Anda di halaman 1dari 33

PENDIDIKAN KEBUDAYAAN

DAN KOMPONEN SISTEM SOSIAL


Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah ‘’Perubahan Sosial Dan
Pemberdayaan Masyarakat’’

Dosen Pengampu : Prof. Dr. Sudadio, M.Pd

Disusun Oleh:

Milan Nurhidayat (2221170047)


Mauri Aditia Rahmah (2221180054)
Shintia Greshia (2221180083)
Rika Musdalilah (2221180086)
Mutia Tri Berliani (2221180096)
Andi Santoso (2221180104)
Anisa Mustika Sari (2221180107)

PROGRAM STUDI NONFORMAL

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA

TAHUN 2020
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirobbilalamin, Rasa syukur yang dalam kami sampaikan ke


hadiran Allah SWT yang maha pemurah, karena berkat kemurahan-Nya makalah
ini dapat penulis selesaikan sesuai yang diharapkan. Dalam makalah ini dibahas
hal-hal seputar “Pendidikan Kebudayaan dan Komponen Sosial”. Makalah ini
dibuat dalam rangka memperdalam pengetahuan dan pemahaman kelompok
tentang pendidikan kebudayaan dan komponen sistem sosial.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Prof.Dr.Sudadio,


M.Pd sebagai dosen mata kuliah Penelitian Sosial, yang telah memberikan
bimbingan kepada penulis agar dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat
waktu, dan kawan-kawan mahasiswa Untirta program studi Pendidikan Non
Formal yang sudah memberikan motivasi kepada penulis.

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih memiliki banyak kekurangan.


Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar
laporan selanjutnya dapat lebih baik lagi. Akhir kata penulis berharap makalah ini
dapat memberikan wawasan dan pengetahuan kepada para pembaca pada
umumnya dan para penulis khususnya.

Serang, 11 September 2020

Kelompok 1

i
DAFTAR
ISI

Kata Pengantar........................................................................................................................i
Daftar Isi..................................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang..................................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah............................................................................................................2
1.3 Tujuan Penulisan...............................................................................................................2
1.4 Batasan Masalah................................................................................................................2
1.5 Sistematika Penulisan........................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pendidikan dan Kebudayaan.............................................................................................3
A. Hakikat Pendidikan.....................................................................................................3
B. Pendidikan Sapu Jagad................................................................................................6
C. Hakikat Kebudayaan...................................................................................................7
2.2 Komponen Sistem Sosial.................................................................................................19
A. Komponen Sistem Sosial...........................................................................................19
B. Anggota Sistem Sosial...............................................................................................19
C. Kategori Adopter.......................................................................................................19
D. Anggota Sistem Social Inovatif.................................................................................20
E. Agen Pembaharu.......................................................................................................22
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan........................................................................................................................29
3.2 Saran..................................................................................................................................30
Daftar Pustaka

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Perubahan sosial merupakan perubahan kepada pola perilaku, hubungan


sosial, lembaga, dan struktur sosial pada waktu tertentu. Perubahan yang
terjadi dalam masyarakat disebabkan adanya faktor pendorong baik dari luar
masyarakat maupun fakor dari dalam yang mendorong untuk melakukan
tindakan atau perbuatan. Dalam perubahan sosial akan membahas tiga
dimensi yaitu dulu, sekarang dan akan datang atau masa depan, masalah
sosial yang terjadi atau berkembang dalam masyarakat merupakan
konsekuensi adanya perubahan sosial yang terjadi, karena masyarakat bersifat
dinamis tidak bersifat statis, bahkan tidak saja dapat dilihat dari satu sisi,
melainkan hampir semua masalah sosial yang terjadi tidak lepas dari
perubahan sosial atau terkait dengan isu-isu perubahan sosial.
Untuk menghadapi perubahan sosial yang terjadi sangat penting bagi
kita untuk mempersiapkannya dengan baik agar tidak terjadi ketimpangan
sosial dimasa yang akan datang, kita harus melakukan sebuah usaha
pembaharuan. Oleh karena itu dibutuhkan program pendidikan
pemberdayaan sebagai salah satu cara untuk mempersiapkan masyarakat
menghadapi berbagai perubahan yang terjadi dengan memberikan peluang
agar masyarakat mampu berbuat dan menghasilkan sesuatu untuk
kesejahteraan dirinya melalui pendidikan.
Pendidikan memiliki kaitan yang sangat erat dengan kebudayaan karena
pendidikan merupakan proses pembudayaan didalam interaksinya dan tujuan
pendidikan adalah kebudayaan, oleh karena itu maka setiap unsur-unsur
dalam pendidikan haruslah melakukan peranya secara maksimal.
Berkaitan dengan hal tersebut, pada pembahasan ini akan diuraikan
berbagai hal terkait dengan pendidikan, kebudayaan, dan komponen sistem
sosial yang pembahasannya diawali dengan hakikat pendidikan, pendidikan
sapu jagad, hakikat kebudayaan, komponen sistem sosial, anggota sistem
sosial, kategori adopter, sistem sosial yang inovatif, dan agen pembaharu.

1.2
1.3 RUMUSAN MASALAH
A. Apa yang dimaksud dengan hakikat pendidikan ?
B. Apa yang dimaksud dengan sapu jagad ?
C. Apa yang dimaksud dengan hakikat kebudayaan ?
D. Apa saja yang termasuk komponen sistem sosial ?
E. Siapa saja anggota sistem sosial ?
F. Apa saja jenis-jenis kategori adopter ?
G. Bagaimana anggota sistem sosial yang inovatif ?
H. Apa yang dimaksud agen pembaharu ?

1.4 TUJUAN PENULISAN


A. Untuk mengetahui apa itu hakikat pendidikan
B. Untuk mengetahui apa yang dimaksud sapu jagad
C. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan hakikat kebudayaan
D. Untuk mengetahui komponen sistem sosial
E. Untuk mengetahui siapa saja anggota sistem sosial
F. Untuk mengetahui jenis-jenis kategori adopter
G. Untuk mengetahui anggota sistem sosial yang inovatif.
H. Untuk mengetahui apa yang dimaksud agen pembaharu

1.5 BATASAN MASALAH

Pembahasan mengenai perubahan sosial dan pemberdayaan masyarakat


sangatlah luas, pada kesempatan kali ini penulis membatasi pembahasan pada
pendidikan, kebudayaan dan komponen sistem sosial.

1.6 SISTEMATIKA PENULISAN


Karya tulis ini ditulis dengan urutan sebagai berikut:
BAB I: Pendahuluan, menjelaskan latar belakang, tujuan, pembatasan
masalah, dan sistematika penulisan. BAB II : Pembahasan, bab ini berisi
pembahasan masalah yang bersumber pada data yang di peroleh
disandingkan dengan teori yang terdapat pada bagian sumber. BABIII:
Penutup yang berisi Kesimpulan dan Saran.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pendidikan dan Kebudayaan


A. Hakikat Pendidikan
Dari bermacam-macam definisi hakikat pendidikan itu, dapat di
kategorikan dalam dua pendekatan yaitu pendekatan epistemologis dan
pendekatan ontology atau metafisik. Dari kedua pendekatan tersebut
melahirkan jawaban yang berbeda-beda mengenai apakah hakikat pendidikan
itu.
Di dalam pendekatan epistemologis, yang menjadi permasalahan ialah
akar atau kerangka ilmu pendidikan sebagai ilmu. Pendekatan tersebut
berusaha mencari makna pendidikan webagai ilmu yaitu mempunyai objek
yang merupakan dasar analisis yang akan membangun ilmu pendidikan yang
di sebut ilmu pendidikan. Di dalam uusaha tersebut di kaji mengenai peranan
pendidikan dan kemungkinan-kemungkinan pendidikan. Dari sudut pandang
ini pendidikan di lihat sebagai sesuatu proses yang inhern dalam konsep
manusia. Artinya manusia hanya dapat di manusiakan melalui proses
pendidikan.
Pendekatan ontology atau metafisik menekankan kepada hakikat
keberadaan, dalam hal ini keberadaan pendidikan itu sendiri. keberadaan
pendidikan tidak terlepas dari keberadaan manusia. Oleh karena itu, hakikat
pendidikan adalah berkenaan dengan hakikat manusia. Dalam pendekatan ini
keberadaan peserta didik dan pendidik tidak terlepas dari makna keberadaan
manusia itu sendiri.
Kedua jenis pendekatan mengenai hakikat pendidikan baik pendekatan
ontologys maupun pendekatan metafisik kedua-duanya mempunyai
kebenarannya masing-masing. Ilmu pendidikan sebagai ilmu tentunya
mempunyai objek, metodologi, serta analisis mengenai proses pendidikan itu.
Berbagai pendekatan mengenai hakikat pendidikan dapat digolongkan atas
dua kelompok besar yaitu 1) pendekatan reduksionalisme, 2) pendekatan
holistic integrative.
Dari literature yang sangat banyak mengenai konsep dari teori pendidikan
dewasa ini tentunya tidak mungkin untuk menulusuri berbagai teori
pendidikan yang ada. Begitu pula kedua pengelompokan tersebut di atas
bukanlah bersifat hitam putih tetapi sekedar menekankan garis besar dari
teori-teori tersebut.
1. Pendekatan reduksional
Teori-teori atau pendekatan reduksionalisme sangat banyak di
kemukakan di dalam khajanah ilmu pendidikan.
a. Pendekatan pedagogis atau pedagogisme
b. Pendekatan filosofis atau filosofisme
c. Pendekatan religious atau reliogionisme
d. Pendekatan psikologis atau psikologisme
e. Pendekatan negativis atau negativism
f. Pendekatan sosiologis atau sosiologisme
2. Pendekatan pedagogisme
Para pakar pendidikan maupun pendidikan professional pada
umumnya menganut teori pedagogis ini. Barangkali hal tersebut memang
merupakan suatu bias profesi. Titik tolak teori ini, ialah anak yang akan
di besarkan menjadi manusia dewasa. Pandangan ini apakah berupa
pandangan nativisme Schopenhauer serta penganut-penganutnya yang
beranggapan bahwa anak telah mempunyai kemampuan-kemampuan
yang dilahirkan dan tinggal di kembangkan saja, atau apakah pandangan
tersebut dari teori tabularasa atau empirisme john locke yang mengatakan
bahwa anak di lahirkan seperti kertas putih yang akan di isi oleh
pendidikan. Demikian pada pandangan-pandangan kreativitas anak
seperti Maria Montessori dan berbagai pakar pendidikan lainnya yang
sangat mengagungkan dan menghormati hakikat anak.
3. Pendekatan filosofis
Pada pendekatan ini mengenai pendidikan menitik tolak dari
pertentangan mengenai hakikat manusia dan hakikat anak. Anak manusia
mempunyai hakikatnya sendiri dan berbeda dengan hakikat orang
dewasa. Anak bukanlah orang dewasa di dalam bentuknya yang kecil.
Anak mempunyai nilai-nilainya sendiri yang akan berkembang menuju
kepada nilai-nilai seperti orang dewasa.
4. Pendekatan religious
Pendekatan ini dianut oleh pemikir-pemikir yang melihat hakikat
manusia sebagai makhluk yang religious. Dengan demikian hakikat
pendidikan ialah membawa peserta didik menjadi manusia yang religious
karena sebagai makhluk ciptaan tuhan peserta didik itu harus di
persiapkan untuk hidup sesuai dengan harkatnya.
5. Pendekatan psikologis
Pendekatan psikologis sangat kuat dalam pendidikan terutama pada
permulaan abad 20. Pandangan-pandangan psikologisme seperti yang
telah di uraikan telah lebih memicu masuknya psikologis kedalam bidang
ilmu pendidikan. Teori-teori belajar anak serta teori-teori lainnya
mengenai perkembangan anak telah memasuki dunia ilmu pendidikan
secara meluas, malahan betapa besar sumbangan ilmu psikologi terhadap
pendidikan dapat dirasakan seakan-akan ilmu pendidikan hanyalah
berupa ilmu tentang proses belajar anak. Tidak mengherankan apabila
ilmu pendidikan di dominasi oleh masalah-masalah teknis yang berasal
dari psikologi seperti teori-teori belajar, teori-teori tentang perkembangan
jiwa anak, teori kurikulum yang berdasarkan psikologi belajar dan
berbagai teori pendidikan yang berakar dari psikologi.
6. Pendekatan negativis
Pendekatan ini di ambil dari pendapat filosofis Bentrand Russell di
dalam bukunya teori ini menyatakan bahwa tugas pendidikan ialah
menjaga pertumbuhan anak. Didalam pertumbuhan tersebut perlu di
singkirkan hal-hal yang dapat merusak atau yang sifatnya negative
terhadap pertumbuhan.
7. Pendekatan sosiologis
Pandangan ini mengenai hakikat pendidikan terhadap versi yang
bermacam-macam pada prinsipnya pandangan ini meletakkan hakikat
pendidikan kepada keperluan hidup bersama dalam masyarakat.
Pandangan ini cenderung berbalik arah dengan pedagoisme.
8. Pendekatan holiostik
Pandangan ini hakikatnya adalah merupakan proses pendekatan
pendidikan yang bersifat menyeluruh dan terintegrasi dengan berbagai
kegiatan dalam proses kehidupan manusia, sebagai ilmu holiostik
menunjukkan adanya keterlibatan semua pihak, baik langsung maupun
tidak secara langsung.
B. Pendidikan sapu jagat
Kehadiran pendidikan sapu jagat pada hakikatnya sudah ada sejak adanya
kehidupan manusia dimuka bumi ini, yang sudah tentu dari waktu kewaktu
mengalami penyempurnaan dalam rangka menyesuaikan dengan tuntutan dan
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta menyesuaikan dengan
perkembangan dan kebutuhan masyarakat pada umumnya dan lembaga-
lembaga industry pada khususnya. Pendidikan sapu jagat dimaksudkan untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat kelas menengah kebawah, dengan
dukungan kurikulum sapu jagat yang bersifat life skill, karena pendidikan
sapu jagat mengutamakan keterampilan dengan bobot diatas tujuh puluh
persen mengutamakan keterampilantepat guna, dan dua puluh aspek
pengetahuan serta sepuluh persen aspek sikap.
C. Hakikat Kebudayaan
Inti dari setiap kebudayaan adalah manusia. Dengan kata lain kebudayaan
adalah khas insani. Hanya manusia yang berbudaya dan membudaya.
Pendidikan dan kebudayaan tidak dapat dipisahkan satu dengan lain. Afinitas
mengenai pendidikan dan kebudayaan dapat dilihat di dalam rumusan Ernest
Cassirer mengenai manusia sebagai animal simbolikum. Hanya manusialah
yang mengenal dan memanfaatkan simbol-simbol didalam kelanjutan
kehidupanya. Simbol-simbol itu dapat kita lihat di dalam kebudayaan
manusia. Seorang antropolog, Leslie White, menyatakan bahwa kebudayaan
dilestarikan melalui simbol-simbol. Semua tingkah laku manusia tergantung
pada simbol-simbol itu, tingkah laku manusia juga termasuk tingkah laku
simbolik, memang simbol-simbol adalah bentuk universal dari kemanusiaan.
Kebudayaan diturunkan kepada penerus lewat belajar melalui melihat, dan
meniru tingkah laku orang lain. Namun yang dipelajari adalah cara bertindak
(the way of behaving). Ruth Benedict mengatakan hal ini sebagai pola-pola
kebudayaan (patterns of culture) didalam kaitannya ini sangat menarik
rumusan pakar yang mengatakan bahwa kebudayaan merupakan suatu proses
dinamis yaitu penciptaan, penerbitan, dan pengolahaan nilai-nilai insani.
Yang diturunkan bukanlah tingkah laku tetapi cara bertingkah laku.
Pengertian ini penting karena manusia sebagai animal simbolikum bukan
hanya meniru seperti monyet atau simpanse yang meniru cara-cara atau
kelakuan manusia, tetapi yang dilakukan oleh manusia adalah cara-cara
bertingkah laku bukan hanya meniru saja. Disini terletak peran akal manusia
didalam menciptakan, menerbitkan dan mengolah nilai-nilai insani.
Dalam perumusan mengenai hakikat kebudayaan pakar antropologi
berusaha menerangkan adanya jenis kebudayaan. Pada awalnya pakar ini
terkenal pakar ini yang dikenal pakar etnologi, beranggapan bahwa
kebudayaan manusia berkembang dari primitive kepada bentuk modern.
Pendapat evolusionisme ini telah lama ditinggalkan dan pada umumnya
antropologi budaya mengenal relativisme budaya. Hal ini berarti dalam
perbedaan budaya adalah komplesitasnya bukan tinggi rendahnya derajat.
Tidak ada kebudayaan yang statis. Dan setiap kebudayaan terdapat unsur-
unsur universal yang berlaku untuk setiap anggotanya, ada juga unsur khusus
yang dianut oleh segelintir anggotanya. Rumusan ini telah dikemukakan oleh
Ralph Linton didalam bukunya yang terkenal the cultural background of
personality (1945).
1. Rumusan Edward B. Tylor
Dalam bukunya primitive Culture yang terbit tahun 1871. Definisi
taylor mengenai budaya yaitu sebagai berikut: “Budaya atau peradaban
suatu keseluruhan yang kompleks dari pengetahuan, kepercayaan, seni,
moral, hukum, adat istiadat, serta kemauan-kemauan dan kebiasaan
lainnya yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat.”
Definisi ini memberikan beberapa hal yang bermanfaat dalam
keterkaitannya antara pendidikan dan pembudayaan.
1) Kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yaitu suatu
kesatuan dan bukan jumlah bagian-bagian. Keseluruhannya
mempunyai pola-pola atau desain tertentu yang unik. Setiap
kebudayaan mempunyai mozaik yang spesifik.
2) Kebudayaan merupakan suatu prestasi kreasi manusia yang material
artinya berupa bentuk-bentuk prestasi psikologis seperti ilmu
pengetahuan, kepercayaan, seni, dan sebagainya.
3) Kebudayaan dapat berbentuk fisik seperti hasil seni, keterbentukannya
kelompok-kelompok keluarga.
4) Kebudayaan dapat berbentuk kelakuan-kelakuan yang terarah seperti
hokum, adat-istiadat yang berkesinambungan.
5) Kebudayaan merupakan suatu realitas yang objektif, yang dapat
dilihat.
6) Kebudayaan di peroleh dari lingkungan.
7) Kebudayaan tidak berwujud dalam kehidupan manusia yang soliter
atau terasing tetapi yang hidup didalam suatu masyarakat tertentu.
Tylor juga memberikan penekanan kepada factor manusia yang
memperoleh nilai-nilai tersebut dari masyarakatnya. Hal ini betapa
pentingnya masyarakat manusia di dalam perkembangan manusia itu
sendiri. Selain itu, definisi Tylor juga menyebut berbagai kebiasaan
lainnya yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakatnya.
Manusia bukan sekadar pasif memperoleh nilai-nilai serta kebiasaan
tersebut tetapi juga sifatnya yang kreatif dan reaktif.
Rumusan Tylor juga menunjukan tidak adanya perbedaan antara
kebudayaan (culture) dan peradaban (civilization). Kesamaan arti ini juga
dianut oleh Koentjaraningrat. Beberapa ahli telah memeberikan
perbedaan antara kedua pengertian tersebut. Ada yang memberikan arti
peradaban (civilization) sebagai nilai-nilai yang halus di dalam
kebudayaan, termasuk kemajuan teknologi, tatakrama dan sebagainya.
Dalam rumusan Tylor ditekankan pentingnya peranan nilai-nilai di
dalam kebudayaan. Tidak dapat kita menggambarkan kebudayaan tanpa
nilai-nilai apa yang terjadi dalam praktis pendidikan kita dewasa ini ialah
nilai-nilai di anggap sebagai sesuatu yang taken for granted. Dengan
demikian secara tidak sadar telah menghiraukan keberadaan nilai-nilai
budaya yang kompleks tersebut dan direduksi misalnya kepada nilai-nilai
teknologi belaka. Selama orde baru nilai-nilai leluhur pancasila yang
hidup dan berkembang di dalam kebudayaan Indonesia telah direduksi
menjadi pengetahuan mengenai nilai-nilai yang terlepas atau yang lain.
Akibatnya kita lihat pancasila lebih merupakan pengetahuan dari pada
penghayatan serta perwujudan nilai-nilai tersebut di dalam kehidupan
bersama. Pendidikan telah di lepaskan dari kaitannya yang hakiki dengan
kebudayaan. Sedangkan pendidikan sendiri adalah suatu hal yang
normatif sebagaimana kebudayaan itu sendiri adalah normatif. Implikasi
rumusan Tylor tentang budaya, yaitu:
1. Adanya keteraturan dalam hidup bermasyarakat.
2. Adanya proses pemanusiaan.
3. Di dalam proses pemanusiaan itu terdapat suatu visi tentang
kehidupan.
Adanya keturunan dalam kehidupan bermasyarakat bukan berarti
kehidupan individu hanyalah sekedar skrup di dalam kehidupan bersama
masyarakat. Dapat terjadi pernanan Negara yang sangat dominan seperti
di Negara totaliter. Sedangkan yang diperlukan ialah kebebasan individu
yang bertanggung jawab dalam mengikuti keteraturan dalam hidup
bermasyarakat. Bahwa, kesadaran hokum dan tunduk kepada hokum
yang berlaku merupakan syarat yang diperlukan dalam suatu kehidupan
yang berketeraturan.
Kebudayaan merupakan suatu proses pemanusiaan artinya di dalam
kehidupan berbudaya terjadi perubahan, perkembangan, motivasi. Setiap
proses pemanusiaan selalu didasarkan kepada suatu visi mengenai tujuan
proses tersebut. Proses pemanusiaan diarahkan kepada apa yang pantas
diinginkan (desirable), melihat kepada nilai-nilai yang beragam,
kompleks dan terintegrasi, maka proses pendidikan tidak dapat dilihat
dari satu titik pandang saja tetapi harus menggunakan pandangan yang
multi disipliner seperti filsafat, antropologi, sosiologi, biologi, psikologi
dan seterusnya. Proses pendidikan sebagai proses kebudayaan haruslah
melihat peserta didik bukan sebagai suatu entity yang berpecah-pecah
tetapi sebagai individu yang menyeluruh atau sebagai seorang manusia
seutuhnya.
2. Pandangan Ki Hadjar Dewantara
Dalam sistem among yang berisi mengajar dan mendidik, tugas
lembaga pendidikan bukan hanya mengajar untuk menjadikan orang
pintar dan pandai berpengetahuan dan cerdas, tetapi mendidik berarti
menuntun tumbuhnya budi pekerti dalam kehidupan agar kelak menjadi
manusia yang beradab dan bersusila. Selanjutnya beliau mengatakan
bahwa manusia adalah makhluk yang beradab dan berbudaya, sebagai
manusia budaya ia sanggup dan menciptakan segala sesuatu yang
bercorak luhur dan indah, yakni yang disebut kebudayaan. Dengan
demikian manusia itu dalam hidup lahir dan hidup batinnya selalu
menampakan sifat-sifat luhur, halus dan indah. Didalam salah satu
pidatonya pada kongres pendidikan antar Indonesia tahun 1949 beliau
mengatakan antara lain bahwa pendidikan dan pengajaran adalah usaha
kebudayaan semata-mata, bahwa perguruan itu ialah taman persamaian
benih-benih kebudayaan bagi suatu bangsa, dengan demikian cita-cita Ki
Hadjar Dewantara ialah pendidikan merupakan suatu usaha untuk
mempersatukan bangsa Indonesia.
Mengkaji pandangan Ki Hadjar Dewantara, Bapak Pembangunan
Rendidikan Nasional, tentang konsepnya mengenai kebudayaan nasional.
Konsep Ki Hadiar Dewantara di kenal sebagai teori Trikon. Menurut Ki
Hadjar Dewantara kebudayaan berarti buah budi manusia yang
merupakan hasil perjuangan manusia terhadap dua pengaruh yang kuat
yaitu alam dan zaman (kodrat dan masyarakat). Pembinaan kebudayaan
nasional Indonesia menurut Ki Hadjar Dewantara adalah sebagai berikut:
1) Adanya kesatuan alam dan zaman, kesatuan sejarah dahulu dan
sekarang.
2) Sebagai bahan untuk membangun kebudayaan kebangsaan Indonesia
diperlukan sari-sari dan puncak-puncak kebudayaan yang terjadi di
daerah Indonesia untuk di jadikan sebagai isinya.
3) Dari luar lingkungan kebangsaan perlu di ambil bagan-bahan yang
dapat mengembangkan dan memperkaya kebudayaan kita sendiri.
Koentjaraningrat merumuskan kebudayaan sebagai " keseluruhan
gagasan dan karya manusia, yang harus dibiasakannya dengan belajar.
Beserta dengan keseluruhan dari hasil budi dan karyanya itu."
D. Pendidikan Dalam Kebudayaan
a. Kepribadian dalam peroses kebudayaan
Didalam hal ini kita kenal mengenai teori superorganik
kebudayaan dari Kroeber. Namun demikian teori Koeber tidak
seluruhnya dapat di terima. Para pakar antropologi pendidikan menunjuk
kepada peranan individu bukan hanya sebagai bidak-bidak didalam
papan catur kebudayaan. Individu adalah creator dan sekaligus
manipulator dari kebudayaannya. Didalam hal ini pakar kebudayaan
Koeber dan Kluckhohn mengemukakan pengertian "sebab-akibat
sirkuler" bahwa antara kepribadian dan kebudayaan terdapat suatu
interaksi yang saling menguntungkan. Ruth Benedict menyatakan bahwa
kebudayaan sebenarnya adalah sosiologi suntuk tingkah-laku yang bisa
di pelajari.
Para pakar yang menaruh perhatian terhadap pendidikan dalam
kebudayaan mula-mulanya muncul dari para kaum behaviourist dan
psychoanalyst. Para ahli: pesikologbehaviorisme melihat kelakuan
manusia sebagai suatu reaksi dari suatu rangsangan dari sekitarnya. John
Gillin menyatukan pandanganbehaviorisme dan psikoanalis mengenai
perkembangan kepribadian manusia sebagai berikut:
1) Kebudayaan memberikan kondisi yang didasari dan yang tidak
didasari untuk belajar.
2) Kebudayaan mendorong secara sadar ataupun tidak sadar akan reaksi-
reaksi kalakuan tertentu.
3) Kebudayaan mempunyai sistem "reward and punishment", terhadap
kelakuan-kelakuan tertentu.
4) Kebudayaan cenderung mengulang bentuk-bentuk kelakuan tertentu
melalui proses belajar.
Apabila analisis Gilin ini kita cermati, tampak peran kebudayaan
dalam pembentukan kepribadian manusia, maka pengaruh antropologi
terhadap konsep pembentukan kepribadian manusia juga akan tampak
jelas. Terutama bagi para 4 pakar behaviorisme, Pada dasarnya pengaruh
tersebut dapat dilukiskan sebagai berikut:
1. Kepribadian adalah suatu proses, hal ini berarti pada pribadi dan
kebudayaan terdapat dinamika, dinamika tersebut juga bukan
dinamika otomatis tetapi muncul dari actor dan manipulator dari
interaksi itu ialah manusia.
2. Kepribadian mempunyai keterarahan dalam perkembangannya untuk
mencapai suatu misi, keterarahan ini tidak terjadi dalam ruang kosong
tetapi dalam masyarakat manusia yang berbudaya.
3. Dalam perkembangan kepribadian salah satu factor penting ialah
imajinasi, imajinasi manusia akan dapat diperoleh dari lingkungan
kebudayaan, hal ini berarti jika seseorang hidup sendiri tanpa
kebudayaan maka dia akan memulai dari nol dalam perkembangan
kepribadiannya.
4. Kepribadian mengadopsi secara harmonis tujuan hidup dalam
masyarakat agar dapat hidup dan berkembang, namun manusia dapat
saja menentang tujuan hidupnya yang ada dalam masyarakat.
5. Didalam pencapaian tujuan oleh pribadi yang sedang berkembang itu
dapat di bedakan antara tujuan dalam waktu yang dekat dan tujuan
dalam waktu yang panjang.
6. Berkaitan dengan keberadaan tujuan didalam pengembangan
kepribadian manusia, dapatlah di simpulkan bahwa proses belajar
adalah proses yang di tunjukan untuk mencapai tujuan. Learning isa
goal teaching behaviour.
7. Dalam psikonalisis antara lain dikemukakan mengenai peranan super-
ego dalam perkembangan kepribadian.
8. Kepribadian juga ditentukan oleh bawah sadar manusia (id). Bersama-
sama dengan ego, beserta id, keduanya merupakan energi yang ada di
dalam diri pribadi seseorang.
Seorang pakar sosiologi Tallcott Parsons dalam bukunya yang
terkenal Toward a Geneneral Theory of Action, mengemukakan 4
karakteristik dari action manusia yakni: 1) suatu action mempunyai
tujuan. 2) suatu action mempunyai motivasi yang menyangkut
penggunaan energi. 3) suatu action berada di dalam situasi. 4) suatu
action mempunyai karakteristik adanya pengaturan normatif.
Aksi tersebut sebenarnya merupakan bagian dari konstelasi aksi-
aksi yang di sebut system. Menurut Parson aksi-aksi tersebut itu dapat di
golongkan di dalam dua system: 1) sistem-sistem kepribadian
(personality system). 2) sistem-sistem social (social system).
b. Transmisi Kebudayaan
Transmisi Kebudayaan artinya kebudayaan itu di tranmisikan dari
satu generasi kepada generasi berikutnya. Bahkan banyak ahli pendidikan
yang merumuskan proses pendidikan tidak lebih dari proses tranmisi
kebudayaan. Manusia atau pribadi adalah aktor dan sekaligus demikian
kebudayaan bukanlah sesuatu "entity" yang statis tetapi sesuatu yang
manipulator kebudayaannya. Dengan terus-menerus berubah.
Ada 3 unsur utama dalam tranmisi, yaitu: 1) unsur-unsur yang
ditransmisi, 2) proses transmisi, dan 3) cara transmisi. Proses transmisi
meliputi proses-proses imitasi, identifikasi dan sosialisasi. Imitasi adalah
meniru tingkah-laku dari sekitar yang di imitasi adalah unsur unsur yang
telah di kemukakan di atas, transmisi unsur-unsur tidak dapat berjalan
dengan sendirinya. Seperti telah di kemukakan manusia adalah actor dan
manipulator dalam kebudayaan. Oleh sebab itu, unsur-unsur tersebut
harus di identifikasi. Ketiga proses tersebut ialah imitasi, identifikasi, dan
sosialisasi, berkaitan dengan bagaimana mentransmisikannya. Demikian
lah proses transmisi kebudayaan sebagai proses pendidikan yang di
kemukakan oleh Fortes. Proses tersebut terjadi di suatu masyarakat
sederhana yang relatif tertutup dari pengaruh dunia luar.
c. Proses Pembudayaan
Di dalam proses pembudayaan dan penemuan, difusi kebudayaan,
akulturasi, asimilasi, inovasi, fokus, krisis, dan prediksi masa depan serta
banyak lagi terminologi lainnya, sebagaimana diuaraikan berikut ini, 1)
Penemuan dan invensi (discovery and invention). Suatu penemuan berarti
menemukan suatu yang sebelumnya belum di kenal tetapi yang telah
tersedia di alam sekitar atau di alam semesta ini. Istilah invensi lebih
terkenal didalam bidang ilmu pengetahuan. Dengan invensi maka umat
manusia dapat menmukan hal-hal yang dapat mengubah kebudayaan.
Invensi teknologi terutama teknologi komunikasi mengubah secara total
kebudayaan dunia. Abad 21 disebut sebagai melenium teknologi yang
akan mempersatukan manusia dan mungkin pula budayanya. Hal ini
mengandung nilai-nilai yang positif tetapi juga mengandung bahaya
dengan masafikasi kebudayaan manusia. Masafikasi kebudayaan dapat
berupa komersialisasi kebudayaan dan konsumerisme yang berarti
pengdangkalan kebudayaan, 2) Difusi. Difusi berti pembauran budaya-
budaya tertentu terutama dalam abad komunikasi yang serba cepat dan
intens. Difusi kebudayaan akan berjalan dengan sangan cepat. Percepatan
proses difusi melalui proses pendidikan formal, non-formal maupun
informal kini berjalan dengan sangat cepat, 3) Akulturasi. Sałah satu
bentuk difusi kebudayaan adalah akulturasi, dalam hal ini terjadi
pembauran budaya antar kelompok atau di dalam kelompok yang besar.
Dewasa ini misalnya unsur-unsur budaya jawa telah masuk dalam budaya
system pemerintahan di daerah. Proses akulturasi tersebut lebih di
percepat. Dengan adanya system pendidikan yang tersentralisasi dan
mempunyai kurikulum yang uniform, 4) Asimilasi, Proses asimilasi
dalam kebudayaan terjadi terutama antar-etnis dengan sub budayanya
masing-masing. Biasanya proses asimilasi dikaitkan dengan adanya
sejenis pembauran antar-etnis dalam pergaulannya. Misalnya pergaulan
antar-etnis masih sangat terbatas dan kadang-kadang dianggap tabu, 5)
inovasi mengandalkan adanya pribadi yang kreatif. Dalam setiap
kebudayaan terdapat pribadi-pribadi yang inovatif. Dalam masyarakat
yang sederhana dan kreatif masih tertutup dari pengaruh kebudayaan
luar, inovasi berjalan dengan lambat. Inovasi kebudayaan di dalam
bidang teknologi dewasa ini begitu cepat dan begitu tersebar luas
sehingga merupakan motor dari lahirnya suatu masyarakat dunia yang
bersatu.
Di dalam kebudayaan yang modern pada abad teknologi dan
informasi dalam millennium ketiga, kemampuan untuk inovasi
merupakan ciri dari manusia yang dapat survive dan dapat bersaing.
Betapa besar peranan inovasi di dalam dunia modern, menuntutut peran
dan fungsi pendidikan yang luar biasa untuk melahirkan manusia -
manusia yang inovatif. Dengan kata lain pendidikan yang tidak inovatif,
yang mematikan kreativitas generasi muda, berarti tidak memungkinkan
suatu bangsa untuk bersaing dan hidup didalam masyarakat modern yang
akan datang. Dengan demikian pendidikan akan menempati peranan
sentral didalam lahirnya suatu kebudayaan dunia yang baru, 6) Fokus:
Konsep fokus didalam proses pembudayaan berasal dari seorang pakar
antropologi Herskovits, konsep ini menyatakan adanya kecenderungan
didalam kebudayaan kearah kompleksitas dan variasi dalam lembaga-
lembaga serta menekankan pada aspek-aspek tertentu. Dunia barat yang
telah lama memberikan fokus kepada kemampuan akal menekankan
kepada pembentukan intelektualisme didalam system pendidikannya.
Dengan demikian aspek-aspek kebudayaan yang lain seperti nilai-nilai
moral, lembaga-lembaga budaya yang primer seperti keluarga, cenderung
mulai diabaikan. Dalam proses pembudayaan melalui fokus itu kita lihat
betapa besar peranan pendidikan-pendidikan dapat memainkan peranan
penting didalam terjadinya proses yang sangat mendasar tersebut tetapi
juga dapat menghancurkan kebudayaan itu sendiri, 7) Krisis: Krisis dapat
menyebabkan dis-oraganisasi social misalnya dalam gerakan reformasi
total kehidupan. Apabila gerakan reformasi tidak diarahkan sebagai suatu
gerakan moral maka gerakan tersebut akan kehilangan arah. Gerakan
reformasi akan menyebabkan krisis sosial, krisis ekoncmi dan berbagai
krisis lainnya, 8) Visi masa depan: Diperlukannya visi masa depan agar
mereka mengetahui kemana arah mereka akan menuju. Tanpa visi yang
jelas yaitu visi yang berdasarkan nilai-nilai hidup di dalam kebudayaan
bangsa Indonesia akan sulit menentukan arah Inovasi perubahan yang
perkembangan masyarakat dan bangsa kita kemasa depan, atau pilihan
lain ialah mengadopsi saja apa yang di sebut kebudayaan global.
Mengadopsi kebudayaan global tanpa dasar yang kuat dari kebudayaan
sendiri berarti manusia Indonesia akan kehilangan identitasnya. Disinilah
letak peranan pendidikan nasional untuk meletakan dasar-dasar yang kuat
dari nilai-nilai budaya yang hidup di dalam masyarakat Indonesia yang
akan di jadikan fondasi untuk membentuk budaya masa depan yang lebih
jelas dan terarah.
Pendidikan nasional dewasa ini perlu mengadakan pergeseran
paradigma khususnya di dalam kaitannya dengan kebudayaan nasional.
Pergeseran paradigma mengenai potensi individu dalam interaksinya
dengan kebudayaannya tentunya akan mengubah cara-cara mengkonsep
dan menyusun kurikulum pendidikan nasional yang antara lain perlu
dikaitkan dengan interaksi antara kemampuan potensi otak dengan
lingkungannya dan kebiasaan ataupun peradaban masyarakat pada
umunya. Sehingga bila ini dituangkan didalam kurikulum, diyakini akan
dapat menghasilkan sumberdaya manusia yang memiliki daya fikir, daya
karsa dan daya rasa, yang pada akhirnya akan terbentuk suatu sosok
manusia yang bermoral dan beradab.
Berikut interaksi sinergis antara kecerdasan intelektual dan
kecerdasan budaya dalam menuju manusia yang sempurna sebagaimana
divisualisasikan dalam gambar berikut:
HAKIKAT CERDAS HAKIKAT CERDAS BUDAYA
INTELEKTUAL
Cerdas IQ : tahu diri Cipta : berpikir

Cerdas EQ : pengendalian diri Karya : upaya

Cerdas SQ1 : percaya diri Karsa : napsu

Cerdas SQ2 : adaptasi Rasa : hati nurani


Manusia bermoral dan Manusia bermartabat dan
berkesadaran berperasaan
2.2 Komponen Sistem Sosial
A. Komponen Sistem Sosial
Karena penyebaran inovasi itu masuk kedalam sistem sosial sehingga
inovasi itu masuk kedalam masyarakat dan diterima oleh seluruh atau
sebagian besar sistem anggota, atau inovasi itu gagal tersebar, pada awalnya
adalah karena usaha agen pembaharu yang melalui saluran komunikasi
tertentu menghubungi anggota sistem sosial untuk menawarkan dan mengajak
mereka mengadopsi inovasi itu.
B. Anggota Sistem Sosial
Orang-orang yang berada dalam suatu sistem sosial itu walaupun
merupakan satu kelompok namun mereka berbeda dalam tanggapan dan
penerimaan ide baru. Ada anggota sistem yang cepat mengetahui adanya
inovasi dan lebih awal menerimanya dan ada pula yang begitu terlambat
C. Katagori Adopter
Pembagian anggota sosial kedalam kelompok-kelompok adopter
(penerima inovasi) berdasarkan tingkat keinovatifannya yakni lebih awal atau
lebih akhirnya seseorang mengadopsi inovasi dibandingkan dengan anggota
sistem lainnya, sudah banyak dilakukan peneliti. Beberapa tahun lalu telah
muncul suatu acara penggolongan penerimaan inovasi yang cukup mantap,
yakni kategorisasi berdsarkan kurva adopsi.
Penyebaran adopter yang mengikuti kurva normal telah diuji oleh Rogers,
dan terbukti bahwa dari delapan kasus adopsi semuanya menunjukan
distribusi normal walaupun separuh dari yang diuj tidakbenar-benar normal.
Berikut beberapa atagori adopter dengan ciri-ciri ideal dengan nilai-nilai
subkultur dari masing-masing kelompok adopter yaitu:
1. Inovator : Petualangan
Petualangan sselalu menggota hati para inovator. Nilai yang
pakling menonjol adalah pemberani dan petualangan. Mereka suka
dengan hal-hal yang menyerempet bahaya, berani mengambil resiko dan
seringkali terburu nafsu.
2. Sipelopor : Tauladan
Sipelopor lebih berorientasi pada kedaam sistem. Dia biasanya
“meneliti” lebih dahulu suatu inovasi sebelum keputusan untuk
menggunakannya. Karena para pelopor atau adopter pemula ini tingkat
keinovatifannya tidak jauh berbeda dengan rata-rata anggota sistem
lainnya. Ia cocok sekali menjadi tauladan bagi sebagian besar anggotanya.
3. Pengikut Diri : Penuh Pertimbangan
Penganut ini menerima ide-ide yang hanya beberapa saat setelah
beberapa anggota sistem. Mereka mengikuti dengan penuh pertimbangan
dalam pengadopsian inovasi.
4. Pengikut Akhir : Skeptis
Golongan pengikut akhir ini mengadopsi ide baru setelah rata-rata
anggota sistem sosial menerimanya. Setiap inovasi mereka didekati
dengan sikap skeptis dan hati-hati, dan kelompok ini biasanya tidak mau
mengadopsi inovasi sebelum sebagian besar anggotan masyarakat telah
melakukan.
5. Si Kolot : Tradisional
Si Kkolot adalah anggota yang paling akhir mengadopsi suatu
inovasi. Keputusan yang dibuatnya biasanya dikaitkan dengan apa yang
telah dilakukan generasi yang lebih duluketidaklancaran mereka dalam
mengadopsi inovasi adalah karena tidak memahami ide-ide baru itu.
D. Anggota Sistem Sosial Inovatif
Dalam pembahasan tipe ideal kelompok adopter sudah digambarkan ciri-
ciri pokok masing-masing. Berikut ini akan kami sajikan sejumlah
generalisasi mengenai ciri-ciri kelompok adopter yang diangkat lebih dari
berbagai hasil penemuan penelitian tentang variable bebas terhadap
keinovatifan. Dengan demikian, penunjukan ciri tersebut lebih merupakan
pembar.dingan antara anggota sistem (sebagai adopter) yang lebih inovatif
dengan yang kurang inovatif, bisa antara inovator dengan si kolot atau
lainnya.
1. Ciri-Ciri Sosial Ekonomi :
Dibandingkan dengan adopter yang lebih lambat, anggota sistem yang
lebih inovatif itu :
1) Lebih berpendidikan, termasuk lebih menguasai kemampuan baca
tulis.
2) Mempunyai status sosial lebih tinggi.
3) Mempunyai tingkat mobilitas social keatas lebih besar yakni
kecenderungan kepada status sosial.
4) Mempunyai lading lebih luas.
5) Lebih berorientasi pada ekonomi komersial.
6) Memiliki sikap lebih berkenan terhadap kredit.
7) Menpunyai pekerjaan yang lebih sfesifik.
2. Ciri-Ciri Kepribadian: Dibandingkan dengan adopter yang lebih lambat,
anggota sistem yang lebih inovatif itu :
1) Memiliki empati lebih besar. empati adalah kemampuan sescorang
untuk memproyeksikan dirinya kedalam peranan orang lain.
2) Kurang dogmatis. Dogmatis adalah suatu variabel yang menunjukan
sistem kepercayaan yang relative tertutup yang pengaruhnya sangat
kuat terhadap kepribadian seseorang.
3) Mempunyai kemampuan abstraksi lebih besar.
4) Mempunyai rasionalitas lebih besar.
5) Lebih tinggi intelegenisasi.
6) Memiliki sikap lebih berkenan terhadap perubahan.
7) Memiliki sikap yang yang mau mengambil resiko.
8) Memiliki sikap lebih berkenan terhadap pendidikan dan ilmu
pengetahuan.
9) Kurang percaya pada ansib artinya tidak menyerah begitu saja nasib
pada fatalism.
10) Motivasi untuk meningkatkan taraf hidup orang tinggi.
11) Aspirasinya terhadap pendidikan pekerjaan dsb.
3. Ciri Komunikasi :
Dalam perilaku komunikasi jika dibandingkan dengan adopter yang
lebih lambat maka anggota masyarakat yang lebih inovatif itu :
1) Partisipasi sosialnya lebih tinggi.
2) Lebih sering mengadakan komunikasi interpersonal dengan anggota
sistem lainnya.
3) Lebih sering mengadakan komunikasi dengan orang asing kelompok
acuan mereka kebanyakan orang dari luar sistem.
4) Lebih sering mengadakan hubungan dengan agen pembaharu.
5) Lebih sering bertatap dengan media massa.
6) Mencari lebih banyak informasi mengenai inovasi, pengetahuannya
tentang inovasi lebih sempurna.
7) Lebih tinggi kepemimpinannya, terutama pada sistem sosial.
8) Menjadi anggota sistem yang bernorma lebih modern dan sistem yang
lebih terpadu.
E. Agen Pembaharu
Agen pembaharu adalah pekerja professional yang berusaha
mempengaruhi atau mengarahkan keputusan inovasi orang lain selaras
dengan yang diinginkan oleh lembaga pembaharuan dimana ia bekerja atau
menjadi anak buahnya. Fungsi utama agen pembaharu adalah menjadi mata
rantai penghubung antara dua sistem sosial atau lebih. Penyuluh pertanian
lapangan adalah mata rantai yang menghubungkan dinas. Lembaga
pembaharu itu biasanya merupakan organ pemerintah disegala sektor
kehidupan seperti Dinas Pertanian, Dinas Sosial, Perguruan Tinggi BKKBN
dsb. Bisa Juga badan-badan swasta yang bertujuan meningkatkan baik
nasional maupun internasional, termasuk UNISCO dan UNICEF.
Ada beberapa peranan yang dilalukan oleh agen pembaharu di dalam tiga
proses keputusan inovasi itu sendiri. Tujuh peranan seseorang agen
pembaharu memperkenalkan inovasi kepada masyarakat, yaitu :
a. Membangkitkan Kebutuhan Untuk Berubah.
Sebagai langkah awal agen pembaharu seringkali perlu membantu
kliennya menyadari bahwa mereka membutuhkan perubahan tingkah
laku.
b. Mengadakan Hubungan Untuk Perubahan.
Begitu kebutuhan untuk berubah telah tumbuh, agen pembaharu harus
membina keakraban dengan kliennya.Dia bisa meningkatkan keakraban
dengan kliennya dan memberikan kesan yang dapat dipercaya serta
jujur.
c. Mendiagnosis Masalah.
Agen pembaharu harus menganalisa situasi problematis kliennya untuk
menentukan mengapa cara yang ada tidak lagi memenuhi kebutuhan
mereka.
d. Mendorong Atau Menciptakan Motivasi Untuk Berubah Pada Diri
Klien.
Setelah agen pembaharu mengenali berbagai jalan yang memungkinkan
klien bisa mencapai tujuan mereka, dia harus membangkit motivasi
untuk mengadakan perubahan.
e. Merencanakan Kegiatan Pembaharu.
Seorang agen pembaharu hendaknya berusaha mempengaruhi perilaku
kliennya sesuai dengan rekomendasi yang berdasarkan atas kebutuhan
klien.
f. Memelihara Program Pembaharu dan Mencegah dari Kemacetan.
Agen pembaharu dapat menjaga penerimaan ide baru itu secara efektif
dengan memberikan informasi atau pesan-pesan yang menunjang klien
merasa aman dan tetap "terasa segar" melaksakan pembaharuan itu.
g. Mencapai Hubungan Terminal.
Tujuan akhir seseorang agen pembaharu adalah berkembangya perilaku
"mempengaruhi diri sendiri" dan mampu mempengaruhi orang lain.
1. Peranan agen pembaharu dalam keputusan inovasi kolektif.
Seperti yang telah diuraikan, proses keputusan inovasi kolektif
adalah proses pengambilan keputusan untuk menerima atau menolak
inovasi yang dilakukan oleh individu-individu dalam sistem sosial secara
kolektif, yang dimulai dengan tahap stimulasi dan diakhiri dengan
tindakan seluruh anggota sistem dalam menerima atau menolak inovasi.
Jarang sekali agen pembaharu memiliki ciri-ciri itu. Mereka biasanya
dikenal sebagai orang-orang asing yang hanya sementara saja ada didalam
sistem.
Namun demikian, agen pembaharu memiliki kualifikasi yang
mengagumkan untuk dapat menstimulasi dan mengajukan usulan-usulan
mengenai inovasi kolektif. Agen pembaharu dapat memberikan nasehat-
nasehat yang berguna agar proses keputusan berjalan lancar, jika tidak ia
bertindak sendiri sebagai stimulator. Ada suatu kasus penyebaran ide baru
kolektif yang dapat menjadikan contoh tentang peranan agen pembaharu.
Kasus ini hasil penyelidikan Rahin (1961) Tentang pengadopsian pompa
air diesel oleh penduduk desa dipakistan.
2. Peranan agen pembaharu dalam keputusan inovasi otoritas.
Keputusan inovasi otoritas adalah proses pengambilan keputusan
untuk menerima atau menolak inovasi yang kebanyakan terjadi dalam
organisasi formal. Pada tahap dimana organisasi mengetahui adanya
inovasi yang mungkin dapat dikaitkan dengan kemajuan organisasinya,
agen pembaharu dapai membantu pemimpin itu dengan informasi-
informasi yang berkenaan dengan ide baru.
Terdorong oleh kebutuhan itu pemimpin akan berusaha mencari
tahu inovasi-inovasi (mesin-mesin baru) yang cocok untuk pabriknya
sesuai dengan sifatnya yang formal, peranan agen pembaharu dapat
dilakukan lebih efektif jika ia berada dalam posisi yang resmi pula.
Misalnya para konsultan atau staf organisasi yang berada pada unit
penelitian pengembangan atau yang semacamnya.
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan Agen pembaharu.
Secara sederhana agen pembaharu dapat dikatakan berhasil jika
yang ia promosikan diterima oleh kliennya, jika masyarakat sasarannya
mengadopsi inovasi lebih jauh, akan terjadi perubahan pada sistem sosial
sesuai dengan yang diinginkan. Ada beberapa faktor yang menunjang
keberhasilan agen pembaharu, antara lain ialah : 1) Gencarnya usaha
promosi, 2) Lebih berorientasi pada klien, 3) Kerjasama dengan tokoh
masyarakat, 4) Kredibilitas agen pembaharu dimata klien. Berikut uraian
secara rinci berbagai faktor yang mempengaruhi keberhasilan agen
pembaharu dalam menyebarkan program inovasi,
a. Gencarnya Usaha Promosi.
Banyak hasil penelitian yang menunjukan ada hubungan antara
keberhasilan 2. agen pembaharu dengan kerasnya usaha yang ia
lakukan dalam penyebaran ide-ide baru misalnya penyelidikan yang
dilakukan. Deucthmann dan Fals berada di masyarakat pedesaan
Kolombia. Usaha keras agen pembaharu itu ditandai dengan lebih
banyak/seringnya mereka berada dilapangan kantor. Akan tetapi
hubungan antara usaha agen pembaharu dengan keberhasilannya
(yang diukur dengan banyaknya anggota sistem pengadopsi) tidak
linear. Hal yang demikian mungkin terjadi karena pada saat itu para
penemu pendapat telah berkenan menerima inovasi, dan mereka
mempengaruhi anggota sistem lainnya.
b. Berorientasi pada klien.
Karena posisi agen pembaharu ada di tengah-tengah antara
birokrasi dimana ia harus bertanggung jawab dan sistem klien
dimana ia bekerja dia tidak terlepas dari konlik peranan. Misalnya
seorang petugas penyuluh pertanian yang ditugaskan disuatu desa
untuk menyebar ide-ide baru pertanian, ternyata oleh para pemuda
desa diminta untuk membina olahraga yang diluar tugasnya.
Proyek pembaharuan yang tidak berdasarkan kebutuhan yang
dirasakan Agen pembaharu harus mengetahui kebutuhan rasa klien,
seringkali gagal atau menghasilkan konskuensi yang tak diinginkan.
Misalnya salah satu desa di India diberi dana untuk membangun
irigasi yang diharapkan dipergunakan untuk mengaliri sawah dan
ladang agar hasil panen lebih berlipat ganda. Atau ia, di India itu,
dapat mencoba mengembangkan agar irigasi itu menjadi kebutuhan
terasa penduduk dengan mengemukakan keuntungan-kcuntungan
finansial yang akan dipetik mayarakat dengan membangun irigasi
kembali.
Agen pembaharu harus mengetahui kebutuhhan rasa klien yang
sering kali berkaitan dengan hal-hal yang per!u segera dipenuhi dan
menyesuaikan program mereka dengan kebutuhan itu. Ini berarti
agen pembaharu tidak boleh ikut atau terhanyut oleh arus agen
pembaharu yang diucapkan oleh klien, melainkan harus pula
memikirkan dan mengarahkan kebutuhan-kebutuhan itu sesuai
dengan tugas yang dibebankan oleh lembaga pembaharu.
Untuk lebih mengenal lebih tajam kebutuhan klien, nilai-nilai dan
kepercayaan klien agen pembaharu harus memiliki kemampuan
empati. Hal ini bukan suatu hal yang mudah terutama jika agen
pembaharu itu adalah orang asing yang latar belakang
kebudayaannya jauh berbeda dengan budaya masyarakat yang
menjadi sasaran.
c. Kerja Sama Agen Perubahan Dengan Tokoh Masyarakat.
Kampanye difusi mungkin akan lebih berhasil jika agen pembaharu
mengenal dapat menggerakan para tokoh masyarakat setempat. Jika
ia mengarahkan komunikasinya, memusatkan usahanya untuk
mempengaruhi tokoh masyarakat dalam sistem sosial itu, ia dapat
menghemat tenaga, biaya dan waktu.
Dengan menggunakan tangan tokoh masyarakat agen pembaharu
dapat melindungi ide-idenya dari tantangan yang mungkin timbul
dari dalam sistem sosial. Pada kenyataan setelah pemuka pendapat
dalam suatu sistem telah menerima sesuatu inovasi barangkali
mustahil untuk menghentikan penyebaran seterusnya. Mungkin saja
tokoh masyarakat itu inovator terutama dalam sistem sosial yang
normanya sangat modern tetapi sering kali tidak. Jika pembaharu
lebih memusatkan perhatiannya kepada inovatornya dan bukan
kepada tokoh masyarakat. Perilaku inovator kurang bisa meyakinkan
untuk diikuti, karena terlalu maju untuk rata-rata anggota sistem
yang ada demikian ini akan menyebabkan pimpinan masyarakat itu
kehilangan pengaruh di kalangan pengikutnya.
d. Kredibilitas Agen Pembaharu Di Mata Klien.
Kredibilitas adalah tingkat dimana sumber atau saluran komunikasi
(yang dalam hal ini bisa si agen pembaharu) dapat dipercaya oleh
penerimanya. Penelitian yang dilakukan Rogers dan Svenning
menunjukan bahwa para petani Kolombia relatif menaruh
kepercayaan lebih tinggi kepada petugas penyuluh pertanian dari
pada 5 sumber informasi lainnya di dalam hal inovasi pertanian.
e. Peran Tokoh Masyarakat.
Orang-orang yang memiliki keampuan untuk mempengaruhi orang
lain seperti itu disebut tokoh masyarakat, pemuka pendapat,
pemimpin informal atau sebutan lainnya yang senada. Sedengkan
kempemimpinan pendapat (opinion leadership) adalah tingkat
kemampuan seseorang untuk mempengaruhi tingkah aku orang lain
secara informal relatif sering.
Tetapi kita ingat ada tokoh masyarakat yang "hangat" dan ada juga
yang "dingin" terhadap inovasi. Mereka dapat memepercepat proses
difusi tetapi bisa pula mereka menghalangi dan menghancurkannya.
Tetapi jika agen pembaharu tidak berhati- hati dan terbentur dengan
tokoh masyarakat maka ia harus bersiap-siap untuk menerima
kegagalan atau setidak-tidaknya kesulitan dalam melaksanakan
tugas.
4. Mengenali Tokoh Masyarakat Setempat
Dalam penyebaran ide baru kedalam suatu sistem sosial, tokoh
masyarakat memegang peranan penting. Ada beberapa teknik untuk
mengetahui atau mengenal dan menentukan siapa yang menjadi pemuka
pendapat disuatu masyarakat, yaitu:
a. Teknik Sosiometri: dapat dilakukan dengan menarya anggota
masyarakat kepada siapa mereka meminta nasihat atau mencari
informasi mengenai masalah-masalah kemasyarakatan yang mereka
hadapi.
b. Teknik Informant's Rating: Dalam teknik ini pada prinsipnya sama
dengan teknik sosiometri. Tetapi yang ditanya bukan anggotanya
masyarakat, melainnkan orang yang dianggap narasumber disana
yang dianggap mengenal dengan baik situasi sistem sosial.
c. Teknik Self Designating: dalam teknik ini kepada siapa responden
diajukan serangkaian pertanyaan untuk menentukan seberapa ia
menganggap dirinya sebagai pemimpin. Pertanyaan khas yang dapat
diajukan misalnya "menurut pendapat saudara, selain kepada
narasumber dan kepada pemuka pendapat".
BAB III
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN
Pada hakikatnya pendidikan secara epistemologis
merupakan usaha mencari makna pendidikan sebagai ilmu yaitu
mempunyai objek yang akan merupakan dasar analisis yang akan
membangun ilmu pengetahuan yang di sebut ilmu pendidikan.
Sedangkan secara ontology menekankan kepada hakikat
keberadaan, dalam hal ini keberadaan pendidikan itu sendiri.
keberadaan pendidikan tidak terlepas dari keberadaan manusia.
Pendidikan sapu jagat merupakan model pendidikan yang
berprinsip ‘’bebas batas atau tidak terbatas’’ bertujuan untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat kelas menengah kebawah,
dengan dukungan kurikulum sapu jagat yang bersifat life skill,
karena pendidikan sapu jagat mengutamakan keterampilan dengan
bobot diatas tujuh puluh persen mengutamakan keterampilan tepat
guna, dan dua puluh aspek pengetahuan serta sepuluh persen aspek
sikap.
Sedangkan kebudayaan pada hakikatnya adalah suatu
proses pemanusiaan artinya di dalam kehidupan berbudaya terjadi
perubahan, perkembangan, motivasi. Pendidikan dalam
kebudayaan terdiri atas; kepribadian dalam proses kebudayaan,
transmisi kebudayaan, dan proses pembudayaan.
Komponen sistem yang mempunyai peran penting dalam
proses difusi yaitu; (1)Anggota sitem sosial sebagai penerima
inovasi, peranan, (2)Agen pembaharu, (3)Tokoh masyarakat
sebagai sumber penyebaran ide baru, (4)Saluran komunikasi yang
dipergunakan dalam difusi.
3.2
3.3 SARAN
Penulis berharap dengan adanya makalah ini dapat
membantu pembaca mengetahui dan memahami pendidikan,
kebudayaan dan komponen sistem sosial. Penulis menyadari bahwa
makalah diatas banyak sekali kesalahan dan jauh dari
kesempurnaan. Penulis akan memperbaiki makalah tersebut
dengan berpedoman pada banyak sumber yang dapat
dipertanggung jawabkan. Maka dari itu penulis mengharapkan
kritik dan saran mengenai pembahasan makalah dalam kesimpulan
diatas.

Anda mungkin juga menyukai