USUL FIQH
“Hadist Sebagai Sumber Hukum Kedua Setelah Al-Quran”
Nama Kelompok
Moh. Agung
Iqbal Maulana
Moch. Faisal Madani
Moh. Hilmi
Puji dan Syukur kami panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat
limpahan Rahmat dan Karunia-nya sehingga kami dapat menyusun makalah ini dengan baik dan
benar, serta tepat pada waktunya. Dalam makalah ini kami akan membahas mengenai “HADIST
SUMBER AJARAN ISLAM”.
Makalah ini telah dibuat dengan berbagai observasi dan beberapa bantuan dari berbagai
pihak untuk membantu menyelesaikan tantangan dan hambatan selama mengerjakan makalah
ini. Oleh karena itu, kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak
yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini.
Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang mendasar pada makalah ini.
Oleh karena itu kami mengundang pembaca untuk memberikan saran serta kritik yang dapat
membangun kami. Kritik konstruktif dari pembaca sangat kami harapkan untuk penyempurnaan
makalah selanjutnya.
Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua.
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................................. 1
DAFTAR ISI ............................................................................................................ 2
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................ 3
A. Latar Belakang .............................................................................................. 3
B. Rumus Masalah……… ...................................................................................4
C. Tujuan Pembuatan Makalah...........................................................................4
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Hadist………………………………………………………….…5
B. Kedudukan Hadist Dalam Islam…………………………………………..… 5
C. Fungsi Hadist Dalam Ajaran Islam………………………………………….10
D. Fungsi - Fungsi Hadits dan Contoh - Contoh Kasus Serta Dalil
Pendukungnya………………………………………………………………..12
E. Pendapat Para Ulama Tentang Fungsi Hadits Dalam Islam…………………15
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan………………………………………………………….………16
B. Saran…………………………...…………………………………………….17
C. Daftar Pustaka……………………..…………………………………………18
BAB I
PEDAHULUAN
Ulama Usul Fikih menetapkan perbuatan Nabi terbagi atas beberapa bagian :
1. Jibilli (tabi’at) yaitu semua perbuatan Nabi yang termasuk urusan tabi’at seperti makan, minum
dan lain-lain. Maka hukumnya mubah baik untuk perorangan maupun umatnya
2. Qurb (pendekatan) seperti ibadah shalat, puasa, shadaqah atau yang seumpamanya
3. Mu’amalah (hubungan dengan sesama manusia) seperti jual beli, perkawinan dan lain-lain
4. Sunnah Taqririyah, yaitu penetapan dan pengakuan Rasulullah terhadap pernyataan ataupun
perbuatan orang lain baik dengan lisan beliau, sikap diam beliau tanpa melakukan sanggahan.
Persetujuan Nabi ini menunjukan suatu kebolehan.
5. Sunnah hammiyah, yaitu sesuatu yang telah direncanakan Nabi akan dikerjakan tapi tidak
sampai dikerjakan sampai beliau wafat.
Berbeda dengan Al Qur’an, sebagian besar Al Hadits tidak ditulis pada waktu Rasulullah
SAW masih hidup kerena disebabkan beberapa faktor :
1. karena Rasul sendiri pernah melarangnya.Para ulama hadits menganggap larangan ini
disebabkan oleh kekuatiran, bahwa catatan Al Hadits akan bercampur dengan Al Qur’an, karena
waktu itu belum ada media tulis yang baik. Buktinya, Rasul sendiri di kemudian hari
mengijinkan beberapa sahabat yang terpercaya, menulis keterangan-keterangan beliau.
2. Jarang sekali Rasulullah menerangkan, apakah ucapan dan perbuatan beliau itu atas petunjuk
Allah atau hanya ijitihad beliau sendiri.
3. Pada waktu itu ummat sibuk berperang dan berdakwah. Maka potensi penulis yang tersedia,
dimanfaatkan dengan prioritas menulis Al Qur’an, yang Rasul memang memerintahkannya.
4. Rasulullah SAW pada masa itu masih berada di tengah ummat, sehingga bila ada yang
memerlukan keterangan atau penjelasan tentang pernyataan Al Qur’an, dia dapat bertanya
langsung kepada beliau.
Kenyataan bahwa tulisan mengenai Al Hadits sangat langka, menimbulkan
kesulitanketika Rasulullah SAW telah wafat. Apa lagi tatkala sahabat-sahabat yang dekat dengan
beliau dan yang menyaksikan kehidupan sehari-hari beliau, telah wafat pula. Padahal umat
memerlukan pengetahuan tentang Sunnah Rasulullah di dalam menyelesaikan berbagai masalah,
yang petunjuk operasionalnya tidak ditemui dalam Al-Qur’an.
Maka Khalifah Umar bin Abdul Aziz (menjabat tahun 99-101 H), mengambil inisiatif
memerintahkan ummat untuk menuliskan segala sesuatu yang diucapkan dan dilakukan oleh
Rasulullah SAW. Sejak perintah dikeluarkan, banyak sekali hadits yang ditulis dan
disebarluaskan. Persoalan timbul kemudian, ketika banyak hadits yang saling bertentangan, dan
yang isinya diragukan. Maka para ulama kemudian melakukan seleksi hadits, dengan menyusun
metode untuk itu. Yang terkemuka dalam pengembangan metode sekaligus penerapannya, antara
lain Imam Bukhari (194-256 H), Imam Muslim (202-261 H), Abu Musa Muhammad at-Tirmidzi
(209-279 H), Abu Dawud (202-275 H), Ibnu Majah (209-273 H), dan An Nasa’i (215-303 H).
Umumnya ulama hadits beranggapan, metode Bukhari merupakan yang paling hati-hati dalam
prosedur seleksi hadits.
Meskipun ada perbedaan di antara berbagai metode yang digunakan, secara umum dapat
dikatakan bahwa ada tiga unsur yang diperiksa dalam proses seleksi hadits:
1. Sanad, yaitu hubungan antara orang yang mendengar atau menyaksikan sendiri ucapan maupun
perbuatan Rasul secara berantai sampai kepada yang menuliskannya. Urutan itu harus
menyambung tanpa ada keraguan sama sekali.
2. Rawi, yaitu orang-orang yang disebut dalam garis sanad; mereka harus terpercaya dalam arti
kukuh imannya, baik ibadahnya, luhur akhlaknya, dan panjang ingatannya.
3. Matan (isi hadits), yaitu tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan hadits-hadits lain yang lebih
tinggi tingkat kepercayaannya.
Dengan pemeriksaan yang saksama terhadap sanad, dapat diketahui apakah sebuah hadits
itu mutawatir dikemukakan di dalam banyak sekali jalur sanad, atau masyhurdinyatakan di
dalam cukup banyak sanad, atau ahad hanya ditemukan dalam sedikit jalursanad.
Hadist mutawatir tentu lebih mudah dipercayai dibanding masyhur, apa lagi haditsahad.
Selanjutnya sesudah mempertimbangkan hasil penelitian terhadap semua unsur, dapat
ditetapkan mana hadits yang shahih, mana yang hasan (cukup baik) tetapi tidak sampai pada
taraf shahih, dan mana yang dhaif (lemah).
Meskipun para ulama menggunakan istilah yang berbeda, namun pada dasarnya yang
mereka maksudkan sama saja. Secara umum fungsinya adalah menguatkan, merinci,
menjelaskan, membuat aturan baru dan merevisi aturan al-quran.[4]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Al-Hadits merupakan sumber kedua bagi ajaran Islam, dialah sumber yang paling luas,
yang terinci penjelasannya, dan paling lengkap susunannya. Sunnah memberikan perhatian yang
penuh dalam menjelaskan Al-Qur’an. Oleh sebab itu, tidaklah seharusnya dalam
urusan istinbat hukum Islam, orang mencukupkan Al-Qur’an saja, tanpa membutuhkan
penjelasan dari As-Sunnah.
Maka dari itulah, jangan terlalu mudah kita mengambil suatu hukum dari Al-Qur’an tanpa
melihat terlebih dahulu apakah ada hadits yang menjelaskan tentang ayat tersebut.
Marilah kita gali potensi kemampuan kita dalam memahami Al-Qur’an dan Al-Hadits agar
kita mampu memahami agama dengan baik dan benar.
Al-qur’an dan Hadits adalah sebagi pedoman hidup, sumber hukum dan ajaran dalam Islam
antara satu dengan yang lain tidak dapat dipisahkan. Dengan kata lain, hadist adalah sumber
hukum islam kedua setelah al-quran.
Fungsi hadits sebagai penjelas(bayan) terhadap Al-qur’an mempunyai empat(4) macam,
yaitu:
1. Bayan Al-Taqrir di sebut juga dengan bayan al-ta’qid dan bayan al-isbat yaitu menetapkan dan
memperkuat apa yang telah di terangkan dalam al-qur’an
2. Bayan Al-Tafsir adalah fungsi hadits yang memberikan rincian dan tafsiran terhadap ayat-ayat
al-qur’an yang masih bersifat global (mujmal), memberikan persyaratan atau
batasan(taqyid) ayat-ayat al-qur’an yang bersifat mutlak, dan mengkhususkan (takhshish) ayat
al-qur’an yang masih bersifat umum.
3. Bayan At-Tasyri’ adalah mewujudkan suatu hukum atau ajaran-ajaran yang tidak didapati dalam
al-Quran , atau dalam al-quran hanya terdapat pokok-pokoknya saja
4. Bayan At-Nasakh yaitu penghapusan hukum Syar'i dengan suatu dalil syar'i yang datang
kemudian
Pendapat Para Ulama Tentang Fungsi Hadits Dalam Islam:
Menurut Imam Malik bin Annas, yaitu meliputi bayan taqrir, bayan tafsir, bayan tafshil,
bayan Isbat, dan bayan tasyri’. Menurut Imam Syafi’i, yaitu meliputi bayan takhsis, bayan ta’yin,
bayan tasyri’, bayan nasakh, bayan tafshil dan bayan isyaroh. Menurut Ahman bin Hanbal yaitu
meliputi bayan ta’kid, bayan tafsir, bayan tasyri’, dan bayan takhsis.
B. Saran
Demikian makalah ini kami susun. Semoga apa yang telah kami uraikan diatas mengenai
Hadist dalam Ajaran Islam sedikit banyaknya memberi manfaat kepada kita semua. Dan kami
menyadari sebagai manusia biasa memang tidak bisa luput dari kesalahan tidak terkecuali
dengan makalah yang kami buat.
Untuk itu, kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan demi terciptanya makalah
yang lebih baik lagi. Semoga makalah ini bermanfaat untuk kita semua. Amiiin.
DAFTAR PUSTAKA
Rahman, Zufran. 1995.”Kajian Sunnah Nabi saw Sebagai Sumber Hukum Islam”.Jakarta: Pedoman
Ilmu Jaya.
http://abdullah21.wordpress.com/2008/10/13/sumber-%E2%80%93-sumber-ajaran-islam/
http://file.upi.edu/Direktori/FPBS/JUR._PEND._BAHASA_ARAB/195510071990011-
DEDENG_ROSIDIN/MODUL_USHUL_FIQIH.pdf