Anda di halaman 1dari 35

Modul 1

Pembangunan Wilayah dan Pengusaha Lokal

Diklat Teknis
Pembangunan Ekonomi Daerah
(Regional Economic Development)

ESELON II
SAMBUTAN DEPUTI BIDANG PEMBINAAN DIKLAT APARATUR
LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA

Selaku Instansi Pembina Diklat PNS, Lembaga Administrasi Negara


senantiasa melakukan penyempurnaan berbagai produk kebijakan Diklat yang
telah dikeluarkan sebagai tindak lanjut Peraturan Pemerintah Nomor 101
Tahun 2000 tentang Diklat Jabatan PNS. Wujud pembinaan yang dilakukan di
bidang diklat aparatur ini adalah penyusunan pedoman diklat, bimbingan dalam
pengembangan kurikulum diklat, bimbingan dalam penyelenggaraan diklat,
standarisasi, akreditasi Diklat dan Widyaiswara, pengembangan sistem
informasi Diklat, pengawasan terhadap program dan penyelenggaraan Diklat,
pemberian bantuan teknis melalui perkonsultasian, bimbingan di tempat kerja,
kerjasama dalam pengembangan, penyelenggaraan dan evaluasi Diklat.

Sejalan dengan hal tersebut, melalui kerjasama dengan Departemen


Dalam Negeri yang didukung program peningkatan kapasitas berkelanjutan
(SCBDP), telah disusun berbagai kebijakan guna lebih memberdayakan
daerah seperti peningkatan kapasitas institusi, pengelolaan dan peningkatan
SDM melalui penyelenggaraan Diklat teknis, pengembangan sistem keuangan,
perencanaan berkelanjutan dan sebagainya.

Dalam hal kegiatan penyusunan kurikulum diklat teknis dan modul


diklatnya melalui program SCBDP telah disusun sebanyak 24 (dua puluh
empat) modul jenis diklat yang didasarkan kepada prinsip competency based
training. Penyusunan kurikulum dan modul diklat ini telah melewati proses yang
cukup panjang melalui dari penelaahan data dan informasi awal yang diambil
dari berbagai sumber seperti Capacity Building Action Plan (CBAP) daerah
yang menjadi percontohan kegiatan SCBDP, berbagai publikasi dari berbagai
media, bahan training yang telah dikembangkan baik oleh lembaga donor,
perguruan tinggi, NGO maupun saran dan masukan dari berbagai pakar dan
tenaga ahli dari berbagai bidang dan disiplin ilmu, khususnya yang tergabung
dalam anggota Technical Review Panel (TRP).

Disamping itu untuk lebih memantapkan kurikulum dan modul diklat ini
telah pula dilakukan lokakarya dan uji coba/pilot testing yang dihadiri oleh para
pejabat daerah maupun para calon fasilitator/trainer.

Dengan proses penyusunan kurukulum yang cukup panjang ini kami


percaya bahwa kurikulum, modul diklatnya berikut Panduan Fasilitator serta
Pedoman Umum Diklat Teknis ini diharapkan dapat memenuhi kebutuhan
pelatihan di daerah masing-masing.

Harapan kami melalui prosedur pembelajaran dengan menggunakan


modul diklat ini dan dibimbing oleh tenaga fasilitator yang berpengalaman dan
bersertifikat dari lembaga Diklat yang terakreditasi para peserta yang
merupakan para pejabat di daerah akan merasakan manfaat langsung dari

i
diklat yang diikutinya serta pada gilirannya nanti mereka dapat menunaikan
tugas dengan lebih baik lagi, lebih efektif dan efisien dalam mengelola berbagai
sumber daya di daerahnya masing-masing.

Penyempurnaan selalu diperlukan mengingat dinamika yang sedemikian


cepat dalam penyelenggaraan pemerintahan negara. Dengan dilakukannya
evaluasi dan saran membangun dari berbagai pihak tentunya akan lebih
menyempurnakan modul dalam program peningkatan kapasitas daerah secara
berkelanjutan.

Semoga dengan adanya modul atau bahan pelatihan ini tujuan


kebijakan nasional utamanya tentang pemberian layanan yang lebih baik
kepada masyarakat dapat terwujud secara nyata.

ii
KATA PENGANTAR
DIREKTUR JENDERAL OTONOMI DAERAH

Setelah diberlakukannya UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan


Daerah, yang kemudian diganti dengan UU Nomor 32 Tahun 2004, telah terjadi
perubahan paradigma dalam pemerintahan daerah, yang semula lebih
berorientasi sentralistik menjadi desentralistik dan menjalankan otonomi
seluas-luasnya. Salah satu aspek penting kebijakan otonomi daerah dan
desentralisasi adalah peningkatan pelayanan umum dalam rangka mewujudkan
kesejahteraan masyarakat, dan meningkatkan daya saing daerah.

Berdasarkan pengalaman penyelenggaraan pemerintahan di banyak negara,


salah satu faktor penting yang mempengaruhi keberhasilan otonomi daerah
adalah kapasitas atau kemampuan daerah dalam berbagai bidang yang
relevan. Dengan demikian, dalam rangka penyelenggaraan pelayanan kepada
masyarakat dan peningkatan daya saing daerah diperlukan kemampuan atau
kapasitas Pemerintah Daerah yang memadai.

Dalam rangka peningkatan kapasitas untuk mendukung pelaksanaan


desentralisasi dan otonomi daerah, pada tahun 2002 Pemerintah telah
menetapkan Kerangka Nasional Pengembangan dan Peningkatan Kapasitas
Dalam Mendukung Desentralisasi melalui Keputusan Bersama Menteri Dalam
Negeri dan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/ Kepala
Bappenas. Peningkatan kapasitas tersebut meliputi sistem, kelembagaan, dan
individu, yang dalam pelaksanaannya menganut prinsip-prinsip multi dimensi
dan berorientasi jangka panjang, menengah, dan pendek, serta mencakup
multistakeholder, bersifat demand driven yaitu berorientasi pada kebutuhan
masing-masing daerah, dan mengacu pada kebijakan nasional.

Dalam rangka pelaksanaan peningkatan kapasitas Pemerintah Daerah,


Departemen Dalam Negeri, dengan Direktorat Jenderal Otonomi Daerah
sebagai Lembaga Pelaksana (Executing Agency) telah menginisiasi program
peningkatan kapasitas melalui Proyek Peningkatan Kapasitas yang
Berkelanjutan untuk Desentralisasi (Sustainable Capacity Building Project for
Decentralization/ SCBD Project) bagi 37 daerah di 10 Provinsi dengan
pembiayaan bersama dari Pemerintah Belanda, Bank Pembangunan Asia
(ADB), dan dari Pemerintah RI sendiri melalui Departemen Dalam Negeri dan
kontribusi masing-masing daerah. Proyek SCBD ini secara umum memiliki
tujuan untuk meningkatkan kapasitas Pemerintah Daerah dalam aspek sistem,
kelembagaan dan individu SDM aparatur Pemerintah Daerah melalui
penyusunan dan implementasi Rencana Tindak Peningkatan Kapasitas
(Capacity Building Action Plan/CBAP).

iii
Salah satu komponen peningkatan kapasitas di daerah adalah Pengembangan
SDM atau Diklat bagi pejabat struktural di daerah. Dalam memenuhi kurikulum
serta materi diklat tersebut telah dikembangkan sejumlah modul-modul diklat
oleh Tim Konsultan yang secara khusus direkrut untuk keperluan tersebut yang
dalam pelaksanaannya disupervisi dan ditempatkan di Lembaga Administrasi
Negara (LAN) selaku Pembina Diklat PNS.

Dalam rangka memperoleh kurikulum dan materi diklat yang akuntabel dan
sesuai dengan kebutuhan daerah, dalam tahapan proses pengembangannya
telah memperoleh masukan dari para pejabat daerah dan telah diujicoba (pilot
test), juga melibatkan pejabat daerah, agar diperoleh kesesuaian/ relevansi
dengan kompetensi yang harus dimiliki oleh para pejabat daerah itu sendiri.
Pejabat daerah merupakan narasumber yang penting dan strategis karena
merupakan pemanfaat atau pengguna kurikulum dan materi diklat tersebut
dalam rangka memberikan pelayanan kepada masyarakat.

Kurikulum dan meteri diklat yang dihasilkan melalui Proyek SCBD ini, selain
untuk digunakan di lingkungan Proyek SCBD sendiri, dapat juga digunakan di
daerah lainnya karena dalam pengembangannya telah memperhatikan aspek-
aspek yang berkaitan dengan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah.
Selain itu juga dalam setiap tahapan proses pengembangannya telah
melibatkan pejabat daerah sebagai narasumber.

Dengan telah tersedianya kurikulum dan materi diklat, maka pelaksanaan


peningkatan kapasitas Pemerintah Daerah, khususnya untuk peningkatan
kapasitas individu SDM aparatur daerah, telah siap untuk dilaksanakan.
Diharapkan bahwa dengan terlatihnya para pejabat daerah maka kompetensi
mereka diharapkan semakin meningkat sehingga pelayanan kepada
masyarakat semakin meningkat pula, yang pada akhirnya kesejahteraan
masyarakat dapat segera tercapai dengan lebih baik lagi.

iv
DAFTAR ISI

Sambutan Deputy IV - LAN .......................................................................................... i


Kata Pengantar Dirjen Otonomi Daerah - Depdagri ................................................iii
Daftar Isi .................................................................................................................. v

BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................... 1


A. Deskripsi Singkat Modul .......................................................................... 1
B. Hasil Belajar ............................................................................................. 1
C. Indikator Hasil Belajar.............................................................................. 1
D. Pokok Bahasan ......................................................................................... 2

BAB II PERAN WIRASWASTA DALAM PEMBANGUNAN ............................. 3


A. Pendahuluan.............................................................................................. 3
B. Peran Enterpreneurship Dalam Pembangunan Daerah ............................ 4
C. Organisasi Dan Entrepreneurship............................................................. 6
D. Entrepreneurship dan Kebijakan Pemerintah........................................... 7

BAB III ENTERPRENEUR DAN MODAL SOSIAL ............................................. 11


A. Pandangan Komunitarian ....................................................................... 12
B. Pandangan Jaringan ................................................................................ 12
C. Pandangan Institusional.......................................................................... 14
D. Pandangan Sinergi .................................................................................. 15

BAB IV PERAN PEMERINTAH DALAM PENGEMBANGAN


ENTREPRENEUR ....................................................................................... 17
A. Pendahuluan............................................................................................ 17
B. Pemerintah Dan Pengembangan Usaha Kecil ........................................ 18

BAB V PERANAN WIRASWASTA MENCIPTAKAN LAPANGAN


KERJA.......................................................................................................... 22
A. Pembahasan ............................................................................................ 22
B. Bagaimana Melihat Potensi Enterpreneurship Suatu Wilayah ............. 23

v
C. Pertanyaan Diskusi ................................................................................. 24
D. Kesimpulan............................................................................................. 25

Daftar Pustaka

vi
BAB I
PENDAHULUAN

A. Deskripsi Singkat Modul

Peranan wiraswasta dalam pembangunan wilayah sudah banyak disadari, namun


hanya sedikit para pengambil kebijakan di indonesia yang menyadari hal ini. Dari
berbagai penelitian menunjukan bahwa wilayah yang berhasil secara ekonomi
mempunyai kelas wiraswasta yang kuat. Negara seperti Jepang, Korea Selatan,
Taiwan, dan Italy adalah contoh negara yang ekonominya cepat maju karena kelas
wiraswasta yang kuat. Ini yang menjadi tantangan pemerintah untuk membentuk
kelas wiraswasta yang kuat dalam rangka menunjang pembangunan ekonomi.

Tantangan yang dihadapi para wiraswasta adalah persaingan ketat dalam aras
nasional dan global. Enterpreneur yang ingin bertahan di pasar harus mampu
membuat inovasi sehingga selalu menjadi pemimpin di pasar. Untuk mencapai
kondisi ini para wiraswasta tidak mungkin melakukan sendiri tapi harus mendapat
dukungan dari pengambil kebijakan. Di negara berkembang, pemerintah daerah
sering tidak membantu, malah para wiraswasta diperas dengan berbagai macam
pajak dan pungutan yang menyebabkan mereka tidak mampu melakukan
akumulasi modal.

Modul ini akan membekali para peserta untuk memahami peran wiraswasta dalam
pembangunan wilayah. Banyak daerah hanya menerima dana alokasi umum dan
dana alokasi khusus merasa tidak perlu memperhatikan wiraswasta lokal. Mereka
belum melihat wiraswasta mempunyai potensi memberi sumbangan terhadap
PAD. Memang ada perhatian untuk mendatangkan investor ke daerah tapi lebih
memprioritaskan investor luar daripada investor lokal.

B. Hasil Belajar

Setelah mengikuti mata ajar ini, peserta diharapkan mampu memahami peran
wiraswasta dalam pembangunan wilayah. Selain itu para peserta akan mampu
menjelaskan peranan pemerintah dalam pembentukan wiraswasta.

C. Indikator Hasil Belajar

Setelah mempelajari modul ini, diharapkan peserta mampu:

1. Mengetahui dan memahami peran wiraswasta dalam pembangunan ekonomi


daerah;
2. Mengetahui hubungan enterpreneur dan modal sosial;
3. Memahami peran pemerintah dalam pengembangan wiraswasta;
4. Memahami peranan wiraswasta menciptakan lapangan kerja;

1
2

D. Pokok Bahasan

1. Peran wiraswasta dalam pembangunan ekonomi daerah;


2. Hubungan enterpreneur dan modal sosial;
3. Peran pemerintah dalam pengembangan wiraswasta;
4. Peranan wiraswasta menciptakan lapangan kerja;
BAB II
PERAN WIRASWASTA DALAM PEMBANGUNAN

Setelah mempelajari modul ini, diharapkan peserta mampu mengetahui dan


memahami peran wiraswasta dalam pembangunan ekonomi daerah

A. Pendahuluan

Pengalaman pembangunan wilayah di indonesia selama ini menunjukkan dua


kecenderungan yang berbeda. Pertama, sebagian besar wilayah di jawa sudah
dapat mengandalkan sektor swasta sebagai motor penggerak ekonomi daerah. Hal
ini dimungkinan karena berkembangnya infrastruktur pendukung seperti
transportasi, pelabuhan laut dan udara, dan komunikasi lebih siap di jawa daripada
wilayah lain di tanah air. Kedua, adalah wilayah yang mengandalkan pemerintah
sebagai investor utama. Hal ini terjadi karena sektor swasta belum berkembang
sehingga proyek pemerintah memainkan peran penting menggerakan roda
perekonomian daerah. Kebanyakan daerah di luar jawa terutama di indonesia
timur lebih banyak mengandalkan sektor pemerintah. Sektor swasta jika pun ada
hanya memainkan peran yang terbatas. Peran sektor pemerintah yang besar di
wilayah wilayah ini bukan tanpa sebab. Salah satu alasan yang paling pokok
adalah ketersediaan infrastruktur ekonomi yang masih belum memadai. Dengan
dana yang terbatas pemerintah membangun infrastruktur yang terbatas pula.
Pembangunan infrastruktur seperti ini tidak mungkin mengandalkan swasta.

Selain itu sektor swasta di luar jawa tidak berkembang karena ketersediaan
eterpreneur lokal sangat terbatas. Keterbatasan ini bisa disebabkan oleh kurangnya
minat masyarakat lokal terhadap sektor enterpreneur. Masih banyak kelompok
masyarakat yang melihat sektor ini secara sosial rendah statusnya. Lebih
prestigeous menjadi pegawai negeri daripada menjadi wiraswasta. Hal ini masih
banyak kita jumpai di indonesia timur. Banyak keluarga masih bercita-cita agar
anaknya kelak menjadi pegawai negeri karena selain kekuasaan, secara finansial
mereka yang bekerja di sektor pemerintah merasa lebih aman.

Namun perlu disadari pemerintah daerah mempunyai keterbatasan menyediakan


lapangan kerja bagi penduduknya. Tingkat pengangguran cukup tinggi sebagai
akibat terus bertambahnya angkatan kerja tiap tahun. Pertambahan angkatan kerja
yang tinggi sebagai akibat kegagalan pemerintah membatasi tingkat kelahiran.
Tampaknya dalam era reformasi sekarang ini program keluarga berencana (KB)
terabaikan, akibatnya tingkat fertilitas penduduk meningkat. Peningkatan fertilitas
ini tidak hanya menekan ekonomi lokal namun menekan tingkat kenaikan
angkatan kerja di kemudian hari.

Selain itu terjadi pertumbuhan angkatan kerja yang berpendidikan tinggi tapi tidak
semua terserap dalam pasar tenaga kerja lokal. Banyak lulusan perguruan tinggi
lokal yang tidak terserap ke dalam pasar kerja karena formasi untuk menjadi
pegawai negeri sangat terbatas. Jika ini dibiarkan akan menimbulkan masalah
sosial yang berkelanjutan. Pengangguran sarjana ini juga mempunyai dampak lain

3
4

yaitu semakin kurangnya rasa percaya diri dari individu yang bersangkutan. Jika
hal ini terjadi maka mereka menjadi apatis dan kehilangan kreativitas. Mereka
semakin lama semakin nyaman dengan kondisinya sehingga tidak mau bekerja.
Hal ini akan menimbulkan tingkat ketergantungan yang tinggi terhadap mereka
yang bekerja.

Selain masalah angkatan kerja pemerintah daerah dituntut meningkatkan


kesejahteraan masyarakat. Selama ini dalam upaya mensejahterakan masyarakat
pemerintah mengandalkan anggaran belanja daerah. Padahal pendapatan asli
daerah sering tidak mencukupi membiayai berbagai program pembangunan
sehingga pemerintah daerah masih sering mengandalkan dana pemerintah pusat.
Di sini seharusnya pemerintah daerah sudah harus sadar tentang peran swasta
meningkatkan pendapatan rumah tangga.

B. Peran Enterpreneurship Dalam Pembangunan Daerah

Ada satu istilah yang sering dipakai adalah daya saing suatu wilayah. Daya saing
yang dimaksud adalah kemampuan suatu wilayah mendominasi pasar wilayah lain.
Permintaan produk wilayah tersebut lebih tinggi dibanding permintaan produk
lokal terhadap produk dari luar daerah. Dengan demikian yang terjadi adalah
surplus perdagangan antar wilayah. Sering dilupakan adalah bahwa produk unggul
tidak lepas dari peran enterpreneur.

Peran entrepreneur dalam pembangunan suatu wilayah sebenarnya sudah disadari


sejak lama. Schumpeter adalah ahli pembangunan yang memberi perhatian khusus
terhadap kegiatan para enterpreneur dalam pembangunan ekonomi suatu wilayah.
Para entrepreneur adalah agen yang mendorong pertumbuhan ekonomi suatu
wilayah melalui penemuan dan kombinasi baru. Wilayah yang mampu mendorong
penemuan baru, teknologi baru, bentuk organisasi baru, pasar baru, dan bahan
baku baru akan lebih maju secara ekonomi di banding wilayah yang tidak
memenuhi kriteria di atas (high 2004). Dengan demikian peran para entrepreneur
dalam pembangunan tidak dapat diabaikan. Banyak negara eropa mengalami
pertumbuhan yang pesat, terutama setelah abad ke 18, karena mempunyai kelas
entrepreneur yang kuat.

Seperti diungkapkan di atas daya saing suatu daerah sangat tergantung pada
kekuatan enterpreneur. Daerah yang mempunyai enterpreneur yang kuat
kemungkinan besar akan lebih cepat maju dibanding daerah yang mengalami krisis
enterpreneur. Transformasi ekonomi suatu wilayah terjadi jika sektor swasta kuat.
Selama ini banyak daerah ingin terjadinya transformasi ekonomi dari sektor
pertanian ke sektor industri namun mereka lupa mengidentifikasi enterpreneur
sebagai motor penggerak transformasi.

Kekuatan seorang enterpreneur adalah kreatifitas. Mereka selalu punya imajinasi


dan menciptakan kesempatan atau memecahkan masalah dengan cara baru, atau
seseorang yang menciptakan nice market atau membangun strategi memenuhi
kebutuhan pasar (garfield, 1986). Di sini para entrepreneur tidak hanya berhenti
sekedar mengidentifikasi pasar, tapi harus mencipta. Dengan demikian
5

enterpreneur adalah sumber perubahan ekonomi dan sumber dinamika dalam


masyarakat.

Melalui penemuan baru seorang entrepreneur menikmati monopoli untuk


sementara waktu. Situasi monopoli inilah yang akan memberi kesempatan
entrepreneur menikmati keuntungan yang nantinya dipakai untuk melakukan
inovasi. Inovasi ini pada akhirnya menyumbang terhadap pertumbuhan ekonomi
suatu wilayah. Menurut schumpeter, jika suatu wilayah mempunyai kelas
entrepreneur yang kuat, wilayah tersebut dapat berperan sebagai pemimpin
terhadap wilayah lain dari sisi ekonomi. Namun perlu diingat keunggulan sebagai
pemimpin hanya bersifat sementara karena para pesaing akan masuk dengan
produk yang sama dan membuat inovasi yang lain.

Kizner melihat para enterpreneur mempunyai peran penting menjadi kekuatan


pengimbang dengan memperbaiki pasar agar tetap seimbang (equilibrium) melalui
proses penyesuaian harga. Schumpeter sebaliknya melihat para enterpreneur
sebagai kekuatan yang selalu mendistorsi pasar (disequilibrium force) yang
mendorong pembangunan. Ini yang oleh schumpeter di sebut sebagai “creative
destruction” dimana usaha baru akan menghancurkan usaha yang sudah tua.

Para entrepreneur layaknya orang yang revolusioner dan sekaligus visioner dalam
bidang pembangunan ekonomi. Keputusan yang mereka buat tidak hanya
didasarkan pada signal pasar semata-mata tapi juga insting untuk melihat trend
pasar di masa depan. Para entrepreneur sering digambarkan sebagai seorang yang
rasional, utilaterian, atau hedonis yang menghamburkan uang untuk kesenangan.

Tentu gambaran ini tidak selamanya benar, lebih dari itu mereka adalah pemimpin
yang berhasil membangun kerajaan bisnis, dan selalu bertekad menang dalam
medan perang bisnis (Schumpeter, 1952).

Enterpreneur perlu dibedakan dengan manager. Seorang enterpreneur tidak


pernah merasa terganggu ketika menghadapi masalah atau kendala. Bahkan
mereka melihat masalah sebagai kesempatan melakukan berbagai perubahan dan
bila perlu mengambil keuntungan dari kesempatan tersebut. Dalam kaitan dengan
inovasi, peraturan pemerintah bisa merupakan pisau bermata dua. Di satu pihak
bisa mendorong inovasi tapi di lain pihak bisa mematikan inovasi.

Dalam kaitan dengan proses inovasi, ada beberapa tahap yang perlu diketahui
pengambil kebijakan (mcquaid 2003):

1. Tahap pertama, munculnya perilaku inovative entrepreneur;


2. Tahap kedua adalah mengidentifikasi peluang yang ada dan membuat
keputusan tenang alokasi sumber sumber yang ada;
3. Tahap terakhir adalah tahap perusahan berhenti melakukan inovasi sehingga
perusahan hanya fokus pada memperbaiki efisiensi dan fokus pada persaingan
harga dengan pesaingnya.
6

Setiap tahap membutuhkan kebijakan pemerintah yang berbeda. Misalnya, pada


tahap pertama pemerintah perlu mengembangkan penelitian dasar dan mendorong
budaya enterpreneur. Pada tahap kedua, pemerintah harus menjamin akses pada
infrastruktur information and communication technology (ICT) atau membantu
menciptakan pasar dan kebijakan aras mikro yang lain. Pada tahap terakhir
peranan pemerintah adalah menjamin kestabilan lingkungan makro ekonomi dan
beroperasinya pasar secara efektif.

C. Organisasi Dan Entrepreneurship

Selama ini teori ekonomi neoklasik lebih banyak memberi perhatian pada peran
individu dalam kegiatan ekonomi dan mengabaikan peran organisasi atau
kelembagaan. Para entrepreneur beroperasi melalui perusahan yang mempunyai
aturan main tersendiri. Sebagai suatu organisasi, dunia usaha terdiri atas berbagai
struktur yang selalu berubah dari waktu ke waktu. Teori ekonomi organisasi
mencoba menjelaskan hal ini melalui suatu pendekatan evolusioner (van den bergh
2004).

Oganisasi merupakan elemen krusial dalam struktur ekonomi. Pada dasarnya


pembuatan keputusan dilakukan secara bersama, baik di dunia swasta dan publik.
Hal ini berlangsung dalam organisasi. Organisasi memainkan peranan penting
dalam pembuatan keputusan. Ekonomi tradisional mengabaikan organisasi karena
mereka percaya bahwa general equilibrium terjadi melalui interaksi antar individu.
Peran organisasi ditiadakan atau dengan kata lain dianggap netral, indvidu
dianggap paling dominan berinteraksi di pasar. Setiap organisasi punya sejarah,
kompleks, adaptif, stabil, kaku, menghimpun individu dan dibentuk oleh individu.
Karakteristik dan dinamika organisasi mempengaruhi pola perubahan pada aras
makro. (van den bergh 2004).

Peranan organisasi ini semakin penting mengingat berkembangnya teknologi


trasportasi dan telekomunikasi telah menyebabkan jarak bukan lagi masalah utama
baik dari sisi waktu dan biaya. Semakin lama kualitas transportasi makin baik
dengan biaya yang makin murah. Perkembangan teknologi digital saat ini
menyebabkan pengeloaan industri berubah (stimson 2002). Banyak usaha dikelola
pemiliknya dari jarak jauh dan tidak selalu hadir secara fisik di lokasi usaha.
Daerah yang berhasil menyiapkan berbagai fasilitas usaha akan dilirik banyak
pengusaha. Tentu setiap wilayah perlu juga menyiapkan infrastruktur sosial seperti
keamanan berusaha sehingga perusahan yang beroperasi di wilayah tersebut tidak
perlu mengeluarkan biaya ekstra.

Para enterpreneur layaknya petualang yang membangun usaha baru dan tidak
selamanya menjadi pengelola seterusnya (gartner, 1988). Mereka membangun
perusahan dan setelah itu mereka berada di luar organisasi itu. Peran enterpreneur
hanya terbatas pada pembentukan organisasi. Organisasi tersebut mungkin saja
terus jalan (tumbuh, dewasa dan menurun) tapi barangkali enterpreneur yang tadi
membangun sekarang menjalani peran yang lain. Dia berpindah dari seorang
inovator menjadi pemilik usaha kecil, atau manajer senior pada perusahan tersebut
jika perusahan tersebut berkembang.
7

D. Entrepreneurship Dan Kebijakan Pemerintah

Apa yang dimaksud dengan entrepreneur? Ada berbagai definisi yang perlu
mendapat perhatian. Cantillon, seorang ekonom perancis, mendefenisikan
enterpreneur sebagai orang yang berani mengambil resiko. Ada juga definisi yang
melihat enterpreneur sebagai orang yang membuat pertimbangan dan keputusan
tentang alokasi penggunaan sumber daya yang ada dan terbatas (mcquaid 2003).
Masih ada definisi lain yang melihat entrepreneur hanyalah sebagai pedagang
perantara (kizner, 1999). Terlepas dari berbagai definisi tersebut, ada beberapa
sifat yang melekat pada seorang enterpreneur yaitu, integritas, belajar sendiri,
keberanian, kehati-hatian, sabar, ketahanan, disiplin diri dan kehormatan.

Enterpreneurship dalam kaitan dengan suatu wilayah bisa dilihat dari berbagai
aspek. Tingkat entrepreneurship di suatu wilayah dapat dilihat dari sisi penawaran
(perspektif pasar tenaga kerja) dan sisi permintaan (perspektif pasar barang/daya
dukung pasar). Kadang sering juga dikenal sebagai faktor pendorong (push) dan
faktor penarik (pull). Kedua perspektif tersebut akan dijelaskan lebih lanjut.

Dari sisi permintaan, permintaan entrepreneur di wilayah tertentu ditunjukan oleh


kesempatan yang tersedia untuk berwirausaha. Khusus untuk pemintaan bisa
dilihat dari perspektif konsumen dan perspektif dunia usaha. Dari persfektif
konsumen, keragaman permintaan konsumen mendorong kesempatan wirausaha.
Semakin tinggi keragaman semakin besar ruang terbuka bagi wirausaha.
Sedangkan dari perspektif dunia usaha, struktur industri (outsourcing dan
networking) menjadi pendorong berkembangnya entrepreneur. Misalnya,
perkembangan teknologi digital memungkinkan pengusaha membuka usaha di
mana saja karena koordinasi manajemen menjadi sangat mudah. Ada juga orang
yang tertarik memilih memindahkan operasi perusahan ke wilayah tertentu karena
peraturan pemerintah yang mendukung.

Dari sisi pasokan, enterpreneurship ditentukan oleh kondisi makro sosial ekonomi
seperti: komposisi demografi, sikap masyarakat setempat terhadap pengusaha,
lingkungan budaya dan lingkungan kelembagaan yang ada di wilayah tersebut.
Wilayah dengan tingkat ketergantungan penduduk (dependency ratio) tinggi
mungkin tidak menarik sebagai tempat berusaha karena daya beli masyarakatnya
rendah. Begitu pula jika di tempat tertentu sebagian masyarakat memandang
rendah terhadap profesi entrepreneur maka ada kecenderungan entrepreneurship
tidak berkembang di wilayah tersebut sehingga yang dominan adalah entrepreneur
migran (pendatang). Kondisi semacam ini banyak kita temui di wilayah indonesia
bagian timur.

Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih utuh tentang hubungan


entrepreneurship dan peran pemerintah lihat gambar 2.1 (verheul 2001):

1. Dalam upaya memahami enterpreneurship paling tidak ada 2 komponen perlu


mendapat perhatian, yaitu: komponen makro dan komponen mikro. Kedua
komponen tersebut dianggap mendorong tumbuhnya enterpreneurship di
suatu wilayah. Komponen makro lebih menekankan pada aspek lingkungan
8

usaha, sedang komponen mikro lebih menekankan pada faktor individual.


Kedua komponen tersebut akan dibahas lebih lanjut,

Gambar 1 Kerangka Kerja Penenentuan Enterpreneurship

2. Pada sisi permintaan (demand), kesempatan berwiraswata terjadi melalui


permintaan barang dan jasa. Mengapa seseorang membuka usaha karena ada
permintaan terhadap barang dan jasa tertentu yang dianggap sebagai peluang
untuk mendapatkan laba.
3. Pada sisi pasokan (supply) kemampuan individu sangat berperan dalam
mendorong seseorang menjadi enterpreneur. Salah satu syarat mutlak seorang
individu berperan dalam sektor wiraswasta adalah semangat (spirit) berusaha.
Hal ini sudah banyak dibahas dalam berbagai buku ataupun artikel. Dalam hal
ini yang dimaksud adalah sifat atau karakter individu yang ingin berusaha
sendiri. Dengan kata lain keputusan masuk ke sektor usaha tergantung pada
kemauan individu. Di sini keahlian, keterampilan dan semangat individu
menjadi sangat penting ketika memutuskan masuk ke sektor entrepreneurial.
4. Faktor luar yang ikut berperan terhadap pengembangan kewirastaan di suatu
wilayah adalah perkembangan teknologi, kehadiran lembaga keuangan
penyedia modal dan jaringan hubungan antar individu (modal sosial).
Perkembangan teknologi pada umumnya merupakan kerja sama antara dunia
usaha dengan lembaga pendidikan tinggi. Lembaga keuangan yang
memfasilitasi terwujudnya pembayaran antara dua pihak yang terlibat dalam
proses transaksi bisnis. Kemampuan membangun jaringan adalah
kemamapuan individu membangun relasi dengan orang lain. Khusus tentang
modal sosial akan dibahas secara sendiri di bawah.
5. Khusus untuk individu faktor faktor seperti, kemampuan, sifat individu,
preferensi, sistem nilai dan sikap mental memainkan peran penting dalam
berusaha. Hal ini bisa saja merupakan pembawaan sejak lahir namun tidak
tertutup kemungkinan diperoleh melalaui pengalaman. Misalnya, kejujuran
bisa saja merupakan watak dasar dan merupakan pembawaan sejak lahir,
namun dapat pula diperoleh melalaui ajaran keagamaan atau etika yang
ditanamkan di rumah.
6. Ketika masuk ke sektor wiraswasta seseorang perlu mempertimbangkan
resiko dan imbalan yang diperoleh nanti (risk-reward profile). Seseorang bisa
saja memilih bekerja pada orang lain dari pada membuka usaha sendiri jika
9

dia merasa gaji yang diterima lebih besar dari keuntungan dari berusaha.
Namun sebaliknya orang tersebut akan menmggeluti usaha sendiri jika dia
merasa keuntungan yang diperoleh dari berusaha jauh lebih tinggi daripada
bekerja pada orang lain.
7. Kapan seorang enterpreneur masuk atau keluar dari sektor wiraswasta?
Masuk dan keluar (entry/exit) seseorang sebagai pengusaha adalah gambaran
tentang resiko dan imbalan yang diperoleh dari suatu usaha. Jika banyak
orang masuk ke sektor tertentu maka ini bisa merupakan signal pasar tersebut
prospektif sehingga mereka yang sudah ada di dalam mungkin bertahan
sedang mereka yang ada di luar ingin masuk. Hal ini biasanya terjadi jika
imbalan lebih besar daripada resiko. Namun sebaliknya jika imbalan lebih
kecil para pengusaha beramai ramai memilih keluar dari usaha bersangkutan
8. Dalam gambar 1 tadi, pasar entrepreneurship bisa berada pada titik
equilibrium (e) atau sebaliknya diseqilibrium (e-e*). Pasar equilibrium
tercapai jika kebutuhan entrepreneur di wilayah tertentu dapat dipenuhi
dengan pasokan entrepreneur lokal. Namun sebaliknya pasar
enterpreneurship mengalami disequilibrium jika pasokan entrepreneur lokal
lebih besar dari kebutuhan atau kebutuhan entrepreneur tidak bisa dipenuhi
pasokan lokal.
9. Pada saat pasar mengalami disequilibrium (e-e*) maka pemerintah (g) perlu
mengupayakan agar pasar kembali ke titik equilibrium. Hal ini bisa dilakukan
pemerintah dengan berbagai macam kebijakan dan pendekatan kelembagaan.
Pemerintah melakukan intervensi untuk mengembalikan equilibrium.
Kebijakan untuk mengoreksi pasar enterpreneur hanya menjadi penting jika
pemerintah daerah sadar akan peran penting yang dimainkan para
enterpreneur dalam perekonomian daerah.
10. G1 menggambarkan kebijakan pemerintah mendorong tumbuhnya usaha baru
di wilayah tertentu. Hal ini dilakukan pemerintah daerah jika mereka melihat
kurangnya usaha sehingga menyulitkan masyarakat lokal memenuhi
kebutuhan mereka. Dalam situasi seperti ini masyarakat akan pergi ke
wilayah lain untuk pergi belanja. Dengan kata lain terjadi permintaan yang
tinggi terhadap barang dan jasa tapi tidak dapat dipenuhi oleh pengusaha yang
ada sehingga perlu merangsang usaha baru.
11. G2 memberi gambaran tentang kebijakan pemerintah merangsang tumbuhnya
entrepreneur di wilayah tertentu melalui pelatihan dan pendidikan untuk calon
entrepreneur. Jika pasokan enterpreneur tidak mencukupi maka pemerintah
dapat melakukan pelatihan dan pendidikan dalam rangka menumbuhkan
enterpreneur lokal. Apakah ini berhasil atau tidak sangat bergantung pada
sistem nilai yang dianut masyarakat setempat. Beberapa masyarakat masih
memandang sektor enterpreneur lebih rendah dibanding sektor lain, sehingga
pelatihan dan pendidikan belum tentu diminati banyak orang. Dalam kondisi
seperti ini pemerintah kemudian mengundang migran dari wilayah lain
mengisi kekosongan enterpreneur lokal.
12. G3 adalah kebijakan pemerintah mengembangkan entrepreneur lokal yang ada
melalui penyediaan informasi pasar, bimbingan dan penyuluhan, penyediaan
10

modal, dan bantuan modal kepada usaha kecil. Jika sambutan enterprenur
lokal cukup bagus maka pada tahap ini pemerintah tinggal memfasilitasi para
enterpreneur dengan informasi dan modal. Pemanfaatan teknologi informasi
menjadi sangat penting di sini. Banyak daerah yang belum melihat pentingnya
peran teknologi informasi dalam perekonomian sehingga mereka segan
melakukan investasi di sini. Modal sangat dibutuhkan terutama oleh usaha
kecil dan menengah.
13. G4 adalah kebijakan pemerintah membentuk entrepreneur lokal masa depan
melalui poses penyadaran melalui pendidikan dan media masa. Kebijakan ini
ditempuh jika ada indikasi penolakan terhadap profesi entrepreneur secara
kultural. Memang ini sering terjadi pada masyarakat agraris. Mereka
memandang sektor enterpreneur sebagai sektor yang perlu dihindari karena
merupakan arena tipu muslihat. Pada masyarakat tertentu yang menganut
ajaran fundamental melihat sektor enterpreneur bertentangan dengan
keyakinan mereka. Tentu proses penyadaran seperti ini harus melibatkan
tokoh masyarakat dan tokoh agama. Proses seperti ini memakan waktu yang
cukup lama. Dengan kata lain proses penyadaran harus dilakukan terus
menerus dan tidak bisa dianggap program jangka pendek.
14. G5 adalah kebijakan pemerintah mempengaruhi entrepreneurship melalui
kebijakan makro seperti: kebijakan fiskal, subsidi, aturan perburuhan, dan
aturan kebangkrutan. Kebijakan seperti ini dilakukan oleh pemerintah pusat
yang nantinya mempunyai dampak ke daerah. Pemerintah daerah tidak
mungkin membuat kebijakan fiskal karena merupakan wewenang pemerintah
pusat, terutama dalam bentuk negara kesatuan seperti indonesia. Kebijakan
makro sering dibuat dalam rangka mendorong investasi asing. Memang
kebijakan makro bisa sangat ironis karena di satu sisi mendorong investasi
asing namun di sini lain pemerintah mengabaikan pengusaha lokal. Dalam hal
tertentu pengusaha asing bisa menikmati fasilitas dari pemerintah yang tidak
mungkin dinikmati pengusaha domesti. Kebijakan seperti ini sering dikenal
sebagai foreign investment bias.
BAB III
ENTERPRENEUR DAN MODAL SOSIAL

Setelah mempelajari modul ini, diharapkan peserta mampu Mengetahui


hubungan enterpreneur dan modal sosial

Modal sosial akhir-akhir ini mulai mendapat perhatian dalam kajian ekonomi wilayah.
Modal sosial oleh beberapa ahli dipercayai dapat mengurangi biaya transaksi ataupun
biaya membuka usaha baru (setup cost). Konsep modal sosial adalah terminologi
menggambarkan praktek interaksi antar individu yang didasari pada hubungan dan
kepercayaan. Untuk jelasnya ada baik jika kita melihat definisi modal sosial.

Bourdieu (1986) mendefinisikan modal sosial sebagai sumber daya yang dimiliki
seseorang ataupun kelompok dengan memanfaatkan jaringan, atau hubungan yang
melembaga dan didasari oleh saling pengakuan antar anggota yang terlibat di
dalamnya. Dari definisi tersebut ada dua hal yang perlu mendapat perhatian dalam
memahami modal sosial yaitu: pertama, sumberdaya yang dimiliki seseorang berkaitan
dengan keanggotaan dalam kelompok dan jaringan sosial. Besarnya modal sosial yang
dimiliki seseorang tergantung pada kemampuan orang tersebut memobilisasi hubungan
dan jaringan dalam kelompok atau dengan orang lain di luar kelompok. Kedua, kualitas
hubungan antar aktor lebih penting daripada hubungan dalam kelompok (bourdieu
1986). Bourdieu melihat bahwa jaringan sosial tidak bersifat alami, melainkan
dibentuk melalui strategi investasi yang berorientasi kepada pelembagaan hubungan
kelompok yang dapat dipakai sebagai sumber tepercaya untuk meraih keuntungan.
Karya bourdieu walaupun monumental tapi kurang dikenal luas kecuali oleh mereka
yang bisa berbahasa perancis. Modal sosial baru menjadi perhatian setelah coleman
menulis tentang topik ini.

Para enterpreneur sebenarnya telah memanfaatkan modal sosial dalam berbagai


kegiatan usaha mereka. Bentuk usaha kongsi yang sering dilakukan para pengusaha
tionghoa di indonesia adalah salah satu bentuk modal sosial. Usaha bersama yang
melibatkan dua pihak berbeda biasanya dilandasi saling percaya. Hal ini merupakan
bentuk modal sosial yang dipraktekkan di dunia usaha.

Dalam upaya memahami lebih lanjut tentang modal sosial terlebih dahulu dipahami
beberapa perspektif atau pandang yang selama ini berkembang. Pemahaman tentang
perspektif ini akan sangat membantu dalam memetakan perkembangan pemahaman
modal sosial yang sudah berlangsung selama ini. Selain itu dengan pemahaman
perspektif ini akan membantu pengambil kebijakan dalam membuat keputusan yang
tepat. Woolcock dan Narayan (2000), memperkenalkan 4 perspektif yang perlu kita
ketahui ketika mempelajari modal sosial dan pembangunan. Empat perspektif tersebut
adalah komunitarian (communitarian view), jaringan (network view), kelembagaan
(institutional view), dan sinergi (sinergy view). Keempat perspektif tersebut akan
dibahas lebih detail di bawah ini.

11
12

A. Pandangan Komunitarian

Perspektif atau pandangan komunitarian cenderung melihat modal sosial sama


dengan organisasi sosial biasa seperti perkumpulan, asosiasi, dan kelompok
masyarakat sipil. Pandangan komunitarian memberi tekanan pada partisipasi
anggota dalam berbagai kegiatan kelompok sebagai ukuran modal sosial. Semakin
besar jumlah anggota suatu perkumpulan atau asosiasi semakin baik modal sosial
dalam komuntas tersebut. Modal sosial yang besar akan memberi dampak positif
terhadap kesejahteraan komunitas. Pandangan ini melihat bahwa modal sosial
mempunyai kontribusi yang cukup penting melepaskan anggota komunitas dari
kemiskinan (woolcock 2000).

Namun perlu diperhatikan sisi negatif modal sosial. Misalnya, modal sosial yang
terbentuk di kalangan kriminal atau kelompok preman dapat dianggap sebagai
modal sosial yang merugikan (perverse social capital) yang menghambat
pembangunan (woolcock 2000). Kehadiran kelompok kriminal yang berlebihan
dapat membuat para investor atau pengusaha merasa tidak aman sehingga mereka
mencari tempat yang lebih baik bagi investasi. Kejahatan yang terorganisir selain
menyebabkan korban jiwa, dapat pula menciptakan situasi yang tidak menentu
bagi pengusaha. Dengan kata lain modal sosial negatif menciptakan biaya yang
lebih besar daripada keuntungan yang diperoleh sehingga para investor
menghindari lokasi tersebut.

Pengalaman beberapa negara berkembang menunjukan bahwa walaupun wilayah


tertentu mempunyai tingkat solidaritas sosial yang tinggi dan mempunyai
kelompok informal yang kuat namun tidak mendorong peningkatan kesejahteraan
ekonomi. Ada beberapa komunitas gagal berkembang secara ekonomi karena tidak
mempunyai hubungan dengan sumber sumber lain di luar komunitasnya. Hal ini
sering terjadi dengan negara negara di Afrika dan Asia yang masih terisolir.
Muncul juga kasus penduduk asli terisolir dari dunia luar dan memiliki solidaritas
sosial yang tinggi namun mereka tetap terbelakang secara ekonomi karena tidak
mempunyai sumber daya ekonomi yang cukup dan tidak mempunyai akses
terhadap kekuasaan yang memungkinkan mereka mempengaruhi keputusan politik
demi perbaikan nasib mereka. Hal ini dapat kita temui di beberapa wilayah
indonesia timur, terutama papua yang masih terisolir karena infrastruktur
transportasi yang masih minim. Dalam era otonomi sering putra daerah minta
diistimewakan. Jika ini berlangsung terus menerus mereka akan mengalami isolasi
sosial yang menghambat perkembangan mereka sendiri.

B. Pandangan Jaringan

Pandangan modal sosial yang kedua lebih menekankan pada asosiasi atau
hubungan vertikal dan horisontal antar masyarakat dan antar kelompok kelompok
dalam komunitas dan perusahan. Pandangan ini melihat bahwa ikatan dalam
kelompok yang kuat memungkinkan anggota komunitas mempunyai kesadaran
tentang identitas kelompok dan tumbuh rasa kebersamaan untuk mengejar tujuan
bersama. Namun pada saat yang sama identitas kelompok yang kuat dapat
menumbuhkan sikap sektarian antar kelompok berdasarkan suku, agama, kelas,
13

jender, dan status sosial ekonomi. Hubungan sosial yang menekankan pada rasa
kebersamaan dalam kelompok disebut sebagai bonding social capital, dan
hubungan sosial yang melewati batas kelompok disebut sebagai bridging social
capital (woolcock 2000). Hal ini telah dibahas di atas.

Gambar 2. Modal Sosial Dan Kemakmuran

Agar kita mendapatkan gambaran keterkaitan antara bonding social capital dengan
bridging social capital, gambar 2 diatas akan lebih memperjelas (woolcock 2000).
Gambar 2 menunjukkan bahwa jaringan sosial kelompok yang masuk dalam
kategori miskin semakin beragam sejalan dengan kenaikan tingkat kesejahteraan
mereka.

Modal sosial tercakup dalam jaringan yang mereka bangun dan dimanfaatkan
secara baik dan efisien seperti program Grameen Bank yang diperkenalkan
Muhammad Yunus di Bangladesh. Para perempuan miskin di sana tidak
mempunyai jaminan namun mereka mendapat pinjaman berdasarkan keanggotaan
mereka dalam kelompok yang terdiri dari beberapa orang. Pinjaman tersebut
mereka pakai mendirikan dan menjalankan usaha dalam rangka memperbaiki
kesejahteraan ekonomi keluarga, poin (a). Namun perkembangan usaha mereka
tentu akan mencapai batas tumbuh pada poin (b) terutama jika mereka semua
hanya mengadalkan sumber yang sama dari bonding social capital. Kelompok ini
terus berkembang sebagai akibat terus bertambahnya orang baru yang datang dari
daerah asal yang sama sehingga menekan sumberdaya yang ada dan dengan
sendirinya mengancam kesejahteraan kelompok yang sudah mapan ke poin (c).
Kelompok yang sudah datang lebih awal mulai merasa bahwa kewajiban dan
komitmen moral terhadap orang dari daerah asal menghambat perkembangan
mereka ke depan. Dalam situasi seperti itu sebagian komunitas ini mulai
mengambil jarak dengan anggota komunitas daerah asal pada poin (d) dan mulai
melihat potensi membangun jaringan yang lebih luas dengan kelompok lain. Di
14

sini yang mereka kembangkan adalah bridging social capital dengan maksud
memperluas kesempatan membuka hubungan usaha dengan kelompok lain pada
poin (e). Model yang digambarkan di atas dapat dipakai menjelaskan proses
migrasi yang berlangsung dibanyak negara berkembang.

Salah satu tantangan dalam kebijakan modal sosial dari perspektif jaringan adalah
mengidentifikasi kondisi yang memungkinkan masyarakat memanfaatkan bonding
social capital secara maksimal dalam rangka membantu komunitas dari daerah
asal keluar dari kemiskinan. Pada saat yang sama pemerintah juga perlu
memfasilitasi agar masyarakat dapat memperluas jaringan di luar komunitasnya
atau memperkuat bridging social capital. Kebijakan yang terakhir ini sangat
penting jika pemerintah ingin menghasilkan pengusaha yang tangguh.

C. Pandangan Institusional

Pandangan institusi melihat kekuatan jaringan suatu komunitas terletak pada


lingkungan politik, hukum dan kelembagaan (woolcock 2000). Pandangan
komuniterian dan pandangan jaringan memperlakukan modal sosial sebagai
variabel independen yang dapat berdampak positif maupun negatif terhadap
masyarakat. Kebalikan dari dua pandangan terdahulu, pandangan institusional
memperlakukan modal sosial sebagai variabel dependen. Para penganut
pandangan ini percaya bahwa kapasitas bertindak suatu kelompok sosial untuk
mencapai tujuan tertentu tergantung pada kualitas institusi formal di wilayah
masing masing. Mereka juga percaya bahwa kinerja suatu negara atau perusahan
sangat tergantung pada faktor internal seperti, koherensi, kredibilitas, dan
kompetensi dan keterbukaan mereka terhadap masyarakat sipil. Pandangan ini
memungkinkan pemerintah berperan dalam mendorong terbentuknya jaringan.
Kebijakan kelembagaan dapat memperkuat atau melemahkan jaringan dalam
masyarakat.

Pengalaman beberapa wilayah menunjukkan hubungan yang erat antara peran


pemerintah mendorong modal sosial yang kuat dalam masyarakat. Desentralisasi
di brazil, misalnya, menunjukkan bahwa pemerintahan yang bersih (good
government) ikut memperlancar semua program soaial ekonomi masyarakat lokal
sehingga berjalan dengan baik. Selain itu penelitian lain mendapati adanya
keterkaitan antara modal sosial dengan kelembagaan politik, legal,dan ekonomi.
Penelitian yang dilakukan knack mengungkapkan bahwa kepercayaan sesama
anggota komunitas, aturan hukum yang jelas, kebebasan masyarakat sipil yang
luas, dan kualitas birokrasi yang baik berdampak positif terhadap pertumbuhan
ekonomi. Modal sosial dalam masyarakat ikut berperan mengurangi kemiskinan
dan memperbaiki tingkat pemerataan pendapatan dalam masyarakat.

Sebaliknya modal sosial yang rendah dapat mendorong masyarakat mundur secara
ekonomi. Beberapa penelitian menemukan bahwa pertumbuhan ekonomi rendah
terjadi pada masyarakat yang mengalami fragmentasi etnis yang tinggi dan hak
politik yang rendah (woolcock 2000). Dalam kondisi seperti ini inisiatif anggota
masyarakat menurun karena ketakutan terhadap sikap anarki kelompok lain.
Fragmentasi sosial seperti ini akan berkurang jika bridging social capital cukup
15

tinggi. Lebih lanjut pandangan kelembagaan melihat kelemahan di negara


berkembang seperti korupsi, birokrasi yang lamban, pembatasan kebebasan,
kesenjangan ekonomi, dan kegagalan penjaminan hak milik menghambat
perbaikan kesejahteraan ekonomi masyarakat. Oleh karena itu dalam rangka
meningkatkan pertumbuhan ekonomi kebebasan dan hak politik harus mendapat
jaminan dari pemerintah. Pemerintah harus menjamin agar mereka yang terlibat
dalam proses pembangunan tidak diteror oleh mereka yang lebih kuat atau oleh
negara itu sendiri.

D. Pandangan Sinergi

Pandangan sinergi adalah gabungan dari pandangan jaringan dan pandangan


institusional. Pandangan ini mencoba melihat aliansi dan hubungan yang terjadi
antara birokrasi negara dan berbagai aktor dalam masyarakat sipil (woolcock
2000). Pandangan sinergi banyak dipraktekkan di negara berkembang. Aliran atau
pandangan sinergi melihat bahwa negara dan masyarakat dapat bekerja sama
sehingga sama-sama mendapat untung dari kerjasama tersebut. Memang masih ada
persepsi bahwa negara bisa berperan dengan kerjasama yang minim dengan
masyarakat. Pandangan ini lebih sering kita temui di negara totaliter. Pemahaman
yang benar adalah negara, dunia usaha dan komunitas saling melengkapi dan dapat
membangun kerja sama sinergis baik dalam sektor yang sama maupun sektor yang
berbeda. Tidak semua kerja sama berakibat positif oleh karena itu jangan
mengabaikan dampak negatif dari kerja sama tersebut.

Memang peran negara sangat penting mengkoordinasi berbagai sektor dalam


masyarakat yang berbeda untuk mencapai hasil pembangunan yang masksimal.
Hal ini memang demikian karena negara selain berperan menyediakan barang
publik dan mempunyai kekuasaan memaksa aturan formal, juga berperan sebagai
aktor yang memfasilitasi aliansi antar kelompok sosial dalam wilayah
bersangkutan. Negara dapat menjadi fasilitator yang baik karena tidak mengenal
batas kelas, etnisitas, ras, jender, politik dan agama. Idealnya, negara dapat berdiri
di atas kepentingan semua pihak tanpa membedakan kelompok. Walaupun
demikian kita tidak bisa menutup mata bahwa pada saat tertentu negara
dipengaruhi oleh kelompok tertentu demi kepentingan sesaat. Memang negara
berperan menjaga sinergi antar kelompok sosial namun sebaliknya komunitas dan
dunia usaha dapat menciptakan kondisi bagi terwujudnya kepemerintahan yang
baik (good governance) (woolcock 2000).

Ada juga sinergi antara pemerintah dan masyarakat sipil yang didasarkan pada
prinsip saling melengkapi (complementarity) dan prinsip mengakar
(embeddedness) (evans 1996). Prinsip saling melengkapi yang dimaksud adalah
hubungan yang saling mendukung antara aktor publik dan aktor swasta. Hubungan
seperti ini dicantumkan dalam aturan legal dalam rangka melindungi hak asosiasi,
misalnya, himpunan pengusaha lokal. Perlindungan hak memungkinkan terjadinya
hubungan antara asosiasi komunitas dengan kelompok bisnis. Prinsip mengakar
yang dimaksud mencakup sifat dan bentuk hubungan yang mempertautkan
masyarakat dengan aparat publik. Misalnya, dalam hal irigasi pemerintah dapat
mengangkat orang lokal menjadi pegawai yang mengawasi irigasi di daerahnya
16

daripada menempatkan pegawai dari luar daerah yang salah salah berpotensi
memicu konflik. Pegawai lokal secara sosial sudah mengakar sehingga
memudahkan komunikasi dengan sesama anggota komunitas.
BAB IV
PERAN PEMERINTAH DALAM PENGEMBANGAN ENTREPRENEUR

Setelah mempelajari modul ini, diharapkan peserta mampu Memahami peran


pemerintah dalam pengembangan wiraswasta

A. Pendahuluan

Sejak zaman orde baru hampir semua pemerintah daerah berupaya menarik
investor sebanyak mungkin ke daerah mereka. Mereka membangun berbagai
prasarana transportasi, merancang wilayah industri, menawarkan berbagai
kemudahan ijin, dan insentif pajak.tawaran semacam ini diharapkan akan menarik
para investor datang berinvestasi ke wilayah mereka. Upaya menarik investor
bukanlah pekerjaan yang mudah. Ada wilayah yang sudah melakukan berbagai
kebijakan tapi tidak mampu menggaet minat investor. Namun di lain pihak ada
wilayah tertentu mengalami krisis lahan karena banyaknya investor yang berminat.

Layaknya negara, sebuah wilayah harus secara aktif melakukan hubungan


ekonomi dengan wilayah lain untuk meningkatkan kemakmuran. Setiap wilayah
perlu memperhatikan surplus neraca perdagangan. Wilayah yang kompetitif
cenderung mempunyai surplus perdagangan sedang wilayah yang kurang
kompetitif sering mengalami defisit neraca perdagangan. Analisis semacam ini
masih belum banyak karena data statistik perdagangan di daerah belum tersedia
secara memadai. Memang analisis perdagangan wilayah cukup rumit karena selain
proses perdagangan berlangsung antar satu wilayah dengan wilayah lain dalam
negara yang sama, tidak tertutup kemungkinan proses perdagangan berlangsung
antar satu wilayah dengan luar negeri (amstrong 1993).

Biasanya data perdagangan antar wilayah jarang tersedia, bahkan dalam banyak
hal dianggap tidak terlalu penting. Banyak daerah hanya mengumpulkan data
sekedar memnuhi tuntutan administrasi pusat dan belum melihat manfaat
pengadaan data. Sebenarnya data perdagangan dari suatu wilayah dengan wilayah
lain akan sangat membantu pengambil kebijakan memetakan tujuan pasar ekspor
produk lokal.

Kebijakan pembangunan daerah mempunyai korelasi kuat dengan pembangunan


ekonomi nasional. Daerah mempunyai pegaruh dalam menentukan arah dan
perkembangan ekonomi nasional. Sebenarnya pemerintah pusat berperan dalam
kebijakan pepajakan, pendidikan, dan kebijakan lingkungan, sedangkan
pemerintah daerah lebih berperan dalam pengambilan keputusan investasi dalam
aras lokal. Di sini setiap pemerintah daerah harus mencoba membuat kebijakan
yang dapat mendorong pengusaha dari luar melakukan investasi di wilayah
mereka. Untuk itu pemerintah perlu merancang program yang mendorong dunia
usaha agar dapat berkembang.

Pemerintah daerah dapat mendorong tumbuhnya entrepreneur melalui kebijakan


mikro dan budaya. Kebijakan mikro yaitu melalui pemberian bantuan kepada

17
18

usaha perorangan. Misalnya, jika ada pengusaha yang kekurangan modal maka
pemerintah bisa membantu dengan memberi kredit yang telah disubsidi.

Diharapkan dengan subsidi tersebut pengusaha kecil akan mempunyai margin


yang cukup besar untuk pengembangan usaha lebih lanjut.

Selain itu pemerintah dapat pula mendorong entrepreneurship melalui


mengembangkan budaya usaha. Kegiatan mengubah orientasi budaya tidak bisa
berlangsung dalam waktu singkat. Biasanya budaya usaha diperkenalkan sedini
mungkin kepada anak-anak dengan harapan ketika besar mereka sudah tidak ragu
lagi menggeluti dunia bisnis.

Terlepas dari kedua kebijakan di atas, kebijakan makro harus mendapat perhatian
khusus pemerintah. Ada 3 hal yang perlu diperhatikan pemerintah:

1. Pemerintah menjamin agar sistem pasar bisa bekerja dengan baik. Menjamin
sistem pasar artinya pemerintah sedapat mungkin tidak terlibat terlalu jauh
dalam aktivitas ekonomi. Keterlibatan pemerintah terlalu jauh bisa fatal bagi
pembangunan ekonomi wilayah karena kecenderungan terjadinya moral
hazard. Pengusaha yang potensial bisa saja tersingkir karena favoritisme
pemerintah,
2. Penataan kelembagaan yang memungkinkan kolaborasi antar entrepreneur.
Perlu ada jaminan legal tentang hak dan kewajiban masing masing pihak
dalam menjalin kerja sama usaha. Wilayah yang tidak mampu menjamin
kepastian berusaha akan mengalami kesulitan menarik entrepreneur datang ke
wilayah mereka. Kepercayaan pengusaha kepada lembaga publik yang ada
merupakan jaminan tumbuhnya entrepreneurship di walayah tertentu,
3. Peningkatan rasa kehormatan dan kepercayaan diri terhadap profesi
entrepreneur. Di daerah tertentu profesi sebagai entrepreneur adalah pilihan
terakhir dibanding dengan profesi lain. Oleh karena itu profesi ini tidak
banyak diminati penduduk lokal. Perlu upaya khusus mengubah persepsi
masyarakat tentang profesi sebagai entrepreneur. Biasanya melalui
pendidikan atau media masa.

B. Pemerintah Dan Pengembangan Usaha Kecil

Tantangan yang sering dihadapi pemerintah daerah adalah pembentukan


entrepreneur lokal. Kebanyakan pemerintah daerah hanya konsentrasi pada
keinginan menarik entrepreneur dari luar daerah dan melupakan potensi
entrepreneur lokal yang berdomisili di wilayah bersangkutan. Kebijakan publik
pemerintah daerah seharusnya merangsang pengembangan entrepreneur lokal.
Memang tidak salah menarik entrepreneur luar jika terjadi kekurangan stok
entrepreneur lokal. Namun sering terjadi pemerintah daerah menganaktirikan
pengusaha lokal. Hal ini karena pemahaman yang salah yang melihat bahwa hanya
pemodal dari luar wilayah yang dapat menyumbang terhadap pertumbuhan
ekonomi.
19

Salah satu ciri usaha di daerah adalah jumlah usaha kecil dan menengah yang
cukup banyak. Jenis usaha ini sering diabaikan karena dianggap kurang berperan
terhadap pertumbuhan ekonomi suatu wilayah. Pengalaman beberapa negara maju
adalah usaha besar memberikan sumbangan positif terhadap pertumbuhan
ekonomi wilayah. Sebenarnya usaha kecil menengah sangat berperan dalam
menciptakan lapangan kerja. Sektor usaha kecil menengah ini yang selalu
diandalkan ketika negara berada dalam krisis ekonomi.

Memang ada keraguan terhadap kemampuan usaha kecil menengah melakukan


inovasi. Untuk melakukan inovasi dibutuhkan dana yang cukup besar dan pasar
yang luas. Usaha kecil menengah tampaknya sulit memenuhi dua kondisi di atas.
Namun demikian usaha kecil menengah dapat memainkan peran menjadi pemasok
perusahan besar melalui sub-contracting. Dengan kerja sama seperti ini otomatis
akan terjadi proses pemerataan karena adanya efek menetes ke bawah.

Dalam rangka pembentukan dan pengembangan usaha kecil maka dibutuhkan


kebijakan kewirausahaan. Pengalaman selama ini ada 3 strategi yang ditempuh
pengambil kebijakan mendorong usaha kecil:

1. Menarik usaha baru dari luar wilayah. Hal ini dilakukan jika stok entrepreneur
lokal belum mencukupi sehingga banyak wilayah yang belum terlayani;
2. Membantu pengembangan usaha yang sudah ada. Pemerintah membantu
pengembangan entrepreneur yang sudah ada dalam rangka meningkatkan
daya saing dengan entrepreneur dari luar;
3. Mendorong pembentukan usaha baru. Pemerintah mengambil langkah ini jika
pemerintah merasakan minat masyarakat lokal masuk ke sektor
entrepreneurial masih kurang.

Kebijakan pemerintah di atas perlu ditunjang pula dengan kebijakan kelembagaan.

Ada 4 hal yang biasanya menjadi perhatian pemerintah:

1. Membuat aturan yang mendukung dunia usaha. Peraturan yang dibuat harus
memperhatikan apakah dunia usaha dimungkinkan berkembang baik atau
tidak. Sering terjadi aturan pemerintah daerah justru mematikan usaha kecil
dan menengah.
2. Kebijakan insentif pajak. Pemerintah juga dapat membuat kebijakan insentif
pajak dengan mengurangi atau bebas pajak untuk jangka waktu tertentu.
Kebijakan ini dimaksudkan agar usaha kecil menengah mempunyai margin
usaha yang lebih besar yang nantinya dapat dipakai sebagai perluasan usaha.
3. Bantuan keuangan langsung. Pemerintah dapat memberi bantuan langsung
dalam bentuk menyiapkan tempat usaha atau bantan kredit lunak. Khusus
untuk bantuan kredit masih menjadi perdebatan, karena dianggap tidak
mendidik para pengusaha menjadi mandiri.
4. Bantuan non-keuangan. Bantuan non-keuangan dapat dilakukan dengan
mempercepat ijin usaha atau memfasilitasi para pengusaha kecil dan
20

menengah berkunjung ke sentra industri di tempat lain dalam rangka


memperluas wawasan mereka.

Pemerintah daerah dapat mendorong pembangunan usaha kecil menengah dengan


membantu usaha yang baru tumbuh dengan memberikan akses terhadap fasilitas,
peralatan, pelatihan, pendidikan, dan modal. Dalam kaitan itu pemerintah
mengembangkan beberapa hal:

1. Membuat lembaga konseling bagi usaha baru


Dalam rangka mendirikan lembaga konseling, pemerintah dapat menjalin
bekerja sama dengan pusat pengembangan usaha kecil dan menengah,
jaringan bisnis, dan inkubator yang menawarkan program bantuan manajemen
dan teknis yang dapat meningkatkan kesadaran kewirausahaan dan bantuan
lain tentang bagaimana suatu usaha dijalankan.
2. Pendidikan kewirausahaan
Dalam kaitan dengan pendidikan kewirausahaan pemerintah dapat berkerja
sama dengan universitas yang mempunyai pusat pengembangan usaha kecil
dan menengah. Pokok pokok yang perlu diperhatikan dalam pendidikan
adalah bagaimana memulai usaha, bagaimana membangun dan membuat
rencana usaha, dan proses pengembangan usaha.
3. Bantuan fasilitas
Pemerintah dapat mendirikan inkubator dalam rangka memberi dukungan
terhadap usaha yang baru tumbuh agar menjadi dewasa. Dukungan yang
dimaksud adalah pengembangan manajemen.
4. Pembentukan modal
Pada akhirnya sebuah usaha membutuhkan modal uang dalam rangka
membangun dan mengembangkan usaha. Untuk itu pemerintah membantu
pengusaha kecil melalui 2 hal:
a. Membuat program memberi akses ke modal;
b. Memberi bantuan modal langsung.
21

Kasus :

Peraturan Daerah (Perda) Yang Memberatkan Dunia Usaha

Departemen keuangan melaporkan ada sekitar 1300 perda tenang pajak dan
retribusi yang tidak dilaporkan. Perda perda ini diperkirakan menyebabkan
ekonomi biaya tinggi. Menurut Direktur Pertimbangan Keuangan Mardiasmo di
jakarta, hingga 21 mei 2007, Perda tentang pajak dan retribusi yang dilaporkan
baru 9634 buah. Tampaknya hal ini terjadi karena daerah belum memikirkan
bahwa mereka mempunyai kewajiban melaporkan kepada pemerintah pusat.

Salah satu alasan mengapa daerah tidak membuat laporan adalah Undang-
undang nomor 34 tahun 2004 tentang pajak dan retribusi daerah tidak
menyebutkan tentang sanksi apa pun dan memberi kebebasan daerah membuat
Perda. Untuk mengatasi hal tersebut sebenarnya departemen keuangan sudah
menyampaikan permintaan agar setiap daerah harus menyerahkan perda pajak
dan retribusi paling lambat 15 hari setelah pengesahan. Walaupun surat tersebut
teah dilayangkan sejak 28 november 2006, namun masih 71 daerah yang belum
menyerahkan perda mereka.

Kehadiran perda ini tentang pajak dan retribusi memang menimbulkan masalah
berupa ekonomi biaya tinggi. Hal ini diungkapkan oleh Ketua Umum Asosiasi
Pengusaha Indonesia Sofyan Wanandi. Kehadiran pajak dan retribusi daerah
mengakibatkan dunia usaha tidak mampu bersaing dengan produk dari negara
lain. Sofyan wanandi sendiri mempertanyakan pajak dan retribusi bagi
pembangunan daerah sangat kecil karena sebagian besar dipakai membeli
serifikat bank indonesia (SBI). Dari laporan bank indonesia hingga akhir april
2007, dana pemerintah daerah yang disimpan di perbankan sekitar 90 triliun
rupiah dalam bentuk tabungan, giro, dan deposito.

Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah melihat


bahwa kehadiran perda tentang pungutan yang begitu banyak disebabkan oleh
kecilnya basis pajak yang dimiliki Pemda. Selain itu banyak aparat Pemda yang
belum mempunyai pemahaman pembangunan ekonomi daerah jangka panjang.
Mereka masih berorientasi pada pembangunan jangka pendek.

Pendapatan asli daerah yang ideal adalah sekitar 40 persen dari total APBD.
Untuk itu pemerintah harus bekerja keran karena banyak daerah yang belum
mampu memenuhi target tersebut. Pemda dapat melakukan inovasi dalam
penerimaan sehingga tidak meresahkan dunia usaha. Memang situasi yang
dihadapi pemda sangat dilematis. Di satu pihak mereka dituntut meningkatkan
pendapatan daerah melalui pajak dan retribusi tapi di lain pihak mereka juga
perlu menjaga agar dunia usaha tidak terbebani dengan berbagai pungutan.
Sumber: kompas selasa, 22 mei 2007
BAB V
PERANAN WIRASWASTA MENCIPTAKAN LAPANGAN KERJA

Setelah mempelajari modul ini, diharapkan peserta mampu Memahami


peranan wiraswasta menciptakan lapangan kerja

A. Pembahasan

Topik kewirausahaan menjadi perhatian para pengambil keputusan di berbagai


wilayah. Entrepreneruship dipandang sebagai suatu kegiatan yang mempunyai
potensi menciptakan dan meningkatkan perumbuhan lapangan kerja. Masih
banyak daerah yang belum menyadari tentang pentingnya sektor entrepreneur
menciptakan lapangan kerja. Di berbagai negara peranan sektor entrepreneur
menciptakan lapangan kerja sudah mendapat pengakuan. Penelitian di amerika
menunjukkan 25 perusahan mampu mencipatakan 1,4 juta lapangan kerja
(mcquaid 2003). Banyak negara menyadari bahwa jumlah perusahaan yang
tumbuh cepat menjadi kunci penciptaan lapangan kerja. Oleh karena itu sektor
entrepreneur perlu diberi perhatian dan dilindungi.

Sektor entrepreneur menjadi sangat penting karena keterbatasan pemerintah


menyediakan lapangan kerja kepada masyarakatnya. Anggaran pemerintah
terbatas membuka lapangan kerja baru sedangkan di lain pihak angkatan kerja
terus bertambah sejalan dengan pertambahan penduduk. Pertumbuhan angkatan
kerja memberi tekanan terhadap ketersediaan lapangan kerja di suatu daerah. Jika
daerah tidak mampu menyediakan lapangan kerja maka akan terjadi tingkat
pengangguran yang tinggi. Jika sektor entrepreneurial berkembang maka tingkat
pengangguran dapat ditekan lebih kecil.

Keterkaitan antara turunnya tingkat pengangguran dengan kewirausahaan sudah


diamati para ahli sejak lama. Tingkat pengangguran suatu wilayah mempunyai
korelasi negatif dengan perkembangan entrepreneurship di wilayah tersebut.
Wilayah yang mempunyai tingkat pengangguran rendah mempunyai tingkat
entrepreneurship yang tinggi. Mereka mendapati bahwa jika individu menganggur
dan prospek masuk lapangan kerja sulit maka mereka cenderung membangun
usaha sendiri. Hal ini berarti entrepreneurship suatu wilayah berkembang karena
seseorang tidak ingin menjadi penganggur.

Ada dua tipe entrepreneur yang memberi kontribusi positif terhadap penciptaan
lapangan kerja. Tipe entrepreneur pertama adalah para investor yang membangun
usaha besar. Jelas tipe entrepreneur seperti ini akan memberi kontribusi yang
cukup tinggi terhadap perekonmian daerah. Perusahan yang mereka dirikan pada
umumnya dapat menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar. Pemerintah daerah
berharap jenis entrepreneur semacam ini ikut berperan mengurangi tingkat
pengangguran di wilayah mereka.

Tipe entrepreneur yang kedua adalah mereka yang berusaha sendiri (self
employment). Para enterpreneur jenis ini pada umumnya memiliki usaha dalam

22
23

skala kecil. Mereka menciptakan lapangan kerja untuk diri sendiri dan sering
dikenal sebagai “routine enterpreneurs.” Para entrepreneur kecil disebut sebagai
entrepreneur rutin karena tujuan utama usaha mereka sekedar memenuhi
kebutuhan rumah tangga mereka. Biasanya jenis pengusaha seperti ini menggeluti
suatu bidang usaha selama jangka waktu tertentu tanpa mempunyai visi
pengembangan ke depan. Mereka tetap mempertahankan jenis usaha dan irama
usaha yang sama selama bertahun tahun.

Ada pengecualian untuk beberapa entrepreneur yang memulai usaha sebagai


entrepreneur rutin dan kemudian berkembang menjadi entrepreneur dengan
berbagai macam usaha. Para entrepreneur semacam ini pada awalnya berusaha
sebagai pengusaha kecil dan kemudian berkembang menjadi pengusaha mennegah
dan besar. Jumlah mereka tidak terlalu banyak, namun kehadiran mereka dapat
menjadi inspirasi bagi entrepreneur lain. Agar pengusaha kecil dapat bergeser
menjadi pengusaha menengah dan besar dibutuhkan perhatian dan kebijakan
pemerintah yang intensif.

Hampir tidak ada suatu wilayah pun yang luput dari pengaruh globalisasi. Pada
masa yang lalu suatu daerah masih mengandalkan tenaga kerja murah atau tanah
yang murah sebagai andalan keberhasilan pembangunan, sekarang tidak mungkin
lagi. Prospek ekonomi suatu wilayah akan ditentukan oleh faktor faktor seperti
ketrampilan tenaga kerja, akses ke modal dan informasi, dan kegiatan inovatif. Di
sinilah enterpreneurship menjadi sangat penting. Mereka yang bekerja untuk diri
sendiri, biasanya usaha kecil, adalah enterpreneur lokal yang perlu mendapat
perhatian. Mereka ini yang jika dibina dengan baik akan menjadi pengusaha besar
dan dpat memberi kontribusi pada penciptaan lapangan kerja.

B. Bagaimana Melihat Potensi Enterpreneurship Suatu Wilayah

Enterpreneurship dapat dipandang sebagai aset suatu wilayah yang perlu


mendapat perhatian. Enterpreneurship sudah mulai dilihat sebagai motor
pertumbuhan suatu wilayah. Salah satu sumbangan para enterporeneur dalam
perekonomian suatu wilayah adalah membuka kesempatan kerja. Para
enterpreneur tidak hanya membuka lapangan kerja tapi mereka juga menciptakan
kemakmuran bagi masyarakat suatu daerah. Peran enterprenerur sudah tidak tidak
perlu diperdebatkan lagi namun yang perlu diperhatikan adalah bagaimana
mengukur enterpreneurship di suatu wilayah?, Tanpa ukuran yang jelas tentang
enterpreneurship para pengambil keputusan mengalami kesulitan mengevaluasi
kegiatan enterpreneur di wilayah mereka.

Paling tidak ada dua indikator sebagai alat ukur kegiatan enterpreneur di suatu
daerah. Pertama, mengukur kuantitas kegiatan enterpreneur, atau mengukur
luasnya (breadth) kegiatan enterpreneur di seluruh wilayah. Luas kegiatan
enterpreneur menunjukkan tentang jumlah dan keragaman usaha kecil yang ada di
di suatu wilayah dan merupakan fondasi bagi pertumbuhan ekonomi. Ukuran
kedua lebih memberi tekanan pada kualitas, atau kedalaman (depth) kegiatan
enterpreneur di suatu wilayah. Kedalaman yang dimaksud merujuk pada nilai
yang diperoleh usaha kecil tersebut dan nilai yang disumbangkan bagi ekonomi
24

lokal. Para enterpreneur yang dmaksud di sini adalah mereka yang membuka
usaha sendiri (self employed).

Bagaimana menghitung breadth atau luas aktivitas para enterpreneur. Luas


kegiatan dihitung dengan cara menjumlahkan semua orang yang berusaha sendiri
dan dibagi dengan total kesempatan kerja di wilayah tersebut. Ratio ini sangat
berguna dalam memberi gambaran tentang konsentrasi para pengusaha di berbagai
sub-daerah dalam wilayah administrasi tertentu. Jadi jika wilayah yang dimaksud
sebuah kabupaten maka kita bisa mendapatkan ratio pengusaha yang berusaha
sendiri terhadap total kesempatan kerja berdasarkan desa. Dengan melihat ratio
antar desa maka kita dapat gambaran tentang konsentrasi pengusaha di desa
tertentu.

Untuk mengukur depth, atau kedalaman usaha para enterpreneur ada dua ukuran
yang dipakai, pendapatan rata-rata (average income) dan pendapatan yang
diperoleh dari usaha (revenue capture). Ada asumsi bahwa para enterpreneur
dengan pendapatan rata-rata yang tinggi mengoperasikan perusahan yang
menghasilkan laba yang tinggi, sehingga memberikan sumbangan yang lebih
positif terhadap ekonomi masyarakat. Jika pendapatan rata-rata meningkat berarti
daerah secara menyeluruh akan lebih makmur. Kedalaman enterpreneurship
adalah ratio pendapatan rata-rata terhadap pendapatan ketika pengusaha itu bekerja
di wilayah tersebut.

Ukuran kedua untuk kedalaman adalah ratio pendapatan yang diperoleh melalui
usaha dibagi dengan total penjualan barang dan jasa oleh pengusaha tersebut.
Semakin besar ratio berarti semakin besar sumbangan langsung enterpreneur
terhadap ekonomi lokal. Hal ini bisa terjadi dengan asumsi pengusaha yang
beroperasi di wilayah tersebut tidak melakukan investasi keluar daerah
bersangkutan.

C. Pertanyaan Diskusi

1. Jelaskan peran enterpreneur dalam pembangunan suatu wilayah!


2. Jelaskan faktor sosial budaya yang menghambat pembentukan enterpreneur
di daerah anda!
3. Menurut anda bagaimana upaya pemerintah daerah mendorong pembentukan
enterpreneur lokal.dapatkan anda memberikan gambaran tentang peta
kekuatan enterpreneur lokal di daerah anda?
4. Bagaimana pendapat anda tentang kehadiran enterpreneur migran. Apa
keuntungan dan apa kerugian dengan enterpreneur migran?
5. Apa yang mendorong kehadiran enterpreneur migran ke daerah anda?
6. Apakah anda dapat memberi gambaran tentang peta profil enterpreneurship di
wilayah anda? Dapatkan anda mengidentifikasi faktor faktor yang berperan
dalam pembentukan profil enterpreneurship di wilayah anda?
25

7. Dapatkah anda mengidentifikasi peraturan daerah yang berpotensi berdampak


negatif pada dunia usaha di daerah anda?
8. Menurut anda apa masalah yang dihadapi pengusaha ketika mereka ingin
membuka usaha baru?

D. Kesimpulan

Banyak pejabat yang belum menyadari peran yang dimainkan para wiraswatawan
dalam pembangunan ekonomi. Memang selama ini sebagian besar pemerintah
daerah lebih mengandalkan dana alokasi umum (DAU) atau dana alokasi khusus
(DAK) menunjang pembangunan daerah. Kondisi semacam ini yang menyebabkan
banyak daerah yang kuarng memperhatikan peran wiraswasta dalam pembangunan
ekonomi. Wilayah yang mempunyai kelas wiraswasta yang kuat cenderung lebih
berkembang daripada wilayah yang kurang mempunyai kelompok wiraswasta
yang berkualitas. Para wiraswasta berperan penting dalam mencipakan lapangan
pekerjaan yang selalu menjadi momok berbagai daerah karena pertumbuhan
angkatan kerja yang cepat. Selain itu kelompok wiraswasta yang kuat akan ikut
menunjang peningkatan pendapatan asli daerah. Dana ini sangat diperlukan daerah
dalam rangka menundukung program pembangunan.

Melihat peran yang begitu penting pemerintah daerah seharusnya mempunyai


program pengembangan wiraswasta lokal. Wiraswasta lokal perlu mendapat
perhatian karena mereka ini yang berdiam di daerah bersangkutan dan lebih besar
menanamkan modal di wilayah tersebut. Memang sedikit ironis pemerintah lebih
mengandalkan wiraswasta dari luar daerah tapi pemerintah harus sadar bahwa ada
kemungkinan besar sebagian besar keuntungan ditransfer kembali ke luar daerah
sehingga tidak menimbulkan efek multiplier yang kuat unutk daerah bersangkutan.
Dengan kata lain ada kemungkinan wiraswasta dari luar daerah dapat
meninggalkan suatu daerah jika mereka merasa daerah tersebut sudah tidak
menjanjikan. Hal ini ini bisa terjadi dengan pengusaha lokal dengan kemungkinan
yang lebih kecil.

Walaupun demikian tidak berarti daerah tidak perlu menerima wiraswasta dari
luar. Jika pengusaha lokal belum mampu atau jumlah pengusaha lokal masih
sedikit maka tidak ada salahnya jika pemerintah perlu mengundang pengusaha dari
luar. Ada beberapa keuntungan pengusaha dari luar, seperti, transfer pengetahuan,
dan membuka peluang pasar bagi produk lokal. Tentu pemerintah harus
mempunyai kebijakan agar sedapat mungkin pengusaha dari luar bermitra dengan
pengussaha lokal.

Salah satu aspek penting dalam pembangunan daerah yang mengandalkan


wiraswasta adalah modal sosial. Modal sosial sebenarnya sudah sering diterapkan
dalam melakukan usaha di Asia. Modal sosial intinya adalah kepercayaan yang
terjalin melalui jaringan usaha. Jika suatu masyarakat mempunyai modal sosial
yang kuat maka biaya usaha dapat dikurangi. Struktur biaya ini sangat
berpengaruh terhadap penetapan harga pokok produk yang pada akhirnya akan
ikut menentukan daya saing produk daerah bersangkutan. Daya saing produk pada
26

akhirnya ikut menentukan daya saing suatu wilayah. Oleh karena itu pemerintah
seharusnya meningkatkan kemampuan wiraswasta dengan mengurangi biaya-biaya
siluman yang tidak perlu.
DAFTAR PUSTAKA

Amstrong, h., and taylor, j. (1993). Regional economics & policy. London, harvester.
Bourdieu, p. (1986). The forms of capital. Handbook of theory and research for the
sociology of education. J. G. Richardson. New york, greenwood press.
Evans, p. (1996). "government action, social capital and development: reviewing the
evidence on synergy." world development 24(6): 1119-1132.
High, j. (2004). The roles of entrepreneurship in economic growth: toward a theory of
total factor productivity. Entrepreneurship and regional economic development, a
spatial perspective. H. L. F. De groot, nijkamp, p., and stough, r.r. cheltenham,
edwar elgar.
Mcquaid, r. W. (2003). Entrepreneurship and regional development policies.
Employment research institute. Edinburgh, napier university.
Stimson, r. J., stough, r.r. and roberts, b.h. (2002). Regional economic development,
analysis and planning strategy. Berlin.
Van den bergh, j. C. M. (2004). Firm behaviour and organisation from an evolutionary
perspective. Entrepreneurship and regional economic development, a spatial
perspective. H. L. F. De groot, nijkamp, p., and stough, r.r. cheltenham, edwar
elgar.
Verheul, i., wennekers, s., audretsch, d., and thurik, r. (2001). An ecletic theory of
entrepreneurship. 3. 30. Amsterdam, tinbergen institute.
Woolcock, m., and narayan, d. (2000). "social capital: implication for development
theory, research, and policy." the world bank research observer 15(2).
This document was created with Win2PDF available at http://www.daneprairie.com.
The unregistered version of Win2PDF is for evaluation or non-commercial use only.

Anda mungkin juga menyukai