Diklat Teknis
Pembangunan Ekonomi Daerah
(Regional Economic Development)
ESELON II
SAMBUTAN DEPUTI BIDANG PEMBINAAN DIKLAT APARATUR
LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA
Disamping itu untuk lebih memantapkan kurikulum dan modul diklat ini
telah pula dilakukan lokakarya dan uji coba/pilot testing yang dihadiri oleh para
pejabat daerah maupun para calon fasilitator/trainer.
i
diklat yang diikutinya serta pada gilirannya nanti mereka dapat menunaikan
tugas dengan lebih baik lagi, lebih efektif dan efisien dalam mengelola berbagai
sumber daya di daerahnya masing-masing.
ii
KATA PENGANTAR
DIREKTUR JENDERAL OTONOMI DAERAH
iii
Salah satu komponen peningkatan kapasitas di daerah adalah Pengembangan
SDM atau Diklat bagi pejabat struktural di daerah. Dalam memenuhi kurikulum
serta materi diklat tersebut telah dikembangkan sejumlah modul-modul diklat
oleh Tim Konsultan yang secara khusus direkrut untuk keperluan tersebut yang
dalam pelaksanaannya disupervisi dan ditempatkan di Lembaga Administrasi
Negara (LAN) selaku Pembina Diklat PNS.
Dalam rangka memperoleh kurikulum dan materi diklat yang akuntabel dan
sesuai dengan kebutuhan daerah, dalam tahapan proses pengembangannya
telah memperoleh masukan dari para pejabat daerah dan telah diujicoba (pilot
test), juga melibatkan pejabat daerah, agar diperoleh kesesuaian/ relevansi
dengan kompetensi yang harus dimiliki oleh para pejabat daerah itu sendiri.
Pejabat daerah merupakan narasumber yang penting dan strategis karena
merupakan pemanfaat atau pengguna kurikulum dan materi diklat tersebut
dalam rangka memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Kurikulum dan meteri diklat yang dihasilkan melalui Proyek SCBD ini, selain
untuk digunakan di lingkungan Proyek SCBD sendiri, dapat juga digunakan di
daerah lainnya karena dalam pengembangannya telah memperhatikan aspek-
aspek yang berkaitan dengan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah.
Selain itu juga dalam setiap tahapan proses pengembangannya telah
melibatkan pejabat daerah sebagai narasumber.
iv
DAFTAR ISI
v
C. Pertanyaan Diskusi ................................................................................. 24
D. Kesimpulan............................................................................................. 25
Daftar Pustaka
vi
BAB I
PENDAHULUAN
Tantangan yang dihadapi para wiraswasta adalah persaingan ketat dalam aras
nasional dan global. Enterpreneur yang ingin bertahan di pasar harus mampu
membuat inovasi sehingga selalu menjadi pemimpin di pasar. Untuk mencapai
kondisi ini para wiraswasta tidak mungkin melakukan sendiri tapi harus mendapat
dukungan dari pengambil kebijakan. Di negara berkembang, pemerintah daerah
sering tidak membantu, malah para wiraswasta diperas dengan berbagai macam
pajak dan pungutan yang menyebabkan mereka tidak mampu melakukan
akumulasi modal.
Modul ini akan membekali para peserta untuk memahami peran wiraswasta dalam
pembangunan wilayah. Banyak daerah hanya menerima dana alokasi umum dan
dana alokasi khusus merasa tidak perlu memperhatikan wiraswasta lokal. Mereka
belum melihat wiraswasta mempunyai potensi memberi sumbangan terhadap
PAD. Memang ada perhatian untuk mendatangkan investor ke daerah tapi lebih
memprioritaskan investor luar daripada investor lokal.
B. Hasil Belajar
Setelah mengikuti mata ajar ini, peserta diharapkan mampu memahami peran
wiraswasta dalam pembangunan wilayah. Selain itu para peserta akan mampu
menjelaskan peranan pemerintah dalam pembentukan wiraswasta.
1
2
D. Pokok Bahasan
A. Pendahuluan
Selain itu sektor swasta di luar jawa tidak berkembang karena ketersediaan
eterpreneur lokal sangat terbatas. Keterbatasan ini bisa disebabkan oleh kurangnya
minat masyarakat lokal terhadap sektor enterpreneur. Masih banyak kelompok
masyarakat yang melihat sektor ini secara sosial rendah statusnya. Lebih
prestigeous menjadi pegawai negeri daripada menjadi wiraswasta. Hal ini masih
banyak kita jumpai di indonesia timur. Banyak keluarga masih bercita-cita agar
anaknya kelak menjadi pegawai negeri karena selain kekuasaan, secara finansial
mereka yang bekerja di sektor pemerintah merasa lebih aman.
Selain itu terjadi pertumbuhan angkatan kerja yang berpendidikan tinggi tapi tidak
semua terserap dalam pasar tenaga kerja lokal. Banyak lulusan perguruan tinggi
lokal yang tidak terserap ke dalam pasar kerja karena formasi untuk menjadi
pegawai negeri sangat terbatas. Jika ini dibiarkan akan menimbulkan masalah
sosial yang berkelanjutan. Pengangguran sarjana ini juga mempunyai dampak lain
3
4
yaitu semakin kurangnya rasa percaya diri dari individu yang bersangkutan. Jika
hal ini terjadi maka mereka menjadi apatis dan kehilangan kreativitas. Mereka
semakin lama semakin nyaman dengan kondisinya sehingga tidak mau bekerja.
Hal ini akan menimbulkan tingkat ketergantungan yang tinggi terhadap mereka
yang bekerja.
Ada satu istilah yang sering dipakai adalah daya saing suatu wilayah. Daya saing
yang dimaksud adalah kemampuan suatu wilayah mendominasi pasar wilayah lain.
Permintaan produk wilayah tersebut lebih tinggi dibanding permintaan produk
lokal terhadap produk dari luar daerah. Dengan demikian yang terjadi adalah
surplus perdagangan antar wilayah. Sering dilupakan adalah bahwa produk unggul
tidak lepas dari peran enterpreneur.
Seperti diungkapkan di atas daya saing suatu daerah sangat tergantung pada
kekuatan enterpreneur. Daerah yang mempunyai enterpreneur yang kuat
kemungkinan besar akan lebih cepat maju dibanding daerah yang mengalami krisis
enterpreneur. Transformasi ekonomi suatu wilayah terjadi jika sektor swasta kuat.
Selama ini banyak daerah ingin terjadinya transformasi ekonomi dari sektor
pertanian ke sektor industri namun mereka lupa mengidentifikasi enterpreneur
sebagai motor penggerak transformasi.
Para entrepreneur layaknya orang yang revolusioner dan sekaligus visioner dalam
bidang pembangunan ekonomi. Keputusan yang mereka buat tidak hanya
didasarkan pada signal pasar semata-mata tapi juga insting untuk melihat trend
pasar di masa depan. Para entrepreneur sering digambarkan sebagai seorang yang
rasional, utilaterian, atau hedonis yang menghamburkan uang untuk kesenangan.
Tentu gambaran ini tidak selamanya benar, lebih dari itu mereka adalah pemimpin
yang berhasil membangun kerajaan bisnis, dan selalu bertekad menang dalam
medan perang bisnis (Schumpeter, 1952).
Dalam kaitan dengan proses inovasi, ada beberapa tahap yang perlu diketahui
pengambil kebijakan (mcquaid 2003):
Selama ini teori ekonomi neoklasik lebih banyak memberi perhatian pada peran
individu dalam kegiatan ekonomi dan mengabaikan peran organisasi atau
kelembagaan. Para entrepreneur beroperasi melalui perusahan yang mempunyai
aturan main tersendiri. Sebagai suatu organisasi, dunia usaha terdiri atas berbagai
struktur yang selalu berubah dari waktu ke waktu. Teori ekonomi organisasi
mencoba menjelaskan hal ini melalui suatu pendekatan evolusioner (van den bergh
2004).
Para enterpreneur layaknya petualang yang membangun usaha baru dan tidak
selamanya menjadi pengelola seterusnya (gartner, 1988). Mereka membangun
perusahan dan setelah itu mereka berada di luar organisasi itu. Peran enterpreneur
hanya terbatas pada pembentukan organisasi. Organisasi tersebut mungkin saja
terus jalan (tumbuh, dewasa dan menurun) tapi barangkali enterpreneur yang tadi
membangun sekarang menjalani peran yang lain. Dia berpindah dari seorang
inovator menjadi pemilik usaha kecil, atau manajer senior pada perusahan tersebut
jika perusahan tersebut berkembang.
7
Apa yang dimaksud dengan entrepreneur? Ada berbagai definisi yang perlu
mendapat perhatian. Cantillon, seorang ekonom perancis, mendefenisikan
enterpreneur sebagai orang yang berani mengambil resiko. Ada juga definisi yang
melihat enterpreneur sebagai orang yang membuat pertimbangan dan keputusan
tentang alokasi penggunaan sumber daya yang ada dan terbatas (mcquaid 2003).
Masih ada definisi lain yang melihat entrepreneur hanyalah sebagai pedagang
perantara (kizner, 1999). Terlepas dari berbagai definisi tersebut, ada beberapa
sifat yang melekat pada seorang enterpreneur yaitu, integritas, belajar sendiri,
keberanian, kehati-hatian, sabar, ketahanan, disiplin diri dan kehormatan.
Enterpreneurship dalam kaitan dengan suatu wilayah bisa dilihat dari berbagai
aspek. Tingkat entrepreneurship di suatu wilayah dapat dilihat dari sisi penawaran
(perspektif pasar tenaga kerja) dan sisi permintaan (perspektif pasar barang/daya
dukung pasar). Kadang sering juga dikenal sebagai faktor pendorong (push) dan
faktor penarik (pull). Kedua perspektif tersebut akan dijelaskan lebih lanjut.
Dari sisi pasokan, enterpreneurship ditentukan oleh kondisi makro sosial ekonomi
seperti: komposisi demografi, sikap masyarakat setempat terhadap pengusaha,
lingkungan budaya dan lingkungan kelembagaan yang ada di wilayah tersebut.
Wilayah dengan tingkat ketergantungan penduduk (dependency ratio) tinggi
mungkin tidak menarik sebagai tempat berusaha karena daya beli masyarakatnya
rendah. Begitu pula jika di tempat tertentu sebagian masyarakat memandang
rendah terhadap profesi entrepreneur maka ada kecenderungan entrepreneurship
tidak berkembang di wilayah tersebut sehingga yang dominan adalah entrepreneur
migran (pendatang). Kondisi semacam ini banyak kita temui di wilayah indonesia
bagian timur.
dia merasa gaji yang diterima lebih besar dari keuntungan dari berusaha.
Namun sebaliknya orang tersebut akan menmggeluti usaha sendiri jika dia
merasa keuntungan yang diperoleh dari berusaha jauh lebih tinggi daripada
bekerja pada orang lain.
7. Kapan seorang enterpreneur masuk atau keluar dari sektor wiraswasta?
Masuk dan keluar (entry/exit) seseorang sebagai pengusaha adalah gambaran
tentang resiko dan imbalan yang diperoleh dari suatu usaha. Jika banyak
orang masuk ke sektor tertentu maka ini bisa merupakan signal pasar tersebut
prospektif sehingga mereka yang sudah ada di dalam mungkin bertahan
sedang mereka yang ada di luar ingin masuk. Hal ini biasanya terjadi jika
imbalan lebih besar daripada resiko. Namun sebaliknya jika imbalan lebih
kecil para pengusaha beramai ramai memilih keluar dari usaha bersangkutan
8. Dalam gambar 1 tadi, pasar entrepreneurship bisa berada pada titik
equilibrium (e) atau sebaliknya diseqilibrium (e-e*). Pasar equilibrium
tercapai jika kebutuhan entrepreneur di wilayah tertentu dapat dipenuhi
dengan pasokan entrepreneur lokal. Namun sebaliknya pasar
enterpreneurship mengalami disequilibrium jika pasokan entrepreneur lokal
lebih besar dari kebutuhan atau kebutuhan entrepreneur tidak bisa dipenuhi
pasokan lokal.
9. Pada saat pasar mengalami disequilibrium (e-e*) maka pemerintah (g) perlu
mengupayakan agar pasar kembali ke titik equilibrium. Hal ini bisa dilakukan
pemerintah dengan berbagai macam kebijakan dan pendekatan kelembagaan.
Pemerintah melakukan intervensi untuk mengembalikan equilibrium.
Kebijakan untuk mengoreksi pasar enterpreneur hanya menjadi penting jika
pemerintah daerah sadar akan peran penting yang dimainkan para
enterpreneur dalam perekonomian daerah.
10. G1 menggambarkan kebijakan pemerintah mendorong tumbuhnya usaha baru
di wilayah tertentu. Hal ini dilakukan pemerintah daerah jika mereka melihat
kurangnya usaha sehingga menyulitkan masyarakat lokal memenuhi
kebutuhan mereka. Dalam situasi seperti ini masyarakat akan pergi ke
wilayah lain untuk pergi belanja. Dengan kata lain terjadi permintaan yang
tinggi terhadap barang dan jasa tapi tidak dapat dipenuhi oleh pengusaha yang
ada sehingga perlu merangsang usaha baru.
11. G2 memberi gambaran tentang kebijakan pemerintah merangsang tumbuhnya
entrepreneur di wilayah tertentu melalui pelatihan dan pendidikan untuk calon
entrepreneur. Jika pasokan enterpreneur tidak mencukupi maka pemerintah
dapat melakukan pelatihan dan pendidikan dalam rangka menumbuhkan
enterpreneur lokal. Apakah ini berhasil atau tidak sangat bergantung pada
sistem nilai yang dianut masyarakat setempat. Beberapa masyarakat masih
memandang sektor enterpreneur lebih rendah dibanding sektor lain, sehingga
pelatihan dan pendidikan belum tentu diminati banyak orang. Dalam kondisi
seperti ini pemerintah kemudian mengundang migran dari wilayah lain
mengisi kekosongan enterpreneur lokal.
12. G3 adalah kebijakan pemerintah mengembangkan entrepreneur lokal yang ada
melalui penyediaan informasi pasar, bimbingan dan penyuluhan, penyediaan
10
modal, dan bantuan modal kepada usaha kecil. Jika sambutan enterprenur
lokal cukup bagus maka pada tahap ini pemerintah tinggal memfasilitasi para
enterpreneur dengan informasi dan modal. Pemanfaatan teknologi informasi
menjadi sangat penting di sini. Banyak daerah yang belum melihat pentingnya
peran teknologi informasi dalam perekonomian sehingga mereka segan
melakukan investasi di sini. Modal sangat dibutuhkan terutama oleh usaha
kecil dan menengah.
13. G4 adalah kebijakan pemerintah membentuk entrepreneur lokal masa depan
melalui poses penyadaran melalui pendidikan dan media masa. Kebijakan ini
ditempuh jika ada indikasi penolakan terhadap profesi entrepreneur secara
kultural. Memang ini sering terjadi pada masyarakat agraris. Mereka
memandang sektor enterpreneur sebagai sektor yang perlu dihindari karena
merupakan arena tipu muslihat. Pada masyarakat tertentu yang menganut
ajaran fundamental melihat sektor enterpreneur bertentangan dengan
keyakinan mereka. Tentu proses penyadaran seperti ini harus melibatkan
tokoh masyarakat dan tokoh agama. Proses seperti ini memakan waktu yang
cukup lama. Dengan kata lain proses penyadaran harus dilakukan terus
menerus dan tidak bisa dianggap program jangka pendek.
14. G5 adalah kebijakan pemerintah mempengaruhi entrepreneurship melalui
kebijakan makro seperti: kebijakan fiskal, subsidi, aturan perburuhan, dan
aturan kebangkrutan. Kebijakan seperti ini dilakukan oleh pemerintah pusat
yang nantinya mempunyai dampak ke daerah. Pemerintah daerah tidak
mungkin membuat kebijakan fiskal karena merupakan wewenang pemerintah
pusat, terutama dalam bentuk negara kesatuan seperti indonesia. Kebijakan
makro sering dibuat dalam rangka mendorong investasi asing. Memang
kebijakan makro bisa sangat ironis karena di satu sisi mendorong investasi
asing namun di sini lain pemerintah mengabaikan pengusaha lokal. Dalam hal
tertentu pengusaha asing bisa menikmati fasilitas dari pemerintah yang tidak
mungkin dinikmati pengusaha domesti. Kebijakan seperti ini sering dikenal
sebagai foreign investment bias.
BAB III
ENTERPRENEUR DAN MODAL SOSIAL
Modal sosial akhir-akhir ini mulai mendapat perhatian dalam kajian ekonomi wilayah.
Modal sosial oleh beberapa ahli dipercayai dapat mengurangi biaya transaksi ataupun
biaya membuka usaha baru (setup cost). Konsep modal sosial adalah terminologi
menggambarkan praktek interaksi antar individu yang didasari pada hubungan dan
kepercayaan. Untuk jelasnya ada baik jika kita melihat definisi modal sosial.
Bourdieu (1986) mendefinisikan modal sosial sebagai sumber daya yang dimiliki
seseorang ataupun kelompok dengan memanfaatkan jaringan, atau hubungan yang
melembaga dan didasari oleh saling pengakuan antar anggota yang terlibat di
dalamnya. Dari definisi tersebut ada dua hal yang perlu mendapat perhatian dalam
memahami modal sosial yaitu: pertama, sumberdaya yang dimiliki seseorang berkaitan
dengan keanggotaan dalam kelompok dan jaringan sosial. Besarnya modal sosial yang
dimiliki seseorang tergantung pada kemampuan orang tersebut memobilisasi hubungan
dan jaringan dalam kelompok atau dengan orang lain di luar kelompok. Kedua, kualitas
hubungan antar aktor lebih penting daripada hubungan dalam kelompok (bourdieu
1986). Bourdieu melihat bahwa jaringan sosial tidak bersifat alami, melainkan
dibentuk melalui strategi investasi yang berorientasi kepada pelembagaan hubungan
kelompok yang dapat dipakai sebagai sumber tepercaya untuk meraih keuntungan.
Karya bourdieu walaupun monumental tapi kurang dikenal luas kecuali oleh mereka
yang bisa berbahasa perancis. Modal sosial baru menjadi perhatian setelah coleman
menulis tentang topik ini.
Dalam upaya memahami lebih lanjut tentang modal sosial terlebih dahulu dipahami
beberapa perspektif atau pandang yang selama ini berkembang. Pemahaman tentang
perspektif ini akan sangat membantu dalam memetakan perkembangan pemahaman
modal sosial yang sudah berlangsung selama ini. Selain itu dengan pemahaman
perspektif ini akan membantu pengambil kebijakan dalam membuat keputusan yang
tepat. Woolcock dan Narayan (2000), memperkenalkan 4 perspektif yang perlu kita
ketahui ketika mempelajari modal sosial dan pembangunan. Empat perspektif tersebut
adalah komunitarian (communitarian view), jaringan (network view), kelembagaan
(institutional view), dan sinergi (sinergy view). Keempat perspektif tersebut akan
dibahas lebih detail di bawah ini.
11
12
A. Pandangan Komunitarian
Namun perlu diperhatikan sisi negatif modal sosial. Misalnya, modal sosial yang
terbentuk di kalangan kriminal atau kelompok preman dapat dianggap sebagai
modal sosial yang merugikan (perverse social capital) yang menghambat
pembangunan (woolcock 2000). Kehadiran kelompok kriminal yang berlebihan
dapat membuat para investor atau pengusaha merasa tidak aman sehingga mereka
mencari tempat yang lebih baik bagi investasi. Kejahatan yang terorganisir selain
menyebabkan korban jiwa, dapat pula menciptakan situasi yang tidak menentu
bagi pengusaha. Dengan kata lain modal sosial negatif menciptakan biaya yang
lebih besar daripada keuntungan yang diperoleh sehingga para investor
menghindari lokasi tersebut.
B. Pandangan Jaringan
Pandangan modal sosial yang kedua lebih menekankan pada asosiasi atau
hubungan vertikal dan horisontal antar masyarakat dan antar kelompok kelompok
dalam komunitas dan perusahan. Pandangan ini melihat bahwa ikatan dalam
kelompok yang kuat memungkinkan anggota komunitas mempunyai kesadaran
tentang identitas kelompok dan tumbuh rasa kebersamaan untuk mengejar tujuan
bersama. Namun pada saat yang sama identitas kelompok yang kuat dapat
menumbuhkan sikap sektarian antar kelompok berdasarkan suku, agama, kelas,
13
jender, dan status sosial ekonomi. Hubungan sosial yang menekankan pada rasa
kebersamaan dalam kelompok disebut sebagai bonding social capital, dan
hubungan sosial yang melewati batas kelompok disebut sebagai bridging social
capital (woolcock 2000). Hal ini telah dibahas di atas.
Agar kita mendapatkan gambaran keterkaitan antara bonding social capital dengan
bridging social capital, gambar 2 diatas akan lebih memperjelas (woolcock 2000).
Gambar 2 menunjukkan bahwa jaringan sosial kelompok yang masuk dalam
kategori miskin semakin beragam sejalan dengan kenaikan tingkat kesejahteraan
mereka.
Modal sosial tercakup dalam jaringan yang mereka bangun dan dimanfaatkan
secara baik dan efisien seperti program Grameen Bank yang diperkenalkan
Muhammad Yunus di Bangladesh. Para perempuan miskin di sana tidak
mempunyai jaminan namun mereka mendapat pinjaman berdasarkan keanggotaan
mereka dalam kelompok yang terdiri dari beberapa orang. Pinjaman tersebut
mereka pakai mendirikan dan menjalankan usaha dalam rangka memperbaiki
kesejahteraan ekonomi keluarga, poin (a). Namun perkembangan usaha mereka
tentu akan mencapai batas tumbuh pada poin (b) terutama jika mereka semua
hanya mengadalkan sumber yang sama dari bonding social capital. Kelompok ini
terus berkembang sebagai akibat terus bertambahnya orang baru yang datang dari
daerah asal yang sama sehingga menekan sumberdaya yang ada dan dengan
sendirinya mengancam kesejahteraan kelompok yang sudah mapan ke poin (c).
Kelompok yang sudah datang lebih awal mulai merasa bahwa kewajiban dan
komitmen moral terhadap orang dari daerah asal menghambat perkembangan
mereka ke depan. Dalam situasi seperti itu sebagian komunitas ini mulai
mengambil jarak dengan anggota komunitas daerah asal pada poin (d) dan mulai
melihat potensi membangun jaringan yang lebih luas dengan kelompok lain. Di
14
sini yang mereka kembangkan adalah bridging social capital dengan maksud
memperluas kesempatan membuka hubungan usaha dengan kelompok lain pada
poin (e). Model yang digambarkan di atas dapat dipakai menjelaskan proses
migrasi yang berlangsung dibanyak negara berkembang.
Salah satu tantangan dalam kebijakan modal sosial dari perspektif jaringan adalah
mengidentifikasi kondisi yang memungkinkan masyarakat memanfaatkan bonding
social capital secara maksimal dalam rangka membantu komunitas dari daerah
asal keluar dari kemiskinan. Pada saat yang sama pemerintah juga perlu
memfasilitasi agar masyarakat dapat memperluas jaringan di luar komunitasnya
atau memperkuat bridging social capital. Kebijakan yang terakhir ini sangat
penting jika pemerintah ingin menghasilkan pengusaha yang tangguh.
C. Pandangan Institusional
Sebaliknya modal sosial yang rendah dapat mendorong masyarakat mundur secara
ekonomi. Beberapa penelitian menemukan bahwa pertumbuhan ekonomi rendah
terjadi pada masyarakat yang mengalami fragmentasi etnis yang tinggi dan hak
politik yang rendah (woolcock 2000). Dalam kondisi seperti ini inisiatif anggota
masyarakat menurun karena ketakutan terhadap sikap anarki kelompok lain.
Fragmentasi sosial seperti ini akan berkurang jika bridging social capital cukup
15
D. Pandangan Sinergi
Ada juga sinergi antara pemerintah dan masyarakat sipil yang didasarkan pada
prinsip saling melengkapi (complementarity) dan prinsip mengakar
(embeddedness) (evans 1996). Prinsip saling melengkapi yang dimaksud adalah
hubungan yang saling mendukung antara aktor publik dan aktor swasta. Hubungan
seperti ini dicantumkan dalam aturan legal dalam rangka melindungi hak asosiasi,
misalnya, himpunan pengusaha lokal. Perlindungan hak memungkinkan terjadinya
hubungan antara asosiasi komunitas dengan kelompok bisnis. Prinsip mengakar
yang dimaksud mencakup sifat dan bentuk hubungan yang mempertautkan
masyarakat dengan aparat publik. Misalnya, dalam hal irigasi pemerintah dapat
mengangkat orang lokal menjadi pegawai yang mengawasi irigasi di daerahnya
16
daripada menempatkan pegawai dari luar daerah yang salah salah berpotensi
memicu konflik. Pegawai lokal secara sosial sudah mengakar sehingga
memudahkan komunikasi dengan sesama anggota komunitas.
BAB IV
PERAN PEMERINTAH DALAM PENGEMBANGAN ENTREPRENEUR
A. Pendahuluan
Sejak zaman orde baru hampir semua pemerintah daerah berupaya menarik
investor sebanyak mungkin ke daerah mereka. Mereka membangun berbagai
prasarana transportasi, merancang wilayah industri, menawarkan berbagai
kemudahan ijin, dan insentif pajak.tawaran semacam ini diharapkan akan menarik
para investor datang berinvestasi ke wilayah mereka. Upaya menarik investor
bukanlah pekerjaan yang mudah. Ada wilayah yang sudah melakukan berbagai
kebijakan tapi tidak mampu menggaet minat investor. Namun di lain pihak ada
wilayah tertentu mengalami krisis lahan karena banyaknya investor yang berminat.
Biasanya data perdagangan antar wilayah jarang tersedia, bahkan dalam banyak
hal dianggap tidak terlalu penting. Banyak daerah hanya mengumpulkan data
sekedar memnuhi tuntutan administrasi pusat dan belum melihat manfaat
pengadaan data. Sebenarnya data perdagangan dari suatu wilayah dengan wilayah
lain akan sangat membantu pengambil kebijakan memetakan tujuan pasar ekspor
produk lokal.
17
18
usaha perorangan. Misalnya, jika ada pengusaha yang kekurangan modal maka
pemerintah bisa membantu dengan memberi kredit yang telah disubsidi.
Terlepas dari kedua kebijakan di atas, kebijakan makro harus mendapat perhatian
khusus pemerintah. Ada 3 hal yang perlu diperhatikan pemerintah:
1. Pemerintah menjamin agar sistem pasar bisa bekerja dengan baik. Menjamin
sistem pasar artinya pemerintah sedapat mungkin tidak terlibat terlalu jauh
dalam aktivitas ekonomi. Keterlibatan pemerintah terlalu jauh bisa fatal bagi
pembangunan ekonomi wilayah karena kecenderungan terjadinya moral
hazard. Pengusaha yang potensial bisa saja tersingkir karena favoritisme
pemerintah,
2. Penataan kelembagaan yang memungkinkan kolaborasi antar entrepreneur.
Perlu ada jaminan legal tentang hak dan kewajiban masing masing pihak
dalam menjalin kerja sama usaha. Wilayah yang tidak mampu menjamin
kepastian berusaha akan mengalami kesulitan menarik entrepreneur datang ke
wilayah mereka. Kepercayaan pengusaha kepada lembaga publik yang ada
merupakan jaminan tumbuhnya entrepreneurship di walayah tertentu,
3. Peningkatan rasa kehormatan dan kepercayaan diri terhadap profesi
entrepreneur. Di daerah tertentu profesi sebagai entrepreneur adalah pilihan
terakhir dibanding dengan profesi lain. Oleh karena itu profesi ini tidak
banyak diminati penduduk lokal. Perlu upaya khusus mengubah persepsi
masyarakat tentang profesi sebagai entrepreneur. Biasanya melalui
pendidikan atau media masa.
Salah satu ciri usaha di daerah adalah jumlah usaha kecil dan menengah yang
cukup banyak. Jenis usaha ini sering diabaikan karena dianggap kurang berperan
terhadap pertumbuhan ekonomi suatu wilayah. Pengalaman beberapa negara maju
adalah usaha besar memberikan sumbangan positif terhadap pertumbuhan
ekonomi wilayah. Sebenarnya usaha kecil menengah sangat berperan dalam
menciptakan lapangan kerja. Sektor usaha kecil menengah ini yang selalu
diandalkan ketika negara berada dalam krisis ekonomi.
1. Menarik usaha baru dari luar wilayah. Hal ini dilakukan jika stok entrepreneur
lokal belum mencukupi sehingga banyak wilayah yang belum terlayani;
2. Membantu pengembangan usaha yang sudah ada. Pemerintah membantu
pengembangan entrepreneur yang sudah ada dalam rangka meningkatkan
daya saing dengan entrepreneur dari luar;
3. Mendorong pembentukan usaha baru. Pemerintah mengambil langkah ini jika
pemerintah merasakan minat masyarakat lokal masuk ke sektor
entrepreneurial masih kurang.
1. Membuat aturan yang mendukung dunia usaha. Peraturan yang dibuat harus
memperhatikan apakah dunia usaha dimungkinkan berkembang baik atau
tidak. Sering terjadi aturan pemerintah daerah justru mematikan usaha kecil
dan menengah.
2. Kebijakan insentif pajak. Pemerintah juga dapat membuat kebijakan insentif
pajak dengan mengurangi atau bebas pajak untuk jangka waktu tertentu.
Kebijakan ini dimaksudkan agar usaha kecil menengah mempunyai margin
usaha yang lebih besar yang nantinya dapat dipakai sebagai perluasan usaha.
3. Bantuan keuangan langsung. Pemerintah dapat memberi bantuan langsung
dalam bentuk menyiapkan tempat usaha atau bantan kredit lunak. Khusus
untuk bantuan kredit masih menjadi perdebatan, karena dianggap tidak
mendidik para pengusaha menjadi mandiri.
4. Bantuan non-keuangan. Bantuan non-keuangan dapat dilakukan dengan
mempercepat ijin usaha atau memfasilitasi para pengusaha kecil dan
20
Kasus :
Departemen keuangan melaporkan ada sekitar 1300 perda tenang pajak dan
retribusi yang tidak dilaporkan. Perda perda ini diperkirakan menyebabkan
ekonomi biaya tinggi. Menurut Direktur Pertimbangan Keuangan Mardiasmo di
jakarta, hingga 21 mei 2007, Perda tentang pajak dan retribusi yang dilaporkan
baru 9634 buah. Tampaknya hal ini terjadi karena daerah belum memikirkan
bahwa mereka mempunyai kewajiban melaporkan kepada pemerintah pusat.
Salah satu alasan mengapa daerah tidak membuat laporan adalah Undang-
undang nomor 34 tahun 2004 tentang pajak dan retribusi daerah tidak
menyebutkan tentang sanksi apa pun dan memberi kebebasan daerah membuat
Perda. Untuk mengatasi hal tersebut sebenarnya departemen keuangan sudah
menyampaikan permintaan agar setiap daerah harus menyerahkan perda pajak
dan retribusi paling lambat 15 hari setelah pengesahan. Walaupun surat tersebut
teah dilayangkan sejak 28 november 2006, namun masih 71 daerah yang belum
menyerahkan perda mereka.
Kehadiran perda ini tentang pajak dan retribusi memang menimbulkan masalah
berupa ekonomi biaya tinggi. Hal ini diungkapkan oleh Ketua Umum Asosiasi
Pengusaha Indonesia Sofyan Wanandi. Kehadiran pajak dan retribusi daerah
mengakibatkan dunia usaha tidak mampu bersaing dengan produk dari negara
lain. Sofyan wanandi sendiri mempertanyakan pajak dan retribusi bagi
pembangunan daerah sangat kecil karena sebagian besar dipakai membeli
serifikat bank indonesia (SBI). Dari laporan bank indonesia hingga akhir april
2007, dana pemerintah daerah yang disimpan di perbankan sekitar 90 triliun
rupiah dalam bentuk tabungan, giro, dan deposito.
Pendapatan asli daerah yang ideal adalah sekitar 40 persen dari total APBD.
Untuk itu pemerintah harus bekerja keran karena banyak daerah yang belum
mampu memenuhi target tersebut. Pemda dapat melakukan inovasi dalam
penerimaan sehingga tidak meresahkan dunia usaha. Memang situasi yang
dihadapi pemda sangat dilematis. Di satu pihak mereka dituntut meningkatkan
pendapatan daerah melalui pajak dan retribusi tapi di lain pihak mereka juga
perlu menjaga agar dunia usaha tidak terbebani dengan berbagai pungutan.
Sumber: kompas selasa, 22 mei 2007
BAB V
PERANAN WIRASWASTA MENCIPTAKAN LAPANGAN KERJA
A. Pembahasan
Ada dua tipe entrepreneur yang memberi kontribusi positif terhadap penciptaan
lapangan kerja. Tipe entrepreneur pertama adalah para investor yang membangun
usaha besar. Jelas tipe entrepreneur seperti ini akan memberi kontribusi yang
cukup tinggi terhadap perekonmian daerah. Perusahan yang mereka dirikan pada
umumnya dapat menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar. Pemerintah daerah
berharap jenis entrepreneur semacam ini ikut berperan mengurangi tingkat
pengangguran di wilayah mereka.
Tipe entrepreneur yang kedua adalah mereka yang berusaha sendiri (self
employment). Para enterpreneur jenis ini pada umumnya memiliki usaha dalam
22
23
skala kecil. Mereka menciptakan lapangan kerja untuk diri sendiri dan sering
dikenal sebagai “routine enterpreneurs.” Para entrepreneur kecil disebut sebagai
entrepreneur rutin karena tujuan utama usaha mereka sekedar memenuhi
kebutuhan rumah tangga mereka. Biasanya jenis pengusaha seperti ini menggeluti
suatu bidang usaha selama jangka waktu tertentu tanpa mempunyai visi
pengembangan ke depan. Mereka tetap mempertahankan jenis usaha dan irama
usaha yang sama selama bertahun tahun.
Hampir tidak ada suatu wilayah pun yang luput dari pengaruh globalisasi. Pada
masa yang lalu suatu daerah masih mengandalkan tenaga kerja murah atau tanah
yang murah sebagai andalan keberhasilan pembangunan, sekarang tidak mungkin
lagi. Prospek ekonomi suatu wilayah akan ditentukan oleh faktor faktor seperti
ketrampilan tenaga kerja, akses ke modal dan informasi, dan kegiatan inovatif. Di
sinilah enterpreneurship menjadi sangat penting. Mereka yang bekerja untuk diri
sendiri, biasanya usaha kecil, adalah enterpreneur lokal yang perlu mendapat
perhatian. Mereka ini yang jika dibina dengan baik akan menjadi pengusaha besar
dan dpat memberi kontribusi pada penciptaan lapangan kerja.
Paling tidak ada dua indikator sebagai alat ukur kegiatan enterpreneur di suatu
daerah. Pertama, mengukur kuantitas kegiatan enterpreneur, atau mengukur
luasnya (breadth) kegiatan enterpreneur di seluruh wilayah. Luas kegiatan
enterpreneur menunjukkan tentang jumlah dan keragaman usaha kecil yang ada di
di suatu wilayah dan merupakan fondasi bagi pertumbuhan ekonomi. Ukuran
kedua lebih memberi tekanan pada kualitas, atau kedalaman (depth) kegiatan
enterpreneur di suatu wilayah. Kedalaman yang dimaksud merujuk pada nilai
yang diperoleh usaha kecil tersebut dan nilai yang disumbangkan bagi ekonomi
24
lokal. Para enterpreneur yang dmaksud di sini adalah mereka yang membuka
usaha sendiri (self employed).
Untuk mengukur depth, atau kedalaman usaha para enterpreneur ada dua ukuran
yang dipakai, pendapatan rata-rata (average income) dan pendapatan yang
diperoleh dari usaha (revenue capture). Ada asumsi bahwa para enterpreneur
dengan pendapatan rata-rata yang tinggi mengoperasikan perusahan yang
menghasilkan laba yang tinggi, sehingga memberikan sumbangan yang lebih
positif terhadap ekonomi masyarakat. Jika pendapatan rata-rata meningkat berarti
daerah secara menyeluruh akan lebih makmur. Kedalaman enterpreneurship
adalah ratio pendapatan rata-rata terhadap pendapatan ketika pengusaha itu bekerja
di wilayah tersebut.
Ukuran kedua untuk kedalaman adalah ratio pendapatan yang diperoleh melalui
usaha dibagi dengan total penjualan barang dan jasa oleh pengusaha tersebut.
Semakin besar ratio berarti semakin besar sumbangan langsung enterpreneur
terhadap ekonomi lokal. Hal ini bisa terjadi dengan asumsi pengusaha yang
beroperasi di wilayah tersebut tidak melakukan investasi keluar daerah
bersangkutan.
C. Pertanyaan Diskusi
D. Kesimpulan
Banyak pejabat yang belum menyadari peran yang dimainkan para wiraswatawan
dalam pembangunan ekonomi. Memang selama ini sebagian besar pemerintah
daerah lebih mengandalkan dana alokasi umum (DAU) atau dana alokasi khusus
(DAK) menunjang pembangunan daerah. Kondisi semacam ini yang menyebabkan
banyak daerah yang kuarng memperhatikan peran wiraswasta dalam pembangunan
ekonomi. Wilayah yang mempunyai kelas wiraswasta yang kuat cenderung lebih
berkembang daripada wilayah yang kurang mempunyai kelompok wiraswasta
yang berkualitas. Para wiraswasta berperan penting dalam mencipakan lapangan
pekerjaan yang selalu menjadi momok berbagai daerah karena pertumbuhan
angkatan kerja yang cepat. Selain itu kelompok wiraswasta yang kuat akan ikut
menunjang peningkatan pendapatan asli daerah. Dana ini sangat diperlukan daerah
dalam rangka menundukung program pembangunan.
Walaupun demikian tidak berarti daerah tidak perlu menerima wiraswasta dari
luar. Jika pengusaha lokal belum mampu atau jumlah pengusaha lokal masih
sedikit maka tidak ada salahnya jika pemerintah perlu mengundang pengusaha dari
luar. Ada beberapa keuntungan pengusaha dari luar, seperti, transfer pengetahuan,
dan membuka peluang pasar bagi produk lokal. Tentu pemerintah harus
mempunyai kebijakan agar sedapat mungkin pengusaha dari luar bermitra dengan
pengussaha lokal.
akhirnya ikut menentukan daya saing suatu wilayah. Oleh karena itu pemerintah
seharusnya meningkatkan kemampuan wiraswasta dengan mengurangi biaya-biaya
siluman yang tidak perlu.
DAFTAR PUSTAKA
Amstrong, h., and taylor, j. (1993). Regional economics & policy. London, harvester.
Bourdieu, p. (1986). The forms of capital. Handbook of theory and research for the
sociology of education. J. G. Richardson. New york, greenwood press.
Evans, p. (1996). "government action, social capital and development: reviewing the
evidence on synergy." world development 24(6): 1119-1132.
High, j. (2004). The roles of entrepreneurship in economic growth: toward a theory of
total factor productivity. Entrepreneurship and regional economic development, a
spatial perspective. H. L. F. De groot, nijkamp, p., and stough, r.r. cheltenham,
edwar elgar.
Mcquaid, r. W. (2003). Entrepreneurship and regional development policies.
Employment research institute. Edinburgh, napier university.
Stimson, r. J., stough, r.r. and roberts, b.h. (2002). Regional economic development,
analysis and planning strategy. Berlin.
Van den bergh, j. C. M. (2004). Firm behaviour and organisation from an evolutionary
perspective. Entrepreneurship and regional economic development, a spatial
perspective. H. L. F. De groot, nijkamp, p., and stough, r.r. cheltenham, edwar
elgar.
Verheul, i., wennekers, s., audretsch, d., and thurik, r. (2001). An ecletic theory of
entrepreneurship. 3. 30. Amsterdam, tinbergen institute.
Woolcock, m., and narayan, d. (2000). "social capital: implication for development
theory, research, and policy." the world bank research observer 15(2).
This document was created with Win2PDF available at http://www.daneprairie.com.
The unregistered version of Win2PDF is for evaluation or non-commercial use only.