Anda di halaman 1dari 7

PENGANTAR

PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH

PENGANTAR PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH 1


Deskripsi:
Topik ini bertujuan untuk menjelaskan arti penting PAD dalam perekonomian
daerah, serta isu-isu terkini berkaitan dengan pajak daerah dan retribusi daerah.

No. Sub Topik Kata Kunci


1 Arti penting PAD dalam Desentralisasi fiskal
perekonomian daerah
2 Masalah penetapan tarif Biaya marginal
retribusi daerah
3 Current Issue Pajak Implikasi Putusan MK, dan Implementasi
Daerah dan Retribusi Carbon Tax
Daerah
4 Latihan

Referensi :

1. UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah

2. UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara


Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah

3. UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

4. PP No. 91 Tahun 2010 tentang Jenis Pajak Daerah yang Dipungut


Berdasarkan Penetapan Kepala Daerah atau Dibayar Sendiri oleh Wajib
Pajak.

5. PP No. 97 Tahun 2012 tentang Retribusi Pengendalian Lalu Lintas dan


Retribusi Perpanjangan IMTA.

6. Peraturan daerah yang mengatur mengenai Pajak Daerah dan Retribusi


Daerah.

7. PP No. 69 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pemberian dan Pemamfaatan


Insentif Pemungutan PDRD
PENGANTAR PAJAK DAN RETRIBUSI DAERAH

1. Arti Penting PAD dalam Perekonomian Daerah


Dalam era otonomi daerah ini, daerah diberikan kewenangan yang lebih besar untuk
mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Hal ini berarti, idealnya pelaksanaan
otonomi daerah harus mampu mengurangi ketergantungan terhadap pemerintah pusat,
daerah menjadi lebih mandiri, yang salah satunya diindikasikan dengan meningkatnya
kontribusi pendapatan asli daerah (PAD) dalam hal pembiayaan daerah. Pemerintah Daerah
diharapkan lebih mampu menggali sumber-sumber keuangan secara maksimal khususnya
untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan pemerintahan dan pembangunan di daerahnya
melalui Pendapatan Asli Daerah (PAD). Tentu saja hal ini dilakukan dalam koridor peraturan
perundang-undangan yang berlaku, termasuk diantaranya adalah pajak daerah dan
retribusi daerah yang menjadi unsur PAD yang utama.

Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan komponen penting bagi pertumbuhan dan
kemandirian ekonomi daerah. PAD yang besar dapat menjadi salah satu tolok ukur
kesejahteraan masyarakat. Berdasarkan Pasal 6 ayat (1) UU No. 33 Tahun 2004, Pendapatan
Asli Daerah (PAD) bersumber dari pajak daerah, retribusi daerah, hasil perusahaan milik
daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain pendapatan asli
daerah yang sah.

Dalam rangka mencapai kesejahteraan masyarakat daerah, perlu dilakukan optimalisasi


PAD. Langkah awal yang harus diperhatikan dalam optimalisasi PAD ialah aspek
perencanaan, karena perencanaan PAD yang merupakan salah satu fungsi pengelolaan
dapat mempengaruhi realisasi PAD. Perencanaan PAD dalam hal ini dimaksudkan sebagai
kegiatan terstruktur terkait dengan konsekuensi potensi yang difokuskan pada upaya
efisiensi dan efektivitas dalam pengelolaan PAD.

Sebagai sumber utama Pendapatan Daerah selain


Dana Perimbangan dan Lain-lain Pendapatan,
Dengan meningkatnya PAD dari Pemerintah senantiasa mendorong upaya-upaya
tahun ke tahun, nantinya peningkatan PAD kabupaten/kota, agar pemda yang
diharapkan bahwa pemda bersangkutan mampu mendanai penyelenggaraan
kabupaten/kota secara bertahap pemerintahan dan pembangunan daerah, serta
dapat mengurangi pelayanan kepada masyarakat. Dengan meningkatnya
ketergantungannya dari PAD dari tahun ke tahun, nantinya diharapkan bahwa
pemerintah pusat
pemda kabupaten/kota secara bertahap dapat
mengurangi ketergantungannya dari pemerintah.
Upaya peningkatan PAD tersebut antara lain dapat
dilihat dari pendapatan APBD kabupaten/kota Tahun 2007-2011. Pertumbuhan rata-rata
total pendapatan APBD seluruh kabupaten/kota sebesar 17,7 persen, sedangkan

3 | PENGANTAR PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH


pertumbuhan rata-rata PAD seluruh kabupaten/kota sebesar 14.1 persen. Pertumbuhan
rata-rata PAD selama kurun waktu 5 tahun ini memberikan gambaran yang cukup baik
dalam memperkuat kemandirian daerah. Selanjutnya, rasio PAD seluruh kabupaten/kota
pada tahun 2007 tercatat sebesar 56,6 persen, sedangkan pada tahun 2011 adalah sebesar
59,59 persen. (Lihat Tabel-4.1 dan Tabel-4.2).

Tabel 1.1 Pendapatan APBD Kabupaten/Kota Tahun 2011–2015 (Rp Milyar)

Kelompok 2011 2012 2013 2014 2015 Pertumbuhan


Pendapatan Rata-rata (%)

PAD 36,359.73 45,479.99 56,465.61 91,733.47 87,872.62 26.9

Dana
Perimbangan 299,516.90 343,800.76 378,198.16 522,384.63 423,699.54 11.0

Lain –lain 82,224.21 70,974.12 86,433.89 140,671.98 149,889.71 19.4

Total 418,100.84 460,254.87 521,097.67 754,790.07 661,461.87 13.9

Keterangan : Tahun 2011-2015 angka Realisasi,

Sumber : Kementerian Keuangan, data diolah

Tabel 1.2. Pendapatan APBD Kabupaten/Kota Rasio Per Bagian Pendapatan

Kelompok Rasio (%)


Pendapatan 2011 2012 2013 2014 2015

PAD 8.7 9.9 10.8 12.2 13.3

Dana
71.6 74.7 72.6 69.2 64.1
Perimbangan

Lain-lain 19.7 15.4 16.6 18.6 22.6

Total 100 100 100 100 100

Keterangan : Tahun 2011-2015 angka Realisasi

Sumber : Kementerian Keuangan, data diolah

Walaupun pertumbuhan rata-rata PAD tersebut sudah menunjukkan kondisi yang relatif
baik, namun Pemda masih perlu melakukan langkah-langkah strategis terkait pentingnya
optimalisasi peningkatan PAD melalui pajak daerah dan retribusi daerah (PDRD), bagi hasil
pajak daerah, dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan. Melalui penguatan
sistem perpajakan daerah (local taxing power) di dalam struktur pendapatan daerah,

4 | PENGANTAR PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH


peranan PAD juga diharapkan dapat memberikan dampak positip terhadap pertumbuhan
ekonomi, selain menjadi alternatip pendanaan bagi penyediaan prasarana dan saran
pelayanan di daerah. Hal ini sejalan dengan prinsip penggunaan hasil pungutan retribusi
menurut Pasal 161 UU No. 28/2009 bahwa pemanfaatan dari penerimaan setiap jenis
retribusi diutamakan untuk mendanai kegiatan yang berkaitan langsung dengan
penyelenggaraan pelayanan yang bersangkutan.Dengan tersedianya sarana dan prasarana
yang memadai diharapkan dapat mendorong terciptanya iklim investasi yang kondusif
sekaligus membuka lapangan kerja baru bagi masyarakat daerah. Dengan terciptanya
lapangan kerja yang baru, diharapkan akan berpengaruh pada peningkatan pendapatan
masyarakat sehingga pertumbuhan ekonomi dapat meningkat.

2. Masalah penetapan tarif retribusi daerah


1) Masalah biaya marjinal.

Biaya marjinal atas suatu pelayanan terkadang agak sulit dihitung secara tepat, dalam
prakteknya untuk memudahkan umumnya digunakan biaya rata-rata. Meskipun cara ini
bertentangan dengan prinsip ekonomi efisiensi, namun dalam beberapa kasus, biaya
marjinal hanya memiliki sedikit perbedaan dengan biaya rata-rata misalnya pemakaian
air berdasarkan m3. Selain itu, masalah pengukuran dan pemungutan menjadikan
penetapan harga berdasarkan biaya marjinal sulit diimplementasikan. Dalam kasus
pelayanan infrastruktur, harga berdasarkan biaya marjinal dapat saja terlalu rendah jika
dibandingkan dengan biaya pemungutan.

Terdapat hal-hal yang perlu dipertimbangkan untuk menentukan apakah penetapan


harga berdasarkan biaya marjinal bersifat jangka pendek atau jangka panjang: dalam
kasus penyediaan air bersih, misalnya, terdapat suatu titik di mana tambahan konsumen
akan membutuhkan tambahan pelayanan; jelas bahwa dalam situasi seperti ini sangat
tidak beralasan apabila mereka dibebankan dengan harga berdasarkan biaya penuh (full
cost).

Kasus di atas merupakan bagian dari pendekatan harga berdasarkan biaya marjinal di
mana kapasitas yang tersedia seluruhnya terpakai, dan permintaan cenderung melebihi
penawaran. Pada kondisi ini, pasar akan menentukan harga di atas biaya marjinal jangka
pendek untuk memberikan tambahan sumber daya yang dibutuhkan dalam rangka
peningkatan kapasitas.

Penetapan harga berdasarkan biaya marjinal tidak berarti bahwa harga menutupi
seluruh biaya (full cost recovery): dalam hal ini biaya modal historis tidak
diperhitungkan, atau bahkan biaya operasional (misalnya, biaya operasional overhead
tetap yang tidak terpengaruh dengan penggunaan pelayanan). Dalam situasi di mana
sumber daya langka, kegagalan untuk menutupi biaya menunjukkan hilangnya
kesempatan sebagai alternatif dari penggunaan sumber daya tersebut. Kerugian ini

5 | PENGANTAR PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH


harus dipertimbangkan dengan kerugian efisiensi sehingga penetapan harga di atas
biaya marjinal dapat tercapai.

Terdapat pertentangan pandangan dengan konsep “keadilan” (fairness): (1) Hanya


mereka yang menerima manfaat yang harus membayar, sementara mereka yang tidak
menerima manfaat tidak harus berkontribusi dalam sistem perpajakan; (2) Semua
konsumen harus membayar sama, tanpa memandang biaya penyediaan pelayanan
tersebut (khususnya biaya pelayanan bagi rakyat miskin umumnya tinggi). Bagian
pertama menjelaskan prinsip Marginal Cost Pricing, dan prinsip manfaat, sementara
bagian kedua lebih mengarah kepada kerugian atas ekonomi efisiensi yang dihasilkan
dari penetapan harga sama dibandingkan dengan penetapan harga marjinal.

Eksternalitas konsumsi, seperti manfaat air bersih untuk mencuci dan memasak bagi
kesehatan masyarakat secara signifikan dapat mengubah “harga efisiensi” yang telah
ditentukan berdasarkan biaya marjinal. Pada kondisi ini, dapat dibenarkan apabila
pelayanan tersebut disubsidi atau bahkan gratis sampai dengan titik tertentu.

Pada akhirnya, berdasarkan pertimbangan keadilan maka orang kaya harus membayar
lebih, setidaknya untuk pelayanan seperti air bersih, di mana diskriminasi harga
(misalnya, tarif progresif) atas pelayanan dapat dilakukan. Namun demikian, hal ini
menyalahi syarat efisiensi.

2) Tanpa pelayanan tidak boleh dipungut retribusi daerah.

Retribusi daerah hanya boleh dipungut apabila pemerintah daerah menyediakan


pelayanan yang bermanfaat bagi penerima jasa.

3) Masalah ‘closed-list’ retribusi daerah.

Sesuai prinsip desentralisasi, sebagian besar fungsi pelayanan masyarakat dilaksanakan


oleh pemerintah daerah. Namun, meskipun suatu daerah memiliki kewenangan dan
menyediakan layanan, tapi karena kebijakan pajak daerah dan retribusi daerah bersifat
closed list, maka atas pelayanan yang diberikan tidak boleh dipungut retribusi.

3. Current Issue Pajak Daerah dan Retribusi Daerah


1) Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait Pembatalan Peraturan Daerah
(Perda) oleh Gubernur dan Menteri.
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas perkara Nomor 56/PUU-XIV/2016
terkait Pembatalan Peraturan Daerah (Perda) oleh Gubernur dan Menteri
pada tanggal 14 Juni membawa pengaruh terhadap upaya Pemerintah Pusat
dalam memberikan kemudahan berusaha sebagaimana yang digaungkan
oleh Presiden Joko Widodo melalui Paket Kebijakan Ekonomi XV yang
diterbitkan pada 16 Juni.

6 | PENGANTAR PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH


Sesuai dengan putusan MK itu, maka Pemerintah Pusat tidak lagi berwenang
membatalkan Peraturan Daerah termasuk peraturan daerah yang tidak
sejalan dengan arah kebijakan Pemerintah Pusat. Sebagai dampaknya ,
putusan tersebut memperlemah pengawasan Pemerintah Pusat dalam
mengontrol perda bermasalah yang berdampak pada kondisi kemudahan
berusaha (investasi) di daerah. Sebagai gambaran selama tahun 2016,
pemerintah setidaknya telah membatalkan 3.143 perda yang menghambat
daya saing nasional. Beberapa masalah yang ditemukan pada perda, yaitu
terkait substansi, yuridis, dan prinsip atau dampak ekonomi bagi daerah.
Diharapkan pemerintah daerah dapat meninjau ulang implementasi
peraturan daerahnya agar sejalan dengan kebijakan pusat sehingga iklim
investasi di daerah dapat tumbuh dengan baik.
2 ) Implementasi Carbon Tax
Pengenaan pajak atas CO 2 yang dihasilkan dari kendaraan bermotor dimasa
mendatang akan diterapkan untuk mengurangi dampak emisi karbon rata -
rata sebesar 2% per tahun. Skema pengenaan pajak atas carbon tax tersebut
sedang dibahas untuk mencari skema perpajakan yang terbaik dengan
mempertimbangkan dampak terhadap industri lokal, daya beli masyarakat,
konsumsi bahan bakar, dan jenis kenderaan bermotor.

4. Soal Latihan
1) Bagaimana peranan PAD dalam mengurangi ketergantungan terhadap pemerintah
pusat dan membangun kemandirian daerah?

2) Jelaskan mengapa pengukuran dan pemungutan menjadikan penetapan harga


berdasarkan biaya marjinal sulit diimplementasikan?

3) Apa yang dimaksud dengan dampak eksternalitis atas sebuah pelayanan?

4) Jelaskan apa yang dimaksud Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan komponen dari
PAD!

5) Jelaskan apa saja yang menjadi permasalahan bagi daerah dalam mengoptimalisasi
PAD!

7 | PENGANTAR PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH

Anda mungkin juga menyukai