Anda di halaman 1dari 18

STRATEGI PENGAKUAN DAN PERLINDUNGAN HAK-HAK MASYARAKAT

(HUKUM) ADAT: SEBUAH PENDEKATAN SOSIO-ANTROPOLOGIS1


R. Yando Zakaria*

Abstract: Arizona (2015b) reported that in the last mid-2015, there were lots of local regulation products intended as
instruments to recognize the rights of indigenous people. Eventhough 40% of these products contain arrangements of the
area, lands and communal forests, in reality, total area that have been effectively possessed by local communities were insig-
nificant. According to Arizona (2015a), this condition occurred because the advocacy agenda trapped by the complexity of
the diversity of the subjects and objects of the indigenous rights to be recognized and protected. This article was not about
to argue that conclusion. However, this paper believes that the trap of complexity and diversity of the subjects and objects of
the recognition of indigenous rights was enabled by three factors. First, the stakeholders within those complexity of definition
came from generic concepts; second, failed to approach subjects and objects of the rights as a socio-antrophology reality at
field level; and third, this problem was worsen by the stakeholders that barely have a proven instrument in finding sociologi-
cal-anthropological reality. This article aims to fill those gaps.
Keywor ds
eywords
ds: Strategy, Recognition, Indigenous Peoples, socio-anthropological

Intisari: Arizona (2015b) melaporkan bahwa tengah tahun 2015 lalu ada banyak produk hukum daerah yang dimakudkan
sebagai instrument hukum pengakuan hak-hak masyarakat adat. Namun, meski 40% produk hukum daerah itu berisi pengaturan
tentang wilayah, tanah dan hutan adat, di tingkat lapangan, total luas yang telah benar-benar efektif dikuasi masyarakat adat
relatif sangat sedikit. Menurut Arizona (2015a), hal itu terjadi, antara lain, agenda advokasi terjebak oleh kerumitan keragaman
subyek dan obyek hak-hak adat yang akan diakui dan dilindungi. Tulisan ini tak hendak membantah kesimpulan itu. Namun,
tulisan ini percaya bahwa jebakan kerumitan keragaman subyek dan obyek pengakuan hak-hak masyarakat adat itu dimungkinkan
oleh tiga hal. Pertama, para-pihak terjebak dengan perdebatan definisi dari beberapa konsep yang memang bersifat generik;
kedua, alpa mendekati subyek dan obyek hak itu sebagai realitas sosio-antropologis di tingkat lapangan; dan ketiga, masalah
ini diperumit oleh para-pihak nyaris tidak memiliki instrument yang teruji dalam menemukan realitas sosiologis-antropologi
dimaskud. Tulisan ini disusun untuk mengisi kekosongan-kekosongan itu.
Kata K unci
Kunci
unci: Strategi, Pengakuan, Masyarakat Hukum Adat, sosio-antropologis

A. Pendahuluan Nomor 5 Tahun 1999 (Permenag 5/1999), kebijakan


Dalam dua darsa warsa terakhir telah hadir pertama yang ‘mengatur’ pengakuan hak
puluhan produk hukum, baik Nasional maupun masyarakat adat atas tanah pasca pengaturan di
Daerah, yang dimaksudkan untuk mengakui dan bawah tingkat konstitusi dan Undang-Undang
menghormati hak-hak masyarakat (hukum) adat.2 Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria
Hal ini diawali dengan diberlakukannya Peraturan (UUPA 5/1960). Permenagraria 5/1999 telah
Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional memungkinkan lahirnya Peraturan Daerah
Kabupaten Kampar Nomor 12 Tahun 1999 tentang
Tanah Ulayat.
* Praktisi antropologi. Fellow pada Lingkar Pem- Perkembangan ini seperti mengindikasikan
baruan Desa dan Agraria (KARSA), Yogyakarta; dan suatu yang positif bagi masa depan pengakuan hak
pengajar tamu pada Jurusan Ilmu Politik dan Ilmu Pe-
merintahan, FISIPOL UGM. Email: r.y.zakaria@gmail.com (-hak) masyarakat adat. Sebagaimana yang

Diterima: 3 April 2016 Direview: 12 Oktober 2016 Disetujui: 03 November 2016


134 Bhumi Vol. 2 No. 2 November 2016

dilaporkan Arizona (2015b), hingga tengah tahun gaimana yang banyak dipersepsikan banyak
2015 lalu, ada sekitar 90 produk hukum daerah pihak selama ini?
dan/atau kegiatan advokasi hukum daerah dalam (b) Pengakuan semacam apa pula yang sudah
jumlah yang hampir sama.3 Produk-produk hukum dihasilkan yang berdasarkan konsepsi tentang
daerah dimaksud berkaitan dengan upaya (1) masyarakat hukum adat yang demikian itu?
pengembangan/penguatan lembaga adat;4 (2) (c) Apakah setiap jenis atau bentuk hak masya-
pengakuan terhadap wilayah masyarakat hukum rakat adat hanya merujuk pada satu unit sosial
adat;5 (3) pengakuan terhadap keberadaan suatu saja?
masyarakat hukum adat;6 dan (4) pengakuan (d) Apakah hak masyarakat adat atas tanah hanya
sebagai unit pemerintahan.7 mencakup hak-hak yang bersifat komunal saja?
Namun, pada kesempatan yang lain Arizona (e) Apakah dalam sistem tenurial masyarakat adat
(2015b) melaporkan pula bahwa meski 40% produk itu tidak dikenal hak-hak yang bersifat indi-
hukum daerah itu berisi pengaturan tentang vidual?
wilayah, tanah dan hutan adat,8 di tingkat lapangan, (f ) Apakah hak ulayat selalu bersifat publik dan
total luas yang telah benar-benar efektif dikuasi tidak bisa bersifat privat?
masyarakat adat baru sekitar 13.500 hektar saja. (g) Bagaimana strategi pengakuan hak-hak masya-
Sekedar perbandingan, menurut kalkulasi rakat (hukum) adat yang lain, seperti penga-
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), apa kuan terhadap ‘agama tradisi’ seperti Arat
yang mereka sebut sebagai hutan adat itu diper- Sabulungan (Mentawai), Parmalim (Batak),
kirakan mencapai angka 40 Juta ha, atau hampir atau Marapu (Sumba) misalnya? Apakah me-
sekitar 25% dari total kawasan hutan di Indone- mang harus mengakui subyek hukumnya (baca:
sia.9 Lalu apa yang keliru hingga capaian itu demi- penghayat ‘agama-agama asli’ itu), sebagai-
kian rendahnya? Menurut Arizona (2015a), rendah- mana trend yang terjadi pada proses pengakuan
nya kinerja pembaruan hukum pengakuan hak- hak-hak atas tanah saat ini, atau cukup dengan
hak masyarakat adat, jika dapat dikatakan begitu, mengakui eksistensi ‘agama tradisi’ itu sendiri?
salah satu penyebabnya adalah karena, di satu sisi, Pada bagian akhir tulisan ini akan dicoba pula
agenda advokasi pengakuan dan perlindungan hak- menjawab pertanyaan yang lebih teknis. Yakni,
hak masyarakat terjebak pada kerumitan ke- (a) produk-produk hukum macam apa saja yang
ragaman subyek, obyek, dan pilihan instrumen diperlukan untuk mengakui dan menghormati
hukum yang tersedia; dan di sisi lain, seringkali hak-hak masyarakat adat itu?
produk hukum daerah itu hanya bersifat deklaratif (b) apakah cukup dengan peraturan perundang-
semata. undangan yang bersifat deklaratif atau juga
Tulisan ini tak hendak membatah data dan dibutuhkan peraturan perundang-undangan
kesimpulan-kesimpulan tersebut. Sebaliknya yang bersifat lebih teknis?
tulisan ini ingin menyediakan perspektif pelengkap Tawaran ini, jika dapat dikatakan begitu, dituju-
untuk lebih memahami dinamika pengakuan hak- kan agar para pihak yang sebenarnya peduli dengan
hak masyarakat adat. Hal ini akan dilakukan masa depan masyarakat (hukum) adat dapat keluar
dengan menjawab beberapa pertanyaan pokok dari jebakan perdebatan tentang pilihan definisi
berikut: antara terma masyarakat hukum adat atau masya-
(a) Apakah masyarakat hukum adat dan/atau rakat adat yang nyaris menjadi kontra-produktif
masyarakat adat itu memang hanya merujuk itu (Sirait, et.al., 2005; Sumardjono, 2008; Arizona,
pada suatu realitas sosial yang tunggal seba- 2010; Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN),
Yando Zakariya: Strategi Pengakuan dan Perlindungan Hak-hak Masyarakat ...: 133-150 135
2011; Zakaria, 2012; Roewiastoeti, 2014; Saf itri & wilayah, dan sumber daya mereka (Pembangunan);
Uliyah, 2014; dan Andiko & Firmansyah, 2014). hak menentukan hubungan lembaga pemerintahan
mereka dengan pemerintah pusat atau negara, dan
B. Realitas subyek, obyek, dan jenis hak- seterusnya, hingga hak atas tanah, wilayah, dan
hak masyarakat (hukum) adat yang sumberdaya alam; hak turut serta (partisipasi) dan
majemuk hak untuk mendapat Informasi; hak Budaya; serta
Secara hukum, pengakuan (hak) mensyaratkan hak atas keadilan.10
pengenalan tentang subyek, obyek, dan jenis hak Pertanyaannya, apakah masing-masing obyek
yang akan diakui itu sendiri. Contohnya adalah dan/atau jenis hak itu merujuk pada satuan sosial
sertipikat atas sebidang tanah. Sertipikat sebagai (social unit) yang sama? Untuk menjawab per-
tanda bukti hukum akan memuat kejelasan tanyaan tersebut, mari kita lihat kerangka berfikir
tentang siapa subyek hukum (perorangan atau yang ada pada Putusan MK 35 Tahun 2012,
kelompok); atas sebidang tanah tertentu (sebagai kebijakan tertinggi dan termutakhir yang berkaitan
obyek pengakuan hak); dengan jenis hak yang dengan pengakuan atas hak-hak masyarakat
diakui itu apakah berupa hak milik atau hak guna (hukum) adat sebagaimana yang diamatkan oleh
usaha atau jenis hak lainnya sebagaimana yang Undang-Undang Dasar 1945 Indonesia Pasal 18B
diatur dalam peraturan perundang-undangan yang ayat 2.11 Singkatnya putusan itu mengatur bahwa
berlaku. Tanpa pengetahuan yang clear tentang ‘hutan adat bukan hutan negara; hutan adat adalah
subyek, obyek, dan jenis hak maka proses penga- bagian dari wilayah adat/ulayat masyarakat hukum
kuan secara hukum itu tidak akan efektif dan hanya adat; hak masyarakat adat diakui jika masyarakat
akan terperangkap pada situasi yang bersifat jar- hukum adat itu telah ditetapkan dalam Peraturan
gonistis belaka. Daerah’.
Dengan demikian, subyek mengacu pada pihak Mari kita coba kaitkan ketentuan yang demikian
yang memiliki hak; sementara obyek hak adalah itu pada kasus hutan adat yang dapat saja berupa
sesuatu yang di-hak-i oleh subyek. Sedangkan jenis dan/atau berada pada tanah ulayat orang Minang-
hak merujuk pada berbagai bentuk kemungkinan kabau di Sumatera Barat. Subyek hak atas obyek
keberlakuan hak itu ke dalam pribadi penyandang hak yang berupa tanah ulayat itu sangatlah be-
hak (bisa tunggal ataupun bersama) maupun yang ragam, yakni kaum/buah gadang, suku, buek, atau
juga mengikat pihak lain di luar pribadi penyan- pun nagari (Franz von Benca-Beckmann (2000);
dang hak. Namun, tergantung pada obyek hak yang K. von Benda-Beckmann (2000); Warman (2010).
akan diakui, sebagaimana yang akan dijelaskan Demikian pula, jenis tanah ulayat juga sangat
nanti, boleh jadi pengakuan itu tidak perlu sampai beragam. Yakni tanah ulayat kaum, tanah ulayat
pada pengakuan pada subyek dan jenis haknya. suku, dan tanah ulayat nagari. Pertanyaannya
Cukup pengakuan atas obyek-nya saja. kemudian adalah, apakah dibutuhkan satu Pera-
Merujuk pada United Nation Declaration on The turan Daerah — dan/atau Keputusan Gubernur
Rights of Indigenous Peoples (UNRIP), obyek atau- atau Bupati/Walikota — untuk setiap kaum/buah
pun jenis hak-hak masyarakat adat yang harus gadang, suku, buek, atau pun nagari, agar masing-
diakui dan dihormati itu sangatlah beragam. Mulai masing pusako (baca: harta kekayaan bersama yang
dari hak untuk menentukan nasib sendiri (yang berupa tanah ulayat) dapat diakui oleh negara
mencakup hak menentukan pilihan tentang jalan sebagaimana dimaksudkan oleh Putusan MK 35/
hidup; menentukan, mengembangkan rencana dan 2012 itu? Jika jawabannya ‘ya’, maka bisa dibayang-
urutan kepentingan bagi pemanfaatan tanah, kan betapa sibuknya masyarakat adat dan Peme-
136 Bhumi Vol. 2 No. 2 November 2016

rintah di negeri ini untuk memenuhi amanat kon- kolektiva yang lain lagi.
stitusi. Secara etik, yakni menurut pandangan dari luar,
Oleh sebab itu, tanpa mengurangi nilai-nilai kolektiva-kolektiva manusia itu ada yang disebut,
positifnya, implementasi Putusan 35/2012 perlu di mulai dari satuan yang lebih besar hingga yang
dilengkapi dan/atau didekati dengan perspektif lebih kecil, adalah negara; sukubangsa atau kelom-
sosio-antropologis. Hal ini diperlukan agar jangan pok etnik (etnik groups); desa (dalam konteks ini
sampai putusan dimaksud justru menjadi sumber adalah community, bukan village, dan sering diter-
malapetaka yang baru bagi perjuangan pengakuan jemahkan sebagai komunitas); kelompok-kelom-
hak-hak masyarakat adat di negeri ini. Terlebih lagi, pok kekerabatan; dan berbagai bentuk kategori
pada dasarnya, pada saat yang bersamaan Putusan sosial, golongan sosial, kelompok sosial lannya,
MK 35/2012 itu sebenarnya juga mengukuhkan hingga perkumpulan yang terbentuk oleh satu atau
keberadaan Pasal 67 yang telah memberatkan lebih kepentingan bersama para anggotanya.
masyarakat adat. Misalnya, yang berdasarkan kesamaan agama
tertentu, ras, atau ciri-ciri pembeda dan/atau kepen-
C. Perspektif sosiologi dan antropologi tingan lainnya (Koentjaraningrat, 1979: 154 – 177).
sebagai alat bantu Konsep-konsep kolektiva manusia yang berda-
Manusia adalah mahluk sosial. Begitu adagium sarkan hubungan kekerabatan adalah apa yang
yag berlaku. Oleh sebab itu manusia selalu terlibat disebut sebagai keluarga batih atau keluarga inti,
dalam suatu sistem kehidupan kolektif. Koentja- rumahtangga, keluarga luas, kindred, klen, fratri,
raningrat (1979: 150) mengatakan bahwa ciri-ciri dan moeti.
kehidupan kolektif itu ditandai oleh (a) pembagian Secara hipotetik, jika diurut berdasarkan be-
kerja yang tetap antara berbagai macam sub- saran populasi pada masing-masing bentuk kolek-
kesatuan dan/atau golongan individu dalam kolektf tiva manusia itu, maka kita dapat membangun
untuk melaksanakan berbagai macam fungsi sebuah diagram sebagaimana terjadi pada Diagram
hidup; (b) ketergantungan individu kepada individu 1 berikut, yang menunjukkan betapa beragamnya
lain sebagai akibat pembagian kerja; (c) kerjasama bentuk-bentuk kolektiva manusia itu. Rentangnya
antar-individu yang disebabkan karena sifat keter- bisa dimulai dari satuan keluarga batih (yang
gantungan; (d) komunikasi antar-individu untuk berpangkal pada sejumlah pribadi tertentu yang
melakukan kerjasama; dan (e) diskriminasi terha- terikat pada suatu sistem perkawinan) hingga satuan
dap individu-individu lain yang berada di luar kolek- politik yang berbentuk kerajaan ataupun negara.
tiva dimaksud.
Dalam kajian sosiologi dan antropologi, unit-
unit sosial yang disebut urang samadeh, (sa-) paruik,
(sa-) kaum, (sa-) saku, atau juga (sa-) nagari, lewu,
suku besar, suku kecil, sebagaimana yang dikenal
dalam kelompok etnik Minangkabau dan Dayak
di Kalimantan Tengah adalah bentuk-bentuk
kolektiva manusia menurut pandangan emik yang
dikenal oleh orang Minangkabau dan komunitas
orang Dayak yang ada di Kalimantan Tengah itu
sendiri. Pada konteks kelompok etnik yang lain
tentu kita akan menemukan susunan satuan-satuan
Yando Zakariya: Strategi Pengakuan dan Perlindungan Hak-hak Masyarakat ...: 133-150 137
Diagram 1

D. Susunan masyarakat hukum adat yang kuan keberadaan marga itu? Sejauh ini, apakah
beragam ada pelarangan terhadap sistem marga itu hingga
Kompleksitas dalam menentukan unit sosial dibtuhkan suatu peraturan perundang-undangan
dalam mengakui hak masyarakat (hukum) adat untuk mengakuai eksistensinya?
tertentu akan bertambah jika dikaitkan dengan Selain keberagaman berdasarkan faktor-faktor
susunan masyarakat adat yang beragam pula. pembentukannya, keberagaman dapat pula muncul
Ilustrasi dari Minangkabau di atas hanya satu saja sebagai akibat dari perbedaan tentang apa yang
dari banyaknya variasi yang ada. Dalam pustaka disebut Koentjaraningrat (1970) sebagai ‘tipe-tipe
terkait dengan kajian-kajian tentang hukum adat, sosial budaya’. Dalam konteks ini kita akan mene-
persekutuan-persekutuan masyarakat hukum adat mukan komunitas-komunitas yang hidup dalam
itu dapat terbentuk oleh faktor genealogi (hu- sistem berburu dan meramu hingga masyarakat
bungan kekerabat, hubungan keturunan, hubungan perdesaan dengan irigasi teknis yang modern.
darah), faktor kesamaan tempat (tinggal), atau Maka, dalam memahami suatu sistem tenurial
gabungan dari keduanya (Soekanto & B. Taneko, sebagai suatu sistem yang kompleks itu misalnya,
1983). kita perlu pula awas terhadap ‘tipe-tipe sosial-
Variasi karakter masyarakat hukum adat ber- budaya’ yang menjadi setting sosial-budaya di mana
dasarkan dasar-dasar pembentuknya itu tentu juga sistem tenurial yang akan diakui dan dihormati itu
akan berpengaruh langsung pada perlu tidaknya berada.
pengakuan secara hukum dan/atau bentuk instru- Dengan demikian, pola-pola penguasaan
ment hukumnya. Ambilah contoh susunan masya- sumberdaya alam sebagaimana yang terdapat pada
rakat hukum adat yang terbentuk oleh dasar genea- masyarakat Minangkabau misalnya, di mana ulayat
logis sebagaimana yang terjadi pada sistem marga nagari telah menjadi batas-batas f isik sekaligus
pada orang Batak, misalnya. Pertanyaannya, apa- sosial dengan kesatuan ulayat nagari yang lainnya
kah perlu instrument hukum khusus untuk penga- lagi, tentu tidak bisa dibawa untuk memahami
138 Bhumi Vol. 2 No. 2 November 2016

aspek teritorial dari misalnya, masyarakat ‘Orang susunan warga’ di masing-masing wilayah lingkaran
Rimba’ atau yang kerap disebut sebagau Suku Anak hukum adat itu. Van Vollenhoven sendiri menya-
Dalam, yang sebagian besar – untuk tidak menga- dari masih saja terdapat perbedaan-perbedaan di
takan seluruhnya — masih dapat dikategorikan dalam satu wilayah lingkaran hukum adat itu. Oleh
sebagai masyarakat dengan tipe sosial-budaya ber- sebab itu, setiap wilayah lingkaran hukum adat itu
buru dan meramu (Soetomo, 1995; Prasetijo, 2011). terbagi-bagi lagi ke dalam apa yang disebut
Sampai di sini, pengertian konsep ulayat dan/ ‘kukuban-kukuban hukum’ atau rechtsgouwen (van
atau wilayah adat, berikut pilihan kebijakan dalam Dijk, 1982).
politik pengakuan dan perlindungannya, perlu Menurut Safitri dan Uliyah (2014), hukum adat
mendapatkan bahasan yang lebih lanjut. yang terbagi ke dalam 19 lingkaran wilayah hukum
adat itu diampu oleh komunitas yang disebut pula
E. Tentang konsep (hak) ulayat dan oleh van Vollenhoven sebagai rechtsgemeens-
wilayah adat happen, yang kemudian diterjemahkan para
Pertama dapat dikatakan bahwa ulayat, yang muridnya sebagai masyarakat hukum adat. Masa-
dalam perbincang awam maupun akademik, lahnya, masih menurut Saf itri dan Uliyah, van
seringkali pula dipertukarkan secara serampangan Vollenhoven sendiri tidak menerangkan lebih jauh
dengan konsep tanah ulayat dan hak ulayat di satu tentang apa yang dimaksudkan dengan rechtsge-
sisi atau tanah adat atau hak adat di sisi lain, seja- meenshappen itu, namun dengan tegas mengatakan
tinya adalah saudara kembar yang selalu muncul bahwa pemerintah kolonial Belanda wajib
ketika memperbincangkan apa yang disebut mengakui rechtsgemeenshappen karena ia meref-
sebagai ‘masyarakat hukum adat’ dan/atau ‘masya- leksikan berbagai komunitas adat yang otonom di
rakat adat’. Hindia Belanda. Dalam konteks ini, merujuk pada
Siapa atau apakah masyarakat hukum adat dan/ J.F Holleman (1981), Saf itri dan Uliyah menga-
atau masyarakat adat itu? Untuk menjawab per- takan, meski van Vollenhoven tidak menjelaskan
tanyaan tersebut mau tidak mau kita harus berpa- dengan rinci dan membuat def inisi yang ketat
ling kepada hasil kajian van Vollenhoven yang tentang rechtgemeeschappen, dari penggunaan yang
mengatakan bahwa wilayah yang sekarang menjadi konsisten, istilah itu jelas merujuk pada sebuah
wilayah Republik Indonesia ini terbagi ke dalam unit sosial yang terorganisir dari masyarakat pribu-
19 wilayah lingkaran adat (rechtsringen).12 Menurut mi yang mempunyai pengaturan yang khusus dan
van Dijk (1982) konsep wilayah lingkaran hukum otonom terhadap kehidupan masyarakatnya
adat ini dikembangkan van Vollenhoven dalam karena ada dua factor: (1) adanya representasi otori-
rangka memahami perbedaan tatanan hukum ada tas lokal (kepemimpinan adat) yang khusus; dan
di berbagai daerah di Indonesia itu. Menurut (2) adanya properti komunal, utamanya tanah,
konsep ini, pembeda utama dan sekaligus penanda yang memungkinkan komunitas tersebut menja-
ciri kesamaan dari berbagai tatanan hukum adat lankan pengaturannya. Pada suatu kesempatan van
itu, jika dapat dikatakan demikian, terletak pada Vollenhoven pernah mengemukakan bahwa “…
kesamaan dan/atau perbedaan dari dalam tata Pertama, diuraikan bentuk susunan persekutuan-
susunan masyarakat yang berisikan persekutuan- persekutuan hukum di lapangan rakyat, yaitu
persekutuan warga (dari persekutuan-persekutuan organisasi desa, nagari, huta, kuria, marga, dan
hukum) dimaksud. Menurut van Vollenhoven, jika sebagainya, …” (Soepomo, 1993: 23).
bisa disimpulkan, pengelompokan ke dalam 19 Dengan demikian, dengan definisi yang demi-
wilayah hukum adat itu terbangun atas dasar ‘tata kian itu, suatu yang jelas adalah bahwa apa yang
Yando Zakariya: Strategi Pengakuan dan Perlindungan Hak-hak Masyarakat ...: 133-150 139
dimaksud dengan rechtsgemeenshappen BUKAN yat’ itu ada kalanya memang terkandung penger-
merujuk pada 19 wilayah lingkaran hukum adat tian bahwa wilayah tertentu itu adalah wilayah yang
itu sendiri, karena kesembilanbelas wilayah hukum ‘dimiliki/dikuasai secara bersama-sama’ oleh
adat itu tidak memiliki kedua unsur dimaksud. seluruh warga persekutuan hidup setempat yang
Karenanya pula, wilayah adat yang tidak disertai bersangkutan. Meski begitu, bukan berarti tidak
oleh suatu sistem pengaturan yang memiliki otori- ada bagian wilayah yang hanya ‘dimiliki/dikuasai’
tas di wilayah adat itu sulit dijadikan obyek penga- oleh individu atau keluarga tertentu, sejauh bagian
kuan hak-hak masyarakat hukum adat. Namun wilayah ini masih ‘digarap’ oleh individu atau kelu-
demikian, untuk kasus-kasus tertentu, demi arga yang bersangkutan. Dengan demikian dapat
kelangsungan kehidupan komunitas-komunitas pula dikatakan bahwa (hak) ulayat ada yang ber-
yang bersangkutan, seperti dalam kasus Orang sifat publik dan ada pula yang bersivat privat.
Rimba atau Suku Anak Dalam misalnya, Peme- Dengan kata lain, konsep hak ulayat mengacu
rintah bisa saja mewujudkan keharusan pengakuan pada subjek-subjek hukum yang berhak atas wila-
itu ke dalam tindakan mencadangkan sejumlah yah yang bersangkutan hanyalah subjek-subjek
area yang akan menjadi labenstraum (ruang hidup) hukum yang menjadi warga persekutuan hidup
komuitas-komunitas dimaksud. setempat yang bersangkutan. Subjek hukum yang
Secara kewilayahan, persekutuan hidup setem- tidak menjadi warga persekutuan hidup setempat
pat terkait pada satu wilayah teritorial tertentu. tertentu itu tidak mempunyai hak apapun, kecuali
Hak-hak adat itu hidup dan/atau melekat pada atas izin subjek hukum yang berhak atas wilayah
wilayah teritorial yang menjadi wilayah kedaulatan bersangkutan. Dengan kata lain, esensi dari konsep
persekutuan hidup setempat itu. Kesatuan wilayah hak ulayat adalah kedaulatan persekutuan hidup
teritorial inilah yang disebut sebagai wilayah di setempat atas wilayah yang menjadi wilayah
bawah ‘hak ulayat’ persekutuan hidup setempat ulayatnya itu. Jika dianalogikan, wilayah Republik
itu. Menurut Soesangobeng (2012), filosofi dasar Indonesia adalah hak ulayat-nya Bangsa Indone-
lahirnya ‘hak ulayat’ yaitu pada tanah warisan lelu- sia. Di wilayah ulayat bangsa Indonesia ini ada
hur pembuka hutan asal, yang dalam konteks wilayah-wilayah yang dikuasai Negara (dalam hal
masyarakat Minangkabau yang dijadikan harta ini dalam pengertian pemerintah), perorangan,
tinggi (harato tinggi atau pusako tinggi), untuk perusahaan, atas dasar berbagai alas hak lain yang
selamanya tanpa batas waktu, diwariskan kepada ada. Seperti hak milik, hak pakai, hak guna
segenap anngota keluarga keturunan pemilik tanah bangunan, dan lain sebagainya. Subjek hukum yang
asal (anak-kamanakan) dari garis keturunan ibu asal berasal dari (warga negara) Amerika Serikat misal-
(bundo kanduang). Dalam kasus orang Minang- nya, tidak mempunyai hak apapun di Negeri
kabau misalnya, ulayat itu terkait pada polity unit Indonesia ini. Kecuali atas seizin (pemerintah) In-
(unit politik) yang disebut nagari (von Benda- donesia. Ini dapat terjadi karena hanya Republik
Beckmann, 2013). Indonesia-lah yang berdaulat di wilayah Nusantara
Oleh sebab itu, konsep ulayat ini dekat penger- ini. Hal yang sebaliknya juga terjadi. Wilayah yang
tiannya dengan kedaulatan ketimbang sekedar hak. menjadi wilayah negara Amerika Serikat adalah
Selama ini ada kekeliruan penafsiran hak ulayat. hak ulayat-nya Bangsa Amerika. Jadi pengaturan
Dewasa ini secara umum hak ulayat lebih banyak atau pengakuan atas hak-hak adat itu tidak hanya
ditafsirkan – atau dilihat — sebagai ‘hak peman- menyangkut keberadaan ‘tanah ulayat’ (dalam
faatan bersama’. Konsepsi ini sebenarnya tidak pengertian hak pemanfaatan bersama), sebagai-
terlalu salah benar. Sebab, dalam konsep ‘hak ula- mana yang sering terjadi dalam peraturan-perun-
140 Bhumi Vol. 2 No. 2 November 2016

dangan yang ada sekarang ini. Pengakuan hak adat pula hampir di dalam setiap bahan bacaan menge-
(seharusnya) juga mengacu pada hak-hak peman- nai hukum adat yang berisikan suatu pandangan
faatan yang bersifat pribadi. menyeluruh mengenai hukum adat, penjelasan
Dalam pada itu, sebagaimana diketahui, dalam perihal masyarakat hukum adat hampir pasti ada
perjuangan pembelaan hak-hak masyarakat adat (Soekanto dan Taneko, 1983: 106 – 107).
itu, titik masuk yang sering digunakan adalah upaya Maka, sejak awal, seperti yang dikemukakan
pengembalian hak-hak masyarakat adat yang Soepomo, van Vollenhoven telah merumuskan
bersangkutan. Hak adat sendiri dapat dikatakan bahwa untuk mengetahui/melukiskan suatu
merupakan hak-hak sebagaimana yang diatur oleh hukum adat, pertama-tama yang harus dilakukan
adat dan hukum adat yang bersangkutan, dalam adalah dengan menemukan persekutuan-perse-
kaitannya dengan kehadiran persekutuan politik kutuan hukumnya. Dalam konteks ini van Vollen-
yang disebut ‘negara’. Dalam Peraturan Menteri hoven mengemukakan “… Pertama, diuraikan
Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor bentuk susunan persekutun-persekutuan hukum di
5 Tahun 1999 hak ulayat atau yang serupa itu lapangan rakyat, yaitu organisasi desa, nagari, huta,
dirumuskan sebagai “ … kewenangan yang menurut kuria, marga, dan sebagainya, …”. Ter Haar juga
hukum adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat memiliki pandangan yang sama. Persekutuan
tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan hukum ini disebutnya sebagai ‘dasar-dasar susunan
lingkungan para warganya untuk mengambil man- rakyat’ (volks-ordening) (Soepomo, 1983: 23).
faat dari sumber daya alam, termasuk tanah, dalam Jika memang begitu, pertanyaan yang muncul
wilayah tersebut, bagi kelangsungan hidup dan kemudian adalah, bagaimana caranya agar peng-
kehidupannya, yang timbul dari hubungan secara gunaan konsep wilayah adat13 dalam konteks penga-
lahiriah dan batiniah turun temurun dan tidak kuan hak-hak masyarakat adat dalam situasi
terputus antara masyarakat hukum adat tersebut susunan masyarakat hukum adat yang beragam
dengan wilayah yang bersangkutan” (Pasal 1 ayat 1). ini tidak menimbulkan ketidakadilan baru bagi
Dikatakan pula bahwa hak adalah suatu unsur kelompok-kelompok tertentu? Boleh jadi, dalam
yang bersifat normatif. Unsur normatif ini harus konteks sebagaimana yang terjadi di masyarakat
dikaitkan pada subjek (pribadi, bisa tunggal atau Minangkabau saat ini, pengakuan atas apa yang
jamak) hukum tertentu. Artinya, unsur normatif disebut sebagai wilayah adat – suatu wilayah yang
itu harus dikaitkan dengan basis materil-nya. komunitas-komunitas di dalamnya menunjukkan
Seperti yang dikemukakan Soepomo (1977: 49), ciri-ciri kebudayaan yang sama—mungkin
dengan mengutip apa yang dikemukakan van memang sudah tidak relevan lagi. Sebab, di wilayah
Vollenhoven pada pidato tanggal 2 Oktober 1901, adat Minangkabau itu telah terbagi-bagi ke dalam
bahwa “…untuk mengetahui hukum, maka adalah sejumlah bagian wilayah yang lebih kecil dan
terutama perlu diselidiki buat waktu apabila pun ‘dikelola’ melalui sejumlah satuan ‘hak ulayat’ yang
dan di daerah mana juga pun, sifat dan susunan melekat pada berbagai subyek hak yang ada. Mulai
badan-badan persekutuan hukum, di mana orang- dari subyek hak yang bersifat individual maupun
orang yang dikuasai oleh hukum itu, hidup sehari- kelompok, yang dimulai dari ‘satuan kelompok
hari”. Lebih lanjut Soepomo berpendapat bahwa terkecil’ yang disebut kaum atau buah gadang,
penjelasan mengenai badan-badan persekutuan hingga pada kelompok-kelompok yang lebih besar
tersebut hendaknya tidak dilakukan secara seperti suku, buek, dan nagari itu. Persekutuan-
dogmatis, akan tetapi atas dasar kehidupan nyata persekutuan hukum inilah yang menjadi basis
dari masyarakat yang bersangkutan. Karena itu materi dari hak-hak adat ini. Jadi, basis materiel
Yando Zakariya: Strategi Pengakuan dan Perlindungan Hak-hak Masyarakat ...: 133-150 141
hak-hak adat adalah berbagai bentuk persekutuan di mana komunitas-komunitas berburu dan
sosial itu, termasuk ‘persekutuan hidup setempat’. meramu itu hidup berada di tangan pemerintah,
Jadi bukan pada satu kategori-kategori kebuda- yang terwujud pada penetepan ‘wilayah khusus’,
yaan, sub-kebudayaan, atau etnisitas, sebagaimana yang boleh jadi tidak akan dijadikan wilayah
yang banyak disalahtafsirkan selama ini. Dengan pembangunan dalam pengertian eksploitasi
catatan, jika persoalan-persoalan yang berkaitan sumberdaya alam. Akan sangat tidak adil jika kesa-
dengan pengakuan hak-hak adat ini tidak segera tuan-kesatuan sosial dari komunitas masyarakat
mendapatkan perhatian yang dibutuhkan, bukan hukum adat yang hidup secara berburu dan mera-
tidak mungkin dapat menimbulkan sentiment mu itu, agar wilayah adatnya diakui negara, mereka
etno-nasionalisme yang baru. Dan wilayah adat dari harus ditetapkan dulu ke dalam sebuah kebiajakan
kelompok etnik yang bersangkutan akan diklaim daerah, yang inisiatifnya harus datang dari ko-
sebagai ‘wilayah kedaulatan’ dari etno-nasionalisme munitas-komunitas berburu dan meramu itu sen-
yang bersangkutan, sebagaimana yang sudah dan diri.
akan muncul dalam kasus-kasus etno-nasianalisme Situasi yang relatif sama juga di jumpai dalam
di Maluku, Aceh, Papua, dan juga pernah terdengar banyak komunitas masyarakat adat di Papua.
dari Riau dan Kalimantan (Timur) (Bandingkan Seperti ditulis Ruwiastuti (2000), berdasarkan
dengan Hardiman, 2002) kajiannya yang luas tentang sistem tenurial pada
Namun, hal yang sebaliknya juga terjadi dalam berbagai komuntas masyarakat adat di Papua,
konteks masyarakat yang masih hidup dalam sis- kelompok-kelompok tersebut tidak harus menge-
tem berburu dan meramu. Dalam konteks masya- nal kepemimpinan yang terstruktur, tidak harus
rakat berburu dan meramu konsep ulayat, baik diketuai oleh ‘kepala adat’ yang berkonotasi
dalam dalam pengertian wilayah kedaulatan pimpinan politik dan tidak harus mengenal konsep
ataupun hak bersama, sebagaimana yang terjadi ‘pemerinatah adat’. Karena itu pula dapat dipahami
dalam konteks Orang Rimba misalnya, boleh jadi bahwa proses-proses peralihan hak yang dilakukan
tidak relevan pula. Sebab, sebagaimana telah oleh banyak proyek pembangunan melalui meka-
dijelaskan di atas, konsep ulayat sebagai wilayah nisme perundingan dan kesepakatan dengan
kedaulatan berhubungan langsung dengan suatu ‘dewan adat’, dan/atau ‘majelis adat’ dan ‘lembaga
sistem pengaturan hidup bersama yang diurus oleh adat’ yang sejatinya diperkenalkan/dibangun oleh
suatu unit politik tertentu belum dikenal mereka. Pemerintah, yang keberadaannnya bertingkat dari
Demikian pula dengan konsep ulayat sebagai tingkat desa hingga Provinsi, dan bahkan
konsep hak komunal yang melekat pada subyek- Nasional,14 tidak lestari dan malah menimbulkan
subyek hak yang ada di dalam unit-unit politik sengketa di belakangan hari. Hal ini terjadi karena
dimaksud. Untuk itu, ‘konsep penguasaan lahan’ dalam banyak konteks komunitas adat, seperti yang
yang relevan bagi komunitas-komunitas yang hidup terdapat di Papua ini, soal penguasaan tanah ini
dengan berburu dan meramu ini adalah apa yang tidak ada urusannya dengan ‘dewan/lembaga/
disebut sebagai labenstraum (wilayah kehidupan) majelis adat’ dimaksud. Melainkan merupakan
itu. Dengan begitu pengakuan atas wilayah komu- urusan langsung seluruh warga klan yang bersang-
nitas-komunitas berburu dan meramu ini adalah kutan (Ruwiastuti, 2000; dan Zakaria, Kleden,
pengakuan atas labenstraum-nya itu. Maka, dalam Franky, 2010).
konteks ini, berbeda dengan pengakuan atas wila- Satu hal lain yang perlu dicatat dalam kesem-
yah adat komunitas-komunitas masyarakat hukum patan ini adalah, sebagaimana yang juga telah
adat yang lain, inisiatif pengakuan atas wilayah adat disinggung tadi, munculnya konsep (persekutuan)
142 Bhumi Vol. 2 No. 2 November 2016

masyarakat hukum adat berikut hak ulayat seba- dari masing-masing subyek yang berbeda itu tidak
gaimana yang dikemukakan oleh van Vollenhoven, bisa pula diperlakukan sama. Artinya, berbeda
menurut Keebeet von Benda-Beckmann (komuni- dengan kecenderungan peraturan perundangan-
kasi pribadi. Amsterdam, 16 November 2015), undangan yang kini ada, sebagaimana akan dibahas
muncul dalam konteks upaya mencari sistem yang panjang-lebar dalam bagian-bagian berikut,
dapat menjembatani keberadaan otoritas negara pengakuan atas hak nagari untuk menyeleng-
(Pemerintahan Kolonial Belanda) di satu sisi dan garakan pemerintahan dan pembangunan (hak
keberadaan otoritas apa yang kemudian disebut publik) tentulah perlu diatur berbeda dengan
sebagai masyarakat hukum adat itu sendiri di sisi pengakuan atas tanah ulayat nagari (hak perdata).
lain. Terkandung maksud di dalam konsep itu Demikian pula, pengakuan atas tanah ulayat nagari
bahwa negara kolonial harus mengakui otoritas- tidak bisa diperlakukan sama dengan pengakuan
otoritas ‘negara kecil’ itu, termasuk hak-hak atas hak ulayat suku atau kaum.
properti yang menjadi sumber kehidupan komu- Lebih dari itu, pengakuan atas hak ulayat suatu
nitas yang dimaksud. Oleh sebab itu, hak ulayat suku atau hak ulayat kaum tidaklah perlu mensya-
dalam pengertian hak publik dari suatu unit sosial ratkan keberadaan nagari karena ketiga entitas
yang memiliki otoritas ke dalam dan ke luar komu- sosial itu memang mewujudkan susunan masya-
nitas yang bersangkutan, seperti nagari atau nama rakat hukum adat yang berbeda satu sama lainnya.
lain di daerah Indonesia lainnya, yang disebut von Menurut Keebet von Benda-Beckmann (komunikasi
Benda-Beckmann (2013) sebagai polity, menjadi pribadi. Amsterdam, 16 November 2015), meskipun
menonjol dalam konsep masyarakat hukum adat keberadaan banyak polity dalam banyak kasus
yang dikemukakan van Vollenhoven dan para kelompok etnik di Indonesia sudah tidak ada,
muridnya. Namun, demikian pandangan Keebet hubungan-hubungan sosial yang berkaitan dengan
von Benda-Beckmann, hal itu bukan berarti bahwa penguasaan atas properti tetap ada. Apakah itu
konsep masyarakat hukum adat itu menaf ikan berdasarkan hubungan-hubungan kekerabatan
adanya otoritas (adat) yang lain di dalam entitas atau atas dasar kesatuan tempat tinggal semata.
polity dimaksud, sebagaimana halnya hak ulayat Dengan kata lain, pengakuan atas hak-hak masya-
suku atau kaum dalam ulayat nagari di Minang- rakat adat yang tidak bersifat publik, seperti penga-
kabau, bahkan juga hak-hak pribadi warga polity kuan hak atas tanah (adat) yang masih mensya-
di maksud (F. von Benda-Beckmann, 1979; Keebet rakatkan pemenuhan sejumlah unsur masyarakat
von Benda-Beckmann, 1984). hukum adat secara akumulatif, yang sejatinya
Sampai di sini dapat dikatakan bahwa konsep merujuk masyarakat hukum adat sebagai suatu
(kesatuan) masyarakat hukum adat itu tidaklah polity, sebenarnya tidaklah relevan dan akan
menunjukkan wajah yang tunggal, sebagaimana menimbulkan ketidakadilan baru.
yang dikesankan selama ini, melainkan jamak.
Seringkali keberadaan suatu entitas ditentukan oleh F. Strategi pengakuan (hukum) ke depan
keberadaan entitas lainnya. Namun, seiring dengan Dalam konteks mewujudkan pengakuan hak-
perjalanan waktu, seringkali pula tidak harus liner hak masyarakat (hukum) adat, arah legislasi
begitu. Untuk kasus orang Minangkabau misalnya, (daerah) yang banyak didorong dan diupayakan
kaum, suku, atau nagari, adalah susunan-susunan oleh berbagai organisasi masyarakat sipil, seperti
masyarakat adat yang memenuhi kedua kriteria AMAN (Zakaria & Simarmata, 2015),15 HuMA,16 dan
dasar yang dikemukakan van Vollenhoven di atas. Epistema misalnya, 17 dapat dikatakan lebih
Itu berarti bahwa pengakuan atas hak-hak adat cenderung pada upaya pengakuan dan perlin-
Yando Zakariya: Strategi Pengakuan dan Perlindungan Hak-hak Masyarakat ...: 133-150 143
dungan keberadaan suatu ‘masyarakat adat’ atau Daerah Kabupaten Kampar Nomor 12 Tahun 1999
pengakuan dan perlindungan suatu ‘wilayah adat’ tentang Tanah Ulayat; Peraturan Daerah Kabupa-
sebagaimana yang dimungkinkan oleh empat ten Nunukan Nomor 4 Tahun 2004 tentang Hak
peraturan perundang-undangan non-UU Desa 2014. Ulayat Masyarakat Hukum Adat Lundayeh; dan
Uniknya, seolah sesuai dengan ramalan Vel & Peraturan Daerah Kabupaten Bungo Nomor 3
Bedner (2015: 26 – 27), upaya untuk mewujudkan Tahun 2006 tentang Masyarakat Hukum Adat
desa adat sebagaimana yang diatur dalam UU 6 Datuk Sinaro Putih. Diabaikannya pandangan
Tahun 2014 tentang Desa relatif sangat kecil untuk masyarakat yang menolak kehadiran Pembangkit
tidak mengatakannya tidak ada sama sekali Listrik Tenaga Air di Seko (http://gaung.aman.or.id/
(Zakaria & Simarmata, 2015). Padahal, pada suatu 2016/04/22/plta-seko-untuk-siapa/) menunjukkan
kesempatan AMAN menilai bahwa UU Desa bahwa Surat Keputusan Bupati Luwu Utara Nomor
menyediakan satu dari tiga model peluang penga- 3 Tahun 2004 tentang Pengakuan Masyarakat Adat
kuan masyarakat adat. Advokasi pengakuan Seko menjadi tidak berarti sama sekali. Oleh sebab
masyarakat adat lewat UU Desa sangat cocok itu, kita pun bisa bertanya–dan untuk sementara
digunakan bagi komunitas-komuntas adat yang menjawabnya secara asumtif—logika hukum
institusi pemerintahannya sudah melebur ke dalam macam apa yang sebenarnya yang relevan untuk
desa administratif (Zakaria & Simarmata, 2015: 20). proses pengakuan hak-hak masyarakat adat yang
Dalam kesempatan lain AMAN menilai bahwa UU sejatinya amat beragam itu?
Desa baru memberikan pengakuan atas hak-hak Merujuk pada penjelasan di atas jelaslah bahwa
masyarakat adat secara minimalis (AMAN, 2015). model pengakuan dengan instrument yang
Meski begitu, berbeda dengan argumentasi beragam menjadi suatu keniscayaan.18 Pilihan yang
yang disampikan Vel & Bedner, Zakaria & Simar- demikian ini tentu juga mengandung resiko yang
mata 92015: 29) menjelaskan bahwa setidaknya ada cukup besar. Utamanya adalah bagaimana men-
3 (tiga) kelompok kendala yang menyebabkan jamin agar masing-masing kebijakan itu tidak saling
mengapa inisitif untuk mendirikan desa adat itu bertentangan satu sama lainnya. Meski pilihan ini
tidak dinamis. Masing-masing adalah (1) menyang- relatif mudah tergelincir, tetap saja pilihan ini jauh
kut ada-tidaknya kebijakan turunan dan konsistensi lebih mudah secara teknis dan lebih dekat dengan
kebijakan turunan yang dibutuhkan; (2) political realitas sosio-antropologis di tingkat lapangan.
will baik Pusat maupun Pemerintah di tingkat Batapapun, pengakuan suatu jenis hak masyarakat
Daerah; dan (3) terkait dengan ada-tidaknya kapa- (hukum) adat dapat saja membutuhkan logika
sitas Pemerintah, terutama di tingkat Daerah dan hukum yang berbeda pula. Meski tidak tertutup
komunitas yang bersangkutan. kemunginan bagi suatu model pengakuan yang
Apakah pilihan hukum yang banyak ditempuh bersifat menyeluruh. Kalaupun ada pengakuan
oleh organisasi masyarakat sipil saat ini merupakan yang menyeluruh, itu pun hanya akan tetap bersifat
pilihan yang strategis sekaligus efektif? Tentu terlalu deklaratif saja, sehingga tetap diperlukan perangkat
awal untuk menjawabnya secara empirik karena peraturan perundang-undangan turunan yang
berbagai inisitif itu baru saja berjalan. Namun membuatnya bisa operatif. Sebab, perkembangan
pengalaman tentang tidak efektifnya beberapa pranata sosial dan budaya pada masing-masing
kebijakan sejenis yang pernah ada sebelum ini komunitas masyarakat adat saat ini sudah demikian
patut dipelajari lebih jauh. Misalnya, perubahan kompleks. Saat ini lebih banyak masyarakat adat
apa yang telah dibawa semenjak diberlakukannya, yang sudah terspesialisasi sedemikian rupa ketim-
sekedar menyebut beberapa contoh saja, Peraturan bangan yang masih bersifat authochton. Kenyataan
144 Bhumi Vol. 2 No. 2 November 2016

yang demikian itu bermuara pada realitas sosial di masyarakat hukum adat yang lebih bersifat privat
mana masing-masing jenis hak masyarakat adat dan/atau yang bersifat keperdataan, baik komunal
merujuk pada subyek hukum yang berbeda-beda ataupun perorangan, seperti tanah dan hutan adat
pula, dan tidak lagi terpusat pada satu pusat ke- misalnya, cukup langsung melalui proses pengad-
kuasaan tertentu saja. Hampir tidak mungkin minitrasian yang dilakukan oleh instansi teknis
sebuah undang-undang mampu menampung terkait saja. Untuk pengakuan atas hak tanah ini
pengaturan teknis atas pengakuan hak masyarakat tidak perlu didahului dengan tindakan penetapan
adat atas hak-hak sosial, ekonomi, politik, dan subyek hukumnya, sebagaimana yang terjadi
budayanya secara sekaligus. dalam logika hukum yang dianut dalam Putusan
Untuk pengaturan pengakuan atas hak tanah MK 35/2012 dan juga UU 41/1999, baik melalui
adat saja mungkin diperlukan sebuah undang- sebuah peraturan daerah maupun Surat Keputusan
undang organis yang khusus, yang bisa saja menjadi Bupati sebagaimana yang dimaksudkan oleh
bagian dari undang-undang pertanahan Nasional. Permendagri 52/2014. Pendekatan per persil tanah
Dalam konteks ini, UU Nomor 6 Tahun 2014 ulayat yang diatur dalam Permenag Nomor 5 Tahun
tentang Desa dapat pula diposisikan sebagai in- 1999 cq. Permen ATR 9 Tahun 2015 mungkin jauh
strument hukum untuk mengatur pengakuan hak- lebih realistis untuk diterapkan, sejauh persyaratan
hak masyarakat adat di bidang politik, hukum, keberadaan masyarakat hukum adat yang diatur
pemerintahan, dan penyelenggaraan pem- oleh Pasal 2 ayat (2) Permenag Nomor 5 Tahun
bangunan di tingkat komunitas. Di samping, tentu 1999, yang kemudian menjadi Pasal 3 dalam
saja, dapat sebagai instrument untuk mengukuhkan Permen ATR Tahun 2015, dapat diubah/disesuaikan
keberadaan masyarakat hukum adat sebagaimana menurut kondisi riil masyarakat hukum adat itu
yang disyaratkan oleh beberapa kebijakan yang saat ini. Dalam proses verif ikasi administrasi yang
ada. dilakukan untuk pengakuan hak sebagaimana
Terkait mekanisme dan instrument hukum yang diatur oleh Permen ATR 9/2015 keberadaan suatu
digunakan, saya berpendapat bahwa jika hak yang masyarakat adat-nya seharusnya dengan penerapan
diakui itu mengandung kewenangan-kewenangan kriteria yang bersifat fakultatif (terpenuhi untuk
yang bersifat publik, seperti hak untuk melaksa- sebagaiannya saja).19
nakan pemerintahan, pengadilan, dan juga kewe- Dengan demikian jalur pengakuan sebagai di-
nangan atas properti yang bersifat publik, maka tempuh sebagaimana yang diatur melalui Permen-
mekanisme pengakuannya haruslah melalui dagri 52/2014 dan pengakuan wilayah adat melalui
penetapan kebijakan seperti peraturan daerah. Hal berbagai bentuk produk hukum daerah adalah
ini diperlukan karena pengakuan itu akan bermu- sesuatu yang perlu dipikirkan lebih dalam lagi
ara pada hak untuk menyelenggarakan kewe- untuk tidak mengatakannya sesuatu yang tidak
nangan-kewenangan yang bersifat publik dan juga disarankan. Alasannya adalah, terkait dengan
akan menggunakan sumberdaya Negara. Hal inilah instrumen hukum yang tersedia di tingkat nasional,
yang ditempuh oleh UU Desa. Pilihan hukum yang jika dikaitkan dengan UU Desa yang baru misalnya,
demikian ini jauh lebih moderat ketimbang yang pengakuan atas MHA yang berdasarkan Permen-
diusulkan oleh Assiddiqi (2010) yang berpandangan dagri 52/2014 tidak serta merta bisa mengubah
bahwa keberadaan suatu masyarakat hukum adat desa (dinas) yang ada dalam kehidupan MHA yang
itu harus melalui undang-undang, sebagaimana bersangkutan sat ini menjadi desa adat menurut
juga disebut dalam Putusan MK 35/2012. versi UU Desa yang baru. Syarat dan proses legislasi
Namun, jika itu menyangkut pengakuan hak kedua kebijakan ini berbeda sama sekali. Satu hal
Yando Zakariya: Strategi Pengakuan dan Perlindungan Hak-hak Masyarakat ...: 133-150 145
yang terpenting adalah perlunya musyawarah desa G. Penutup: Langkah-langkah antara yang
untuk kembali ke desa adat itu sendiri. Oleh sebab bisa di tempuh
itu, inisiatif penetapan kampung adat di Kabupaten Langkah-langkah strategis yang diusulkan
Jayapura, Papua yang telah menyita waktu, tenaga, dipilah ke dalam dua kategori tindakan. Pada
dan dana, bisa saja juga akan menjadi sia-sia seba- kelompok tindakan stretegis pertama, setidaknya
gaimana yang terjadi pada kasus pengakuan masya- ada 3 jalan yang dapat ditempuh agar bisa tersusun
rakat Seko yang sudah disinggung di atas.20 kebijakan pengakuan hak-hak masyarakat adat
Sementara itu, terkait dengan pengakuan wila- yang lebih operasional ke depan. Pertama, (kem-
yah adat, produk hukum yang berlandaskan pada bali) melakukan uji material atas keberadaan Pasal
Permendagri 52/2014 juga rawan digugat oleh pihak 67 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999. Tentu
yang dirugikan. Katakanlah kepentingan dunia dengan argument yang lain sama sekali dari yang
usaha. Jika tanah dimaksud berada di luar kawasan pernah digunakan AMAN dalam proses JR
hutan pengusaha ini bisa mengatakan bahwa terdahulu. Merujuk pada uraian di atas, salah satu
kebijakan itu tidak sesuai dengan apa yang diatur argument yang dapat dikemukakan adalah logika
dalam Permen ATR 9/2015. Sementara jika itu pegakuan yang perlu didahului dengan penetapan
menyangkut tanah yang berada di kawasan hutan, subyek hukum (atas hutan adat) dalam bentuk
pengakuan yang sudah diperoleh itu bertentangan, Peraturan Daerah adalah tidak relevan secara
atau sekurang-kurangnya belum sesuai dengan apa sosio-antropologis. Jika logika ini digunakan maka
yang diatur oleh Peraturan Bersama yang dikelu- hasrat pengakuan dengan sendirinya akan tergu-
arkan oleh empat kemeterian terkait.21 gurkan oleh realitas sosio-antropologis yang sesung-
Secara proses, jika upaya pengakuan wilayah guhnya ada di tingkat lapangan.
masyarakat adat itu dicapai melalui Peraturan Jalur kedua, memasukkan pengaturan tentang
Daerah, tentu upaya yang harus dilakukan tidaklah hak atas hutan adat dan hak adat atas tanah pada
ringan. Maka, jika ada kebijakan yang dapat meme- umumnya ke dalam materi yang akan diatur dalam
nuhi kebutuhan ‘sekedar’ untuk menguasai tanah (Rencana) Undang-Undang Pertanahan yang tengah
adat kembali, baik perorang ataupun komunal, berproses. Jalur ketiga, menyusun Peraturan
mengapa pula harus menempuh cara yang lebih Pemerintah tentang Hutan Adat sebagaimana yang
rumit? diamanatkan oleh Pasal 67 Undang-Undang Nomor
Secara sosiologis, pengakuan wilayah adat juga 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan itu sendiri,
belum tentu efektif dalam arti dapat berjalan di dengan terlebih dahulu menyesuaikan kriteria yang
tingkat lapangan. Pengakuan semacam ini memer- disebutkan dengan prasyarat-prasyarat yang
lukan MHA yang solid, yang disebut Prof. Soetan- disebutkan dalam Putusan MK 35 Tahun 2012.22
dyo Wignjosoebroto (alm.) sebagai masyarakat Terkait dengan tindakan strategis kategori
yang outochton itu, sebagaimana yang masih terjadi kedua, sebagaimana telah ditunjukkan, berdasar-
dalam kehidupan Orang Baduy dan Orang Kajang kan berbagai kebijakan di tingkat nasional yang
misalnya. Dalam konteks Indonesia, masyarakat- sudah ada, pengakuan beberapa hak masyarakat
masyarakat yang masih mengenal kewenangan yang spesifik juga sudah mungkin untuk diwujud-
yang terpusat dan utuh ini biasa disebut dengan kan di tingkat lapangan. Bahkan, sebuah pengakuan
Komunitas Adat Terpencil, atau dalam kajian yang nyaris paripurna, karena mengandung penga-
sosiologi-antropologi dikategorikan sebagai tribal kuan yang memungkinkan masyarakat hukum
society, yang saat ini diperkirakan tersisa sekitar adat yang bersangkutan memiliki kewenangan
1.2 juta jiwa atau sekitar 200 komunitas saja. untuk mengatur dan mengurus pemerintahan dan
146 Bhumi Vol. 2 No. 2 November 2016

pembangunan berdasarkan hak asal-usulnya, pun akan diakui di kabupaten/kota yang bersangkutan.
telah tersedia. Hal itu dapat dilakukan melalui Hal ini juga diperlukan untuk mendamaikan
penetapan suatu masyarakat hukum adat sebagai logika-logika hukum pada berbagai kebijakan di
desa adat menurut versi UU Desa Tahun 2014. tingkat nasional yang tidak selamanya sama itu.
Namun, sebagaimana telah ditunjukkan Zakaria Artinya, kebijakan di tingkat daerah itu tidak
& Simarmata (2015), mendirikan desa adat itu tentu lagi merupakan peraturan daerah yang hanya
saja tidaklah mudah. Banyak syarat penting dan sekedar berisikan def inisi-def inisi yang bersifat
syarat cukup yang perlu dipenuhi oleh komunitas generik melainkan telah memuat kategori-kategori
masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Tan- dan atau bentuk-bentuk pengelompokan sosial
tangan berat yang harus dihadapi tidak lagi datang yang dapat disebut sebagai wujud lapangan dari
dari luar, melainkan, sebagaimana yang ditunjuk- apa yang disebut sebagai ‘masyarakat hukum adat’
kan oleh Arizona (2015) justru datang dari dalam di daerah itu; bentuk-bentuk penggunaan sum-
masyarakat hukum adat itu sendiri. Lebih dari itu, berdaya alam apa saja yang dapat dikategorikan
sebagaimana diatur dalam Pasal 98 ayat 2 UU Desa sebagai obyek hak masing-masing subyek hak; dan
6/2014, jika mendirikan ‘pemerintahan desa adat’ juga berbagai jenis hak yang dikenal dalam ke-
akan menimbulkan keguncangan baru dalam hidupan sehari-hari komunitas yang bersangkutan.
komunitas yang bersangkutan, penetapan desa adat Dengan peraturan daerah yang bersifat operasional
dapat saja digunakan sebagai sekedar strategi untuk ini maka kegiatan verif ikasi untuk menentukan
memunculkan subyek hukum atas berbagai hak apakah suatu masyarakat hukum adat di daerah
yang terkait pada komuntas tertentu itu. Toh, itu ada atau tidak, tidak lagi diperlukan. Berbagai
sebagaimana yang banyak dilaporkan, banyak instansi teknis, katakanlah Kantor Pertanahan Pro-
komunitas adat tidak mau berurusan dengan hal- vinsi atau Kabupaten, bisa langsung bekerja untuk
hal yang berkaitan dengan pemerintahan dan pem- menolak atau menerima permohonan pengakuan
bangunan. hak atas persil tertentu berdasarkan rincian bentuk-
Terkait dengan pengakuan atas hak-hak masya- bentuk subyek, obyek, dan jenis hak masyarakat
rakat hukum adat yang lebih spesif ik, utamanya adat yang telah ditetapkan dalam peraturan daerah
tanah dan hutan, belajar dari kasus-kasus yang yang bersangkutan. Seperti telah dikatakan, kecuali
pernah ada, sepertinya kebijakan di tingkat daerah untuk hak-hak yang bersifat publik, penetapan
perlu dirancang secara lebih teknis. Kebijakan yang keberadaan suatu masyarakat hukum adat me-
ditujukan untuk memberikan pengakuan dan mang tidak dibutuhkan lagi. ***
penghormatan kepada keberadaan masyarakat
hukum adat dalam berbagai bentuk susunan dan Endnote
1
hak-hak yang melekat kepadanya, tidak lagi bisa Untuk pertama kalinya terpapar ke hadapan publik
ketika digunakan sebagai bahan bacaan untuk “Rapat
hanya berupa kebijakan yang bersifat deklaratif, Koordinasi Lintas Kementerian tentang Penanganan
yang sekedar berisikan rumusan-rumusan hukum Masalah Masyarakat Adat”. Diselenggarakan oleh
yang merupakan pengulangan dari apa yang telah Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pen-
didikan dan Kebudayaan, di Jakarta, tanggal 10 Maret 2016.
disebutkan dalam peraturan perundang-undangan 2
Frasa masyarakat (hukum) adat memang sengaja
yang di rujuk. Dengan kata lain, kebijakan daerah ditulis dengan memberi tanda kurung pada kata hu-
dimaksud sudah harus mempu memuat rincian kum, mengingat adanya persamaan dan perbedaan anta-
siapa dan apa saja yang dapat disebut sebagai subyek ra terma-terma ‘masyarakat adat’, ‘masyarakat hukum
adat’, ‘kesatuan masyarakat hukum adat’, dan juga
dan obyek hak masyarakat hukum adat dalam
’persekutuan masyarakat hukum adat’ (Zakaria, 2012).
tatanan sosial dan budaya yang bersangkutan yang 3
Lihat juga http://kabar24.bisnis.com/read/20150826/
Yando Zakariya: Strategi Pengakuan dan Perlindungan Hak-hak Masyarakat ...: 133-150 147
16/465904/masyarakat-adat-produk-hukum-banyak.- dikemukakan Arizona ini perlu dihitung ulang.
hak-tradisional-belum-terjamin Namun hal itu bukanlah maksud tulisan ini.
4
Seperti Perda Kabupaten Nunukan Nomor 34 tahun 9
Pernyataan Sekretaris Jenderal AMAN pada suatu
2003 tentang Pemberdayaan, Pelestarian, Perlin- seminar dalam rangka menyambut Putusan Mah-
dungan dan Pengembangan Adat Istiadat dan Lembaga kamah Konstitusi Nomor 35 Tahun 2012 (dilihat
Adat dalam wilayah Kabupaten Nunukan, misalnya. http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/
5
Misalnya, Peraturan Daerah Kabupaten Lebak index.php?page=web.Putusan&id=1&kat=1 ) di
Nomor 32 Tahun 2001 tentang Perlindungan Hak pertengahan tahun 2013 lalu.
Ulayat Baduy. Sebenarnya, tanpa perda ini tanah/ 10
Gambaran yang sama juga dapat kita peroleh dalam
ulayat Baduy tidak terancam/tetap dikuasi secara konvensi PBB tentang hak-hak sosial dan politik, serta
efektif. Saat ini Orang Baduy sdh menguasai tanah di konvensi PBB tentang hak-hak ekonomi dan sosial-
luar wilayah adatnya dua kali lipat dari luas ulayatnya budaya.
(5000 ha). Komunikasi pribadi dengan peneliti LIPI 11
Putusan MK 35 Tahun 2012 adalah Putusan MK
yang sedang melakukan penelitian tentang masalah/ terhadap judicial review yang diajukan AMAN dan dua
topik dimaksud (2015). komunitas masyarakat hkum adat. Tidak semua
6
Misalnya, Peraturan Daerah Kabupaten Bungo tuntutan AMAN dikabulkan Mahkamah Konstitusi.
Nomor 2 Tahun 2006 tentang Masyarakat Hukum Tuntutan AMAN yang ditolak, antara lain, tentang
Adat Datuk Sinaro Putih; dan (Rencana) Peraturan pemberlakuan prinsip self to determination (yang
Daerah Propinsi Sulawes Selatan tentang Amatoa dianggap Mahkamah bersifat separatis) dan tentang
Kajang. pengakuan bersayarat yang dianut dalam peraturan
7
Secara teoritik, pada kebijakan untuk kelompok yang perundang-undangan terkait. Bahasan yang relatif
pertama, penguatan lembaga adat, ada di seluruh komprehensif tentang Putusan MK 35 Tahun 2012
kabupaten. Tanpa peraturan daerah tentang kelem- ini lihat Arizona, Herawati, dan Cahyadi (2012). Bahasan
bagaan adat ini pemerintah daerah yang bersangkutan tentang serangkaian pekerjaan rumah agar putusan
tidak bisa melakukan pembinaan kepada lembaga- efektif bagi perbaikan kehiduapan masyarakat adat, dapat
lembaga ada yang memang diwajibkan Peraturan pula dilihat pada 7 (tujuh) tulisan yang termuat dalam
Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005. Penulis mene- WACANA, Jurnal Transformasi Sosial, Nomor. 33
mukan ada 4 perda sejenis di Kutai Barat (lihat Zakaria, Tahun XVI, 2014, dengan tajuk khusus tentang “Masya-
2014). Oleh sebab itu, pada dasarnya perda ini tidak rakat Adat dan Perebutan Penguasaan Hutan”. Yog-
terkait pada advokasi pengakuan dan perlindungan yakarta: Indonesia Society for Social Transformation.
hak-hak masyarakat adat karena menjadi bagian dari 12
Masing-masing adalah: aceh; tanah Gayo, Alas, Batak,
mandat kebijakan terkait ‘pemerintahan desa’ sebelum dan Nias; Minangkabau termasuk Mentawai); Melayu;
dan sesudah reformasi. Kebijakan tentang kelemba- Bangka-Belitung; Kalimantan (Tanah Dayak);
gaan adat ini sudah ada sejak zaman Orde Baru cq. minahasa; Gorontalo; Toraja; Sulawesi Selatan;
UU 5 Tahun 1979. Sebagaimana pernah diatur melalui Kepulauan Ternate; Maluku, Ambon; Irian; Kepulau-
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 3 Tahun an Timor; Bali dan Lombok (beserta Sumbawa Barat);
1997 tentang Pemberdayaan dan Pelestarian serta Jawan tengah dan Timur (beserta Madura); Daerah-
Pengembangan Adat Istiadat, Kebiasaan-Kebiasaan daerah Swapraja Solo dan Yogyakara; dan Jawa Barat.
Masyarakat dan Lembaga Adat Daerah. Kebijakan ini 13
Dalam Ilmu Antropologi konsep wilayah adat ini
efektif meredam dan/atau menaklukan kekuatan adat. adalah terjemahan dari konsep kulturkreis yang mula-
Lebaga-lembaga adat senang karena merasa mulai mula diperkenalkan oleh F. Graebner (1877–1934),
diperhatikan. Namun juga terjadi kerancuan kelem- seorang Sarjana Sejarah dan Ilmu Bahasa yang
bagaan di tingkat komunitas: ada kelembagaan adat menjadi konservator salah satu museum di Jerman,
yang dibentuk pemerintah yang bertingkat dari desa dan dikembangkan lebih lanjut oleh Wilhelm
hingga nasional da nada lebaga-lembaga adat yang asli Schmidt, juga seorang Sarjana Bahasa (1868 – 1954),
seperti KAN (Sumbar) dan Desa Pekraman (Bali). Saat yang pengertian dasarnya adalah suatu ‘wilayah
ini juga terjadi persaingan antara Dewan Adat Papua (budaya) di mana di wilayah itu ditemukan unsur-
(yang terbentuk atas dasat UU Otonomi Khusus unsur kebudayaan yang sama sifatnya; yang dituju-
Papua) dan Lembaga Masyarakat Adat yang berda- kan untuk memahami sejarah perkembagan kebu-
sarkan kebijakan kemendagri yang lama, meski kedua- dayaan-kebudayaan (kulturhistorie) yang bersang-
duanya adalah bentukan (atas dasar kebijakan) negara.
8
kutan’ (Koentjaraningrat, 1982: 112 – 115).
Mengingat kebijakan tentang penguatan lembaga adat 14
Soal adanya dewan adat di tingkat Nasional ini
ada di seluruh kabupaten maka angka 40% yang
misalnya adalah keberadaan Majelis Adat Dayak
148 Bhumi Vol. 2 No. 2 November 2016

Nasional (MADN). Uniknya, keberadaan ‘dewan adat Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999, Undang-
Dayak’ ini, yang bertingkat mulai dari yang tertinggi Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok
di tingkat Pusat, Propinsi (se-Kalimantan) hingga Agraria, dan beberapa Peraturan Pemerintah yang
yang paling rendah di tingkat Desa, diatur oleh berkaitan dengan macam subyek dan jenis hak-hak
Peraturan Daerah Propinsi Kalimantan Tengah yang diakuai dalam berbagai peraturan perundangan
Nomor 16 Tahun 2008 tentang Kelembagaan Adat terkait penguasaan sumber-sumber agraria itu. Dan
Dayak di Kalimantan Tengah. perlu pula untuk diingat, Putusan MK 35 Tahun 2012
15
Lihat “AMAN Desak DPRD Buat Perda Masyarakat mengukuhkan keberadaan Pasal 67 UU 41/1999 yang
Adat” (http://www.kabarmakassar.com/metro/ pada dasarnya memberi kewenangan pada Pemerintah
aman-desak-dprd-buat-perda-masyarakat-adat.html ); untuk mengatur ketentuan pengakuan hak-hak
“DPRD Enrekang Kebut Pembahasan Perda masyarakat adat (antara lain atas hutan) itu.
22
Masyarakat Adat”. (http://jurnalcelebes.org/ Tentu saja, dalam tindakan strategis kelompok pertama
index.php/program-kemitraan/69-dprd-enrekang- ini, sebuah peraturan perundang-undangan yang
kebut-pembahasan-perda-masyarakat-adat ). mengatur soal pengakuan dan penghormatan atas
16
Lihat https://www.facebook.com/ berbagai hak masyarakat adat sebagai suatu payung
photo.php?fbid=10206846012256706& hukum, sebagaimana yang tengah diperjuangkan oleh
set=a.10206846011736693.1073741831.1468584091&type=3 AMAN dalam beberapa tahun belakang ini, perlu
&theater dilanjutkan. Hal ini diperlukan juga untuk mengatur
17
Lihat http://epistema.or.id/diskusi-dan-workshop- pengakuan dan penghormatan atas hak-hak sosial dan
dprd-lebak/ ; dan https://www.facebook.com/ budaya masyarakat adat lainnya.
perkumpulan.huma?fref=ts ; lihat juga http://
www.greeners.co/berita/menanti-perda-tentang-
perlindungan-masyarakat-adat-kasepuhan-lebak/ Daftar Pustaka
18
Bandingkan dengan Simarmata (2006: 302 – 309 dan
Adhuri, Dedi Supriadi, 2013. Selling the Sea, Fish-
353 – 357); dan Arizona (2010: 15 – 66).
19
Peraturan Menteri ATR No. 9/2015 merupakan ing for Power. A Study of conflict over marine
pengganti Permenagraria 5/1999, yakni intrumen tenure in Kei Islands, Eastern Indonesia.
hukum pertama yang memberikan pedoman dalam Canberra: ANU E Press.
pengakuan hak-hak masyarakat hukum ada. Dalam Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), 2011.
hal ini adalah hak atas tanah. Namun kebijakan ini Naskah Akademik untuk Penyusunan Rencana
tidak efektif (Rachman, et.al., 2012). Masalah lain,
Undang-Undang Pengakuan dan Perlindungan
meski prosedur pengakuan yang ada pada Permen
Masyarakat Adat.
ATR 9/2015 tidak jauh berbeda dengan yang diatur
dalam Permenagraria 5/1999, kebijakan baru ini ____, 2015. “Implementasi Pengakuan Masyarakat
seperti menghapus nomenklatur ‘hak ulayat’ dalam (Hukum) Adat di Indonesia’. Bahan yang
wacana hukum pertanahan di Indonesia. Hal ini telah dipresentasikan pada “FGD Pengkajian
memicu problema baru, sebagaimana yang dibahas Hukum tentang Mekansime Pengakuan
oleh Soemardjono (2015). Pertengahan Juni 2016, Masyarakat Hukum Adat’. Diselenggarakan
Permen ATR 9/2015 digantikan oleh Permen ATR
oleh Badan Pengkajian Hukum Nasional,
10/2016, yang lagi-lagi ditanggapi Sumardjono (2016)
sebagai kebijakan yang masih perlu untuk Jakarta, 12 Oktober 2015.
disempurnakan. Andiko, dan Nurul Firmansyah. 2014. Mengenal
20
Lihat http://print.kompas.com/baca/2015/10/10/ Pilihan-Pilihan Hukum Daerah untuk Penga-
Penetapan-36-Daerah-Belum-Sinkron kuan Masyarakat Adat. Jakarta: HuMa.
21
Preseden tentang kemungkinan itu bukannya tidak Arizona, Yance , ed. 2010. Antara Teks dan Konteks.
ada. Pada awal September 2015 lalu diketahui bahwa
Dinamika Pengakuan Hukum Terhadap Hak
Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) telah
Masyarakat Adat Atas Sumberdaya Alam di In-
mengajukan gugatan uji materil terhadap Peraturan
Bersama empat kementerian dimaksud. Pada intinya donesia. Jakarta: HuMa.
gugatan itu mengatakan bahwa kedua peraturan ____, 2015a. “Trend Produk Hukum Daerah
perundangan-undangan setingkat Peraturan Menteri Mengenai Pengakuan dan Perlindungan
itu bertentangan dengan sejumlah peraturan Masyarakat Adat”. Bahan presentasi yang
perundangan-undangan yang lebih tinggi, antara disampaikan pada “Sarasehan dalam rangka
Yando Zakariya: Strategi Pengakuan dan Perlindungan Hak-hak Masyarakat ...: 133-150 149
Rapatkerja Nasional Aliansi Masyarakat Adat Gunawan, Daddi H., 2014. Perubahan Sosial di
Nusantara (AMAN), Sorong, Papua Barat, 16 Pedesaan Bali. Dualitas, Kebangkitan Adat, dan
Maret 2015. Demokrasi Lokal. Tangerang Selatan: Marjin
____, 2015b. Sebagaimana dapat diakses pada Kiri.
https://www.facebook.com/yance.arizona/ Hardiman, F. Budi, 2002. “Belajar dari Politik
pos ts/10207450108040211? Multikulturalisme”, dalam Will Kymlicka,
comment_id=10207456706605171&notif_t= 2002. Kewargaan Multikulturalisme. Jakarta:
mentions_comment LP3ES.
Arizona, Yance, Siti Rakhma Mary Herwati, dan Koalisasi untuk Perubahan Kebijakan Kehutanan,
Erasmus Cahyadi, 2012. ‘KEMBALIKAN HU- 2007. Mengapa Undang-Undang Kehutanan
TAN ADAT KEPADA MASYARAKAT HUKUM Perlu Direvisi. Sebagaimana dapat diakses
ADAT: Anotasi Putusan Mahkamah Konstitusi melalui https://www.academia.edu/8201717/
Perkara No. 35/PUU-X/2012 mengenai Pengu- M e n g a p a _ U n d a n g -
jian Undang-Undang Kehutanan. Un d a n g _ Ke h u ta n a n _ Pe rl u _ D i re v i s i
Assiddiqqi, Jimly, 2006. Hukum Acara Pengujian Koalisi_untuk_Perubahan_Kebijakan_Kehutanan
Undang-Undang. Jakarta: Konstitusi Press. Koentjaraningrat, 1980. Beberapa Pokok Antropologi
Badan Registrasi Wilayah Adat, 2015. Pedoman Sosial. Jakarta: Dian Rakyat.
Regitrasi Wilayah Adat. Bogor: Badan Regis- ____, 1982. Sejarah Teori Antropologi 1. Jakarta: UI
trasi Wilayah Adat. Press.
Bedner, Adriaan, and Stijn Van Huis. 2008. “The Koentjaraningrat, ed., 1970. Manusia dan Kebuda-
return of the native in Indonesian law: indig- yaan di Indonesia”. Jakarta: Penerbit Djambatan.
enous communities in Indonesian legislation” Prasetijo, Adi, 2011. Serah Jajah dan Perlawanan yang
Bijdragen tot de taal-, land-en volkenkunde/Jour- Tersisa: Etnografi Orang Rima di Jambi. Jakarta:
nal of the Humanities and Social Sciences of Penerbit Wedatama Widya Sastra.
Southeast Asia 164 (2-3): 165-193. Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2012.
Benda-Beckmann, Franz. 1979. Property in social Putusan Perkara No. 35/PUU – X/2012 tentang
continuity: Continuity and change in the main- Uji Materi Undang-Undang No. 49 Tahun 1999
tenance of property relationships through time tentang Kehutanan, sebagaimana dapat dilihat
in Minangkabau, West Sumatra. The Hague: pada http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/
Martinus Nijhoff. index.php?page=web.Putusan&id=1&kat=1
Benda-Beckmann, Keebet von. 1984. The Broken Parimartha, I Gde, 2013. Silang Pandang Desa Adat
Stairways to Consensus: Village Justice and dan Desa Dinas di Bali. Denpasar: Udayana
State Courts in Minangkabau. Dordrecht: Foris University Press.
Publications. Rachman, Noer Fauzi, et.al., 2012. Kajian Kritis Atas
Benda-Beckmann, Frnaz and Kebeet von, 2013. Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan
Political and Legal Transformations of an Indo- Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999
nesia Polity. The Nagari, from Colonisation to tentang Pedoman Penyelesaian Permasalahan
Decentralisation. Cambridge: Cambridge Uni- Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. Kertas
versity Press. Kerja Epsitema, No. 01/2012. Jakarta: Epistema
Davidson, Jamie S., David Henley, dan Sandra Institute.
Moniaga, eds., 2010. Adat dalam Politik Indo- Roewiastuti, Maria Rita, 2000. Sesat Pikir Politik
nesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan Hukum Agraria. Membongkar Alas Pengu-
KITLV – Jakarta. asaan Negara Atas Hak-hak Adat. Yogyakarta:
Dwipayana, AAGN Ari, 2005. Desa Mawa Cara. INSIST Press, KPA, dan Pustaka Pelajar.
Problematika Desa Adat di Bali. Yogyarta: ____, 2014. “Dampak Sosial Politik Putusan Mah-
Intitute for Research and Empowerment. kamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012”,
150 Bhumi Vol. 2 No. 2 November 2016

dalam dalam WACANA, Jurnal Transformasi van Dijk, 1982. Pengantar Hukum Adat. Bandung:
Sosial, Nomor. 33 Tahun XVI, 2014, dengan Sumur Bandung.
tajuk khusus tentang “Masyarakat Adat dan Vel, J.A. C., dan A. W. Bedner, 2015. “Decentrali-
Perebutan Penguasaan Hutan”. Yogyakarta: zation and village governance in Indonesia:
Indonesia Society for Social Transformation. return to the nagari and the 2014 Village Law”,
Safitri, Myrna A. dan Luluk Uliyah, 2014. Adat dan in coming.
Pemerintah Daerah. Panduan Penyusunan Zakaria, R. Yando, 2000. Abih Tandeh. Masyarakat
Produk Hukum Daerah untuk Pengakuan dan Desa di Bawah rezim Orde Baru. Jakarta:
Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat. Lembaga Studi dan Advokasi Hak-hak
Jakarta: Epsitema Institute Masyarakat (ELSAM).
Sakai, Minako, 2002. “Solusi Sengketa Tanah di Era ____, 2004. Merebut Negara. Beberapa Catatan
Reformasi Politik dan Desentralisasi Indone- Reflektif tentang Upaya-upaya Pengakuan,
sia”, dalam Antropologi Indonesia, Nomor 68. Pengembalian, dan Pemulihan Otonomi Desa.
Jakarta: Jurnal Antropologi Indonesia. Yogyakarta: Lingkar Pembaruan Desa dan
Simarmata, Rikardo, 2006. Pengakuan Hukum Agraria (KARSA) & LAPERA Pustaka Utama.
Terhadap Masyarakat Adat di Indonesia. ____, 2012, “Makna Amandemen Pasal 18 Undang-
Jakarta: UNDP – Jakarta. Undang Dasar 1945 bagi Pengakuan dan
Sirait, Martua, et.al., 2005. “Perjalanan ‘Kilip’ Perlindungan Masyarakat Adat di Indonesia.
Mencari Pengakuan: Refleksi Pengembangn Makalah yang disampaikan pada Konferensi
Methodologi Identif ikasi Masyarakat Adat dan Dialog Nasional dalam rangka Satu
dan Wilayah Adat Secara Partisipatif di Kabu- Dasawarsa Amandemen UUD 1945 dengan
paten Kutai Barat, Kalimantan Timur”, dalam tema “Negara Hukum ke Mana Akan Me-
Konsosium Pembaruan Agraria, et.al., Tanah langkah?”. Diselenggarakan di Jakarta, tanggal
Masih di Langit. Jakarta: Yayasan Kemala dan 9-10 Oktober 2012.
the Ford Foundation. ____, 2014. “Konstitusionalitas Kriteria Masyarakat
Soepomo, R., 1993. Bab-bab Tentang Hukum Adat. (Hukum) Adat dan Potensi Implikasinya Ter-
Jakarta: Pradnya Paramita. hadap Perebutan Sumberdaya Hutan Pasca
Soetomo, Muntholib. 1995. Orang Rimbo: Kajian Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/
Struktural-Fungsional Masyarakat Terasing di PUU –X/2012: Studi Kasus Kabupaten Kutai
Makekal, Provisi Jambi. Disertasi Doktoral Barat, Kalimantan Timur,” dalam WACANA,
pada Universitas Padjadjaran, Bandung. Jurnal Transformasi Sosial, Nomor. 33 Tahun
Soekanto, Soerjono, dan Soleman B. Taneko, 1983. XVI, 2014, dengan tajuk khusus tentang
Hukum Adat Indonesia. Jakarta: Radjawali “Masyarakat Adat dan Perebutan Penguasaan
Press, 1983. Hutan”. Yogyakarta: Indonesia Society for So-
Sumardjono, Maria S.W., 2008. “Kedudukan Hak cial Transformation.
Ulayat dan Pengaturannya dalam Berbagai Zakaria, R. Yando, Emil Ola Kleden, dan Y.L.
Peraturan Perundang-undangan” dan “Kasus- Franky, 2010. MIFEE. Di Luar Batas Angan
kasus Pertanahan Menyangkut Tanah Ulayat Malind. Jakarta: Yayasan Pustaka.
dalam Pembangunan di Papua”, dalam Maria Zakaria, R. Yando Zakaria, dan Rikardo Simarmata,
S.W. Sumardjono, 2008. Tanah dalam Per- 2015. Mempromosikan Program Inklusi Sosial
spektif Hak Ekonomi Sosial dan Budaya. Jakarta: dan Pembangunan yang Inklusif Melalui Upaya
KOMPAS. Optimalisasi Undang-Undang Nomor 6 Tahun
____, 2015. “Ihwal Hak Komunal Atas Tanah”, 2014 tentang Desa. Draf Laporan kedua penulis
Harian Kompas, 6 Juli 2015. sebagai short time consultant pada KOMPAK,
____, 2016. “Sekali lagi tentang Hak Komunal”, sebuah Program kerjasama Pemerintah RI dan
Harian Kompas, 19 Juli 2016. Australia, Juni – Agustus 2015.

Anda mungkin juga menyukai