TEKNOLOGI
Indah Yuliantini, Yosephin Pramudita Lestyana , Yudith Fitri Dewanty
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
yosephinp@yahoo.co.id
ABSTRACT
Indonesia is a developing country according to its economic and industries
condition, beside its own clasification as a World Trade Organization’s member.
As a developing country, Indonesia need many technologies on every sector, such
as industries sector and science research development sector. Neverthless, the
amount of technology on hand is less than the whole technologies that Indonesia
needs. To solving this problem, World Trade Organization throughout TRIPs
Agreement vindicate a technology transfer called license, especially from
developed country to developing country.Technology transfer proven as an
effective and strategic way to complete technology needed on developing country.
However, with the reason to protect intellectual rights, there are so many
restriction come out with license technology transfer. Those restriction have
written on license contract based on what have written on TOT-Code. The
restriction obviously prejudice the developing country as a license technology
recipient. Therefore, it’s urgent to make a mechanism to stop a restriction
practice on technology license contract that harm developing country without
ignore the intellectual property right of the inventor.
Keyword : contract,license,technology transfer.
ABSTRAK
Indonesia adalah negara berkembang berdasarkan pada keadaan ekonomi dan
industri dalam negeri, disamping klasifikasi khusus yang diberikan selaku anggota
dari World Trade Organization. Sebagai negara yang sedang berkembang,
Indonesia membutuhkan teknologi di berbagai sektor, seperti sektor industri serta
sektor penelitian dan pengembangan pendidikan. Sayangnya, ketersediaan
teknologi masih berada pada tingkat yang lebih rendah dari keseluruhan teknologi
yang dibutuhkan. Untuk mengatasi hal ini, WTO melalui TRIPs agreement-nya
membenarkan adanya transfer teknologi atau pengalihan teknologi, khsusunya
dari negara maju ke negara berkembang. Alih teknologi terbukti menjadi sarana
yang strategis untuk melengkapi ketersediaan teknologi di negara berkembang.
Tetapi dengan alasan perlindungan Hak Kekayaan Intelektual, ada pembatasan-
pembatasan tertentu dalam alih teknologi dari negara maju ke negara berkembang.
Pembatasan tersebut termaktub dalam kontrak yang disusun para pihak dengan
menyesuaikan apa yang diatur dalam TOT-Code. Pembatasan ini seringkali
merugikan pihak negara berkambang selaku penerima pengalihan teknologi.
Maka dari itu perlu diatur mekanisme yang melarang adanya pembatasan dalam
kontrak alih teknologi yang terlalu berlebihan agar tidak merugikan pihak negara
berkembang tanpa mengabaikan perlindungan terhadap Hak Kekayaan Intelektual
penemu teknologi.
Kata kunci :kontrak,lisensi,alih teknologi.
1
A. PENDAHULUAN
Negara Indonesia dalam perkembangan saat ini sedang berada dalam tahap
mengukuhkan dirinya sebagai negara yang sedang berkembang atau dikenal
dengan sebutan developing country. Sebagai negara yang sedang berkembang,
Indonesia senantiasa meningkatkan pembangunan di berbagai sektor.
Pembangunan nasional yang dilaksanakan Indonesia berprioritas pada
pembangunan ekonomi yang dapat ditempuh melalui berbagai hal, misalnya
melalui penanaman modal, penggunaan teknologi serta pengelolaan manajemen.
Khusus kaitannnya dengan teknologi, tidak hanya Indonesia tetapi semua negara
di dunia membutuhkan teknologi. Teknologi seakan-akan telah dijadikan
komoditas antara negara maju ke negara berkembang (Sumantoro, 1993 : 15).
2
pengetahuan dan teknologi antar lembaga, badan atau orang, baik yang berada
dalam lingkungan dalam negeri maupun yang berasal dari luar negeri ke dalam
negeri atau sebaliknya. Sementara, secara harfiah alih teknologi dapat di
definisikan terpisah antara frase alih dan teknologi. Istilah “alih” atau
“pengalihan” merupakan terjemahan dari kata transfer. Sedangkan kata transfer
berasal dari bahasa latin transfere yang berarti jarak lintas dalam muatan besar.
Kata alih atau pengalihan pada mulanya banyak dipakai para ahli dalam berbagai
tulisan dari satu tangan ke tangan yang lain, sama maknanya dengan pengoperan
atau penyerahan. Pendapat inilah yang menekankan makna harfiah dengan
memperhatikan obyek yang ditransfer, salah satunya adalah difusi teknologi (Tim
Proyek Pusat Perencanaan Hukum dan Kodifikasinya, 1982 : 14).
3
Kontrak berpedoman pada Pasal 1233 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
yang menyatakan bahwa tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena suatu
persetujuan karena undang-undang. Di dalam Black’s Law Dictionary,
dikemukakan bahwa contract is an agreement between two or more person which
creates an obligation to do or not to do particular thing. Artinya, kontrak adalah
suatu persetujuan antara dua orang atau lebih, dimana menimbulkan sebuah
kewajiban untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu secara sebagian atau
seluruhnya (Black’s Law Dictionary, 1979 : 291). Selanjutnya, menurut Salim
H.S., kontrak merupakan hubungan hukum antara subjek hukum yang satu
dengan subjek hukum yang lain dalam bidang harta kekayaan, dimana subjek
hukum yangs satu berhak atas prestasi dan begitu juga subjek hukum yang lain
berkewajiban untuk melaksanakan prestasinya sesuai dengan yang telah
disepakati (Salim H.S 2008 : 27).
4
kekayaan intelektual. Saat ini ada 7 objek hak kekayaan intelektual yang ada di
Indonesia dan telah dilindungi oleh undang-undang, antara lain :
5
pengalihan teknologi dilaksanakan berdasarkan perjanjian yang telah
diatur sebelumnya dengan pihak lain tersebut.
Pasal 17 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional
Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi, diatur bahwa kerjasama Internasional dapat diusahakan oleh
semua unsur untuk meningkatkan alih teknologi.
6
Dengan know how agreements (Gunawan Wijaya, 2001 : 98)
Sedangkan untuk negara-negara berkembang, terdapat lima macam cara lain
yang dapat dilakukan untuk melakukan alih teknologi, yaitu :
Melalui importasi barangbarang modal
Dengan waralaba (franchising) dan program distribusi (distributorship)
Perjanjian manajemen dan konsultasi (consultation agreements) turn key
project dalam bentuk kerjasama pabrikasi yang melibatkan penyertaan
modal yang cukup besar dengan satu sumber teknologi yang bertanggung
jawab sepenuhnya atas keberhasilan jalannya proyek tersebut
Joint venture agreements. Jika dalam consultation agreements, negara
berkembang harus memainkan peran yang aktif agar mereka memperoleh
secara optimum teknologi yang ingin diserap, dan dalam turn key project,
beban tersebut dialihkan pada pemilik teknologi, maka dalam joint venture
agreements diharapkan dapat terjadi keseimbangan peran diantara
keduanya hingga dapat diperoleh hasil yang lebih optimum atas teknologi
yang dihasilkan.
Sementara berdasarkan peran masing-masing pihak, yaitu pihak yang
melakukan pengalihan teknologi dan pihak yang menerima pengalihan teknologi,
alih teknologi dapat dibedakan menjadi :
a) Privat to Privat
b) Government to Privat
c) Government to Government (Etty Susilowati, 2007 : 153)
Secara umum, alih teknologi dalam bidang industri dapat dilakukan
melalui cara-cara sebagai berikut :
Memperkerjakan tenaga-tenaga ahli perorangan. Dengan cara ini negara
berkembang bisa dengan mudah mendapatkan teknologi, yang berupa
teknik dan proses manufakturing yang tidak dipatenkan. Cara ini hanya
cocok untuk industri kecil dan me engah.
Menyelenggarakan supply dari mesin-mesin dan alat equipment lainnya.
Supply ini dapat dilakukan melalui kontrak tersendiri.
Perjanjian lisensi dalam yang dapat memudahkan proses alih teknologi di
mana pihak penemu memeberikan hak kepada setiap orang/badan untuk
melaksanakan tcknologi dengan suatu lisensi.
7
Expertisi dan bantuan, teknologi. KeahIian dan bantuan dapat berupa:
a. Studi pre-investasi.
b. Basic pre-ingeenering.
c. Spesifikasi mesin-mesin.
Dengan adanya klausula yang diatur dalam TOT-Code di atas, maka proses
pengalihan teknologi dari negara maju ke negara berkembang memiliki arus aliran
teknologi yang bersifat restructive business practice atau terdapat hambatan-
hambatan tertentu, yang berupa pembatasan-pembatasan yang menyebabkan
negara berkembang tidak dapat mempergunakan teknologi yang digunakan di
negara maju dengan real time. Meskipun secara normatif dapat dipastikan bahwa
8
pihak penerima teknologi mendapatkan teknologi sesuai yang diperjanjikan, tetapi
pada saat itu pihak yang mengalihkan teknologi sudah mempunyai teknologi
yanglebih baru lagi. Jadi walaupun ditekankan pada kewajiban hukum, posisi
penerima teknologi tetap saja di belakang pemberl teknologi. Itulah sebabnya ada
pendapat yang menyatakan bahwa jika ingin maju suatu negara tidak dapat hanya
bergantung pada mekanisme alih teknologi yang normatif.
Pembatasan yang ada dalam pengaturan alih teknologi dari negara maju ke
negara berkembang bertujuan untuk melindungi kepentingan negara yang
mengalihkan teknologi. Negara penemu teknologi tersebut dianggap telah
melakukan upaya maksimal untuk menemukan teknologi terkait, baik dari segi
waktu, tenaga maupun biaya, sehingga apa yang diperoleh negara berkembang
dalam proses alih teknologi adalah berupa hasil jadi. Larangan bagi negara
penerima untuk mengembangkan dan menyempurnakan hasil jadi teknologi dari
negara maju juga bertujuan untuk menghargai upaya dari pemilik teknologi yang
telah mengerahkan seluruh intelektualisasinya untuk menemukan suatu teknologi,
sehingga ketidaksempurnaan yang dimukan adalah suatu kewajaran dan apabila
penerima teknologi ingin mengembangkannya, maka harus meminta izin terlebih
dahulu kepada penemu teknologi.
9
hanya akan membuat alur aliran pengalihan teknologi sebagaimana yang diatur di
dalam TRIPs menjadi berjalan tidak sebagaimana mestinya. Padahal, negara
berkembang dapat diartikan bahwa suatu negara sedang berada dalam tahapan
untuk mengembangkan berbagai sektor dalam negerinya untuk menjadi lebih baik
dan lebih maju. Proses peningkatan itu salah satunya membutuhkan teknologi
yang dilisensikan dari negara maju. Selanjutnya, pengaturan mengenai konsep
dasar alih teknologi ini ditunggangi oleh aturan-aturan pembatasan yang justru
membuat tujuan dari peningkatan harfiah negara berkembang dalam bebragai
sektornya tidak terpenuhi.
Maka dari itu, kecacatan pengaturan lisensi dalam TRIPs dan TOT-Code ini
harus disikapi lebih bijak oleh negara-negara yang meratifikasinya, terutama
negara berkembang yang kepentingannya dipertaruhkan. WTO sendiri
memberikan kebebasan bagi tiap-tiap negara anggota untuk menerapkan
pengaturan perlindungan Hak Kekayaan Intelektual dengan disesuakan pada
keadaan dalam negeri, tanpa menyalahi aturan-aturan minimum perlindungan
yang telah diatur dalam TRIPs. Apabila ditelaah lebih lanjut, maka fleksibelnya
TRIPs dapat menjadi celah bagi negara berkembang, termasuk Indonesia, untuk
memperkuat kedudukan dalam kontrak lisensi alih teknologi agar tidak begitu saja
menjadi pihak yang dirugikan dalam proses alih teknologi di bawah dominasi
negara maju.
10
Apabila alih teknologi dilaksanakaan melalui kontrak antara pihak penemu dan
penerima pengalihan teknologi, maka kontrak inipun harus tunduk pada asas
konsensualisme. Artinya, apabila pembatasan membuat pihak penerima teknologi
merasa keberatan dengan pembatasan-pembatasannya, maka kontrak tidak dapat
terealisasikan.
Saat ini, Indonesia berada dalam tahap intensif mencari pengalihan teknologi
guna mengembangkan sektor industri serta sektor penelitian dan pengembangan.
Dengan adanya pembatasan dalam kontrak alih teknologi, maka intensifikasi
pengalihan teknologi yang sedang gencar digalang oleh Indonesia akan terganggu.
Di sisi lain, sektor industri terutamanya sangat membutuhkan pengalihan
teknologi dari negara maju, maka mekanisme pelarangan pembatasan dalam
kontrak alih teknologi menjadi hal yang sangat penting untuk diterapkan oleh
bangsa Indonesia guna memperkuat pembangunan ekonomi dan pembangunan
industri.
11
Membatasi riset dan pengembangan terhadap Tidak boleh ada pembatasan riset
teknologi tersebut. dan pengembangan terhadap
teknologi tersebut guna
kepentingan negara penerima agar
dapat berpikir lebih maju.
G. PENUTUP
Kontrak alih teknologi melibatkan pihak inventor atau negara maju dan
pihak aseptor atau negara berkembang. Sayangnya, dalam pelaksanaan kontrak
alih teknologi, Indonesia selaku negara berkembang dan anggota dari World
Trade Organization terikat oleh aturan-aturan mengenai pengalihan teknologi,
seperti apa yang dimuat di dalam TRIPs guna melindungi Hak Kekayaan
Intelektual pihak penemu teknologi dan TOT-Code yang disusun oleh UNCTAD
(United Nations Conference on Trade and Development). Pembatasan-
pembatasan tersebut membuat kedudukan Indonesia dan negara berkembang
lainnya tidak sejajar dengan pihak inventor dalam kontrak. Untuk itulah,
diperlukan suatu mekanisme khsus untuk melarang adanya pembatasan dalam
kontrak alih teknologi. Mekanisme tersebut diperbolehkan mengingat WTO
12
memberikan kebebasan peratifikasian TRIPs dengan disesuaikan pada keadaan
dalam negeri suatu negara. Selain itu kita dapat beracuan pada asas-asas serta
prinsip-prinsip hukum kontrak, seperti asas konsensualisme.
Daftar Pustaka
13
Gunawan Wijaya. Lisensi. 2001. Jakarta : Raja Grafindo Persada.
Salim H.S. 2008. Hukum Kontrak : Teori & Teknik Penyusunan Kontrak. Jakarta :
Sinar Grafika.
Sumantoro. 1993. Masalah Pengaturan Alih Teknologi. Bandung : Alumni.
Peraturan Perundang-Undangan :
14