Pembangunan ekonomi lokal berbeda dari pembangunan lokal atau regional. Batasan dari lokal
dan regional adalah bahwa “lokal” ditujukan pada daerah geografis yang lebih kecil dari pada
“region”.
Setiap daerah mempunyai tujuan yang sama, yaitu menemukan cara menciptakan lapangan
kerja, memberikan penghasilan, dan menaikkan kualitas hidup masyarakat.
Menurut Arsyad (1999), untuk mencapai tujuan pembangunan ekonomi daerah, maka strategi
ekonomi daerah yang perlu dilakukan adalah:
- Pengembangan fisik/lokalitas, dilakukan dengan penyediaan lahan untuk kegiatan usaha,
pengaturan tata ruang untuk berbagai kegiatan penduduk, menyediakan prasarana dan
sarana seperti jalan, pelabuhan, listrik, dan air bersih.
- Pengembangan dunia usaha, dilakukan dengan menciptakan iklim usaha yang baik melalui
penetapan kebijakan dan peraturan yang memudahkan pelaku ekonomi untuk menjalankan
usahanya, menyediakan informasi mengenai perizinan, kebijakan, dan rencana pemerintah
daerah, sumber-sumber pendanaan, mendirikan media konsultasi bagi pengusaha dan
masyarakat mengenai peluang usaha dan masalah-masalah dihadapi.
- Pengembangan SDM, dilakukan antara lain dengan pendidikan dan pelatihan.
- Pengembangan Ekonomi Masyarakat, dilakukan dengan memberdayakan masyarakat agar
mampu memanfaatkan peluang yang ada dan mengatasi persoalan ekonomi secara mandiri.
Wilayah strategis dan cepat tumbuh dengan potensi sumber daya alam dan lokasi yang
menguntungkan, seharusnya berkembang dan mampu menjadi pendorong percepatan
pembangunan bagi wilayah yang potensi ekonominya rendah (wilayah tertinggal) dan wilayah
perbatasan. Namun demikian, wilayah strategis dan cepat tumbuh masih menghadapi banyak
kendala dalam berbagai aspek seperti infrastruktur, SDM, kelembagaan, maupun akses
terhadap input produksi dan pasar.
1. KLASTER (Cluster)
adalah konsentrasi geografis berbagai kegiatan usaha di kawasan tertentu yang satu sama lain
saling melengkapi (komplementer), saling bergantung, dan saling bersaing dalam melakukan
aktivitas bisnis.
Klaster industri bersifat dinamis dan dapat berubah seiring perubahan industri-industri di
dalamnya atau karena perubahan kondisi eksternal.
Klaster ini menyertakan pula pemerintah, LSM, lembaga pendidikan, dan berbagai infrastruktur
dan layanan lain untuk memperkokoh keberadaan klaster.
Definisi:
Menurut Martin dan Tyler (2003), argumen daerah maupun negara-negara satu sama lain saling
berkompetisi:
1. Untuk investasi, melalui kemampuan daerah untuk menarik masuknya modal asing,
swasta, dan modal publik;
2. Untuk tenaga kerja, dengan kemampuan untuk menarik masuknya tenaga kerja yang
terampil, entrepterneur-entrepreneur dan tenaga kerja yang kreatif, dengan cara
menyediakan lingkungan yang kondusif dan pasar tenaga kerja domestik;
3. Untuk teknologi, melalui kemampuan daerah untuk menarik aktivitas inovasi dan
transfer ilmu pengetahuan dan teknologi.
Ada kesamaan esensi antara daya saing daerah dengan daya saing nasional, yaitu tujuan akhir
dari upaya untuk meningkatkan daya saing dari suatu perekonomian adalah untuk
meningkatnya tingkat kesejahteraan (standard of living) dari masyarakat yang berada di dalam
perekonomian tersebut.
Menurut World Economic Forum (WEF), daya saing nasional adalah kemampuan perekonomian
nasional untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan.
Sedangkan Institute of Management and Development (IMD) mendefinisikan daya saing
nasional sebagai kemampuan suatu negara dalam menciptakan nilai tambah dalam rangka
menambah kekayaan nasional dengan cara mengelola aset dan proses, daya tarik, agretivitas,
globalitas dan proksimitas, serta dengan mengintegrasikan hubungan-hubungan tersebut ke
dalam suatu model ekonomi dan sosial.
Meyer dan Stamer (2003) menyebut konsep daya saing sistemik mencakup faktor politik dan
ekonomi dari keberhasilan pembangunan industri.
Konsep ini dibedakan menjadi 4 tingkat, yaitu:
1. Microlevel pada jaringan perusahaan dan antarperusahaan
2. Mesolevel pada kebijakan dan kelembagaan tertentu
3. Makrolevel dari kondisi ekonomi umum
4. Meta level pada variabel lambat seperti struktur sosial budaya, aturan dan orientasi
dasar ekonomi, dan kemampuan aktor-aktor sosial merumuskan strategi.
Porter (1990) mendefinisikan daya saing nasional sebagai : “luaran dari kemampuan suatu
negara untuk berinovasi dalam angka mencapai atau mempertahankan posisi yang
menguntungkan dibandingkan dengan negara lain dalam sejumlah sektor-sektor kuncinya”.
Konsep daya saing adalah “produktivitas” sebagai nilai output yang dihasilkan seorang tenaga
kerja.
Martin (2003) menyatakan konsep dan definisi daya saing suatu negara atau daerah mencakup
beberapa elemen utama, yaitu:
1. Meningkatkan taraf hidup masyarakat
2. Mampu berkompetisi dengan daerah atau negara lain
3. Mampu memenuhi kewajibannya baik domestik maupun internasional
4. Dapat menyediakan lapangan kerja
5. Pembangunan yang berkesinambungan dan tidak membebani generasi yang akan
datang
b. Kondisi eksternal
Secara umum ada 3 tujuan pasar bagi produk mebel dan kerajinan rotan di Kab. Cirebon, yaitu
pasar lokal, pasar antardaerah, dan pasar ekspor.
Kondisi persaingan yang sangat ketat terjadi setelah ekspor dibanjiri oleh produk-produk
meubel dari negara lain seperti Cina dan Vietnam dalam hal harga dan kualitas produk.
Dengan efisiensi tinggi, negara Cina mampu menghasilkan produk yang lebih murah dengan
telah membudidayakan rotan, sehingga kebutuhan rotan dengan berbagai ukuran.
Sebaliknya, untuk pemasaran regional, terjadi peningkatan.
Ancaman industri meubel justru datang dari negeri sendiri. Selama berpuluh-puluh tahun kasus
pembalakan liar (illegal logging) serta ekspor kayu ilegal membuat industri meubel terancam
kekurangan bahan baku.
Berdasarkan kajian mengenai pemeringkatan daya tarik investasi di Indonesia tahun 2003,
sering ditemukan permasalahan dalam usaha kerajinan rotan mengenai peraturan perpajakan
dan retribusi yang cukup memberatkan baik dari peraturan perpajakan daerah maupun
nasional.
Bibliography
Wibowo, K. (1990). Pembangunan Ekonomi Daerah. In A. P. Ekonomi, Analisis Pembangunan Ekonomi
(p. 8.2). Jakarta: Universitas Terbuka.