ke Sumatra. Setelah tiba di Langkat, ia diberitahu bahwa ia akan
menikah dengan putri tertua Sultan Langkat, Tengkoe Poeteri Kamiliah, seorang
wanita yang hampir tak pernah ia temui sebelumnya. [41] Sebelum pernikahannya,
Amir kembali ke Batavia untuk menghadapi ujian kuliah terakhirnya – dan mengatur
sebuah pertemuan terakhir dengan Soendari. [42] Beberapa minggu kemudian ia
kembali ke Langkat, di mana ia dan Kamiliah menikah dalam sebuah upacara
mewah.[41] Sepupunya, Tengkoe Boerhan, kemudian menyatakan bahwa
ketidakpedulian Amir sepanjang upacara adat tujuh hari tersebut adalah karena Amir
terus memikirkan Soendari.[43]
Sekarang seorang pangeran di Langkat Hilir,[41] Amir diberi gelar Tengkoe Pangeran
Indra Poetera.[44] Dia tinggal bersama Kamiliah di rumah mereka sendiri. Dalam
semua kesaksian, Kamiliah adalah seorang istri yang taat dan penuh kasih, dan
pada tahun 1939 pasangan ini memiliki anak tunggal mereka, seorang putri bernama
Tengkoe Tahoera.[c] [45]
Menurut Dini, Amir mengaku pada Kamiliah bahwa dia tidak pernah bisa
mencintainya karena ia telah memiliki Soendari, dan bahwa ia merasa berkewajiban
untuk menikahinya, pengakuan yang kabarnya diterima oleh Kamiliah. Amir
menyimpan sebuah album dengan foto-foto Soendari, kekasih Jawanya di
rumahnya [46] dan sering mengisolasi dirinya dari keluarganya, tenggelam dalam
pikirannya.[47] Sebagai seorang pangeran Langkat, Amir menjadi seorang pejabat
keraton, menangani masalah administrasi dan hukum, dan kadang-kadang juga
menghakimi kasus pidana.[48] Ia sempat mewakili Kesultanan Langkat di
pemakaman Pakubuwono X di Jawa pada tahun 1939 – sebuah perjalanan terakhir
Amir ke pulau Jawa.[49]
Meskipun Amir hanya melakukan sedikit korespondensi dengan teman-temannya di
Jawa,[50] puisi-puisinya yang sebagian besar ditulis di Jawa terus diterbitkan
dalam Poedjangga Baroe. Koleksi puisi pertamanya, Njanji Soenji, diterbitkan dalam
edisi November 1937. Hampir dua tahun kemudian, pada Juni 1939, majalah
tersebut menerbitkan kumpulan puisi yang telah diterjemahkan Amir,
berjudul Setanggi Timoer ("Dupa dari Timur"). Pada Juni 1941, koleksi
terakhirnya, Boeah Rindoe, diterbitkan.[34] Semuanya kemudian diterbitkan sebagai
buku.[51] Sebuah buku terakhir, Sastera Melajoe Lama dan Radja-
Radjanja (EYD:"Sastra Melayu Lama dan Raja-Rajanya"), diterbitkan di Medan pada
tahun 1942, terbitan ini didasarkan pada pidato radio yang disampaikan Amir. [34]
Setelah invasi Jerman ke Belanda pada tahun 1940, pemerintah Hindia Belanda
mulai mempersiapkan diri untuk kemungkinan invasi Jepang. Di Langkat,
divisi Stadswacht (Angkatan Garda) dibentuk untuk membela Tanjung Pura di
Langkat. Amir dan sepupunya Tengkoe Haroen bertanggung jawab atas angkatan
garda ini; kaum bangsawan, dipercaya oleh masyarakat umum, dipilih untuk
memastikan perekrutan rakyat jelata yang lebih mudah. Ketika invasi
Jepang menjadi kenyataan pada awal tahun 1942, Amir adalah salah satu tentara
yang dikirim ke Medan untuk mempertahankannya. Dia dan pasukan lainnya yang
bersekutu dengan Belanda dengan cepat ditangkap oleh Tentara Jepang. Dia
ditahan sebagai tawanan perang sampai tahun 1943, ketika pengaruh dari Sultan
memungkinkan dia untuk dibebaskan. Sepanjang sisa masa pendudukan yang
berlangsung sampai 1945 tersebut, Amir bekerja sebagai komentator radio dan
sensor di Medan.[52] Dalam posisinya sebagai pangeran, ia ditugasi untuk membantu
mengumpulkan beras dari petani untuk memberi makan tentara pendudukan
Jepang.[50]
Pasca-kemerdekaan dan kematian[sunting | sunting sumber]
Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, keseluruhan
Pulau Sumatra dinyatakan sebagai bagian de facto dari negara Republik Indonesia
yang baru lahir. Pemerintah pusat menetapkan Teuku Muhammad Hasan sebagai
gubernur pertama pulau Sumatra, dan pada 29 Oktober 1945 Hasan memilih Amir
sebagai wakil pemerintah Republik Indonesia di Langkat (di kemudian hari
disamakan dengan bupati), dengan kantornya di Binjai;[53] Amir menerima posisi
tersebut dengan siap sedia,[54] kemudian menangani berbagai tugas yang ditetapkan
oleh pemerintah pusat, termasuk meresmikan divisi lokal pertama dari Tentara
Keamanan Rakjat (yang kelak menjadi Tentara Nasional Indonesia),[53] membuka
pertemuan berbagai cabang lokal dari partai politik nasional, [55] dan mempromosikan
pendidikan – terutama keaksaraan alfabet Latin.[54]
Revolusi Nasional Indonesia sedang berkobar dengan berbagai pertempuran di
Jawa, dan Republik Indonesia yang baru didirikan tidak stabil. [56] Pada awal 1946,
rumor menyebar di Langkat bahwa Amir telah terlihat bersantap dengan perwakilan
pemerintah Belanda yang kembali ke Sumatra,[57] dan bangsawan daerah menyadari
tumbuhnya benih-benih kerusuhan dalam populasi jelata Langkat. [58] Pada tanggal 7
Maret1946 selama revolusi sosial yang dipimpin oleh faksi-faksi dari Partai Komunis
Indonesia, sebuah kelompok (Pemuda Sosialis Indonesia) dengan kukuh
menentang feodalisme dan kaum bangsawan, kekuasaan Amir dilucuti darinya dan
ia ditangkap;[59] sementara Kamiliah dan Tahoera lolos.[60] Bersama dengan anggota-
anggota keluarga keraton Langkat yang lain, Amir dikirim ke sebuah perkebunan
yang dikuasai faksi Komunis di Kwala Begumit, sekitar 10 kilometer di luar Binjai.
[59]
 Kesaksian yang muncul di kemudian hari menunjukkan bahwa para tahanan
tersebut, termasuk Amir, diadili oleh penculik mereka, dipaksa untuk menggali
lubang, dan disiksa.[61]
Potongan tulisan Amir terakhir, sebuah fragmen dari puisi 1941-nya Boeah Rindoe,
kemudian ditemukan di selnya:[62]
Wahai maut, datanglah engkau
Lepaskan aku dari nestapa
Padamu lagi tempatku berpaut
Disaat ini gelap gulita
Pada pagi hari 20 Maret 1946, Amir tewas dengan 26 orang tahanan lainnya dan
dimakamkan di sebuah kuburan massal yang telah digali para tahanan tersebut; [d]
[63]
 beberapa saudara Amir juga tewas dalam revolusi tersebut. [64][65] Setelah
dilumpuhkan oleh pasukan nasionalis, pemimpin revolusi tersebut diinterogasi oleh
tim yang dipimpin oleh Adnan Kapau Gani; Adnan dilaporkan telah berulang kali
menanyakan "Dimana Amir Hamzah?" selama penyelidikan seputar peristiwa
tersebut.[66] Pada tahun 1948 sebuah makam di Kwala Begumit digali dan jenazah
yang ditemukan diidentifikasi oleh anggota keluarga; tulang belulang Amir berhasil
diidentifikasi karena gigi palsu yang hilang.[67] Pada November 1949 jenazahnya
dikuburkan di Masjid Azizi di Tanjung Pura, Langkat.[68] Atas jasa-jasanya, Amir
Hamzah diangkat menjadi Pahlawan Nasional Indonesia berdasarkan SK Presiden
RI Nomor 106/ tahun 1975, tanggal 3 November 1975.

Pengaruh[sunting | sunting sumber]
Amir dibesarkan dalam lingkungan keraton Langkat, di mana ia selalu bercakap
dalam bahasa Melayu, sehingga bahasa tersebut telah "... mendjadi darah daging
baginja." (EYD:"menjadi darah dan daging baginya"). [69] Sejak usia muda ia telah
diperkenalkan pada sastra lisan, pantun tertulis dan syair, baik mendengarkan
maupun menciptakannya sendiri dengan improvisasi. [70] Seperti ayahnya sebelum
dia, Amir menggemari tulisan Melayu tradisional, seperti Hikayat Hang Tuah, Syair
Siti Zubaidah Perang Cina, dan Hikayat Panca Tanderan. Dia akan mendengarkan
tulisan-tulisan tersebut ketika dibacakan dalam upacara umum, [69] dan setelah
dewasa ia menyimpan koleksi besar tulisan tersebut, meskipun koleksinya tersebut
hancur saat revolusi komunis Sumatra Timur yang merenggut nyawanya. [70]
Sepanjang pendidikan formalnya Amir membaca karya sastra Arab, Persia,
dan sastra Hindu.[71] Ia juga dipengaruhi oleh karya-karya dari negara-negara Timur
lainnya:[72] puisi-puisi terjemahan dalam Setanggi Timoer misalnya, memasukkan
karya-karya Umar Khayyām (Persia), Du Fu (China), Fukuda Chiyo-ni (Jepang),
dan Rabindranath Tagore (India).[34] Karya-karya ini tidak dibacanya dalam bahasa
aslinya, tetapi dalam terjemahan berbahasa Belanda. [73] Kritikus sastra Muhammad
Balfas menulis bahwa, tidak seperti rekan sezamannya, Amir menunjukkan hanya
sedikit pengaruh dari soneta dan penyair neo-romantis Belanda, para Tachtigers;
[74]
 Johns menyimpulkan hal yang sama.[75] Namun pakar sastra Australia Keith
Foulcher mencatat bahwa penyair dikutip "Lenteavond" dari Willem Kloos dalam
artikelnya tentang pantun, menunjukkan bahwa Amir sangat mungkin dipengaruhi
oleh Tachtigers.[76]
Ilik Soendari, dalam foto yang diambil sendiri oleh Amir; dia telah banyak disebut sebagai sumber inspirasi
Amir.

Banyak penulis telah berkomentar tentang pengaruh yang didapat Amir dari doktrin
Islam. Pencatat sastra Indonesia H.B. Jassin[77] dan penyair Arief Bagus Prasetyo,
[78]
 adalah termasuk dari beberapa yang berpendapat bahwa Amir adalah seorang
Muslim ortodoks murni, dan itu ditunjukkan dalam karyanya. Prasetyo berpendapat
bahwa hal ini terlihat jelas dalam perkataan Amir tentang Tuhan, ia tidak
memandang Tuhan sebagai sesamanya, sebuah tema yang ditemukan dalam karya
penyair sufi seperti Hamzah Fansuri, tetapi sebagai tuan untuk hamba Amir. [78] Johns
menulis bahwa, meskipun Amir bukanlah seorang mistik, Amir juga bukan seorang
penulis renungan murni, namun mempromosikan suatu bentuk "Humanisme Islam".
[79]
 Pengamat lain, seperti pakar sastra Indonesia dari Belanda, A. Teeuw dan pakar
sastra Indonesia Abdul Hadi WM berpendapat bahwa Amir dipengaruhi oleh
Sufisme.[78] Aprinus Salam dari Universitas Gadjah Mada, dari posisi yang sama,
menunjuk ke contoh di mana Hamzah memperlakukan Tuhan sebagai kekasih
sebagai indikasi pengaruh Sufi.[80] Pada akhirnya, penyair Chairil Anwar menulis
bahwa Nyanyi Sunyi karya Amir bisa disebut "puisi terselubung" karena pembaca
tidak dapat memahami karya Amir tanpa pengetahuan tentang sejarah Melayu dan
Islam.[81]
Beberapa upaya juga telah dilakukan untuk menghubungkan karya Amir dengan
perspektif Kekristenan. Dalam menganalisis "Padamu Jua", kritikus Indonesia Bakri
Siregar menunjukkan bahwa beberapa pengaruh dari Alkitab Kristen dapat
ditemukan, menunjuk ke beberapa aspek dari puisi yang tampaknya mendukung
pandangan tersebut, termasuk penggambaran Tuhan yang antropomorfik (tidak
diperbolehkan dalam Islam ortodoks) dan pandangan tentang Tuhan yang cemburu.
Dia menulis bahwa konsep tentang Tuhan yang cemburu tidak ditemukan dalam
Islam, tetapi dalam Alkitab, mengutip Keluaran 20:5 dan Keluaran 34:14. [82] Dalam
puisi lain, "Permainanmu", Hamzah menggunakan kalimat "Kau keraskan kalbunya",
Jassin menarik kesejajaran dengan Tuhan yang mengeraskan hati Firaun
dalam Kitab Keluaran.[e][83]
Jassin menulis bahwa puisi Amir juga dipengaruhi oleh cintanya pada satu atau lebih
wanita, dalam Buah Rindu disebut sebagai "Tedja" dan "Sendari-Dewi", Jassin
beropini bahwa wanita (satu atau lebih) tak pernah disebutkan namanya karena
cinta Amir pada mereka adalah kunci.[84] Husny menulis bahwa setidaknya sembilan
karya di Buah rindu[f] terinspirasi oleh kerinduannya untuk Aja Bun, menggambarkan
rasa kecewa setelah pertunangan mereka dibatalkan. [85] Mengenai dedikasi tiga-
bagian dalam buku tersebut, "Kebawah peduka Indonesia-Raya / Kebawah debu
Ibu-Ratu / Kebawah kaki Sendari-Dewi",[g][86] Mihardja menulis bahwa Soendari telah
dikenali setiap teman sekelas Amir, ia menganggap Soendari sebagai inspirasi Amir,
layaknya "Laura terhadap Petrarch, Mathilde terhadap Jacques Perk".
[87]
 Kritikus Zuber Usman juga menemukan pengaruh Soendaripada Nyanyi Sunyi,
berpendapat bahwa perpisahan Amir dari Soendari membawa Amir lebih dekat
dengan Tuhan,[88] sebuah pendapat yang diulang oleh Dini.[89] Burton Raffel
menghubungkan sebuah kuplet di akhir buku, membaca "Sunting Sanggul melayah
rendah / sekaki sajak seni sedih"[90] ("sebuah bunga mengambang di simpul rambut
longgar / melahirkan puisi sedih saya") sebagai panggilan untuk sebuah cinta
terlarang.[91] Dini berpendapat bahwa cinta Amir pada Soendari menyebabkan
penggunaan istilah Jawa yang sering dalam tulisan Amir. [43]

Karya sastra[sunting | sunting sumber]


Artikel utama: Daftar karya Amir Hamzah

Sampul Poedjangga Baroe tahun 1937, majalah yang menerbitkan sebagian besar karya Amir.

Secara keseluruhan Amir telah menulis lima puluh puisi, delapan belas


potongan puisi prosa, dua belas artikel, empat cerita pendek, tiga koleksi puisi, dan
satu buku karya asli. Dia juga menerjemahkan empat puluh empat puisi, satu bagian
dari puisi prosa, dan satu buku;[34] Johns menulis bahwa terjemahan ini umumnya
mencerminkan tema penting dalam karya-karya aslinya. [92]
Sebagian besar tulisan Amir diterbitkan dalam Poedjangga Baroe, meskipun
beberapa karya sebelumnya diterbitkan dalam Timboel dan Pandji Poestaka.[34] Tidak
ada karya kreatif-nya yang bertanggal, dan tidak ada konsensus mengenai kapan
setiap individual puisi ditulis.[93] Meskipun demikian, terdapat konsensus umum
bahwa karya-karya yang termasuk dalam Nyanyi Sunyi ditulis setelah karya yang
termasuk dalam Buah Rindu, meskipun Buah rindu diterbitkan terakhir.[94] Johns
menulis bahwa puisi dalam koleksi tersebut muncul seperti diatur dalam urutan
kronologis, ia menunjuk ke berbagai tingkat kematangan yang ditunjukkan Amir kala
tulisannya berkembang.[95]
Jassin menulis bahwa Amir mempertahankan identitas Melayu di seluruh karya-
karyanya, meskipun menghadiri sekolah yang dikelola oleh orang Eropa. Berbeda
dengan karya-karya rekan sezamannya, Alisjahbana atau Sanusi Pane, puisi-puisi
Amir tidak memasukkan simbol-simbol modernitas Eropa seperti listrik, kereta api,
telepon, dan mesin, yang memungkinkan "Alam dunia Melaju masih utuh..." dalam
puisinya. Pada akhirnya, ketika membaca puisi Amir, "Membatja sadjaknja diruang
fantasi kita tidak terbajang lukisan seorang jang berpantalon, berdjas dan berdasi,
melainkan seorang muda jang berpakaian setjara Melaju." ("dalam imajinasi kita
tidak melihat seorang pria bercelana, jaket, dan dasi, namun pemuda dalam pakaian
tradisional Melayu".[96] Mihardja mencatat bahwa Amir menulis karya-karyanya pada
saat teman-teman sekelas mereka, dan banyak penyair lain, "... mentjurahkan isi
hati dan buah pikiran" ("mencurahkan hati atau pikiran mereka") dalam bahasa
Belanda, atau jika "... melepaskan dirinja dari belenggu Bahasa Belanda" ("mampu
membebaskan diri dari belenggu Bahasa Belanda"), dalam bahasa lokal Nusantara.
[97]

Karya Amir sering berurusan dengan cinta (baik erotis dan ideal), dengan pengaruh
agama ditunjukkan dalam banyak puisinya.[74] Mistisisme adalah penting dalam
banyak karyanya, dan puisinya sering mencerminkan konflik batin yang mendalam.
[98]
 Pada setidaknya satu cerita pendek, ia mengkritik pandangan tradisional
bangsawan dan "merongrong representasi tradisional karakter wanita". [99] Ada
beberapa perbedaan tematik di antara dua koleksi puisi aslinya, [100] dibahas lebih
lanjut di bawah ini.
Njanji Soenji[sunting | sunting sumber]
Artikel utama: Njanji Soenji
Njanji Soenji (EYD:"Nyanyi Sunyi"), koleksi puisi pertama Amir, diterbitkan
dalam Poedjangga Baroe edisi bulan November 1937,[101] kemudian diterbitkan
sebagai buku oleh Poestaka Rakjat pada tahun 1938.[51] Koleksi ini terdiri dari dua
puluh empat potong puisi berjudul dan sajak empat baris tanpa judul,[102] termasuk
puisi Hamzah paling terkenal, "Padamu Jua". Jassin mengklasifikasikan delapan
karya-karya ini sebagai puisi prosa, dengan tiga belas yang tersisa sebagai puisi
biasa.[101] Meskipun ini adalah koleksi pertamanya yang diterbitkan, berdasarkan
watak dan pembawaan yang baik dalam puisi ini, [103] konsensus umum adalah bahwa
karya-karya dalam Buah Rindu di ditulis sebelumnya.[104] Penyair Laurens Koster
Bohang menganggap puisi-puisi dalam Nyanyi Sunyi termasuk yang ditulis antara
1933 dan 1937,[105] sementara Teeuw menanggali puisi tersebut antara tahun 1936
dan 1937.[106]
Pembacaan Nyanyi Sunyi cenderung fokus pada nada-nada agama. Menurut Balfas,
agama dan Tuhan terlihat di mana-mana di seluruh koleksi tersebut, dimulai dengan
puisi pertama "Padamu Jua".[107] Jassin menulis, di dalamnya, Amir menunjukkan
perasaan ketidakpuasan atas kurangnya kemampuan dirinya dan memprotes
kemutlakan Tuhan,[108] tetapi tampak menyadari kecilnya dirinya di hadapan Tuhan,
bertindak sebagai boneka untuk kehendak Tuhan. [109] Teeuw merangkum bahwa Amir
mengakui bahwa ia tidak akan ada jika Tuhan tidak ada. [110] Jassin menemukan
bahwa tema agama tersebut dimaksudkan sebagai sebuah pelarian dari penderitaan
duniawi Amir.[111] Namun Johns menunjukkan bahwa pada akhirnya Amir menemukan
sedikit penghiburan dalam Tuhan, karena Amir "tidak memiliki iman transenden yang
dapat membuat sebuah pengorbanan besar, dan dengan tegas menerima
konsekuensinya"; sebaliknya, ia tampak menyesali pilihannya untuk kembali ke
Sumatra dan kemudian memberontak melawan Tuhan. [112]
Boeah Rindoe[sunting | sunting sumber]
Artikel utama: Boeah Rindoe
Koleksi puisi kedua Amir, Boeah Rindoe (EYD:"Buah Rindu"), diterbitkan
dalam Poedjangga Baroe edisi Juni 1941,[113] kemudian diterbitkan sebagai buku
oleh Poestaka Rakjat di akhir tahun itu.[51] Koleksi ini terdiri dari dua puluh lima puisi
berjudul dan sajak empat baris tanpa judul; satu, "Buah Rindu", terdiri dari empat
bagian, sementara yang lain, "Bonda", terdiri dari dua. Setidaknya sebelas karya
dalam koleksi ini telah dipublikasikan sebelumnya, baik di Timboel atau
dalam Pandji Poestaka.[113] Koleksi ini, meskipun diterbitkan setelah Nyanyi Sunyi,
umumnya dianggap telah ditulis sebelumnya.[104] Puisi-puisi dalam Buah Rindu juga
bertanggal di periode antara 1928 dan 1935, tahun-tahun pertama Amir di Jawa;
[105]
 Koleksi ini memberikan dua tahun tersebut, serta lokasi penulisannya, yaitu di
Jakarta-Solo (Surakarta) -Jakarta.[17]
Teeuw menulis bahwa koleksi ini disatukan oleh sebuah tema kerinduan, [114] yang
diperluas oleh Jassin: merindukan ibunya, merindukan kekasihnya (baik satu yang di
Sumatra dan satu yang di Jawa), dan kerinduan untuk tanah airnya. Semua yang
disebutnya sebagai "kekasih".[115] Teeuw menulis bahwa kerinduan ini tidak seperti
nuansa religius dalam Nyanyi Sunyi: mereka lebih duniawi, didasarkan pada realitas;
[100]
 Jassin mencatat perbedaan tematik lain di antara keduanya: tidak seperti Nyanyi
Sunyi, dengan penggambaran yang jelas dari tuhan yang satu, Buah Rindu dengan
eksplisit mengedepankan beberapa dewa, termasuk dewa Hindu, Dewa Siwa dan
Dewi Parwati dan dewa abstrak seperti dewa dan dewi cinta.[115]

Gaya penulisan[sunting | sunting sumber]


Diksi Amir dipengaruhi oleh kebutuhan untuk ritme dan metrum,
serta simbolisme yang berhubungan dengan istilah-istilah tertentu. [116] Diksi yang
berhati-hati ini menekankan kata-kata sederhana sebagai unit dasar dan sesekali
menggunakan aliterasi dan asonansi.[117] Pada akhirnya dia lebih bebas dalam
penggunaan bahasanya ketimbang penyair tradisional: [107] Jennifer Lindsay dan Ying
Ying Tan menyororti "daya cipta lisan"-nya, menyuntikkan "kemewahan ekspresi,
kemerduan suara dan makna" ke dalam puisinya.[118] Siregar menulis bahwa hasilnya
adalah "... permainan kata jang indah."[119] Teeuw menulis bahwa Amir memiliki
pemahaman lengkap tentang kekuatan dan kelemahan dari Bahasa Melayu,
mencampurkan pengaruh sastra timur dan barat, [117] sementara Johns menulis bahwa
"kejeniusannya sebagai seorang penyair terletak dalam kemampuannya yang luar
biasa untuk menghidupkan kembali bara puisi Melayu yang kala itu telah terbakar
habis, dan untuk menanamkan ke dalam bentuk dan kosakata Melayu tradisional
yang kaya, sebuah kesegaran yang tak terduga dan jelas dan kehidupan." [120]
Pilihan kata-kata Amir sangat bergantung pada istilah Bahasa Melayu lama, yang
hanya sedikit menggunakan istilah kontemporer. Amir juga banyak meminjam dari
bahasa Nusantara lainnya, terutama jawa dan Sunda;[121] pengaruh yang lebih
dominan di Nyanyi Sunyi.[122] Dengan demikian, cetakan awal Nyanyi Sunyi dan Buah
Rindu disertai dengan catatan kaki yang menjelaskan kata-kata tersebut. [74] Teeuw
menulis bahwa puisi-puisi Amir mencakup berbagai klise yang umum
dalam pantun yang tidak akan dimengerti oleh pembaca asing. [123] Menurut
penerjemah John M. Echols, Amir adalah seorang penulis yang memiliki kepekaan
sangat besar, yang "bukan seorang penulis produktif tetapi prosa dan puisinya
berada pada tingkat yang sangat tinggi, meskipun karyanya sulit, bahkan bagi orang
Indonesia."[98] Echols menyanjung Amir karena menbangkitkan kembali bahasa
Melayu, memberikan napas kehidupan baru ke dalam sastra Melayu pada 1930-an.
[124]

Secara struktural, karya-karya awal Amir sangat berbeda dari karya-karyanya di


kemudian hari. Karya yang disusun dalam Buah Rindu umumnya
mengikuti pantun tradisional dan gaya syair empat baris dengan rima ekor, termasuk
banyak dengan kuplet berima;[117] namun beberapa karyanya, menggabungkan
keduanya, atau memiliki baris-baris tambahan atau kata-kata lebih dari yang
diterima umum secara tradisional, sehingga menghasilkan ritme yang berbeda.
[125]
 Meskipun karya-karya awal Amir tidak sedetail karya-karyanya di kemudian hari,
Teeuw menulis bahwa karya-karya tersebut telah mencerminkan penguasaan
penyair itu dari bahasa dan dorongan untuk menulis puisi. [126] Karya-karya dalam
antologi ini mengulangi istilah-istilah kesedihan seperti "menangis", "duka", "rindu",
dan "air mata", serta kata-kata seperti "cinta", "asmara", dan "merantau". [127]
Pada kala Amir menulis karya-karyanya yang kemudian disusun dalam Nyanyi
Sunyi, gayanya telah bergeser. Dia tak lagi membatasi dirinya pada bentuk-bentuk
tradisional, melainkan menjelajahi kemungkinan-kemungkinan yang berbeda:
Delapan karyanya mendekati puisi prosa dalam segi bentuk. [128] Chairil Anwar
menggambarkan penggunaan bahasa pendahulunya tersebut dalam koleksi ini
sebagai bersih dan murni, dengan kalimat-kalimat "keras, tajam, tetapi singkat" yang
berangkat dari "daya rusak" puisi tradisional Melayu yang berbunga-bunga. [129]

Penghargaan dan pengakuan umum[sunting | sunting sumber]


Amir telah menerima pengakuan yang luas dari pemerintah Indonesia, dimulai
dengan pengakuan dari pemerintah Sumatra Utara segera setelah kematiannya.
[130]
 Pada tahun 1969 ia secara anumerta dianugerahi Satya Lencana Kebudayaan
dan Piagam Anugerah Seni.[131] Pada tahun 1975 ia dinyatakan sebagai salah
satu Pahlawan Nasional Indonesia.[132] Sebuah taman dinamakan untuknya, Taman
Amir Hamzah, yang berlokasi di Jakarta di dekat Monumen Nasional.[71] Sebuah
masjid di Taman Ismail Marzuki yang dibuka untuk umum pada tahun 1977, juga
dinamakan untuknya.[133] Beberapa jalan diberi nama untuk Amir, termasuk di Medan,
[134]
 Mataram,[135] dan Surabaya.[136]
Teeuw menganggap Amir sebagai satu-satunya penyair Indonesia berkelas
internasional dari era sebelum Revolusi Nasional Indonesia.[1] Anwar menulis bahwa
penyair ini adalah "puncak gerakan Pudjangga Baru", mengingat Nyanyi Sunyi telah
menjadi "cahaya terang yang disinarkan dia [Amir] di atas bahasa baru"; [129] namun,
Anwar tidak menyukai Buah Rindu, menganggapnya terlalu klasik.[137] Balfas
menggambarkan karya Amir sebagai "karya sastra terbaik yang mengungguli era
mereka".[138] Karya Hamzah, khususnya "Padamu Jua", diajarkan di sekolah-sekolah
Indonesia. Karyanya juga salah satu inspirasi untuk drama panggung posmodern
1992 Afrizal Malna, Biografi Yanti setelah 12 Menit.[139]
Jassin telah menyebut Amir "Raja Penyair Zaman Poedjangga Baroe", nama yang
dia digunakan sebagai judul bukunya tentang penyair tersebut. [1] Sebagai penutup
bukunya tersebut, Jassin menulis:
"... Amir bukanlah seorang pemimpin bersuara lantang mengerahkan rakjat, baik
dalam puisi maupun prosanja. Ia adalah seorang perasa dan seorang pengagum,
djiwanja mudah tergetar oleh keindahan alam, sendu gembira silih berganti, seluruh
sadjaknja bernafaskan kasih : kepada alam, kampung halaman, kepada kembang,
kepada kekasih. Dia merindu tak habis2nja, pada zaman jang silam, pada bahagia,
pada 'hidup bertentu tudju'. Tak satupun sadjak perdjuangan, sadjak adjakan
membangkit tenaga, seperti begitu gemuruh kita dengar dari penjair 2 Pudjangga
Baru jang lain. Tapi laguan alamnja adalah peresapan jang mesra dari orang jang
tak diragukan tjintanja pada tanah airnja."

— H.B. Jassin, (Jassin 1962, hlm. 41)

Anda mungkin juga menyukai