Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

USUL FIQH
“Hadist Sebagai Sumber Hukum Kedua Setelah Al-Quran”

Nama Kelompok
Moh. Agung
Iqbal Maulana
Moch. Faisal Madani
Moh. Hilmi

Institut Agama Islam Al Khoziny Buduran Sidoarjo


Februari 2020
KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur kami panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat
limpahan Rahmat dan Karunia-nya sehingga kami dapat menyusun makalah ini dengan baik dan
benar, serta tepat pada waktunya. Dalam makalah ini kami akan membahas mengenai “HADIST
SUMBER AJARAN ISLAM”.
Makalah ini telah dibuat dengan berbagai observasi dan beberapa bantuan dari berbagai
pihak untuk membantu menyelesaikan tantangan dan hambatan selama mengerjakan makalah
ini. Oleh karena itu, kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak
yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini.
Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang mendasar pada makalah ini.
Oleh karena itu kami mengundang pembaca untuk memberikan saran serta kritik yang dapat
membangun kami. Kritik konstruktif dari pembaca sangat kami harapkan untuk penyempurnaan
makalah selanjutnya.
Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua.

Sidoarjo,26 februari 2020

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................. 1
DAFTAR ISI ............................................................................................................ 2
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................ 3
A. Latar Belakang .............................................................................................. 3
B. Rumus Masalah……… ...................................................................................4
C. Tujuan Pembuatan Makalah...........................................................................4
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Hadist………………………………………………………….…5
B. Kedudukan Hadist Dalam Islam…………………………………………..… 5
C. Fungsi Hadist Dalam Ajaran Islam………………………………………….10
D. Fungsi - Fungsi Hadits dan Contoh - Contoh Kasus Serta Dalil
Pendukungnya………………………………………………………………..12
E. Pendapat Para Ulama Tentang Fungsi Hadits Dalam Islam…………………15
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan………………………………………………………….………16
B. Saran…………………………...…………………………………………….17
C. Daftar Pustaka……………………..…………………………………………18
BAB I

PEDAHULUAN

A.    Latar belakang


Tatkala membahas Al Qur’an, kita mengemukakan bahwa Kitab Allah ini
bukansekedar shuhuf petunjuk untuk menyelesaikan sejumlah masalah yang muncul pada masa
turunnya, dan yang dihadapi oleh Nabi Muhammad SAW beserta para pengikut beliau. Al
Qur’an merupakan sebuah uraian lengkap mengenai segala sesuatu yang perlu diketahui
manusia, dan dihimpun dalam sebuah sistem. Meskipun Al Qur’an menegaskan mengenai
dirinya sebagai Kitab yang menerangkan segala sesuatu, tetapi tidak semua masalah
disampaikannya secara tuntas, sejak dari prinsip dasar sampai dengan operasionalisasinya.
Rupanya Allah menetapkan untuk memfungsikan Rasul bukan sekedar membacakan Kitab-
Nya kepada ummat, tetapi juga menerangkan isinya dan memberi contoh pengamalannya di
dalam kehidupan sehari-hari.
Karena itu sesudah Al Qur’an kaum mukminin menerima As Sunnah – jalan atau tradisi Rasul.
Jalan Rasul itu diberitakan secara beranting kepada ummat, maka berita tentang sikap dan akhlak
Rasulullah SAW itu dikenal sebagai Al Hadits yang makna harfiahnya adalah berita.
Sehubungan dengan itu Rasulullah menyatakan: “Aku tinggalkan dua hal untuk kamu
sekalian; maka kamu tidak ak an tersesat apabila berpegang kepada keduanya. Dua hal itu
adalah Al Qur’an dan Sunnahku”. Dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Tirmidzi
dikemukakan sabda beliau: “Barangsiapa mencintai sunnahku berarti dia mencintai aku, dan
barangsiapa mencintai aku maka kelak dia akan bersamaku di dalam surga”.
Al-Quran dan hadits mempunyai hubungan yang sangat erat dimana keduanya tidak dapat
dipisahkan meskipun ditinjau dari segi penggunaan hukum syariat, hadist/sunnah mempunyai
kedudukan sederajat lebih rendah dibandingkan al-quran. Hal ini akan terasa sekali ketika
seseorang membaca atau mendapati ayat-ayat al-Quran yang masih sangat global, tidak
terpirinci, dan kerap kali terdapat keterangan-keterangan yang bersifat, tidak muqoyyad.  
Seperti perintah tentang kewajiban sholat. Dalam al-Qu’ran, tidak dijelaskan bagaimana cara
seseorang untuk mendirikan sholat, ada berapa rokaat,apa yang harus dibaca, dan apa saja syarat
rukunnya. Akan  tetapi, dari hadist kita dapat mengetahui tata caranya sebagaimana yang telah
disyariatkan. Oleh karenanya, keberadaan hadist menjadi hal yang urgen melihat fungsi umum
hadist menjadi bayan ayat-ayat al-Quran yang masih butuh kajian lebih dalam untuk mengetahui
makna yang sesungguhya. 
Jika umat islam mempunyai pengetahuan yang sedikit tentang hadist, maka akan sangat sulit
bagi kita untuk menelaahlebih dalam dan memahami ayat-ayat al-Quran.
Dalam makalah ini,  akan diuraikan terkait fungsi hadits dalam ajaran Islam, disertai contoh
permasalahannya dan juga perbedaan pendapat para ulama dalam mengklasifikasikannya.

B.     Rumusan Masalah


1.      Apa yang dimaksud dengan hadits ?
2.       Bagaimana kedudukan sebuah hadits sebagai sumber dasar dalam agama Islam ?
3.      Apa fungsi hadits dalam ajaran Islam ?
4.      Sebutkan dan jelaskan klasifikasi fungsi-fungsi hadits sesuai urutan dan contoh-contoh kasus
serta dalil pendukungnya?
5.      Bagaimana pendapat para ulama tentang fungsi haditsdalam islam?

C.    Tujuan Pembuatan Makalah


1.      Supaya mengetahui apa yang dimaksud dengan hadits.
2.      Mengetahui kedudukan hadits dalam Islam
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Hadits
Hadits[1] menurut bahasa (etimologi) adalah perkataan atau ucapan Hadits menurut syar’i
adalah segala sesuatu yang berasal dari Rasulullah SAW baik perbuatan, perkataan, dan
penetapan pengakuan (takrir)[2]. Hadits berfungsi sebagai penjelas ayat-ayat Al-quran yang
kurang jelas atau sebagai penentu hukum yang tidak terdapat dalam Al-quran.
Hadits atau Sunnah dibagi menjadi empat macam, yaitu:
1.        Sunnah Qauliyah, yaitu semua perkataan Rasulullah yang ada hubungannya dengan pembinaan
hukum Islam
2.        Sunnah Fi’liyah, yaitu semua perbuatan Rasulullah yang diberitakan para sahabat mengenai
soal-soal ibadah dan lain

Ulama Usul Fikih menetapkan perbuatan Nabi terbagi atas beberapa bagian :
1.        Jibilli (tabi’at) yaitu semua perbuatan Nabi yang termasuk urusan tabi’at seperti makan, minum
dan lain-lain. Maka hukumnya mubah baik untuk perorangan maupun umatnya
2.        Qurb (pendekatan) seperti ibadah shalat, puasa, shadaqah atau yang seumpamanya
3.        Mu’amalah (hubungan dengan sesama manusia) seperti jual beli, perkawinan dan lain-lain
4.        Sunnah Taqririyah, yaitu penetapan dan pengakuan Rasulullah terhadap pernyataan ataupun
perbuatan orang lain baik dengan lisan beliau, sikap diam beliau  tanpa melakukan sanggahan.
Persetujuan Nabi ini menunjukan suatu kebolehan.
5.        Sunnah hammiyah, yaitu sesuatu yang telah direncanakan Nabi akan dikerjakan tapi tidak
sampai dikerjakan sampai beliau wafat.

B.     Kedudukan Hadits Dalam Islam


Rasulullah SAW adalah orang yang setiap perkataan dan perbuatannya menjadi pedoman
bagi manusia. Karena itu beliau ma’shum (senantiasa mendapat petunjuk Allah SWT). Dengan
demikian pada hakekatnya Sunnah Rasul adalah petunjuk yang juga berasal dari Allah. Kalau Al
Qur’an merupakan petunjuk yang berupa kalimat-kalimat jadi, yang isi maupun redaksinya
langsung diwahyukan Allah, maka Sunnah Rasul adalah petunjuk dari Allah yang di ilhamkan
kepada beliau, kemudian beliau menyampaikannya kepada ummatdengan cara beliau sendiri.
.......)44 ‫(النحل‬...........‫وانزلنا اليك الذكر لتبين للناس ما نزل اليهم‬
“kami telah menurunan peringatan (Al-Qur’an) kepada engkau (Muhammad) supaya kamu
menerangkan kepada segenap manusia tentang apa-apa yang diturunkan kepada mereka (QS.
An-Nahl 44).
..)7 ‫(الحشر‬........‫ما اتكم الرسول فخذوه وما نهكم عنه فانتهوا‬
“apa-apa yang didatangkan oleh Rasul kepada kamu, hendaklah kamu ambil dan apa yang
dilarang bagimu hendaklah kamu tinggalkan” (QS. Al-Hasyr 7)
Ayat-ayat diatas menjelaskan bahwa sunnah/ hadits merupakan penjelasan Al-Qur’an.
Sunnah itu diperintahkan oleh Allah untuk dijadikan sumber hukum dalam Islam. Dengan
demikian, sunnah adalah menjelaskan Al-Qur’an, membatasi kemutlakannya dan mentakwilkan
kesamarannya. Allah menetapkan bahwa seorang mukmin itu belum dapat dikategorikan
beriman kepada Allah sebelum mereka mengikuti segala yang diputuskan oleh Rasulullah SAW
dan dengan putusannya itu mereka merasa senang.
Iman Asy-Syathibi menerangkan dalam karyanya Al-Muwafaqat  bahwa sunnah dibawah
derajat Al-Quran dengan alasan :
1.            As-sunnah menjadi bayan (keterangan) Al-Qur’an.
2.            As-sunnah menerangkan hukum-hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an, bukan Al-Qur’an
menerangkan hukum sunnah.
3.            As-sunnah menguatkan kemutlakan Al-Qur’an, mengkhususkan keumuman Al-Qur’an dan
mengihtimalkan lahirnya Al-Qur’an[3].

Dalam hal mengishtinbatkan hukum, maka sunnah mempunyai batas-batas :


1.             Sunnah mensyari’atkan apa-apa yang disyari’atkan oleh Allah SWT agar diikuti dan
dilaksanakan[4].
2.             Sunnah Nabi menerangkan apa-apa yang disyari’atkan oleh Al-Qur’an dalam hal menjelaskan
ayat-ayat yang umum, mentabyinkan ayat-ayat yang muhtamil dan mentaqyidkan ayat-ayat yang
mutlak.
3.             Sunnah berwenang membuat berbagai macam hukum baru yang tidak terdapat dalam Al-
Qur’an. Untuk hal ini, Nabi saw berpedoman kepada ilham dan petunjuk dari Allah dan ada pula
yang berdasarkan ijtihad Rasulullah sendiri.

Imam Syafi’i menguraikan kedudukan sunnah terhadap Al-Qur’an sebagai berikut:


1.    Sunnah itu bayanut tafshil, keterangan yang menjelaskan ayat-ayat yang mujmal.
2.    Sunnah itu bayanut takhsis  yaitu keterangan yang mentakhsiskan segala keumuman Al-Qur’an.
3.    Sunnah itu bayanut ta’yin yaitu keterangan yang menentukan mana yang dimaksud dari dua kata
atau tiga macam persoalan yang semuanya mungkin untuk dijelaskan secara terang.
4.    Sunnah itu bayanut ta’kid yaitu keterangan sunnah yang bersesuaian benar dengan petunjuk Al-
Qur’an dari segala jurusan dan ia menguatkan apa yang dipaparkan ayat-ayat Al-Qur’an.
5.    Sunnah itu bayanut tafsir yaitu keterangan sesuatu hukum dari Al-Qur’an, yang menerangkan
apa yang dimaksud oleh ayat-ayat yang tersebut dalam Al-Qur’an.
6.    Sunnah itu bayanut tasyri yaitu keterangan sesuatu hukum yang tidak diterangkan dalam Al-
Qur’an.

Dalam menyampaikan Al Qur’an, Rasulullah SAW hanya meneruskan apa yang


diwahyukan kepada beliau, tanpa hak untuk menambah, mengurangi atau mengubah satu patah
katapun. Sedangkan dalam mendakwahkan petunjuk selain beliau menyampaikannya dengan
ucapan, dalam hal itu kata-kata dan susunannya berasal dari Muhammad SAW sendiri. Hadits
Qudsi, walaupun dimulai dengan pernyataan: “Allah berfirman”, kalimatnya tetap dari Rasul.
Beliau hanya menerangkan firman Allah yang beliau terima sebagai ilham. Pada waktu lain
beliau mengemukakan petunjuk Allah itu dengan perbuatan, termasuk dengan berdiam diri
ketika melihat perbuatan seseorang. Berdiam diri itu merupakan taqriratau ijin bagi yang hendak
melakukan perbuatan tersebut. Muhammad SAW meskipun menjadi Nabi yang menerima
wahyu, sekaligus seorang Rasul, utusan yang bertugas menyampaikan wahyu dan petunjuk lain
yang diilhamkan kepada beliau, tetap manusia biasa yang mempunyai keinginan, pikiran dan
pendapat.
Maka dalam kehidupan sehari-hari, termasuk dalam menunaikan tugasnya, beliau juga ber-
ijtihad dengan menggunakan akalnya. Ketika menyampaikan ijtihad-nya Muhammad dapat
dibantah, bahkan bersedia mengubah ketetapannya bila ternyata ada ijtihad lain yang lebih baik.
Tetapi tatkala melaksanakan petunjuk Allah, tidak ada siapapun yang boleh turut campur apa lagi
mengoreksinya.
Para ulama menerangkan beberapa fungsi Al Hadits terhadap Al Qur’an :
1.        merinci atau mengoperasionalkan petunjuk yang Al Qur’an hanya membicarakan pokoknya
saja[5].
2.        menegaskan suatu ketetapan yang telah dinyatakan di dalam Al Quran[6].
3.        menerangkan tujuan hukum dari suatu ketetapan Al Qur’an[7].

Berbeda dengan Al Qur’an, sebagian besar Al Hadits tidak ditulis pada waktu Rasulullah
SAW masih hidup kerena disebabkan beberapa faktor :
1.           karena Rasul sendiri pernah melarangnya.Para ulama hadits menganggap larangan ini
disebabkan oleh kekuatiran, bahwa catatan Al Hadits akan bercampur dengan Al Qur’an, karena
waktu itu belum ada media tulis yang baik. Buktinya, Rasul sendiri di kemudian hari
mengijinkan beberapa sahabat yang terpercaya, menulis keterangan-keterangan beliau.
2.           Jarang sekali Rasulullah menerangkan, apakah ucapan dan perbuatan beliau itu atas petunjuk
Allah atau hanya ijitihad beliau sendiri.
3.           Pada waktu itu ummat sibuk berperang dan berdakwah. Maka potensi penulis yang tersedia,
dimanfaatkan dengan prioritas menulis Al Qur’an, yang Rasul memang memerintahkannya.
4.           Rasulullah SAW pada masa itu masih berada di tengah ummat, sehingga bila ada yang
memerlukan keterangan atau penjelasan tentang pernyataan Al Qur’an, dia dapat bertanya
langsung kepada beliau.
   Kenyataan bahwa tulisan mengenai Al Hadits sangat langka, menimbulkan
kesulitanketika Rasulullah SAW telah wafat. Apa lagi tatkala sahabat-sahabat yang dekat dengan
beliau dan yang menyaksikan kehidupan sehari-hari beliau, telah wafat pula. Padahal umat
memerlukan pengetahuan tentang Sunnah Rasulullah di dalam menyelesaikan berbagai masalah,
yang petunjuk operasionalnya tidak ditemui dalam Al-Qur’an.
Maka Khalifah Umar bin Abdul Aziz (menjabat tahun 99-101 H), mengambil inisiatif
memerintahkan ummat untuk menuliskan segala sesuatu yang diucapkan dan dilakukan oleh
Rasulullah SAW. Sejak perintah dikeluarkan, banyak sekali hadits yang ditulis dan
disebarluaskan. Persoalan timbul kemudian, ketika banyak hadits yang saling bertentangan, dan
yang isinya diragukan. Maka para ulama kemudian melakukan seleksi hadits, dengan menyusun
metode untuk itu. Yang terkemuka dalam pengembangan metode sekaligus penerapannya, antara
lain Imam Bukhari (194-256 H), Imam Muslim (202-261 H), Abu Musa Muhammad at-Tirmidzi
(209-279 H), Abu Dawud (202-275 H), Ibnu Majah (209-273 H), dan An Nasa’i (215-303 H).
Umumnya ulama hadits beranggapan, metode Bukhari merupakan yang paling hati-hati dalam
prosedur seleksi hadits.
Meskipun ada perbedaan di antara berbagai metode yang digunakan, secara umum dapat
dikatakan bahwa ada tiga unsur yang diperiksa dalam proses seleksi hadits:
1.        Sanad, yaitu hubungan antara orang yang mendengar atau menyaksikan sendiri ucapan maupun
perbuatan Rasul secara berantai sampai kepada yang menuliskannya. Urutan itu harus
menyambung tanpa ada keraguan sama sekali.
2.        Rawi, yaitu orang-orang yang disebut dalam garis sanad; mereka harus terpercaya dalam arti
kukuh imannya, baik ibadahnya, luhur akhlaknya, dan panjang ingatannya.
3.        Matan (isi hadits), yaitu tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan hadits-hadits lain yang lebih
tinggi tingkat kepercayaannya.

Dengan pemeriksaan yang saksama terhadap sanad, dapat diketahui apakah sebuah hadits
itu mutawatir  dikemukakan di dalam banyak sekali jalur sanad, atau masyhurdinyatakan di
dalam cukup banyak sanad, atau ahad hanya ditemukan dalam sedikit jalursanad.
Hadist mutawatir tentu lebih mudah dipercayai dibanding masyhur, apa lagi haditsahad. 
Selanjutnya sesudah mempertimbangkan hasil penelitian terhadap semua unsur, dapat
ditetapkan mana hadits yang shahih, mana yang hasan (cukup baik) tetapi tidak sampai pada
taraf shahih, dan mana yang dhaif (lemah).

C.    Fungsi Hadist dalam Ajaran Islam


Dalam al-quran dijelaskan bahwa Rasulullah SAW. diutus oleh Allah ke muka bumi untuk
menjelaskan isi kandungan yang terdapat dalam ayat-ayat al-Quran. Hal itu senada dengan
firman Allah dalam qur’an surat An Nahl : 44 yang artinya :
dan kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa
yang Telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.
Dengan pemahaman ayat diatas, tegaslah kiranya bahwa hadist itu penjelasan, pensyarah,
pen-taqyid, dan pen-takhsish ayat-ayat al-Quran.
Imam Ahmad berkata, “Mencari hukum dalam al-Quran haruslah melalui hadist. Mencari
agama demikian pula, Jalan yang telah dibentang untuk mempelajari fiqh Islam an syariatnya
ialah hadist/sunnah. Mereka yang mencukpi dengan al-Quran saja, tidak memerlukan hadist
dalam memahami ayat, dalam mengetahui syariatnya,sesatlah perjalanannyadan tidak akan
sampai pada tujuan yang dikehendaki.”[1]
Penjelasan-penjelasan yang dilakukan oleh nabi sangat beraneka ragam bentuknya dan
memiliki fungsi-fungsi tertentu. Penjelasan itu dapat berupa ucapan, perbuatan, tulisan ataupun
taqrir (pembenaran berupa diamnya beliau terhadap perbuatan yang dilakukan oleh orang lain).
Nabi Muhammad saw. telah diberi oleh Allah SWT (melalui Al-Quran) hak dan wewenang
tersebut. Segala ketetapannya harus diikuti.
Banyak ayat al-quran dan hadist Rasulullah yang memberikan penegasan bahwa hadist
merupakan sumber hukum Islam selain al-quran yang wajib diikuti.
1.        Dalil al-Quran
Katakanlah: "Ta'atilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, Maka Sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang kafir". ( ali Imron : 32)
2.        Hadist Rasulullah
‫تركت فيكم أمرين لن تضلوا ما تمسكتم بهما كتاب هللا و سنة نبيه‬
Aku tinggalkan dua pusaka untukmu sekalian yang kalia tidak akan tersesat selagi kamu
berpegang teguh pada keduanya, yaitu berupa kitab Allah dan sunnah rasul-Nya.
3.        Ijma’
Umat islam sepakat menjadikan hadist sebagai mashadir at-tasyri’. Kesepakatan itu, bahkan
telah dilakukan sejak masa Rasulullah. Ketika masa al-khulafa ar-rasyidindan masa-masa
selanjutnya pun, tidak ada yang mengingkarinya.
4.        Sesuai dengan logika rasional
Kerasulan Muhammad telah diakui dan dibenarkan oleh umat islam. Karena itu, bila
kerasulannya telah diakui dan dibenarkan, maka sudah selayaknya apabila segala peraturan dan
perundang-undangan, baik yang beliau ciptakan atas bimbingan wahyu maupun hasil ijtihad dan
inisiatif sendiri, ditempatkan sebagai sumber hukum  dan pedoman hidup.[2]

D.    Fungsi - Fungsi  Hadits dan Contoh - Contoh Kasus Serta Dalil 


Pendukungnya
Fungsi Hadits sebagai penjelas (bayan) terhadap al-qur’an ada 4 macam, yaitu:
1.    Bayan Al-Taqrir
Bayan at-taqrir di sebut juga dengan bayan al-ta’qid dan bayan al-isbat yaitumenetapkan
dan memperkuat apa yang telah di terangkan dalam al-qur’an. Fungsi hadits ini hanya
memperkokoh isi kandungan al-qur’an sekalipun dengan redaksi yang berbeda namun ditinjau
dari substansinya mempunyai makna yang sama. Untuk lebih jelasnya, perhatikan contoh hadits
yang di riwayatkan Muslim dari Ibnu Umar yang berbunyi :
) ‫فإذا رأيتم الهالل فصوموا و إذا رأيتموه فأفطروا ( رواه مسلم‬
Apabila kalian melihat (ru’yah) bulan, maka berpuasalah, juga apabila melihat (ru’yah) itu
maka berbukalah. (HR. Muslim)
Hadits ini mentaqrir (menetapkan) ayat al-Quran Surah. Al-Baqoroh : 185 yang berbunyi :
ُ َ‫فَ َمن َش ِه َد ِم ْن ُك ُم ال َّش ْه َر فَ ْلي‬
 ‫ص ْمه‬
Maka barangsiapa yang mempersaksikan  pada waktu itu bulan, hendaklah ia berpuasa...
Karena ayat al-quran dan hadist diatas mempunyai makna yang sama maka hadist tersebut
berfungsi sebagai bayan taqrir, mempertegas apa yang telah disebut dalam al-quran.

2.    Bayan Al-Tafsir


Bayan al-tafsir adalah fungsi hadits yang memberikan rincian dan tafsiran terhadap ayat-
ayat al-qur’an yang masih bersifat global (mujmal), memberikan persyaratan atau
batasan (taqyid) ayat-ayat al-qur’an yang bersifat mutlak, dan mengkhususkan (takhshish) ayat
al-qur’an yang masih bersifat umum.
Diantara contoh tentang ayat-ayat al-qur’an yang masih mujmal adalah perintah
mengerjakan sholat. Banyak sekali ayat-ayat terkait perintah kewajiban sholat dalam al-Quran.
Salah satunya sebagaimana yang termaktub dalam QS. Al-Baqoroh ayat : 43
‫واقيموا الصالة واتوا الزكاة واركعوا مع الرا كعين‬
dan dirikanlah shalat, tunaikan zakat, dan ruku’lah beserta orang-orang yang ruku.
Ayat tersebut menjelaskan tentang kewajiban sholat tetapi tidak dirinci atau dijelaskan
bagaimana operasionalnya, berapa rokaatnya, serta apa yang harus dibaca dalam setiap gerakan
sholat. Kemudian Rasulullah memperagakan bagaimana mendirikan sholat yang baik dan benar.
Hingga beliau bersabda,
)‫صلوا كما رايتموني اصلي(رواه البخاري‬
Shalatlah sebagaimana engkau melihat aku shalat. (HR.Bukhori.)
Sedangkan contoh hadits yang membatasi (taqyid) ayat-ayat al-qur’an yang bersifat mutlak
adalah seperti sabda rasullullah,
 ‫أتي رسول هللا صلى هللا عليه و سلم بسارق فقطع يده من مفصل الكف‬
Rasullullah didatangi seseorang dengan membawa pencuri, maka beliau memotong tangan
pencuri dari pergelangan tangan.
Hadits ini men-taqyid  QS.Almaidah : 58 yang berbunyi :
‫والسارق و السارقة فاقطعوا أيديهما جزاء بما كسبا نكاالمن هللا و هللا عزيز حكيم‬
Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan
keduanya  (sebagai)  pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan, dan sebagai siksaan dari Allah
sesungguhnya Allah maha Mulia dan Maha Bijaksana.
Dalam ayat diatas belum ditentukan batasan untuk memotong tangannya. Bisa jadi dipotong
sampai pergelangan tangan saja, atau sampai siku-siku, atau bahkan dipotong hingga pangkal
lengan karena semuanya itu termasuk dalam kategori tangan.  Akan tetapi, dari hadist nabi
tersebut, kita dapat mengetahui ketetapan hukumnya secara pasti yaitu memotong tangan pencuri
dari pergelangan tangan.
Sedangkan contoh hadits yang berfungsi untuk mentakhshish keumuman ayat-ayat al-Quran,
adalah :
) ‫قال النبي صلى هللا عليه و سلم ال يرث المسلم الكافر و ال الكافر المسلم ( رواه البخارى‬ Nabi SAW bersabda :
“tidaklah seorang muslim mewarisi dari orang kafir , begitu juga kafir tidak mewarisi dari
orang muslim.
Hadits tersebut mentakhshish keumuman ayat :
) 11 : ‫يوصيكم هللا في أوالدكم للذكر مثل حظ األنثيين ( النساء‬
Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu:
bahagian anak laki-laki sama dengan bahagian anak perempuan. (QS. An- Nisa : 11)

3.    Bayan  At-Tasyri’


 Bayan at-Tasyri’ adalah mewujudkan suatu hukum atau ajaran-ajaran yang tidak didapati
dalam al-Quran , atau dalam al-quran hanya terdapat pokok-pokoknya saja. Seperti contoh
berikut:
‫أن الرسول هللا صلى هللا عليه و سلم فرض زكاة الفطر من رمضان على الناس صاعا من تمر أو صاعا من شعير على‬
) ‫(رواه المسلم‬  ‫كل حر أو عبد ذكر أو أنثى من المسلمين‬
Bahwasahnya Rasulullah telah mewajibkan zakat fitroh kepada umat islam pada bulan
ramadhan satu sukat (sha’) kurma atau gandum untuk setiap orang, baik merdeka atau hamba,
laki-laki atau perempuam muslim.
(HR. Muslim).
Hadits Rasulullah yang termasuk bayan al-tasyri’ ini, wajib diamalkan, sebagaimana
mengamalkan hadits-hadits lainnya.
Namun demikian, sebagian ulama membantah bahwa sunnah dapat membentuk hukum baru
yang tidak disebutkan dalam al-Quran. Karena menurut mereka, sunnah tidak dapat berdiri
sendiri dalam menetapkan hukum baru

4.    Bayan  Al-Nasakh


Nasakh menurut bahasa berarti (membatalkan dan menghilangkan), oleh para ahli Ushul
Fiqih diartikan dengan: “Penghapusan hukum Syar'i dengan suatu dalil syar'i yang datang
kemudian”.
Dalam menasakh al-Qur’an dengan sunah/hadist ini terdapat dua macam pendapat di antara
para ahli Ushul tentang boleh tidaknya. Pendapat pertama menyatakan, menasakh Alquran
dengan Sunah diperkenankan, asalkan dengan Sunah Mutawatir atau Sunah Masyhur, bukan
sunah Ahad. Sedang pendapat kedua menyatakan, menasakh Alquran dengan Sunah tidak
dibolehkan, karena derajat al-quran lebih tinggi dari pada Sunah. Padahal syarat nasikh itu
adalah yang lebih tinggi derajatnya atau sepadan.[3]
Contoh hadist yang berfungsi sebagai bayan al-naskh :
‫ال وصية لوارث‬
Tidak ada wasiat bagi ahli waris.
Hadist ini menaskh firman Allah :
)180 : ‫كتب عليكم إذا حضر أحدكم الموت إن ترك خيرا الوصية للوالدين و األقربين بالمعروف حقا على المتقين (البقرة‬
Diwajibkan atas kamu, apabila seseorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut,
jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu bapa dan karib kerabatnya secara
ma’ruf (ini adalah kewajiban atas orang-orang yang bertaqwa. (QS. Al-Baqoroh : 180).

E.     Pendapat Para Ulama Tentang Fungsi Hadits Dalam Islam


Sehubungan dengan fungsi hadist sebagai bayan tersebut, para ulama berbeda pendapat
dalam merincinya lebih lanjut.
1.        Menurut Imam Malik bin Annas, yaitu meliputi bayan taqrir, bayan tafsir, bayan tafshil, bayan
Isbat, dan bayan tasyri’.
2.        Menurut Imam Syafi’i, yaitu meliputi bayan takhsis, bayan ta’yin, bayan tasyri’, bayan nasakh,
bayan tafshil dan bayan isyaroh
3.        Menurut Ahman bin Hanbal yaitu meliputi bayan ta’kid, bayan tafsir, bayan tasyri’, dan bayan
takhsis.

Meskipun para ulama menggunakan istilah yang berbeda, namun pada dasarnya yang
mereka maksudkan sama saja. Secara umum fungsinya adalah menguatkan, merinci,
menjelaskan, membuat aturan baru dan merevisi aturan al-quran.[4]
BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Al-Hadits merupakan sumber kedua bagi ajaran Islam, dialah sumber yang paling luas,
yang terinci penjelasannya, dan paling lengkap susunannya. Sunnah memberikan perhatian yang
penuh dalam menjelaskan Al-Qur’an. Oleh sebab itu, tidaklah seharusnya dalam
urusan istinbat  hukum Islam, orang mencukupkan Al-Qur’an saja, tanpa membutuhkan
penjelasan dari As-Sunnah.
Maka dari itulah, jangan terlalu mudah kita mengambil suatu hukum dari Al-Qur’an tanpa
melihat terlebih dahulu apakah ada hadits yang menjelaskan tentang ayat tersebut.
Marilah kita gali potensi kemampuan kita dalam memahami Al-Qur’an dan Al-Hadits agar
kita mampu memahami agama dengan baik dan benar.
Al-qur’an dan Hadits adalah sebagi pedoman hidup, sumber hukum dan ajaran dalam Islam
antara satu dengan yang lain tidak dapat dipisahkan. Dengan kata lain, hadist adalah sumber
hukum islam kedua setelah al-quran.
Fungsi hadits sebagai penjelas(bayan) terhadap Al-qur’an mempunyai empat(4) macam,
yaitu:
1.        Bayan Al-Taqrir di sebut juga dengan bayan al-ta’qid dan bayan al-isbat yaitu menetapkan dan
memperkuat apa yang telah di terangkan dalam al-qur’an
2.        Bayan Al-Tafsir adalah fungsi hadits yang memberikan rincian dan tafsiran terhadap ayat-ayat
al-qur’an yang masih bersifat global (mujmal), memberikan persyaratan atau
batasan(taqyid) ayat-ayat al-qur’an yang bersifat mutlak, dan mengkhususkan (takhshish) ayat
al-qur’an yang masih bersifat umum.
3.        Bayan At-Tasyri’ adalah mewujudkan suatu hukum atau ajaran-ajaran yang tidak didapati dalam
al-Quran , atau dalam al-quran hanya terdapat pokok-pokoknya saja
4.        Bayan At-Nasakh yaitu penghapusan hukum Syar'i dengan suatu dalil syar'i yang datang
kemudian
Pendapat Para Ulama Tentang Fungsi Hadits Dalam Islam:
Menurut Imam Malik bin Annas, yaitu meliputi bayan taqrir, bayan tafsir, bayan tafshil,
bayan Isbat, dan bayan tasyri’. Menurut Imam Syafi’i, yaitu meliputi bayan takhsis, bayan ta’yin,
bayan tasyri’, bayan nasakh, bayan tafshil dan bayan isyaroh. Menurut Ahman bin Hanbal yaitu
meliputi bayan ta’kid, bayan tafsir, bayan tasyri’, dan bayan takhsis.

B.     Saran
Demikian makalah ini kami susun. Semoga apa yang telah kami uraikan diatas mengenai
Hadist dalam Ajaran Islam sedikit banyaknya memberi manfaat kepada kita semua. Dan kami
menyadari sebagai manusia biasa memang tidak bisa luput dari kesalahan tidak terkecuali
dengan makalah yang kami buat.
Untuk itu, kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan demi terciptanya makalah
yang lebih baik lagi. Semoga makalah ini bermanfaat untuk kita semua. Amiiin.
DAFTAR PUSTAKA

Rahman,  Zufran. 1995.”Kajian Sunnah Nabi saw Sebagai Sumber Hukum Islam”.Jakarta: Pedoman
Ilmu Jaya.

Aghnides, Nicolas P. 1984.”Pengantar Ilmu Hukm Islam”. Solo: Ramadhani

http://abdullah21.wordpress.com/2008/10/13/sumber-%E2%80%93-sumber-ajaran-islam/

Amin, Muhammadiyah, Ilmu Hadist, Yogyakarta: Graha Guru, 2008

Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi, Sejarah & Pengantar Ilmu Hadist, Semarang : Pustaka


Rizki Putra

Shihab, Quraisy, Membumikan Al-Quran, Bandung: Mizan, 1996

Suparta, Munzier. ILMU HADITS . Jakarta : Fajar Interpratama Offset, 2003

http://file.upi.edu/Direktori/FPBS/JUR._PEND._BAHASA_ARAB/195510071990011-
DEDENG_ROSIDIN/MODUL_USHUL_FIQIH.pdf

Anda mungkin juga menyukai