Anda di halaman 1dari 8

PEMBANGUNAN EKONOMI DAERAH

Menurut Meyer-Stamer (2003), pembangunan ekonomi daerah berbeda dari pengembangan


ekonomi nasional dalam beberapa hal, antara lain:
Nasional Daerah
1. Instrumen Nilai tukar mata uang, tarif pajak, Pembangunan bisnis real estate
pembangunan kebijakan anti-trust, atau kerangka atau program pelatihan bisnis
ekonomi hokum ketenagakerjaan
2. Inisiatif - Dirumuskan dan dilaksanakan - Dapat didesain dan dilaksanakan
pembangunan oleh pemerintah oleh pelaku swasta tanpa
ekonomi - Pelaku non pemerintahan partisipasi pemerintah.
dilibatkan dalam proses - Kerja sama antara aktor
pengambilan kebijakan pemerintah dan aktor swasta
(Asosiasi bisnis, Lembaga
Litbang, LSM, Perusahaan, dll)
3. Definisi Definisi peran yang jelas antara Definisi peran yang samar dari
pembagian badan legislatif dan eksekutif berbagai stakeholder yang berbeda
tugas

Pembangunan ekonomi lokal berbeda dari pembangunan lokal atau regional. Batasan dari lokal
dan regional adalah bahwa “lokal” ditujukan pada daerah geografis yang lebih kecil dari pada
“region”.

Setiap daerah mempunyai tujuan yang sama, yaitu menemukan cara menciptakan lapangan
kerja, memberikan penghasilan, dan menaikkan kualitas hidup masyarakat.

Kunci penggerak pertumbuhan ekonomi daerah adalah kemampuan daerah untuk


menggunakan sumber daya alam dan bakat lokal untuk mendukung inovasi yang kuat.
Langkah yang harus dilakukan pemerintah daerah adalah mengenali kekuatan inovasi yang
menciptakan keberhasilan usaha, seperti :
- kemampuan untuk mentransformasi gagasan dan pengetahuan baru dalam membuat barang
atau pelayanan yang berkualitas.
- Menciptakan produk bernilai tinggi dalam memperluas perdagangan dan penguasaan pasar.

Menurut Arsyad (1999), untuk mencapai tujuan pembangunan ekonomi daerah, maka strategi
ekonomi daerah yang perlu dilakukan adalah:
- Pengembangan fisik/lokalitas, dilakukan dengan penyediaan lahan untuk kegiatan usaha,
pengaturan tata ruang untuk berbagai kegiatan penduduk, menyediakan prasarana dan
sarana seperti jalan, pelabuhan, listrik, dan air bersih.
- Pengembangan dunia usaha, dilakukan dengan menciptakan iklim usaha yang baik melalui
penetapan kebijakan dan peraturan yang memudahkan pelaku ekonomi untuk menjalankan
usahanya, menyediakan informasi mengenai perizinan, kebijakan, dan rencana pemerintah
daerah, sumber-sumber pendanaan, mendirikan media konsultasi bagi pengusaha dan
masyarakat mengenai peluang usaha dan masalah-masalah dihadapi.
- Pengembangan SDM, dilakukan antara lain dengan pendidikan dan pelatihan.
- Pengembangan Ekonomi Masyarakat, dilakukan dengan memberdayakan masyarakat agar
mampu memanfaatkan peluang yang ada dan mengatasi persoalan ekonomi secara mandiri.

KETIMPANGAN BARAT DAN TIMUR

Kesenjangan antardaerah dalam pembangunan ekonomi daerah di Indonesia, terjadi antara :


- Perdesaan dan perkotaan
- Jawa dan luar Jawa
- Kawasan hinterland dengan kawasan perbatasan
- Kawasan Barat Indonesia (KBI) dan Kawasan Timur Indonesia (KTI)

Bentuk kesenjangannya yang terjadi, meliputi:


- Kesenjangan tingkat kesejahteraan ekonomi maupun sosial
- Tidak meratanya potensi sumber daya, terutama SDM dan sumber daya alam.
- Kebijakan pemerintah yang sentralistik baik dalam proses perencanaan maupun
pengambilan keputusan.

Wilayah strategis dan cepat tumbuh dengan potensi sumber daya alam dan lokasi yang
menguntungkan, seharusnya berkembang dan mampu menjadi pendorong percepatan
pembangunan bagi wilayah yang potensi ekonominya rendah (wilayah tertinggal) dan wilayah
perbatasan. Namun demikian, wilayah strategis dan cepat tumbuh masih menghadapi banyak
kendala dalam berbagai aspek seperti infrastruktur, SDM, kelembagaan, maupun akses
terhadap input produksi dan pasar.

Sementara, kota-kota nasional yang seharusnya menjadi penggerak bagi pembangunan di


sekitarnya – khususnya wilayah perdesaan – justru memberikan dampak yang merugikan
(backwash effects).

Permasalahan dari ketertinggalan pembangunan di wilayah perbatasan adalah arah kebijakan


pembangunan kewilayahan yang selama ini cenderung berorientasi ‘inward looking’,
sehingga menjadi halaman belakang dari pembangunan negara.

POLA PENGEMBANGAN EKONOMI DAERAH

Konsep pembangunan ekonomi daerah yang diharapkan mempercepat proses pembangunan


adalah sistem klaster.

1. KLASTER (Cluster)
adalah konsentrasi geografis berbagai kegiatan usaha di kawasan tertentu yang satu sama lain
saling melengkapi (komplementer), saling bergantung, dan saling bersaing dalam melakukan
aktivitas bisnis.

Terbentuknya suatu klaster dapat melalui berbagai cara.


Sebagai contoh, suatu klaster pada awalnya terbentuk di sekililing suatu perusahaan besar yang
sangat kompetitif. Kehadiran dan dukungan berbagai lembaga penelitian menyuburkan
perkembangan klaster tersebut. Kondisi infrastruktur atau sumber daya mendukung
perkembangan selanjutnya dari suatu klaster industri.

Klaster industri bersifat dinamis dan dapat berubah seiring perubahan industri-industri di
dalamnya atau karena perubahan kondisi eksternal.

Klaster ini menyertakan pula pemerintah, LSM, lembaga pendidikan, dan berbagai infrastruktur
dan layanan lain untuk memperkokoh keberadaan klaster.

Klaster industri berbeda dengan asosiasi perdagangan.


Klaster industri merupakan suatu aglomerasi dari industri di suatu kawasan dan perusahaan-
perusahaan independen.
Sedangkan asosiasi perdagangan hanya terdiri dari satu jenis industri yang memusatkan
perhatian pada upaya-upaya lobi.

2. Pendekatan Klaster dalam Peningkatan Daya Saing Daerah

Inti peningkatan daya saing adalah pengembangan klaster secara terencana.


Klaster berbeda dengan lokalisasi dan urbanisasi ekonomi (Mudrajat Koncoro, 2003).
Lokalisasi ekonomi (kawasan industri) terjadi biaya biaya produksi perusahaan dalam industri
menurun sejalan dengan peningkatan output total industri.
Urbanisasi ekonomi terjadi jika biaya produksi tiap perusahaan menurun sejalan dengan
peningkatan output total kota (urban).
Klaster secara signifikan meningkatkan kemampuan ekonomi daerah untuk membangun
kekayaan masyarakat, bertindak sebagai inkubator inovasi.
Unsur-unsur utama klaster :
Universitas atau pusat riset yang menciptakan temuan baru;
Perusahaan yang mentransformasi temuan baru ke dalam produk atau jasa baru;
Pemasok yang menyediakan perlengkapan atau komponen penting;
Perusahaan pemasaran dan distribusi yang membawa produk ke pelanggan.
Hasilnya adalah kawasan klaster yang tumbuh akan menikmati upah, produktivitas,
pertumbuhan usaha, dan inovasi yang lebih tinggi.
Michael Porter berpendapat bahwa daerah akan mengembangkan suatu keunggulan kompetitif
berdasarkan kemampuan inovasi, dan vitalitas ekonomi merupakan hasil langsung dari
persaingan industri lokal.
Faktor yang memicu inovasi dan pertumbuhan klaster, diantaranya:
1. Faktor: misalnya tenaga kerja terampil yang dibutuhkan, infrastruktur khusus yang
tersedia, dan hambatan-hambatan tertentu.
2. Permintaan sektor rumah tangga atau pelanggan lokal yang mendorong perusahaan-
perusahaan untuk berinovasi.
3. Dukungan industri terkait, industri-industri pemasok lokal yang kompetitif yang
menciptakan infrastruktur bisnis dan memacu inovasi dan memungkinkan industri-
industri untuk spin off.
4. Strategi, struktur, dan persaingan, tingkat persaingan antarindustri lokal yang lebih
memberikan motivasi dibanding persaingan dengan luar negeri, dan “budaya” lokal yang
mempengaruhi perilaku masing-masing industri dalam melakukan persaingan dan
inovasi.
5. Peran pemerintah dan peluang. Campur tangan pemerintah berperan secara signifikan
dalam pembangunan klaster industri.

Menurut rosenfeld (1997), faktor-faktor penentu keberhasilan suatu klaster, yaitu:


1. Spesialisasi
2. Kapasitas penelitian dan pengembangan
3. Pengetahuan dan keterampilan
4. Pengembangan SDM
5. Jaringan kerja sama dan modal sosial
6. Kedekatan dengan pemasok
7. Ketersediaan modal
8. Jiwa kewirausahaan
9. Kepemimpinan dan visi bersama

Potensi dan Daya Saing Antardaerah


(Konsep, Teori, dan Model Daya Saing Daerah)

DAYA SAING DAERAH

Definisi:

Kementerian Perdagangan dan Industri, Inggris (UK-DTI) :


Daya saing daerah adalah kemampuan suatu daerah dalam menghasilkan pendapatan dan
kesempatan kerja yang tinggi dengan tetap terbuka terhadap persaingan domestik maupun
internasional.
Centre for Urban and Regional Development Studies (CURDS), Newcastle University:
Daya saing daerah adalah kemampuan sektor bisnis atau perusahaan pada suatu daerah dalam
menghasilkan pendapatan yang tinggi serta tingkat kekayaan yang lebih merata untuk
penduduknya.

The European Commision :


Daya saing daerah sebagai kemampuan untuk memproduksi barang dan jasa yang sesuai
dengan kebutuhan pasar internasional, diiringi dengan kemampuan mempertahankan
pendapatan yang tinggi dan berkelanjutan, lebih umumnya adalah kemampuan daerah
(regions) untuk menciptakan pendapatan dan kesempatan kerja yang relatif tinggi sementara
pada daya saing eksternal.

Huggins (2007) dalam “UK Competitiveness Index”:


Daya saing daerah sebagai kemampuan dari perekonomian untuk menarik dan
mempertahankan perusahaan-perusahaan dengan kondisi yang stabil atau dengan pangsa
pasar yang meningkat dalam aktivitasnya, dengan tetap mempertahankan atau meningkatkan
standar kehidupan bagi semua yang terlibat di dalamnya.

Menurut Martin dan Tyler (2003), argumen daerah maupun negara-negara satu sama lain saling
berkompetisi:
1. Untuk investasi, melalui kemampuan daerah untuk menarik masuknya modal asing,
swasta, dan modal publik;
2. Untuk tenaga kerja, dengan kemampuan untuk menarik masuknya tenaga kerja yang
terampil, entrepterneur-entrepreneur dan tenaga kerja yang kreatif, dengan cara
menyediakan lingkungan yang kondusif dan pasar tenaga kerja domestik;
3. Untuk teknologi, melalui kemampuan daerah untuk menarik aktivitas inovasi dan
transfer ilmu pengetahuan dan teknologi.

Ada kesamaan esensi antara daya saing daerah dengan daya saing nasional, yaitu tujuan akhir
dari upaya untuk meningkatkan daya saing dari suatu perekonomian adalah untuk
meningkatnya tingkat kesejahteraan (standard of living) dari masyarakat yang berada di dalam
perekonomian tersebut.

Menurut World Economic Forum (WEF), daya saing nasional adalah kemampuan perekonomian
nasional untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan.
Sedangkan Institute of Management and Development (IMD) mendefinisikan daya saing
nasional sebagai kemampuan suatu negara dalam menciptakan nilai tambah dalam rangka
menambah kekayaan nasional dengan cara mengelola aset dan proses, daya tarik, agretivitas,
globalitas dan proksimitas, serta dengan mengintegrasikan hubungan-hubungan tersebut ke
dalam suatu model ekonomi dan sosial.

Meyer dan Stamer (2003) menyebut konsep daya saing sistemik mencakup faktor politik dan
ekonomi dari keberhasilan pembangunan industri.
Konsep ini dibedakan menjadi 4 tingkat, yaitu:
1. Microlevel pada jaringan perusahaan dan antarperusahaan
2. Mesolevel pada kebijakan dan kelembagaan tertentu
3. Makrolevel dari kondisi ekonomi umum
4. Meta level pada variabel lambat seperti struktur sosial budaya, aturan dan orientasi
dasar ekonomi, dan kemampuan aktor-aktor sosial merumuskan strategi.

Ada 2 alasan mengapa keunggulan daya saing menjadi penting:


1. Untuk menyadarkan bahwa keunggulan kompetitif suatu daerah tidak sepenuhnya
tergantung pada masing-masing usaha internal.
2. Ada 2 keunggulan kompetitif, yaitu keunggulan kompetitif statis yang merujuk pada
faktor geografis dan keunggulan kompetitif dinamis yang merujuk pada kedisiplinan
pekerja industri di daerah itu.

Porter (1990) mendefinisikan daya saing nasional sebagai : “luaran dari kemampuan suatu
negara untuk berinovasi dalam angka mencapai atau mempertahankan posisi yang
menguntungkan dibandingkan dengan negara lain dalam sejumlah sektor-sektor kuncinya”.
Konsep daya saing adalah “produktivitas” sebagai nilai output yang dihasilkan seorang tenaga
kerja.

Martin (2003) menyatakan konsep dan definisi daya saing suatu negara atau daerah mencakup
beberapa elemen utama, yaitu:
1. Meningkatkan taraf hidup masyarakat
2. Mampu berkompetisi dengan daerah atau negara lain
3. Mampu memenuhi kewajibannya baik domestik maupun internasional
4. Dapat menyediakan lapangan kerja
5. Pembangunan yang berkesinambungan dan tidak membebani generasi yang akan
datang

STUDI KASUS: KLASTER INDUSTRI ROTAN CIREBON

1. Industri Rotan di Kab. Cirebon


Industri rotan di Kab. Cirebon mempunyai spesialisasi, yaitu industri kerajinan dan meubel
rotan bergaya Eropa. Hal ini dilihat dari jenis produk yang dihasilkan dan dipesan oleh pemesan
dari luar negeri.
Tingginya ketergantungan akan desain produk dari luar negeri menyebabkan inovasi desain
yang dilakukan oleh industri rotan itu sendiri menjadi terbatas, sehingga sulit berkembang
menjadi suatu klaster yang berhasil dan berdaya saing.
Tenaga kerja mempunyai pengetahuan yang terbatas terhadap manajemen usaha, termasuk
pembukuan dan manajemen ketenagakerjaan, serta pemasaran.
Keahlian yang dimiliki bersumber dari turun-temurun dan pengajaran dari lingkungan kerja.

2. Kerja sama Antara Industri dan Lembaga Pendukung


Di kab. Cirebon belum tersedia kelembagaan pendidikan tinggi yang memberikan fokus khusus
mengenai pengembangan rotan.
Universitas Padjajaran dan Universitas Swadaya Gunung Jati baru berperan dalam hal
manajemen usaha.
Industri rotan terutama skala kecil belum melakukan kerja sama dengan Bantuan
Pengembangan Bisnis (BDS) Bina Mitra Usaha, dikarenakan biaya yang harus dikeluarkan setiap
menggunakan jasa BDS.
Industri rotan skala kecil belum mampu mengakses ke lembaga perbankan karena keterbatasan
informasi dan birokrasi selama proses pengajuan permohonan pinjaman.
Lembaga perbankan yang banyak membantu industri skala kecil adalah koperasi, namun
memiliki keterbatasan dalam permasalahan permodalan.

a. Kerjasama antara industri dengan pemerintah


Pemda Kab. Cirebon menjadi fasilisator dalam membantu pengembangan industri rotan.
Melalui Dinas Perindustrian dan Perdagangan, melakukan pelatihan teknis produksi.
Untuk pelatihan manajemen usaha bekerja sama dengan Unpad, Univ. Swadaya Gunung Jati,
dan Univ. Tujuh Belas Agustus.
Untuk pemasaran produk, Disperindag melaksanakan pameran di dalam maupun di luar negeri.
Disperindag juga memfasilitasi kerjasama dengan atase perdagangan di luar negeri.

b. Kondisi eksternal
Secara umum ada 3 tujuan pasar bagi produk mebel dan kerajinan rotan di Kab. Cirebon, yaitu
pasar lokal, pasar antardaerah, dan pasar ekspor.
Kondisi persaingan yang sangat ketat terjadi setelah ekspor dibanjiri oleh produk-produk
meubel dari negara lain seperti Cina dan Vietnam dalam hal harga dan kualitas produk.
Dengan efisiensi tinggi, negara Cina mampu menghasilkan produk yang lebih murah dengan
telah membudidayakan rotan, sehingga kebutuhan rotan dengan berbagai ukuran.
Sebaliknya, untuk pemasaran regional, terjadi peningkatan.

Ancaman industri meubel justru datang dari negeri sendiri. Selama berpuluh-puluh tahun kasus
pembalakan liar (illegal logging) serta ekspor kayu ilegal membuat industri meubel terancam
kekurangan bahan baku.

Berdasarkan kajian mengenai pemeringkatan daya tarik investasi di Indonesia tahun 2003,
sering ditemukan permasalahan dalam usaha kerajinan rotan mengenai peraturan perpajakan
dan retribusi yang cukup memberatkan baik dari peraturan perpajakan daerah maupun
nasional.
Bibliography
Wibowo, K. (1990). Pembangunan Ekonomi Daerah. In A. P. Ekonomi, Analisis Pembangunan Ekonomi
(p. 8.2). Jakarta: Universitas Terbuka.

Anda mungkin juga menyukai