PEMBAHASAN
5
6
Lalu timbul pertanyaan, apa yang dijadikan tolak ukur untuk menilai
perubahan mana yang mesti kita hitung sebagai mengarah kepada kebaikan
dan perkembangan mana yang harus kita hitung sebagai perubahan yang
mengarah pada penyimpangan dan kerusakan? Jawabannya adalah tidak lain
dengan akal dan pikiran manusia itu sendiri, akal merupakan petunjuk jalan
yang baik bagi manusia, Allah SWT menganugerahkan akal kepada manusia
agar dapat membedakan jalan kesempurnaan dari jalan penyimpangan.
Kondisi manusia menunjukkan bahwa terkadang dengan perantaraan
bimbingan akal, manusia akan mampu menempuh jalan yang benar, dan
terkadang disebabkan oleh kebodohan dan pengumbaran hawa nafsu manusia
cenderung meniti jalan yang menyimpang. Dari sini kita memahami bahwa
disamping mempunyai kemajuan dan perkembangan, manusia yang
mempunyai ilmu pengetahuan tidak selalu menunjukkan bahwa ia akan
menggunakannya demi kepentingan dan kesejahteraan umat manusia, sebab
7
mungkin saja ada seseorang yang berilmu yang memanfaatkan ilmunya demi
kepentingan syahwatnya.
Tujuan islam ialah menerapkan prinsip persamaan secara nyata dan umum di
tengah-tengah manusia, sekiranya Islam menetapkan suatu aturan yang
mempunyai kegunaan untuk sementara waktu, contohnya seperti untuk
mengeksploitasi dan memanfaatkan sekelompok orang dan kemudian
mengganti peraturan itu, yang demikian tersebut bukanlah Islam yang benar
dalam artian sesungguhnya, hal itu adalah sistem politik Eropa yang
senantiasa mendengung-dengungkan hak asasi manusia, tetapi kemudian
meletakkan bangsa-bangsa dibawah kekuasaan mereka.3 Inilah keadaan yang
kita saksikan pada perkembangan zaman ini dan hal yang demikian tersebut
bukanlah perkembangan zaman yang baik melainkan penyimpangan zaman
dan sebagai Insan muslim kita harus beridiri untuk menentangnya.
Dengan melihat sejarah kebudayaan Barat, kita mungkin dapat melihat betapa
pemikiran Barat berkembang dari masa ke masanya, pada zaman
pertengahan, alam pikiran Barat pada dasarnya adalah alam pikiran mitologis.
Berakar pada mitologi yunani, waktu itu dunia Barat benar-benar
terkungkung didalam paham keagamaan bahwa seolah-olah Tuhan itu
membelenggu manusia, menurut paham tersebut manusia adalah saingan
Tuhan, kadang-kadang Tuhan dianggap iri hati kepada manusia, sehingga
manusia selalu terancam dendam, singkatnya Tuhan itu dianggap seperti
manusia.4 Dalam mitologi Barat yunani, dikenal ada banyak Tuhan, banyak
dewa, tapi rupanya pandangan keagamaan semacam ini semakin ditinggalkan
ketika muncul pemikiran bahwa manusia adalah pusat dari segala sesuatu.
Dewa-dewa hanya dianggap mitos karena sesungguhnya memang tidak ada.
Pandangan antroposentrisme yang beranggapan bahwa kehidupan tidak
berpusat pada Tuhan, pada Dewa-Dewa, tapi pada manusia, manusialah yang
3 Ibid., hlm.47
4 Kuntowijoyo, Paradigma Islam, Penerbit : PT.Mizan Pustaka, Bandung, 2008, hlm.262.
8
Refleksi budaya Barat dan cita-cita Barat ini akhirnya menyebar ke seluruh
dunia, melalui pendidikan Barat yang sampai ke Indonesia iniliah yang
menjadi dasar lunturnya budaya Islam yang dianut mayoritas masyarakat
Indonesia karena mereka percaya bahwa kemajuan kebudayaan dan kemajuan
ilmu pengetahuan hanya dapat terjadi jika kita mampu membebaskan diri dari
kungkungan agama.
Didalam kebudayaan modern yang berkembang dan dominan pada saat ini,
yang semangatnya berasal dari cita-cita Barat untuk melepaskan diri dari
agama. Didalam masyarakat modern yang berteknologi tinggi, manusia
menghadapi mekanisme kerja. Alat-alat produksi baru yang dihasilkan oleh
teknologi modern dengan proses mekanisasi, otomatisasi, dan standarisasinya
ternyata menyebabkan manusia cenderung menjadi elemen yang mati dari
proses produksi. Teknologi modern yang sesungguhnya diciptakan untuk
pembebasan manusia dari kerja ternyata telah menjadi alat perbudakan baru,
fungsi teknologi modern telah berubah menjadi alat kepentingan pribadi atau
golongan yang dipaksakan kepada masa.6
5 Ibid., hlm.263.
6 Ibid., hlm.265
9
Manusia yang semula merdeka, yang merasa menjadi pusat dari segala
sesuatu kini telah diturunkan derajatnya tak lebih sebagai bagian dari mesin,
mesin raksasa teknologi modern. Karena proses inilah, pandangan tentang
manusia menjadi tereduksi. Nilai manusia kini terdegradasi oleh berkerjanya
teknologi. Ketika manusia masih bekerja dengan tangan, dengan alat yang
sederhana, manusia menjadi penguasa, artinya manusia masih menguasai
kerjanya sendiri. Tapi kini ketika manusia menjadi bagian dari logika
produksi teknologi modern, ia hanya menjadi elemen mekanisasi dan elemen
otomatisasi teknologi. Ia berubah menjadi sekedar sebuah faktor dari mesin,
tak lain sebagai bagian dari mesin itu sendiri, karena itulah manusia pada
zaman modern ini menjadi terbelenggu oleh proses teknologi.
diberikan Tuhan sebagai khalifah Allah, sebagai wakil Tuhan dimuka bumi.7
Predikat ini memberikan gambaran kepada kita bahwa seolah-olah Tuhan
memercayakan kekuasaan-Nya kepada manusia untuk mengatur bumi ini,
sebuah tugas yang maha berat yang makhluk lain enggan memikulnya.
Dalam konsepsi menegenai hubungan antara manusia dan Tuhan, Islam justru
mengajarkan pembebasan, bukan pengekangan. Menurut islam, aktualisasi
diri manusia hanya dapat terwujud dengan sempurna dalam pengabdian
kepada penciptanya dan ini jelas merupakan pembebasan sejati. Sebagai
makhluk, manusia hanya diperbolehkan mempunyai hubungan pengabdian
kepada Allah SWT semata.
Singkatnya, Islam yang mengangkat posisi manusia pada derajat yang tinggi
sebagai wakil Tuhan dimuka bumi dan untuk mencapai kualitas ini, manusia
7 Ibid., hlm.267.
8 Ibid., hlm.268.
11
dituntut untuk senantiasa mematuhi-Nya, dan untuk itu oleh Tuhan manusia
diberi peluang dan potensi untuk selalu meningkatkan diri.9 Kita mengenal
berbagai cara untuk mencapai kemajuan salah satunya dengan senantiasa
bersyukur dan ikhlas. Dengan cara itulah kemajuan material yang kita capai
tidak akan menjadikan kita gelisah, khawatir atau menjadikan kita ingkar
kepada-Nya. Cita-cita Al-Quran mengenai kemajuan manusia sesungguhnya
bersifat spiritual, yaitu untuk mencapai ridha Allah SWT, apapun usaha kita
di dunia harus selalu dikaitkan dengan tugas sebagai khalifah Allah untuk
menguasai dan mengatur dunia ini sesuai dengan kehendak-Nya.
Hal ini adalah hal yang penting untuk dijadikan langkah awal dalam
mempertahankan budaya Islam yang ada terutama untuk diri sendiri.
Ibadah adalah sesuatu yang bersifat tetap, umum, dan tidak menerima
9 Ibid., hlm.269.
10 Haidar Bagir, Op.Cit., 179
12
Ibadah sama sekali tidak akan terpisah dari Islam, beberapa orang telah
mengenal kajian-kajian sosial Islam, pengetahuannya itu menyebabkan
mereka memandang enteng ibadah, mereka berada dalam kesalahan besar,
sebab ibadah adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari islam secara
praktis maupun teoritis.11
13 Andi Setiadi, 3 Serangkai Pengubah Dunia, Penerbit: IRCiSoD, Jakarta, 2014, hlm.43.
14
Kita harus memerhatikan apa sesungguhnya dasar paling sentral dari nilai-
nilai Islam. Didalam Al-Quran, kita sering sekali membaca seruan agar
manusia beriman dan kemudian beramal, dalam surah Al-Baqarah ayat
kedua misalnya, disebutkan bahwa agar manusia itu menjadi mutaqqin,
pertama-tama yang harus ia miliki adalah iman, disini sebagai seorang
muslim kita harus meningkatkan kualitas keimanan kita kepada Allah
SWT. Kualitas keimanan dan keyakinan seseorang akan ditentukan oleh
pengalaman dalam mengamalkan ajaran agama Islam yang didasari
dengan kesadaran hati, serta dipengaruhi tingkat pengembangan potensi
keimanan seseorang, semakin memperhatikan keyakinannya kemudian
diimplementasikan dalam tindakan nyata maka semakin berkualitas tingkat
keyakinan dan ketaqwaannya.16 Lalu yang kemudian adalah mendirikan
shalat, dan menunaikan zakat, didalam ayat tersebut kita melihat adanya
trilogi iman-shalat-zakat, sementara dalam formulasi lain, kita juga
mengenal trilogi iman-ilmu-amal. Dengan memperhatikan ini kita dapat
menyimpulkan bahwa iman pada aksinya harus diperjuangkan dengan
amal, pusat keimanan Islam memang Tuhan, tetapi ujung aktualisasinya
adalah manusia. Dengan demikian, Islam menjadikan iman sebagai pusat
dari semua orientasi nilai, sementara pada saat yang sama melihat manusia
sebagai tujuan dari transformasi nilai. Dalam konteks inilah Islam disebut
sebagai rahmatan lil-‘alamin, agama rahmat untuk alam semesta yang
termasuk didalamnya untuk kemanusiaan.
15 Kuntowijoyo, op.cit., hlm.275.
16 Akhmad Muslih, Aktualisasi Syariat Islam Secara Kompehensif, Penerbit : Perpustakaan
Nasional : Katalog Dalam Terbitan, Bengkulu, 2006, hlm.43.
16
Pada dasarnya seluruh kandungan nilai Islam bersifat normatif, ada dua
cara bagaimana nilai-nilai normatif itu bisa menjadi operasional dalam
kehidupan kita sehari-hari.17
a. Nilai-nilai normatif itu diaktualkan langsung menjadi perilaku, untuk
jenis aktualisasi semacam ini, contohnya adalah seruan moral untuk
menghormati orang tua, seruan ini dapat langsung diterjemahkan ke
dalam praktik, kedalam perilaku kita sehari-hari, ilmu ini cenderung
menunjukkan secara langsung, bagaimana secara legal perilaku harus
sesuai dengan sistem normatif yang ada.
b. Mentransformasikan nilai-nilai normatif itu menjadi teori ilmu
sebelum diaktualisasikan ke dalam perilaku, cara yang kedua ini lebih
relevan pada saat sekarang ini jika kita ingin melakukan restorasi
terhadap masyarakat Islam dalam konteks masyarakat industrial.
Metode seperti ini yang mentransformasi nilai melalui teori ilmu
untuk kemudian diaktualisasikan dalam praktik, memang
membutuhkan beberapa formulasi yang dapat digambarkan seperti ini:
teologi→filsafat sosial→teori sosial→perubahan sosial. Tanpa
melakukan ini, tanpa mentransformasikan Islam normatif menjadi
Islam teoritis, kita akan mengalami kebingungan besar dalam
mengatasi dampak perkembangan masyarakat industrial.
18 Ibid., hlm.470.
19 Haidar Bagir, Op.Cit., 180
18
Dengan pemikiran seperti itu kita sebagai insan muslim tidak perlu cemas
menghadapi masa depan kebudayaan neoteknik industrial dengan sistem
pengetahuan rasional dan empirisnya tersebut, perlu diketahui bahwasanya
Islamlah sebenarnya yang pertama kali memperkenalkan sistem
pengetahuan rasional itu ke dunia Barat pada akhir zaman pertengahan,
Islamlah yang membawa rasionalisme dan cara berpikir empiris ke dunia
Barat, sehingga Barat tumbuh menjadi peradaban besar sampai sekarang.
Pada saat itu, Islam memang benar-benar menjalankan misinya sebagai
agama yang umat didalamnya mempunyai pemikiran rasional dan empiris
sehingga ia mampu memimpin peradaban. Tataran sekarang ini jika kita
berkehendak untuk memimpin kembali peradaban dunia, kita sebagai
insan muslim harus memerankan kembali misi dan citacita rasionalisme
empiris Islam dalam kehidupan aktual masyarakat Islam itu sendiri. Jika
ini terlaksana, maka kita tidak perlu lagi takut terhadap logika rasionalitas
Barat yang keliru bahwa sekularisme adalah konsekuensi dari
rasionalisme, jelas logika semacam ini tidak sesuai dengan logika
rasionalitas Islam, cita-cita rasionalitas dan empiris Islam tidak
dimaksudkan untuk lahirnya masyarakat sekuler.
7. Pendekatan Sosial