Anda di halaman 1dari 14

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Islam Menyikapi Perkembangan Zaman

Aristoteles mengemukakan teori zoon politicon yang berarti manusia adalah


makhluk sosial, jika kita telaah teori ini, kita akan memahami bahwa
sesungguhnya manusia mempunyai kehidupan sosial, yang mau tak mau harus
hidup bersama-sama masyarakat. Yang implisit dalam tulisan-tulisan
Aristoteles adalah sikap bahwa setiap aspek kehidupan manusia dan
masyarakatnya dapat dijadikan objek pemikiran dan analisis.1 Sekiranya
manusia tidak hidup bersosial maka manusia akan binasa. Bukan hanya
manusia yang memerlukan kehidupan sosial, kita juga mendapati banyak
hewan yang mempunyai kehidupan sosial. Yang dimaksudkan dengan
kehidupan sosial bukan hanya berarti sekedar hidup bersama masyarakat,
sebab jika hanya hidup menyendiri di tengah-tengah masyarakat tidaklah
memberikan arti kehidupan sosial.2 Kehidupan sosial adalah suatu kehidupan
yang didalamnya terdapat pembagian tugas, kewajiban dan aturan
sebagaimana ada dalam kehidupan masyarakat.

Manusia adalah makhluk yang berakal dan sempurna penciptaannya. Ia adalah


makhluk yang penciptaan dan pemeliharaan dirinya langsung bersumber dari
dirinya sendiri. Ia adalah makhluk yang memiliki kebebasan memilih,
kemampuan mencipta dan potensi mengemban tanggung jawab, manusia
mampu meneliti jalan kesempurnaan dirinya, akan tetapi dengan ketinggian
akal dan daya cipta yang dimilikinya manusia tetaplah makhluk yang lemah,
artinya dari sisi fisik manusia adalah makhluk lemah, namun dari sisi potensi
yang dimiliki dan jalan yang mampu ditempuhnya dengan kebebasan, manusia
adalah makhluk yang paling sempurna dan lengkap dibandingkan dengan
ciptaan Tuhan yang lain di muka bumi ini. Kepada manusia telah diberikan
1 Michael H. Hart, 100 Tokoh Paling Berpengaruh di Dunia, Penerbit: Noura Books, Jakarta,
2016, hlm.75.
2 Ayattullah murtadha muthahhari, Islam dan Tantangan Zaman, Penerbit: Sadra Press, Jakarta,
2011, hlm.19.

5
6

kemampuan memilih, mencari, dan mencipta. Demikian juga manusia mampu


mengubah bentuk produksi, distribusi dan kemajuan dirinya, manusia mampu
menciptakan alat-alat yang lebih baik dan lebih modern dibandingkan dengan
alat-alat yang dahulu. Manusia dalam hal ini juga mampu mengubah aturan
dan sistem kehidupan mereka, ia mampu mengubah dan memandang kembali
bentuk hubungan sosial, sistem pendidikan, dan moral yang ada ditengah-
tengah mereka. Manusia mampu mengubah lingkungan, bumi, dan zaman
sehingga mendatangkan manfaat bagi dirinya. Dari sini kita dapat mengetahui
bahwa tuntutan zaman senantiasa berubah bagi manusia.

Bisa dikatakan, sebenarnya manusia sendirilah yang menciptakan zaman.


Manusia mampu mengubah zaman menjadi baik, sebagaimana ia mampu
mengubah zaman menjadi buruk. Ini berarti bahwa manusia harus berjalan
seiring dan berkerja sama dengan berbagai perubahan zaman yang mengarah
pada kebaikan, akan tetapi dengan perubahan zaman yang mengarah pada
keburukan dan kejahatan sebagai Insan Islam bukan hanya kita tidak boleh
berkerja sama, melainkan juga harus menentangnya.

Lalu timbul pertanyaan, apa yang dijadikan tolak ukur untuk menilai
perubahan mana yang mesti kita hitung sebagai mengarah kepada kebaikan
dan perkembangan mana yang harus kita hitung sebagai perubahan yang
mengarah pada penyimpangan dan kerusakan? Jawabannya adalah tidak lain
dengan akal dan pikiran manusia itu sendiri, akal merupakan petunjuk jalan
yang baik bagi manusia, Allah SWT menganugerahkan akal kepada manusia
agar dapat membedakan jalan kesempurnaan dari jalan penyimpangan.
Kondisi manusia menunjukkan bahwa terkadang dengan perantaraan
bimbingan akal, manusia akan mampu menempuh jalan yang benar, dan
terkadang disebabkan oleh kebodohan dan pengumbaran hawa nafsu manusia
cenderung meniti jalan yang menyimpang. Dari sini kita memahami bahwa
disamping mempunyai kemajuan dan perkembangan, manusia yang
mempunyai ilmu pengetahuan tidak selalu menunjukkan bahwa ia akan
menggunakannya demi kepentingan dan kesejahteraan umat manusia, sebab
7

mungkin saja ada seseorang yang berilmu yang memanfaatkan ilmunya demi
kepentingan syahwatnya.

Tujuan islam ialah menerapkan prinsip persamaan secara nyata dan umum di
tengah-tengah manusia, sekiranya Islam menetapkan suatu aturan yang
mempunyai kegunaan untuk sementara waktu, contohnya seperti untuk
mengeksploitasi dan memanfaatkan sekelompok orang dan kemudian
mengganti peraturan itu, yang demikian tersebut bukanlah Islam yang benar
dalam artian sesungguhnya, hal itu adalah sistem politik Eropa yang
senantiasa mendengung-dengungkan hak asasi manusia, tetapi kemudian
meletakkan bangsa-bangsa dibawah kekuasaan mereka.3 Inilah keadaan yang
kita saksikan pada perkembangan zaman ini dan hal yang demikian tersebut
bukanlah perkembangan zaman yang baik melainkan penyimpangan zaman
dan sebagai Insan muslim kita harus beridiri untuk menentangnya.

2.2 Penyebab Terkikisnya Penerapan Budaya Islam Pada Era Globalisasi

Dengan melihat sejarah kebudayaan Barat, kita mungkin dapat melihat betapa
pemikiran Barat berkembang dari masa ke masanya, pada zaman
pertengahan, alam pikiran Barat pada dasarnya adalah alam pikiran mitologis.
Berakar pada mitologi yunani, waktu itu dunia Barat benar-benar
terkungkung didalam paham keagamaan bahwa seolah-olah Tuhan itu
membelenggu manusia, menurut paham tersebut manusia adalah saingan
Tuhan, kadang-kadang Tuhan dianggap iri hati kepada manusia, sehingga
manusia selalu terancam dendam, singkatnya Tuhan itu dianggap seperti
manusia.4 Dalam mitologi Barat yunani, dikenal ada banyak Tuhan, banyak
dewa, tapi rupanya pandangan keagamaan semacam ini semakin ditinggalkan
ketika muncul pemikiran bahwa manusia adalah pusat dari segala sesuatu.
Dewa-dewa hanya dianggap mitos karena sesungguhnya memang tidak ada.
Pandangan antroposentrisme yang beranggapan bahwa kehidupan tidak
berpusat pada Tuhan, pada Dewa-Dewa, tapi pada manusia, manusialah yang

3 Ibid., hlm.47
4 Kuntowijoyo, Paradigma Islam, Penerbit : PT.Mizan Pustaka, Bandung, 2008, hlm.262.
8

menjadi penguasa realitas, oleh karena itu manusialah yang menentukan


nasibnya sendiri, bukan para dewa, manusia bahkan dianggap dapat
menentukan kebenaran,dianggap sebagai penentu kebenaran, itu sebabnya
dewa-dewa dan kitab-kitab suci tidak diperlukan lagi.5

Sesungguhnya antroposentrisme muncul dengan datangnya rasionalisme yang


tidak lagi percaya bahwa hukum alam bersifat mutlak, melalui filsafat
rasionalisme, gerakan ini telah melahirkan revolusi keagamaan yang
beranggapan bahwa pada dasarnya manusia itu merdeka, juga sekaligus
melahirkan revolusi pemikiran yang pada akhirnya menimbulkan revolusi
ilmu pengetahuan. Semangat untuk membebaskan diri dari mitologi ternyata
menyebabkan agnostisisme terhadap agama dan pada gilirannya
menimbulkan sekulerisme.

Refleksi budaya Barat dan cita-cita Barat ini akhirnya menyebar ke seluruh
dunia, melalui pendidikan Barat yang sampai ke Indonesia iniliah yang
menjadi dasar lunturnya budaya Islam yang dianut mayoritas masyarakat
Indonesia karena mereka percaya bahwa kemajuan kebudayaan dan kemajuan
ilmu pengetahuan hanya dapat terjadi jika kita mampu membebaskan diri dari
kungkungan agama.

Didalam kebudayaan modern yang berkembang dan dominan pada saat ini,
yang semangatnya berasal dari cita-cita Barat untuk melepaskan diri dari
agama. Didalam masyarakat modern yang berteknologi tinggi, manusia
menghadapi mekanisme kerja. Alat-alat produksi baru yang dihasilkan oleh
teknologi modern dengan proses mekanisasi, otomatisasi, dan standarisasinya
ternyata menyebabkan manusia cenderung menjadi elemen yang mati dari
proses produksi. Teknologi modern yang sesungguhnya diciptakan untuk
pembebasan manusia dari kerja ternyata telah menjadi alat perbudakan baru,
fungsi teknologi modern telah berubah menjadi alat kepentingan pribadi atau
golongan yang dipaksakan kepada masa.6

5 Ibid., hlm.263.
6 Ibid., hlm.265
9

Manusia yang semula merdeka, yang merasa menjadi pusat dari segala
sesuatu kini telah diturunkan derajatnya tak lebih sebagai bagian dari mesin,
mesin raksasa teknologi modern. Karena proses inilah, pandangan tentang
manusia menjadi tereduksi. Nilai manusia kini terdegradasi oleh berkerjanya
teknologi. Ketika manusia masih bekerja dengan tangan, dengan alat yang
sederhana, manusia menjadi penguasa, artinya manusia masih menguasai
kerjanya sendiri. Tapi kini ketika manusia menjadi bagian dari logika
produksi teknologi modern, ia hanya menjadi elemen mekanisasi dan elemen
otomatisasi teknologi. Ia berubah menjadi sekedar sebuah faktor dari mesin,
tak lain sebagai bagian dari mesin itu sendiri, karena itulah manusia pada
zaman modern ini menjadi terbelenggu oleh proses teknologi.

Didalam masyarakat kapitalis, manusia hanya menjadi elemen pasar, dalam


masyarakat seperti itu, kualitas kerja manusia dan bahkan kualitas
kemanusiaan sendiri ditentukan oleh pasar, jika ingin bekerja mereka harus
menjual dan menawarkan jasanya ke pasar. Dalam masyarakat kapitalis,
dengan demikian manusia hanya menjadi bulan-bulanan kekuatan pasar.
Malapetaka kemanusiaan dalam sistem kapitalis ini ternyata tak lebih ringan
dari malapetaka yang dihadapi manusia didalam sistem komunis. Dalam
masyarakat komunis, manusia tidak menjadi elemen pasar, tapi menjadi
elemen birokrasi. Demikianlah didalam kedua sistem sosial masyarakat
modern itu yang menjadikan fungsi manusia turun hanya sekedar menjadi
elemen.

Problematika seperti itu sangatlah berbeda dari gambaran manusia dalam


konsepsi Islam. Didalam islam manusia digambarkan sebagai makhluk yang
merdeka dan karena hakikat kemerdekaannya itulah manusia menduduki
tempat yang sangat terhormat. Manusia diserukan agar menemukan esensi
dirinya, memikirkan kedudukannya dalam struktur realitas, dan dengan
demikian mampu menempatkan dirinya sesuai dengan keberadaan
kemanusiaannya. Sesungguhnya dalam konsepsi Al-Quran, posisi manusia itu
sangat penting, begitu pentingnya posisi itu dapat dilihat dalam predikat yang
10

diberikan Tuhan sebagai khalifah Allah, sebagai wakil Tuhan dimuka bumi.7
Predikat ini memberikan gambaran kepada kita bahwa seolah-olah Tuhan
memercayakan kekuasaan-Nya kepada manusia untuk mengatur bumi ini,
sebuah tugas yang maha berat yang makhluk lain enggan memikulnya.

Didalam filsafat Yunani dan Romawi, manusia dipandang sebagai makhluk


rendah. Sebagai contoh, mitologi Yunani melihat manusia sebagai makhluk
yang sama sekali tidak memiliki kecerdasan sehingga diperlukan dewa untuk
menuntun manusia berpikir, lebih mengerikan lagi didalam filsafat Kristen
manusia dilihat sebagai makhluk yang pada hakikatnya busuk, manusia
digambarkan sebagai pendosa hakiki sejak lahir, sehingga diperlukan seorang
penebus dosa, penebus dosa itu tak lain adalah Tuhan yang diakui oleh umat
Kristen.8

Kedatangan Islam merombak paham-paham seperti itu secara keseluruhan,


oleh islam manusia yang didalam mitologi Yunani digambarkan sebagai
makhluk rendah dan dungu, dan yang oleh Kristen dipandang sebagai
pendosa, direkonstruksi sedemikian rupa sehingga memperoleh kedudukan
yang terhormat sebagai wakil Tuhan dimuka bumi, derajat manusia diangkat
sampai sedemikian tinggi hingga mencapai kedudukan yang sangat mulia.
Penekanan pada kemuliaan manusia inilah sesungguhnya yang sangat
revoluisoner dari konsepsi Islam.

Dalam konsepsi menegenai hubungan antara manusia dan Tuhan, Islam justru
mengajarkan pembebasan, bukan pengekangan. Menurut islam, aktualisasi
diri manusia hanya dapat terwujud dengan sempurna dalam pengabdian
kepada penciptanya dan ini jelas merupakan pembebasan sejati. Sebagai
makhluk, manusia hanya diperbolehkan mempunyai hubungan pengabdian
kepada Allah SWT semata.

Singkatnya, Islam yang mengangkat posisi manusia pada derajat yang tinggi
sebagai wakil Tuhan dimuka bumi dan untuk mencapai kualitas ini, manusia

7 Ibid., hlm.267.
8 Ibid., hlm.268.
11

dituntut untuk senantiasa mematuhi-Nya, dan untuk itu oleh Tuhan manusia
diberi peluang dan potensi untuk selalu meningkatkan diri.9 Kita mengenal
berbagai cara untuk mencapai kemajuan salah satunya dengan senantiasa
bersyukur dan ikhlas. Dengan cara itulah kemajuan material yang kita capai
tidak akan menjadikan kita gelisah, khawatir atau menjadikan kita ingkar
kepada-Nya. Cita-cita Al-Quran mengenai kemajuan manusia sesungguhnya
bersifat spiritual, yaitu untuk mencapai ridha Allah SWT, apapun usaha kita
di dunia harus selalu dikaitkan dengan tugas sebagai khalifah Allah untuk
menguasai dan mengatur dunia ini sesuai dengan kehendak-Nya.

Gambaran mengenai manusia dan cita-cita kemanusiaan yang terdapat


didalam Islam seperti yang dilukiskan dengan amat sederhana diatas
sungguh-sungguh berbeda dengan gambaran dan cita-cita Barat. Di dalam
filsafat barat, hampir selalu kita temukan bahwa kemajuan dapat dicapai
hanya jika kita membebaskan diri dari alam pikiran agama. Pandangan seperti
inilah yang mulai menyebar di Indonesia, yang sedikit demi sedikit mengikis
budaya Indonesia yang beragama terutama budaya Islam yang dianut oleh
mayoritas masyarakatnya dan jika kita sebagai insan muslim mendiamkan
saja persoalan ini maka bukan tidak mungkin pandangan menyimpang seperti
ini lama-kelamaan dapat membudaya di tengah-tengah masyarakat kita.
Terlepas dari budaya barat dan budaya timur sebenarnya barat masih
membutuhkan timur, sebagaimana timur membutuhkan barat.10

2.3 Langkah Strategis Untuk Mempertahankan Budaya Islam

Ada beberapa langkah strategis yang dirumuskan penulis dalam upaya


mempertahankan budaya Islam di Indonesia, diantaranya adalah :
1. Peningkatan Ibadah dan Ketaatan Beragama

Hal ini adalah hal yang penting untuk dijadikan langkah awal dalam
mempertahankan budaya Islam yang ada terutama untuk diri sendiri.
Ibadah adalah sesuatu yang bersifat tetap, umum, dan tidak menerima

9 Ibid., hlm.269.
10 Haidar Bagir, Op.Cit., 179
12

perubahan maupun penghapusan, demikian juga dengan zaman sama


sekali tidak bisa memberikan pengaruh kepadanya. Pada dasarnya ibadah
bukanlah suatu budaya melainkan suatu perintah dari ajaran agama Islam
yang kita anut, akan tetapi akan lebih baik jika dalam perkembangan
zaman yang ada ini kita mentransformasikan perintah dan ajaran didalam
islam tersebut menjadi suatu budaya dan suatu kebiasaan yang kita
lakukan didalam menjawab tantangan zaman yang kita hadapi ini.

Ibadah sama sekali tidak akan terpisah dari Islam, beberapa orang telah
mengenal kajian-kajian sosial Islam, pengetahuannya itu menyebabkan
mereka memandang enteng ibadah, mereka berada dalam kesalahan besar,
sebab ibadah adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari islam secara
praktis maupun teoritis.11

Suatu ibadah tidak mempunyai nilai manakala dipisahkan dari pelajaran-


pelajaran sosial, dan begitu juga sebaliknya pelajaran-pelajaran sosial
Islam tidak akan mempunyai nilai manakala dipisahkan dari ibadah. Dari
hal ini dapat kita simpulkan bahwa bagaimanapun bentuk perubahan
zaman, ibadah kepada Allah SWT tetaplah mutlak menjadi hal pertama
yang dijalankan oleh seorang muslim, tidak dapat kita hanya melakukan
kebaikan-kebaikan sosial dan mengenyampingkan ibadah utama yang
diperintahkan oleh Allah SWT.

Ibadah merupakan salah satu kebutuhan manusia. Ibadah diartikan suatu


keadaan yang ada dalam diri manusia, dari sisi batin manusia
mengarahkan perhatiannya kepada Zat yang telah menciptakannya dan
juga menggenggam wujudnya dalam kekuasaan-Nya.12Manusia
membutuhkan Zat itu, pada hakikatnya ini merupakan perjalanan yang
ditempuh manusia dari makhluk kepada pencipta-Nya. Tidak
dilaksanakannya ibadah akan menimbulkan ketidakseimbangan dalam jiwa
manusia, sekiranya manusia sepanjang hidupnya hanya berusaha

11 Ayattullah murtadha muthahhari, op.cit., hlm.45.


12 Ibid., hlm.245.
13

memenuhi keinginan-keinginan materi saja dan tidak mau sama sekali


memperhatikan kebutuhan-kebutuhan spiritualnya, maka roh dan jiwanya
senantiasa berada dalam keadaan resah dan memberontak. Jawaharlal
Nehru adalah orang yang sama sekali tidak beragama pada masa mudanya,
namun pada masa-masa akhir hidupnya keadaannya berubah. Beliau
mengatakan “aku merasakan ada sebuah ruang hampa dalam hatiku dan
juga di alam ini, yang tidak mungkin bisa kupenuhi kecuali dengan
masalah-masalah spiritual, terjadinya berbagai goncangan dan keresahan
di alam ini disebabkan kekuatan-kekuatan spiritual yang telah dilemahkan,
inilah yang menyebabkan tidak ada lagi keseimbangan di alam ini”,
kemudian ia melanjutkan “goncangan-goncangan ini tampak lebih dahsyat
terjadi di Negara Uni soviet. Ketika masyarakat kelaparan, rasa lapar itu
tidak akan membiarkan masyarakat untuk memikirkan masalah lain,
mereka hanya berpikir tentang kebutuhan materi mereka saja, tatkala
kehidupan mereka telah mapan, muncul ditengah-tengah mereka suasana
keresahan dan kekosongan jiwa, ketika mereka telah selesai melakukan
suatu pekerjaan dan mereka menganggur, maka mereka mulai berpikir hal
yang harus mereka lakuhkan untuk mengisi waktu kosongnya itu. Inilah
awal musibah yang menimpa mereka” kemudian ia melanjutkan
ucapannya “saya berpikir bahwa tidak mungkin mereka memenuhi waktu-
waktu kosong dengan sesuatu yang lain kecuali berbagai urusan spiritual,
kehampaan inilah yang ada dalam diriku”.13

Jelaslah bahwa manusia benar-benar membutuhkan ibadah dan ketaatan.


Berbagai penyakit jiwa banyak merajalela di zaman sekarang, hal ini salah
satunya disebabkan oleh manusia yang jauh dari ibadah.
2. Pembebasan dari pengaruh pemikiran Barat

Sesungguhnya misi Islam yang paling besar adalah pembebasan. Dalam


konteks dunia modern ini insan muslim haruslah membebaskan manusia
dari kungkungan aliran pikiran dan filsafat yang menganggap manusia
tidak mempunyai kemerdekaan dan hidup dalam absurditas, akan tetapi

13 Andi Setiadi, 3 Serangkai Pengubah Dunia, Penerbit: IRCiSoD, Jakarta, 2014, hlm.43.
14

karena dunia modern juga telah menciptakan sistem-sistem yang


membelenggu manusia, baik itu berupa sistem-sistem produksi teknologi
modern, sistem sosial dan budaya, maupun sistem-sistem lainnya yang
menyebabkan manusia tidak dapat mengaktualisasikan dirinya sebagai
makhluk yang merdeka dan mulia, maka Islam sekali lagi harus
melakukan revolusi untuk merombak semua hal tersebut yaitu suatu
revolusi untuk pembebasan.

Proses sekularisasi memang cukup mengkhawatirkan bagi eksistensi


kemanusiaan, jika pertimbangan keagamaan dan pertimbangan etika
dikesampingkan dalam kehidupan sosial dan diserahkan semata-mata pada
pertimbangan rasional, mungkin kehidupan manusia akan kehilangan
makna.14 Kita melihat fenomena ini terjadi di Barat, di tengah-tengah maju
pesatnya ilmu pengetahuan dan teknologi, jiwa kebudayaan Barat
mengalami kekosongan hebat. Manusia Barat dalam kebudayaan yang
sangat rasional itu sesungguhnya menderita kehampaan hidup, mereka
hidup tanpa makna. Mereka kemudian mencoba lari ke dalam spekulasi-
spekulasi filsafat untuk menjustifikasi bahwa kehidupan ini memang
membosankan. Bagi mereka dunia ini ibarat penjara. Kekalutan kehidupan
batin manusia Barat itu rupanya muncul sebagai akibat sekularisasi,
berbeda dengan pengertian agama sebagaimana dipahami oleh Barat,
Islam bukanlah sebuah sistem teokrasi, yaitu sebuah kekuasaan yang
dikendalikan oleh pendeta, bukan pula merupakan cara berpikir yang
didikte oleh teologi.

3. Implementasi Islam Agama Rahmatan Lil‘Alamin

Nilai-nilai islam pada dasarnya bersifat all embracing bagi penataan


sistem kehidupan sosial termasuk budaya didalamnya, oleh karena itu
tugas terbesar insan muslim adalah melakukan transformasi sosial dan
budaya dengan nilai-nilai itu. Islam juga adalah sebuah humanisme, yaitu

14 Kuntowijoyo, op.cit., hlm.273.


15

agama yang sangat mementingkan manusia sebagai tujuan sentral. Inilah


dasar Islam yang berbeda dengan prinsip-prinsip filsafat dan prinsip-
prinsip agama lain, humanisme Islam adalah humanisme teosentrik,
artinya ia merupakan agama yang memusatkan dirinya pada keimanan
terhadap Tuhan, tetapi mengarahkan perjuangannya untuk kemuliaan
peradaban manusia.15 Prinsip humanisme teosentrik inilah yang kemudian
akan ditransformasikan sebagai nilai yang dihayati dan dilaksanakan
sepenuhnya dalam masyarakat dan budaya.

Kita harus memerhatikan apa sesungguhnya dasar paling sentral dari nilai-
nilai Islam. Didalam Al-Quran, kita sering sekali membaca seruan agar
manusia beriman dan kemudian beramal, dalam surah Al-Baqarah ayat
kedua misalnya, disebutkan bahwa agar manusia itu menjadi mutaqqin,
pertama-tama yang harus ia miliki adalah iman, disini sebagai seorang
muslim kita harus meningkatkan kualitas keimanan kita kepada Allah
SWT. Kualitas keimanan dan keyakinan seseorang akan ditentukan oleh
pengalaman dalam mengamalkan ajaran agama Islam yang didasari
dengan kesadaran hati, serta dipengaruhi tingkat pengembangan potensi
keimanan seseorang, semakin memperhatikan keyakinannya kemudian
diimplementasikan dalam tindakan nyata maka semakin berkualitas tingkat
keyakinan dan ketaqwaannya.16 Lalu yang kemudian adalah mendirikan
shalat, dan menunaikan zakat, didalam ayat tersebut kita melihat adanya
trilogi iman-shalat-zakat, sementara dalam formulasi lain, kita juga
mengenal trilogi iman-ilmu-amal. Dengan memperhatikan ini kita dapat
menyimpulkan bahwa iman pada aksinya harus diperjuangkan dengan
amal, pusat keimanan Islam memang Tuhan, tetapi ujung aktualisasinya
adalah manusia. Dengan demikian, Islam menjadikan iman sebagai pusat
dari semua orientasi nilai, sementara pada saat yang sama melihat manusia
sebagai tujuan dari transformasi nilai. Dalam konteks inilah Islam disebut
sebagai rahmatan lil-‘alamin, agama rahmat untuk alam semesta yang
termasuk didalamnya untuk kemanusiaan.
15 Kuntowijoyo, op.cit., hlm.275.
16 Akhmad Muslih, Aktualisasi Syariat Islam Secara Kompehensif, Penerbit : Perpustakaan
Nasional : Katalog Dalam Terbitan, Bengkulu, 2006, hlm.43.
16

4. Transformasi nilai-nilai Islam

Pada dasarnya seluruh kandungan nilai Islam bersifat normatif, ada dua
cara bagaimana nilai-nilai normatif itu bisa menjadi operasional dalam
kehidupan kita sehari-hari.17
a. Nilai-nilai normatif itu diaktualkan langsung menjadi perilaku, untuk
jenis aktualisasi semacam ini, contohnya adalah seruan moral untuk
menghormati orang tua, seruan ini dapat langsung diterjemahkan ke
dalam praktik, kedalam perilaku kita sehari-hari, ilmu ini cenderung
menunjukkan secara langsung, bagaimana secara legal perilaku harus
sesuai dengan sistem normatif yang ada.
b. Mentransformasikan nilai-nilai normatif itu menjadi teori ilmu
sebelum diaktualisasikan ke dalam perilaku, cara yang kedua ini lebih
relevan pada saat sekarang ini jika kita ingin melakukan restorasi
terhadap masyarakat Islam dalam konteks masyarakat industrial.
Metode seperti ini yang mentransformasi nilai melalui teori ilmu
untuk kemudian diaktualisasikan dalam praktik, memang
membutuhkan beberapa formulasi yang dapat digambarkan seperti ini:
teologi→filsafat sosial→teori sosial→perubahan sosial. Tanpa
melakukan ini, tanpa mentransformasikan Islam normatif menjadi
Islam teoritis, kita akan mengalami kebingungan besar dalam
mengatasi dampak perkembangan masyarakat industrial.

5. Mempertahankan tradisi budaya Islam

Kebudayaan islam dalam bentuk kesenian-kesenian daerah sangatlah


banyak contohnya kesenian wayang, kesenian tari Saman di Aceh, atau
kesenian lainnya di Indonesia. Kesenian-kesenian ini hendaklah
dipertahankan dan dikembangkan dalam pelaksanaannya, karena melalui

17 Kuntowijoyo, op.cit., hlm.279


17

kesenian yang potensial ini kita sedikitnya dapat mencerminkan Nilai-


Nilai Islam dalam bentuk kesenian atau suatu tradisi, yang harus kita
ketahui bersama dalam hal ini adalah bahwa kebudayaan populer
Indonesia sesungguhnya memiliki tradisi Islam yang kuat dan berakar
panjang didalam sejarah.

6. Rasionalisme dalam perkembangan zaman

Dalam perkembangan zaman dewasa ini timbul permasalahan yang ada di


tengah-tengah masyarakat yaitu alam pikiran yang logis dan rasional. Di
Barat dan hampir di seluruh dunia alam pikiran yang rasional ternyata
menimbulkan kecenderungan sekularisasi18. Ada kecenderungan bahwa
keputusan-keputusan hanya diambil secara rasional tanpa
mempertimbangkan hal-hal yang bersifat agama dan etika. Inilah
tantangan baru yang dihadapi oleh umat Islam.

Dalam konteks kebudayaan Barat, sekularisasi merupakan konsekuensi


yang tak terelakkan dari timbulnya sistem dan cara berpikir rasional,
didalam pikiran Barat timbul kesimpulan bahwa sekularisasi memang
merupakan evolusi yang tak terelakkan bagi masyarakat rasional,
sekularisasi bahkan dianggap sebagai keharusan sejarah yang mutlak
ditempuh untuk lahirnya masyarakat rasional. Meskipun bersifat sekuler,
asal-usul peradaban Barat bukanlah filsafat sekuler, tetapi filsafat agama
Kristen.19

Jika kita kembali melihat sistem pengetahuan Islam yang menganjurkan


pentingnya penggunaan akal pikiran dan pentingnya pencarian
pengetahuan melalui observasi, didalam Al-Quran kita sering membaca
perintah-perintah yang eksplisit agar kita mau memerhatikan tanda-tanda
yang ada di alam semesta, di dalam sejarah, dan di dalam diri kita sendiri.
Perintah-perintah itu mengisyaratkan kepada kita bahwa Al-Quran
sesungguhnya penuh dengan cita-cita empiris, formulasi demikian inilah

18 Ibid., hlm.470.
19 Haidar Bagir, Op.Cit., 180
18

seharusnya yang perlu kita gunakan untuk menghadapi kebudayaan


neoteknik pada masa sekarang ini.

Dengan pemikiran seperti itu kita sebagai insan muslim tidak perlu cemas
menghadapi masa depan kebudayaan neoteknik industrial dengan sistem
pengetahuan rasional dan empirisnya tersebut, perlu diketahui bahwasanya
Islamlah sebenarnya yang pertama kali memperkenalkan sistem
pengetahuan rasional itu ke dunia Barat pada akhir zaman pertengahan,
Islamlah yang membawa rasionalisme dan cara berpikir empiris ke dunia
Barat, sehingga Barat tumbuh menjadi peradaban besar sampai sekarang.
Pada saat itu, Islam memang benar-benar menjalankan misinya sebagai
agama yang umat didalamnya mempunyai pemikiran rasional dan empiris
sehingga ia mampu memimpin peradaban. Tataran sekarang ini jika kita
berkehendak untuk memimpin kembali peradaban dunia, kita sebagai
insan muslim harus memerankan kembali misi dan citacita rasionalisme
empiris Islam dalam kehidupan aktual masyarakat Islam itu sendiri. Jika
ini terlaksana, maka kita tidak perlu lagi takut terhadap logika rasionalitas
Barat yang keliru bahwa sekularisme adalah konsekuensi dari
rasionalisme, jelas logika semacam ini tidak sesuai dengan logika
rasionalitas Islam, cita-cita rasionalitas dan empiris Islam tidak
dimaksudkan untuk lahirnya masyarakat sekuler.

7. Pendekatan Sosial

Pendekatan sosial sangatlah dibutuhkan dalam masyarakat, tidaklah Islami


jika kaum Muslim bersikap tak acuh terhadap kondisi struktural
masyarakatnya, sementara tahu bahwa kondisi tersebut bersifat munkar.
Pendekatan sosial sangatlah dibutuhkan dalam upaya mempertahankan
budaya Islam, jika kita ingin merubah suatu kelompok maka secara tidak
langsung kita harus siap untuk masuk kedalam kelompok tersebut,
pendekatan ini diharapkan dapat memberikan pemahaman terhadap apa
yang sedang kita hadapi bersama sebagai umat Islam.

Anda mungkin juga menyukai