Anda di halaman 1dari 19

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Meningitis Bakteri

2.1.1 Definisi meningitis bakteri

Meningitis bakteri adalah suatu peradangan pada selaput otak yang mengenai lapisan

piamater dan ruang subaraknoid termasuk CSS yang dapat disebabkan oleh bakteri yang menyebar

masuk ke dalam ruang subaraknoid (Sáez-Llorens dan McCracken, 2003; Hoffman dan Weber,

2009).

2.1.2 Etiologi meningitis bakteri

Bakteri yang dapat menimbulkan meningitis adalah bakteri yang mampu melewati

perlindungan yang dibuat oleh tubuh dan memiliki virulensi poten. Faktor host yang rentan dan

lingkungan yang mendukung memiliki peranan besar dalam patogenesis infeksi. Pada individu

dewasa yang imunokompeten, S. pneumonia dan N. meningitides adalah patogen utama penyebab

meningitis bakteri, karena kedua bakteri tersebut memiliki kemampuan kolonisasi nasofaring dan

menembus SDO. Basil gram negatif seperti E. coli, S. aureus, S. epidermidis, Klebsiella spp dan

Pseudomonas spp biasanya merupakan penyebab meningitis bakteri nosokomial, yang lebih

mudah terjadi pada pasien kraniotomi, kateterisasi ventrikel internal ataupun eksternal, dan trauma

kepala (Roper dan Brown, 2005; Clarke et al., 2009).Sedangkan bakteri gram positif berbentuk

kokus yang juga merupakan penyebab meningitis bakteri (meningitis suis) adalah S. suis

(Susilawathi et al., 2016).

6
Tabel 2.1. Penyebab umum meningitis bakteri berdasarkan usia dan faktor risiko

(Roper dan Brown, 2005).

Neonatus (usia <3 bulan) Escherichia coli; Streptococcus grup B; Listeria monocytogenes

Bayi dan anak (usia >3 bulan) S. pneumonia; N. meningitidis; H. infl uenzae

Dewasa usia <50 S. pneumonia; N. meningitides


tahun(imunokompeten)

Dewasa usia >50 tahun S. pneumonia; N. meningitidis; Listeria monocytogenes

Fraktur kranium/pasca-bedahsaraf Staphylococcus epidermidis; Staphylococcus aureus; bakteri


gram negatif (Klebsiella,Proteus, Pseudomonas, E. coli);
Streptococcus grup A dan D; S. pneumonia; H. influenza

Kebocoran CSS Bakteri gram negatif; S. pneumonia

Kehamilan Listeria monocytogenes

Imunodefisiensi Listeria monocytogenes; bakteri gram negatif; S. pneumonia;


Pseudomonas aeruginosa;Streptococcus grup B; Staphylococcus
aureus

S.suismerupakan penyebab meningitis paling sering pada usia 47-55 tahun dan tidak pernah

ditemukan pada anak-anak ((Wertheim, 2009).

2.1.3 Faktor risiko meningitis bakteri

Ada beberapa faktor risiko yang mempengaruhi individu atau host yaitu : usia,

demografi/faktor sosial ekonomi, paparan kuman, dan status imun yang rendah (Mace, 2008).

Usia dan demografi

Meningitis dapat terjadi pada semua usia dan pada individu yang sebelumnya sehat. Pasien lanjut

usia(>60 tahun) dan pasien anak (<5 tahun, terutama bayi / neonatus) memiliki tingkat kerentanan

yang tinggi terhadap insiden meningitis (Choi, 1992; Chavez-Bueno dan McCracken, 2005).

7
Sedangkan yang termasuk faktor demografi dan sosial ekonomi meliputi: jenis kelamin laki-laki,

ras Afrika Amerika, status sosial ekonomi yang rendah dan komunitas yang hidup di asrama atau

kamp militer (Geiseler et al., 1980; Mace, 2008).

Pasien dengan status imun rendah

Terdapat hubungan antara imunosupresi dan peningkatan risiko terjadinya meningitis

bakteri. Yang termasuk kondisi imunosupresi : diabetes, alkoholik, sirosis / penyakit hati,

spelenektomi, gangguan hematologi (misalnya, penyakit sel sabit, talasemia mayor), keganasan,

gangguan imunologi (defisiensi komplemen, defisiensi immunoglobulin), Human

Immunedeficiency Virus (HIV), dan terapi obat imunosupresi (Schutzeetal., 2002; Mace, 2008).

2.1.4 Mekanisme masuknya bakteri ke dalam sistem saraf pusat

Ada beberapa mekanisme masuknya bakteri ke dalam CSS, paling sering melalui

penyebaran secara hematogen, dapat juga melalui penyebaran langsung dari perluasan infeksi yang

berdekatan. Faktor-faktor yang mendukung bakteri dapat masuk ke dalam CSS adalah : kolonisasi

baru, infeksi pada daerah yang berdekatan (misalnya, sinusitis, mastoiditis, otitis media), kultur

darah dari CSS(misalnya, penyalahgunaan obat intravena, bakteri endokarditis) gangguan pada

dura, paska bedah saraf, trauma tembus CSS, cacat bawaan, shunt (misalnya, ventrikel shunt),

kateter epidural, perangkat monitoring intrakranial, External Ventrikular Drainage (EVD) (Mace,

2008). Pasien paska operasi bedah saraf dan yang memiliki shunt ventriculoperitoneal serta pasien

yang memiliki trauma kepala penetrasi berisiko untuk terjadinya meningitis yang disebabkan oleh

stafilokokus (Wang et al., 2005). Sedangkan pasien yang memiliki implan koklea sangat berisiko

tinggi (lebih dari 30 kali lipat) terkena meningitis pneumokokus.

8
2.1.5 Patofisiologi meningitis bakteri

Infeksi bakteri dapat mencapai selaput otak melalui aliran darah (hematogen) atau

perluasan langsung dari infeksi yang disebabkan oleh infeksi dari sinus paranasalis, mastoid, abses

otak dan sinus kavernosus. Bakteri penyebab meningitis pada umumnya berkolonisasi di saluran

pernapasan bagian atas dengan melekatkan diri pada epitel mukosa nasofaring host. Selanjutnya

setelah terhindar dari sistem komplemen host dan berhasil menginvasi ke dalam ruang

intravaskular, bakteri kemudian melewati SDO dan masuk ke dalam CSS lalu memperbanyak diri

karena mekanisme pertahanan CSS yang rendah. Dalam upaya untuk mempertahankan diri

terhadap invasi bakteri maka kaskade inflamasi akan teraktivasi sebagai mekanisme pertahanan

tubuh (Mace, 2008).

Bakteri penyebab meningitis memiliki sifat yang dapat meningkatkan virulensi kuman

itu sendiri. Bakteri H. influenzae, N. meningitidis dan S. pneumonia menghasilkan imunoglobulin

A protease. Bakteri-bakteri ini menginaktifkan immunoglobulin A host dengan menghancurkan

antibodi sehingga memungkinkan terjadinya perlekatan bakteri pada mukosa nasofaring dan

terjadinya kolonisasi. Perlekatan pada mukosa epitel nasofaring host oleh N. meningitidis terjadi

melalui fimbria atau silia. Dikatakan kerusakan silia ini akibat adanya infeksi saluran pernapasan

bagian atas dan juga kebiasaan merokok dapat mengurangi kemampuan fimbria atau silia dalam

mencegah perlekatan bakteri pada mukosa nasofaring. Bakteri kemudian akan memasuki ruang

intravaskular melalui berbagai mekanisme. Bakteri meningokokus memasuki ruang intravaskular

melalui proses endositosis melintasi endotelium di jaringan ikatvakuola. Sedangkan bakteri H.

influenzae memisahkan tight junction apikal antara sel epitel untuk menginvasi mukosa dan

mendapatkan akses ke ruang intravaskular (Mace, 2008).

9
Bakteri berkapsul (S. pneumonia, H. influenzae dan N. meningitidis) mencegah

kerusakan oleh host setelah berada dalam aliran darah,karena kapsul polisakarida bakteri

menghambat fagositosis dan aktivitas komplemen bakterisida. Setelah bakteri berada dalam aliran

darah, bakteri akan beradhesi ke SDO tergantung kualitas struktural dari bakteri seperti fimbria

pada beberapa strain E. coli, dan silia dan fimbria pada N. meningitidis (Mace, 2008).

Sistem pertahanan CSS host yang rendah menyebabkan bakteri akan cepat berkembang

biak setelah memasuki CSS. Beberapa faktor host yang berpengaruh terhadap mekanisme

pertahanan dalam CSS yang rendah adalah : kadar komplemen yang rendah, tingkat

immunoglobulin rendah, dan penurunan aktivitas opsonic, dimana menyebabkan ketidakmampuan

host dalam menghancurkan bakteri melalui mekanisme fagositosis. Di dalam subarakhnoid,

komponen bakteri dalam CSS akan memicu kaskade inflamasi pada host. Komponen sitokin

proinflamasi seperti interleukin 1 (IL 1), Tumor NecrosisFacto r(TNF) dan berbagai sel lainnya

termasuk makrofag, mikroglia, sel meningeal, dan sel-sel endotel. Sitokin mengaktivasi migrasi

neutrofil ke CSS melalui beberapa mekanisme. Sitokin meningkatkan afinitas pengikatan leukosit

sel endotel, dan menginduksi adhesi molekul yang berinteraksi dengan reseptor leukosit (Mace,

2008).

Selain itu neutrofil CSS melepaskan substansi prostaglandin, metabolit toksin oksigen,

matrix metalloproteinases (MMP) yang meningkatkan permeabilitas pembuluh darah dan secara

langsung dapat juga menyebabkan neurotoksisitas. Kaskade inflamasi ini menyebabkan kelainan

pada aliran darah otak (ADO) dan terjadi edema serebral. Edema serebral yang timbul dapat berupa

edema vasogenik akibat dari peningkatan permeabilitas SDO atau edema sitotoksik yang

disebabkan oleh peningkatan cairan intraseluler diikuti perubahan dari membran sel dan hilangnya

homeostasis seluler. Sekresi hormon antidiuretik turut berkontribusi pada terjadinya edema

10
sitotoksik dengan membuat cairan ekstrasel hipotonik dan meningkatkan permeabilitas otak.

Edema interstitial disebabkan oleh meningkatnya volume CSS, baik oleh karena peningkatan

produksi CSS melalui meningkatnya aliran darah pada pleksus koroid atau menurunnya reabsorpsi

sehingga terjadi peningkatan resistensi aliran CSS. Selain itu peradangan pembuluh darah lokal

atau trombosis dapat menyebabkan hipoperfusi serebral fokal sehingga mengganggu autoregulasi

aliran darah, dimana dapat terjadi peningkatan tekanan intrakranial (TIK) yang dapat

menyebabkan herniasi otak dan kematian (van de Beek et al., 2006; Mace, 2008).

11
Komponen
bakteri

Sel endotel Sel makrofag

Interaksi endotel-
IL-1 TNF dan IL-1
leukosit

PG2 PAF

Permeabilitas Cedera Kaskade Trombosis


SDO ↑ endotel koagulasi

Edema TIK ↑ ADO ↓


vasogenik

Protein Pleositosis Hipoksia


CSS ↑ CSS

Edema Glukosa Laktat


sitotoksik CSS ↓ CSS ↑

Hambatan aliran Edema


keluar CSS intertitial

Gambar 2.1. Patofisiologi molekuler meningitis bakteri

(Saez-Llorenset al., 1990).

2.1.6 Gejala klinis meningitis bakteri

Gejala klasik meningitis bakteri berupa demam, sakit kepala, kaku kuduk

dan tanda-tanda disfungsi otak (penurunan kesadaran mulai dari apatis sampai koma) (Tunkel,

2001). Meskipun demikian dilaporkan hanya 44-75% pasien memiliki tiga gejala yaitu demam,

12
kaku kuduk dan perubahan status mental, setidaknya semua pasien mengalami salah satu gejala di

atas dan 95% memiliki dua dari empat gejala (sakit kepala, demam, kaku kuduk dan perubahan

status mental (Durand et al., 1993; van de Beeket al, 2004). Kaku kuduk dapat disertai tanda

Kernig atau Brudzinski atau keduanya. Tidak adanya tanda tersebut tidak mengesampingkan

diagnosis meningitis bakteri. Pada suatu studi prospektif menunjukkan sensitivitas tanda Kernig

sebesar 5%, tanda Brudzinski 5% dan kaku kuduk 30%. Hal ini menunjukkan bahwa tanda-tanda

ini tidak akurat dalam mendiagnosa pasien meningitis (Thomas et al., 2002). Kelumpuhan saraf

kranial (III, IV, VI dan VII) dan gejala fokal lainnya terjadi pada 10-20% kasus. Sekitar 30%

pasien mengalami kejang. Peradangan dan trombosis pembuluh darah, sering terjadi dalam ruang

subaraknoid, menyebabkan terjadinya iskemik daerah kortikal dan subkortikal yang dapat

mengakibatkan kejang dan defisit neurologis fokal. Dengan memburuknya penyakit, tanda-tanda

peningkatan tekanan intrakranial dapat terjadi termasuk koma, hipertensi, bradikardi dan

kelumpuhan nervus III (Nudelman dan Tunkel, 2009).

2.1.7 Pemeriksaan penunjang meningitis bakteri

Pemeriksaan CSS melalui pungsi lumbal merupakan alat diagnostik utama dalam

menegakkan meningitis bakteri (Tunkel, 2001). Pada pemeriksaan CSS yang mendukung kearah

infeksi meningitis bakteri adalah jumlah leukosit meningkat bisa mencapai ribuan dengan dominan

neutrofil (>60%), kadar protein dalam CSS meningkat (>200 milligram (mg)/desiliter (dL)) dan

penurunan konsentrasi glukosa (<40 mg/dL atau kurang dari 30% gula darah sewaktu) (Ganiem,

2011). Dikatakan kadar leukosit CSS rendah (0-20/mm3) berhubungan dengan prognosis yang

buruk. Pewarnaan gram dan kultur harus dilakukan pada semua spesimen CSS. Gangguan dari

SDO menyebabkan peningkatan kadar protein CSS pada hampir semua pasien. Kadar glukosa <

40 mg/dL ditemukan pada sekitar 60% pasien dengan sebagian besar memiliki rasio serum glukosa

13
≤0,4. Pada saat yang sama, kadar leukosit dan protein CSS normal dapat ditemukan pada pasien

immunocompromise berat dalam beberapa kasus meningitis neonatus dan pada awal penyakit

(Nudelman dan Tunkel, 2009).

Pemeriksaan pewarnaan gram pada CSS dapat dilakukan cepat, akurat pada 60-90%

dengan spesifitas hampir 100% pada pasien dengan meningitis bakteri (Domingoet al., 1997).

Semakin tinggi konsentrasi bakteri di dalam CSS, kemungkinan mendeteksi organisme dengan

pewarnaan gram lebih tinggi. Pasien yang telah mendapatkan antibiotik sebelum terapi yang sesuai

mungkin memiliki penurunan akurasi dalam mengidentifikasi organisme.

Beberapa tes diagnostik cepat telah dikembangkan untuk membantu dalam menegakkan

diagnosis meningitis bakteri (Gray dan Fedorko, 1992; Tunkel, 2001).Tes aglutinasi latex

mendeteksi antigen H. influenzae tipe B, S. pneumonia, N. meningitidis, E. coli K1 dan kelompok

streptokokus B. Namun, mengingat tes antigen bakteri kurang berperan dalam pemberian terapi

antibiotik dan telah dilaporkan memberikan hasil positif palsu maka penggunaan rutin modalitas

ini untuk diagnostik cepat dari penyebab infeksi bakteri meningitis tidak dianjurkan (Tunkel et al.,

2004). Tes amplifikasi asam nukleat, seperti Polymerase Chain Reaction (PCR) telah digunakan

untuk mengetahui Deoxyribo Nucleic Acid (DNA) dari pasien dengan meningitis yang disebabkan

oleh beberapa patogen meningeal. Pemeriksaan PCR bakteri berperan dalam menegakkan

diagnosis meningitis dan keputusan dalam memulai atau menghentikan terapi antibiotika. Dalam

suatu studi berbasis luas, menunjukkan sensitivitas PCR 100% dengan spesifisitas dari 98,2%,

nilai prediksi positif 98,2% dan nilai prediksi negatif prediktif 100% (Saravolatz et al., 2003).

Sensitivitas PCR dalam mendiagnosis meningitis pneumokokus sekitar 92-100% dan spesifisitas

sebesar 100% (Werno dan Murdoch, 2008). PCR sangat berperan terhadap pasien yang telah

menerima antibiotik sebelum pengobatan yang sesuai dan pada kultur kuman negatif pada

14
pemeriksaan CSS (Singhi et al., 2002; Tunkel et al., 2004). Beberapa peranan protein telah

dipelajari dalam mendiagnosis meningitis bakteri akut. Pasien dengan meningitis bakteri akut

mengalami peningkatan konsentrasi C-Reaktif Protein (CRP) dan serum prokalsitonin yang dapat

digunakan dalam membedakan meningitis bakteri dan meningitis virus (Nathan dan Scheld, 2002).

Suatu studi melaporkan sensitivitas dan spesifisitas serum prokalsitonin sebesar 100% untuk

mendiagnosis meningitis bakteri, meskipun telah dilaporkan didapatkan hasil negatif palsu

(Viallon et al., 1999; Schwarz et al., 2000). Tes lain yang digunakan adalah tes

immunokromatografi untuk mendeteksi kuman S. pneumonia pada CSS dengan sensitivitas dan

spesifisitas 100% dalam mendiagnosis meningitis pneumokokus piogenik (Saha et al., 2005).

Meskipun demikian diperlukan penelitian lebih lanjut untuk menentukan kegunaan tes ini dalam

mendiagnosis meningitis pneumokokus (Nudelman dan Tunkel, 2009).

2.1.8 Terapi meningitis bakteri

Terapi antibiotika empirik pada meningitis bakteri : pemberian ceftriaxone 2 gram tiap

12–24 jam intravena (iv) atau cefotaxime 2 gram tiap 6–8 jam iv (level evidence III B). Sedangkan

terapi alternatif : meropenem 2 gram tiap 8 jam iv (level evidence III C) atau chloramphenicol 1

gram tiap 6 jam iv. Pada pneumokokus yang resisten terhadap penicillin atau sefalosporin maka

diberikan ceftriaxone atau cefotaxime ditambah vancomycin 60 miligram (mg)/kilogram (kg)/24

jam iv (dosis disesuaikan dengan creatinine clearance) setelah dosis loading 15 mg/kg (level

evidence IVA). Jika kuman yang dicurigai adalah listeria maka diberikan ampicillin/amoxicillin 2

gram tiap 4 jam iv (level evidence IVA) (Chaudhuri et al., 2008).

Terapi bakteri patogen spesifik : i). Pada kuman penyebab meningitis pneumokokus

termasuk spesies streptokokusyang sensitif terhadap penicillin diberikan benzyl penicillin 250.000

Unit (U)/kg/hari (setara dengan 2.4 gram tiap 4 jam) (level evidence IVA) atau

15
ampicillin/amoxicillin 2 gram tiap 4 jam atau ceftriaxone 2 gram tiap 12 jam atau cefotaxime 2

gram tiap 6–8 jam. Sedangkan terapi alternatif: meropenem 2 gram tiap 8 jam (level evidence

IVA) atau vancomycin 60 mg/kg/24 jam dosis disesuaikan dengan creatinine clearance) setelah

dosis loading 15 mg/kg ditambah rifampicin 600 mg tiap 12 jam (level evidence IVC) atau

moxifloxacin 400 mg tiap hari (level evidence IVC). ii).Pada pneumokokus yang kurang sensitif

terhadap pengobatan penicillin atau sefalosporin diberikan ceftriaxone atau cefotaxime ditambah

vancomycin ± rifampicin (level evidence IV). Terapi alternatif : moxifloxacin, meropenem atau

linezolid 600 mg dikombinasi dengan rifampicin (level evidence IV). iii). Pada meningitis

meningokokus diberikan benzyl penicillin atau ceftriaxone atau cefotaxime (level evidence IV).

Terapi alternatif: meropenem atau chloramphenicol atau moxifloxacin (level evidence IVC). iv).

Pada kuman H.infuenzae tipe B diberikan ceftriaxone atau cefotaxime (level evidence IVC). Terapi

alternatif : chloramphenicol–ampicillin/amoxicillin (level evidence IVC). v). Pada meningitis

listeria diberikan ampicillin atau amoxicillin 2 gram tiap 4 jam ± gentamicin 1–2 mg tiap 8jam

selama 7 sampai 10 hari pertama (level evidence IVC). Terapi alternatif : trimethoprim–

sulfamethoxazole 10–20 mg/kg tiap 6–12 jam atau meropenem (level evidence IV). vi). Pada

spesies stafilokokus diberikan flucloxacillin 2 gram tiap 4 jam (level evidence IV) atau vancomycin

jika alergi terhadap penicillin (level evidence IV). Rifampicin sebaiknya juga diberikan sebagai

tambahan terhadap kuman lain dan linezolid untuk methicillin-resistant staphylococcal meningitis

(level evidence IVC). vii). Pada bakteri entero gram negatif diberikan ceftriaxone atau cefotaxime

atau meropenem. viii). Pada meningitis pseudomonas diberikan meropenem ± gentamicin

(Chaudhuri et al., 2008).

Lama pemberian : Durasi optimal pemberian terapi pada meningitis bakteri tidak di

ketahui. Pada suatu studi prospektif observasional di New Zealand pada kasus meningitis

16
meningokokel dewasa menunjukkan pemberian benzyl penicillin iv berhasil sebagai terapi

meningitis. Belum adanya uji klinis pada orang dewasa, maka rekomendasi lama pemberian terapi

antibiotika didasarkan pada standar praktek.Lama pemberian antibiotika yang direkombinasikan

adalah : a. Meningitis bakteri yang tidak spesifik selama 10 sampai 14 hari (level evidence IVC).

b. Meningitis pneumokokus selama 10 sampai 14 hari (level evidence IVA). c. Meningitis

meningokokal selama 5 sampai 7 hari (level evidence IVA). d. Meningitis HIb selama 7 sampai

14 hari (level evidence IVB). e. Meningitis listeria selama 21 hari (level evidence IVB). f.

Meningitis pseudomonas dan basilar gram negatif selama 21 sampai 28 hari (level evidence IVB)

(Chaudhuri et al., 2008).

Terapi adjuvan deksametason : Pada hewan percobaan yang dengan meningitis bakteri

menunjukkan bahwa bakteri yang terlisis akibat pemberian antibiotika menyebabkan peradangan

pada ruang subaraknoid. Keparahan respon inflamasi ini berhubungan dengan luaran dan dapat

dikurangi dengan pemberian steroid (Van de Beek dan de Gans, 2006). Beberapa uji klinis telah

dilakukan untuk mengetahui dampak adjuvan steroid pada meningitis bakteri terhadap anak dan

orang dewasa (Scheld et al., 1980; Brouwer etal., 2010). Penelitian terhadap penggunaan

deksametason pada meningitis bakteri telah banyak dilakukan. Deksametason merupakan

glukokortikosteroid yang mempunyai fungsi sebagai anti inflamasi dan mempunyai sifat

imunosupresif serta memiliki penetrasi yang sangat baik dalam CSS. Pada suatu penelitian meta

analisa tahun 1988, deksametason telah terbukti mengurangi gangguan pendengaran pada anak

akibat meningitis yang disebabkan oleh kuman H. influenzae tipe B (McIntyre et al., 1997).

Sedangkan pada meta analisa oleh Cochrane tahun 2010 menunjukkan bahwa pemberian

deksametason tidak mengurangi angka kematian pada meningitis bakteri anak tetapi menurunkan

kejadian gangguan pendengaran dari 20% pada kelompok kontrol dimana 15% mendapat

17
deksametason (Relative Risk (RR) 0.74; 95% Confidence Interval (CI) 0.62-0.89) (Brouwer et al.,

2010). Sedangkan pada meningitis dewasa dari suatu hasil uji kontrol di Eropa didapatkan bahwa

pemberian deksametason sebelum atau bersamaan dengan pemberian pertama kali antibiotika

berhubungan dengan penurunan risiko luaran yang tidak menguntungkan (RR 0.59, 95%; CI 0.37-

0.94) dan menurunkan angka kematian (RR 0.48; CI 0.24-0.96) (de Gans dan van de Beek, 2002).

Dari lima uji klinis didapatkan bahwa pengobatan dengan kortikosteroid berhubungan dengan

penurunan angka kematian yang signifikan (RR 0,6; CI 0,4-0,8) dan gejala sisa neurologi (RR 0,6;

CI 0,4-1,0). Penurunan angka kematian yang paling signifikan di dapatkan pada pasien meningitis

pneumokokus dari 34% menjadi 14% (van de Beek dan de Gans, 2004). Pada penelitian lain

didapatkan penurunan kasus kematian pada pasien dengan meningitis pneumokokus sebesar 21%

(RR 0,5; CI 0,3-0,8) (van de Beek et al., 2004).Pada meningitis meningokokus, di mana jumlah

insiden sedikit, ada titik perkiraan menguntungkan untuk mencegah kematian (RR 0,9; CI 0,3-2,1)

dan neurologis gejala sisa (RR 0,5; CI 0,1-1,7), tetapi efek ini tidak mencapai statistik makna.

Dosis deksametason yang dianjurkan pada semua kasus meningitis pneumokokus dewasa baik

yang imunokompeten atau imunokompromise adalah 10 mg tiap 6 jam selama 4 hari (level

evidence IA).

2.1.9 Prognosis meningitis bakteri

Komplikasi akut yang umumnya terjadi pada meningitis bakteri dapat berupa : syok, gagal

napas, apnu, perubahan status mental/koma, peningkatan TIK, kejang, Disseminated Intravascular

Coagulation (DIC), efusi subdural, abses subdural, abses intraserebral dan bahkan kematian.

Pasien dapat mengalami perubahan status mental atau bahkan koma.Sekitar 15% dari pasien anak

yang menderita meningitis pneumokokus mengalami syok (Kornelisse et al., 1995). Syok dan DIC

sering berhubungan dengan meningitis meningokokus. Apnu atau gagal napas dapat juga terjadi,

18
terutama pada bayi. Kejang terjadi pada sekitar sepertiga pasien. Kejang yang menetap (lebih dari

4hari) atau mulai akhir cenderung terkait dengan gejala sisa neurologis. Kejang fokal membawa

prognosis yang lebih buruk dibandingkan kejang umum. Jika terjadi kejang fokal harus diwaspadai

kemungkinan komplikasi seperti empiema subdural, abses otak, atau peningkatan TIK dan

disarankan dilakukan pemeriksaan neuroimaging. Efusi subdural yang terjadi pada sepertiga

pasien anak umumnya asimptomatik, dapat membaik secara spontan dan tidak menyebabkan

gejala sisa neurologi permanen. Dapat juga terjadi Sindrom of Inappropriate Anti Diuretic

Hormone (SIADH) sehingga elektrolit dan keseimbangan cairan harus dipantau ketat.Semua

komplikasi seperti syok, DIC, perubahan status mental/koma,gangguan pernapasan, kejang,

peningkatan TIK, SIADH dan gejala lainnya ditangani dengan terapi yang lazim diberikan (Mace,

2008).

Fatality rate kasus meningitis bakteri dilaporkan sebesar 25% pada orang dewasa dan

sampai 50% pada pasien usia lanjut (Duran et al., 1993; Adedipe dan Lowenstein, 2006). Fatality

rate kasus meningitis bakteri yang disebabkan oleh H. influenzae atau N. meningitidis atau

kelompok streptokokus B, sebesar 3% sampai 7%. Sedangkan pada S. pneumonia sebesar 20%

sampai 25% dan 30% sampai 40% pada Listeriamonocytogenes (Schuchatet al., 1997). Fatality

rate yang lebih tinggi terjadi pada pasien usia ekstrim (lansia dan bayi, terutama neonatus)

(Chavez-Bueno dan McCracken, 2005). Prognosis bervariasi tergantung pada beberapa faktor:

usia, adanya komorbiditas, bakteri penyebab dan tingkat keparahan dan adanya gangguan

neurologis saat datang ke rumah sakit. Indikator klinis yang mempengaruhi tingkat kematian yaitu

: derajat penurunan kesadaran saat masuk rumah sakit, adanya tanda peningkatan TIK, kejang

dalam 24 jam masuk rumah sakit, usia >50 tahun atau bayi, adanya komorbiditas, kebutuhan akan

alat bantu napas, keterlambatan pemberian terapi. Sebuah studi padameningitis bakteri dewasa

19
(51% S. pneumonia, 37% N. meningitidis) menunjukkan bahwa faktor risiko terkait prognosis

buruk adalah usia lanjut, adanya osteoitis atau sinusitis, Glasgow Coma scale (GCS) yang rendah

saat masuk, takikardi, tidak adanya ruam, trombositopeni, peningkatan laju endap darah, jumlah

sel dalam CSS yang rendah dan kultur darah positif (van de Beek et al., 2004).

Insiden gejala sisa bervariasi kurang lebih 25% yang mengalami sekuele sedang atau

berat. Telah dilaporkan bahwa 40% memiliki gejala sisa berupa gangguan pendengaran dan gejala

sisa neurologi lainnya sementara yang lain menyebutkan 60% mengalami morbiditas (Miller dan

Choi, 1997; Tunkel dan Scheld, 2005). Gejala sisa dari meningitis bakteri meliputi: gangguan

pendengaran sensori neural (terutama sering terjadi pada anak yang mendapat infeksi

H.influenzae), penurunan fungsi intelektual/kognitif, gangguan memori, pusing, gangguan gaya

berjalan, defisit neurologis fokal termasuk kelumpuhan dan kebutaan, hidrosefalus, efusi subdural,

dan kejang (Mace, 2008).

2.2 Faktor yang berkaitan dengan kematian pada meningitis bakteri

Faktor yang berkaitan dengan kematian pada meningitis ditentukan oleh beberapa variabel

seperti; usia >60 tahun, jenis kelamin laki laki, adanya gangguan kesadararan, kejang, demam,

kuman penyebabnya S. pneumonia atau S. aureus, demam berkepanjangan (>10 hari), infeksi lain,

pemberian kortikosteroid, jumlah leukosit dalam CSS<100/mm3, waktu pemberian antibiotika

(Proulx et al., 2005). Pada penelitian lain dikatakan faktor prediktor kematian adalah usia >60

tahun, imunokompromise, penurunan kesadaran, infeksi gram negatif.

a. Usia

Pada penyakit meningitis bakteri dikatakan tingkat kematian berbanding lurus dengan

pertambahan usia. Dikatakan terdapat hubungan antara pertambahan usia dengan penurunan

kesadaran dimana p<0.001 dan Ods Ratio (OR) 16.7 (Magazzini et al., 2012). Pada penelitian

20
surveilans di Amerika Serikat tahun 2003 sampai 2007 didapatkan kasus kematian pada meningitis

bakteri dewasa sebanyak 16.4% dimana pada rentang usia 18 sampai 34 tahun sebesar 8.9%

sedangkan pada usia >60 tahun sebesar 22.7% (Thigpen, 2010).

b. Jenis kelamin

Pada penelitian yang dilakukan oleh Dharmarajan et al, (2016) yang mengamati

pengaruh perbedaan jenis kelamin terhadap luaran klinis yang buruk pada meningitis bakteri

didapatkan bahwa jenis kelamin laki laki signifikan berhubungan dengan luaran klinis yang buruk

dimana didapatkan pada usia diatas 60 tahun, adanya defisit neurologi, demam dan kelainan

laboratorium (p<0.05). Hal ini dikarenakan susunan otak laki laki berbeda dari perempuan baik

dari segi morfologi, neurokimia dan fungsional. Dikatakan umur berkaitan dengan perubahan

sekresi sitokin sel T seperti Interferon (IFN) dan IL 17 yang menurun pada laki laki usia lanjut.

Selain itu berhubungan dengan sekresi IL 10 yang meningkat pada wanita dibandingkan pada laki-

laki. Dan karena pada penyakit menular sebagian dipengaruhi oleh perilaku spesifik gender.

Namun perbedaan jenis kelaminpada penyakit infeksi saraf khususnya meningitis jarang diteliti

(Gieffing-Kroll et al., 2015). Dikatakan faktor genetik host juga berperan dalam menentukan

kerentanan terhadap tingkat infeksius penyakit. Tetapi bukan karena perbedaan jenis kelamin

melainkan akibat adanya gen yang dikenal dgn single-nucleotide polymorphisms (SNPs), yang

mengontrol respon host terhadap bakteri. Pasien yg mengalami rekurensi atau familial meningitis

atau yang mengalami sepsis akibat S. pneumoniae atau N. meningitidis sering ditemukan memiliki

mutasi gen yang menyebabkan peningkatan kerentanan terhadap infeksi. Terjadinya mutasi pada

gen pengkodingan terhadap sistem komplemen atau Toll like receptor (TLR)

pathway(Heckenberget al., 2013).

21
c. Penurunan kesadararan

Penurunan kesadaran merupakan prediktor kuat kematian pada meningitis bakteri. Hal ini

didukung oleh penelitian yang dilakukan Proulx et al, (2005) dimana didapatkan hasil yang

signifikan dengan p<0.01. Dikatakan pemberian awal antibiotika sebaiknya sebelum terjadi

penurunan GCS<10 karena berhubungan dengan luaran kematian yang juga dipengaruhi oleh

faktor lain (Lu et al., 2002). Penurunan kesadaran dalam hal ini keadaan koma saat awal masuk

rumah sakit merupaka faktor independen yang berhubungan dengan kematian pada penderita usia

lanjutdengan OR: 9.9 95% CI: 2.8-34.1(Cabellos et al., 2009).

d. Kejang

Kejang sering terjadi pada kasus meningitis dewasa. Kejadian kejang dikatakan berkaitan

dengan proses inflamasi susunan saraf pusat dan sistemik yang berat, lesi struktural di susunan

saraf pusat, meningitis pneumokokus dan faktor predisposisi lainnya. Inflamasi kortikal

merupakan mekanisme terjadinya kejang pada meningitis bakteri. Di dapatkan proporsi kejang

pada meningitis bakteri yang mengalami kematian yaitu71,4 % (Hristea et al., 2001). Pada

penelitian yang dilakukan oleh Zoons et al, (2008) menunjukkan bahwa insiden kejang pada

meningitis bakteri sebesar 17% dan sebanyak 41% menyebabkan kematian. Didapatkan bahwa

kejang mempunyai hubungan kuat dengan kejadian kematian pada meningitis bakteri dengan

p<0.001 dan OR: 6.71 95% CI: 2.58-17.42 (Luet al., 2002).

e. Jenis kuman penyebab

S.pneumonia merupakan kuman penyebab tersering meningitis bakteri pada usia 19 sampai

59 tahun dan lebih banyak pada usia ≥60 tahun juga pada anak anak kecuali neonatus (Mace,

22
2008). Pada penelitian di Belanda terhadap 696 kasus meningitis bakteri dewasa antara tahun 1998

sampai 2002 dilaporkan bahwa tingkat kematian pada bakteri pneumokokus signifikan lebih tinggi

dibandingkan bakteri meningikokus (30% vs 7%) (van de Beek et al., 2004).

f. Jumlah leukosit dalam cairan serebrospinal

Pada penelitian yang mencari faktor risiko kematian pada meningitis bakteri akut

didapatkan bahwa jumlah leukosit dalam CSS<1000/mm3 menyebabkan kematian 100% dengan

p<0.05 (Hristea et al., 2001). Hal ini didukung pula oleh penelitian van de Beek et al, (2004)

dengan p<0.001. Dikatakan pada meningitis meningokokus kadar CSS rendah dapat ditemukan

pada keadaan sepsis dan pada meningitis awal. Sedangkan studi meningitis pneumokokus pada

hewan coba menunjukkan adanya hubungan antara banyaknya kuman pada CSS, kurangnya

respon dari leukosit pada CSS dan terjadinya komplikasi intrakranial. Ini menandakan bahwa

pertumbuhan bakteri yang berlebihan dan kurangnya respon leukosit dalam CSS (Tauber et al.,

1992; van de Beek et al., 2004).

g. Kadar rendah glukosa cairan serebrospinal

Penelitian yang dilakukan oleh Wang et al, (2014) menunjukkan bahwa penurunan kadar

glukosa rendah <45 mg/dL berhubungan dengan luaran buruk pada meningitis bakteri dengan

p=0.002 dan OR: 5.24 95% CI: 2.19–12.58.

23
h. Keterlambatan pemberian antibiotika

IDSA merekombinasikan pemberian antibiotika sesegera mungkin (Tunkel et al., 2004).

Pemberian antibiotika lebih dari 6 jam merupakan prediktor signifikan dalam menyebabkan

kematian dengan p<0.01. Dikatakan juga merupakan faktor independen kuat dimana berisiko 8,4

kali lebih besar terjadinya kematian pada meningitis bakteri. Fatality rate pemberian antibiotika

>6 jam sebesar 13% dengan OR :8.4, 95% CI: 1.7-40. Dikatakan faktor yang mempengaruhi

keterlambatan pemberian antibiotika lebih dari 6 jam adalah : ketidaktepatan terapi antibiotika dari

unit pelayanan kesehatan sebelumnya (OR: 21,8), urutan diagnostik dan pengobatan: Ct scan

kepala, lumbal punksi, lalu antibiotika (OR : 5.6), tidak didapatkan trias klasik meningitis (Proulx

et al., 2005).

24

Anda mungkin juga menyukai