Anda di halaman 1dari 2

Bukan Bidadari dalam Pasungan

Publikasi: 16/04/2004 12:50 WIB

eramuslim - Hari itu muncul sebuah e-mail di sebuah milis yang


kuikuti. Berita pernikahan seorang alumni. Sebuah artikel singkat
menyertai, kisah tentang istri yang dilarang suaminya keluar rumah,
sampai ketika orang tuanya sakit dan akhirnya meninggal tidak
menjenguk orang tuanya tersebut.

Sebenarnya kisah itu sudah lama kudengar. Namun entahlah, saat


membaca kembali kisah itu, membangkitkan "ketakutanku". Akankah
suamiku kelak berpedoman pada kisah ini lantas melarangku untuk
sering mengunjungi orang tuaku? Akankah suamiku kelak dengan
dalih istri harus ta'at pada suami lalu menjegal mimpi-mimpiku?
Akankah dengan otoritasnya dia matikan potensiku di ranah publik?
Akankah aku dijadikannya bidadari dalam pasungan?

Bukan, bukan aku mengingkari keta'atan seorang istri kepada suami.


Tapi lebih pada ketakutan akan sosok suami yang menyalahgunakan
wewenangnya.

Ketakutan yang berlebihan? mungkin. Namun membaca dan


mendengar banyak kisah kontemporer para bidadari yang (merasa)
terpasung menjadikan ketakutan itu terasa wajar. Mau tidak mau
takut itu menggundahkan jiwaku, dan gundahku mencoba cari jawab.

Akhirnya, kala melintas sebuah kios koran dan majalah, gundahku


terjawab sudah, walau kupikir belum tuntas. Sebuah majalah dengan
bahasan utama Kekasihku Pemimpinku, memberi kesadaran kembali
(karena sebelumnya pun aku telah memahami hal ini) bahwa
kepemimpinan suami bukan rezim, bahwa aplikasi kepemimpinan tidak
semata perintah dan larangan namun keteladanan.

Lembar-lembar bahasannya seakan menenangkanku agar aku tidak


perlu takut, karena suami sebagai pemimpin dalam rumah tangga
bukan bermakna sebagai pemegang otoritas yang boleh bersikap
otoriter. Di situ DR Idris Abdu Somad, Sekjen Ikatan Da'i Indonesia
(IKADI) berujar, "Seorang suami yang memiliki istri dengan potensi
sosial atau potensi politik, jangan lantas membatasi istrinya dengan
hanya memposisikannya dalam basis rumah tangga saja".

Aku sedikit lega..

Tapi aku tahu, kelegaanku akan diuji dan dibuktikan kala hari
seseorang menjabat tangan ayahku dan menjawab ijab yang ayah
ucapkan. Maka kala itulah gundahku terjawab tuntas.

Biarlah sekarang lebih kudahulukan bekalan-bekalan menjadi istri


sholihah. Sementara bagaimana pemimpin rumah tangga yang baik,
tetap kuketahui sebagai ilmu.

Teringat ucapan seorang ustadz, "para lelaki sibuk membaca apa saja
hak suami, bagaimana istri yang baik dan ideal. Sedangkan
perempuan sibuk dengan bacaan tentang hak istri serta kriteria suami
baik dan ideal. Lantas ketika keduanya bertemu dalam bahtera rumah
tangga, harapan yang terlanjur dibuat tinggi berbenturan dengan
realita yang mungkin tidak seindah yang pernah dibaca. Bukan tidak
boleh membaca itu semua, namun hendaklah proporsional dan
seimbang. Justru dahulukan ilmu tentang kewajiban dan bagaimana
menjadi pasangan yang baik dan tepat. Agar menjadi cermin untuk
diri kita sendiri"

Walau tak bisa ku nafikkan, sedikit asa terbit di jiwa, mudah-mudahan


beliau yang berjabat tangan dengan ayah kelak pernah membaca
majalah tadi dan kelak mengamalkan, sehingga aku tidak akan pernah
menjadi bidadari dalam pasungan :)

Anda mungkin juga menyukai