Patofisiologi Meningitis PDF
Patofisiologi Meningitis PDF
TINJAUAN PUSTAKA
Meningitis bakteri adalah suatu peradangan pada selaput otak yang mengenai lapisan
piamater dan ruang subaraknoid termasuk CSS yang dapat disebabkan oleh bakteri yang menyebar
masuk ke dalam ruang subaraknoid (Sáez-Llorens dan McCracken, 2003; Hoffman dan Weber,
2009).
Bakteri yang dapat menimbulkan meningitis adalah bakteri yang mampu melewati
perlindungan yang dibuat oleh tubuh dan memiliki virulensi poten. Faktor host yang rentan dan
lingkungan yang mendukung memiliki peranan besar dalam patogenesis infeksi. Pada individu
dewasa yang imunokompeten, S. pneumonia dan N. meningitides adalah patogen utama penyebab
meningitis bakteri, karena kedua bakteri tersebut memiliki kemampuan kolonisasi nasofaring dan
menembus SDO. Basil gram negatif seperti E. coli, S. aureus, S. epidermidis, Klebsiella spp dan
Pseudomonas spp biasanya merupakan penyebab meningitis bakteri nosokomial, yang lebih
mudah terjadi pada pasien kraniotomi, kateterisasi ventrikel internal ataupun eksternal, dan trauma
kepala (Roper dan Brown, 2005; Clarke et al., 2009).Sedangkan bakteri gram positif berbentuk
kokus yang juga merupakan penyebab meningitis bakteri (meningitis suis) adalah S. suis
6
Tabel 2.1. Penyebab umum meningitis bakteri berdasarkan usia dan faktor risiko
Neonatus (usia <3 bulan) Escherichia coli; Streptococcus grup B; Listeria monocytogenes
Bayi dan anak (usia >3 bulan) S. pneumonia; N. meningitidis; H. infl uenzae
S.suismerupakan penyebab meningitis paling sering pada usia 47-55 tahun dan tidak pernah
Ada beberapa faktor risiko yang mempengaruhi individu atau host yaitu : usia,
demografi/faktor sosial ekonomi, paparan kuman, dan status imun yang rendah (Mace, 2008).
Meningitis dapat terjadi pada semua usia dan pada individu yang sebelumnya sehat. Pasien lanjut
usia(>60 tahun) dan pasien anak (<5 tahun, terutama bayi / neonatus) memiliki tingkat kerentanan
yang tinggi terhadap insiden meningitis (Choi, 1992; Chavez-Bueno dan McCracken, 2005).
7
Sedangkan yang termasuk faktor demografi dan sosial ekonomi meliputi: jenis kelamin laki-laki,
ras Afrika Amerika, status sosial ekonomi yang rendah dan komunitas yang hidup di asrama atau
bakteri. Yang termasuk kondisi imunosupresi : diabetes, alkoholik, sirosis / penyakit hati,
spelenektomi, gangguan hematologi (misalnya, penyakit sel sabit, talasemia mayor), keganasan,
Immunedeficiency Virus (HIV), dan terapi obat imunosupresi (Schutzeetal., 2002; Mace, 2008).
Ada beberapa mekanisme masuknya bakteri ke dalam CSS, paling sering melalui
penyebaran secara hematogen, dapat juga melalui penyebaran langsung dari perluasan infeksi yang
berdekatan. Faktor-faktor yang mendukung bakteri dapat masuk ke dalam CSS adalah : kolonisasi
baru, infeksi pada daerah yang berdekatan (misalnya, sinusitis, mastoiditis, otitis media), kultur
darah dari CSS(misalnya, penyalahgunaan obat intravena, bakteri endokarditis) gangguan pada
dura, paska bedah saraf, trauma tembus CSS, cacat bawaan, shunt (misalnya, ventrikel shunt),
kateter epidural, perangkat monitoring intrakranial, External Ventrikular Drainage (EVD) (Mace,
2008). Pasien paska operasi bedah saraf dan yang memiliki shunt ventriculoperitoneal serta pasien
yang memiliki trauma kepala penetrasi berisiko untuk terjadinya meningitis yang disebabkan oleh
stafilokokus (Wang et al., 2005). Sedangkan pasien yang memiliki implan koklea sangat berisiko
8
2.1.5 Patofisiologi meningitis bakteri
Infeksi bakteri dapat mencapai selaput otak melalui aliran darah (hematogen) atau
perluasan langsung dari infeksi yang disebabkan oleh infeksi dari sinus paranasalis, mastoid, abses
otak dan sinus kavernosus. Bakteri penyebab meningitis pada umumnya berkolonisasi di saluran
pernapasan bagian atas dengan melekatkan diri pada epitel mukosa nasofaring host. Selanjutnya
setelah terhindar dari sistem komplemen host dan berhasil menginvasi ke dalam ruang
intravaskular, bakteri kemudian melewati SDO dan masuk ke dalam CSS lalu memperbanyak diri
karena mekanisme pertahanan CSS yang rendah. Dalam upaya untuk mempertahankan diri
terhadap invasi bakteri maka kaskade inflamasi akan teraktivasi sebagai mekanisme pertahanan
Bakteri penyebab meningitis memiliki sifat yang dapat meningkatkan virulensi kuman
antibodi sehingga memungkinkan terjadinya perlekatan bakteri pada mukosa nasofaring dan
terjadinya kolonisasi. Perlekatan pada mukosa epitel nasofaring host oleh N. meningitidis terjadi
melalui fimbria atau silia. Dikatakan kerusakan silia ini akibat adanya infeksi saluran pernapasan
bagian atas dan juga kebiasaan merokok dapat mengurangi kemampuan fimbria atau silia dalam
mencegah perlekatan bakteri pada mukosa nasofaring. Bakteri kemudian akan memasuki ruang
influenzae memisahkan tight junction apikal antara sel epitel untuk menginvasi mukosa dan
9
Bakteri berkapsul (S. pneumonia, H. influenzae dan N. meningitidis) mencegah
kerusakan oleh host setelah berada dalam aliran darah,karena kapsul polisakarida bakteri
menghambat fagositosis dan aktivitas komplemen bakterisida. Setelah bakteri berada dalam aliran
darah, bakteri akan beradhesi ke SDO tergantung kualitas struktural dari bakteri seperti fimbria
pada beberapa strain E. coli, dan silia dan fimbria pada N. meningitidis (Mace, 2008).
Sistem pertahanan CSS host yang rendah menyebabkan bakteri akan cepat berkembang
biak setelah memasuki CSS. Beberapa faktor host yang berpengaruh terhadap mekanisme
pertahanan dalam CSS yang rendah adalah : kadar komplemen yang rendah, tingkat
komponen bakteri dalam CSS akan memicu kaskade inflamasi pada host. Komponen sitokin
proinflamasi seperti interleukin 1 (IL 1), Tumor NecrosisFacto r(TNF) dan berbagai sel lainnya
termasuk makrofag, mikroglia, sel meningeal, dan sel-sel endotel. Sitokin mengaktivasi migrasi
neutrofil ke CSS melalui beberapa mekanisme. Sitokin meningkatkan afinitas pengikatan leukosit
sel endotel, dan menginduksi adhesi molekul yang berinteraksi dengan reseptor leukosit (Mace,
2008).
Selain itu neutrofil CSS melepaskan substansi prostaglandin, metabolit toksin oksigen,
matrix metalloproteinases (MMP) yang meningkatkan permeabilitas pembuluh darah dan secara
langsung dapat juga menyebabkan neurotoksisitas. Kaskade inflamasi ini menyebabkan kelainan
pada aliran darah otak (ADO) dan terjadi edema serebral. Edema serebral yang timbul dapat berupa
edema vasogenik akibat dari peningkatan permeabilitas SDO atau edema sitotoksik yang
disebabkan oleh peningkatan cairan intraseluler diikuti perubahan dari membran sel dan hilangnya
homeostasis seluler. Sekresi hormon antidiuretik turut berkontribusi pada terjadinya edema
10
sitotoksik dengan membuat cairan ekstrasel hipotonik dan meningkatkan permeabilitas otak.
Edema interstitial disebabkan oleh meningkatnya volume CSS, baik oleh karena peningkatan
produksi CSS melalui meningkatnya aliran darah pada pleksus koroid atau menurunnya reabsorpsi
sehingga terjadi peningkatan resistensi aliran CSS. Selain itu peradangan pembuluh darah lokal
atau trombosis dapat menyebabkan hipoperfusi serebral fokal sehingga mengganggu autoregulasi
aliran darah, dimana dapat terjadi peningkatan tekanan intrakranial (TIK) yang dapat
menyebabkan herniasi otak dan kematian (van de Beek et al., 2006; Mace, 2008).
11
Komponen
bakteri
Interaksi endotel-
IL-1 TNF dan IL-1
leukosit
PG2 PAF
Gejala klasik meningitis bakteri berupa demam, sakit kepala, kaku kuduk
dan tanda-tanda disfungsi otak (penurunan kesadaran mulai dari apatis sampai koma) (Tunkel,
2001). Meskipun demikian dilaporkan hanya 44-75% pasien memiliki tiga gejala yaitu demam,
12
kaku kuduk dan perubahan status mental, setidaknya semua pasien mengalami salah satu gejala di
atas dan 95% memiliki dua dari empat gejala (sakit kepala, demam, kaku kuduk dan perubahan
status mental (Durand et al., 1993; van de Beeket al, 2004). Kaku kuduk dapat disertai tanda
Kernig atau Brudzinski atau keduanya. Tidak adanya tanda tersebut tidak mengesampingkan
diagnosis meningitis bakteri. Pada suatu studi prospektif menunjukkan sensitivitas tanda Kernig
sebesar 5%, tanda Brudzinski 5% dan kaku kuduk 30%. Hal ini menunjukkan bahwa tanda-tanda
ini tidak akurat dalam mendiagnosa pasien meningitis (Thomas et al., 2002). Kelumpuhan saraf
kranial (III, IV, VI dan VII) dan gejala fokal lainnya terjadi pada 10-20% kasus. Sekitar 30%
pasien mengalami kejang. Peradangan dan trombosis pembuluh darah, sering terjadi dalam ruang
subaraknoid, menyebabkan terjadinya iskemik daerah kortikal dan subkortikal yang dapat
mengakibatkan kejang dan defisit neurologis fokal. Dengan memburuknya penyakit, tanda-tanda
peningkatan tekanan intrakranial dapat terjadi termasuk koma, hipertensi, bradikardi dan
Pemeriksaan CSS melalui pungsi lumbal merupakan alat diagnostik utama dalam
menegakkan meningitis bakteri (Tunkel, 2001). Pada pemeriksaan CSS yang mendukung kearah
infeksi meningitis bakteri adalah jumlah leukosit meningkat bisa mencapai ribuan dengan dominan
neutrofil (>60%), kadar protein dalam CSS meningkat (>200 milligram (mg)/desiliter (dL)) dan
penurunan konsentrasi glukosa (<40 mg/dL atau kurang dari 30% gula darah sewaktu) (Ganiem,
2011). Dikatakan kadar leukosit CSS rendah (0-20/mm3) berhubungan dengan prognosis yang
buruk. Pewarnaan gram dan kultur harus dilakukan pada semua spesimen CSS. Gangguan dari
SDO menyebabkan peningkatan kadar protein CSS pada hampir semua pasien. Kadar glukosa <
40 mg/dL ditemukan pada sekitar 60% pasien dengan sebagian besar memiliki rasio serum glukosa
13
≤0,4. Pada saat yang sama, kadar leukosit dan protein CSS normal dapat ditemukan pada pasien
immunocompromise berat dalam beberapa kasus meningitis neonatus dan pada awal penyakit
Pemeriksaan pewarnaan gram pada CSS dapat dilakukan cepat, akurat pada 60-90%
dengan spesifitas hampir 100% pada pasien dengan meningitis bakteri (Domingoet al., 1997).
Semakin tinggi konsentrasi bakteri di dalam CSS, kemungkinan mendeteksi organisme dengan
pewarnaan gram lebih tinggi. Pasien yang telah mendapatkan antibiotik sebelum terapi yang sesuai
Beberapa tes diagnostik cepat telah dikembangkan untuk membantu dalam menegakkan
diagnosis meningitis bakteri (Gray dan Fedorko, 1992; Tunkel, 2001).Tes aglutinasi latex
streptokokus B. Namun, mengingat tes antigen bakteri kurang berperan dalam pemberian terapi
antibiotik dan telah dilaporkan memberikan hasil positif palsu maka penggunaan rutin modalitas
ini untuk diagnostik cepat dari penyebab infeksi bakteri meningitis tidak dianjurkan (Tunkel et al.,
2004). Tes amplifikasi asam nukleat, seperti Polymerase Chain Reaction (PCR) telah digunakan
untuk mengetahui Deoxyribo Nucleic Acid (DNA) dari pasien dengan meningitis yang disebabkan
oleh beberapa patogen meningeal. Pemeriksaan PCR bakteri berperan dalam menegakkan
diagnosis meningitis dan keputusan dalam memulai atau menghentikan terapi antibiotika. Dalam
suatu studi berbasis luas, menunjukkan sensitivitas PCR 100% dengan spesifisitas dari 98,2%,
nilai prediksi positif 98,2% dan nilai prediksi negatif prediktif 100% (Saravolatz et al., 2003).
Sensitivitas PCR dalam mendiagnosis meningitis pneumokokus sekitar 92-100% dan spesifisitas
sebesar 100% (Werno dan Murdoch, 2008). PCR sangat berperan terhadap pasien yang telah
menerima antibiotik sebelum pengobatan yang sesuai dan pada kultur kuman negatif pada
14
pemeriksaan CSS (Singhi et al., 2002; Tunkel et al., 2004). Beberapa peranan protein telah
dipelajari dalam mendiagnosis meningitis bakteri akut. Pasien dengan meningitis bakteri akut
mengalami peningkatan konsentrasi C-Reaktif Protein (CRP) dan serum prokalsitonin yang dapat
digunakan dalam membedakan meningitis bakteri dan meningitis virus (Nathan dan Scheld, 2002).
Suatu studi melaporkan sensitivitas dan spesifisitas serum prokalsitonin sebesar 100% untuk
mendiagnosis meningitis bakteri, meskipun telah dilaporkan didapatkan hasil negatif palsu
(Viallon et al., 1999; Schwarz et al., 2000). Tes lain yang digunakan adalah tes
immunokromatografi untuk mendeteksi kuman S. pneumonia pada CSS dengan sensitivitas dan
spesifisitas 100% dalam mendiagnosis meningitis pneumokokus piogenik (Saha et al., 2005).
Meskipun demikian diperlukan penelitian lebih lanjut untuk menentukan kegunaan tes ini dalam
Terapi antibiotika empirik pada meningitis bakteri : pemberian ceftriaxone 2 gram tiap
12–24 jam intravena (iv) atau cefotaxime 2 gram tiap 6–8 jam iv (level evidence III B). Sedangkan
terapi alternatif : meropenem 2 gram tiap 8 jam iv (level evidence III C) atau chloramphenicol 1
gram tiap 6 jam iv. Pada pneumokokus yang resisten terhadap penicillin atau sefalosporin maka
jam iv (dosis disesuaikan dengan creatinine clearance) setelah dosis loading 15 mg/kg (level
evidence IVA). Jika kuman yang dicurigai adalah listeria maka diberikan ampicillin/amoxicillin 2
Terapi bakteri patogen spesifik : i). Pada kuman penyebab meningitis pneumokokus
termasuk spesies streptokokusyang sensitif terhadap penicillin diberikan benzyl penicillin 250.000
Unit (U)/kg/hari (setara dengan 2.4 gram tiap 4 jam) (level evidence IVA) atau
15
ampicillin/amoxicillin 2 gram tiap 4 jam atau ceftriaxone 2 gram tiap 12 jam atau cefotaxime 2
gram tiap 6–8 jam. Sedangkan terapi alternatif: meropenem 2 gram tiap 8 jam (level evidence
IVA) atau vancomycin 60 mg/kg/24 jam dosis disesuaikan dengan creatinine clearance) setelah
dosis loading 15 mg/kg ditambah rifampicin 600 mg tiap 12 jam (level evidence IVC) atau
moxifloxacin 400 mg tiap hari (level evidence IVC). ii).Pada pneumokokus yang kurang sensitif
terhadap pengobatan penicillin atau sefalosporin diberikan ceftriaxone atau cefotaxime ditambah
vancomycin ± rifampicin (level evidence IV). Terapi alternatif : moxifloxacin, meropenem atau
linezolid 600 mg dikombinasi dengan rifampicin (level evidence IV). iii). Pada meningitis
meningokokus diberikan benzyl penicillin atau ceftriaxone atau cefotaxime (level evidence IV).
Terapi alternatif: meropenem atau chloramphenicol atau moxifloxacin (level evidence IVC). iv).
Pada kuman H.infuenzae tipe B diberikan ceftriaxone atau cefotaxime (level evidence IVC). Terapi
listeria diberikan ampicillin atau amoxicillin 2 gram tiap 4 jam ± gentamicin 1–2 mg tiap 8jam
selama 7 sampai 10 hari pertama (level evidence IVC). Terapi alternatif : trimethoprim–
sulfamethoxazole 10–20 mg/kg tiap 6–12 jam atau meropenem (level evidence IV). vi). Pada
spesies stafilokokus diberikan flucloxacillin 2 gram tiap 4 jam (level evidence IV) atau vancomycin
jika alergi terhadap penicillin (level evidence IV). Rifampicin sebaiknya juga diberikan sebagai
tambahan terhadap kuman lain dan linezolid untuk methicillin-resistant staphylococcal meningitis
(level evidence IVC). vii). Pada bakteri entero gram negatif diberikan ceftriaxone atau cefotaxime
Lama pemberian : Durasi optimal pemberian terapi pada meningitis bakteri tidak di
ketahui. Pada suatu studi prospektif observasional di New Zealand pada kasus meningitis
16
meningokokel dewasa menunjukkan pemberian benzyl penicillin iv berhasil sebagai terapi
meningitis. Belum adanya uji klinis pada orang dewasa, maka rekomendasi lama pemberian terapi
adalah : a. Meningitis bakteri yang tidak spesifik selama 10 sampai 14 hari (level evidence IVC).
meningokokal selama 5 sampai 7 hari (level evidence IVA). d. Meningitis HIb selama 7 sampai
14 hari (level evidence IVB). e. Meningitis listeria selama 21 hari (level evidence IVB). f.
Meningitis pseudomonas dan basilar gram negatif selama 21 sampai 28 hari (level evidence IVB)
Terapi adjuvan deksametason : Pada hewan percobaan yang dengan meningitis bakteri
menunjukkan bahwa bakteri yang terlisis akibat pemberian antibiotika menyebabkan peradangan
pada ruang subaraknoid. Keparahan respon inflamasi ini berhubungan dengan luaran dan dapat
dikurangi dengan pemberian steroid (Van de Beek dan de Gans, 2006). Beberapa uji klinis telah
dilakukan untuk mengetahui dampak adjuvan steroid pada meningitis bakteri terhadap anak dan
orang dewasa (Scheld et al., 1980; Brouwer etal., 2010). Penelitian terhadap penggunaan
glukokortikosteroid yang mempunyai fungsi sebagai anti inflamasi dan mempunyai sifat
imunosupresif serta memiliki penetrasi yang sangat baik dalam CSS. Pada suatu penelitian meta
analisa tahun 1988, deksametason telah terbukti mengurangi gangguan pendengaran pada anak
akibat meningitis yang disebabkan oleh kuman H. influenzae tipe B (McIntyre et al., 1997).
Sedangkan pada meta analisa oleh Cochrane tahun 2010 menunjukkan bahwa pemberian
deksametason tidak mengurangi angka kematian pada meningitis bakteri anak tetapi menurunkan
kejadian gangguan pendengaran dari 20% pada kelompok kontrol dimana 15% mendapat
17
deksametason (Relative Risk (RR) 0.74; 95% Confidence Interval (CI) 0.62-0.89) (Brouwer et al.,
2010). Sedangkan pada meningitis dewasa dari suatu hasil uji kontrol di Eropa didapatkan bahwa
pemberian deksametason sebelum atau bersamaan dengan pemberian pertama kali antibiotika
berhubungan dengan penurunan risiko luaran yang tidak menguntungkan (RR 0.59, 95%; CI 0.37-
0.94) dan menurunkan angka kematian (RR 0.48; CI 0.24-0.96) (de Gans dan van de Beek, 2002).
Dari lima uji klinis didapatkan bahwa pengobatan dengan kortikosteroid berhubungan dengan
penurunan angka kematian yang signifikan (RR 0,6; CI 0,4-0,8) dan gejala sisa neurologi (RR 0,6;
CI 0,4-1,0). Penurunan angka kematian yang paling signifikan di dapatkan pada pasien meningitis
pneumokokus dari 34% menjadi 14% (van de Beek dan de Gans, 2004). Pada penelitian lain
didapatkan penurunan kasus kematian pada pasien dengan meningitis pneumokokus sebesar 21%
(RR 0,5; CI 0,3-0,8) (van de Beek et al., 2004).Pada meningitis meningokokus, di mana jumlah
insiden sedikit, ada titik perkiraan menguntungkan untuk mencegah kematian (RR 0,9; CI 0,3-2,1)
dan neurologis gejala sisa (RR 0,5; CI 0,1-1,7), tetapi efek ini tidak mencapai statistik makna.
Dosis deksametason yang dianjurkan pada semua kasus meningitis pneumokokus dewasa baik
yang imunokompeten atau imunokompromise adalah 10 mg tiap 6 jam selama 4 hari (level
evidence IA).
Komplikasi akut yang umumnya terjadi pada meningitis bakteri dapat berupa : syok, gagal
napas, apnu, perubahan status mental/koma, peningkatan TIK, kejang, Disseminated Intravascular
Coagulation (DIC), efusi subdural, abses subdural, abses intraserebral dan bahkan kematian.
Pasien dapat mengalami perubahan status mental atau bahkan koma.Sekitar 15% dari pasien anak
yang menderita meningitis pneumokokus mengalami syok (Kornelisse et al., 1995). Syok dan DIC
sering berhubungan dengan meningitis meningokokus. Apnu atau gagal napas dapat juga terjadi,
18
terutama pada bayi. Kejang terjadi pada sekitar sepertiga pasien. Kejang yang menetap (lebih dari
4hari) atau mulai akhir cenderung terkait dengan gejala sisa neurologis. Kejang fokal membawa
prognosis yang lebih buruk dibandingkan kejang umum. Jika terjadi kejang fokal harus diwaspadai
kemungkinan komplikasi seperti empiema subdural, abses otak, atau peningkatan TIK dan
disarankan dilakukan pemeriksaan neuroimaging. Efusi subdural yang terjadi pada sepertiga
pasien anak umumnya asimptomatik, dapat membaik secara spontan dan tidak menyebabkan
gejala sisa neurologi permanen. Dapat juga terjadi Sindrom of Inappropriate Anti Diuretic
Hormone (SIADH) sehingga elektrolit dan keseimbangan cairan harus dipantau ketat.Semua
peningkatan TIK, SIADH dan gejala lainnya ditangani dengan terapi yang lazim diberikan (Mace,
2008).
Fatality rate kasus meningitis bakteri dilaporkan sebesar 25% pada orang dewasa dan
sampai 50% pada pasien usia lanjut (Duran et al., 1993; Adedipe dan Lowenstein, 2006). Fatality
rate kasus meningitis bakteri yang disebabkan oleh H. influenzae atau N. meningitidis atau
kelompok streptokokus B, sebesar 3% sampai 7%. Sedangkan pada S. pneumonia sebesar 20%
sampai 25% dan 30% sampai 40% pada Listeriamonocytogenes (Schuchatet al., 1997). Fatality
rate yang lebih tinggi terjadi pada pasien usia ekstrim (lansia dan bayi, terutama neonatus)
(Chavez-Bueno dan McCracken, 2005). Prognosis bervariasi tergantung pada beberapa faktor:
usia, adanya komorbiditas, bakteri penyebab dan tingkat keparahan dan adanya gangguan
neurologis saat datang ke rumah sakit. Indikator klinis yang mempengaruhi tingkat kematian yaitu
: derajat penurunan kesadaran saat masuk rumah sakit, adanya tanda peningkatan TIK, kejang
dalam 24 jam masuk rumah sakit, usia >50 tahun atau bayi, adanya komorbiditas, kebutuhan akan
alat bantu napas, keterlambatan pemberian terapi. Sebuah studi padameningitis bakteri dewasa
19
(51% S. pneumonia, 37% N. meningitidis) menunjukkan bahwa faktor risiko terkait prognosis
buruk adalah usia lanjut, adanya osteoitis atau sinusitis, Glasgow Coma scale (GCS) yang rendah
saat masuk, takikardi, tidak adanya ruam, trombositopeni, peningkatan laju endap darah, jumlah
sel dalam CSS yang rendah dan kultur darah positif (van de Beek et al., 2004).
Insiden gejala sisa bervariasi kurang lebih 25% yang mengalami sekuele sedang atau
berat. Telah dilaporkan bahwa 40% memiliki gejala sisa berupa gangguan pendengaran dan gejala
sisa neurologi lainnya sementara yang lain menyebutkan 60% mengalami morbiditas (Miller dan
Choi, 1997; Tunkel dan Scheld, 2005). Gejala sisa dari meningitis bakteri meliputi: gangguan
pendengaran sensori neural (terutama sering terjadi pada anak yang mendapat infeksi
berjalan, defisit neurologis fokal termasuk kelumpuhan dan kebutaan, hidrosefalus, efusi subdural,
Faktor yang berkaitan dengan kematian pada meningitis ditentukan oleh beberapa variabel
seperti; usia >60 tahun, jenis kelamin laki laki, adanya gangguan kesadararan, kejang, demam,
kuman penyebabnya S. pneumonia atau S. aureus, demam berkepanjangan (>10 hari), infeksi lain,
(Proulx et al., 2005). Pada penelitian lain dikatakan faktor prediktor kematian adalah usia >60
a. Usia
Pada penyakit meningitis bakteri dikatakan tingkat kematian berbanding lurus dengan
pertambahan usia. Dikatakan terdapat hubungan antara pertambahan usia dengan penurunan
kesadaran dimana p<0.001 dan Ods Ratio (OR) 16.7 (Magazzini et al., 2012). Pada penelitian
20
surveilans di Amerika Serikat tahun 2003 sampai 2007 didapatkan kasus kematian pada meningitis
bakteri dewasa sebanyak 16.4% dimana pada rentang usia 18 sampai 34 tahun sebesar 8.9%
b. Jenis kelamin
Pada penelitian yang dilakukan oleh Dharmarajan et al, (2016) yang mengamati
pengaruh perbedaan jenis kelamin terhadap luaran klinis yang buruk pada meningitis bakteri
didapatkan bahwa jenis kelamin laki laki signifikan berhubungan dengan luaran klinis yang buruk
dimana didapatkan pada usia diatas 60 tahun, adanya defisit neurologi, demam dan kelainan
laboratorium (p<0.05). Hal ini dikarenakan susunan otak laki laki berbeda dari perempuan baik
dari segi morfologi, neurokimia dan fungsional. Dikatakan umur berkaitan dengan perubahan
sekresi sitokin sel T seperti Interferon (IFN) dan IL 17 yang menurun pada laki laki usia lanjut.
Selain itu berhubungan dengan sekresi IL 10 yang meningkat pada wanita dibandingkan pada laki-
laki. Dan karena pada penyakit menular sebagian dipengaruhi oleh perilaku spesifik gender.
Namun perbedaan jenis kelaminpada penyakit infeksi saraf khususnya meningitis jarang diteliti
(Gieffing-Kroll et al., 2015). Dikatakan faktor genetik host juga berperan dalam menentukan
kerentanan terhadap tingkat infeksius penyakit. Tetapi bukan karena perbedaan jenis kelamin
melainkan akibat adanya gen yang dikenal dgn single-nucleotide polymorphisms (SNPs), yang
mengontrol respon host terhadap bakteri. Pasien yg mengalami rekurensi atau familial meningitis
atau yang mengalami sepsis akibat S. pneumoniae atau N. meningitidis sering ditemukan memiliki
mutasi gen yang menyebabkan peningkatan kerentanan terhadap infeksi. Terjadinya mutasi pada
gen pengkodingan terhadap sistem komplemen atau Toll like receptor (TLR)
21
c. Penurunan kesadararan
Penurunan kesadaran merupakan prediktor kuat kematian pada meningitis bakteri. Hal ini
didukung oleh penelitian yang dilakukan Proulx et al, (2005) dimana didapatkan hasil yang
signifikan dengan p<0.01. Dikatakan pemberian awal antibiotika sebaiknya sebelum terjadi
penurunan GCS<10 karena berhubungan dengan luaran kematian yang juga dipengaruhi oleh
faktor lain (Lu et al., 2002). Penurunan kesadaran dalam hal ini keadaan koma saat awal masuk
rumah sakit merupaka faktor independen yang berhubungan dengan kematian pada penderita usia
d. Kejang
Kejang sering terjadi pada kasus meningitis dewasa. Kejadian kejang dikatakan berkaitan
dengan proses inflamasi susunan saraf pusat dan sistemik yang berat, lesi struktural di susunan
saraf pusat, meningitis pneumokokus dan faktor predisposisi lainnya. Inflamasi kortikal
merupakan mekanisme terjadinya kejang pada meningitis bakteri. Di dapatkan proporsi kejang
pada meningitis bakteri yang mengalami kematian yaitu71,4 % (Hristea et al., 2001). Pada
penelitian yang dilakukan oleh Zoons et al, (2008) menunjukkan bahwa insiden kejang pada
meningitis bakteri sebesar 17% dan sebanyak 41% menyebabkan kematian. Didapatkan bahwa
kejang mempunyai hubungan kuat dengan kejadian kematian pada meningitis bakteri dengan
p<0.001 dan OR: 6.71 95% CI: 2.58-17.42 (Luet al., 2002).
S.pneumonia merupakan kuman penyebab tersering meningitis bakteri pada usia 19 sampai
59 tahun dan lebih banyak pada usia ≥60 tahun juga pada anak anak kecuali neonatus (Mace,
22
2008). Pada penelitian di Belanda terhadap 696 kasus meningitis bakteri dewasa antara tahun 1998
sampai 2002 dilaporkan bahwa tingkat kematian pada bakteri pneumokokus signifikan lebih tinggi
Pada penelitian yang mencari faktor risiko kematian pada meningitis bakteri akut
didapatkan bahwa jumlah leukosit dalam CSS<1000/mm3 menyebabkan kematian 100% dengan
p<0.05 (Hristea et al., 2001). Hal ini didukung pula oleh penelitian van de Beek et al, (2004)
dengan p<0.001. Dikatakan pada meningitis meningokokus kadar CSS rendah dapat ditemukan
pada keadaan sepsis dan pada meningitis awal. Sedangkan studi meningitis pneumokokus pada
hewan coba menunjukkan adanya hubungan antara banyaknya kuman pada CSS, kurangnya
respon dari leukosit pada CSS dan terjadinya komplikasi intrakranial. Ini menandakan bahwa
pertumbuhan bakteri yang berlebihan dan kurangnya respon leukosit dalam CSS (Tauber et al.,
Penelitian yang dilakukan oleh Wang et al, (2014) menunjukkan bahwa penurunan kadar
glukosa rendah <45 mg/dL berhubungan dengan luaran buruk pada meningitis bakteri dengan
23
h. Keterlambatan pemberian antibiotika
Pemberian antibiotika lebih dari 6 jam merupakan prediktor signifikan dalam menyebabkan
kematian dengan p<0.01. Dikatakan juga merupakan faktor independen kuat dimana berisiko 8,4
kali lebih besar terjadinya kematian pada meningitis bakteri. Fatality rate pemberian antibiotika
>6 jam sebesar 13% dengan OR :8.4, 95% CI: 1.7-40. Dikatakan faktor yang mempengaruhi
keterlambatan pemberian antibiotika lebih dari 6 jam adalah : ketidaktepatan terapi antibiotika dari
unit pelayanan kesehatan sebelumnya (OR: 21,8), urutan diagnostik dan pengobatan: Ct scan
kepala, lumbal punksi, lalu antibiotika (OR : 5.6), tidak didapatkan trias klasik meningitis (Proulx
et al., 2005).
24