Anda di halaman 1dari 24

PENILAIAN AWAL DAN LANJUT, ANTISIPASI FAKTOR RISIKO/ PENYEBAB,

SERTA MANAJEMEN AWAL KASUS GAWAT JANIN


PADA KELAINAN HIS (HIPOTONIK, PARTUS LAMA, HIPERTONIK),
PERSALINAN DENGAN INDUKSI DAN PERSALINAN DENGAN BAYI BESAR
Komentar umum
Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Asuhan Kebidanan
Kegawatdaruratan Maternal Neonatal
Dosen pembimbing mata kuliah :
Kurniaty Ulfah, SST., M.Keb

Disusun oleh :
Kelompok 2

Alya Idzni Indallah P17324116036


Fitri Indriyani Susanto P17324116055
Khansa Khairunnisa Salim P17324116053
Marta Ika Lifiana P17324116038
Nuning Nurbiyanti P17324116044
Rinda Mustika N P17324116063
Sherly Difia P17324116037
Tien aulia Rahmawati P17324116025
Jalum 2-A

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN BANDUNG


JURUSAN KEBIDANAN BANDUNG
2017
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI i
BAB I TINJAUAN TEORI 1
1.1. Kelainan His 1
1.1.1 Hipotonik 1
1.1.2 Partus Lama 1
1.1.3 Hipertonik 1
1.2. Amnionitis / Korioamnionitis 9
1.3. Prolaps Tali Pusat 12
BAB II TINJAUAN KASUS 16
DAFTAR PUSTAKA 22

i
BAB I
TINJAUAN TEORI

1.1 Kelainan His


1.1.1 Hipotonik

A. Pengertian
Kelainan his dengan kekuatan yang lemah / tidak adekuat
untuk melakukan pembukaan serviks atau mendorong bayi keluar.
Disini kekuatan his lemah dan frekuensinya jarang. Sering di jumpai
pada pasien dengan keadaan umum kurang baik seperti anemia,
uterus yang terlalu terenggang misalnya karena hidramnion atau
kehamilan kembar atau grande multipara atau primipara serta pada
penderita yang keadaan emosi yang kurang baik (Sastrawinata,
2004).
Inersia uteri terbagi dua yaitu:
1) Inersia primer
Terjadi pada permulaan fase laten. Sejak awal telah terjadi
his yang tidak adekuat (kelemahan his yang timbul sejak dari
permulaan persalinan), sehingga sering sulit untuk memastikan
apakah pasien telah memasuki keadaan inpartu atau belum
2) Inersia sekunder
Terjadi pada fase aktif kala I atau kala II. Permulaan his
baik, kemudian pada keadaan selanjutnya terdapat gangguan
dan kemudian melemah maka pada persalinan akibat inersia
uteri sekunder ini tidak dibiarkan berlangsung sedemikian lama
karena dapat menimbulkan kelelahan otot uterus maka inersia
uteri sekunder ini jarang di temukan. Kecuali pada wanita yang
tidak diberi pengawasan baik waktu persalinan.

B. Etiologi dan Faktor Predisposisi


1) Primigravida terutama pada usia tua
2) Anemia
3) Perasaan tegang dan emosional
4) Ketidaktepatan pengunaan analgetik seperti saat pemberian
oksitosin atau obat penenang
5) kurang tepat dalam pimpinan persalinan
6) Kelainan uterus
7) Peregangan rahim yang berlebihan pada kehamilan ganda atau
hidra amnion
8) Kehamilan postmatur

C. Tanda dan gejala


1) Waktu persalinan lebih lama
2) Kontraksi uterus kurang dari normal, lemah atau dalam jangka
waktu pendek
3) Dilatasi serviks lambat
4) Lebih rentan mengalami plasenta yang tertinggal

D. Diagnosis
Menurut prof. Dr. Sarwono prawihardjo (2013) diagnosis inersia
uteri paling sulit dalam fase laten sehingga diperlukan pengalaman.

1
Kontraksi uterus yang di sertai rasa nyeri, tidak cukup untuk
membuat diagnosis bahwa persalinan sudah mulai. Saat kontraksi
terjadi perubahan pada serviks, yaitu pendataran dan pembukaan.
Kesalahan yang sering terjadi pada inersia uteri adalah mengobati
pasien padahal persalinan belum di mulai.

E. Penatalaksanaan
Penanganan di BPM
Jika Bidan menemukan inersia uteri :
1) Keadaan umum pasien harus di perbaiki. Gizi selama
kehamilan harus diperhatikan
2) Pasien dipersiapkan menghadapi persalinan, dan jelaskan
tentang kemungkinan yang akan terjadi
3) Periksa keadaan serviks, presentasi dan posisi janin
4) Jika sudah masuk PAP anjurkan pasien untuk jalan – jalan
5) Melakukan perubahan posisi ketika ada kontraksi dengan
miring kiri dan miring kanan
6) Melakukan stimulasi puting susu dengan cara menggosok,
memijat atau melakukan gerakan melingkar di daerah puting
dengan lembut yang diyakini akan melepaskan hormon
oksitosin yang dapat menyebabkan kontraksi. ada beberapa
rekomendasi dalam hal penggunaannya, yaitu:
a. Hanya memijat satu payudara pada suatu waktu
b. Hanya memijat puting selama 5 menit, lalu tunggu selama
15 menit untuk melihat apa yang terjadi sebelum
melakukan pemijatan kembali
c. Sebaiknya tidak menstimulasi payudara selama kontraksi
d. Jangan menggunakan stimulasi payudara jika kontraksi
sudah terjadi setiap 3 menit atau 1 menit
7) Buat rencana untuk menentukan sikap dan tindakan yang akan
dikerjakan misalnya pada letak kepala
a Berikan oksitosin drips 5-10 satuan dalam 500 cc dextrose
5% dimulai dengan 12 tetes/menit, dinaikkan 10-15 menit
sampai 40-50 tetes/menit. tujuannya pemberian oksitosin
agar serviks dapat membuka
b Pemberian oksitosin tidak usah terus menerus. Bila tidak
memperkuat his setelah pemberian oksitosin beberapa
lama hentikan dulu dan anjurkan ibu untuk istirahat. Pada
malam hari berikan obat penenang misalnya valium 10 mg
dan esoknya di ulang lagi pemberian oksitosin drips
c Bila inersia uteri di sertai disproposi sefalopelvis maka
sebaiknya dilakukan seksio sesaria
d Bila semula his kuat tetapi kemudian terjadi inersia
sekunder, ibu lemah dan partus telah berlangsung lebih
dari 24 jam pada primi dan 18 jam pada multi tidak ada
gunanya memberikan oksitosin drips. Sebaiknya partus di
sesuaikan sesuai hasil pemeriksaan dan indikasi obstetrik
lainnya (ektrasi vakum, forcep dan seksio sesaria).
Penanganan di RS
1) Dilakukan penilaian kemungkinan CPD atau obstruksi lainnya
2) His diperbaiki dengan pemberian oksitoksin drip

2
Perbedaan Inersia Uteri Hipotonis dan Hipertonis

HIPOTONIS HIPERTONIS
Kejadian 4% 1%
Saat terjadinya Fase aktif Fase laten
Nyeri Tidak ada nyeri Nyeri berlebihan
Fetal distress Lambat terjadi cepat
Reaksi terhadap oksi baik Tidak baik

1.1.2 Partus Lama

A. Pengertian
Menurut Sarwono (2013) .Persalinan lama disebut juga
“distosia” di definisikan sebagai persalinan yang abnormal/sulit.
Sebab sebab nya di bagi dalam 3 golongan berikut ini :
1) Kelainan Tenaga ( Kelainan His)
His yang tidak normal dalam kekuatan atau sifatnya
menyebabkan kerintangan pada jalan lahir yang lazim terdapat
pada setiap persalinan, tidak dapat diatasi sehingga persalinan
mengalami hambatan atau kemacetan.
2) Kelainan Janin
Persalinan dapat mengalami gangguan atau kemacetan
karena kelainan dalam letak atau dalam bentuk janin.
3) Kelainan jalan lahir
Kelainan dalam ukuran atau bentuk jalan lahir bisa
menghalangi kemajuan persalinan atau menyebabkan
kemacetan.
Masalah yang terjadi :
1) Fase laten lebih dari 8 jam
2) Persalinan telah berlangsung 12 jam atau lebih tanpa kelahiran
bayi ( persalinan lama)
3) Dilatasi serviks di kanan garis waspada pada partograf
Menurut harry dan William, persalinan yang berlangsung lebih
lama dari 24 jam di golongkan sebagai persalinan lama. Namun
demikian jika kemajuan persalinan tidak terjadi secara memadai
selama periode itu situasi tersebut harus segera dinilai.
Permasalahannya harus dikenali dan diatasi sebelum batas waktu
24 jam trcapai. Sebagian besar partus lama menunjukan
pemanjangan kala satu. Apa pun yang menjadi penyebabnya,
cervix gagal membuka penuh dalam jangka waktu yang layak.

B. Etiologi dan Faktor Predisposisi


Menurut Saifudin AB, (2007) Pada prinsipnya partus lama
dapat disebabkan oleh :
1) His tidak efisien (in adekuat)
2) Faktor janin (malpresenstasi, malposisi, janin besar).
Malpresentasi adalah semua presentasi janin selain vertex
(presentasi bokong, dahi, wajah, atau letak lintang). Malposisi
adalah posisi kepala janin relative terhadap pelvis dengan
oksiput sebagai titik referansi. Janin yang dalam keadaan
malpresentasi dan malposisi kemungkinan menyebabkan
partus lama atau partus macet.

3
3) Faktor jalan lahir (panggul sempit, kelainan serviks, vagina,
tumor). Panggul sempit atau disporporsi sefalopelvik terjadi
karena bayi terlalu besar dan pelvic kecil sehingga
menyebabkan partus macet. Cara penilaian serviks yang baik
adalah dengan melakukan partus percobaan  (trial of labor).
Kegunaan pelvimetre klinis terbatas. (Saifudin AB, 2007)

Faktor lain (Predisposisi)


1) Paritas dan Interval kelahiran. Penyebab Kelainan His menurut
Wiknjosastro yang dapat menyebabkan partus lama terutama
pada primigravida khususnya primigravida tua, sedangkan
pada multipara ibu banyak ditemukan kelainan yang bersifat
inersia uteri.
2) Usia
3) Ketuban Pecah Dini. Ketuban pecah dini (KPD) didefinisikan
sebagai pecahnya ketuban sebelum waktunya melahirkan. Hal
ini dapat terjadi pada akhir kehamilan maupun jauh sebelum
waktunya melahirkan. KPD yang memanjang adalah KPD yang
terjadi lebih dari 12 jam sebelum waktunya melahirkan. Pada
ketuban pecah dini bisa menyebabkan persalinan berlangsung
lebih lama dari keadaan normal. 
4) Wanita yang dependen, cemas dan ketakutan
5) Respon stres, Stres psikologis memiliki efek fisik yang kuat
pada persalinan. Hormon stres, seperti adrenalin, berinteraksi
dengan reseptor-beta di dalam otot uterus dan menghambat
kontraksi, memperlambat persalinan. (Wiknjosastro, 2007)

C. Patofisiologi
Menurut sarwono (2013) Patofisiologi terjadinya partus lama,
dapat diterangkan dengan memahami proses yang terjadipada
jalan lahir saat akhir kehamilan dan saat akhir persalinan. Dengan
memahaminya, kitadapat mengetahui dan memperkirakan faktor
apa saja yang menyebabkan terhambatnya persalinan. Pada akhir
kehamilan, kepala janin akan melewati jalan lahir, segmen
bawahrahim yang cukup tebal dan serviks yang belum membuka.
Jaringan otot di fundus masihbelum berkontraksi dengan kuat.
Setelah pembukaan lengkap, hubungan mekanis antaraukuran
kepala janin, posisi dan kapasitas pelvis yang disebut proporsi
fetopelvik (fetopelvic proportion), menjadi semakin nyata seraya
janin turun. Abnormalitas dalam proporsifetopelvik, biasanya akan
semakin nyata seraya kela II persalinan dimulai.Penyebab
persalinan lama dibagi menjadi dua kelompok utama, yaitu
disfungsi uterus murnidan diproporsi fetoplevis. Namun pembagian

4
ini terkadang tidak dapat digunakan karenakedua kelainan tersebut
terkadang terjadi bersamaan
D. Tanda dan Gejala
Menurut Sarwono (2010). Tanda dan gejala partus lama
dengan diagnosanya ialah sebagai berikut :

No Tanda Dan Gejala Diagnosa


1. Serviks tidak membuka tidak di Belum inpartu
dapatkan his/ di dapatkan his tidak
teratur
2. Pembukaan serviks tidak melewati Fase laten memanjang
4 cm sesudah 8 jam in partu
dengan his teratur
3. Pembukaan serviks melewati Fase aktiv memanjang
kanan garis waspada partograf
Frekuensi his kurang dari 3 his per 1. Inersia uteri
10 meit dan lamaya kurang dari 40 2. Disproporsi sefalopelvik
detik. 3. Obstruksi kelapa
Pembukaan serviks dan turunnya 4. Malpresentasi atau
bagian janin yang dipresentasi malposisi
tidak maju, sedangkan his baik
Pembukaan serviks dan turunnya
bagian janin yang dipresentasi
tidak maju dengan kaput, terdapat
moulase hebat, edema serviks,
tanda rupture imminens, gawat
janin.
Kelainan presentasi (kelainan
vertex dengan oksiput anterior).
4. Pembukaan serviks lengkap, ibu Kala II memanjang
ingin mengedan , tetapi taka da
kemajuan

E. Penatalaksanaan
1) Penilaian Awal
Menurut sarwono (2010), penialaian awal pasien dengan
partus lama adalah
a. Nilai segera keadaan ibu hail dan janin ( termasuk tanda
tanda vital dan tingkat hidrasinya)
b. Kaji kembali partograf, tentukan apakah pasien berada
dalam persalinan, nilai frekuensi dan lamanya his.
c. Perbaiki keadaan umum dengan
 Dukungan emosional, perubahan posisi (sesuai dengan
penanganan persalinan normal)
 Periksa keton dalam urine dan berikan cairan , baik oral
maupun parenteral m dan upayakan buang air kecil
( katerisasi jika dibutuhkan)
d. Berikan analgesia : tramadol atau petidin 2 mg IM
(maksimun 1 mg/KgBB) atau morfin 10 mg IM, jika pasien
merasa nyeri yang berlebihan.

2) Penilaian Lanjutan
1) Persalinan Palsu / Belum inpartu (False Labor)

5
Periksa apakah ada infeksi saluran kemih atau ketuban
pecah. Jika didapatkan adanya infeksi, obati secara adekuat
jika tidak ada pasien boleh rawat jalan.

2) Fase laten memanjang (Prolonged Latent Phase)


Diagnosis fase laten memanjang di buat secara retrospektif.
Jika his berhenti, pasien disebut belum in partu atau
prsalinan palsu. Jika his semakin teratur dan pembukaan
makin bertambah lebih dari 4 cm, psien termasuk dalam
fase laten.

Jika fase latin lebih dari 8 jam dan tidak ada tanda tanda
kmajuan persalinan maka dilakukan penilain ulang terhadap
serviks.
a. Jika tidak ada perubahan pada pendataran atau
pembukaan serviks dan tidak ada gawat janin, mungkin
pasien belum inpartu.
b. Jika ada kemajuan dalam pendataran dan pembukaan
serviks, maka dilakukan amniotomi dan induksi
persalinan dengan oksitosin dan prostaglandin.
 Lakukan penilain ulang setiap 4 jam/
 Jika pasien pasien tidak masuk fase aktif setelah
dilakukan pemberian oksitosin selama 8 jam,
lakukan SC.
c. Jika didapati tanda tanda infeksi (demam, cairan vagina
berbau)
 Lakukan akselerasi persalinan dengan oksitosin.
 Berikan antibiotika kombinasi sampaipersalianan
a) Ampisilin 2g IV, setiap 6 jam
b) Ditambah gentamisin mg/KgBB IV setiap 24
jam
c) Jika terjadi persalinan pervaginam stop
antibiotika pascapersalian.
d) Jika dilakukan SC, lanjutkan antibiotika
ditambah , metronidazole 00 mg IV setiap 8 jam
sampai ibubebas selama 48 jam.
3) Fase Aktiv Memanjang
a. Jika tidak ada tanda tanda diproporsi sefalopelvik atau
obstruksi dan ketuban masih utuh, pecahkan ketuban
b. Nilai his:
 Jika his tidak adekuat (kurang dari 3 his dalam 10
menit dan lamaya kurang dari 40 detik)
pertimbangkan adanya inersia uteri.
 Jika his adekuat (3 kali dalam 10 menit dan lamanya
lebih dari 40 detik) pertimbangkan adanya
disproporsi, obstruksi , malposisi atau
malpresentasi.
c. Lakukan penanganan umum yang akan memperbaiki his
dan mempercepat kemajuan persalinan.

1.1.3 His Hipertonik


A. Pengertian 
Menurut Prof. dr. Sarwono Prawirohardjo (1993) His hipertonik
disebut juga tetania uteri yaitu his yang terlalu kuat. Sifat hisnya
normal, tonus otot diluar his yang biasa, kelainannya terletak pada
kekuatan his. His yang terlalu kuat dan terlalu efisien menyebabkan

6
persalinan berlangsung cepat (<3 jam disebut partus presipitatus).
Partus presipitatus dapat mengakibatkan kemungkinan :
1) Terjadi persalinan tidak pada tempatnya
2) Terjadi trauma janin, karena tidak terdapat persiapan dalam
persalinan.
3) Trauma jalan lahir ibu yang luas dan menimbulkan perdarahan
dan inversio uteri.
Tetania uteri juga menyebabkan asfeksia intra uterine sampai
kematian janin dalam rahim. Bahaya bagi ibu adalah terjadinya
perlukan yang luas pada jalan lahir, khususnya serviks uteri, vagina
dan perineum. Bahaya bagi bayi adalah terjadi perdarahan dalam
tengkorak karena mengalami tekanan kuat dalam waktu singkat. 3.
His Yang Tidak Terkordinasi Adalah his yang berubah-ubah. His
jenis ini disebut Ancoordinat Hypertonic Urine Contraction. Tonus
otot meningkat diluar his dan kontraksinya tidak berlangsung
seperti biasa karena tidak ada sinkronisasi antara kontraksi. Tidak
adanya kordinasi antara kontraksi bagian atas, tengah dan bawah
menyebabkan his tidak efisien dalam mengadakan pembukaan.

B. Etiologi

Menurut Wiknjosastro, Hanifa, Dkk (2005) :

1) Usia dan paritas


Keadaan ini terutama merupakan keadaan pada
primigravida. Sekitar 95 % dari kasdus-kasus berat terjadi
dalam persalinan pertama, dan uterus hamper selalu lebih
efisien pada kehamilan berikutnya. Insidensi pada primigravida
lanjut usia hanya sedikit lebih tinggi dibandingkan pada wanita
muda.
2) Kondisi emosi dan kejiwaan
Kita tidak tahu bagaimana masalah kejiwaan dan emosi
dalam bekerja menyebabkan atau memperburuk inkoordinasi
uterus dalam persalinan. Dikatakan bahwa rasa takut
meningkatkan tegangan pada segmen bawah uterus. Akan
tetapi, ada wanita tenang yang mengalami persalinan sulit dan
ada wanita yang amat emosional yang melahirtkan dengan
mudah. Kebanyakan kelainan berat pada system saraf pusat
tidak memberikan pengaruh yang merugikan pada persalinan.
3) Kelainan uterus
Sementara sebagian dokter mengagap bahwa
overdistensi, vibroid, dan jaringan parut pada uterus menjadi
presdiposisi timbiulnya kontarkasi uterus yang jelek, dokter-
dokter lainnya menolak anggapan tersebut. Yang pasti,
kelainan congenital uterus, uterus yang fungsiny tidak lengkap
atau uterus bikornis akan mengganggu persalinan.
4) Pecahnya ketuban
Pecahnya ketuban dalam kondisi yang tepat akan
merangsang uterus untuk berkontraksi lebih baik dan
mempercepat kemajuan persalinan. Akan tetapi, ketuban yang
pecah sebelum serviks mendatar masih keras, tebal, dan
tertutup tentu menghasilkan persalinan yang lama dan tidak
efisien.
5) Gangguan mekanis dalam hubungan janin dengan jalan lahir

7
Bagian terendah yang menempel baik pada serviks dan
segmen pada uterus pada kala I persalinan dan dengan vagina
serta perineum pada kala II akan menghasilkan rangsangan
reflex yang baik pada myometrium. Segala sesuatu yang
menghalangi hubungan baiak ini akan menyebabkan kegagalan
reflex tersebut, dan akaibatnya timbulah kontraksi yang jelek.
Hubungan antara posisi posterior, sikap ekstensi dan posisi
melintang yang macet (transverse arrest) dengan kerja urterus
yang salah telah diketahui dengan baik. Mal posisi
menyebabkan gangguan uterus, dan jika keadaan ini bias
diperbaiki, meka kontraksi kerap kali menjadi lebih baik.
Penurunan yang lambat dan pembebtujan bawah uterus tidak
lengkap merupakan tanda dini inkoordinasi rahim. Disporsisi
cephalopelvic dalam derajat yang ringan menjadi predisposisi
timbuknya kerja uterus yang tidak koordinasi atau his
hipertonik.
6) Iritasi uterus
Rangsangan yang tidak tepat pada uterus oleh obat-
obatan batau oleh tindakan maniipulasi intrauterine dapat
mengakibatkan his hipertonik (oksitosin yang berlebihan).

C. Tanda dan gejala


1) Persalinan menjadi lebih singkat (partus presipitatus)
2) Gelisah akibat nyeri terus menerus sebelum dan selama
kontraksi
3) Ketuban pecah dini
4) Distres fetal dan maternal
5) Regangan segmen bawah uterus melampaui kekuatan jaringan
sehingga dapat terjadi ruptura

D. Penatalaksana
Pencegahan
1) Perasaan takut diatasi dengan perawatan prenatal yang baik.
2) Analgesic digunakan kalau perlu untuk mencegah hilangnya
pengendalian.
3) Sedasi berat diberikan pada persalinan palsu agar pasien tidak
kelelahan ketika benar-benar menjalani persalinan yang
sesungguhnya.
Penanganan
1) Anc yang berkualitas
2) Status gizi yang baik
3) Pengetahuan ibu tentang tanda bahaya
4) Tindakan umum
a Semangat pasien harus diutamakan
b Dalam menghadapi persalinan lama oleh sebab apapun,
keadaan wanita yang bersangkutan harus diawasi dengan
seksama. Tekanan darah diukur tiap 4 jam dan pemeriksaan
ini dilakukan lebih sering apabila ada gajala preeklamsia
c DJJ dicatat setiap setengah jam dalam kala 1 dan lebih
sering dalam kala II
d Kemungkinan dehidrasi dan asidosis harus mendapat
perhatian spenuhnya. Karena ada persalinan lama selalu
ada kemungkinan untuk melakukan tindakan pembedahan
dengan narcosis, hendakanya klien jangan diberi makanan
biasa.. melainkan dlam bentuk cairan. Sebaiknya diberikan

8
infuse larutan glukosa 5% dan NaCl Isotonik scara intravena
cseara berganti-ganti.
e Kandung kemih dan usus dikosongkan bila perlu
f Pemeriksaan dalam perlu dilakukan , akan tetapi harus
selalu disadarai bahwa tiap pemeriksaan dalam
mengandung bahaya infeksi.

5) Tindakan Lanjut : Sedasi dan Analgesi


a Meskipun sedasi dengan jumlah yang berlebihan dapat
merintangi kontraksi uterus, penggunaan sedsai yang tepat
tidak akan mengganggu persalinan yang sebenrnya. Pasien
memerlukan sedasi untuk menurunkan kecemasnnya dan
memerlukan analgesi untuk mengurangi rasa nyeri. Untuk
mengurangi rsasa neyri dapat diberi pethidin 50 Mg yang
dapat diulangi, pada permulaan kala I dapat diberi 10 MmHg
morvin acapkali sedasi dan istirahat dapat mengubah
persalian yang buruk emnjadi persalinan yang lebih baik.
Analgesic epidural lumbalis yang continue kerap kali efektif
unruk memperbaiki kondisi uterus.
b Bila ada  tanda-tanda obstruksi, persalianan harus segera
diselesaikan dengan seksio seksaria
c Pada partus presipitatus tidak banyak yang dapat dilakukan
karena janin lahir tiba-tiba dan cepat
d Penanganan disfungsi uterus hipertonik
e Disfungsi semacam ini ditandai dengan nyeri uterus yang
sangat hebat diantara saat-saat his dan tentu saja tidak
sebanding dengan efektivitasnya untuk menghasilkan
penapisan serta dilatasi serviks. Jenis disfungsi uterus ini
secara khas terjadi sebelum serviks mencapai dilatasi 4 cm
ataun lebih.
f Oksitosin jarang diperlukan pada keadaan hipertonus uteri
dengan janin yang masih hidup. Persalinan dengan seksio
sesaria jika dicurugai terjadi gawat janin. Apabila selaput
ketuban masih utuh dan tidak tedapat bukti yang
menunjukan adanya disporposi fetipelvik, pemberian morvin
atau meperidin akan meredakan rasa nyeri dan memberikan
kesempatan istirahat bagi ibu disamping menghentikan
aktifitas uterus yang abnormal. Jadi harapan bahwa setelah
pasien itu bangun kembali timbul his yang normal.

1.2 Induksi persalinan


A. Pengertian
Induksi persalinan adalah suatu upaya stimulasi mulainya proses
persalinan, yaitu dari tidak ada tanda-tanda persalinan, kemudian
distimulasi menjadi ada dengan menimbulkan mulas/his. Cara ini dilakukan
sebagai upaya medis untuk mempermudah keluarnya bayi dari rahim
secara normal.
Klasifikasi induksi persalinan
Klasifikasi induksi persalinan terbagi menjadi dua yaitu secara medis
dan manipulatif. Berikut penjelasannya.
1. Secara Medis
a Infus oksitosin

9
Oksitosin adalah suatu hormon yang diproduksi di hipotalamus
dan diangkut lewat aliran aksoplasmik ke hipofisis posterior yang
jika mendapatkan stimulasi yang tepat hormon ini akan dilepas
kedalam darah. Impuls neural yang terbentuk dari perangsangan
papilla mammae merupakan stimulus primer bagi pelepasan
oksitosin sedangkan distensi vagina dan uterus merupakan
stimulus sekunder. Estrogen akan merangsang produksi oksitosin
sedangkan progesterone sebaliknya akan menghambat produksi
oksitosin. Selain di hipotalamus, oksitosin juga disintesis di
kelenjar gonad, plasenta dan uterus mulai sejak kehamilan 32
minggu dan seterusnya. Konsentrasi oksitosin dan juga aktivitas
uterus akan meningkat pada malam hari.
Mekanisme kerja dari oksitosin belum diketahui pasti, hormon
ini akan menyebabkan kontraksi otot polos uterus sehingga
digunakan dalam dosis farmakologik untuk menginduksi
persalinan. Sebelum bayi lahir pada proses persalinan yang timbul
spontan ternyata rahim sangat peka terhadap oksitosin. Didalam
uterus terdapat reseptor oksitosin 100 kali lebih banyak pada
kehamilan aterm dibandingkan dengan kehamilan awal. Jumlah
estrogen yang meningkat pada kehamilan aterm dapat
memperbesar jumlah reseptor oksitosin.
Begitu proses persalinan dimulai serviks akan berdilatasi
sehinga memulai refleks neural yang menstimulasi pelepasan
oksitosin dan kontraksi uterus selanjutnya. Faktor mekanik seperti
jumlah regangan atau gaya yang terjadi pada otot, mungkin
merupakan hal penting.
Secara in vivo, oksitosin diproduksi pada nucleus
paraventrikuler hipotalamus dan disalurkan ke hipofisis posterior.
Meskipun regimen dari oksitosin bermacam-macam, diperlukan
dosis yang adekuat untuk menghasilkan efek pada uterus.
Dosisnya antara 4 sampai 16 miliunit permenit. Dosis untuk tiap
orang berbeda-beda, namun biasanya dimulai dengan dosis
rendah sambil melihat kontraksi uterus dan kemajuan persalinan.
Syarat-syarat pemberian infus oksitosin :
Agar infus oksitosin berhasil dalam menginduksi persalinan
dan tidak memberikan penyulit baik pada ibu maupun janin, maka
diperlukan syarat-syarat sebagai berikut.
1. Kehamilan aterm
2. Ukuran panggul normal
3. Tidak ada CPD
4. Janin dalam presentasi belakang kepala
5. Servik telah matang (portio lunak, mulai mendatar dan sudah
mulai membuka)
Terdapat suatu teknik infus oksitosin berencana, diantaranya
sebagai berikut.
1. Semalam sebelum drip oksitosin, hendaknya penderita sudah
tidur pulas
2. Pagi harinya penderita diberi pencahar
3. Infus oksitosin hendaknya dilakukan pagi hari dengan
observasi yang baik
4. Disiapkan cairan RL 500 cc yang diisi dengan sintosinon 5 IU

10
5. Cairan yang sudah mengandung 5 IU sintosinon dialirkan
secara intravena melalui aliran infus dengan jarum abocath
no.18 G
6. Jarum abocath dipasang pada vena dibagian volar bawah
7. Tetesan dimulai dengan 8 mU (1 mU = 2 tetes) permenit
dinaikan 4 mU setiap 30 menit. Tetesan maksimal
diperbolehkan sampai kadar oksitosin 30-40 mU. Bila sudah
mencapai kadar ini kontraksi rahim tidak muncul juga, maka
berapapun kadar oksitosin yang diberikan tidak akan
menimbulkan kekuatan kontraksi. Sebaiknya infus oksitosin
dihentikan.
8. Penderita dengan infus oksitosin harus diamati secara cermat
untuk kemungkinan timbulnya tetania uteri, tanda – tanda
ruptur uteri membakat, maupun tanda – tanda gawat janin.
9. Bila kontraksi rahim timbul secara teratur dan adekuat maka
kadar tetesan oksitosin dipertahankan. Sebaiknya bila terjadi
kontraksi rahim yang sangat kuat, jumlah tetesan dapat
dikurangi atau sementara dihentikan.
10. Infus oksitosin ini hendaknya tetap dipertahankan sampai
persalinan selesai yaitu sampai 1 jam sesudah lahirnya
plasenta.
11. Evaluasi kemajuan pembukaan serviks dapat dilakukan
dengan periksa dalam bila his telah kuat dan adekuat.
12. Oksitosin digunakan secara hati-hati karena dapat terjadi
gawat janin dari hiperstimulasi. Walaupun jarang, dapat terjadi
ruptura uteri, terutama pada multipara. Dan sellalu Iakukan
observasi ketat pada pasien yang mendapat Oksitosin.
 Atur kecepatan infus oksitosin
 Frekuensi dan lamanya kontraksi;
 Denyut jantung janin (DJJ). Dengar DJJ tiap 30 menit, dan
selalu langsung setelah kontraksi.
 DJJ kurang dari 100 per menit, segera hentikan infus.
 Ingat : Ibu dengan infus Oksitosin Jangan ditinggal
sendirian.
 Infus oksitosin 2,5 unit dalam 500 cc dekstrose (atau
garam fisiologik) mulai dengan 10 tetes per menit
 Naikkan kecepatan infus 10 tetes per menit tiap 30 menit
sampai kontraksi adekuat (3 kali tiap 10 menit dengan
lama lebih dari 40 detik) dan pertahankan sampai terjadi
kelahiran.
 Jika terjadi hiperstimulasi (lama kontraksi lebih dari 60
detik) atau lebih dari 4 kali kontraksi dalam 10 menit,
hentikan infus dan kurangi hiperstimulasi dengan:
 terbutalin 250 mcg IN. pelan-pelan selama 5 menit atau
salbutamol 5 mg dalam 500 ml cairan (garam fisiologik
atau Ringer Laktat) 10 tetes per menit.
 Jika tidak tercapai kontraksi yang adekuat (3 kali tiap 10
menit dengan lama lebih dari 40 detik) setelah infus
oksitosin mencapai 60 tetes per menit:
 Naikkan konsentrasi oksitosin menjadi 5 unit dalam 500 ml
dekslrose (atau garam fisiologik) dan sesuaikan kecepatan
infus sampai 30 tetes per menit (15 mIU/menit);
 Naikkan kecepatan infus 10 tetes per menit tiap 30 menit
sampai kontraksi adekuat (3 kali tiap 10 menit dengan
lama lebih dari 40 detik) atau setelah infus oksitosin
mencapai 60 tetes per menit.

11
 Jika masih tidak tercapai kontraksi yang adekuat dengan
konsentrasi yang lebih tinggi:
- Pada multigravida, induksi dianggap gagal, lakukan
seksio sesarea.
- Pada primigravida, infus oksitosin bisa dinaikkan
konsentrasinya yaitu:
o 10 unit dalam 500 ml dekstrose (atau garam
fisiologik) 30 tetes per menit.
o Naikkan 10 tetes tiap 30 menit sampai kontraksi
adekuat.
o Jika kontraksi tetap tidak adekuat setelah 60 tetes
per menit (60 mIU per menit), lakukan seksio
sesarea .
Catatan : Jangan Berikan Oksitosin 10 Unit dalam 500 CC
pada multigravida dan pada bekas seksio sesaria

b Prostaglandin
Pemberian prostaladin dapat merangsang otok -otot polos
termasuk juga otot-otot rahim. Prostagladin yang spesifik untuk
merangsang otot rahim ialah PGE2 dan PGF2 alpha. Pemakaian
prostaglandin sebagai induksi persalinan dapat dalam bentuk infus
intravena (Nalador) dan pervaginam (prostaglandin vagina
suppositoria). Pada kehamilan aterm, induksi persalinan dengan
prostagladin cukup efektif untuk memperpendek proses
persalinan, menurunkan angka seksio sesaria dan menurunkan
angka agar skor yang kurang dari 4. Selain melunakkan servik
prostaglandin juga menghasilkan vasodilatasi dan meningkatkan
curah jantung 30%. Juga merelaksasi otot polos gastrointestinal
dan bronchial.
Prostaglandin sangat efektif untuk pematangan serviks
selama induksi persalinan. Oleh karena itu selama melakukan
induksi persalinan dengan prostaglandin ini hal-hal yang harus
dilakukan diantaranya pantau denyut nadi, tekanan darah,
kontraksi ibu hamil, dan periksa denyut jantung janin (DJJ). Catat
semua pengamatan pada partograf. Kemudian kaji ulang indikasi.
c Cairan hipertonik intra uteri
Pemberian cairan hipertonik intramnnion dipakai untuk
merangsang kontraksi rahim pada kehamilan dengan janin mati.
Cairan hipertonik yang dipakai dapat berupa cairan garam
hipertonik 20, urea dan lain-lain. Kadang-kadang pemakaian urea
dicampur dengan prostagladin untuk memperkuat rangsangan
pada otot-otot rahim. Cara ini dapat menimbulkan penyakit yang
cukup berbahaya, misalnya hipernatremia, infeksi dan gangguan
pembekuan darah.

2. Secara Manipulatif
a. Amniotomi
Amniotomi dilakukan dengan cara memecahkan ketuban baik
di bagian bawah depan (fore water) maupun dibagian belakang
( hind water ) dengan suatu alat khusus (drewsmith catheter) atau

12
dengan omnihook yang sering dikombinasikan dengan pemberian
oksitosin. Sampai sekarang belum diketahui dengan pasti
bagaimana pengaruh amniotomi dalam merangsang timbulnya
kontraksi rahim. Beberapa teori mengemukakan bahwa :
a Amniotomi dapat mengurangi beban rahim sebesar 40%
sehingga tenaga kontraksi rahim dapat lebih kuat untuk
membuka serviks
b Amniotomi menyebabkan berkurangnya aliran darah didalam
rahim kira-kira 40 menit setelah amniotomi dikerjakan,
sehingga berkurangnya oksigenasi otot – otot rahim dan
keadaan ini meningkatkan kepekaan otot rahim.
c Amniotomi menyebabkan kepala dapat langsung menekan
dinding serviks dimana didalamnya terdapat banyak syaraf –
syaraf yang merangsang kontraksi rahim.
Bila setelah amniotomi dikerjakan 6 jam kemudian, belum ada
tanda – tanda permulaan persalinan, maka harus diikuti dengan
cara – cara lain untuk merangsang persalinan, misalnya dengan
infus oksitosin. Pada amniotomi perlu diingat akan terjadinya
penyulit – penyulit sebagai berikut :
1. Infeksi intrauteri
2. Prolapsus funikuli
3. Gawat janin
4. Tanda-tanda solusio plasenta ( bila ketuban sangat banyak
dan dikeluarkan secara tepat).

b. Melepas selaput ketuban dari bagian bawah rahim (stripping of the


membrane).
Yang dimaksud dengan stripping of the membrane, ialah
melepaskan ketuban dari dinding segmen bawah rahim secara
menyeluruh setinggi mungkin dengan jari tangan. Cara ini
dianggap cukup efektif dalam merangsang timbulnya his.
Beberapa hambatan yang dihadapi dalam melakukan tindakan ini,
ialah : Serviks yang belum dapat dilalui oleh jari, Bila didapatkan
persangkaan plasenta letak rendah, tidak boleh dilakukan. Bila
kepala belum cukup turun dalam rongga panggul.
c. Pemakaian rangsangan listrik
Dengan dua elektrode, yang satu diletakkan dalam servik,
sedangkan yang lain ditempelkan pada dinding perut, kemudian
dialirkan listrik yang akan memberi rangsangan pada serviks untuk
menimbulkan kontraksi rahim. Bentuk alat ini bermacam – macam,
bahkan ada yang ukurannya cukup kecil sehingga dapat dibawa –
bawa dan ibu tidak perlu tinggal di rumah sakit. Pemakaian alat ini
perlu dijelaskan dan disetujui oleh pasien
d. Rangsangan pada puting susu (breast stimulation )
Sebagaimana diketahui rangsangan putting susu dapat
mempengaruhi hipofisis posterior untuk mengeluarkan oksitosis
sehingga terjadi kontraksi rahim. Dengan pengertian ini maka telah
dicoba dilakukan induksi persalinan dengan merangsang putting
susu. Pada salah satu puting susu, atau daerah areola mammae
dilakukan masase ringan dengan jari si ibu. Untuk menghindari
lecet pada daerah tersebut, maka sebaiknya pada daerah puting
dan aerola mammae di beri minyak pelicin. Lamanya tiap kali

13
melakukan masase ini dapat ½ jam – 1 jam, kemudian istirah
beberapa jam dan kemudian dilakukan lagi, sehingga dalam 1 hari
maksimal dilakukan 3 jam. Tidak dianjurkan untuk melakukan
tindakan ini pada kedua payudaraan bersamaan, karena
ditakutkan terjadi perangsangan berlebihan. Menurut penelitian di
luar negeri, cara induksi ini memberi hasil yang baik. Cara – cara
ini baik sekali untuk melakukan pematangan serviks pada kasus –
kasus kehamilan lewat waktu.

B. Indikasi
Indikasi melakukan induksi persalinan diantaranya sebagai berikut.
1. Ibu hamil tidak merasakan adanya kontraksi atau his. Padahal
kehamilannya sudah memasuki tanggal perkiraan lahir bahkan lebih
(sembilan bulan lewat).
2. Induksi juga dapat dilakukan dengan alasan kesehatan ibu, misalnya
si ibu menderita tekanan darah tinggi, terkena infeksi serius atau
mengidap diabetes.
3. Ukuran janin terlalu kecil, bila dibiarkan terlalu lama dalam kandungan
diduga akan beresiko/membahayakan hidup janin.
4. Membran ketuban pecah sebelum ada tanda-tanda awal persalinan.
5. Plasenta keluar lebih dahulu sebelum bayi.
Lalu terdapat indikasi induksi persalinan berdasarkan tingkat
kebutuhan penanganan, antara lain.
1. Indikasi darurat:
a. Hipertensi gestasional yang berat
b. Diduga komplikasi janin yang akut
c. PJT (IUGR) yang berat
d. Penyakit maternal yang bermakna dan tidak respon dengan
pengobatan
e. APH yang bermakna dan Korioamnionitis

2. Indikasi segera (Urgent)


a. KPD saat aterm atau dekat aterm
b. PJT tanpa bukti adanya komplikasi akut
c. Diabetes melitus yang tidak terkontrol
d. Penyakit iso-imun saat aterm atau dekat aterm

3. Indikasi tidak segera ( Non urgent )


a. Kehamilan ‘post-term’
b. DM terkontrol baik
c. Kematian intrauterin pada kehamilan sebelumnya
d. Kematian janin
e. Problem logistik (persalinan cepat, jarak ke rumah sakit)
Untuk dapat melakukan induksi persalinan perlu dipenuhi beberapa
kondisi di bawah ini sebagai berikut.
1. Sebaiknya serviks uteri sudah matang, yakni serviks sudah mendatar
dan menipis dan sudah dapat dilalui oleh sedikitnya 1 jari, serta sumbu
serviks mengarah ke depan.
2. Tidak ada disproporsi sefalopelvik (CPD).
3. Tidak terdapat kelainan letak janin yang tidak dapat dibetulkan.
4. Sebaiknya kepala janin sudah mulai turun ke dalam rongga panggul.
Apabila kondisi-kondisi di atas tidak terpenuhi maka induksi
persalinan mungkin tidak memberikan hasil yang diharapkan. Untuk

14
menilai keadaan serviks dapat dipakai skor bishop. Bila nilai lebih dari 8
induksi persalinan kemungkinan akan berhasil.

C. Kontraindikasi
Kontra indikasi induksi diantaranya sebagai berikut.
1. Disproporsi sefalopelvik
2. Insufisiensi plasenta
3. Malposisi dan malpresentasi
4. Plasenta previa
5. Gemelli
6. Distensi rahim yang berlebihan
7. Grande multipara
8. Cacat rahim

D. Risiko Melakukan Induksi


Risiko induksi persalinan yang mungkin terjadi diantaranya sebagai
berikut.
A. Adanya kontraksi rahim yang berlebihan. Itu sebabnya induksi harus
dilakukan dalam pengawasan yang ketat dari dokter yang menangani.
Jika ibu merasa tidak tahan dengan rasa sakit yang ditimbulkan,
biasanya proses induksi dihentikan dan dilakukan operasi caesar.
B. Janin akan merasa tidak nyaman sehingga dapat membuat bayi
mengalami gawat janin (stress pada bayi). Itu sebabnya selama
proses induksi berlangsung, penolong harus memantau gerak janin.
Bila dianggap terlalu beresiko menimbulkan gawat janin, proses
induksi harus dihentikan.
C. Dapat merobek bekas jahitan operasi caesar. Hal ini bisa terjadi pada
yang sebelumnya pernah dioperasi caesar, lalu menginginkan
kelahiran normal.
D. Emboli. Meski kemungkinannya sangat kecil sekali namun tetap harus
diwaspadai. Emboli terjadi apabila air ketuban yang pecah masuk ke
pembuluh darah dan menyangkut di otak ibu, atau paru-paru. Bila
terjadi, dapat merenggut nyawa ibu seketika.

E. Komplikasi
Komplikasi induksi persalinan yang mungkin terjadi diantaranya adalah :

15
1. Adanya kontraksi rahim yang berlebihan. Itu sebabnya induksi harus
dilakukan dalam pengawasan yang ketat dari dokter yang menangani.
Jika ibu merasa tidak tahan dengan rasa sakit yang ditimbulkan,
biasanya proses induksi dihentikan dan dilakukan operasi Caesar.
Kontraksi yang dihasilkan oleh uterus dapat menurunkan denyut
jantung janin.
2. Janin akan merasa tidak nyaman sehingga dapat membuat bayi
mengalami gawat janin (stress pada bayi). Itu sebabnya selama
proses induksi berlangsung, penolong harus memantau gerak janin.
Bila dianggap terlalu berisiko menimbulkan gawat janin, proses induksi
harus dihentikan.
3. Dapat merobek bekas jahitan operasi caesar. Hal ini bisa terjadi pada
yang sebelumnya pernah dioperasi caesar, lalu menginginkan
kelahiran normal.
4. Emboli. Meski kemungkinannya sangat kecil sekali namun tetap harus
diwaspadai. Emboli terjadi apabila air ketuban yang pecah masuk ke
pembuluh darah dan menyangkut di otak ibu, atau paru-paru. Bila
terjadi, dapat merenggut nyawa ibu seketika.
5. Janin bisa mengalami ikterus neonatorum dan aspirasi air ketuban.
6. Infeksi dan rupture uterus juga merupakan komplikasi yang terjadi
pada induksi persalinan walaupun jumlahnya sedikit.

1.3 Persalinan dengan Bayi Besar


A. Pengertian
Bayi baru lahir dengan berat badan >4000 gr

B. Etiologi dan Faktor predisposisi


Beberapa keadaan pada ibu dapat menyebabkan terjadinya kelahiran bayi
besar / Baby giant. Faktor-faktor tersebut diantaranya :
1. Ibu yang menderita Diabetes Mellitus (DM) sebelum dan selama
kehamilan.
2. Kadar gula darah ibu hamil penderita Diabetes Melitus tergolong
tinggi. Kondisi inilah yang memberi peluang janin untuk tumbuh
melebihi ukuran rata-rata. Jika fungsi plasenta dan tali pusaT baik,
maka si calon bayi dapat tumbuh makin subur.
3. Ibu mempunyai riwayat melahirkan bayi besar. 
4. Ibu yang pada kehamilan pertama melahirkan Baby giant berpeluang
besar melahirkan anak kedua dengan kondisi yang sama pada
kehamilan berikutnya.
5. Faktor genetik
6. Obesitas dan overweight yang dialami ayah-ibu dapat menurun pada
bayi.
7. Pengaruh kecukupan gizi
8. Porsi makanan yang dikonsumsi ibu hamil akan berpengaruh
terhadapa bobot janin. Asupan gizi yang berlebih bisa mengakibatkan
bayi lahir dengan berat diatas rata-rata. Pola makan ibu yang tidak
seimbang atau berlebihan juga mempengaruhi kelahiran bayi besar.

C. Patofisiologi
Makrosomia ini disebabkan oleh terjadinya hiperglikemia pada janin
(akibat hiperglikemia ibu) dan hiperinsulinisme janin yang menyebabkan :
1. Timbunan lemak subkutan janin dan glikogen hati bertambah
2. Pertambahan ukuran dan berat dari hampir seluruh organ, yang
memperlihatkan hipertropf dan hyperplasia seluler

16
3. Hematopiesis ektramedularis khususnya dari hepar yang
menyebabkan pertambahan berat badan.
4. Diabetes Maternal mengakibatkan peningkatan kadar asam-asam
amino bus plasenta, pankreas janin berespon dengan memproduksi
insulin untuk disesuaikan dengan sediaan bahan baker akselerasi
sintesis protein yang diakibatkan bersama dengan penyimpanan
glikogen dan lemak berlebih bertanggung jawab terhadap terjadinya
makrosomia yang khas pada kehamilan diabetik. (Markum, A.H.
1996).

D. Deteksi Dini
Deteksi dini dilakukan dengan melakukan penimbangan berat badan
ibu secara teratur, pengukuran tinggi fundus uteri dan pola makan yang
benar, ANC teratur, dan pemeriksaan USG.

E. Tatalaksana
1. Tata Laksana Umum
Untuk persalinan, rujuk ibu ke fasilitas yang dapat melakukan seksio
sesarea.

2. Tatalaksana Khusus
a. Persalinan pervaginam dapat dicoba untuk taksiran berat janin
hingga 5000 gram pada ibu tanpa diabetes
b. Seksio sesarea dipertimbangkan untuk taksiran berat janin >5000
gram pada ibu tanpa diabetes, dan >4500 gram pada ibu dengan
diabetes
c. Seksio sesaria menjadi indikasi bila taksiran berat janin >4500
gram dan terjadi perpanjangan kala II persalinan atau terhentinya
penurunan janin di kala II persalinan.

17
BAB II
TINJAUAN KASUS

1.1 TINJAUAN KASUS DAN PEMBAHASAN


Ny. M usia 24 tahun G1P0A0 usia kehamilan 39 minggu datang ke Bidan
Praktik Mandiri di Kota Makasar pada pukul 08.45 WITA bersama suami
dengan keluhan mulas sejak pukul 01.30 WITA, ibu mengaku sudah keluar
air-air dari jalan lahir dan belum keluar darah yang bercampur lendir dari
jalan lahir.
A. TINJAUAN KASUS
Tanggal : 07 Juli 2010 Pukul : 08.45 WITA Tempat : BPM

1. PENGKAJIAN
a. IDENTITAS PASIEN IDENTITAS SUAMI
Nama : Ny. S Nama : Tn. I
Umur : 25 Tahun Umur :23
Tahun
Agama : Islam Agama : Islam
Suku : Makassar Suku : Makassar
Pendidikan : SMA Pendidikan : S1
Pekerjaan : IRT Pekerjaan :
Wiraswasta
Alamat : Jl. Perintis Kemerdekaan 17, Makassar

b. ANAMNESA (DATA SUBJEKTIF)


Tgl : 07 Juli 2010
Pukul : 09.00 WITA

1) Keluhan utama
Ibu mengeluh mulas sejak pukul 01.30 WITA, ibu mengaku
sudah keluar air-air dari jalan lahir dan belum keluar darah yang
bercampur lendir dari jalan lahir.
2) Riwayat menstruasi
a.) Menarche: Ibu mengatakan haid pertama umur 15 tahun
b.) Siklus : Ibu mengatakan jarak haidnya 28 hari
c.) Lama : Ibu mengatakan lama haidnya 5-7 hari
d.) Banyaknya : Ibu mengatakan ganti pembalut 2-3 kali sehari
e.) Teratur/tidak : Ibu mengatakan haidnya teratur
f.) Sifat darah : Ibu mengatakan sifat darahnya merah, encer
g.) Dismenorhoe : Ibu mengatakan tidak pernah nyeri perut
bagian bawah pada saat menstruasi

3) Riwayat Kehamilan, Persalinan dan Nifas yang lalu


Usia Jenis Jenis
N Thn Tmpt Peno Pen B Kead
Kehamil Persalin Kela
o Partus Partus long yulit B aan
an an min
1 Hamil ini

4) Riwayat hamil ini


a) HPHT : 25-09-2009
b) Gerakan janin : Ibu mengatakan sudah merasakan gerakan
janin sejak bulan januari.
c) Obat yang dikonsumsi : Tidak mengkonsumsi obat apapun
kecuali dari bidan
d) Keluhan-keluhan :
(1) TM I : Mual-muntah

18
(2) TM II : Tidak ada keluhan
(3) TM III : Tidak ada keluhan
e) ANC : 9x di bidan secara teratur
(1) TM I : 2x pada usia kehamilan 3 minggu dan 8 minggu
(2) TM II : 3x pada usia kehamilan 14 minngu, 18 minggu,
dan 27 minggu.
(3) TM III : 4x di usia kehamilan 31 minggu, 35 minggu, 37
mingg, 38 minggu.
f) Penyuluhan yang pernah didapat : Ibu mengatakan pernah
mendapat penyuluhan mengenai gizi ibu hamil dan tablet FE
g) Imunisasi TT : 2x, pada usia kehamilan 9 minggu dan
14 minggu
h) Kekhawatiran khusus : Ibu tidak ada kekhawatiran
khusus
5) Riwayat Penyakit
a) Riwayat penyakit sekarang
Ibu mengatakan tidak sedang menderita penyakit.
b) Riwayat penyakit sistemik
Ibu mengatakan tidak pernah memiliki penyakit seperti
jantung, ginjal, asma, TBC, Hepatitis, DM, Hipertensi,
Epilepsi dan penyakit serius lainnya.
c) Riwayat Penyakit Keluarga
Ibu mengatakan dalam keluarganya maupun keluarga
suami tidak ada yang menderita penyakit menular seperti,
hepatitis, epilepsy dan lain-lain. Serta tidak ada yang
menderita penyakit menurun seperti, hipertensi, jantung
dan DM.

6) Riwayat perkawinan
a) Status perkawinan : Sah, kawin 1x
b) Kawin : Pada umur 23 tahun, dengan
suami umur 24 tahun
c) Lamanya : 2 tahun, belum mempunyai anak

7) Riwayat KB
Ibu mengatakan sebelumnya menggunakan KB suntik

8) Pola kebiasaan sehari-hari


a) Nutrisi
Makan : 3x sehari posi kecil dengan komposisi nasi, satu
potong daging/ ikan/ telur, satu potong tempe/
tahu,
dan satu mangkok sayur. Ibu kadang-kadang
makan buah dan tidak ada pantangan makanan
Minum : ± 9 gelas/ hari, jenisnya air putih 6-8 gelas, susu 1
gelas
b) Eliminasi
(a) BAB : 1x sehari, konsistensi lunak, warna kuning
kecoklatan, bau khas feses, ibu tidak merasa sakit
saat BAB.
(b) BAK : 7-8x sehari, warna dan bau khas urin, ibu
mengatakan tidak merasa sakit saat BAK.
c) Aktifitas
Ibu mengatakan pekerjaan rumah seperti mencuci,
menyapu, dan memasak.
d) Istirahat / Tidur
Ibu mengatakan tidur malam cukup ± 7-8 jam/hari dan
tidur siang 1-2 jam.

19
e) Seksualitas
Ibu mengatakan selama hamil tidak melakukan
hubungan seksual.
f) Personal Hygiene
Ibu mengatakan minimal mengganti baju 2x sehari
g) Psikososial budaya
Ibu mengatakan bahwa ibu merasa bahagia karena
kehamilannya ini merupakan kehamilan yang
direncanakan, keluarga sangat mendukung
kehamilannya.
h) Penggunaan obat-obatan/ rokok
Ibu mengatakan tidak pernah mengkonsumsi obat-
obatan selain dari bidan.

B. PEMERIKSAAN FISIK (DATA OBJEKTIF)


Tanggal : 07 Juli 2010
Pukul : 08.45 WITA

1. Status generalis
a. Keadaan umum : Baik
b. Kesadaran : Composmentis
c. TTV : TD : 110/70 mmHg S : 36,4oC
N : 79x/ menit R : 20x/menit
d. TB : 157 cm
e. BB sebelum hamil : 48 kg
f. BB sekarang : 54 kg
g. LILA : 24,5 cm

2. Pemeriksaan
a. Kepala
1) Rambut : hitam, pendek, sedikit rontok, tidak ada
ketombe.
2) Muka : bersih, tidak oedema, tidak pucat
3) Mata : konjungtiva merah muda tidak pucat,
sclera putih
4) Hidung : bersih, tidak ada benjolan, tidak ada
kelainan
5) Telinga : Bentuk simetris, bersih, tidak terlihat
serumen
6) Mulut, gigi, gusi : bibir pucat, tidak ada caries, tidak ada
stomatitis

b. Leher
Tidak ada pembesaran kelenjar tiroid, tidak ada benjolan, dan
tidak ada pembesaran kelenjar limfe.

c. Dada dan Axilla


1) Mammae
Bentuk simetris, tidak ada benjolan, areola kehitaman,
putting susu menonjol, kolostrum belum keluar.
2) Axilla
Tidak ada benjolan dan tidak ada nyeri tekan

d. Abdomen
Pembesaran perut sesuai dengan umur kehamilan, tidak ada
kelainan, pergerakan janin masih dirasakan.
Leopold I : Fundus teraba bulat, lunak, tidak melenting
(bokong)

20
Leopold II : Kanan teraba keras seperti papan (Punggung)
dan kiri teraba bagian kecil-kecil (ekstremitas)
Leopold III : Presentasi Kepala dan kepala janin sudah masuk
PAP 4/5
Leopold IV : Konvergen

TFU Mc Donald : 30 cm
TBJ : (30-11) x 155 = 2.945 gram
DJJ : 128x/menit, teratur
Kontraksi : 3 x 10’ 50’’

e. Ekstremitas
Tidak ada varises, tidak ada pembengkakan atau oedema,
reflek patella kaki kanan dan kiri +/+

f. Genitalia
Vulva/vagina : tidak ada varises, tidak ada luka jahitan, tidak
kemerahan dan tidak terasa nyeri, tidak ada pembesaran
kelenjar bartolini.
Perineum : Tidak ada bekas luka
Anus : tidak ada haemoroid
PD : Porsio lunak, pembukaan 1 cm, penipisan 25%,
selaput ketuban sudah pecah, teraba kepala, moulage 0,
penurunan hodge II, tidak teraba bagian kecil dan tali pusat.

C. ASSASMENT
G1P0A0 aterm inpartu kala 1 fase laten dengan hipertonik. Janin hidup
intra uterine, presentasi kepala.

D. PENATALAKSANAAN
1. Memberitahu hasil pemeriksaan kepada ibu dan keluarga.
Ev : Ibu dan keluarga memahami kondisi ibu.
2. Memasangkan cairan glukosa 5% dan NaCl 0.9% melalui intravena
secara bergantian.
Ev : Infus telah terpasang di tangan kanan.
3. Menganjurkan ibu mengosongkan kandung kemih
Ev : Kandung kemih telah kosong.
4. Memfasilitasi persiapan persalinan, alat, obat dan tindakan.
Ev : Obat dan alat telah tersedia
5. Mengobservasi KU ibu, janin dan kemajuan persalinan.
Ev : Hasil tercatat di partograf
6. Memberikan KIE tentang:
a. Backrub, kompres hangat pada punggung dan pinggang, teknik
pernapasan selama his.
Ev : setelah memperagakan, ibu merasa lebih nyaman.
b. Posisi persalinan
Ev : Ibu lebih memilih miring ke kiri
c. Berjalan disekitar ruang bersalin untuk mempercepat kemajuan
persalinan
Ev : Ibu berjalan-jalan disekitar ruang bersalin
d. Pendamping persalinan
Ev : Suami sebagai pendamping persalinan
e. IMD
Ev : Ibu sudah mengetahui tentang IMD dan siap melakukan
IMD
7. Persiapan Rujukan
Ev : Bakskudo telah disiapkan

21
DAFTAR PUSTAKA

Anonim.(2009). Persalinan Normal dengan Induksi. [online]. Pregnacy. Cited on


August 21st .[2 screens]. Available at http://www.conectique.com
Bagus, Ida Gde Manuaba, 1998, Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan dan
Keluarga Berencana, Jakarta ; EGC
Forte,W., Oxorn,H.(2010).Ilmu kebidanan : patologi dan fisiologi peralinan.
Yogyakarta : ANDI,YEM
Guyton, AC dan Hall.(1997).Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Ed: ke-9. Jakarta:
EGC.
James K.D, McEwan A. Obstetcrics Infocus. Edinburg : Elsevier Churchil
Libingstone.
Kemenkes RI, WHO. (2013). Buku saku pelayanan kesehatan ibu di fasilitas
kesehatan dasar dan rujukan. Jakarta : Kemenkes RI.
Markum, A.H.(1996). Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta : Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
Panay N, Dutta R.(2004). Obstetry and Gynaecology. First Ediion. Edinburgh :
Mosby
Prawihardjo,S.(2010). Buku panduan praktis pelayanan kesehatan maternal dan
neonatal. Jakarta : PT Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo, Prof.Dr.dr, 2013, Ilmu Kebidanan, Yayasan Bina Pustaka,
Jakarta
Sastrawinata., S ., Martaadisoebaebrata., D . (2004) . Obstetri Patologi . Ilmu
kesehatan Reproduksi Edisi 2 . EGC : Jakarta
Sastrowinoto, Sulaiman, 2010, Obstetri Fisiologi, Fakultas Kedokteran UNPAD,
Bandung
Wiknjosastro, Hanifa. dkk. 2005. Ilmu Kebidanan. Yayasan  Bina Pustaka Sarwono
prawirohardjo. Jakarta.
Yasmini. Induksi Persalinan. http:// www.FkUI.com [Diakses 21 Maret 2018]

22

Anda mungkin juga menyukai