Eksistensi Kriminologi Saat Ini
Eksistensi Kriminologi Saat Ini
Eksistensi Kriminologi Saat Ini
2
Ibid, hal. 9.
3
Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa, Kriminologi, RajaGrafindo Persada,
Jakarta, 2001, hal. 1.
3
4
Ibid, hal. 4.
4
5
Lamintang P.A.F, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Sinar
Baru, Bandung, 1984. hal. 23.
6
Ibid.
6
8
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2008,
hal. 14.
8
9
Romli Atmasamita, Op. cit. hal. 5.
10
Moeljatno, Op. Cit, hal. 16.
10
11
Hamdan, Politik Hukum Pidana, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1997, hal.
20.
12
J.E. Sahetapy, Kapita Selekta Kriminologi, Alumni, Bandung, 1979, hal.
22
13
Ibid, hal. 22.
14
Ibid, hal 15.
15
Ibid.
11
16
Made Darma Weda, Kriminologi, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1996,
hal. 9.
12
RANGKUMAN
1. Asal mula perkembangan kriminologi berasal dari
penyelidikan C. Lombroso (1876), namun ada pendapat lain
bahwa penyelidikan secara ilmiah tentang kejahatan dari
Adolphe Quetelet (1874), seorang Belgia yang memiliki
keahlian dalam bidang matematika.
2. Ilmu hukum pidana kriminologi seperti merupakan
pasangan (dwitunggal) saling melengkapi, Kedua ilmu
ini di Jerman dicakup dengan nama Die gesammte
17
Romli Atmasamita, 2005, Op.Cit. hal. 20.
18
Ibid, hal. 17.
14
LATIHAN
1. Jelaskan awal mula perkembangan kriminologi?
2. Jelaskan hubungan antara kriminologi dan hukum
pidana?
3. Jelaskan tujuan mempelajari kriminologi?
4. Bagaimanakah eksistensi kriminologi dewasa ini?
GLOSSARIUM
1. Hedonisme artinya suatu prinsip dimana dalam melakukan
perbuatan manusia akan selalu menimbang antara kesenangan
atau kesengsaraan yang akan didapatnya dari atau akibat
perbuatan tertentu.
2. Theoretische atau zuiver criminologie mempelajari
gejala-gejala kriminalitas sebagai keseluruhan.
3. Practische atau toegepaste criminologie berusaha
mengamati dengan sebaik mungkin berbagai tindak
pidana, untuk kemudian dengan mempergunakan
15
DAFTAR PUSTAKA
BAB II
PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUP
KRIMINOLOGI
A. Pengertian Kriminologi
Kriminologi, secara harfiah, berasal dari kata “crimen” yang
berarti kejahatan dan “logos” yang berarti ilmu pengetahuan.
Jadi kriminologi diartikan sebagai pengetahuan tentang
kejahatan.
Pengertian secara harfiah semata dapat mempersempit
persepsi orang tentang kajian dari kriminologi, seolah-olah
hanya kejahatan saja yang dibahas oleh ilmu pengetahuan ini.
Padahal menurut Romli Atmasasmita, kriminologi dapat
ditinjau dari dua segi, yaitu kriminologi dalam arti sempit
yang hanya mempelajari kejahatan saja, dan kriminologi
dalam arti luas, yang mempelajari teknologi dan metode-
metode yang berkaitan dengan kejahatan dan masalah
17
19
Romli Atmasasmita, Bunga Rampai Kriminologi, Rajawali, Jakarta, 1984,
hal. 2.
20
Made Darma Weda, Op. Cit, hal. 2.
18
b. Sebab-sebab kejahatan;
c. Perkembangan hukumpidana dan pelaksanaannya;
d. Ciri-ciri (tipologi) pelaku kejahatan (kriminal)
e. Pola-pola kriminalitas dan perubahan sosial
4. Edwin H. Sutherland dan Donald R. Cressey:
Kriminologi adalah ilmu dari berbagai ilmu pengetahuan
yang mempelajari kejahatan sebagai fenomena sosial dan
meliputi:
a. Sosiologi hukum sebagai analisa ilmiah atas kondisi-
kondisi perkembangan hukum pidana;
b. Etiologi kriminal yang mencoba melakukan analisa
ilmiah mengenai-sebab-sebab kejahatan;
c. Penologi yang menaruh perhatian atas perbaikan
narapidana
Dari berbagai pengertian di atas pada umumnya acuan
yang sering digunakan untuk definisi dan ruang lingkup
kriminologi adalah rumusan E.H.Suhtherland dan Katherine
S. Willliaam yaitu: “criminology is the body of knowledge,
regarding crime as a social phenomenon; includes the study
of: the characteristics of the criminal law, the extent of
crime, the effects of crime on victimsond on society, methods
of crime prevention,the attributes of criminals and the
characteristics and workings of criminal justice system.
Dengan pengertian demikian, maka kriminologi adalah
ilmu dari berbagai pengetahuan yang mempelajari kejahatan
sebagai fenomena sosial yang meliputi:
a. Karakteristik hukum pidana;
b. Keberadaan kriminalitas;
c. Pengaruh kejahatan terhadap korbannya dan terhadap
masyarakat;
d. Metoda penanggulangan kejahatan;
19
e. Atribut penjahat;
f. Karakteristik dan bekerjanya sistem peradilan pidana.
Perlu dicatat dalam rumusan ini adalah:
a. Yang dimaksud dengan studi kejahatan dalam
kriminologi dewasa ini adalah hubungan antara pelaku
kejahatan dan korbannya
b. Karakteristik hukum pidana dan bekerjanya sistem
peradilan pidana, tidak terlepas dari kriminologi dalam
hubungannya dengan politik atau kebijakan kriminal
dan kebijakan sosial yaitu pembangunan nasional
c. The body of knowledge, yaitu kriminologi dalam
hubungan dengan berbagai ilmu pengetahuan.21
21
Soedjono Dirdjosisworo, Sinopsis Kriminologi Indonesia, Mandar Maju,
Bandung, 1994, hal. 13
20
1. Kejahatan.
Apakah yang dimaksud dengan kejahatan ? Dalam hal ini
yang dipelajari terutama adalah perundang-undangan pidana,
yaitu norma-norma yang termuat di dalam peraturan pidana.
Meskipun kriminologi terutama mempelajari perbuatan-
perbuatan yang oleh undang-undang dinyatakan sebagai tindak
pidana, namun perkembangan kriminologi setelah tahun 1960-
an khususnya studi sosiologis terhadap perundang-undangan
pidana telah menyadarkan bahwa dijadikannya perbuatan
tertentu sebagai kejahatan (tindak pidana) tidak semata-mata
dipengaruhi oleh besar kecilnya kerugian yang diti
mbulkannya atau karena bersifat amoral, melainkan lebih
dipengaruhi oleh kepentingan-kepentingan (politik).
Sebagai akibatnya kriminologi memperluas studinya
terhadap perbuatan-perbuatan yang dipandang sangat
merugikan masyarakat luas. baik kerugian materi maupun
kerugian/bahaya terhadap jiwa dan kesehatan manusia,
walaupun tidak diatur dalam undang undang pidana. Sejalan
dengan itu, Konggres ke- 5 tentang “Pencegahan Kejahatan
dan Pembinaan Pelanggar Hukum" yang diselenggarakan oleh
badan P.B.B. pada bulan September 1975 di Jenewa
memberikan rekomendasi dengan memperluas pengertian
kejahatan terhadap tindakan “penyalahgunaan kekuasaan
ekonomi secara melawan hukum” (illegal abuses of economic
power) seperti pelanggaran terhadap peraturan perburuhan,
penipuan konsumen, pelanggaran terhadap peraturan
lingkungan, penyelewengan dalam bidang pemasaran dan
perdagangan oleh perusahaan-perusahaan transnasional,
pelanggaran terhadap peraturan pajak, dan terhadap “penya-
lahgunaan kekuasaan umum secara melawan hukum” (illegal
abuses of public power) seperti pelanggaran terhadap hak-hak
21
23
Hamdan, Op.cit. hal. 32.
24
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana,
Alumni, Bandung, 1998, hal. 162.
25
2. Kriminologi Positivis
Aliran pemikiran ini bertolak pada pandangan bahwa
perilaku manusia ditentukan oleh faktor-faktor di luar
kontrolnya, baik yang berupa faktor biologis maupun kultural.
Ini berarti bahwa manusia bukan makhluk yang bebas untuk
berbuat menuruti dorongan kehendaknya dan intelegensinya,
akan tetapi makhluk yang dibatasi atau ditentukan oleh situasi
biologis atau kulturalnya.
Aliran pemikiran in telah menghasilkan dua pandangan
yang berbeda yaitu “determinisme biologis” dan
“determinisme kultural”. Aliran positivis dalam kriminologi
mengarahkan pada usaha untuk menganalisis sebab-sebab
perilaku kejahatan melalui studi ilmiah ciri-ciri penjahat dari
aspek fisik, sosial dan kultural. Oleh karena kriminologi
positivis ini dalam hal-hal tertentu menghadapi kesulitan untuk
menggunakan batasan undang-undang, akibatnya mereka
cenderung untuk memberikan batasan kejahatan secara
“alamiah”, yaitu lebih mengarahkan pada batasan terhadap
ciri-ciri perilaku itu sendiri daripada perlaku yang
didefinisikan oleh undang-undang.
3. Kriminologi Kritis
Aliran pemikiran ini mulai berkembang pada beberapa
dasawarsa terakhir ini, khususnya setelah tahun 1960-an, yaitu
sebagai pengaruh dari semakin populernya persfektif labeling.
Aliran pemikiran ini tidak berusaha untuk menjawab
persoalan-persoalan apakah perilaku manusia itu “bebas”
ataukah “ditentukan”, akan tetapi lebih mengarahkan pada
proses-proses yang dilakukan oleh manusia dalam membangun
dunuianya dimana dia hidup. Dengan demikian akan
mempelajari proses-proses dan kondisi-kondisi yang
mempengaruhi pemberian batasan kejahatan kepada orang-
28
25
Made Darma Weda, Op. Cit, hal. 15.
26
Ibid.
27
Ibid.
28
Ibid.
30
29
Ibid. hal. 16.
30
Ibid.
31
33
Ibid. hal. 18.
34
Ibid.
35
Ibid.
33
c. Aliran Psikiatrik
Aliran ketiga ini merupakan aliran tipologis, yang lebih
menekankan pada unsur psikologis. Hal ini tidak berarti
bahwa aliran ini meninggalkan ciri-ciri morphologis yang
dimiliki setiap orang. Sebagaimana dengan aliran Lombroso,
aliran ini juga menekankan pada psikosis,epilepsi dan “moral
insanity” tetapi lebih menekankan pada gangguan emosional.
Menurut aliran ini gangguan emosional diperoleh
dalam interaksi sosial. Oleh karena itu tesis sentral dari aliran
ini adalah “a certain organization of the personality,
developed entirely apart from criminal culture, will result in
criminal behavior regardless of social situation”. 37
Aliran psikiatrik lebih banyak dipengaruhi oleh teori
dari Sigmund Freud, tentang struktur kepribadian. Menurut
Freud, kepribadian terdiri dari tiga, yaitu: das es, das ich, dan
das uber ich. Atau dikenal pula sebagai id, ego, dan super
ego.
Das es atau id merupakan alamtak sadar yang dimiliki
setiap makhluk hidup, manusia dan hewan. Segala nafsu atau
36
Ibid.
37
Ibid.hal. 19
34
38
Ibid.hal. 20.
35
39
Ibid.
40
Ibid.hal. 21
36
41
Ibid.hal. 22
42
Ibid.
43
Ibid.hal. 23
37
44
Ibid.
45
Ibid.
46
Ibid.
47
Ibid.
48
Ibid.
38
RANGKUMAN
1. Kriminologi dalam arti sempit hanya mempelajari
kejahatan saja, dan kriminologi dalam arti luas,
mempelajari teknologi dan metode-metode yang
berkaitan dengan kejahatan dan masalah prevensi
kejahatan dengan tindakan-tindakan yang bersifat punitif.
Sutherland dan Cressey pengertian kriminologi adalah
proses pembentukan hukum, pelanggaran hukum, dan
reaksi terhadap pelanggar hukum.
49
Ibid. hal. 24
50
Ibid.
39
LATIHAN
1. Kemukakan beberapa pengertian kriminologi?
2. Apa saja yang termasuk ruang lingkup studi kriminologi?
3. Apakah pertimbangan dalam proses kriminalisasi dan
dekriminalsisasi?.
40
GLOSSARIUM
1. Feeblemindedness berarti orang yang otaknya lemah yang
tidak dapat menilai perbuatannya dan dengan demikian tidak
dapat pula menilai akibat dari perbuatannya tersebut.
2. Kriminalisasi adalah proses penetapan satu perbuatan yang
dilakukan oleh penguasa (melalui Undang-Undang) sebagai
perbuatan yang dilarang dan dapat dikenai ancaman pidana
tertentu bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut.
3. Dekriminalisasi atau depenalisasi bermakna yaitu suatu proses
di mana suatu perilaku yang dikualifikasikan sebagai tindak
pidana dan dikenakan sanksi, kemudian dihapuskan kualifikasi
pidananya dan sanksinya.
4. Pendekatan multifaktor berarti penyebab kejahatan tidak
ditentukan oleh satu/dua faktor tetapi oleh banyak faktor.
DAFTAR PUSTAKA
Hamdan, 1997, Politik Hukum Pidana, RajaGrafindo Persada, Jakarta.
BAB III
KEJAHATAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN
NORMA
51
J.E. Sahetapy, Kausa Kejahatan dan Beberapa Analisa Kriminologik,
Alumni, Bandung, 1981, hal. 1.
52
L.J. Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta,
1981, hal. 13.
43
53
J.E. Sahetapy, 1979, Op. Cit. hal. 23.
54
Made Darma Weda, Op.Cit. hal. 7.
46
55
J.E. Sahetapy, 1979, Op. Cit. hal. 67.
56
Made Darma Weda, Op. Cit. hal. 13.
47
57
I.S.Susanto, Op. cit. hal. 4.
58
J.E. Sahetapy, 1979, Op.Cit. hal. 20.
50
2. Pendekatan Kausal
Pendekatan ini berupa suatu interpretasi terhadap fakta
yang dapat dipergunakan untuk mencari sebab-musabab
kejahatan, baik secara umum maupun dalam kasus-kasus
individual. Ini disebut etiologi kriminal.
Pada masa yang lalu, etiologi kriminal dianggap sebagai
fungsi utama kriminologi.Akan tetapi dewasa ini menjadi suatu
persoalan yang kontroversial. Penelitian kausal dalam
kriminologi berbeda dengan tugas seorang sarjana hukum
pidana dalam mencari hubungan kausal antara perbuatan
seseorang dengan tindak pidana (kejahatan) tertentu. (Dalam
hukum pidana dikenal adanya teori kausalitas seperti teori
conditio sine quanon, teori adequat) Seorang sarjana hukum
pidana mencari dan hendak membuktikan adanya causal nexus
antara actus reus dengan mens rea.
Bagi kriminolog yang berasal dari aliran positivis,
pertanyaannya adalah “Mengapa orang-orang melakukan
kejahatan? Sedangkan bagi penganut aliran kritis, pertanyaan
yang dapat diajukan adalah “Mengapa orang dengan ciri
tertentu –baik ciri sosial maupun psikologis- lebih sering
muncul dalam statistik kriminal resmi? Atau mengapa
sekelompok orang dianggap memiliki identitas penjahat.
59
Ibid.
51
3. Pendekatan Normatif
Telah disebutkan bahwa kriminologi merupakan
disiplin idiografik yang mempelajari fakta-fakta, sebab-
musabab serta kemungkinan-kemungkinan di dalam kasus
individual, serta disiplin nomotetik yang bertujuan untuk
menemukan kecendrungan-kecendrungan (trends) atau hukum-
hukum umum yang secara ilmiah sah.
Penjelasan bahwa kriminologi merupakan disiplin
nomotetik membawa persoalan apakah ada hukum-hukum atau
kecendrungan yang bersifat kriminologis. Persoalan yang lain
adalah apakah perbedaan antara “hukum” (laws) dengan
kecendrungan (trends), dan antara keduanya dengan “legal”
atau „juridical laws”. Sehingga apakah kriminologi merupakan
ilmu pengetahuan yang normatif.
Tanpa bermaksud memasuki pembahasan lebih lanjut
tentang “normentheorie” dari Binding dan “normative kraft
des faktischen” dari G. Jellinek, pandangan yang dianut para
ahli pada waktu kini adalah bahwa kriminologi bukanlah suatu
disiplin normatif tetapi suatu disiplin faktual.
Tanpa mengurangi arti usaha-usaha yang dilakukan
untuk mencari sebab-sebab kejahatan, menurut saya dengan
memperhatikan kelemahan kelemahan statistik kriminal, usaha
untuk mencari sebab-sebab kejahatan menghadapi persoalan
metodologis yang tidak mudah dipecahkan.
53
RANGKUMAN
1. Perbedaan dalam memahami kejahatan disebabkan oleh
kejahatan yang bersifat relatif, bergantung kepada ruang,
waktu, dan siapa yang menamakan sesuatu itu kejahatan.
60
I.S.Susanto, Op.cit. hal. 4.
60
LATIHAN
1. Apa yang dimaksud dengan kejahatan bersifat relatif
2. Sebutkan perbedaan penanganan kejahatan berdasarkan
konsep peradilan personal dengan penaganan kejahatan
dewasa ini di Indonesia melalui sistem peradilan pidana
3. Bandingkan ke tiga pendekatan yang digunakan dalam
mempelajari kejahatan (pendekatan deskriptif, sebab
akibat dan normatif).
4. Bagaimanakah penjelasan Mannheim terkait dengan
hubungan kejahatan dengan moral (kesusilaan)
GLOSSARIUM
DAFTAR PUSTAKA
BAB IV
PENELITIAN DAN METODE KRIMINOLOGI
61
I.S.Susanto, Op. Cit. hal. 18.
63
62
Soedjono Dirdjosisworo, Op. Cit. hal 73.
63
Loc. Cit.
64
65
J.E. Sahetapy, dan B. Mardjono Reksodiputro, Parados dalam
Kriminologi, Rajawali, Jakarta, 1982. hal. 28.
67
66
Ibid, hal. 29
67
I.S.Susanto, Op. Cit. hal. 21.
68
RANGKUMAN
1. Kegunaan riset kriminologi secara teoritis yaitu dapat
memberikan sumbangan dalam pembentukan, perbaikan dan
penggantian terhadap teori-teori kriminologi serta metode
dalam penelitian kriminologi. Sementara kegunaan praktis,
khususnya untuk membantu perbaikan-perbaikan dalam
bidang pembinaan dan pebegakan hukum pada umumnya.
3. Metode kriminologi terdiri dari metode primer yaitu: Statistik
kriminal, Tipologi, dan studi kasus. Metode Sekunder
meliputi: metode sosiologis, metode eksperimental, metode
prediksi, dan metode operasional (action research).
Penggunaan metode sekunder biasanya bersama-sama dengan
salah satu atau lebih metode primer.
4. Statistik kriminal adalah angka-angka yang menunjukkan
jumlah kriminalitas tercatat pada suatu waktu dan tempat
tertentu. Adapun tujuan dibuatnya statistik kriminal oleh
pemerintah adalah untuk memperoleh gambaran/data tentang
kriminalitas yang ada di masyarakat, seperti jumlahnya,
frekuensinya serta penyebaran pelakunya dan kejahatannya.
guna menyusun kebijaksanaan penanggulangan kejahatan,
sebab.
Disamping riset dan metode dikenal pula dengan sarana-sarana
untuk penggalian data yang sekaligus merupakan sumber-sumber
berharga sebagai pegangan bagi yang berminat mempelajari
kriminologi secara lebih terarah. Sarana-sarana itu adalah:
1. Statistik kriminal;
2. Kriminografi;
3. Angket mengenai biodata Narapidana
4. Autobiografi dan Biografi kriminal;
5. Novel (roman) sosial;
6. Pengamatan pribadi dan berita surat kabar.
71
LATIHAN
1. Jelaskan jenis-jenis metode ilmiah yang digunakan
kriminologi, bagaimanakah cara penggunaan metode tersebut?
2. Kemukakan pengertian statistik kriminal dan tujuan
pembuatannya
3. Apakah kekurangan-kekurangan metode statistik kriminal
tersebut.
GLOSSARIUM
DAFTAR PUSTAKA
J.E. Sahetapy, dan B. Mardjono Reksodiputro, 1982, Parodos dalam
Kriminologi, Rajawali, Jakarta.
BAB V
TEORI SEBAGAI PENUNTUN DALAM
PENELITIAN KRIMINOLOGI
69
SoerdjonoDirdjosisworo, 1994, Sinopsis Kriminologi Indonesia, Mandar
Maju, Bandung, hal. 39.
70
Ibid, hal. 41.
75
bila beberapa hari hipotesis ini ditolak, teori tersebut tetap tak
berubah. Akibatnya tidak dapat dihindari bahwa hipotesis yang
ditunjang dan dikukuhkan menjadi himpunan untuk menyangga
teori atau penbaian besarnjya moralitas yang tumbuh dari teori itu.
Teori tanpa data mendasarkan hipotesis yang “testable” dipanudang
premature karena meletakkan “blinder” bagi investigatornya dan
tidak memasukkan atau mengecilkan arti fakta-fakta yang tidak
sesuai prakonsepsi teori itu. Observasi-observasi tetap tinggal
“thin” (tidak meyakinkan) dan atau “skeletal” (bagian luar atau
rangkainya saja).
Ciri yang serupa telah ditunjukkan di dalam beberapa teori
seperti Cohen,71 Block dan Niererchafer Miller, Cloward dan
Ohlin, Dsb. Apa yang telah ditekankan oleh Cohen telah
didiskusikan dalam hubungannya dengan struktur kelas, perubahan-
perubahan cultural (cultural changer dan role playing) dia melihat
perkembangan delinquen sub-culture sebagai suatu proses yang
membangun, mempertahankan dan memperkuat kode tingkah laku
yang sesungguhnya merupakan suatu inverse dari nilai-nilai yang
dominan (middle class), delinquen sub-culture dipegang untuk
dikembangkan dan dipelihara sebagai solusi problem-problem yang
dihadapi oleh para remaja “lower class” yang berhubungan dengan
statusnya.
Cohen menyatakan “middle class” male delinquensi sebagai
akibat dari kegelisahan para pemuda yang menanjak dewasa
berhubung dengan peran kejahatannya. Posisi Cohen telah ditinjau,
diperbesar, diperluas dan sedikit direvisi oleh Cloward dan Ohlin.
71
Albert Cohen adalah murid Robert K. Merton dan Edwin H. Sutherland.
Bersama Richard Cloward dan LIoyd Ohlin dia mengembangkan teori sub-culture,
yang merupakan perpanjangan dari strain theory, social disorganization theory dan
differential association theory (teory yang ungkapkan oleh Edwin H. Sutherland).
Lihat Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa, 2001, Kriminologi,PT Raja Grafindo
Persada, Jakarta, hal. 80.
76
72
Ibid, hal. 42....... untuk lengkapnya baca juga David J. Bordua, sociological
theories and their implications for juvenile delinquensi.
77
73
Marvin E. Wolfgang & Franco Ferracuti, 1967, The Subculture of Violence:
Toward and Integrated Theory in Criminology, Tavistoct Publications, London,
New York, Sydney, Toronto, Wellington, hal. 45-49.
80
RANGKUMAN
1. Para pengumpul data berpendapat bahwa para ahli teori sedang
terlibat di dalam penelitian “fundamental” yang hanya akan
terganmtung padanya, dimana teori kriminologi dapat
bersandar, kecuali bila data yang dikumpulan dan diarahkan
cukup dengan cara metodologis yang tepat tak akan timbul
teori-teori penting dan tahan lama.
2. Antara tahun 1960-1965, telah pula muncul pernyataan-
pernyataan baru dalam teori kriminologi dan penelitian baru
yang berbungan dengan garis-garis besar teori ini dan revisi-
revisi yang datangnya dari hasil penelitian serta merupakan
refleksi dari problem-problem dan persoalan-persoalan dasar.
Cressy di dalam delinquensi, crime and differential association
telah menghiasi dan memperluas teori differential association
Sutherland dan dangan begitu menambah kejelasan dan
keyakinan mengenai cara pendekatan yang ia pegang.
3. Terdapat 4 sumber dari “structured strain” di dalam social
class system:
a. Batas-batas luar (external limits) yang dikenakan kepada
lower classes oleh middle classes yang menghalang-halangi
“pencapaian tujuan kultur yang telah direncanakan;
b. Disparitas antara ideoliogi yang berhasil dan kondisi-
kondisi objektif dari kehidupan Amerika membatasi
pencapaian masing- masing level dari struktur;
84
LATIHAN
1. Jelaskan mengapa teori begitu penting dalam penelitian
kriminologi?
2. Jelaskan perkembangan yang sedang berlangsung dalam teori
dan penelitian kriminologi saat ini?
3. Sebutkan 4 sumber dari ketegangan struktur di dalam sistem
kelas sosial?
GLOSSARIUM
DAFTAR PUSTAKA
BAB VI
PERKEMBANGAN ALIRAN-ALIRAN DALAM
KRIMINOLOGI
76
Soerdjono Dirdjosisworo, 1994, Op.cit, hal. 107.
88
77
Romli Atmasamita, 2005, Teori dan Kapita Selekta Kriminologi, Refika
Aditama, Bandung, hal. 23....Lihat juga Romli Atmasamita, 1992, Teori dan Kapita
Selekta Kriminologi, PT Eresco, Bandung, hal. 13.
78
Topo Santoso, Eva Achjani Zulfa, Kriminologi, 2008, PT Raja Grafindo
Persada, Jakarta, Hal 75.
79
Soedjono Dirdjosisworo, 1994, Op.cit, hal. 107-112..... Lihat juga; Edwin H.
Sutherland, Criminology. Edisi Kesepuluh, 1978, J. B. Lippincot Company, hal 80-
82.
89
80
Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa, 2001, Op.cit, hal. 78.
96
81
Ibid, hal. 61.
82
Sorjono Dirdjosisworo, 1994, Op.cit, hal.113.
97
84
Romli Atmasamita, 1992, Teori dan Kapita Selekta Kriminologi, PT
Eresco, Bandung, hal. 31.
101
89
Ibid, hal. 124.
107
92
Romli Atmasasmita, 2005, Teori dan Kapita Selekta Kriminologi, Refika
Aditama, Bandung, hal. 50.
93
Teori labeling, banyak dihubungkan oleh para pakar kriminologi dengan buku
Frank Tannenbaum (1938) Crime and the Community. Menurut Tannenbaum,
kejahatan tidaklah sepenuhnya merupakan hasil konflik antara kelompok dengan
masyarakat yang lebih luas, dimana terdapat dua definisi yang bertentangan tentang
tingkah laku yang layak.
111
95
Ibid, hal. 129.
96
Teori atau hipotesa atavisme dilontarkan oleh Dokter di Italia, Cesare Lombroso
yang merupakan seorang guru besar dalam ilmu Kedokteran Kehakiman dan juga
Ilmu Penyakit Jiwa. Lombroso yang merupakan Darwinisme menungkapkan
bahwa berdasarkan hukum evolusi Darwin sesuatu berkembang kearah
“sempurna” dari yang tidak sempurna. Baik tumbuh-tumbuhan, hewan maupun
manusia. Dikatakan manusia pada awal kehidupannya memiliki watak “jahat”,
namun melalui proses evolusi berkembang dalam pembudayaan dan peradaban
menjadi baik seperti keadaan sekarang, kata Lombroso saat itu. Tetapi sifat jahat
nenek moyang manusia yang sudah lama pudar dapat mewarisi kembali pada
115
manusia dalam kehidupan dewasa ini dan “mereka” yang memperoleh kewarisan
sifat nenek moyangnya yang jahat lahir sebagai “orang jahat” dan memiliki
tipologi tertentu yang oleh Lombroso dinamakan “tipe kriminal” yang dapat
tercermin dari fisik jasmaninya.
116
97
Ibid, hal. 130-131
98
Ibid, hal. 131
118
100
Ibid, hal. 134-135
101
Ibid
123
lain, dan kemungkinan bahkan lebih buruk lagi atau lebih serius
lagi oleh para psiko analisis, betapapun, karena tidak adanya
dukungan empris yang kuat bagi terjadinya gejala subtitusi
dalam hasil penganggulangan yang berorientasikan perilaku.
Wollersheim, 1970. Bagaimanapun tidak mencegah para
sarjana psiko analitik seperti Karl Meninger 1968 dari
penegasannya bahwa hukuman yang bersangsi sosial
sesunggunya dapat memperburuk lagi kecederungan kriminal
para pelaku kejahatan dengan memberikan kepadanya hukuman
yang mereka rindukannya secara tidak sadar. Dalam sebuah
penghimpunan kembali beberapa ide Freud tentang kejahatan
dan kriminalitas. David J. Dixon 1968 menemukan dan
kecenderungan etiologis dalam perkembangan perilaku kriminal
yang serius. Jalan yang paling umum meliputi kesalahan yang
belum mendapatkan penyelesaian sebagai akibat pemecahan
keadaan rasa kasih sayang pada lawan sejenis relatif pada ibu
dan ayah individu. Seorang ayah yang terlalu lunak atau lemah
sikap atau terlalu kasar dan ringan tangan dianggap sangat
penting sekali dalam perkembangan tipe pelemahan ego yang
diasosiasi dengan keinginan yang tidak disadari akan hukuman.
Jalan merefleksikan keadaan umum kecintaan pada diri sendiri
disertai dengan tingkat menimal kesalahan dan penyesalan yang
dalam karena perbuatan anti sosial seseorang. Orang-orang
seperti itu dikatakan memiliki super ego yang lemah atau super
ego yang mengalami gangguan funsi di bidang-bidang tertentu.
akibatnya, individu-individu ini secara khas tidak disusahkan
oleh kesdaran ketika merka melanggar peraturan masyarakat.102
Super ego seharusnya kuat, sehingga mampu berperan
sebagai stabilisator personalitas dalam utusan ego individu
tertentu. Jalan menuju kehidupan kejahatan ini dikatakan
102
Ibid
124
106
Ibid, hal. 138-139.
107
Ibid, hal.139.
128
110
Ibid, hal. 142.
132
112
Ibid, hal. 144.
135
113
Ibid.
114
Ibid, hal. 146
136
117
Ibid, hal. 148-149.
141
118
Ibid
142
119
Romli Atmasasmita, 1983, Problem Kenakalan Anak-anak Remaja,
Armico, Bandung, hal. 46.
143
120
Ibid, hal. 46.
121
Ibid, hal. 48.
122
Ibid, hal. 49.
144
124
Ibid, hal. 10.
146
125
Ibid
126
Romli Atmasasmita, 1983, Op.cit, 49
147
c. Adanya kesalahan;
d. Orang yang berbuat harus dapat dipertanggungjawabkan.
Tetapi anak dalam hal ini adalah anak yang di Amerika Serikat
dikenal dengan istilah Juvenile Delinquent, memiliki kejiwaan yang
labil, proses kemantapan psikis yang sedang berlangsung
menghasilkan sikap kritis, agresif dan menunjukan kebengalan yang
cenderung bertindak mengganggu ketertiban umum. Hal ini tidak bisa
dikatakan sebagai kejahatan, melainkan kenakalan karena tindakannya
lahir dari kondisi psikologis yang tidak seimbang, di samping itu
pelakunya pun tidak sadar akan apa yang seharusnya ia lakukan.
Tindakannya merupakan menifestasi dari kepuberan remaja tanpa ada
maksud merugikan orang lain sebagai apa yang diisyaratkan dalam
suatu perbuatan kejahatan (KUHPidana), yaitu menyadari akibat dari
perbuatannya dan pelakunya mampu bertanggungjawab.
Hal demikian pun terjadi di Amerika Serikat, di mana
dibedakan antara perbuatan yang dilakukan anak dengan orang
dewasa. Suatu tindakan anti sosial, yang melanggar norma hukum
pidana, kesusilaan, ketertiban umum, yang apabila itu dilakukan oleh
seseorang di atas usia 21 tahun, maka perbuatannya dinamakan
kejahatan (crime). Jika dilakukan oleh seseorang yang usianya di
bawah 21 tahun disebut kenakalan (Delinquency) .
Tingkah laku yang menjurus kepada masalah Juvenile Delinquency ini
menurut Adler adalah:127
RANGKUMAN
1. Teori asosiasi diferensial (Defferential Assosoation Theory).
Edwin H. Sutherland mengambil ide dasar ini kemudian
dikembangakan menjadi teori “perilaku kriminal” Sutherland
menghipotesakan bahwa perilaku kriminal itu dipelajari melalui
asosiasi yang dilakukan dengan mereka yang melanggar norma-
norma masyarakat termasuk norma hukum. Proses mempelajari
tadi meliputi tidak hanya tehnik kejahatan sesungguhnya, namun
juga motif, dorongan, sikap dan resonalisasi yang nyaman atau
memuaskan bagi dilakukannya perbauatan-perbuatan anti sosial.
LATIHAN
1. Kemukakan perkembangan teori asosiasi diferensial?
2. Kemukakan perkembangan strain theory?
3. Kemukakan teori kontrol sosial?
4. Kemukakan perkembangan teori label?
152
GLOSSARIUM
1. Asosiasi : Orang-orang yang saling terhubung yang membentuk
kelompok dalam masayarakat.
2. Anomi : keadaan tanpa norma (chaos).
3. criminal justice: Peradilan pidana.
4. kriminogen: Suatu situasi yang memungkinkan/mendorong
munculnya tindakan kriminal.
5. Juvenille Court: Persidangan untuk anak remaja.
6. Abnormalitas: Suatu keadaan yang dianggap tidak normal atau
tidak wajar.
7. Juvenile delinquensi: Perilaku jahat dursila, atau
kejahatan/kenakalan anak-anak muda.
DAFTAR PUSTAKA
BAB VII
PENGERTIAN, PERKEMBANGAN DAN
RUANG LINGKUP VIKTIMOLOGI
A. Pengertian Viktimologi
128
Arif Gosita, Masalah Korban Kejahatan, Akademika Pressindo, Jakarta
1993, hlm. 40.
157
B. Perkembangan Viktimologi
Sejak awal mula lahirnya hukum pidana, fokus subjek yang
paling banyak disoroti adalah si pelaku. Padahal dari suatu
kejahatan, kerugian yang paling besar diderita adalah oleh si
korban kejahatan tersebut. Akan tetapi, sedikit sekali hukum
ataupun peraturan perundang-undangan yang dapat kita temui
yang mengatur mengenai korban serta perlindungan terhadapnya.
Hukum pidana memperlakukan korban seperti hendak
mengatakan bahwa satu-satunya cara untuk melindungi korban
adalah dengan memastikan bahwa si pelaku mendapatkan balasan
yang setimpal. Hal yang juga disebutkan oleh Reif: “The problem
of crime, always get reduced to what can be done about criminal.
Nobody asks what can be done abaout victim? Everyone assumes
the best way to help the victim is to catch criminal as thought the
offender is the only source of the victims trouble.”
Apabila hendak mengamati masalah kejahatan secara
komprehensif, maka tidak boleh mengabaikan peranan korban
dalam terjadinya kejahatan. Bahkan, apabila memerhatikan pada
129
Made Darma Weda, Beberapa Catatan tentang Korban Kejahatan
Korporasi, dalam Bunga Rampai Viktimisasi, Eresco, Bandung, 1995, hlm. 200.
158
130
Suryono Ekotama, ST. Harum Pudjianto, RS., G. Widiartama, Abortus
Provocatus Bagi Korban Perkosaan Perspektif Viktimologi , Kriminologi dan
Hukum Pidana, Universitas Atmajaya,Yogyakarta, 2000, hlm. 173.
159
131
Arif Gosita, Masalah Perlindungan Anak, CV Akademika Pressindo,
Jakarta, 1989, Edisi Pertama-Cetakan Kedua, hlm. 78.
132
Chaerudin dan Syarif Fadillah, Korban Kejahatan dalam Perspektif
Viktimologi dan Hukum Pidana Islam (Jakarta: Ghalia Press, Juli 2004), Cetakan
Pertama, hlm. 21.
133
Prassel, Frank R., Criminal Law, Justice, and Society (Santa Monica
California: Goodyear Publishing Company Inc., 1979), hlm. 66
160
134
J.E. Sahetapi, Kata Pengantar dalam Bunga Rampai Viktimisasi
(Bandung: Eresco, 1995), hlm. V.
162
135
Muladi, disampaikan pada seminar viktimologi di Universitas Airlangga
Surabaya, tanggal 28-29 Oktober 1988 dari Prof. Muladi, S.H., Dr. Barda Nawawi
Arief, S.H., Bunga Rampai Hukum Pidana (Bandung: Alumni, 1992), hlm. 76.
136
Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana (Semarang: Badan
Penerbit universitas Dipenogoro, 2002), hlm. 65.
163
TABEL 3
TIPOLOGI PRECIPITASI KORBAN (SCHAFFER)
serta sangat agresif yang mencari korbanya, ternyata hal itu tidak
selalu benar”.
Menachim Amir : Pola Perkosaan dengan Kekerasan
Beberapa tahun kemudian, Menachem Amir mengkaji apa
yang kemudian menjadi analisis empiris kasus-kasus perkosaan
yang sangat kontroversial. Amir memperoleh data dari laporan-
laporan polisi atas kasus-kasus perkosaan yang terjadi di
Philadelphia antara tahun 1958-1960 an. Berdasarkan atas rincian
data yang terdapat dalam laporan polisi itu ia menunjukkan bahwa
19% perkosaan dengan kekerasan terjadi karena precipitasi
korban.
Menurut Amir precipitasi korban dalam kasus-kasus
perkosaan menunjukkan situasi di mana:
Korban sesungguhnya atau dianggap menyetujui hubungan
seksual tetapi menarik diri sebelum kejadian senyatanya
terjadi atau bereaksi namun tidak begitu kuat ketika godaan
datang dari si pelaku, istilah menerapkan juga pada kasus-
kasus dalam situasi perkawinan yang riskan dalam kaitan
dengan seksualitas, khususnya ketika ia menggunakan
sesuatu yang dapat ditafsirkan sebagai ketidaksenonohan
dalam percakapan atau bahasa tubuh, atau difahami sebagai
ajakan untuk melakukan hubungan seksual.
TABEL 5
MODEL UMUM WILAYAH PENELITIAN DAN APLIKASI VIKTIMOLOGI
Viktimologi Kritis
Satu kecendrungan terakhir dalam viktimologi adalah
pergeseran fokus perhatian viktimologi dari hal-hal yang bersifat
umum menuju kearah apa yang disebut sebagai Viktimologi
Kritis (Critical Victimology). Alasan yang mendorong pemikiran
ini menegaskan bahwa karena kegagalan viktimologi untuk
mengajukan pertanyaan dasar yang menyangkut tentang apa yang
dimaksudkan sebagai kejahatan, melupakan pertanyaan dasar
mengapa perilaku tertentu dijatuhi sanksi dan akibatnya. Itu
semua pada akhirnya telah mengarahkan perkembangan
viktimologi salah arah. Mawby dan Walkiate, merumuskan
viktimologi kritis sebagai:
Viktimologi yang mencoba menguki konteks sosial yang
lebih luas dimana berbagai versi viktimologi telah menjadi
begitu dominan dari pada bidang lain dan juga untuk
memahami bagaimana versi-versi viktimologi tersebut
terjalin dengan pertanyaan yang menyangkut tanggapan
yang bersifat kebijakan dan pelayanan yang diberikan
kepada korban kejahatan.
RANGKUMAN
1. Secara terminologi, viktimologi berarti suatu studi yang
mempelajari tentang korban, penyebab timbulnya korban dan
akibat-akibat penimbulan korban yang merupakan masalah
manusia sebagai suatu kenyataan sosial. Jadi viktimologi
merupakan suatu pengetahuan ilmiah/studi yang mempelajari suatu
viktimisasi (kriminal) sebagai suatu permasalahan manusia yang
merupakan suatu kenyataan sosial.
2. Perkembangan viktimologi dibagi dalam tiga fase. Pada tahap
pertama, viktimologi hanya mempelajari korban kejahatan (penal
or special victimology). Fase kedua, viktimologi tidak hanya
mengkaji masalah korban kejahatan, tetapi juga meliputi korban
kecelakaa (general victimology). Fase ketiga, viktimologi sudah
berkembang lebih luas lagi, yaitu mengkaji permasalahan korban
karena penyalahgunaan kekuasaan dan hak-hak asasi manusia (new
victimology).
3. Viktimologi yang pada mulanya berwawasan sempit sebagaimana
dikemukakan oleh von Hentig dan Mendelsohn, kemudian
dikembangkan oleh Mendelsohn. Selanjutnya viktimologi yang
berinklusif wawasan hak-hak asasi manusia (juga disebut the new
188
LATIHAN
1. Jelaskan pengertian viktimologi dan menyebutkan objek
pengkajiannya?
2. Sebutkan dan uraikan 3 (tiga) fase perkembangan
viktimologi?
3. Mengapa persoalan korban dilupakan?
4. Jelaskan bagaimana peranan korban terhadap timbulnya
kejahatan menurut para sarjana?
5. Jelaskan ruang lingkup kajian viktimologi menurut Prof.
Muladi?
GLOSSARIUM
1. Viktimisasi kriminal adalah suatu proses timbulnya korban
kejahatan.
2. Penal or special victimology adalah viktimologi hanya
mempelajari korban kejahatan saja.
3. General victimology adalah viktimologi tidak hanya mengkaji
masalah korban kejahatan, tetapi juga meliputi korban kecelakaan.
189
DAFTAR PUSTAKA
Prassel, Frank R., 1979, Criminal Law, Justice, and Society, Goodyear
Publishing Company Inc., Santa Monica California.
190
BAB VIII
KORBAN DAN KEJAHATAN
A. Korban
Proses pemidanaan melalui sistem peradilan pidana, korban
sering diabaikan, tak diberikan peran yang memadai. Padahal
seperti telah sering terdengar dalam perkembangan perbincangan
tentang pelakuan kejahatan, korban merupakan bagian yang tak
terpisahkan , korban adalah bagian integral dalam kaitan dengan
kejadiannya perilaku kejahatan, pelaku dan korban. Baru pada
tahun-tahun belakangan ini, terjadi peningkatan ketertarikan di
kalangan para penstudi untuk lebih memahami peranan korban
kejahatan (bukan saja sebagai bagian dari upaya untuk
menunjukan kesalahan pelaku kejahatan) melainkan ditempatkan
192
137
Arief Gosita, Masalah Korban Kejahatan, op.cit., hlm. 63
193
138
Ralph de Sola, Crime Distionary, Facts on File Publication, New York
1998), hlm. 188.
139
Cohen dan Romli Atmasasmita, Masalah Santunan Korban Kejahatan,
BPHN, Jakarta, tanpa tahun, hlm. 9.
194
B. Tipologi Korban
Perkembangan ilmu viktimologi selain mengajak
masyarakat untuk lebih memerhatikan posisi korban juga memilih-
milih jenis korban hingga kemudian muncullah berbagai jenis
korban, yaitu sebagai berikut:
a. Nonparticipating victims, yaitu mereka yang tidak peduli
terhadap upaya penanggulangan kejahatan
b. Latent victims, yaitu mereka yang mempunyai sifat karakter
tertentu sehingga cenderung menjadi korban
c. Procative victims, yaitu mereka yang menimbulkan ransangan
terjadinya kejahatan.
d. Participating victims, yaitu merka yang dengan perilakunya
memudahkan dirinya menjadi korban
e. False victimis, yaitu mereka yang menjadi korban karena
perbuatan yang dibuatnya sendiri.
196
140
Schafer dan Separovic sebagaimana dikutip dari Chaerudin dan Syarif
Fadillah, op.cit., hlm. 42, Suryono Ekotama, ST. Harum Pudjianto. RS., dan G.
Wiratama, op.cit., hlm. 176-177
197
D. Kewajiban Korban
Sekalipun hak-hak korban kejahatan telah tersedia
secara memadai, mulai dari hak atas bantuan keuangan
(financial) hingga hak atas pelayanan medis dan bantuan
hukum, tidak berarti kewajiban dari korban kejahatan
diabaikan eksistensinya karena melalui peran korban dan
keluarganya diharapkan penanggulangan kejahatan dapat
dicapai secara signifikan.
Untuk itu, ada beberapa kewajiban umum dari korban
kejahatan, antara lain:
a. Kewajiban untuk tidak melakukan upaya main hakim
sendiri/balas dendam terhadap pelaku (tindakan
pembalasan)
201
E. Kejahatan
Pengertian kejahatan (crime) sangatlah beragam, tidak
ada definisi baku yang di dalamnya mencakup semua aspek
kejahatan secara komprehensif. Ada yang memberikan
pengertian kejahatan dilihat dari aspek yuridis, sosiologis,
maupun kriminologis.
Munculnya perbedaan dalam mengartikan kejahatan
dikarenakan perspektif orang dalam memandang kejahatan
sangat beragam, di samping tentunya perumusan kejahatan
akan sangat dipengaruhi oleh jenis kejahatan yang akan
dirumuskan. Sebagai contoh pengertian kejahatan korporasi
(corporate crime), jenis kejahatan ini acapkali digunakan
dalam pelbagai konteks dan penamaan. Tidaklah
mengherankan kalau di Amerika Serikat, di mana setiap
Negara bagian menyusun perundang-undangannya, terdapat
202
d. Harm
e. In particular way or setting, and
f. A lawmaker who has decreed that these circumstances
expose the actor to imposition of fine, imprisonment, or
death as a penalty. 141
Pada awalnya, kejahatan hanyalah merupakan “cap”
yang diberikan masyarakat pada perbuatan-perbuatan yang
dianggap tidak layak atau bertentangan dengan norma-norma
atau kaidah-kaidah yang berlaku dalam masyarakat. Dengan
demikian, ukuran untuk menentukan apakah suatu perbuatan
merupakan kejahatan atau bukan adalah “apakah masyarakat
secara umum akan menderita kerugian secara ekonomis serta
perbuatan tersebut secara psikologis merugikan sehingga di
masyarakat muncul rasa tidak aman dan melukai perasaan.
Karena ukuran pertama dalam menentukan apakah suatu
perbuatan merupakan kejahatan atau bukan adalah norma-
norma yang hidup dan dianut oleh masyarakat setempat,
tentunya sukar untuk menggolongkan jenis-jenis perbuatan
yang dapat disebut dengan kejahatan. Kesukaran ini muncul
sebagai dampak dari adanya keberagaman suku dan budaya.
Bagi suatu daerah suatu perbuatan mungkin merupakan sebuah
kejahatan, tetapi di daerah lain perbuatan tersebut bisa saja
tidak dianggap sebagai kejahatan. Contoh dalam budaya
Madura, membunuh orang sebagai bentuk balas dendam yang
lazim dikenal dengan sebutan carok, tentunya lebih merupakan
sebuah upaya membela harkat dan martabat keluarga daripada
disebut sebagai upaya pembunuhan sehingga ketika carok
141
Kimball, Edward L., “Crime: Definition of Crime,” dalam: Sanford H.
Kadish (ed), Encyclopedia of Crime and Justice (New York: The Free Press: A
Division of Macmillan Inc., 1983), Volume 1, hlm. 302.
204
142
W.A. Bonger dan G.h. Th. Kempe, diterjemahkan oleh R.A. Koesnoen,
Pengantar Tentang Kriminologi (Jakarta: PT Pembangunan, 1995), Cetakan
ketujuh, hlm. 23.
205
143
Dakwaan Jaksa Penuntut Umum pada kasus peledakan bom di Legian
Bali dengan terdakwa Ali Ghufron alias Muklas alias Sofwan.
144
Richard Frase, “Victimless Crime,” dalam: Sanford H. Kadish (ed.),
Encyclopedia of Crime and Justice (New York: The Free Press: A Division of
Macmillan Inc., 1983), Volume 4, hlm. 1608.
206
145
Tutty Alawiyah, A.S, kata sambutan dalam buku Tindak Pidana
Narkotika dari Moh Taufik Makarao, et.al (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2003), hlm.
Vii.
146
Samuel Walker, Sense and Nonsense about Crime, A Policy Guide,
Monterey-California: Brooks/Cole Publishing Company, 1985m hkm. 145.
207
G. Manfaat Viktimologi
Manfaat yang diperoleh dengan mempelajari ilmu
pengetahuan merupakan faktor yang paling penting dalam
kerangka pengembangan ilmu itu sendiri. Dengan demikian,
apabila suatu ilmu pengetahuan dalam pengembangannya tidak
memberikan manfaat, baik yang sifatnya praktis maupun teoritis,
209
147
Rena Yulia, Viktimologi Perlindungan Hukum Terhadap Korban
Kejahatan, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2010, hlm. 39.
211
148
Soerjono Koesoemo, Beberapa Pemikiran tentang Filsafat Hukum:
Indonesia Menunggu Kelahiran (Kembali) “Hakim yang Besar,” Fakultas Hukum
UNDIP, Semarang, 1991.
213
terhadap hukuman yang berlaku pada saat itu, yang berlaku kejam
terhadap penjahat. Pada tahun 1777 oleh “Oeconomische
Gisellschaft” di Bern diadakan sayembara untuk merencanakan
suatu hukum pidana yang baik. Persertanya di antaranya adalah
J.P. Marat (1774-1793) dengan karangannya Plan de Legislation
des lois Crimineles ( 1780), J.P. Bnrissot de Warville (1745-1793)
Theorie des lois Crimineles (1781), dan juga C. Beccaria (1738-
1794) dengan karangannya Del Delitti e Delle Pene (1764).
Hasil perjuangan para tokoh tersebut kemudian melahirkan
hasil yang baik. Pada tahun 1780 di Prancis penganiayaan
dihapuskan, setelah sebelumnya pada tahun 1740, Frederik Agung
sudah menghapuskannya lebih dahulu. Namun, jasa yang sangat
besar dari John Howard (1726-1790) dalam bukunya The State of
The Prisons (1777), terutama mengenai rumah penjara di Inggris
dan dalam Cetakan yang belakangan mengenai kepenjaraan di
Negara lain, menunjukkan keadaan yang menyedihkan baik dari
segi kesehatan maupun kesusilaan.
Sekitar tahun 1880 di Amerika karena pengaruh golongan
Quaker, didirikan perkumpulan-perkumpulan yang memerhatikan
masalah kepenjaraan dengan tujuan memberantas akibat-akibat
yang sangat mendesak yang timbul dari adanya penutupan bersama
dalam rumah penjara. Penutupan tersendiri yang akan memberik
kesempatan pada penjahat untuk memeriksa diri sendiri (dan
karenanya menyesal), akan menggantikan penutupan bersama.
Pada tahun 1786 hukuman mati di Pennsylvania dihapuskan.
Setelah berakhirnya masa penentangan terhadap hukum
pidana dan juga hukum acara pidana, barulah fokus terhadap
kejahatan serta pelakunya dapat terealisasi. Mulailah para ahli
meneliti mengenai kejahatan serta pelaku-pelakunya, hingga
lahirnya banyak pemikiran mengenai kejahatan.
216
149
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana (Jakarta:Rineka Cipta, Mei 1993),
hlm. 15
150
Utrecht, E., Hukum Pidana I (Surabaya: Pustaka Tinta Mas, 1958), hlm.
136.
151
Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana, Perspektif Eksistensi-
alisme dan Abolisionisme (Bandung: Putra A. Bardin, 1996), hlm. 17
219
153
Mochtar Kusumaatmadja dan B. Arief Shidarta, Pengantar Ilmu
Hukum: Suatu Pengenalan Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum
(Bandung: Alumni, 2000): Edisi Pertama: Buku I, hlm 1.
154
Zen Zanibar M.Z. “Wilayah Kajian Ilmu Hukum,” dalam : Lex
Jurnalica, Transformasi Ide dan Objektivitas, Jakarta: Lembaga Penelitian dan
Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas Indonesia Esa Tunggal, No. 1/2004,
hlm. 44.
155
Apeldoorn, L.J. van, Pengantar Ilmu Hukum (Jakarta: PT Pradnya
Paramita, 1996), Cetakan Keduapuluhenam, Terjemahan: Mr. Oetarid Sadino, hlm.
11.
222
RANGKUMAN
1. Korban (victim) adalah orang-orang yang baik secara individual
maupun kolektif telah menderita kerugian, termasuk kerugian
fisik atau mental, emosional, ekonomi, atau gangguan substansial
terhadap hak-haknya yang dundamental, melalui perbuatan atau
komisi yang melanggar hukum pidana di masing-masing Negara,
termasuk penyalahgunaan kekuasaan.
2. Pada prinsipnya terdapat empat tipe korban, yaitu sebagai berikut:
a. Orang yang tidak mempunyai kesalahan apa-apa, tetapi tetap
menjadi korban
b. Korban secara sadar atau tidak sadar telah melakukan sesuatu
yang merangsang orang lain untuk melakukan kejahatan.
c. Mereka yang secara biologis dan sosial potensial menjadi
korban anak-anak, orang tua, orang yang cacat fisik atau
mental, orang miskin, golongan minoritas dan sebagainya
merupakan orang-orang yang mudah menjadi korban.
d. Korban karena ia sendiri merupakan pelaku inilah yang
dikatakan sebagai kejahatan tanpa korban.
3. Hubungan antara viktimologi dan kriminologi adalah bahwa
viktimologi dapat dirumuskan sebagai suatu studi ilmiah
mengenai para korban dan kriminologi telah diperkaya dengan
suatu orientasi viktimologi.
LATIHAN
1. Jelaskan bagaimana pengertian korban dan sebutkan
tipologi korban.
2. Sebutkan Hak dan Kewajiban Korban.
3. Jelaskan manfaat mempelajari viktimologi.
4. Jelaskan bagaimanakah hubungan viktimologi dengan
kriminologi.
223
GLOSSARIUM
1. Nonparticipating victims, yaitu mereka yang
tidak peduli terhadap upaya penanggulangan kejahatan.
2. Latent victims, yaitu mereka yang mempunyai
sifat karakter tertentu sehingga cenderung menjadi korban.
3. Procative victims, yaitu mereka yang
menimbulkan ransangan terjadinya kejahatan.
4. Participating victims, yaitu merka yang dengan
perilakunya memudahkan dirinya menjadi korban.
5. False victimis, yaitu mereka yang menjadi korban
karena perbuatan yang dibuatnya sendiri.
6. Unrelated victims, yaitu korban yang tidak ada
hubungannya sama sekali dengan pelaku.
7. Provocative victims, yaitu seseorang yang secara
aktif mendorong dirinya menjadi korban.
8. Participating victims, yaitu seseorang yang tidak
berbuat akan tetapi dengan sikapnya justru mendorong dirinya
menjadi korban.
9. Biologically weak victims, yaitu mereka yang
secara fisik memiliki kelemahan yang menyebabkan ia menjadi
korban.
10. Sosially weak victims, yaitu mereka yang
memiliki kedudukan sosial yang lemah yang menyebabkan ia
menjadi korban.
11. Self victimizing victims, yaitu mereka yang
menjadi korban karena kejahatan yang dilakukannya sendiri.
12. Crime (kejahatan) adalah bentuk tingkah laku
yang bertentangan dengan moral kemanusian. Kejahatan
224
DAFTAR PUSTAKA
Zen Zanibar M.Z. 2004, “Wilayah Kajian Ilmu Hukum,” dalam : Lex
Jurnalica, Transformasi Ide dan Objektivitas, Jakarta:
Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat
Universitas Indonesia, Esa Tunggal, Jakarta.
227
BAB IX
KEDUDUKAN KORBAN DALAM SISTEM
PERADILAN PIDANA
156
Sidik Sunaryo, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, UMM Press,
Malang, hlm. 2.
157
Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, Urgensi Perlindungan
Korban Kejahatan antara Norma dan Realita, P.T. RajaGrafindo Persada, Jakarta,
2007, hlm. 24.
229
158
Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana (Perspektif Eksisten-
sialisme dan Abolisionisme, Binacipta, Bandung, 1996, hlm. 86.
231
Ayat (2):
Apabila terhadap suatu perkara pidana tidak diajukan
permintaan banding, maka permintaan banding mengenai
putusan ganti rugi tidak diperkenankan.
Pasal 101:
Ketentuan dari aturan hukum acara perdata berlaku
bagi gugatan ganti kerugian sepanjang dalam undang-undang
ini tidak diatur lain.
Pasal 98-101 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana di atas
adalah pasal-pasal yang berkaitan dengan hak korban dalam
menuntut ganti kerugian. Mekanisme yang ditempuh adalah
penggabungan perkara gugatan ganti kerugian pada perkara
pidana. Penggabungan perkara ganti kerugian merupakan
acara yang khas dan karakteristik, yang ada di dalam isi
ketentuan dari KUHAP.
Asas penggabungan perkara ganti kerugian pada
perkara pidana dapat disebutkan sebagai berikut:
1. Merupakan praktik penegakan hukum berdasarkan ciptaan
KUHAP sendiri bagi proses beracara (pidana dengan
perdata) untuk peradilan di Indonesia. KUHAP memberi
prosedur hukum bagi seorang korban (atau beberapa
korban) tindak pidana, untuk menggugat ganti rugi yang
232
159
R. Soeparmono, Praperadilan dan Penggabungan Perkara Gugatan
Ganti Kerugian dalam KUHAP, Mandar Maju, Bandung, 2003. hlm. 86.
160
Loc.cit.
161
R. Soeparmono, Ibid, hlm 87.
233
162
Rusli Muhammad, Hukum Acara Pidana Kontemporer, Citra Aditya
Bakti, Bandung, 2007.
163
Rusli Muhammad, Ibid, hlm. 115.
234
164
Rusli Muhammad, Op.cit, hlm. 88-89.
235
165
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan
KUHAP, Mandar Maju, Bandung, 2003, hlm. 81.
236
166
Dikdik M. Arief dan Elisatris Gultom, opcit, hlm. 152.
237
167
Arif Gosita, 1993, Masalah Korban Kejahatan, CV. Akademika
Pressindo, Jakarta, hlm. 63.
241
168
Rena Yulia, Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kekerasan dalam
Rumah Tangga dalam Penegakan Hukum, Mimbar, LPPM-UNISBA, Bandung, hlm.
322.
242
Negeri dapat diberikan dalam waktu paling lama 1 (satu) tahun dan
dapat diperpanjang atas penetapan pengadilan.
Dengan demikian menyangkut perlindungan terhadap
korban KDRT, secara normatif sudah memenuhi, tetapi perlu
pelaksanaan lebih lanjut dari ketentuan tersebut baik berupa
kebijakan maupun tindakan.
Hal ini berkenaan dengan pengaturan bentuk-bentuk
kekerasan yang termasuk ke dalam delik aduan dan delik biasa.
Perbuatan yang termasuk dalam delik aduan (Pasal 51-53)
merupakan prebuatan kekerasan yang terjadi antara suami dan istri
yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk
menjalankan perkerjaan, jabatan atau mata pencaharian atau
kegiatan sehari-hari. Ini dimaksudkan agar wilayah privasi suami
dan istri dalam rumah tangga tetap terjaga, untuk itu diperlukan
kerjasama dari korban kekerasan berupa pengaduan sehingga lebih
mudah dalam penanggulangannya.
UU Penghapusan KDRT ini mengatur pula mengenai sanksi
pidana bagi pelaku kekerasan dalam rumah tangga, berbeda dengan
KUHAP yang hanya mengatur tentang sanksi berupa pidana
berupa:
a. Pembatasan gerak pelaku baik yang bertujuan untuk
menjauhkan pelaku dari korban dalam jarak dan waktu tertentu,
maupun pembatasan hak-hak tertentu dari pelaku
b. Penetapan pelaku mengikuti program konseling di bawah
pengawasan lembaga tertentu.
Akan tetapi dalam UU Penghapusan KDRT ini dirumuskan
sistem sanksi secara alternative, pelaku KDRT dapat dikenakan
pidana penjara atau pidana denda. Dengan demikian dalam
pelaksanaannya akan memberikan ketidakadilan bagi korban
KDRT itu sendiri, dengan adanya sanksi alternative pelaku KDRT
243
3. Compensation
Kompensasi diberikan kepada korban oleh pelaku. Akan
tetapi pada saat pelaku tidak sanggup untuk membayar maka
kompensasi itu harus dibayar oleh Negara.
Korban yang mendapat kompensasi yaitu:
(a) Korban yang menderita luka fisik maupun psikis akibat dari
kejahatan yang berbahaya
(b) Keluarga korban
4. Assitance/bantuan
Korban perlu menerima bantuan baik medis, sosial dan
psikologis. Bantuan ini disalurkan melalui bidang pemerintahan
atau masyarakat. Korban harus dijamin kesehatannya.
Para aparat terkait harus mempunyai pengetahuan yang
cukup untuk dapat memenuhi kebutuhan korban. Sehingga
bantuan yang diberikan optimal dan professional. Bantuan yang
diberikan harus tepat sasaran.
169
H.C. Najmuddin HS, Tujuan Pemidanaan dalam Hukum Pidana Islam,
Tesis, Universitas Islam Bandung, Bandung, 2001, hlm. 96.
170
Abdul Qadir Audah, 2007, At-Tasyri al-jina I al-Islamiy Muqaranan bil
Qanunil Wad‟iy, Edisi Indonesia, Penerjemah Tim Tsalisah, Ensiklopedi Hukum
Pidana Islam, PT. Kharisma Ilmu, Jakarta.
248
171
Ibid, hlm. 23-24.
172
Ibid, hlm. 69.
173
Loc.cit.
249
174
Loc.cit.
175
Ibid, hlm. 70.
250
RANGKUMAN
1. Kedudukan korban dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara
Pidana (Pasal 98-101) adalah hak korban dalam menuntut ganti
kerugian. Mekanisme yang ditempuh adalah penggabungan
perkara gugatan ganti kerugian pada perkara pidana.
Penggabungan perkara ganti kerugian merupakan acara yang khas
dan karakteristik, yang ada di dalam isi ketentuan dari KUHAP.
2. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan
Saksi dan Korban kedudukan korban tidak hanya sekedar dapat
ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk
perlindungan dan dukungan keamanan atau dapat memperoleh
informasi mengenai putusan pengadilan atau pun korban dapat
mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan. Namun, sebagai
pihak yang dirugikan korban pun berhak untuk memperoleh ganti
rugi dari apa-apa yang diderita.
3. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan
Saksi dan Korban di dalam Pasal 7 menyebutkan bahwa korban
dapat mengajukan hak atas kompensasi (dalam kasus pelanggaran
HAM berat) dan hak atas restitusi atau ganti kerugian yang
menjadi tanggung jawab pelaku tindak pidana.
4. Pasal 10 UU Penghapusan KDRT korban berhak mendapatkan
Perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan,
251
LATIHAN
1. Jelaskan kedudukan korban dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana.
2. Jelaskan kedudukan korban dalam Undang-Undang Nomor
13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
3. Jelaskan kedudukan korban dalam Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah
Tangga.
252
GLOSSARIUM
DAFTAR PUSTAKA
T
Tertiary victimization,
testable,
the lower class culture,
the street gang,
theft,
thin,
toegepaste criminologie ,
typical,
typological,
U
uccupational,
Unrelated victims,
V
values of variable,
Victim Compensation,
victim justice system,
victim survey,
victima,
victimity,
victimless crime,
victim-offender relationship,