Anda di halaman 1dari 51

14

BAB II

ETIKA BERBUSANA DAN POLA PERGAULAN ANTAR JENIS

A. ETIKA BERBUSANA
1. Pengertian Etika Berbusana
Dalam kejadiannya, manusia dilahirkan kemuka bumi ini salah satunya
adalah membawa potensi malu terhadap lingkungannya di mana ia tinggal. Oleh
karena itu, untuk menutupi malunya manusia berusaha semaksimal mungkin
untuk menutupinya rapat-rapat, karena jika tidak bisa menutupinya maka aib yang
ada pada dirinya akan di ketahui orang lain. Manusia dengan segala peradabannya
memiliki naluri untuk mengembangkan apa yang ada, termasuk dalam
perkembangan model pakaian. Tidak bisa dipungkiri lagi model pakaian yang ada
di era globalisasi ini banyak menyadur dari dunia barat. Tapi umat Islam haruslah
tetap bercermin terhadap syari‟at Islam yang Rasulullah lah yang menjadi suri
tauladannya, tidak mengabaikan apa yang menjadi batasan-batasan berpakaian
sesuai syari‟at Islam.

Secara asal hukum pakaian dan perhiasan di dalam Islam adalah boleh,
kecuali ada dalil yang mengharamkannya. Hal tersebut sesuai kaidah fiqih bahwa
hokum asal dari adat istiadat adalah boleh, kecuali ada dalil yang melarang(Al-
Ashl fi al‟adah al-ibahah illa ma dalla al-dalill „ala al-man). Dari kedudukan
pakaian dan perhiasan seperti itu, Allah melarang hamba-Nya untuk
mengharamkan hal yang telah Dia halalkan, termasuk mengharamkan perhiasan
yang telah Allah sediakan bagi hamba-Nya. Allah SWT berfirman dalam Quran
Surat Al-„Araf ayat 32:
15

            

          

    

Artinya: “Katakanlah: "Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang


telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah
yang mengharamkan) rezki yang baik?" Katakanlah: "Semuanya itu
(disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia,
khusus (untuk mereka saja) di hari kiamat." Demikianlah Kami
menjelaskan ayat-ayat itu bagi orang-orang yang mengetahui”( Hasby
ash-shiddiqie, 1989:154).

Namun hukum diatas bisa berubah oleh sebuah kondisi tertentu. Pakaian
dan perhiasan bias menjadi wajib jika memiliki tujuan untuk menutup aurat serta
melindungi tubuh dari panas dan dingin. Pakaian yang berfungsi sebagai perhiasan
menyatakan identitas diri, sesuai dengan adat dan tradisi dalam berpakaian, yang menjadi
kebutuhan untuk menjaga dan mengaktualisasi dirinya dalam perkembangan zaman.
Setiap manusia berhak mengekspresikan dirinya lewat pakaian yang dipakainya, tetapi
tidaklah sembarangan. Tetap harus mengikuti syari‟at Islam(Arif Munandar Riswanto,
2010:140).

Pakaian adalah kebutuhan pokok bagi setiap orang sesuai dengan situasi
dan kondisi dimana seorang berada. Pakaian termasuk salah satu kebutuhan yang
tak bisa lepas dari kehidupan. Karena pakaian mempunyai manfaat yang sangat
besar bagi kehidupan kita. Dalam bahasa Arab pakaian disebut dengan kata
“Libaasun-tsiyaabun”. Dan salam kamus besar Bahasa Indonesia, pakaian
diartikan sebagai barang apa yang biasa dipakaioleh seorang baik berupa jaket,
celana, sarung, selendang, kerudung, jubah, surban dan lain-lain.
16

Secara isltilah, pakaian adalah segala sesuatu yang dikenakan seseorang


dalam berbagai ukuran dan modenya berupa (baju, celana, sarung, jubah, ataupun
yang lain), yang disesuaikan dengan kebutuhan pemakainya untuk suatu tujuan
yang bersifat khusus artinya pakaian yang digunakan lebih berorientasi pada nilai
keindahan yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi pemakaian. Pakaian
mempunyai tujuan umum untuk melindungi ataupun menutup tubuh manusia agar
terhindar dari bahaya yang dapat merusak tubuh kita secara langsung melalui
kontak fisik. Sedangkan menurut agama lebih mengarah kepada menutup aurat
tubuh manusia, agar tidak melanggar ketentuan syariat(Muhammad Sahrur, 2008:
485-486).

Al-Quran paling tidak menggunakan tiga istilah untuk pakaian yaitu, libas,
tsiyab, dan sarabil. Kata libas di gunakan oleh Al-Quran untuk menunjukkan
pakaian lahir maupun batin, sedangkan kata tsiyab digunakan untuk menunjukkan
pakaian lahir. Kata ini di terambil dari kata tsaub yang berarti kembali, yakni
kembalinya sesuatu pada keadaan semula, atau pada keadaan yang seharusnya
sesuai dengan ide pertamanya. Kata ketiga yang di gunakan Al-Quran untuk
menjelaskan perihal pakaian adalah sarabil. Kamus-kamus bahasa mengartikan ini
sebagai pakaian, apapun jenis bahannya. Hanya dua ayat yang menggunakan kata
tersebut. Satu diantaranya di artikan sebagai pakaian yang berfungsi menangkal
sengatan panas, dingin, dan bahaya dalam peperangan Allah berfirman dalam Q.S
Al-Nahl :81:

          

         

     

Artinya: “Dan Allah menjadikan bagimu tempat bernaung dari apa yang telah
Dia ciptakan, dan Dia jadikan bagimu tempat-tempat tinggal di
gunung-gunung, dan Dia jadikan bagimu pakaian yang memeliharamu
17

dari panas dan pakaian (baju besi) yang memelihara kamu dalam
peperangan. Demikianlah Allah menyempurnakan nikmat-Nya atasmu
agar kamu berserah diri (kepada-Nya)”( Hasby ash-shiddiqie, 1989:
276).

Firman Allah Dalam Q.S Ibrahim: 50

      

Artinya: “Pakaian mereka adalah dari pelangkin (ter) dan muka mereka
ditutup oleh api neraka” ( Hasby ash-shiddiqie, 1989: 261).

Dari sini terpahami bahwa pakaian ada yang menjadi alat penyiksa. Tentu
saja siksaan tersebut karena yang bersangkutan tidak menyesuaikan diri dengan
nilai-nilai yang di amanatkan oleh Allah(M. Quraish Shihab:155-157). Dari
beberapa penjelasan di atas kita dapat mengetahui bahwa Pakaian adalah salah
satu diantara tiga keperluan asas dan terpenting yang perlu dimiliki dan dipenuhi
oleh setiap manusia dalam menjalani kehidupan seharian. Selain sebagai
keperluan asasi, pakaian juga boleh menjadi ekoran keperibadian seseorang,
sebagai simbol atau tanda dan lain-lain perlembagaan. Kriteria berpakaian itu
tidak memadai hanya berdasarkan ukuran adat, kerana adat boleh berubah. Justeru
itu, pakaian juga boleh berubah. Oleh kerana itulah ukuran agama adalah yang
paling tepat bagi menentukan etika atau kriteria berpakaian yaitu menutup aurat
yang menepati kehendak hukum syarak.

Pepatah mengatakan ajining raga ana ing busana . Ini menunjukkan betapa
pentingnya cara dalam berpakaian. Sehingga penampilan seseorang dalam
berpakaian dapat mencerminkan kepribadiannya, Pakaian akan mempresentasikan
karakter dan kepribadian pemakainnya. Cara berpakaian yang sopan sesuai
dengan norma- norma agama sosial yang akan menggambarkan kondisi psikologis
pemakainnya, dan demikian pula sebaliknya cara berpakaian yang teratur, dan
tidak memenuhi kriteria kepantasan juga akan menunjukkan seperti itulah kondisi
18

kejiwaan pemakainnya karena apa yang nampak secara lahiriyah iu sesungguhnya


menunjukkan apa yang tersimpan didalam hatinya. Islam mengatur etika dalam
berpakaian baik dalam segi penampilannya maupun motivasinya. Oleh karena itu,
berpakaian bagi seorang muslim tidak hanya berfungsi untuk melindungi badan
dari terik panasnya matahari tetapi juga sebagai identitas( Mahmud Sya‟roni:70).

Didalam ajaran Islam, berpakaian tidak hanya sekedar kain penutup


badan, tidak hanya sekedar mode atau trend yang mengikuti perkembangan
zaman. Islam mengajarkan tata cara atau adab berpakaian yang sesuai dengan
ajaran agama, baik secara moral, indah dipandang dan nyaman digunakan.

2. Adab Berpakaian dalam Pandangan Islam


a) Harus memperhatikan syarat-syarat pakaian yang islami, yaitu
yang dapat menutupi aurat

Menurut ajaran Islam, berpakaian adalah mengenakan pakaian untuk


menutupi aurat, dan sekaligus perhiasan untuk memperindah jasmani seseorang.
Sebagaimana ditegaskan Allah Swt, dalam firman-ya QS. Al-A‟raf ayat 26:

          

          

Artinya: “Hai anak Adam(umat manusia), Sesungguhnya Kami telah menurunkan


kepadamu pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk
perhiasan. dan pakaian takwa Itulah yang paling baik. yang demikian
itu adalah sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, Mudah-
mudahan mereka selalu ingat”(Hasby ash-shiddiqie, 1989: 153).

Ayat ini terdapat dalam rangkaian ayat yang menceritakan kisah Adam
mulai diciptakan hingga diturunkan di bumi. Dikisahkan pula bahwa
diturunkannya Adam beserta istrinya itu tidak lepas dari peran Iblis yang berhasil
19

menggodanya.Kemudian ditegaskan, bumi menjadi tempat kediaman dan


kesenangan bagi manusia hingga waktu yang ditetapkan. Di bumi itu pula,
manusia hidup, mati, dan dibangkitkan (lihat ayat 24-25).
Setelah itu, dalam ayat ini diberitakan bahwa Allah SWT telah memberikan
pakaian bagi manusia. Sebuah perangkat amat penting bagi manusia hidup di
dunia, baik untuk keperluan agama maupun keperluan dunia.
Disebutkan: Yâ Banî Adam (hai anak Adam). Yang dimaksudkan adalah seluruh
manusia. Kepada mereka ditegaskan: anzalnâa „alaykum libâs[an] (sesungguhnya
Kami telah menurunkan kepadamu pakaian). Pengertian anzalnâ (Kami turunkan)
di sini adalah khalaqnâ lakum (Kami ciptakan untuk kamu).Demikian dikatakan
al-Syaukani. Bisa pula yang dimaksudkan adalah hujan.Dengan diturunkannya
hujan, maka berbagai tumbuhan bisa tumbuh. Termasuk tumbuhan yang menjadi
bahan untuk pakaian bagi manusia.

Ibnu Jarir mengutip dari Mujahid yang mengatakan bahwa ayat ini
berkaitan dengan orang-orang Arab melakukan thawaf di Baitullah dalam keadaan
telanjang, dan tidak ada seorang pun yang mengenakan baju ketika thawaf.Maka
ayat ini mengingatkan kepada mereka akan besarnya nikmat Allah dan kekuasaan-
Nya atas mereka agar mereka ingat, lalu beriman, berislam, serta meninggalkan
syirik dan kemaksiatan. Di antara nikmat-Nya adalah diturunkannya pakaian bagi
mereka. Kemudian dijelaskan tentang kegunaan pakaian: yuwârî sawtikum wa
rîsy[an] (untuk menutupi auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan). Menurut
ayat ini, ada dua kegunaan pakaian bagi manusia. Pertama, yuwârî saw`âtikum,
untuk menutupi auratmu. Kata saw`âta merupakan bentuk jamak dari kata
saw`ah. Pengertian al-saw`ah adalah al-„awarah (aurat). Menurut al-Syaukani, ini
merupakan perkataan para ulama salaf. Disebutnya al-„awrah dengan al-saw`ah
karena membuat pelakunya menjadi buruk ketika terbuka. Sehingga, sebagaimana
dijelaskan para mufassir, seperti Ibnu Jarir al-Thabari, al-Baghawi dan lain-lain,
pengertian ayat ini adalah: yastaru „awrâtikum (menutupi auratmu).

Dikatakan pula oleh Imam al-Qurthubi, sebagian besar ulama berpendapat


bahwa ayat ini menjadi dalil atas wajibnya menutup aurat. Memang ada yang
20

mengatakan, ayat ini hanya menunjukkan pemberian nikmat. Namun, menurut al-
Qurthubi, pendapat yang pertama lebih shahih. Alasannya, termasuk dalam
cakupan pemberian nikmat adalah menutup aurat. Maka Allah SWT menerangkan
telah menjadikan bagi anak cucu Adam menutupi aurat mereka dan menunjukkan
perintah untuk menutup aurat. Di samping itu juga tidak ada perbedaan di
kalangan ulama mengenai wajibnya menutup aurat dari pandangan manusia.

Kedua, sebagai rîsy[an]. Artinya, zînah (perhiasan). Diambil dari kata rîsy
al-thayr (bulu burung). Sebab, bulu itu merupakan perhiasan bagi burung.
Demikian penjelasan Sihabuddin al-Alusi. Ibnu Zaid juga menafsirkannya sebagai
al-jamâl (keindahan). Ibnu Katsir memaknai al-rîsy sebagai sesuatu yang
membuat sesuatu terlihat bagus.

Ayat trsebut memberi acuan cara berpakaian sebagaimana dituntut oleh


sifat takwa, yaitu untuk menutup aurat dan berpakaian rapi, sehingga tanpak
simpati dan berwibawa serta anggun dipandangnya, bukan menggiurkan
dibuatnya. Aurat dalam al-Qur‟an disebut sau‟at yang terambil dari kata sa‟a,
yasu‟u yang berarti buruk, tidak menyenangkan. Kata ini sama maknanya dengan
aurat yang terambil dari kata „ar yang berarti onar, aib, tercela. Keburukan yang
dimaksud tidak harus dalam arti sesuatu yang pada dirinya buruk, tetapi bisa juga
karena adanya faktor lain yang mengakibatkannya buruk. Tidak satu pun dari
bagian tubuh yang buruk karena semuanya baik dan bermanfaat termasuk aurat.
Tetapi bila dilihat orang, maka “keterlihatan” itulah yang buruk.

Dalam fungsinya sebagai penutup, tentunya pakaian dapat menutupi


segala yang enggan diperlihatkan oleh pemakai, sekalipun seluruh badanya.
Tetapi dalam konteks pembicaraan tuntunan atau hukum agama, aurat dipahami
sebagai anggota badan tertentu yang tidak boleh dilihat kecuali oleh orang-orang
tertentu. Dimana Islam mewajibkan kepada setiap muslim-muslimah menutup
aurat yang menjadikan manusia berbudaya sesuai dengan fitrahnya dan akan malu
kalau auratnya terbuka. Sehingga demikian akan berbedalah manusia dari
binatang yang telanjang.
21

b) Pakailah pakaian yang bersih dan rapi, sehingga tidak terkesan


kumal dan dekil, yang akan berpengaruh terhadap pergaulan
dengan sesama

Islam sangat menganjurkan kepada umatnya untuk selalu tanpil rapi dan
bersih dalam kehidupan sehari-hari. Karena kerapian dan kebersihan ini,
Rasulullah saw. Menyatakan bahwa kebersihan adalah sebagian dari iman.
Artinya, orang beriman akan selalu menjaga kerapian dan kebersihan kapan dan di
mana dia berada. Semakin tinggi imam seseorang maka dia akan semakin
menjaga kebersihan dan kerapian tersebut. Sabda Rasulullah saw. dari riwayat
Abu Darda :

‫ا لَّن َ اَ ُ ِ َ ِاَمْيَ ِن‬

Artinya : “Kebersihan merupakan bagian dari iman”

Pakaiana yang kita kenakkan harus sesuai dengan tuntutan Islam dan
sebaliknya disesuiakan dengan situasi dan kondisi. Pada saat menghadiri pesta,
kita menggunakan pakaian yang cocok untuk berpesta, misalnya kemeja, baju
batik, pada saat tidur, kita cukup menggunakan piyama; dan begitu seterusnya.
Disamping itu, pemilihan model dan warna pakaian juga harus disesuaikan
dengan badan kita, sehingga menjadi serasi dan tidak menjadi bahan tertawaan
orang lain.

c) Hendaklah mendahulukan anggota badan yang sebelah kanan,


baru kemudian sebelah kiri

Mendahulukan anggota badan yang kanan dalam segala perbuatan


hukumnya sunnah. Dalam etika berpakaian ketika kita mengenakan pakaian
hendaknya mendahulukan anggota yang kanan daripada yang kiri dan bila
melepaskannya atau menanggalkannya hendaknya mendahulukan yang kiri.
22

Dalam hadist yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah yang berbunyi :

“ Dari Abu Hurairah r.a bahwasanya Rasullullah saw. Bersabda : kalau kamu
memakai sandal pasang yang kanan terlebih dahulu tetapi kalau membukanya
yang kiri buka dahulu, jadi yang kanan adalah yang pertama dipasang dan yang
terakhir dibuka, “ (H. R al-Bukhori)

Dari hadist tersebut dijelaskan bahwa Rasulullah Saw menganjurkan kita


untuk mendahulukan anggota badan yang kanan terlebih dahulu seperti dalam
mengenakan pakaian, sandal, atau sepatu. Sedangkan untuk melepaskannya
mendahulukan yang kiri( Mahmud Sya‟roni:70 – 71).

Rasulullah Saw pernah menganjurkan umatnya untuk menggunakan kain


putih. Perintah itu tertuang dalam sabdanya :

ِ ِِ ِ ِ ِ ِ ِ
َ َ‫َمْيَ ُ َمْي َمْي َ اِ ُ ُ َمْيََب‬
‫ا اَ َبَّن َ َمْي َ َمْيِ َ ا ُ َمْي َ َا ِّف لَُب َمْي اَمْيَب َ َ َمْي َ ُا َمْي‬

Artinya:“Dari samurah ra, ia berkata : Rasullullah saw. Bersabda : “ Pakailah


pakaian berwarna putih, karena pakaian putih adalah pakaian yang
paling suci dan paling baik. Dan kafanilah orang yang meninggal di
antara kalian dengan kain putih!”(Imam Al-Nawawi, 2000:478).

Hadits di atas menjelaskan perintah Nabi untuk memakai pakaian


berwarna putih merupakan suatu himbauan dan bukan perintah untuk wajib
dilakukan. Hal iu lebih disebabkan karena warna putih menginspirasikan
kebersihan dan kesucian, sehingga pemakainnya pun akan lebih menjaganya dari
kotoran, dan demikian pula terhadap hati dan jiwanya, karena putih simbol
kesucian maka dengan mengenakan pakaian berwarna putih diharapkan
pemakainnya dapat menjaga dirinya dari setiap yang mengotori hati dan jiwanya
(Juwariyah:94).

Dalam riwayar lain dikatakan bahwa Nabi pernah memakai baju hijau
bahkan juga merah sebagaimana dikatakan Ramtsah :

“Dari Abu Ramtsah Rifaah At-Taimiy ra, ia berkata : saya pernah melihat
Rasullullah saw memakai dua baju yang hijau” ( Abu Daud dan Tirmidzi )
23

Hadits lain yang diriwayatkan oleh Bukhori Muslim mengatakan :

ٍ ِ ِ
‫ط‬ ُ ‫صلَّنى هللُ َعلََمْيه َ َسلَّن َ َ َمْيراَبُ َمْي ًع َ ََق َمْيد َرأَيَمْيَبتُهُ ِ َمْيِف ُحلَّن ََحَمْيَرءَ َ َرأَيَمْي‬
ُّ َ‫ت َشَمْيئً ق‬ َ ‫َا َن َر ُس َمْي ُل هلل‬
ِ
ُ‫َ َمْيح َ َ َمْيله‬

Artinya:“Dari Al Barra bin Azib ra, ia berkata : “ Tubuh Rasullullah saw


berukuran sedang. Saya pernah melihat beliau mengenakan kain
merah, dan belum pernah melihat orang yang lebih tampan dari
beliau” ( Imam Al-Nawawi, 1999:707).

Hadits-hadits di atas menunjukkan bahwa Nabi tidak melarang kaum


laki-laki memakai pakaian warna-warna karena yang paling essensial dari pakaian
adalah untuk menutup aurat sedangkan persoalan warna hanyalah persoalan selera
yang masing-masing orang memilki selera yang tidak selalu sama. Hanya saja
Nabi lebih menganjurkan orang untuk mengenakan pakaian putih berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan yang telah di jelaskan di atas.

Namun dalam berpakaian terdapat hal penting yang harus di ingat yaitu
bahwa Allah telah memerintahkan kepada para hambanya(kaum perempuan untuk
memanjangkan pakaiannya, namun panjangnnya pakaian sampai menutup seluruh
aurat bulan jaminan bahwa cara berpakaian tersebut sudah mendapatkan Ridho
dari Allah SWT lantaran memenuhi perintahnnya. sebab cara menutup aurat
dengan memanjangkan yang didasari perasaan ingin menyombongkan diri,
merupakan perbuatan yang tidak di sukai Allah dimana hal tersebut di sampaikan
sabdanya dalam sunan Abu Daud :

“Dari Abdul aziz bi Abu Ruwad, dari salim bin Abdullah, dari ayahnya, dari nabi
"Saw bersabda : Hendaknya di panjangkan sarung, baju, dan sorban,
barangsiapa memanjangkan sesuatu darinya karena sombong Allah tidak akan
melihat kepadanya pada hari kiamat”( HR Abu Daud ).

Hadits tersebut menjelaskan faktor niat yang memotivasi lahirnya


perbuatan memegang peranan penting dalam setiap langkah yang di ambil seorang
pelaku, sehingga perbuatan yang secara lahiriyah menjalankan perintah agama
24

seperti berpakaian untuk menutup aurat misalnya, akan tetapi jika dilakukan
dengan niat yang keliru atau dengan motif-motif tertentu yang menyimpang dari
ketentuan Allah, seperti untuk menyombongkan diri bukan karena patuh dan taat
kepadanya, maka nilai amalnya tidak akan sampai pada Allah dan tidak akan
mendapatkan balasan kebaikan dariNya, karena hanya dengan niat yang tulus
karena Allah suatu amal perbuatan akan memilii ruhnya dan akan di terima
sebagai amal sholeh di sisi Allah( Juwariyah:98).

d) Tidak menyerupai pakaian wanita bagi laki-laki, atau pakaian


laki-laki bagi wanita

Berdasarkan banyak hadits yang menyebutkan adanya laknat bagi wanita


yang menyerupai laki-laki dan bgitupun sebaliknya baik dalam berpakaian
maupun dalam hal yang lain. Berikut ini adalah adalah beberapa hadis yang di
jadikan dalil haramnya perbuatan tersebut:

 Hadits Abu Hurairah r.a

ِ ُ ‫صلَّنى هللُ َعلََمْي ِه َ َسلَّن َ َّنر ُ َ يََب َمْيلَ َِمْي َ َ َمْي َ َمْيرأَِ َ َمْي َ َمْيرأََ ََب َمْيلَ َِمْي َ َ َّنر‬ ِ
َ ‫َ َ َ َر ُس َمْي ُل هلل‬
ُ ُ
Artinya:“Rasulullah SAW melaknat pria yang mmakai pakaian wanita, dan
wanita yang memakai pakaian pria.”

 Hadis ‘Abdullah Bin ’Amr r.a


Dari „Abdullah bin „Amr ia berkata: “aku mendengar Rasulullah SAW
bersabda:

‫ََمْي َ ِ لَّن َ َمْي َ َ َّنَب َ اِ ِّفر َ ِل ِ َ لِّف َ ِء َ َ َ َمْي َ َ َّنهَ اِ لِّف َ ِء ِ َ ِّفر َ ِل‬

Artinya:”tidak trmasuk golongan kami wanita yang nyerupakan diri dengan laki-
laki atau laki-laki yang menyerupakan diri dengan kaum wanita”
25

 Hadits Ibnu Abbas r.a

: ‫ت ِ َ لِّف َ ِء – َ قَ َل‬
ِ َ‫َ ِلَّنِب صلَّنى هلل علَ ِه سلَّن َمْي خلَّنثِْي ِ ِّفر ِل َمْي تََبر ِّف ال‬
َ ُ َ َ َ َ ‫َ َ ُّ َ ُ َ َمْي َ َ َ ُ َ َمْي‬
‫صلَّنى هللُ َعلََمْي ِه َ َسلَّن َ اُالًَ َأَ َمْي َر َج عُ َ ُر‬ ِ ِ
ُّ ِ ‫ اَأَ َمْي َر َج‬: ‫ قَ َل‬. ‫ أَ َمْي ِر ُ ُ َمْي َمْي اَبَُُب َمْي ُ َمْي‬-
َ ‫لَّنِب‬

‫اُالَ ًن‬

Artinya: “Nabi Muhammad SAW melaknat laki-laki yang berprilaku seperti


wanita dan wanita yang berprilaku seperti laki-laki. Nabi Muhammad
SAW bahkan berseru “keluarkanlah mereka dari rumah kalian.” Lalu,
Nabi Muhammad SAW mengeluarkan Fulan dan „Umar mengeluarkan
Fulan.”

Dalam lafaz lain menyatakan:”Rasulullah SAW melaknat para laki-laki


yang menyrupakan diri dengan wanita dan para wanita yang menyerupakan diri
dengan laki-laki.” Musibah yang paling berat yang menimpa kehidupan
masyarakat adalah keluarnya anggota masyarakat dari fitrah dan
penyimpangannya dari tabiat alam. Di antaratabiat alam itu adalah adanya laki-
laki dan perempuan. Masing-masing memiliki karakteristik yang berbeda dan
khas. Apabila laki-laki berkarakter seperti perempuan dan perempuan kelaki-
lakian, itulah yang di sebut kerancuan dan kemerosotan moral.
Nabi SAW mengkategorikan di Antara golongan orang-orang yang di
laknat dunia dan akhirat dan di amini oleh para Malaikat, seorang laki-laki yang
sudah dijadikan oleh Allah seorang laki-laki lalu memperempuankan diri dan
menyerupakan dirinya seperti perempuan. Dan demikian pula perempuan yang
telah Allah jadikan pula ia sebagai perempuan lalu melelakikan diri dan
menyerupakan diri dengan laki-laki.
Karena itulah, Nabi SAW melarang kaum laki-laki mengenakan pakaian
Mu‟asfar. Imam Muslim meriwayatkan dari Ali r.a., ia berkata, “Rasulullah
melarang saya
26

 Hadits ‘Abdullah Bin ‘Umar r.a

Dari Abdullah bin „Umar, ia brkata bahwa rasulullah SAW


brsabda:

ِ َ‫ َمْي ُّق ِ َدي ِه َمْي رأَُ َمْي تََبر ِّف ل‬: ِ ‫ث َ ي َمْيد لُ َن َمْيْللَّن َ َ يَبَمْيل ُر هلل إَِ ِه يَب م َمْي ِق‬
َ ُ ‫َالَ ٌ َ ُ َمْي َ َ َ ُ ُ َمْي َ َمْي َ َ َ َ َ َمْي َ َ َمْي‬

ُ ‫َمْي ُ تَ َ ِّفَب َ ُ اِ ِّفر َ ِل َ َّنديَبُّ َمْي‬


.‫ث‬

Artinya:“tiga golongan manusia yang tidak akan masuk surga dan tidak akan
dilihat oleh Allah pada hari kiamat: 1.Orang yang durhaka kepada kdua
orang tuanya. 2.Wanita yang berprilaku(dan) mnyerupakan dirinya
dengan laki-laki. 3.Laki-laki yang tidak memiliki rasa cemburu(terhadap
kluarganya)(Muhammad Nashiruddin Al-Albani:183-187).

Hadits di atas menunjukkan kepada kita tentang haramnya laki-laki


menyerupai wanita, baik dengan melembutkan suara ataupun dengan gaya dan
geraknya.

e) Tidak terlalu ketat dan transparan, sehingga terkesan ingin


memperlihatkan lekuk tubuhnya atau mempertontonkan
kelembutan kulitnya

Tujuan berpakaian adalah mnghilangkan fitnah dari kaum wanita, dan dari
itu mungkinterwujud melainkan dengan mengunakan pakaian yang longgar dan
lebar. Tidak di bolehkan memakai pakaian ketat .

Hendaklah hijab/jilbab/ pakaian tersebut menutup seluruh badan


(auratnya), tidak tipis, transparan, tidak sempit, tidak ketat, tidak menampakkan
lekuk tubuh dan aurat. Karena dimaksud dan tujuan hijab/jilbab adalah menutup,
jika tidak menutup, tidak dinamakan hijab, karena hal tersebut tidak menghalangi
penglihatan terhadap aurat dan lekuk-lekuknya aurat. Hal inilah yang disinyalir
oleh Nabi SAW “wanita-wanita yang berpakaian tetapi telanjang”. wanita yang
27

demikian itu dinyatakan tidak masuk surga dan tidak mencium baunya surga.
“Rasulullah SAW bersabda :

‫ب ْالبَقَ ِس يَضْ ِسب ُْى َى‬ ِ ‫ قَ ْى ٌم َه َعهُ ْن ِسيَاطٌ َكأ َ ْذًَا‬: ‫از لَ ْن أَ َزهُ َوا‬
ِ ٌَّ‫اى ِه ْي أَ ْه ِل ال‬
ِ َ‫ص ٌْف‬
ِ
‫ث ُز ُء ْو ُسه َُّي َكأ َ ْسٌِ َو ِت‬ ٌ َ‫ث ُه ِو ْيال‬
ٌ َ‫اث َهائِال‬ ٌ َ‫ازي‬
ِ ‫اث َع‬ ٌ َ‫ َوًِ َسا ٌء َكا ِسي‬.‫اا‬ َ ٌَّ‫بِهَا ال‬
َّ ‫ج ْال َوائِلَ ِت الَ يَ ْد ُخ ْل َي ْال َجٌَّتَ َوالَ يَ ِج ْد َى ِزي َْحهَا َو‬
ْ ‫إى ِز ْي َحهَا لَي ُْى َج ُد‬
‫هي‬ ِ ‫ْالب ُْخ‬
‫َه ِس ْي َس ٍة َك َرا َو َك َرا‬

Artinya: “Dua golongan ini dari ahli neraka yang belum pernah aku lihat, yaitu :
Suatu kaum yang memiliki cambuk seperti ekor sapi untuk memukul
manusia, dan para wanita yang berpakaian tapi telanjang,
berlenggak-lenggok (jalannya) (berpaling dari Allah SWT),
mengajarkan wanita berlenggak-lenggok (memalingkan wanita lain
dari Allah SWT), kepala mereka seperti punuk onta yang miring
(memakai sanggul/rambut pasangan pada rambutnya), wanita seperti
ini tidak akam masuk surga dan tidak akan mencium baunya,
walaupun baunya tercium selama perjalanan ini dan ini (jauhnya)”
(HR. Muslim)( Khalid Sayyid Ali, 2011:205).

f) Tidak terlalu berlebihan atau sengaja melebihkan lebar kainnya,


sehingga terkesan berat dan rikuh menggunakannya, disamping
bisa mengurangi nilai kepantasan dan keindahan pemakainya

Menurut Yusuf Qardahawi(115:2003), Ketentuan secara umum dalam


hubungannya dengan masalah menikmati hal-hal yang baik, yang berupa
makanan, minuman, ataupun pakaian ialah tidak boleh berlebih-lebihan dan untuk
kesombongan. Berlebih-lebihan ialah melewati batas ketentuan dalam menikmati
yang halal. Yang disebut kesombongan adalah erat sekali hubungannya dengan
masalah niat, dan hati manusia itu berkait dengan masalah yang lahir. Dengan
demikian, apa yang disebut dengan kesombongan itu ialah bermaksud untuk
bermegah-megah dan menunjuk-nunjukkan serta menyombongkan diri terhadap
orang lain. Padahal, Allah sama sekali tidak suka terhadap orang yang sombong.
28

Seperi Firman Allah :

      

Artinya: “Dan Allah tidak menyukai Setiap orang yang sombong lagi
membanggakan diri.”

Kemudian, agar setiap muslim dapat menjauhkan diri dari ha-hal


menyebabkan kesombongan, maka Rasulullah SAW, melarang berpakaian yang
berlebih-lebihan. Hal tersebut akan dapat menimbulkan perasaan angkuh dan
membanggakan diri pada orang lain dengan bentuk-bentuk lahiriyah yang kosong
itu.

 Pakaian Menyeret Tanah

Materi dan arti Hadits :

ِ ‫َّنر َبَ اه َالء َ َمْييل ُِر هلل يَب م ِق‬


َ َ َ ‫ُ َ َمْي‬ ‫َ َمْي َ َمْي َ ُ ُ َ َ َمْي‬

Abdullah Ibn Umar Ra. Bahwasanya Rasulullah SAW bersabda : “Allah tidak
akan melihat kepada orang yang menyeret pakaiannya dengan sombong “ ( HR.
al-Bukhari)”(Abidin Ja‟far, 2006:65).
Menjulurkan pakaian disebut juga dengan Isbal yaitu menjulurkan pakaian
dibawah mata kaki. Seperti yang telah di jelaskan pada kajian hadits di atas,
bahwasanya melakukan isbal itu dilarang.

Dalam riwayat Imam Ahmad dan Bukhari :

“Apa saja yang berada di bawah mata kaki berupa sarung maka tempatnya
di Neraka.”

Rasullullah SAW bersabda : “Ada tiga golongan yang tidak akan diajak
bicara oleh Allah SWT di hari kiamat.” Tidak dilihat dan dibesihkan serta akan
mendapatkan azab yang pedih yaitu seseorang yang melakukan isbal pengungkit
29

pemberian dan orang yang menjual barang dagangannya dengan sumpah palsu.”
(HR. Muslim Abu Daud Turmudzi Nasa‟i & Ibnu Majah).

Oleh karena itu, kita sebagai umat muslim dalam keadaan kita mengetahui
ancaman keras bagi pelaku Isbal kita lihat sebagian kaum muslimin tidak
mengacuhkan masalah ini. Dia membiarkan pakaiannya atau celananya turun
melewati kedua mata kaki. Bahkan kadang- kadang sampai menyapu tanah. Ini
adalah merupakan kemungkaran yang jelas. Dan ini merupakan keharaman yang
menjijikan. Dan merupakan salah satu dosa yang besar. Maka wajib bagi orang
yang melakukan hal itu untuk segera bertaubat kepada Allah SWT dan juga segera
menaikkan pakaiannya kepada sifat yang disyari‟atkan.

Rasullullah SAW bersabda : “Sarung seorang mukmin sebatas pertengahan


kedua betisnya. Tidak mengapa ia menurunkan dibawah itu selama tidak
menutupi kedua mata kaki. Dan yang berada dibawah mata kaki tempatnya di
neraka.”

Isbal terdiri dari dua jenis :

1. Menjulurkan pakaiannya karena perasaan sombong.


2. Menjulurkan pakaian hingga melewati mata kaki tanpa disertai kesombongan.
Adapun jenis yang pertama, yang menjulurkan pakaiannya karena perasaan
sombong, Nabi SAW menyebutkan empat macam siksaan yang akan ditimpakan
kepada pelakunya : Tidak diajak bicara oleh Allah SWT, tidak akan dilihat
dengan penglihatan rahmat, tidak akan disucikan dan akan ditimpakan kepadanya
siksaan yang pedih. Empat jenis siksaan inilah yang akan ditimpakan kepada
orang yang menjulurkan pakaiannya hingga melebihi mata kaki disertai
kesombongan.

Adapun orang-orang yang melakukan isbal tidak karena sombong, maka


mereka mendapatkan ancaman yang lebih ringan, yaitu seperti yang tercantum
dalam hadits Abu Hurairah RA bahwasanya Rasulullah SAW bersabda : “ Kain
sarung yang berada di bawah mata kaki tempatnya di dalam neraka.”
30

Untuk orang seperti ini, hanya mendapatkan satu ancaman, dan siksaannya
tidak dijatuhkan untuk seluruh anggota badannya. Siksaan itu khusus untuk
bagian tubuh yang melanggar syariat, yaitu pakaian yang terjulur di bawah mata
kaki. Apabila baju atau celana panjang yang dipakai seseorang menjulur hingga
melewati mata kaki maka bagian yang terjulur tadi akan mendapatkan siksa
neraka. Namun siksaan itu tidak mengenai anggota tubuh yang lainnya. Hal itu
dikarenakan kadar siksaannya disesuaikan dengan sedikit banyaknya kain yang
terjulur(Syaikh Muhammad, 2009:287-288).

Ummu Salamah bertanya kepada Rasulullah SAW : “Bagaimana kaum


wanita harus membuat ujung pakaiannya?”

“Hendaklah mereka menurunkan pakaian mereka sejengkal (dari


pertengahan betis kaki),” jawab Rasulullah SAW.

Selanjutnya Ummu Salamah berkata : “kalau begitu kaki mereka tetap


tampak ?”Beliau berkata : “Hendaklah mereka menurunkan satu hasta dan tidak
bleh melebihinya.” (HR. An-Nasa‟i)

Dari Ummu Salamah, bahwasanya ada seorang wanita yang berkata kepada
Ummu Salamah Radhiyallahu Anha : “Aku memanjangkan bajuku, lalu aku
berjalan di tempat yang kotor.” Ummu Salamah menjawab : “Rasulullah SAW
pernah bersabda, „ujung baju itu akan dibersihkan oleh tanah berikutnya”
(HR.Ahmad dan Abu Dawud).

Ada seorang wanita dari Bani Abdul Asyal yang menceritakan, aku pernah
bertanya : “Ya Rasulullah sesungguhnya kami memiliki jalan menuju ke mesjid
yang becek, lalu apa yang harus kam lakukan jika turun hujan?”Beliau
mengatakan : “Bukankan setelah jalan tersebut ada jalan yang leih bersih
darinya?” “Ya,” Jawabnya. Lebih lanjut beliau mengatakan : “Yang ini
(dibersihkan) oleh yang ini” (HR.Abu Dawud).

Sidiq Khan Al-Bukhari mengatakan : “Bagian yang terkena najis


dibersihkan dengan mencucinya sehingga tidak ada lagi bekas najis tersebut, baik
31

warna maupun baunya. Sedangkan bagian yang tidak mungkin dicuci, misalnya
lantai, maka cara mensucikannya adalah dengan menyiramnya sehingga tidak ada
bekas najis padanya. Dan air merupakan alat pokok untuk membersihkan dan
mensucikan, dan tidak ada yang dapat menggantikannya kecuali yang dibenarkan
syari‟at, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits di atas(Syaikh Kamil M.
Uwaidah:658).

g) Sebelum memakai pakaian, hendaklah berdoa terlebih dahulu,


yaitu :

َ ْ‫اَ ْل َح ْو ُد ِ الَ ِر ْ َك َساًِ ْ ه َرااللَّى‬


‫ب َو َزشَ قٌَِ ْ ِه ْي َ ي ِْس َ ىْ لٍــ ِهٌِّن ْ َوالَقُ َّى ٍة‬

Artinya :“Segala puji bagi Allah yang telah memberi pakaian dan rezeki
kepadaku tanpa jerih payahku dan kekuatanku”(M. Hammam
Mihrom, dkk:281).

Orang Islam memandang bahwa berpakaian termasuk sesuatu yang


diperintahkan agama. Seperti halnya dalam Firman Allah SWT QS. Al-A‟raf ayat
31:

         

      

Artinya: “Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di Setiap (memasuki)
mesjid(tiap-tiap akan mengerjakan sembahyang atau thawaf keliling
ka‟bahatau ibadat-ibadat yang lain), Makan dan minumlah, dan
janganlah berlebih-lebihan(jangan melampaui batas yang di butuhkan
oleh tubuh dan jangan pula melampaui batasan-batasn makanan yang
di halalkan). Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
berlebih-lebihan” ( Hasby ash-shiddiqie, 1989:153).
32

Firmn Allah SWT QS. An-Nahl ayat 81:

          

         

     

Artinya: “Dan Allah menjadikan bagimu tempat bernaung dari apa yang telah
Dia ciptakan, dan Dia jadikan bagimu tempat-tempat tinggal di
gunung-gunung, dan Dia jadikan bagimu pakaian yang memeliharamu
dari panas dan pakaian (baju besi) yang memelihara kamu dalam
peperangan. Demikianlah Allah menyempurnakan nikmat-Nya atasmu
agar kamu berserah diri (kepada-Nya)”( Hasby ash-shiddiqie,
1989:276).

Sebagaimana Nabi SAW juga telah menerangkan mana pakaian yang boleh
dan mana yang disunahkan memakainya. Oleh karena itu, orang Islam wajib
berpakaian dengan adab-adab sebagai berikut :

a) Laki-laki dilarang memakai sutra secara mutlak, baik untuk baju sorban atau
lain-lainnya.
b) Janganlah memanjangkan baju, celana, kopiah, jas, atau mantel melebihi mata
kaki.
Rasulullah bersabda :
“kain yang dipakai di bawah mata kaki berada dalam neraka.”
“Orang yang memakai kain, kemeja dan sorban dengan diturunkan
(dipanjangkan) karena kesombongan, maka Allah tidak akan melihatnya pada
hari kiamat.”
Rasulullah bersabda :
“Allah tidak mau memandang orang yang menurunkan bajunya karena
sombong.” (Muttafaq „alaih).
33

c) Hendaklah mengutamakan pakaian putih dari yang lain dengan tetap


memandang pakaian berwarna diperbolehkan mengenakannya.
d) Hendaklah perempuan muslimah berpakaian panjang sampai menutupi kedua
kakinya dan kerudungnya menutupi kepala, tengkuk, leher dan dadanya.
e) Laki-laki dilarang memakai cincin emas.
f) Dibolehkan bagi laki-laki Muslim memakai cincin perak.
g) Janganlah berselubung kain, yaitu menutup seluruh badannya dengan kain,
sehingga kedua tangannya tak bisa keluar dari kainnya.
h) Laki-laki Muslim tidak boleh memakai pakaian seperti perempuan Muslimah,
begitu pula sebaliknya.
i) Apabila memakai sandal (sepatu) mulailah dengan yang kanan dan bila
membukanya, mulailah dengan yang kiri.
j) Hendaklah memakai pakaian dari bagian kanan dulu.
k) Apabila memakai baju baru, sorban baru atau yang serba baru hendaklah
mengucapkan do‟a ataupun dalam berpakaian sehari-hari(Abu Bakar jabir,
1996:210-215).

B. POLA PERGAULAN ANTAR JENIS


1. Pengertian Pola Pergaulan

Membina hubungan yang baik antar sesama manusia merupakan suatu hal
yang penting dilakukan oleh setiap orang. Begitu pentingnya membina hubungan
yang baik ini, karena kita merupakan makhluk sosial yang tidak mungkin dapat
dan mampu hidup sendirian tanpa bantuan orang lain. Manusia adalah makhluk
sosial di mana kualitas kemanusiaannya oleh perananya dalam berkomunikasi dan
berinteraksi dengan manusia lainnya di tengah masyarakat. Untuk itu Al-Quran
menekankan hubungan antar manusia dengan memuat lebih banyak ayat-ayat
yang berbicara tentang ibadah sosial, daripada ibadah yang bersiat ritual(Syahidin
dkk:295).

Islampun datang untuk memadukan hati ke hati, membawa persatuan,


berdiri sejajar dalam satu saf yang rata, serta menggalang persatuan yang kokoh,
34

bersih dari indikasi dan jauh dari perpecahan. Menggalang persatuan untuk
terciptanya kekuatan atau potensi. Islam membutuhkan potensi besar untuk
melaksanakan tujuan Islam yang di bawa oleh Nabi Muhammad SAW sebagai
missi. Menyembah Allah dan menjungjung tinggi kalam-Nya, menegakkan
kebenaran, berbuat baik, berjuang demi tegaknya prinsip Islam dan harkat
manusia, sehingga mereka dapat merasakan yang hidup penuh dengan kedamaian
di bawah naungan panji-panji Islam. Islam mengikat hati kaum muslimin dalam
satu ikatan yang kuat, terjalin dalam satu rasa kekeluargaan yang dapat
menumbuhkan solidaritas Antara sesama(Sahid Sabiq:175).

Pergaulan adalah interaksi antar individu dalam mengenal lingkungan


sosialnya, bisa bersifat luas yakni pergaulan dengan banyak orang atau sering
bergaul dengan orang lain. Pergaulan yang sehat adalah pergaulan yang mengarah
kepada pembentukan kepribadian yang sesuai dengan nilai dan norma sosial,
kesusilaan dan kesopanan yang berlaku. Etika pergaulan adalah sopan santun atau
tata krama dalam pergaulan yang sesuai dengan situasi dan keadaan serta tidak
melanggar norma-norma yang berlaku baik norma agama, kesopanan, adat,
hukum dan lain-lain.

Pergaulan yang baik ialah melaksanakan pergaulan menurut norma-norma


kemasyarakatan yang tidak bertentangan dengan hukum syara‟, serta memenuhi
segala hak yang berhak mendapatkannya masing-masing menurut kadarnya.
Agama Islam menyeru dan mengajak kaum muslimin melakukan pergaulan di
antara kaum muslimin, baik yang bersifat pribadi orang seorang, maupun badan
dalam bentuk kesatuan. Karena dengan pergaulan kita dapat saling berhubungan
mengadakan pendekatan satu sama lain, bisa saling menunjang dan mengisi antara
satu dengan yang lainnya.

Ada dua faktor yang mempengaruhi seseorang dalam bergaul, yaitu faktor
intrinsik dan faktor ekstrinsik.
35

a) Faktor intrinsik adalah faktor yang berasal baik dari dalam diri seseorang
maupun dari keluarga.
Diri seseorang: ada begitu banyak hal yang mempengaruhi manusia dalam
bergaul dengan sesamanya. Faktor ini tidak lain adalah kondisi fisik dan mental
(psikis) seseorang. Kondisi fisik yang baik akan membentuk sifat dan perilaku
yang baik dalam bergaul. Ia tidak akan merasa minder kepada sesamanya. Begitu
juga sebaliknya jika kita memiliki kondisi fisik yang kurang sempurna, maka ini
akan menyebabkan seseorang dalam bergaul akan kurang maksimal. Entah, ia
merasa kurang percaya diri akan kekurangannya. Tapi, hal ini juga harus
dibarengi dengan kondisi mental yang kuat dan sesuai dengan prinsip dan ajaran
agama sehingga akan melahirkan pribadi yang kuat, kokoh dan mampu
menghadapi segala macam dampak pergaulan.
Keluarga merupakan lingkungan pertama yang memberikan pengaruh
terhadap berbagai aspek perkembngan seseorang. Kondisi dan tata cara kehidupan
kelurga merupakan lingkungan yang kondusif. Di dalam keluarga berlaku norma-
norma kehidupan kelurga. Pola pergaulan dan bagaimana norma dalam
menempatkan diri terhadap lingkungan yang lebih luas ditetapkan dan diarahkan
keluarga.
b) Faktor ekstrinsik adalah faktor yang berasal dari luar diri seseorang.
Faktor ini adalah lingkungan. Lingkungan adalah tempat dimana sesoerang
tumbuh dan berkembang. Kepribadian seseorang dalam bergaul dipengaruhi dari
lingkungan tempat tinggal seseorang. Jika lingkungannya baik, maka akan
terbentuk tata pergaulan yang baik pula. Begitu juga sebaliknya, jika lingkungan
tempat ia tinggal kurang memadai, maka akan berakibat pada pergaulan yang
kurang baik pula. Seringkali, seseorang yang berada pada lingkungan yang sarat
akan pengkonsumsian narkoba, rokok, minuman keras dan pekerja Seks
Komersial, akan melahirkan generasi yang seperti itu pua (bergaul seperti itu).
36

 Perlunya Pengaturan tentang Tata Pergaulan dalam Islam


Adapun pergaulan antara pria dan wanita atau sebaliknya maka itulah yang
menimbulkan berbagai problem yang memerlukan pengaturan dengan suatu
peraturan tertentu. Pergaulan pria dan wanita itulah yang melahirkan berbagai
interaksi yang timbul karenanya.
Pemahaman masyarakat lebih-lebih kaum terhadap system pergaulan pria
dan wanita dalam islam mengalami kegoncangan dahsyat. Pemahaman mereka
amat jauh dari hakekat islam, dikarenakan jauhnya mereka dari ide-ide dan
hukum-hukum islam. Kaum muslim berada diantara dua golongan. Pertama,
orang yang terlalu melampui batas(Tafrith) yang beranggapan bahwa termasuk
hak wanita adalah berdua-duaan atau berkhalwat dengan laki-laki sesuai dengan
kehenaknya dan keluar rumah dengan membuka auratnya dan memakai baju yang
ia sukai. Kedua, orang-orang yang terlalu ketat(ifrath) yang tidak memandang
bahwa wanita tidak boleh bertemu dengan pria sama sekali dan seluruh badan
wanita adalah aurat termasuk wajah dan telapak tangannya.
Karena adanya golongan dua ini timbul perselisihan dan permusuhan
diantara mereka. Islam sebagai agama yang mempunyai karateristik moderat
memberikan batasan pergaulan antara lawan jenis. System interaksi (pergaulan)
dalam islamlah yang menjadikan aspek ruhani sebagai landasan dan hukum-
hukum syariat tolak ukur yang didalamnya terdapat hukum-hukum yang mampu
menciptakan nilai-nilai akhlak yang luhur. System Islam memandang manusia
baik pria maupun wanita sebagai seseorang yang memiliki naluri, perasaan, dan
akal.
Dengan hukum-hukum inilah Islam dapat menjaga interaksi antara pria
dan wanita sehingga tidak menjadi interaksi yang mengarah pada hubungan lawan
jenis atau hubungan yang berisfat seksual. Artinya interaksi mereka tetap dalam
koridor kerjasama semata dalam menggapai bebagai kemashalahatan dan dalam
melakukan berbagai aktifitas. Dengan hukum-hukum inilah Islam mampu
memecahkan hubungan yang muncul dari adanya sejumlah kepentingan
individual, baik pria maupun wanita keika masing-masing bertemu dan
berinteraksi.
37

 Hadist Yang Menerangkan Tata Cara Bergaul dengan Lawan Jenis

Islam mengambil jalan tengah dalam segala hal, tidak mempersulit tapi
tidak mempermudah. Islam bukan Dien (agama) yang mengharamkan segala
bentuk hubungan antara pria (ikhwan) dan wanita (akhwat), tapi juga tidak
membuka pergaulan bebas antara pria dan wanita. Dasar diperbolehkannya
pergaulan antara pria dan wanita ini terdapat dalam QS. Al-Hujurat: 13:

         

            

Artinya:”Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-


laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa
dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya
orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang
paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui
lagi Maha Mengenal”( Hasby ash-shiddiqie, 1989: 517).

Tujuan utama dari pergaulan dalam Islam ialah untuk meningkatkan nilai-
nilai takwa dan kebajikan, sebagaimana yang tercantum dalam QS. Al-Maidah
ayat 2:

           

     

Artinya: ”Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan


takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan
pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah
Amat berat siksa-Nya” ( Hasby ash-shiddiqie, 1989: 106).
38

Islam yang berorientasi (berpedoman/menilai) pada pendekatan presentatif


(yang baik) dari kuratif (yang jelek/buruk), telah sejak dini mengantisipasi dan
mengatur hubungan antara lelaki dan wanita agar tidak terjadi berbagai macam
kejahatan seksual yang melemparkan manusia dalam jurang kehinaan.

2. Etika Pergaulan Dalam Islam


a. Menundukkan Pandangan Terhadap Lawan Jenis

         

           

          

         

         

            

          

           

          


Artinya: “Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka
menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian
itu adalah lebih suci bagi mereka, Sesungguhnya Allah Maha
mengetahui apa yang mereka perbuat".
39

“Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka


menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka
Menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari
padanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya,
dan janganlah Menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami
mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-
putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-
saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka,
atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita
Islam, atau budak- budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan
laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-
anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. dan janganlah mereka
memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka
sembunyikan. dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai
orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung”( Hasby ash-
shiddiqie, 1989:353).
Surah ini pada hakikatnya merupakan surah yang membicarakan tentang
kesucian dari penyimpangan-penyimpangan seksual. Berbagai pembahasan yang
ada di dalamnya, memiliki kebersatuan yang jelas dari sisi ini. Ayat-ayat di atas
yang menjelaskan tentang hukum-hukum memandang, menahan mata, dan hijab,
pun sepenuhnya berkaitan dengan persoalan ini, dan juga bukan hal yang
tersembunyi lagi jika pembahasan ini juga berkaitan dengan pembahasan-
pembahasan yang terkait dengan tuduhan-tuduhan tak terhormat pada seseorang.
Ayat pertama mengatakan, “Hendaklah mereka menahan pandangan dan
memelihara kemaluan mereka...” Kata “baghdhan” berasal dari kata dasar
“ghadh” yang makna awalnya berarti mengurangi, dan pada banyak kasus
dipergunakan dengan makna memperpendek suara atau memperpendek
pandangan.
Oleh itu, ayat tidak mengatakan bahwa Mukminin harus menutup
penglihatannya, melainkan mengatakan mereka harus mengurangi dan
memperpendek pandangannya, dan ini merupakan sebuah interpretasi yang
40

lembut, dengan maksud bahwa, jika manusia benar-benar ingin sepenuhnya


menutup matanya saat berhadapan dengan perempuan non mahram, maka
melanjutkan perjalanan atau hal-hal sepertinya, akan menjadi persoalan yang tak
mungkin baginya. Akan tetapi jika ia menolehkan pandangan matanya dari
melihat wajah dan tubuhnya, maka seakan ia telah mengurangi pandangannya dan
ia telah sepenuhnya menyingkirkan pemandangan yang terlarang ini dari area
jangkau pandangannya.
Perlu diperhatikan bahwa Al-Quran tidak mengatakan tentang apa yang
harus dihindari oleh mata (istilahnya, predikatnya dihapus), sehingga hal ini bisa
menjadi argumentasi atas universalitas atau keumuman, yaitu dari memandang
seluruh hal yang haram bagi mata untuk memandangnya. Akan tetapi dengan
melihat konteks ayat-ayat, terutama ayat setelahnya yang berbicara tentang
masalah hijab, maka bisa diketahui dengan jelas bahwa yang dimaksud adalah
tidak memandang ke perempuan non mahram, dan sya‟n nuzul yang telah kami
utarakan di atas, akan menegaskan masalah ini.
Dari apa yang telah kami sampaikan, menjadi jelas bahwa konteks dan
pengertian ayat di atas bukanlah bahwa laki-laki tidak boleh memandang ke wajah
perempuan dengan terpana, sehingga sebagian menyimpulkan bahwa memandang
yang tidak diikuti dengan keterpanaan adalah diperbolehkan, melainkan
maksudnya adalah bahwa pandangan mata biasanya menjangkau sebuah area yang
luas, kapanpun terdapat perempuan non mahram di area jangkau pandang ini,
maka ia harus menurunkan pandangannya sehingga perempuan tersebut keluar
dari jangkauan pandangannya, yaitu jangan memandang ke arahnya, akan tetapi
lihatlah lika-liku jalan yang tengah ada dihadapannya, dan inilah yang dimaksud
dengan “ghadh” dengan makna mengurangi (perhatikan baik-baik).
“Farj” sebagaimana yang sebelumnya telah kami katakan, pada dasarnya
bermakna “terbelah” dan “jarak antara dua sesuatu”, akan tetapi dalam kasus
seperti ini, kata ini merupakan kiasan dari aurat.
Yang dimaksud dengan “memelihara kemaluan” sebagaimana yang
terdapat pada hadis-hadis, adalah menutupinya dari pandangan selainnya, dalam
sebuah hadis dari Imam Shadiq As, beliau bersabda, “Setiap ayat dalam al-Quran
41

yang berbicara tentang “memelihara kemaluan”, maka maksudnya adalah


menjaganya dari zina, kecuali ayat ini, dimana maksudnya adalah memeliharanya
dari pandangan orang lain.” Dan mengenai kenapa Islam melarang tindakan yang
sangat serasi dengan syahwat dan keinginan hati ini, pada akhir ayat berfirman,
“...yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka..”
Kemudian, untuk memperingatkan mereka yang melibatkan pandangan matanya
dengan nafsu, atau memandang ke arah perempuan non mahram dengan sadar,
dan kadangkala mengklaim sebagai sebuah tindakan yang tak disengaja,
berfirman, “... sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.”
Ayat selanjutnya menjelaskan tentang kewajiban para perempuan dalam masalah
ini. Pertama mengisyarahkan kewajiban-kewajiban perempuan yang serupa
dengan laki-laki, berfirman, “Katakanlah kepada kaum wanita yang beriman,
“Hendaklah mereka menahan pandangan dan memelihara kemaluan mereka...”
Dengan demikian, “pandangan mata yang liar” sebagaimana hal tersebut
diharamkan bagi laki-laki, juga diharamkan bagi kaum perempuan, dan menutup
aurat dari pandangan orang lain, baik dari padangan laki-laki maupun perempuan,
bagi perempuan pun wajib hukumnya, sebagaimana hal tersebut wajib bagi laki-
laki.
Setelah itu, ayat ini menyinggung 4 hukum berkaitan dengan hijab yang
merupakan karakteristik perempuan, menyatakan:

1. “ ... janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka, kecuali yang


(biasa) nampak darinya ...”

Mengenai apa yang dimaksud dengan perhiasan yang harus ditutupi oleh
perempuan dan perhiasan apa yang boleh ditampakkan olehnya, terdapat banyak
pendapat di kalangan para mufassir. Sebagian menganggap bahwa yang dimaksud
dengan perhiasan tersembunyi adalah keindahan alami (keelokan tubuh
perempuan), sementara itu, kata „perhiasan‟ jarang digunakan untuk makna ini.
Sebagian yang lain memaknakannya dengan “tempat perhiasan”, karena
memperlihatkan perhiasan itu sendiri, seperti anting, kalung dan gelang, secara
sendirinya tidaklah bermasalah, dan jika terdapat pelarangan, hal ini berkaitan
42

dengan tempat perhiasan tersebut, yaitu telinga, leher dan tangan sebagai tempat
perhiasan tersebut berada. Yang lainnya memaknakannya dengan “perhiasan” itu
sendiri, hanya saja ketika dikenakan di tubuh, merupakan hal yang wajar jika
memperlihatkan perhiasan seperti ini akan dibarengi dengan memperlihatkan
anggota tubuh tempat dikenakannya perhiasan tersebut. (Dari segi kesimpulan,
kedua tafsir terakhir adalah sama, kendati dianalisa dengan dua cara) Yang benar
adalah, bahwa kita menafsirkan ayat tanpa pra anggapan dan sesuai dengan
lahiriahnya, dimana lahiriahnya tak lain adalah makna ketiga. Oleh karena itu
kaum perempuan tidak berhak memperlihatkan perhiasan-perhiasan yang biasanya
tersembunyi, kendati tubuh tak terlihat karenanya. Dengan demikian,
memperlihatkan busana-busana perhiasan khusus yang ada di dalam pakaian
biasa, adalah tidak diperbolehkan, karena al-Quran melarang memperlihatkan
perhiasan-perhiasan seperti ini.
Dalam berbagai riwayat yang dinukilkan dari para Imam Maksum As pun
juga terlihat makna seperti ini, dimana perhiasan batin diinterpretasikan dengan
kalung, gelang, dan gelang kaki. Dan karena riwayat-riwayat yang lain
menafsirkan gelang, celak dan sebagainya sebagai perhiasan lahiriah, maka bisa
kita pahami juga bahwa maksud dari perhiasan batin, termasuk juga perhiasan itu
sendiri yang tersembunyi dan tertutup (perhatikan ini baik-baik).

2. Hukum kedua yang dipaparkan pada ayat ini adalah, “ ... hendaklah
mereka menutupkan kain kudung ke dada ...”

Khumr adalah pluralnya khimâr, yang makna awalnya adalah penutup,


akan tetapi biasanya dikatakan pada sesuatu yang dikenakan oleh para perempuan
untuk menutupi kepalanya (kerudung). Sedangkan “juyûb” adalah plural dari
“jaib” dengan makna krah baju, yang juga diinterpretasikan dengan kancing
leher, dan kadangkala menunjukkan bagian atas dada dan seputarnya. Dari
kalimat ini bisa diketahui bahwa para perempuan sebelum diturunkannya ayat ini,
mereka senantiasa menyibakkan kerudung yang dikenakannya ke bagian belakang
kepala, sehingga leher dan sebagian dada mereka menjadi terlihat. Al-Quran
memerintahkan supaya mereka menurunkan kerudung mereka pada bagian dada
43

dan seputarnya, supaya leher dan juga bagian dari dada tidak akan tergambar.
(makna ini juga terlihat jelas dari sya‟n nuzul ayat yang sebelumnya telah kami
katakan)

3. Pada hukum ketiga, pada kasus-kasus dimana perempuan bisa


menanggalkan hijabnya dan memperlihatkan perhiasannya yag
tersembunyi, al-Quran mengatakan, “ ... dan janganlah menampakkan
perhiasan mereka ... ” kecuali pada dua belas kelompok di bawah ini:

a) Untuk suami mereka


b) Ayah mereka
c) Ayah suami mereka
d) Putra-putra mereka
e) Putra-putra suami mereka
f) Saudara-saudara lelaki mereka
g) Putra-putra saudara lelaki mereka
h) Putra-putra saudara perempuan mereka
i) Perempuan-perempuan seagama mereka
j) Budak-budak yang mereka miliki
k) Laki-laki kurang akal yang bersama mereka dan tidak memiliki
keinginan terhadap perempuan
l) Anak-anak yang belum mengerti tentang aurat perempuan.

4. Hukum keempat, yang dijelaskan demikian, “Dan pada saat berjalan,


janganlah mereka memukulkan kaki mereka agar diketahui perhiasan
yang mereka sembunyikan.”

Para perempuan harus berupaya sebisa mungkin dalam memperhatikan


kesucian dirinya dan menghindar dari hal-hal yang akan mengobarkan api
syahwat dalam diri laki-laki, yang mungkin akan berakhir pada pelanggaran dan
rusaknya kesucian, sedemikian hingga bahkan perempuan harus menghindarkan
diri supaya telinga lelaki tidak mendengar suara gemerincing yang ditimbulkan
44

oleh gelang kaki yang dikenakannya, dan ini merupakan bukti betapa detilnya
pandangan Islam dalam masalah ini. Dan akhirnya, mengajak seluruh Mukminin
secara umum, baik lelaki maupun perempuan untuk bertobat dan kembali ke arah-
Nya, berfirman, “Dan bertobatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang
yang beriman supaya kamu beruntung.” Dan jika pada masa lalu, kalian
melakukan perbuatan-perbuatan yang menyimpang dalam masalah ini, kini
setelah hakikat hukum-hukum Islam telah dijelaskan kepada kalian, maka
bertobatlah dan datanglah ke arah-Nya untuk mendapatkan keselamatan, karena
keberuntungan dan keselamatan hanyalah di dalam rumah-Nya, di hadapan kalian
terdapat jebakan-jebakan berbahaya yang tidak mungkin terdapat keselamatan
kecuali dengan Kasih Sayang-Nya, maka serahkan diri kalian kepada-Nya!
Memang benar, sebelum diturunkannya hukum ini, dosa dan kelalaian terhadap
persoalan ini tidaklah bermakna, akan tetapi kita mengetahui bahwa sebagian dari
masalah yang memiliki keterkaitan erat dengan penyimpangan dan pencemaran
seksual, memiliki dimensi rasional, dimana istilahnya, merupakan rasionalitas
independen, dimana di sini, hukum akal, secara sendirinya telah mencukupi untuk
memunculkan tanggung jawab.
Rasulullah SAW bersabda:

ُ‫ت َ َ ا ِ َر‬ ِ
‫يَ َعل ُّ ََُبَمْيتِ ِ لَّن َمْيَرَ لَّن َمْيَرَ اَِ َّنن َ َ اَُمْي َ َ ََمْي َ َمْي‬

Artinya:“Hai Ali, janganlah sampai pandangan yang pertama di ikuti pandangan


lagi. Sesungguhnya buatmu pertama, bukan yang kedua, dan dosa atas
yang kedua “ (Khalid Sayyid Ali, 2011:14).

Islam menyuruh umatnya untuk menundukkan pandangan (godhul


Bashor), karena berawal dari pandangan itulah biasanya ketertarikan muncul.
“Tidaklah seorang muslim yang memandang seorang wanita dalam pandangan
pertamanya, kemudia ia palingkan pandangannya kecuali Allah menjadikannya
nilai ibadah yang akan dirasakan kemanisannya.

“Memandang wanita (bukan mahram) merupakan salah satu anak panah


iblis, barangsiapa meningalkannya karena takut akan adzab Allah, maka Allah
45

akan menganugrahkan kepadanya iman yang dirasakan manisnya dalam hatinya.”


Islam mengajarkan kita agar selalu menjaga mata kita agar tidak melakukan zina
mata. Jikalau ada satu kenikmatan, maka yang pertama itu ibadah dan selanjutnya
itu perangkap syaithan. Karena itulah jauhi dalam memandang wanita secara
terus-menerus, karena bisa jadi, yang pertama itu merupakan nikmat dari Allah
dan pandangan yang kedua itu panah iblis( Muhammad Nashirudin Al-alnai,
1999:266-267).

b. Haram duduk berdua (berkhalwat) dengan perempuan bukan mahram


Menurut Imam Nawawi(1999:502-503) Khalwat ialah menyendiri atau
bersepi-sepi dengan lawan jenis yang bukan mahram. Dari Uqbah bin Amir ra.
Bahwasanya Rasulullah saw bersabda: „Takutlah kalian untuk bertamu kepada
wanita (lain, sendirian)!” Seorang laki-laki Anshar menyela:”Bagaimana kalau
wanita itu ipar?” Rasulullah saw bersabda: “ Ipar sama dengan kematian
(bersunyi-sunyi dengan ipar yang berlainan jenis bisa menyebabkan fitnah yang
membawa kepada kerusakan)”.

Dari Ibnu Abbas ra. Bahwasanya Rasulullah saw bersabda:

‫َ َ َمْيلُ َمْي َن َر ُ ٌ اِ َمْي َرأٍَ إِ َّن َ َ َ َ ُ َمْي ََمْيَرٍم َ َ ُ َ اِ ِر َمْي َ َمْيرأَُ إِ َّن َ َ ِ ََمْيَرٍم‬
Artinya:“ Janganlah sekali-kali seorang laki-laki berduaan dengan seorang
perempuan, kecuali bersama mahramnya. Dan janganlah seorang
wnita bepergian jauh, kecuali disertai mahramnya “. (Khalid Sayyid
Ali, 2011:330)
Dari hadist di atas sejak semula menerangkan Haram di Tempat sepi
dengan perempuan yang bukan mahram, karena itu semua bisa membuat kita
melakukan hal-hal yang tercela. Hal ini dijelaskan bahwa Nabi tidak
membenarkan kita masuk ke kamar-kamar perempuan. Maka hal ini memberikan
pengertian, bahwa kita dilarang duduk-duduk berdua-duaan saja dalam sebuah
bilik dengan perempuan tanpa mahramnya. Diterangkan oleh An Nawawy, bahwa
yang dimaksud dengan hawwu disini ialah kerabat si suami seperti saudaranya,
46

anak saudaranya dan kerabat-kerabat lain yang boleh mengawini isterinya bila ia
diceraikan atau meninggal.
Yang dimaksud kerabat disini ialah ayah dan anak dari si suami karena
mereka ini dianggap mahram. Nabi menerangkan bahwa kerabat-kerabat si suami
menjumpai si isteri itu sama dengan menjumpai kematian, karena menyendiri
dalam sebuah kamar memudahkan timbul nafsu jahat yang membawa pada
kemurkaan Allah dan membawa kepada kebinasaan, atau menyebabkan si suami
menceraikan isterinya jika sang suami pencemburu. Jelasnya, takut kepada mudah
timbul kejahatan dari kerabat-kerabat itu adalah lebih mudah daripada yang
dilakukan oleh yang bukan kerabat. Karena kerabat itu lebih leluasa masuk ke
dalam bilik-bilik si perempuan dengan tidak menimbulkan prasangka yang tidak-
tidak.
Mengingat hal ini lebih perlu dihindari masuk ke dalam bilik tidur orang
lain. Dikarenakan jika kita berada dalam satu bilik dengan seorang perempuan
yang bukan mahram, dikhawatirkan kita terjerembab untuk mengikuti hawa nafsu.
Apabila seseorang bergerak mengikutinya meskipun hanya selangkah, ia akan
terpaksa untuk mengikuti langkah itu dengan langkah berikutnya.
Fatwa Lajnah Ad-Da‟imah, Kerajaan Saudi Arabia (KSA) dan Fatwa Al-
Imam Al-Allamah Syaikhuna Muhammad bin Shalih Al-„Utsaimin Rahimahulloh
berpendapat bahwa Ikhtilat yaitu bercampur baurnya laki-laki dan perempuan
dalam satu tempat yang memungkinkan saling satu sama lainnya. Serta menurut
Ulama Salaf orang yang belum menikah dianjurkan (wajib) untuk bershaum
(puasa) kalau melanggar dari norma-norma ajaran agama Islam maka haruslah
didera 100 kali lalu diarak serta ditonton keliling kota/desa serta dilempar oleh
batu hingga meninggal.( Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, 2003: 365-
366)
Dalam Al-Kafi, Imam Al-Shadiq a.s diriwayatkan berkata: “Waspadailah
hawa nafsumu sebagaimana engkau mewaspadai musuhmu. Sebab tidak ada
musuh yang lebih berbahaya bagi manusia selain ketundukkan pada hawa nafsu
dan perkataan lidahnya."(Imam Khomeini, 2004:196)
47

c. Dilarang Orang Banci Memasuki Kamar Perempuan Yang Boleh


Dikawini
Ummu Salamah ra berkata:“Nabi saw masuk ke kamarku sedang disisiku
ada seorang laki-laki yang bersifat keperempuanan. Maka Nabi saw mendengar
dia berkata kepada Abdullah ibn Umayah: Ya Abdullah, bagaimana pendapat
Engkau jika Allah memenangkan kamu atas Thaif pada masa yang akan datang.
Maka hendaklah engkau mengawini anak gadis Ghailan, karena sesungguhnya di
menghadapi dengan empat dan membelakangi dengan delapan. Nabi saw.
Bersabda: janganlah sekali-kali mereka masuk kepada kamu (kaum peremuan).”
(Al Bukhary 64: 56, Muslim 39: 13,Al Lu‟lu- wal Marjan 3: 73)
Ummu Salamah menerangkan, bahwa pada suatu hari Rasul saw masuk
kebiliknya, sedang di situ pada ketika itu ada seorang laki-laki banci.
Nabi mendengar si banci berkata kepada Abdullah ibn Umayah, yaitu
saudara Ummu Salamah, bahwa jika umat Islam dapat mengalahkan Thaif, maka
hendaklah Abdullah mencari gadis Ghailan yang menurut riwayat bernama
Badiyah atau Nadiyah, karena gadis itu adalah seorang gadis yang gemuk. Bila
dia menghadapi kita maka terlihatlah empat lekuk kulit perutnya, sedang bila dia
membelakangi kita,maka kelihatanlah delapan lekuk kulit perutnya.
Sesudah Thaif di kalahkan oleh tentara islam gadis tersebut memeluk
agama islam dan bertanya kepada Rasulullah tentang hal haid. Dia dikawini oleh
Abdurahman Ibn Auf. Demikian pula ayahnya memeluk agama islam. Mendengar
si banci itu menceritakan lekuk tubuh perempuan kepada Abdullah ibn Umayyah,
maka Nabi pun mengetahui bahwa si banci mempunyai nafsu kepada perempuan.
Oleh karenanya Nabi tudak membenarkan orang banci dibiarkan masuk ke dalam
bilik perempuan tanpa ada mahramnya.(Teungku Muhammad Hasbi Ash
Shiddieqy, 2003: 377-378)
Oleh karena itu walaupun banci semenjak dari lahirnya dan itu merupakan
sifat bawaan, seorang banci juga mempunya hawa nafsu yang sama seperti
seorang laki-laki yang mutlak, ketika ada seorang perempuan yang dilihatnya
dapat menimbulkan gaya tarik tersendiri yang mampu membuka semua rasa yang
ada pada diri seseorang yang menjadikan timbulnya jurang kemaksiatan, yang
48

pada pikirannya hanya terfikir kenikmatan – kenikmatan belaka, padahal itu


bersifat sementara.
Kesimpulan Hadist ini menyuruh kita melarang orang banci masuk
dengan leluasa ke bilik-bilik perempuan dan bergaul dengan bebas.

d. Haram Melihat Perempuan Yang Bukan Muhrim

Dari Abu Hurairah ra. Nabi saw, beliau bersabda:” Telah ditentukan bagi
anak Adam (manusia) bagian zinanya, dimana ia pasti mengerjakannya. Zina
kedua mata adalah melihat, zina kedua telinga adalah mendengar, zina lisan
adalah berbicara, zina tangan adalah memukul, zina kaki adalah berjalan serta zina
hati adalah bernafsu dan berangan-angan, yang semuanya itu dibuktikan atau
tidak dibuktikan oleh kemaluan. (HR. Bukhari dan Muslim)

Dari hadist ini kita dapat mengambil suatu pelajaran, bahwa zina itu ada 6,
yaitu:

 Zina kedua mata adalah melihat,


 Zina kedua telinga adalah mendengar,
 Zina lisan adalah berbicara,
 Zina tangan adalah memukul,
 Zina kaki adalah berjalan
 Serta, zina hati adalah bernafsu dan berangan – angan yang semuanya itu
dibuktikan dan tidak dibuktikan dengan kemaluan.
Allah menganugrahi hamba-Nya dengan tubuh yang sempurna, mulai
kepala sampai kaki. Mulai akal sampai pikiran. Semua itu harus dipergunakan
secara maksimal, baik dan bermanfaat untuk masyarakat pada umumnya dan diri
sendiri khususnya. Fisik dan mental kita merupakan penunjang bagi kita untuk
selalu bersyukur atas segala ikmat yang tela Ia berikan kepada kita.
Pemanfaatan yang baik, merupakan salah satu bentuk rasa syukur kita atas
segala nikmat yang telah Dia berikan kepada kita. Salah satunya, hendaklah kita
49

menjauhi zina, walaupun zina yang kita lakukan masih bersifat sederhana seperti
zina mata dan kemudian dilanjutkan dengan zina tangan sampai zina kaki.
Karena itulah kita sebagai masyarakat islam perlu menjaga diri dan pribadi
kita agar tidak terjerumus ke dalam jurang kemaksiatan. Begitu pula dengan laki-
laki, harus bias menjaga kemaluannya dari wanita atau sebaliknya, karena itu
semua menyimpang dari ajaran Islam yang bersumber dari ketiga hal
tersebut.(Imam Nawawi, 1999: 498)

e. Boleh Memboncengkan Perempuan Yang Bukan Mahram Apabila


Keletihan di Jalan.
“Azzubair mengawini aku dan ia tidak mempunyai harta dimuka bumi ini,
tidak mempunyai budak dan tidak mempunyai apa-apa selain dari seekor unta
yang dipergunakan untuk mengangkut air dan selain dari kudanya. Aku selalu
memberi makan kudanya, menimba air, membetulkan timbanya dan meremas
tepung, sedang aku tidak pandai membuat roti. Tetangga-tetanggaku dari
golongan Anshar membuat roti untukku. Mereka adalah perempuan – perempuan
yang benar dan aku mengangkut dengan kepala aku antah-antah biji kurma dari
kebun Azzubair dan diberikan oleh Rasulullah kepadanya. Tanah itu jarknya dari
rumahku kira-kira 2/3 farsah (1/2 mil).
Maka pada suatu hari aku datang sedang biji anak kurma diatas kepalaku,
lalu aku menjumpai Rasulullah. Bersamanya ada beberapa orang Anshar. Maka
Rasulullah memanggil aku dan berkata: “ikh, ikh. Beliau menidurkan untanya
untuk dapat membawaku dibelakangnya. Aku merasa malu berjalan bersama-
sama orang laki-laki. Dan aku ingat tentang kecemburuan azzubair. Dia orang
yang paling cemburuan. Rasululah menjumpai aku sedang anak-anak biji kurma
berada di atas kepalaku. Dan bersama-sama Nabi saw ada beberaa sahabatnya lalu
Nabi menidurkan untanya supaya aku menungganginya, tetapi aku malu kepada
Nabi dan aku mengetahui kecemburuan anda. Mak Az zubair berkata: Demi
Allah, engkau memikul atau membawa biji kurma adalah lebih keras tekanannya
atas diriku daripada engkau menunggangi unta bersamanya. Asma‟ berkata:
Kemudian Abu Bakar mengirim kepadaku seorang pelayan yang menggantiku
50

dalam pemeliharaan kuda itu. Karenanya seolah- olah Abu Bakar telah
memerdekakan aku.”(Al Bukhuri Muslim).
Menurut hadis ini adalah hendaklah ada kerjasama anatara suami dengan
isteri dalam membina rumah tangga. Dan hadis ini menyatakan pula kebolehan
kepala Negara memberikan tanah Negara kepada sebagian rakyatnya. Dan tanah
itu tidak dapat dimiliki oleh seseoarang, kalau tidak diberikan oleh kepala
Negara(pemerintah). Dan pemerintah boleh mencabut kembali dan boleh
mengalihkan hak milik tanah kepada orang itu menurut kemaslahatan. Dan
pemerintah boleh juga memeberi tanah itu sekedar diambil manfaatnya saja,
bukan dengan memberi hak milik atas tanah itu. Demikianlah hukumnya terhadap
tanah yang dimiliki oleh Negara. Adapun tanah yang pernah diolah maka dapat
dikrjakan oeh seseorang tanpa izin pemerintah menurut pendapat Malik, Asy
Syafii dan jumhur. Menurut Abu Hanifah, harus juga dengan pendapay izin
pemerintah lebih dahulu.
Hadis ini menyatakan kebolehan kita memboncengkan sesorang
perempuan yang telah kepayahan di jalan. Di samping itu menyatakan pul tentang
kerendahan hati Nabi terhadap umatnya. Beliau tidak keberatan memboncengkan
Asma. Kebolehan kita memboncengkan perempuan yang bukan mahram, adalah
apabila kita menjumpai di suatu tempat di jalan, sedang dia tidak sanggup berjalan
lagi khususnya apabila kita bersama-sama dengan oaring lain. Akan tetapi ada
yang mengatakan sebagai Al Qadli Iyadh, bahwa membonceng perempuan yang
bukan mahram adalah dari khususiyah Nabi saw,tidak dapat dilakukan oleh orang
lain. Nabi memboncengkan Asma itu adalah seoarang anak perempuan dari Abu
Bakar, saudara dari Aisyah dan isteri dari Az Zubair. Maka dapat dipandang
sebagai salah seorang keluarganya. Lebih-lebih lagi Rasulullah adalah orang yang
sangat kuat menahan nafsunya.( Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy,
2003:381-384)
51

f. Tidak Menyentuh Lawan Jenis


Dari Ma‟qil bin Yasar RA berkata: Rasulullah SAW bersabda: “
Seandainya kepala seseorang ditusuk dengan jarum besi itu masih lebih baik
daripada menyentuh wanita yang tidak halal baginya.” (HR Thabrani dalam
Mu‟jam Kabir). Dari Aisyah berkata: “Demi Allah, tangan Rasulullah tidak
pernah menyentuh tangan wanita sama sekali meskipun saat membaiat.”
(HR. Bukhari)
Menyentuh lawan jenis dengan sengaja dalam keadaan tidak darurat
hukumnya haram. Rasululloh Shallallahu‟ Alaihi Wa Sallam bersabda:“ Sungguh,
kepala salah seorang diantara kamu ditikam dengan jarum besi lebih baginya
daripada ia menyentuh seorang perempuan yang tidak halal baginya“
(HR. Tirmidzi dan Baihaqi).

C. URGENSI MENUTUP AURAT DALAM POLA PERGAULAN ANTAR


JENIS
1. Pengertian Aurat
Aurat secara bahasa berasal dari kata ‫ عاز‬, dari kata tersebut muncul
derivasi kata bentukan baru dan makna baru pula. Bentuk „awira (menjadikan
buta sebelah mata), „awwara (menyimpangkan, membelokkan dan memalingkan),
a‟wara (tampak lahir atau auratnya), al-„awaar (cela atau aib), al-„wwar (yang
lemah, penakut), al-„aura‟ (kata-kata dan perbuatan buruk, keji dan kotor),
sedangkan al-„aurat adalah segala perkara yang dirasa malu(A.W. Munawwir,
1997:984-985).

Pendapat senada juga dinyatakan bahwa aurat adalah sesuatu yang


terbuka, tidak tertutup, kemaluan, telanjang, aib dan cacat. Artinya aurat dipahami
sebagai sesuatu yang oleh seseorang ditutupi karena merasa malu atau rendah diri
jika sesuatu itu kelihatan atau diketahui orang lain. Pengertian terakhir ini sering
dijadikan sebagai pengertian literer dari aurat, sehingga aurat dapat dipahami
sebagai sesuatu yang dapat menjadikan malu, aib atau cacat bagi seseorang baik
dari perkataan atau perbuatannya. Terbukanya aurat dapat juga membuat orang
52

jauh martabatnya dimata masyarakat umum. Seseorang sudah selayaknya


menutupi auratnya, karena jika sudah terbuka cacat, aib maupun kekurangannya
di depan umum, maka hakekatnya orang tersebut sudah tidak mempunyai harga
diri dan dipandang sebelah oleh masyarakat.

Berdasarkan pada makna kata aurat adalah yang berarti segala sesuatu
yang dapat menjadikan seseorang malu atau mendapatkan aib (cacat), entah
perkataan, sikap ataupun tindakan, aurat sebagai bentuk dari suatu kekurangan
maka sudah seharusnya ditutupi dan tidak untuk dibuka atau dipertontonkan di
muka umum. Islam mengajarkan bahwa pakaian adalah penutup aurat, bukan
sekedar perhiasan. Islam mewajibkan setiap wanita dan pria untuk menutupi
anggota tubuhnya yang menarik perhatian lawan jenisnya. Bertelanjang adalah
suatu perbuatan yang tidak beradab dan tidak senonoh. Langkah pertama yang
diambil Islam dalam usaha mengokohkan bangunan masyarakatnya, adalah
melarang bertelanjang dan menentukan aurat laki-laki dan perempuan. Inilah
mengapa fiqh mengartikan bahwa aurat adalah bagian tubuh seseorang yang wajib
ditutup atau dilindungi dari pandangan( Muhammad Ibnu Muhammad Ali,
2002:3).

Bertrand Russell menyatakan bahwa menutup aurat adalah sesuatu yang


tabu. Dia bertanya: “Karena para bapak dan ibu harus menutup auratnya di
hadapan anak-anaknya, bukankah ini yang menyebabkan rasa ingin tahu si anak
timbul?. Kalaulah orang tua itu tidak berusaha menutupi auratnya, tentunya rasa
ingin tahu tersebut tidak akan timbul. Orang tua harus menunjukkan auratnya di
hadapan anak-anaknya agar mereka tahu segala sesuatunya dari mula pertama.
Paling tidak seminggu sekali, para orang tua pergi ke tempat-tempat umum,
misalnya pemandian atau sahara dan menunjukkan auratnya di hadapan anak-
anaknya”( Husein Shahab, 2002:36-37 ) .
53

2. Batasan Aurat Laki-Laki Dan Perempuan

Islam dengan ajarannya memberikan batasan aurat laki-laki dan


perempuan, sebagaimana yang disampaikan Muhammad Ibnu Muhammad
Ali(2003:4-6) bahwa:

1. Aurat laki-laki
a. Aurat laki-laki sewaktu shalat, juga ketika di antara laki-laki dan
perempuan yang mahramnya, ialah bagian tubuh antara pusar dan
lutut. Pusar dan lutut bukanlah aurat, tetapi dianjurkan supaya ditutup
juga karena sepadan dengan aurat. Ini berdasarkan kaidah kaidah ushul
fiqh: Ma la yatimmu al-wajib illa bihi fahuwa wajib (Apa yang tidak
sempurna yang wajib melainkan dengannya, maka ia adalah wajib).
b. Aurat laki-laki pada perempuan yang ajnabiyah, yakni yang bukan
mahramnya ialah sekalian badannya.
c. Aurat laki-laki sewaktu khalwah, yakni ketika bersunyi-sunyi seorang
diri, ialah dua kemaluannya.
2. Aurat wanita sahaya

Aurat wanita sahaya atau hamba wanita ialah bagian antara pusar dan
lutut.
Aurat wanita merdeka

a. Aurat wanita yang merdeka di dalam shalat ialah bagian yang lain
dari wajah dan dua telapak tangannya yang dhahir dan batin hingga
pergelangan tangannya, wajah dan dua telapak tangannya, luar
dalam, hingga pergelangan tangannya, bukanlah aurat dalam shalat
dan selebihnya adalah aurat yang harus tertutup.
b. Aurat wanita yang merdeka di luar shalat.

- Di hadapan laki-laki yang ajnabi atau yang bukan mahramnya,


auratnya adalah seluruh badan. Artinya termasuk wajah dan
rambut serta kedua telapak tangannya, lahir-batin dan termasuk
kedua telapak kakinya, lahir-batin, sehingga seluruh badannya
54

wajib ditutup atau dilndungi dari pandangan laki-laki yang


ajnabi, wajah dan kedua telapak tangannya tidak harus di buka
ketika untuk menjadi saksi sejenisnya, kecuali karena darurat.
- Di hadapan perempuan kafir, auratnya ialah anggota badan
selain anggota badan yang lahir ketika ia bekerja di rumah.
Bagian yang lahir ketika ia aktif di rumah ialah kepala, muka,
leher, dua telapak tangan sampai kedua sikunya dan dua telapak
kakinya. Demikian juga auratnya ketika di hadapan perempuan
yang tidak jelas pribadi atau wataknya atau perempuan yang
rusak akhlaknya.
- Di dalam khalwah, di hadapan muslimah, dan pada laki-laki
yang menjadi mahramnya, auratnya ialah anggota badan antara
pusar dan lutut, seperti aurat laki-laki dalam shalat.
Aurat walau bagaimana-pun, untuk menjaga adab dan untuk memelihara
timbulnya fitnah, maka yang perlu ditutup tak hanya yang antara pusar dan kedua
lutut. Menutup aurat karena fitnah, yaitu yang memungkinkan tergiurnya nafsu
adalah suatu kewajiban. Hal inilah yang menjadi perhatian Islam sebagai agama
yang berusaha mengangkat martabat manusia di hadapan manusia lainnya dengan
mempertinggi akhlak dan menutup aurat adalah salah satunya.

Secara normatif aturan hukum baku berkenaan dengan perintah


berpakaian dan menutup aurat beserta batasan-batasannya diungkapkan secara
eskplisit dalam al-Qur‟an. Beberapa ayat yang terkait dengan hal tersebut
memberikan rambu-rambu bagi para wanita mukallaf untuk memenuhi batasan
yang diberikan oleh kitab yang diturunkan pada Nabi akhir zaman( Muhammad
Jawad Mughniyah, 2001:80).

Menurut syariat Islam menutup aurat hukumnya wajib bagi setiap orang
mukmin baik laki-laki maupun perempuan terutama yang telah dewasa dan
dilarang memperhatikannya kepada orang lain dengan sengaja tanpa ada alasan
yang dibenarkan syariat, demikian juga syariat Islam pada dasarnya
memerintahkan kepada setiap mukmin, khususnya yang sudah memiliki nafsu
55

birahi untuk tidak melihat dan tidak memperlihatkan auratnya kepada orang lain
terutama yang berlainan jenis.

Adapun melihat aurat orang lain atau memperlihatkan aurat kepada orang
lain yang dibenarkan syariat seperti sesama mahram dan terutama suami atau istri,
hukumnya boleh sebagaimana terdapat dalam surah al-Nur ayat 30-31:

         

           

          

         

         

            

         

          

           

 

Artinya: “Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka


menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian
itu adalah lebih suci bagi mereka, Sesungguhnya Allah Maha
mengetahui apa yang mereka perbuat". Katakanlah kepada wanita
yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan
kemaluannya, dan janganlah mereka Menampakkan perhiasannya,
56

kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. dan hendaklah mereka


menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah Menampakkan
perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau
ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera
suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-
putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan
mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak- budak yang mereka
miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan
(terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat
wanita. dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui
perhiasan yang mereka sembunyikan. dan bertaubatlah kamu sekalian
kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu
beruntung”( Hasby ash-shiddiqie, 1989: 353).

Demikian pula orang muslim boleh melihat aurat orang lain atau
memperlihatkan auratnya kepada orang lain (walaupun bukan mahram) jika ada
alasan yang dibenarkan syariat seperti ketika berobat atau mengobati penyakit
yang pengobatannya memerlukan melihat atau memperlihatkan aurat karena
darurat.

Para ahli hukum Islam berbeda pendapat dalam menentukan batas-batas


aurat itu sendiri, baik aurat laki-laki maupun perempuan. Menurut kebanyakan
ulama‟ batas aurat orang laki-laki ialah anggota-anggota tubuh yang terletak
antara pusat dan lutut, terutama alat kelamin dan dubur di samping juga paha.
Sedangkan menurut sebagian ulama‟ yang lain, aurat orang laki-laki hanyalah alat
vital dan dubur, sedangkan paha tidak termasuk ke dalam kategori aurat yang
wajib ditutup. Jumhur ulama‟ berpendapat bahwa aurat laki-laki yang tidak boleh
diperlihatkan kepada orang lain terutama kepada kaum wanita, ialah anggota-
anggota badan yang berkisar antara pusat dan lutut. Sementara sebagian kecil
ulama‟ yang pendapatnya dianggap lemah oleh kebanyakan ulama‟, menyatakan
bahwa aurat laki-laki di hadapan kaum wanita yang bukan mahramnya adalah
seluruh anggota badannya.
57

Adapun aurat kaum wanita, menurut kebanyakan ulama‟ ialah seluruh


anggota tubuhnya selain muka dan kedua telapak tangan, kedua telapak kaki
menurut sebagian ulama‟ seperti Imam Abu Hanifah juga merupakan aurat. Di
samping itu ada sebagian ulama‟, di antaranya Imam Ahmad bin Hanbal yang
memandang seluruh anggota badan wanita (termasuk muka dan kedua telapak
tangan) adalah aurat.

Para ulama‟ membedakan antara aurat kaum wanita di hadapan kaum pria
dengan aurat kaum wanita di hadapan sesama wanita. Aurat wanita sebagaimana
tersebut di atas, sesuai dengan perbedaan pendapat para ulama‟ tidak
diperbolehkan diperlihatkan kepada kaum laki-laki selain suami dan mahramnya
atau orang lain yang oleh syariat dibolehkan melihatnya. Adapun aurat wanita
terhadap sesama wanita yang tidak boleh dilihat atau diperlihatkan ialah sama
dengan aurat laki-laki yakni anggota-anggota tubuh yang berkisar antara pusat dan
lutut.

Masalah aurat sangat erat dengan soal pakaian, karena aurat wajib ditutup
dan alat penutupnya adalah pakaian. Pakaian setiap muslim adalah harus menutup
batas-batas aurat seperti yang dikemukakan di atas. Namun karena para ulama‟
berbeda pendapat mengenai batas-batas aurat terutama aurat bagi wanita, maka
perbedaan pendapat-pun muncul pula dalam masalah pakaian kaum wanita.
Sebagian mengharuskan menutup seluruh anggota badan selain mata, sedangkan
sebagian yang lain menambahkan selain muka, yaitu kedua telapak tangan dan
kaki.

Sebelum Islam datang masyarakat pada masa itu (Jahiliyah) memandang


jelek dan rendah kepada para wanita. Mereka memperturutkan hawa nafsu mereka
melalui mata dan angan-angan dalam hati, sedangkan hal itu bertentangan dengan
ajaran Islam, maka al-Qur‟an menetapkan batas baginya dan mengharamkan apa-
apa yang bertentangan dengan agama, etika, dan kemanusiaan. Islam kemudian
memperbolehkan wanita, untuk membuka wajah dan dua telapak tangan dalam
situasi tertentu. Ini menggambarkan akan pentingnya kedua anggota tubuh wanita
dalam berinteraksi dengan orang lain. Surah al-Nur ayat 30 memerintahkan
58

kepada kaum mukmin untuk menundukkan pandangannya dari perkara yang


diharamkan dan menjaga kemaluannya. Karena hal tersebut dapat menyebabkan
perantara penyakit hati dan menyebabkan seseorang terjerumus dalam perbuatan
tercela. Dan menundukkan pandangan merupakan sebab keselamatan dari hal
tersebut(Ummu Ishaq Zulfa bintu Husain, 2000:12).

Ayat tersebut juga mengandung perintah wajib untuk ditaati berupa


larangan melihat wanita asing atau pria asing, merupakan suatu larangan mutlak
yang diharamkan, tanpa adanya suatu keperluan yang dibenarkan oleh syara'.
Pandangan yang bisa memunculkan rangsangan pria, sehingga menimbulkan
sikap mengabaikan nilai moral dan penyimpangan perilaku individu dalam
masyarakat. Sehingga Allah memerintahkan pada kaum wanita menggunakan
hijab untuk menjaga terlepasnya kobaran nafsu seksual, sehingga pria dan wanita
yang dekat dan yang jauh tidak akan saling menarik karena secara fitrah wanita
dan pria selalu tarik menarik dan ini merupakan sunnah kehidupan atau hukum
alam. Karena itu Allah melarang apabila dua orang yang berlainan jenis menyepi
karena sudah pasti syaitan akan menjadi yang ketiga diantara mereka dan
mengganggunya, lalu mereka berbuat tidak senonoh sebagaimana firman Allah
dalam surah Yusuf ayat 53:

              

  

Artinya: “Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena


Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali
nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha
Pengampun lagi Maha Penyanyang”( Hasby ash-shiddiqie, 1989:242).

Untuk menghindari dari hal-hal yang tidak diinginkan dan menjaga


kesucian, maka seorang wanita diwajibkan untuk berhijab dan anggota badan
yang boleh diperlihatkan adalah wajah dan kedua telapak tangan( A Karim
Hayaza, 2000:19). Penggunaan hijab antara pria dan wanita mengandung hikmah
59

bahwa sebenarnya Allah bermaksud menata hubungan interpersonal dalam


masyarakat dan menjaga kesucian pria dan wanita agar dapat mencapai
kesempurnaannya demi terwujudnya masyarakat yang sehat dan dibangun atas
akhlak mulia serta nilai-nilai moralitas yang tinggi.

Islam membuat perbedaan-perbedaan yang jelas antara jalan raya dan


rumah tangga, antara orang perseorangan dan masyarakat, antara dunia lakilaki
dan dunia perempuan. Hijab diperlukan dalam rangka melindungi wanita dari
pandangan laki-laki yang tak berhak memandangnya, sebagaimana di dalam alam
ruhani, hijab juga diperlukan untuk menyembunyikan hakikat dari pandangan
orang-orang yang tak layak memandangnya. Hukum aurat dan hijab ialah untuk
memelihara hurmah (kehormatan) atau kesucian dan kemuliaan wanita dan
bukannya untuk menghina dan menyiksa mereka(Bahruddin Fanani, 1989: 55).

Murtadha Muthahhari, dalam bukunya Hijab Gaya Hidup Wanita Islam


(1990:77-80) banyak musuh Islam mengatakan bahwa hijab Islam bertentangan
dengan martabat wanita. Umat Islam menerima hak atas martabat wanita,
walaupun orang yang menentang hijab mengatakan bahwa hijab memenjarakan
wanita dan dengan hijab kaum pria agar bisa mengeksploitasi wanita, maka laki-
laki menawan wanita dan memenjarakannya di sudut rumahnya. Inilah yang
akhirnya mengapa aurat, terutama wanita harus dijaga dan ditutup. Seperti dapat
dilihat dalam contoh, jika seorang pria meninggalkan rumahnya dengan telanjang,
maka ia akan dicerca, dipersalahkan dan barangkali polisi akan menangkapnya,
bahkan jika seorang pria meninggalkan rumahnya dengan mengenakan piyama
saja atau hanya dengan menggunakan celana dalam saja, maka setiap orang akan
menghentikannya, karena hal ini bertentangan dengan martabat sosial. Hukum
atau adat-istiadat menetapkan bahwa bila seorang meninggalkan rumahnya, maka
ia harus berpakaian lengkap. Sebaliknya, jika seorang wanita meninggalkan
rumahnya dengan tertutup justru akan menghindarkan adanya gangguan dari laki-
laki yang tidak bermoral dan tidak mempunyai sopan santun. Jika seorang wanita
meninggalkan rumahnya dengan tertutup, hal ini bukan hanya tidak mengurangi
martabatnya sebagai manusia, akan tetapi justru menambahnya. Ambil contoh
60

seorang wanita yang meninggalkan rumahnya dengan hanya muka dan kedua
telapak tangannya yang terlihat dan dari perilaku serta pakaian yang dikenakannya
tidak akan mudah menimbulkan dan menyebabkan orang lain terangsang atau
tertarik kepadanya. Artinya ia tidak akan mengundang perhatian pria kepada
dirinya. Ia tidak mengenakan pakaian-pakaian yang mencolok atau berjalan
dengan suatu cara yang menarik perhatian orang kepada dirinya atau ia tidak
berbicara dengan suatu cara yang menarik perhatian.

Menurut Stone dalam Jalaluddin Rahmat (1998:142-143), Menutup aurat


pada hakekatnya adalah mengangkat martabat wanita secara umum. Fenomena
buka-bukaan adalah termasuk trend zaman sekarang. Fenomena tersebut cepat
atau lambat akan masuk ke daftar berbagai macam penyakit yang merambah pada
diri manusia. Bangsa Barat yang merupakan pelopornya juga menjelekkan
hakekat dari fenomena penyakit ini. Inilah mengapa sampai sekarang pembahasan
aurat masih sangat dominan, terutama di kalangan seniman, artis dan orang
berusaha memamerkan keindahan tubuhnya. Menurut Stone bahwa penampilan
adalah fase transaksi sosial yang menegaskan identitas para partisipan.
Penampilan itu sebagaimana adanya bisa dibedakan dengan wacana yang
terkonseptualisasikan sebagai teks transaksi, yakni yang diperbincangkan oleh
kelompok-kelompok itu. Penampilan dan wacana adalah dua dimensi berbeda dari
transaksi sosial. Yang disebut lebih dulu tampaknya bersifat lebih mendasar. Ia
memungkinkan, menopang, menetapkan batas-batas dan menyediakan ruang bagi
perwujudan kemungkinan-kemungkinan wacana dengan jalan memastikan
kemungkinan-kemungkinan bagi diskusi yang bermakna.

Aurat dengan segala penutupnya, yaitu dengan mengenakan busana


muslimah, wanita yang memakainya akan segera dipersepsi dalam kategori
Muslimah. Boleh jadi berbagai konotasi dikaitkan dengan kategori ini, bergantung
pada pengalaman dan latar belakang psikososial pelaku persepsi busana
fundamentalis, wanita shaleh, isteri yang baik dan sebagainya. Apapun
konotasinya, inti persepsinya tidak mungkin lepas dari kategori Muslimah. Dari
persepsi itu, orang kemudian mengatur perilakunya dengan pemakai busana
61

Muslimah. Ia tidak akan melakukan sexual harassment, ia tidak akan berani


berbuat tak senonoh, paling-paling gangguan kecil seperti ucapan
asssalamu‟alaikum yang dilontarkan secara bercanda.

Busana muslimah yang mempunyai fungsi menutup aurat juga berfungsi


sebagai penegak identitas. Dengan busana itu, seorang Muslimah
mengidentifikasikan diri dengan ajaran-ajaran Islam, karena identifikasi ini, maka
sangat mungkin ia akan terdorong untuk berperilaku sesuai dengan ajaran Islam.
Dalam hubungan interpersonal, busana Muslimah akan menyebabkan orang lain
mempersepsikan pemakainya sebagai wanita Muslimah dan akan
memperlakukannya seperti itu pula. Inilah mungkin maksud pesan dari al-Qur‟an
surat Al-Ahzab ayat 59:

        

            

 

Artinya: “Hai Nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu


dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan
jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". yang demikian itu supaya mereka
lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. dan Allah
adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”( Hasby ash-shiddiqie,
1989: 426).

3. Pendapat-Pendapat Para Ulama Tentang Menutup Aurat

Busana Muslimah dipakai “supaya dikenal” dan “sehingga mereka tidak


diganggu”. Artinya dengan menutup aurat kehormatan dan identitas diri akan
terjaga, sehingga orang yang melihatnya akan mempersepsikan bahwa ia adalah
wanita Muslimah yang harus dijaga dan tidak boleh diganggu.
62

Diantara para ulama‟ yang masih memperdebatkan masalah tentang aurat


yang harus ditutupi oleh kaum wanita ketika mereka bertemu dan berinteraksi
dengan kaum pria yaitu :

1. Pendapat Al-Ahnaf ( pengikut Hanafi ) berpendapat bahwa wanita boleh


membuka muka dan kedua telapak tangan namun pria tetap haram melihat
kepadanya dengan pandangan syahwat
2. Dalam madzhab Maliki terdapat tiga pendapat

- Mengatakan wajib menutup muka dan kedua telapak tangan.


- Tidak wajib menutup muka dan kedua telapak tangan tetapi pria
wajib menundukan pandanganya.
- Perbedaan cantik dan tidak cantiknya seorang wanita, jika ia cantik
maka ia wajib menutup muka dan kedua telapak tangan sedangkan
wanita yang tidak cantik tidak wajib menutupnya atau disunahkan
3. Jumhur (golongan terbesar): Madzhab Syafi‟i mengatakan tidak wajib
menutup wajah dan kedua telapak tangan sekalipun mereka berfatwa
untuk menutupinya
4. Madzhab Hambali : mengatakan wajib menutup keduaanya

5. Jumhur Fuqaha (golongan terbesar ahli-ahli fiqh) berpendapat bahwa


muka dan dua telapak tangan bukan aurat karena itu tidak wajib
menutupnya tetapi wajib ditutup jika dirasa tidak aman.(Amir Hamzah
Fachrudin, 2001:149)
Sebab perbedaan pendapat itu bersumber dari perbedaan dalam
menafsirkan al-Qur‟an Surat an-Nûr ayat 31. Seorang wanita yang akan keluar
dari rumahnya dan berinteraksi dengan pria bukan mahram, maka ia harus
memperhatikan sopan santun dan tata cara busana yang dikenakan haruslah
memenuhi beberapa syarat :

1. Meliputi seluruh badan kecuali yang diperbolehkan yaitu wajah dan kedua
telapak tangan
2. Bukan berfungsi sebagai perhiasan
63

3. Tebal tidak tipis

4. Longgar tidak ketat

5. Tidak diberi parfum atau minyak wangi

6. Tidak menyerupai pakaian laki-laki

7. Tidak menyerupai pakaian wanita kafir

8. Bukanlah pakaian untuk mencari popularitas


Sebagaimana kita ketahui tentang pakaian, pakaian itu pada dasarnya
berkembang menjadi berbagai mode dan corak seiring dengan kebutuhannya
untuk menjalankan peran/fungsi pemakainya untuk memenuhi hajat hidup sehari-
hari. Sehingga dikenal yang namanya pakaian perang, pakaian renang, pakaian
kerja, pakaian sekolah, pakaian sholat, pakaian haji, pakaian tidur dst. Oleh sebab
itu mempermasalahkan pakaian secara umum, tentunya dimaksudkan untuk
mempermasalahkan pakaian dalam konteks pergaualan umum.
Dalam bergaul, bukan hanya kaum wanita yang diatur dalam ajaran Islam.
Tetapi kaum pria juga. Mengingat pria dan wanita itu makluk berpasangan. Oleh
sebab itu ketidaksesuaian prilaku akibat pergaulan sehari-hari yang khas terjadi
antara pria – wanita sangat diantisipasi dalam Islam. Coba kita perhatikan ayat
yang terkenal itu, Surat An Nur ayat 31 yang meminta kaum wanita untuk
menahan pandangannya (terhadap laki-laki) dan menjulurkan kerudungnya hingga
menutup ke dada. Sekiranya seorang wanita sudah melakukannya, sementara sang
pria masih saja liar matanya memandangi wanita ini, maka kemungkinan
ketidaksesuaian pergaulan ini masih bisa terjadi akibat „agresifitas‟ pria. Atau
sebaliknya, rendah hati sang pria kadang juga tergoda oleh agresifitas wanita
sehingga terjadi ketidaksesuaian pergaulan. Oleh sebab itu ketaatan wanita tidak
cukup untuk menciptakan iklim pergaulan yang „aman‟ tanpa dibarengi akhlak
pria yang tawadlu‟. Demikian pula sebaliknya. Untuk itulah kita juga harus
menyertakan ayat 30 dari surat itu sebagai penyampaian dakwah yang lengkap
dari ayat 31-nya.
64

Dengan adanya ketentuan ini Islam memberikan kesempatan terjadinya


pergaulan antara pria dan wanita dalam hidup beribadah kepada Allah lebih
dinamis antara pria dan wanita, dalam kerangka Ibadah tentu. Namun sebagian
kita ada yang “terlalu berhai-hati” dengan menghalangi pergaulan wajar wanita –
pria. Bahkan menghalangi sang istri untuk bergaul secara wajar, atau juga ada
yang melarang istrinya menemui tetangganya laki-laki yang bertandang (meski
sudah sangat dikenal dan dipercaya). Akibatnya “kehati-hatian yang terlalui” ini
terkesan “mencegah dosa” dengan tidak memberi kesempatan bergaul atau
beraktifitas seperti wajarnya orang hidup bermasyarakat/rumahtangga. Jadi ibarat
manusia hidup ini harusnya siap beramal soleh / tolong menolong mengahadapi
berbagai persoalan hidup melalui pergaulan masayarakat/bertetangga sehari-hari
secara wajar, sedangkan „kehati-hatian” ini menghindari masalah dengan
“mengurungkan diri” dalam rumah saja. Oleh sebab itu kami menganjurkan
kepada para suami agar memberikan kesempatan kepada istri untuk
mengaktualisasikan diri bergaul secara wajar di lingkungan masyarakat/tetangga
setempat secara Islami.

Anda mungkin juga menyukai