Anda di halaman 1dari 58

LAPORAN KEMAJUAN

KEGIATAN
PENELITIAN KOMPETENSI

PENDEKATAN PEDOGEOMORFOLOGI UNTUK PEMETAAN


TANAH DENGAN MEMANFAATKAN TEKNOLOGI
PEMETAAN TERKINI DI SUB DAS KODIL,
DAS BOGOWONTO, JAWA TENGAH

Tahun ke-1 dari rencana 2 tahun

Ketua & Anggota Tim :

Prof. Dr.rer.nat. Junun Sartohadi, M.Sc. (0018116703)


Dr.Eng. Guruh Samodra, M.Sc. (0001118502)
Dr.rer.nat. M. Anggri Setiawan, M.Si. (0019068301)

DIBIAYAI OLEH:
DIREKTORAT RISET DAN PENGABDIAN MASYARAKAT
DIREKTORAT JENDERAL PENGUATAN RISET DAN PENGEMBANGAN
KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI

SESUAI DENGAN SURAT PERJANJIAN PENUGASAN PELAKSANAAN


PROGRAM PENELITIAN NOMOR: 015/SP2H/LT/DRPM/II/2016, TANGGAL 17
FEBRUARI 2016

UNIVERSITAS GADJAH MADA


2016

1
2
RINGKASAN

Peta tanah merupakan salah satu peta sumberdaya yang saat ini
sangat dibutuhkan untuk mendukung program nasional Indonesia mandiri
pangan. Peta tanah yang ada saat ini sebagian besar merupakan peta
tanah bagan yang dibuat berdasarkan pendekatan teoritis dan bukan
berbasis pada hasil survei. Peta tanah hasil survei memerlukan biaya
tinggi dan waktu yang lama untuk proses pembuatannya. Peta tanah
dalam berbagai skala dapat dibuat dengan memanfaatkan teknologi
pemetaan terkini hingga lebih cepat diselesaikan, akurat hasilnya, serta
murah dalam pembiayaan.
Sub-DAS Kodil merupakan bagian hulu dari DAS Bogowonto yang
mempunyai susunan satuan- satuan bentanglahan kompleks. Secara
litologis tersusun atas batuan-batuan breksi: vulkanis berumur Tersier
tengah, batu pasir berumur Tersier atas, beberapa seri endapan
Gunungapi Sumbing Tua, dan beberapa seri endapan Gunungapi
Sumbing Muda. Secara morfologis, wilayah kajian tersusun atas
perbukitan terjal, perbukitan miring, lereng bukit dengan bentuk dan
panjang bervariasi, cekungan antar bukit dengan berbagai variasi ukuran,
serta dataran tinggi. Sub-DAS Kodil telah terusik oleh berbagai aktivitas
masyarakat dengan berbagai tingkatan. Kompleksnya kondisi
bentanglahan Sub-DAS Kodil membuat wilayah ini cocok untuk dijadikan
model pemetaan tanah.
Tahap awal dalam pembuatan peta tanah adalah pembuatan peta
bentuklahan. Pemetaan bentuklahan mencakup pemahaman tentang
genesis, sehingga mampu digunakan untuk interpretasi asal muasal
bahan induk tanah. Kajian pemetaan bentuklahan dapat dilakukan dalam
tingkatan skala yang berbeda dengan memanfaatkan teknologi
penginderaan jauh berupa citra dengan resolusi yang berbeda-beda.
Dalam penelitian ini, citra yang digunakan adalah citra SRTM, citra
TanDEM X dan citra TerraSAR untuk skala pemetaan 1:25.000 dan skala
1:10.000. Tujuan dari penggunaan citra yang berbeda-beda adalah untuk
mengetahui citra apa yang paling baik untuk digunakan dalam pemetaan
tanah skala detil dan semi detil.
Hasil yang telah dicapai untuk saat ini meliputi pembuatan peta
posisi topografi skala detil dan semi detil serta melakukan survei tanah
untuk pengambilan sampel. Peta posisi topografi selanjutnya akan
dianalisis untuk pembuatan peta bentuklahan sebelum akhirnya diolah
menjadi peta tanah, dikombinasikan dengan hasil survei lapangan dan uji
laboratorium.

3
PRAKATA

Laporan kemajuan kegiatan penelitian kompetensi dengan judul


“Pendekatan Pedogeomorfologi Untuk Pemetaan Tanah Dengan
Memanfaatkan Teknologi Pemetaan Terkini Di Sub Das Kodil, Das
Bogowonto, Jawa Tengah” telah selesai ditulis. Capaian sementara dari
kegiatan penelitian adalah pembuatan peta tanah semi detil skala
1:25.000 dan peta tanah detil skala 1:10.000. Hasil peta yang dibuat
merupakan hasil interpretasi dan analisis dengan pendekatan
pedogeomorfologi. Survei lapangan dan pengambilan sampel tanah,
material penutup dan bahan induk tanah sebagian telah dilaksanakan
ditambah dengan kegiatan sosialisasi dengan masyarakat melalui Focus
Group Discussion (FGD).
Kegiatan pencapaian luaran terus dilakukan dengan melakukan
inventarisasi data dan peta kerja guna mendukung kegiatan penelitian.
Penulis secara terbuka dan berharap mendapat masukan dan saran yang
membangun guna dapat mengahasilkan luaran yang bermanfaat untuk
pengembangan ilmu kedepan. Tahapan yang masih ada penulis haturkan
untuk dapat mensumbangsihkan pikiran dan tenaga guna mencapai hasil
yang terus dapat dikembangkan.

Yogyakarta, Juni 2016

Penulis

4
DAFTAR ISI

RINGKASAN................................................................................................3
PRAKATA.....................................................................................................4
DAFTAR ISI..................................................................................................5
DAFTAR TABEL...........................................................................................6
DAFTAR GAMBAR......................................................................................7
DAFTAR LAMPIRAN...................................................................................8
BAB I PENDAHULUAN................................................................................9
1.1. Latar Belakang...................................................................................9
1.2. Permasalahan Penelitian.................................................................11
BAB II TINJAUAN PUSTAKA....................................................................12
2.1. Pemetaan Tanah..............................................................................12
2.2. Pendekatan Pemetaan Tanah.........................................................14
2.3. Interpretasi Hasil Survei Tanah........................................................15
2.4. Rekam Jejak Penelitian Sebelumnya..............................................17
BAB III TUJUAN DAN MAFAAT PENELITIAN..........................................20
3.1. Tujuan..............................................................................................20
BAB IV METODE PENELITIAN.................................................................22
4.1. Pembuatan Peta Posisi Topografi...................................................22
4.2. Pengambilan Sampel Tanah............................................................23
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN..........................................................24
BAB VI RENCANA TAHAPAN BERIKUTNYA...........................................28
BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN........................................................29
5.1. Kesimpulan......................................................................................29
5.2. Saran................................................................................................29
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................30

5
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1. Tahun Periode Penelitian, Permasalahan Penelitian, dan
Tujuan Penelitian......................................................................20
Tabel 4.1. Kriteria Posisi Topografi............................................................22
Tabel 5.1. Resolusi Citra untuk Pemetaan Tanah.....................................25

6
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1. Peta Jalan Penelitian Sebelumnya oleh Sartohadi dkk.
(1997-2015)..........................................................................19
Gambar 5.1. Foto kegiatan pengambilan sampel tanah dan sidik cepat di
lapangan (a. identifikasi profil tanah; b dan c. sidik cepat
kima tanah)...........................................................................27

7
DAFTAR LAMPIRAN

LAMPIRAN 1. Instrumen.........................................................................L - 1

LAMPIRAN 2. Personalia Tenaga Peneliti Beserta Kualifikasinya........L - 2

LAMPIRAN 3. Bukti Pendukung Formulir Evaluasi Atas Capaian Luaran


Kegiatan..........................................................................L - 3

LAMPIRAN 4. Formulir Pernyataan Invensi...........................................L - 4

8
9
1. BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Peta tanah memegang peranan yang penting dalam
perencanaan pemanfaatan lahan secara lestari. Peta tanah tidak
hanya melulu mengandung informasi mengenai tanah, namun juga
mengandung informasi lain terkait dengan lahan. Adanya informasi
lain terkait dengan lahan membuat peta tanah dapat
diinterpretasikan untuk berbagai kepentingan baik untuk pertanian
maupun non pertanian (Soil Survey Staff, 1993).
Peta tanah merupakan bagian dari kelompok peta tematik yang
saat ini seiring dengan kemajuan teknologi perpetaan tidak dapat
dipandang sebagai sebuah peta cetak yang hanya dapat
mengandung jenis informasi yang terbatas. Peta tanah saat ini ada
dalam bentuk cetak (hard copy) dan dalam bentuk digital (soft copy)
berformat GIS. Peta tanah dalam bentuk soft copy tersusun atas
poligon-poligon (satuan-satuan delineasi peta) dan basis data pada
setiap poligonnya. Data yang ada dan menyertai setiap poligon
dalam peta tanah tidak tak terbatas terkait dengan berbagai hal
tentang sumberdaya lahan (Gool et al, 2005; Ali and Kotb, 2010;
Balkovic et al, 2013)
Peta tanah dihasilkan dari kegiatan survei tanah yang secara
konvensional membutuhkan biaya tinggi dan waktu yang panjang.
Survei tanah secara garis besar terdiri dari tiga kegiatan utama,
yaitu: pemetaan lahan, deskripsi dan klasifikasi tanah, serta
interpretasi hasil survei (Zink, 2013). Pemetaan lahan akan lebih
bertumpu pada ahli geomorfologi, sementara deskripsi dan klasifikasi
tanah akan lebih banyak bergantung pada ahli tanah. Lebih daripada

10
itu, survei tanah melibatkan berbagai bidang keahlian di luar keahlian
tanah untuk dapat membantu dalam hal interpretasi tanah.
Ada dua pendekatan di dalam pemetaan tanah, yaitu
pendekatan analitik dan sintetik. Pendekatan analitik untuk pemetaan
tanah dilakukan dengan cara melakukan pengamatan tanah pada
setiap luasan 0.4 Cm2 pada peta (Wambeke and Forbes, 1986)
untuk kemudian dilakukan penarikan batas-batas satuan tanah
menurut hasil pengelompokkan titik-titik pengamatan. Pendekatan
sintetik dalam pemetaan tanah dijalankan dengan menarik batas-
batas satuan tanah sebelum survei lapangan. Penarikan batas
satuan-satuan tanah didasarkan pada analisis bentanglahan atas
parameter-parameter yang secara teoritik berpengaruh kuat
terhadap proses pembentukan tanah.
Peta tanah yang dibuat melalui pendekatan analitik dengan
sendirinya perlu biaya tinggi dan waktu yang panjang, sementara itu
kebutuhkan akan adanya peta tanah dirasakan sangat mendesak.
Berlakunya UU No 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang
kemudian diikuti PP No. 8 Tahun 2013 tentang Ketelitian Peta
Rencana Tata Ruang yang ada dibawahnya mengisyaratkan
penyusunan tata ruang perlu masukan peta tanah. Tata ruang dibuat
pada berbagai skala mulai dari skala nasional, provinsi, kabupaten,
kecamatan, dan desa sehingga memerlukan berbagai masukan peta,
salah satunya peta tanah, yang skalanya sesuai. Saat ini,
ketersediaan peta tanah untuk skala nasional sudah ada, namun
untuk skala provinsi, kabupaten, hingga skala yang lebih detil belum
ada.
Peta tanah yang dibuat melalui pendekatan sintetik
memungkinkan untuk diselesaikan dalam waktu yang relatif lebih
singkat dan biaya yang lebih murah (Ghosh and  Maji, 2011). Namun
demikian, pendekatan sintetik masih diragukan keakuratannya untuk
pembuatan peta berskala semi-detil dan detil. Keraguan para ahli

11
tanah didasarkan pada kenyataan bahwa pada setiap satuan
delineasi hampir selalu mengandung lebih dari satu-satuan tanah.
Heterogenitas satuan tanah yang ada pada setiap satuan delineasi
peta tanah sangat dimungkinkan karena peta dasar dan/atau citra
yang digunakan kurang sesuai skalanya. Lebih daripada itu,
heterogenitas tanah pada setiap satuan delineasi peta tanah juga
dimungkinkan karena pendekatan dan teknik interpretasi
bentanglahan yang kurang sesuai.

1.2. Permasalahan Penelitian


Sesuai dengan latar belakang yang telah diuraikan, maka
permasalahan penelitian yang akan diungkap pada tahun pertama
dapat diformulasikan dalam bentuk pertanyaan utama berikut sub-
sub pertanyaan sebagai berikut:
1. apakah pendekatan pedogeomorfologi dapat diterapkan untuk
pemetaan tanah skala detil dan skala semi-detil?
a. citra apa yang sesuai untuk pemetaan detil dan/atau semi-detil?
b. berapa besar jumlah sampel tanah dapat dikurangi dengan
pendekatan pedogeomorfologi?
c. seberapa akurat pemetaan yang dilakukan dengan pendekatan
pedogeomorfologi dibandingkan standard peta tanah?
d. seberapa efisien pemetaan yang dilakukan dengan pedekatan
pedogeomorfologi dibandingkan dengan metode konvensional?

12
1. BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pemetaan Tanah


Tanah sebagai material gembur penutup permukaan bumi
terbentuk oleh serangkaian aksi dan interaksi faktor pembentuk aktif
dan pasif. Faktor pembentuk tanah yang bersifat aktif adalah iklim
dan organisme, sementara faktor pembentuk tanah yang pasif
adalah bahan induk tanah, relief, dan waktu. Faktor-faktor
pembentuk tanah yang terdiri dari iklim, organisme, relief, bahan
induk tanah, dan waktu merupakan faktor global yang berlaku di
sembarang tempat di permukaan bumi. Selain faktor pembentuk
tanah global, ada juga faktor-faktor pembentuk tanah yang hanya
berlaku secara lokal dan bersifat berbeda-beda dari satu lokasi
dengan lokasi yang lain (Sartohadi dkk, 2014).
Perbedaan pada salah satu faktor pembentuk tanah dapat
dipastikan akan mempunyai akibat pada perbedaan perwatakan
tanah yang terbentuk (Jenny, 1941). Perbedaan pada faktor
pembentuk tanah yang bersifat global, biasanya akan berpengaruh
nyata pada perwatakan tanah yang terbentuk. Perbedaan pada
faktor pembentuk tanah yang bersifat lokal, biasanya pengaruhnya
relatif kurang nyata dibandingkan dengan pengaruh perbedaan faktor
pembentuk tanah global. Kompleksnya macam faktor-faktor
pembentuk tanah baik yang global dan lokal, saling berinteraksi
secara dinamis, membuat satuan-satuan tanah yang menyelimuti
permukaan bumi tidak dapat dibatasi persebarannya satu per satu
(Werban et al., 2013). Pemetaan tanah lebih bersifat
mengelompokkan satuan-satuan tanah yang mempunyai tingkatan

13
faktor pembatas untuk pemanfaatan yang setara dan/atau
mempunyai potensi pemanfaatan yang setara.
Kesadaran bahwa persebaran satuan-satuan tanah tidaklah
bersifat acak namun lebih bersifat selaras dengan persebaran
bentuklahan didapatkan setelah pengalaman panjang melakukan
pemetaan tanah pada tingkat detil di Amerika Serikat (Buol et al.,
1997). Persebaran satuan tanah menurut satuan bentuklahan bukan
berarti bahwa setiap satuan bentuklahan terselimuti oleh satuan
tanah yang sama. Setiap satuan bentuklahan yang dapat dibatasi
secara konsisten melalui interpretasi peta, citra penginderaan jauh,
maupun pengkajian di lapangan, hampir selalu mempunyai lebih dari
satu-satuan tanah. Komposisi satuan-satuan tanah di dalam setiap
satuan bentuklahan yang dapat ditarik batas-batasnya pada peta
merupakan informasi penting pada peta tanah, selain nama satuan
tanah. Penghitungan komposisi satuan-satuan tanah pada setiap
satuan delineasi pada peta tanah menjadi alasan utama mengapa
peta tanah seolah-olah harus dipetakan melalui pendekatan analitik
(Wambeke and Forbes, 1986; Zhu, 2000).
Ada tiga jenis satuan peta tanah (SPT) yang pembagiannya
didasarkan atas komposisi satuan-satuan tanah pada satuan
delineasi bentuklahan, yaitu: konsosiasi, asosiasi, dan kompleks
(Soil Survey Staff, 1993). Secara garis besar, SPT konsosiasi
didominasi oleh satu satuan tanah sehingga di dalam penamaan
hanya muncul satu nama satuan tanah. SPT asosiasi dan/atau
kompleks mempunyai dominansi satuan tanah tertentu sehingga
biasanya dimunculkan lebih dari satu nama satuan tanah. Satuan-
satuan tanah yang muncul sebagai nama SPT asosiasi dan/ atau
kompleks biasanya mempunyai kisaran komposisi antara 30-40%. Di
dalam setiap SPT selalu saja masih terdapat satuan-satuan tanah
yang tidak muncul sebagai nama SPT dan mempunyai persentase

14
<10%. Satuan-satuan tanah yang tidak muncul sebagai nama SPT
disebut sebagai satuan tanah pengotor (inklusi).

2.2. Pendekatan Pemetaan Tanah


Pemahaman akan hubungan yang erat antara tanah dan
bentuklahan semakin meningkat dari waktu ke waktu seiring dengan
adanya bukti-bukti yang semakin meyakinkan. Pemahaman akan
eratnya hubungan antara tanah dan bentuklahan juga dipicu oleh
ketersediaan peta dalam berbagai skala dan citra penginderaan jauh
yang semakin halus resolusi spasial maupun spektralnya. Dengan
demikian, bukti-bukti yang digunakan untuk menunjukkan eratnya
hubungan antara tanah dan bentuklahan tidak hanya berupa data
hasil survei lapangan tetapi juga data hasil interpretasi citra dan peta
(Manchanda at al., 2002).
Pemahaman mengenai persebaran tanah telah didekati secara
teoritik dan dibuktikan secara empirik di lapangan melalui faktor-
faktor pembentuk tanah global. Satuan tanah berbeda pada setiap
satuan litologi dikenal dengan pendekatan Litosekuen. Perbedaan
zone iklim akan diikuti oleh perbedaan satuan tanah dikenal dengan
pendekatan Klimosekuen. Zone-zone vegetasi utama juga akan
berimplikasi pada hewan makro dan mikro yang ada di dalamnya
juga selalu membawa konsekuensi perbedaan satuan tanah, hal ini
dikenal dengan pendekatan Biosekuen. Satuan tanah yang ada pada
posisi lereng tertentu akan berbeda dengan satuan tanah yang ada
pada posisi lereng berbeda disebut dengan pendekatan
Toposekuen. Pada bentanglahan yang berbeda umur pembentukan
selalu diselimuti oleh satuan-satuan tanah yang berbeda pula disebut
dengan pendekatan Kronosekuen (Huggett, 1998).
Pada situasi dan kondisi bentanglahan yang dinamis, ditambah
lagi dengan dinamika aktifitas masyarakat memanfaatkan
sumberdaya lahan maka berbagai pendekatan persebaran tanah

15
yang paling mungkin diterapkan adalah Toposekuen. Vegetasi
penutup lahan mudah diubah-ubah oleh masyarakat sesuai dengan
yang dikehendakinya. Iklim sulit dipetakan karena dinamikanya
berlangsung cepat dan distribusinya tidak mudah diindera oleh
manusia, perlu titik pengamatan berjumlah besar dan jangka waktu
panjang pengamatan. Persebaran bahan induk tanah tidak pula
selalu dapat tercermin melalui perbedaan satuan litologi karena
dapat saja bahan induk tanah merupakan hasil pengendapan dari
lapukan batuan lain di tempat lain. Unsur waktu tidak tampak
persebarannya di permukaan bumi (Walker et al., 2010).
Pendekatan pedogeomorfologi merupakan pengembangan
lebih lanjut dari pendekatan Toposekuen. Pendekatan toposekuen
pada awalnya berkembang menjadi pendekatan bentanglahan yang
bermakna lebih luas daripada sekedar penggal per penggal lereng.
Pendekatan bentanglahan lebih lanjut berkembang menjadi
pendekatan geomorfologi yang menyatukan satuan-satuan
bentanglahan dengan satuan litologi/batuan dasar dan proses-
proses eksogenik yang bekerja pada satuan bentanglahan.
Pendekatan geomorfologi lebih umum digunakan pada pemetaan
tanah semi-detil dan atau tinjau mendalam. Pendekatan
pedogeomorfolgi berbeda dengan pendekatan geomorfologi dalam
hal penyatuan informasi satuan bentuklahan, batuan dasar, material
penutup permukaan, dan unsur lain yang ada dipermukaan bumi
baik yang bersifat relatif statis maupun dinamis (Birkeland et al.,
2003).

2.3. Interpretasi Hasil Survei Tanah


Peta tanah yang dihasilkan dari kegiatan survei tanah bersifat
akademik dan tidak mudah dipahami oleh para pengguna yang
sebagian besar bukan berlatar belakang ilmu tanah. Peta tanah
harus dapat dipahami oleh semua orang agar pemanfaatan

16
sumberdaya lahan dapat berlangsung secara lestari. Peta tanah
harus diinterpretasikan oleh para ilmuwan agar dapat dimanfaatkan
secara langsung oleh berbagai pihak, untuk itu maka tampilan peta
tanah harus disesuaikan dengan berbagai kebutuhan pengguna (Soil
Survei Staff, 1993; FAO, 2007).
Interpretasi peta tanah yang paling umum dikerjakan adalah
ditujukan untuk pemanfaatan bidang pertanian, perkebunan, dan
kehutanan. Interpretasi peta tanah dilakukan dengan mencocokan
hasil-hasil pengukuran karakteristik tanah dengan persyaratan
tumbuh tanaman sehingga dapat memberikan hasil yang optimum.
Interpretasi peta tanah juga dapat dijadikan dasar penyusunan
rekomendasi perbaikan karakteristik lahan agar lebih mendekati dan
atau memenuhi persyaratan tumbuh tanaman (Verdoodt and van
Ranst, 2003).
Interpretasi peta tanah dapat pula dikerjakan untuk tujuan
interpretasi pemanfaatan lahan non-pertanian. Interpretasi tanah
dalam konteks non-pertanian walaupun secara teknis mirip caranya
dengan interpretasi tanah untuk pertanian, namun mempunyai dasar
filosofis yang berbeda. Interpretasi tanah untuk kegiatan non-
pertanian bukan selalu bermakna produktivitas sebagaimana terjadi
pada tanaman, namun lebih bertumpu pada aspek kemudahan,
kenyamanan, keawetan, keselamatan atas investasi yang ditanam
pada suatu lahan. Pemanfaatan lahan untuk non-pertanian selalu
bergantung pada aspek teknologi, ekonomi, estetika dan kultural
yang dimiliki oleh masyarakat (Bacik et al., 2003).
Interpretasi tanah pada saat ini lebih bernuasa konservasi
lingkungan seiring dengan semakin kecangnya isu kerusakan
lingkungan. Konservasi dalam arti luas tidak selalu bermakna
perlindungan atas satuan-satuan wilayah yang mudah mengalami
degradasi lingkungan, tetapi lebih bermakna pada produktivitas yang
optimum dan lestari. Dasar pertimbangan untuk mencari

17
produktivitas lahan secara optimum dan lestari sangat kompleks dan
masih terus dicari formula yang tepat namun mudah dilaksanakan di
lapangan (Young, 1987).

2.4. Rekam Jejak Penelitian Sebelumnya


Sartohadi (1997) telah mencoba menerapkan teknik
penginderaan jauh dan sistem informasi geografis untuk menelaah
persebaran satuan-satuan tanah di kompleks perbukitan-
pegunungan Gunung Kidul, Yogyakarta. Teknik-teknik interpretasi
citra penginderaan jauh Landsat TM berupa principal componen
analysis dan kombinasi band untuk menghasilkan citra komposit
berwarna semu telah dicoba untuk membantu interpretasi
bentuklahan. Teknik penajaman relief permukaan bumi dengan
pembangunan DEM memakai input peta topografi berskala 1 :
50.000 juga telah dilakukannya agar delineasi bentuklahan dapat
lebih akurat. Pengecekan lapangan secara transek dilakukan untuk
mengisi basis data tanah dan lahan pada setiap satuan delineasi
bentuklahan.
Sartohadi (1998) dan Sartohadi (2004) mencoba mendalami
teknik pemilihan jalur pengamatan tanah setelah pada penelitian
terdahulu lebih menekankan pada teknik delineasi bentuklahan.
Penelitian dilakukan pada cekungan sempit yang mempunyai variasi
dalam hal batuan dasar, relief di kanan kirinya, dan proses
geomorfologi. Jalur pengamatan (transek) dibuat dengan berbagai
pendekatan mulai dari perbedaan sudut lereng, arah bekerjanya
proses geomorfologi, dan perbedaan litologi/batuan dasar. Aspek
penutupan lahan tidak dipertimbangkan karena semuanya
merupakan hasil binaan manusia.
Sartohadi (2001) melanjutkan penelitian mengenai persebaran
tanah dalam kaitannya dengan satuan bentuklahan. Kombinasi
teknik interpretasi citra dan peta yang pernah dikembangkan pada
tahun 1997 dan teknik penentuan jalur pengamatan tanah yang

18
dikembangkan pada tahun 1998 diuji cobakan pada satuan-satuan
bentuklahan yang lebih beragam. Satuan-satuan bentuklahan lereng
kaki perbukitan, dataran aluvial kaki gunungapi, perbukitan karst,
perbukitan breksi, perbukitan breksi terusik intrusi, dan perbukitan
batupasir berlapis dikaji secara mendalam gensis bentanglahan dan
tanahnya. Teknis GIS juga diterapkan untuk mendekati penghitungan
komposisi satuan-satuan tanah pada setiap satuan delineasi
bentuklahan. Pada penelitian tahun 2001 juga diuji cobakan
pendekatan geomorfologi untuk pemetaan tanah pada skala 1 :
5.000, 1: 25.000, dan 1 : 50.000. Secara statistik terbukti bahwa
pendekatan geomorfologi dapat diterapkan dengan baik dan
mempunyai akurasi berkisar antar 82 – 87%.
Penelitian berikutnya bersifat interpretasi bentuklahan untuk
menghasilkan informasi karakteristik tanah tertentu (Sartohadi dan
Saragih, 2004), informasi tanah dalam kaitannya dengan proses
longsor (Sartohadi dan Purwaningsih, 2004). Penelitian yang
berkaitan dengan geomorfologi dan tanah terus serta keterkaitannya
dengan ancaman bencana intesif dilakukan sejak maraknya bencana
tsunami di NAD, gempa di Yogyakarta, dan Erupsi Gunungapi
Merapi dan Kelud (Sartohadi, 2005; Sartohadi, 2008; Sartohadi dkk,
2010; Hadmoko et al., 2010)
Sartohadi (2012) khusus melakukan kajian bentuklahan dan
hubungannya dengan aktivitas manusia di Loano. Penelitian ini
ditujukan untuk mendalami mengenai peranan satuan-satuan yang
sifatnya alami dalam kejadian longsor. Penelitian-penelitian
sebelunya menunjukkan bahwa pengaruh aktifitas manusia lebih
dominan terhadap kejadian longsor. Penelitian mencoba mengurai
permasalahan agar menjadi lebih sederhana dari sudut pemetaan
untuk analisis ancaman longsor. Pada satuan-satuan bentuklahan
yang telah diidenfifikasi sebagai satuan wilayah rawan longsor
mempunyai intensitas longsor yang lebih tinggi daripada satuan-

19
satuan bentuklahan yang kurang rawan longsor pada klas derajad
usikan aktifitas manusia yang sama.
Sartohadi (2013) melakukan kajian mengenai genesis tanah
supertebal di DAS Bogowonto hulu dan mengkaitannya dengan
persebaran longsor dalam (deep seated landslide). Tanah supertebal
didefinisikan sebagai tanah yang mempunyai ketebalan > 2 m. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa tanah-tanah supertebal mempunyai
genesis yang kompleks yang merupakan percampuran dari proses-
proses teknonik dan vulkanik pada masa Tersier, pelapukan dan
vulkanisme pada masa Quarter. Longsor yang tebal dapat saja
bersifat menggantung pada zone tanah, dan dapat pula mencakup
seluruh profil tanah supertebal hingga batuan dasar.
Sartohadi dkk (2015) akan melakukan penelitian di Sub DAS
Jebol dengan tema konservasi wilayah multi-rawan erosi, longsor,
dan kekeringan. Tema konservasi yang diangkat berlatar-belakang
bahwa ada kontradiksi antara konservasi erosi-kekeringan dan
longsor. Pada satu sisi air harus ditahan agar dapat mengurangi
volume dan kecepatan aliran permukaan, pada sisi yang lain air
harus diatuskan segera agar tidak meningkatkan beban masa. Pada
sisi sosial ekonomi masyarakat, setiap usaha konservasi harus
bermakna peningkatan kesejahteraan.

20
pendalaman teknik keterkaitan antara updating teknik-
PJ dan SIG untuk geomorfologi-tanah teknik pemetaan
periode
delineasi periode
dengan ancaman periode
terkini
1997-
bentuklahan
2001 -
bencana alam
2010 -
2001 2010 mendalami
saat ini kembali
pendalaman teknik pengelolaan hubungan tanah-
survei lapangan lingkungan geomorfologi-bahan
induk

Gambar 2.1. Peta Jalan Penelitian Sebelumnya oleh Sartohadi dkk.


(1997-2015)

2. BAB III

TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

3.1. Tujuan
Serangkaian tujuan dalam penelitian ini ditujukan untuk
menjawab permasalahan penelitian yang akan diungkap satu
persatu pada setiap tahapan tahun penelitian. Adapun tujuan
penelitian pada tahun pertama diformulasikan menurut
permasalahan penelitian seperti pada Tabel 3.1.

Tabel 3.1. Tahun Periode Penelitian, Permasalahan Penelitian, dan


Tujuan Penelitian

Tahu
Permasalahan Penelitian Tujuan Penelitian
n
I apakah pendekatan
pedogeomorfologi dapat  melakukan pemotretan wilayah
diterapkan untuk penelitian menggunakan UAV
pemetaan tanah skala detil  melakukan interpretasi
dan skala semi-detil? geomorfologi wilayah penelitian
berbasis citra foto udara, citra
SRTM, TanDEM X dan TerraSAR

21
 membuat peta lapangan skala
1:10.000 dan 1:25.000
 melakukan survei tanah pada
skala detil dan semi-detil
 melakukan pengambilan contoh
material batuan dasar, bahan
induk tanah, dan tanah untuk
analisis fisik, kimia, dan mineralogi
 menyajikan hasil survei ke dalam
peta-peta sementara

3.2. Manfaat
Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini dapat ditinjau dari
segi praktis maupun teoritis.
Manfaat Praktis
Hasil penelitian diharapkan mampu memberikan manfaat bagi
masyarakat sekitar. Peta tanah yang dihasilkan diharapkan mampu
digunakan sebagai acuan rekomendasi konservasi yang sesuai
untuk diterapkan di daerah penelitian. Rekomendasi konservasi yang
diberikan diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan
masyarakat.

Manfaat Teoritis
Hasil penelitian diharapkan mampu memberikan kontribusi
dalam perkembangan ilmu terkait pemanfaatan teknologi
penginderaan jauh dalam pembuatan peta bentuklahan dan peta
tanah dalam skala detil dan semi detil.

22
23
3. BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1. Pembuatan Peta Posisi Topografi


Peta posisi topografi dibuat sebagai analisis bentuklahan. Peta
posisi topografi dibuat dengan menggunakan metode weiss (2001).
Metode Weiss menghitung nilai indeks posisi topografi dari nilai
standar deviasi data DEM. Area dengan indeks posisi topografi yang
bernilai negatif menunjukkan bahwa area tersebut lebih rendah
daripada area disekitarnya atau disebut sebagai lembah. Area dengan
indeks posisi topografi yang bernilai positif menunjukkan bahwa area
tersebut lebih tinggi daripada area disekitarnya atau disebut sebagai
puncak. Area dengan indeks posisi topografi yang bernilai nol atau
mendekati nol menunjukkan bahwa area tersebut datar. Pembuatan
peta posisi topografi menggunakan kriteria pada tabel 1 (Weiss,
2001).

Tabel 4.2. Kriteria Posisi Topografi

Kelas Topografi Kriteria


Puncak TPI > SD
Lereng Atas SD >= TPI > 0.5SD
0.5SD >= TPI >= - 0.5SD, slope >
Lereng Tengah 5o
0.5SD >= TPI >= - 0.5SD, slope <=
Lereng Bawah 5o
Lereng Kaki - 0.5SD > TPI > - SD
Lembah TPI <= - SD
Sumber: Weiss, 2001, Modifikasi
Peta indeks posisi topografi dalam penelitian ini dibuat untuk
skala 1:25.000 dan skala 1:10.000 dengan masing-masing
menggunakan tiga macam citra yang memiliki resolusi berbeda, yaitu

24
citra SRTM resolusi 30 meter, citra TanDEM X resolusi 12,5 meter dan
citra TerraSAR resolusi 9 meter. Penggunaan citra dengan tingkat
resolusi yang berbeda bertujuan untuk mengetahui citra apa yang
paling baik untuk pemetaan geomorfologi skala detil dan semi detil.

4.2. Pengambilan Sampel Tanah


Pengambilan data tanah menggunakan teknik stratified line
sampling. Teknik ini mendasarkan pada variasi topografi/morfologi
wilayah secara bertingkat dimulai dari puncak bukit, lereng atas, lereng
bawah, lereng kaki dan lembah, seperti pada lampiran 3.3. Setiap satu
unit topografi diambil satu sampel tanah. Titik-titik pengambilan sampel
sudah ditentukan dalam transek garis lurus yang memotong setiap
satuan topografi. Dasar dari penentuan transek dan lokasi sampel
adalah peta posisi topografi yang telah dibuat sebelumnya.
Pengambilan sampel tanah ditentukan berdasarkan jumlah
perlapisan tanah. Pengambilan sampel dapat melalui pembuatan profil
pada penggal lereng maupun menggunakan bor tanah untuk daerah
yang relatif datar. Sampel tanah diambil di setiap susunan perlapisan
yang terlihat.

25
4. BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pembuatan Peta Tanah dilakukan dengan membuat pemetaan


dua skala pemetaan yaitu skala detil dan semi detil. Pemetaan tanah
skala detil dilakukan pada skala 1:10.000 sedangkan pemetaan tanah
skala semi detil pada skala 1:25.000. Pendekatan yang digunakan
dalam pemetaan tanah skala detil dan semi detil yaitu pendekatan
bentanglahan (landscape analyisis). Pendekatan bentanglahan untuk
pembuatan peta tanah yang menjadi kunci interpretasi yaitu beda
batuan pemukaan, beda resistensi, beda relief maka beda tanah yang
menyebabkan beda penutup lahan.
Pembuatan Peta Tanah menggunakan teknologi terkini dalam
bidang pemetaan yaitu penggunaan citra radar dan foto udara.
Penggunaan citra radar dilakukan dengan menggunakan 3 citra
dengan resolusi yang berbeda-beda. Penggunaan citra radar dengan
resolusi yang berbeda diharapkan dapat menunjukkan kesesuaian
pemetaan tanah untuk skala detil dan semi detil. Foto udara
menggunakan UAV diharapkan mampu menghasilkan teknologi
terbarukan dalam bidang pemetaan menggunakan drone. Pada hasil
sementara penggunaan UAV belum dapat dilakukan karena
terkendala cuaca sehingga pada tahap selanjutnya akan
dilaksanakan.
Peta Tanah semi detil skala 1:25.000 dan detil skala 1:10.000
dilakukan dengan interpretasi geomorfologi berbasis pada foto udara,
citra SRTM, citra TanDEM X dan citra TerraSAR. Penggunaan citra
sudah dilakukan dengan menggunakan apliksasi dalam sorftware
ArcGIS untuk analisis Topographic Position Indeks (TPI). Hasil yang
dihasilkan berupa pembagian-pembagian morfologi kawasan kajian
dengan basis piksel dari resolusi citra yang digunakan (Tabel 5.1.).

26
Kelas TPI yang dianalisis dibagi menjadi 6 yaitu untuk
mengidentifikasi bentukan lembah, lereng kaki, lereng bawah, lereng
tengah, lereng atas dan puncak/igir.
Tabel 5.3.Resolusi Citra untuk Pemetaan Tanah

No Citra Radar Resolusi (meter)


1 SRTM 30,0
2 Tandem X 12,5
3 TerraSAR 9,0
Sumber: Analisis, 2016
Peta Tanah semi detil skala 1:25.000 dilakukan dengan
melakukan identifikasi geomorfologi pada DAS Kodil. Luas DAS Kodil
yaitu 20.438,135 Ha dan merupakan Sub DAS terluas di DAS
Bogowonto. Hasil identifikasi geomorfologi berupa bentuklahan DAS
Kodil dapat diamati dari Peta Indeks Posisi Topografi Skala 1:25.000.
Setiap identifikasi geomorfologi dengan menggunakan TPI dilakukan
analisis dengan pengecekan di lapangan guna mengecek hasil peta
tentatif.
Peta Indeks Posisi Topografi Skala 1:25.000 menggunakan
citra SRTM menunjukkan tiap satuan bentuklahan memiliki area yang
umum dengan batas kelas yang terlihat satu kesatuan(Lampiran
3.1.a). Peta Indeks Posisi Topografi Skala 1:25.000 menggunakan
citra TanDEM X menunjukkan identifikasi satuan bentuklahan yang
terlihat detil dengan kelas yang terbagi secara detil (Lampiran 3.1.b).
Peta Indeks Posisi Topografi Skala 1:25.000 menggunakan citra
TerraSAR menunjukkan satuan bentuklahan yang diidentifikasi
semakin detail ditunjukkan dengan pembagian kelas yang semakin
kecil-kecil (Lampiran 3.1.c).
Peta Tanah detil skala 1:10.000 dilakukan dengan melakukan
identifikasi geomorologi pada DAS Bompon. DAS Bompon merupakan
Sub DAS Kodil yang memiliki luas 299,6 Ha. Posisi DAS Bompon
berada di tengah DAS Kodil dengan material yang berasal dari
perselingan material Sumbing Muda dan Sumbing Tua serta adanya

27
pengaruh intrusi gunungapi. Pemilihan lokasi DAS Bompon untuk
pemetaan tanah diharapkan memiliki keunikan yang bisa menjadi
referensi dalam pemetaan tanah karena komplesitas genesa tanah.
Hasil identifikasi geomorfologi berupa bentuklahan DAS Bompon
dapat diamati dari Peta Indeks Posisi Topografi Skala 1:10.000.
Peta Indeks Posisi Topografi Skala 1:10.000 menggunakan
citra SRTM menunjukkan setiap satuan bentuklahan yang
teridentifikasi dapat dilihat secara umum dan batas setiap kelas
kurang representatif karena tampak batas yang kotak-kotak
(Lampiran 3.2.a). Peta Indeks Posisi Topografi Skala 1:10.000
menggunakan citra TanDEM X menunjukkan identikasi setiap satuan
bentuklahan yang teridentifikasi dapat menunjukkan kelas setiap
satuan bentuklahan akan tetapi batasnya terlihat tegas dengan masih
tampaknya kotak-kotak pada beberapa perbedaan kelas (Lampiran
3.2.b). Peta Indeks Posisi Topografi Skala 1:10.000 menggunakan
citra TerraSAR menunjukkan kelas setiap satuan bentuklahan dapat
diamati secara detail dengan batas antar kelas yang terlihat
halus(Lampiran 3.2.c)
Hasil identifikasi geomorfologi untuk peta tanah dilakukan
pengecekan melalui survei lapangan pada beberapa lokasi dan belum
dapat keseluruhan lokasi survei karena terkendala faktor cuaca yang
kurang mendukung. Lokasi pengambilan sampel disesuaikan dengan
tujuan penelitian dan merupakan bagian sebagai pengecekan hasil
peta tentatif. Peta lokasi pengambilan sampel disajikan pada
Lampiran 3.3. Pemilihan lokasi pengambilan sampel diidentifikasi
sebagai kunci-kunci interpretasi dan sebagai tambahan informasi
mengenai karakteristik bentuklahan.
Pengambilan sampel di lapangan dilakukan dengan dua
kegiatan. Kegiatan pertama yaitu pengambilan sampel berupa tanah,
material dasar dan bahan induk tanah. Kegiatan kedua yaitu analisis
di lapangan dengan cara identifikasi, deskripsi dan sidik cepat

28
terhadap sampel tanah yang ada. Pengambilan sampel tanah dan
sidik cepat di lapangan dapat diamati pada Gambar 5.1. Kegiatan
pengambilan sampel dan analisis di lapangan secara terperinci dapat
diamati pada Lampiran 3.4. Analisis sampel tanah dilakukan pula di
laboratorium dengan analisis fisik dan kimia tanah sementara yang
dapat diamati hasil uji laboratorium pada Lampiran 3.6.

a b c

Gambar 5.2. Foto kegiatan pengambilan sampel tanah dan sidik cepat di
lapangan (a. identifikasi profil tanah; b dan c. sidik cepat kima tanah)

Sosialisasi kegiatan bersama masyarakat juga dilakukan untuk


mempermudah proses pembuatan peta tanah untuk menghimpun
partisipasi masyarakat dalam inventasisasi data. Masyarakat sebagai
pemiliki dan pengelola wilayah perlu dilibatkan dalam setiap kegiatan agar
dapat memberikan manfaat yang berkelanjutan. Kegiatan sosialisasi
dilakukan dengan metode Fokus Group Discussion (FGD) di lokasi
penelitian. Kegiatan sosialisasi berupa FGD yang pernah dilakukan dapat
diamati pada Lampiran 3.5.
Kemajuan laporan hibah kompetisi sudah mulai pada publikasi.
Publikasi nasional telah dilakukan dengan pengumpulan abstrak untuk
Pekan Ilmiah Tahunan Ikatan Geograf Indonesia (PIT IGI) 2016 yang
akan digelar di Kota Malang, Provinsi Jawa Timur. Publikasi
internasional pada jurnal internasiaonal sudah dimulai dengan
pembuatan abstrak yang pada tahap selanjutnya dapat dikirimkan.

29
Kegiatan pencapaian pada tahun pertama terus dilakukan untuk dapat
memperoleh hasil sesuai dengan tujuan.

30
5. BAB VI

RENCANA TAHAPAN BERIKUTNYA

Rencana kegiatan penelitian yang akan dilakukan pada tahapan


berikutnya meliputi :
1. Menyelesaikan tahapan-tahapan tahun pertama yang belum tuntas
dilakukan. Kegiatan tahun pertama yang belum dapat dilakukan adalah
pemotretan lokasi penelitian menggunakan UAV. Pada tahun pertama,
kegiatan ini belum dilakukan, karena adanya hambatan berupa faktor
cuaca. Oleh sebab itu, pemotretan menggunakan UAV sedianya akan
dilakukan pada tahun kedua penelitian.
2. Melakukan interpretasi geomorfologi berdasarkan peta indeks posisi
topografi untuk membuat peta bentuklahan skala 1:25.000 dan skala
1:10.000.
3. Membuat peta tanah skala 1:25.000 dan skala 1:10.000 berdasarkan
peta bentuklahan yang telah dibuat dan analisis hasil uji laboratorium.
4. Melakukan penjaringan aspirasi masyarakat. Kegiatan ini bertujuan
untuk melibatkan peran serta masyarakat lokal, meliputi pemikiran dan
pendapat masyarakat dalam upaya pemanfaatan lahan untuk
kesejahteraan.
5. Melakukan evaluasi kesesuaianlahan berbasis aspirasi masyarakat dan
berbasis pada analisis konservasi erosi-longsor-kekeringan.
6. Melakukan analisis cost-benefit atasrekomendasi pemanfaatan lahan.
7. Membuat jurnal dan melakukan publikasi nasional.

31
6. BAB VII

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan
1. Kegiatan pemetaan tanah semi detil skala 1:25.000 dan pemetaan
tanah detil skala 1:10.000 dengan penggunaan citra dengan
resolusi yang berbeda menghasilkan hasil peta bentuklahan yang
berbeda-beda.
2. Data lapangan dari hasil survei, sidik cepat, dan analisis
laboratorium menjadi dasar dalam analisis penentuan karakteristik
tanah untuk pemetaan tanah.

5.2. Saran
1. Pembuatan peta tanah detil dan semi detil perlu dianalisis dalam
menentukan dasar peta yang akan digunakan untuk tahap
selanjutnya, mengingat hasil interpretasi peta geomorfologi
menggunakan indeks posisi topografi yang berasal dari resolusi
citra.
2. Penggunaan teknologi terbaru menggunakan UAV dapat
digunakan sebagai acuhan dan juga tambahan informasi untuk
analisis pemetaan tanah detil dan semi detil.

32
7. DAFTAR PUSTAKA

Ali, R.R., and M.M. Kotb, 2010. Use of Satellite Data and GIS for Soil
Mapping and Capability Assessment. Nature and Science 2010:
8(8)
Bacic, I.L.Z., D.G. Rossiter & A.K. Bregt, 2003. The use of land evaluation
information by land use planners and decision-makers: a case
study in Santa Catarina, Brazil. Soil Use and Management (2003)
19, 12-18
Balkovič, J., Z. Rampašeková, V. Hutár , J. Sobocká and R. Skalský,
2013. Digital Soil Mapping from Conventional Field Soil
Observations. Soil & Water Res., 8, 2013 (1): 13–25
Birkeland, P.W., R.R. Shroba, S.F. Burns, A.B. Price, and P.J. Tonkin,
2003. Integrating soils and geomorphology in mountains—an
example from the Front Range of Colorado. Geomorphology 55
(2003) 329–344
Buol, S.W., R.J. Southard, R.C. Graham and P.A. McDaniel, 1997. Soil
Genesis and Classification. Sixth Edition. Wiley-Blackwell.
FAO, 2007. Land Evaluation: toward a revised framework. Food and
Agriculture Organisation, Rome.
Ghosh,S.,and T. Maji, 2011. Pedo-
Geomorphic analysis of soil loss in the lateritic region of
Rampurhat I block of Birbhum district, West Bengal and
Shikaripara block of Dumka district, Jharkhand. Int. Journal of
Environmental Sci. vol. 1, No. 7, 2011
Gool, van. D., P. Tille and G. Moore, 2005. Land Evaluation Standards for
Land Resource Mapping. Third edition, Resource Management
Technical Report 298 . Department of Agriculture, State of
Western Australia
Hadmoko, D.S., F. Lavigne, J. Sartohadi, P. Hadi and Winaryo, 2010.
Landslide hazard and risk assessment and their application in risk
management and landuse planning in eastern flank of Menoreh
Mountains, Yogyakarta Province, Indonesia. Nat. Hazard DOI
10.1007/s11069-009-9490-0
Huggett, R.J., 1998. Soil chronosequences, soil development, and soil
evolution: a critical review. Catena 32 1998 155–172
Jenny, H., 1941. Factors of Soil Formation: A Systems of Quantitative
Pedology. McGraw Hill Book Company.
Manchanda, M.L., M.Kudrat and A.K.Tiwari, 2002. Soil survey and
mapping using remote sensing. Tropical Ecology 43(1): 61-74,
2002

33
Sartohadi, J., 1997. Application of Remote Sensing and Geographic
Information Systems for Geomorphology-Soil Mapping: Western
Gunungkidul, Yogyakarta, Indonesia. AIT Thesis No. SR-97-28.
Asian Institute of Technology, Bangkok
Sartohadi, J., 1998. Geomorfologi Tanah Lembah Jolosutro, Piyungan,
Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Majalah Geografi Indonesia,
Sept. 1998 pp. 89-107
Sartohadi, J., 2001. Geomorphological Processes Analysis for Soil
Mapping using Remote Sensing and Georaphic Information
System Techniques: A Case Study in the Western Gunungkidul
Range Yogykarta, Indonesia. Dissertation of Doctor in Soil
Geography, Leopold Franzens University of Innsbruck-Austria
Sartohadi, J., 2004. Geomorfologi Tanah DAS Serayu, Jawa Tengah.
Majalah Geografi Indonesia 2004 XVIII (2)
Sartohadi, J., dan J. Saragih, 2004. Estimasi Rejim Kelembapan Tanah
Berdasarkan Analisis Curah Hujan, Suhu Udara, dan Bentuklahan
Tanah. Forum Geografi vol. 18 (2) 184-196
Sartohadi, J., dan R. Purwaningsih, 2004. Korelasi Spasial Antara Tingkat
PerkembanganTanah Dengan
Tingkat Kerawanan Gerakan Massa Di DAS Kayangan, Kabupate
nKulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta. Forum Geografi
Indonesia, 2004
Sartohadi, J., 2005. Pemanfaatan Informasi Kerawanan Gerakan Massa
Untuk Penilaian Kemampuan Lahan Di Sub-DAS Maetan, Daerah
Aliran Sungai Luk Ula, Propinsi Jawa Tengah. M a j a l a h
Geografi Indonesia Edisi Maret 2005
Sartohadi, J., 2008. The landslide Distribution in Loano Sub District,
Purworejo District, Central Java Province, Indonesia. Forum
Geografi Volume 22, No.22 Desember 208:129-144
Sartohadi, J., G. Samodra, and Sri Hadmoko D., 2010. Landslide
Susceptibility Assessment using Heuristic Statistically Method in
Kayangan Catchment, Kulon Progo, Yogyakarta-Indonesia.
International Journal of Geoinformatics vol. 6 (3) September 2010.
Sartohadi, J., 2012. Derajad Usikan Aktifitas Manusia Pada Satuan-satuan
Bentuklahan di Kecamatan Loano, Kabupaten Purworejo, Jawa
Tengah. Laporan Penelitian Hibah Fakultas Geografi UGM.
Yogyakarta
Sartohadi, J., 2013. Genesis Tanah Super Tebal dan Kaitannya dengan
Longsor Dalam di Hulu DAS Bogowonto-Jawa Tengah. Laporan
Penelitian Hibah Fakultas Geografi UGM. Yogyakarta
Sartohadi, J., Suratman, Jamulya, dan N.I.S. Dewi, 2014. Pengantar
Geografi Tanah. Cetakan ke 3. Pustaka Pelajar, Yogyakarta. ISBN
978-602-229-119-0

34
Schoeneberger, P.J., D.A. Wysocki, E.C. Benham, and W.D. Broderson
(editors), 2002. Field book for describing and samping soils.
Version 2.0. Natural Resources Conservation Service, National
Soil Survey Center, Lincoln, N.E.
Soil Survey Staff, 1993. Soil Survey Manual. USDA-Washington DC.
Soil Survey Staff. 2014. Keys to Soil Taxonomy, 12th ed. USDA-Natural
Resources Conservation Service, Washington, DC.
Verdoodt, A., and E. Van Ranst, 2003. Land Evaluation for Agricultural
Production in the Tropics: A Large-Scale Land Suitability
Classification for Rwanda. Published by the Laboratory of Soil
Science, Ghent University Krijgslaan 281 S8, B-9000 Gent,
Belgium
Walker, L.R., D.A. Wardle, R. D. Bardgett and B.D. Clarkson, 2010. The
use of chronosequences in studies of ecological succession and
soil development. Journal of Ecology 2010, 98, 725–736
Wambeke, van. A., and T.R. Forbes, 1986. Guidelines for Using “Soil
Taxonomy” in the Names of Soil Map Units. SMSS Technical
Mogograph Nr. 10. USDA. US Govt. Printing Office- Washington
DC.
Weiss, A. 2001. Topographic Position and Landform Analysis. Poster
Presentation, ESRI user Conference. San Diego Available, by
permission from the author, at
http://www.jennessent.com/arcview/TPI_Weiss_poster.htm.
Werban, U., H. Bartholomeus P. Dietrich G. Grandjean and S. Zacharia,
2013. Digital Soil Mapping: Approaches to Integrate Sensing
Techniques to the Prediction of Key Soil Properties. Vadose Zone
Open Access Journal doi:10.2136/vzj2013.10.0178
Young, A., 1987. Soil productivity, soil conservation and land
evaluation. Agroforestry Systems vol. 5, Issue 3, pp 277-291
Zink, J.A., 2013. Geopedology: Elements of geomorphology for soil and
geohazard studies; ITC Special Lecture Notes Series. Faculty of
Geo-Information Science and Earth Observation Enschede, The
Netherlands. ISBN: 978-90-6164-352-4
Zhu, A.X., 2000. Mapping Soil Landscape as Spatial Continua: The Neural
Network Approach. Water Resouces Reserach vol. 36 No. 3 page
663-677
Zhu, A.X., B. Hudson, J. Burt, K. Lubich, and D. Simonson, 2001. Soil
Mapping Using GIS, Expert Knowledge, and Fuzzy Logic. Soil
Sci. Soc. Am. J. 65:1463–1472.

35
LAMPIRAN 1.
INSTRUMEN

No. Gambar Alat Nama Alat Fungsi Alat

1.

Untuk mengukur pH
pH stick
pada suatu larutan.

2.

Untuk menentukan
Casa Grande
batas cair tanah.

3.

Untuk menghaluskan
Lumpang porselin
contoh tanah

4.

Untuk mengeringkan
zat – zat kimia
Eksikator
maupun tanah
setelah dioven.

L–1
5.

Untuk menyaring
sampel tanah dengan
Saringan mikron
ukuran 0,5 mm dan 2
mm.

6.

Sebagai tempat tanah


atau larutan yang
Cawan penguap
akan dikeringkan
dalam oven.

7.

Menimbang tanah
ataupun alat yang
Timbangan analitik
akan digunakan
untuk analisis.

8. .

Untuk analisa
Picnometer kerapatan butir tanah

9.

Untuk analisis
Colet dan spatel
konsistensi tanah.

L–1
10.

Untuk mengukur
Gelas ukur
volume larutan.

11.

Untuk mengeringkan
Oven
tanah.

12.

Untuk mengambil
Pipet larutan dengan
volume tertentu.

13.

Untuk analisa indeks


Suntikan
cole

14.

Untuk membantu
Corong menuangkan larutan
agar tidak tumpah.

L–1
15.

Untuk wadah sampel


Gelas arloji yang akan ditimbang
di timbangan analitik.

16.

Untuk melakukan
Seperangkat alat analisis permeabilitas
permeabilitas tanah

17. Untuk mengangkat


botol dan cawan
penguap dari oven,
Penjepit botol dan
ketika cawan dan
cawan penguap
botol itu masih
suhunya masih
tinggi.
18.

Sebagai wadah
aquades.
Botol pemancar

19.

Untuk analisis batas


Papan kaca
gulung.

L–1
20.

Untuk analisi batas


Papan kayu
berubah warna.

21.

Untuk analisis indeks


Papan porselen
cole.

L–1
LAMPIRAN 2.

PERSONALIA TENAGA PENELITI BESERTA KUALIFIKASINYA

Alokasi
Instansi Bidang
No Nama/NIDN Waktu Uraian tugas
Asal Ilmu
(jam/minggu)

Prof. Dr.
Koordinasi tim,
rer.nat. Fakultas
Geografi
1 Junun Geografi 7 Spesialist survei
Tanah
Sartohadi, UGM dan klasifikasi
M.Sc. tanah

Spesialist
pemetaan,
terapan Sistem
Informasi
Dr. Guruh Fakultas
SIG dan Geografis dan
2 Samodra, Geografi 6
PJ Penginderaan
M.Sc. UGM
Jauh; membantu
ketua tim dalam
hal survei di
lapangan
Spesialist
evaluasi lahan
dan konservasi
Dr. M.
Fakultas lingkungan,
Anggri Konserva
3 Geografi 7 membantu ketua
Setiawan, si Tanah
UGM tim sosialisasi
M.Si.
hasil survei dan
analisis
laboratorium

L–2
LAMPIRAN 3.
FORMULIR EVALUASI ATAS CAPAIAN LUARAN KEGIATAN

Ketua : Prof. Dr. rer.nat. Junun Sartohadi, M.Sc.


Perguruan : Universitas Gadjah Mada
Tinggi
Judul : Pendekatan Pedogeomorfologi untuk Pemetaan Tanah dengan Memanfaatkan
Teknologi Pemetaan Terkini di Sub-DAS Kodil, DAS Bogowonto, Jawa Tengah
Waktu Kegiatan : tahun ke-1dari rencana 2 tahun

Luaran yang direncanakan dan capaian tertulis dalam proposal awal:

No Luaran yang Direncanakan Capaian


- Melakukan interpretasi geomorfologi berbasis citra SRTM,
citra TanDEM X dan citra TerraSAR
- Pembuatan Peta Indeks Posisi Topografi skala 1:25.000
berbasis citra SRTM, TanDEM X dan TerraSAR
1 Peta Tanah Skala 1:25.000 - Melakukan survei tanah skala detil dan semi detil
- melakukan pengambilan contoh material batuan dasar,
bahan induk tanah, dan tanah untuk analisis fisik dan kimia
di lapangan dan di laboratorium.
- Menyajikan hasil survei tanah ke dalam peta-peta
sementara
- Melakukan interpretasi geomorfologi berbasis citra SRTM,
citra TanDEM X dan citra TerraSAR
- Pembuatan Peta Indeks Posisi Topografi skala 1:10.000
berbasis citra SRTM, TanDEM X dan TerraSAR
2 Peta Tanah Skala 1:10.000 - Melakukan survei tanah skala detil dan semi detil
- melakukan pengambilan contoh material batuan dasar,
bahan induk tanah, dan tanah untuk analisis fisik dan kimia
di lapangan dan di laboratorium.
- Menyajikan hasil survei tanah ke dalam peta-peta
sementara
3 Publikasi nasional - Mengumpulkan abstrak di PIT IGI 2016
- Sosialisasi kegiatan bersama masyarakat di lokasi
4 Sosialisasi melalui FGD
penelitian
5 Jurnal internasional - Pembuatan abstrak
- Pembuatan peta-peta awal
- Melakukan survei lapangan dan pengambilan sampel
6 Laporan sementara
- Melakukan uji laboratorium untuk sampel yang telah
diambil
7 Laporan akhir - Pembuatan laporan kemajuan penelitian
CAPAIAN (Lampirkan bukti-bukti luaran dari kegiatan dengan judul yang tertulis di atas,
bukan dari kegiatan penelitian dengan judul lain sebelumnya)

L–3
LAMPIRAN BUKTI PENDUKUNG
FORMULIR EVALUASI ATAS
CAPAIAN LUARAN KEGIATAN

L–3
Lampiran Bukti Pendukung
3.1.a. Peta Indeks Posisi Topografi Skala 1:25.000 menggunakan citra
SRTM
b. Peta Indeks Posisi Topografi Skala 1:25.000 menggunakan citra
TanDEM X
c. Peta Indeks Posisi Topografi Skala 1:25.000 menggunakan citra
TerraSAR
3. 2.a. Peta Indeks Posisi Topografi Skala 1:10.000 menggunakan citra
SRTM
b. Peta Indeks Posisi Topografi Skala 1:10.000 menggunakan citra
TanDEM X
c. Peta Indeks Posisi Topografi Skala 1:10.000 menggunakan citra
TerraSAR
3.3. Foto distribusi sampel tanah
3.4.Tabel survei tanah untuk pengambilan sampel tanah, material dasar
dan bahan induk tanah serta analisis di lapangan
3.5.Foto-foto kegiatan sosialiasi bersama masyarakat di lokasi penelitian
3.6.Abstrak untuk publikasi
3.7.Data hasil uji laboratorium

L–3
Lampiran 3.1.a.

Lampiran 3.1.b.

Gambar L.3.1. Peta Indeks Posisi Topografi Skala 1:25.000 berbasis citra SRTM
L–3
L–3
Lampiran 3.1.c.

Lampiran 3.2.a.

L–3
Gambar L.33. Peta Indeks Posisi Topografi Skala 1:25.000 berbasis citra TerraSAR
L–3
Lampiran 3.2.c.

L–3
Gambar L.3.5. Peta Indeks Posisi Topografi Skala 1:10.000 berbasis citra TanDEM X
L–3
Lampiran 3.3.

Gambar L.3.7. Foto Lokasi Persebaran Sampel


L–3
Lampiran 3.4. Tabel Survei Tanah untuk Pengambilan Sampel
Sudut Hadap
Kod Batuan Bahan Induk Penggunaan
X Y Z Morfologi Leren Lereng Bentuk Lereng Macam Tanaman
e Dasar Tanah Lahan
g NW
Jagung (puncak),
Material singkong (teras
916635 Cembung Tidak Kebun
H1 396493 550 Puncak bukit 0 181 sumbing (abu bawahnya), pisang,
9 berteras terlihat campuran
vulkanik) sengon, kelapa,
talas
Material
916631 Lereng atas Tidak sumbing (abu Kebun
H2 396474 535 30 165 Cekung Bambu
5 perbukitan terlihat vulkanik) yang bambu
longsor
Material Singkong, talas,
916613 Lereng atas Cembung Tidak Kebun
H3 396481 497 25 115 sumbing (abu pisang, sengon,
5 perbukitan berteras terlihat campuran
vulkanik) kelapa
Material Duku, langsep,
916591 Lereng bawah Cembung Tidak Kebun
H4 396563 465 20 120 sumbing (abu mahoni, talas,
6 perbukitan berteras terlihat campuran
vulkanik) sengon
Breksi tuff Material Padi, kelapa,
916589 Lereng kaki Sawah tadah
H5 396585 459 5 185 Datar berteras (sumbing sumbing (abu sengon, rumput
3 perbukitan hujan
tua) vulkanik) gajah
E1 396357 916519   Puncak bukit     Cembung Tidak   Kebun Sengon, melinjo,

L–3
9 terlihat campuran pisang
Kopi, bambu,
916519 Lereng atas Tidak Kebun
E2 396556 462 15 79 Cembung   rimbang, rambutan,
7 perbukitan terlihat campuran
jati
916514 Lereng bawah Kebun Bambu, melinjo,
E3 396600 450 20 30 Cembung    
8 perbukitan campuran sengon, salak, kopi

Sudut Hadap
Kod Batuan Bahan Induk Penggunaan
X Y Z Morfologi Leren Lereng Bentuk Lereng Macam Tanaman
e Dasar Tanah Lahan
g NW
916516 Lereng kaki Sawah tadah
E4 396638 440   92 Datar     Padi, singkong
1 perbukitan hujan
916518 Kebun Bambu, sengon,
E5 396710 446 Puncak bukit 35 265      
4 campuran salak
Sengon, kelapa,
916355 Cembung Tidak Pelapukan Kebun
A1 396987 474 Puncak bukit 150 65 talas, bambu,
0 berteras terlihat batuan dasar campuran
rumput
Talas, kelapa,
916361 Lereng atas Sisipan Pelapukan Kebun
A2 397030 456 9 5 Cembung sengon, duku,
0 perbukitan diorit batuan dasar campuran
pisang
Singkong, pisang,
916356 Lereng bawah Material Pelapukan Kebun
A3 397187 442 7 90 Cembung kelapa, bambu,
4 perbukitan sumbing batuan dasar campuran
duku
A4 397219 916361 437 Lereng bawah 3 276 Datar Material Pelapukan Kebun Sengon, talas,

L–3
campuran
singkong, pisang,
1 perbukitan manoreh batuan dasar dan
kelapa
permukiman
916363 Lereng atas Tidak Kebun
A5 397266 463 31 230 Cekung   Bambu, durian
7 perbukitan terlihat campuran
A6 916376 Kebun Kopi, sengon,
397353 490 Puncak bukit 2   Dataran    
Kb 0 campuran bambu, kelapa, jati
A6 916372 Kebun
397352 490 Puncak bukit 2   Dataran     Sengon, rumput
SR 0 sengon
916442 Cembung Pelapukan Kebun Singkong, kelapa,
D1 397139 457 Puncak bukit 5 345 Diorit
6 berteras batuan dasar campuran talas, cleresede

Sudut Hadap
Kod Batuan Bahan Induk Penggunaan
X Y Z Morfologi Leren Lereng Bentuk Lereng Macam Tanaman
e Dasar Tanah Lahan
g NW
Talas, singkong (di
bekas longsor),
916445 Lereng atas Cembung Pelapukan Kebun
D2 397204 454 18 100 Diorit sengon, duku,
1 perbukitan berteras batuan dasar campuran
kelapa, waru,
pisang
D3 397315 916438 432 Lereng kaki 2 212 Datar berteras Material Pelapukan Sawah tadah Padi

L–3
manoreh
ditumpangi
7 perbukitan batuan dasar hujan
material
sumbing
Singkong, empon-
916447 Lereng bawah Cembung Tidak empon, sengon,
D4 397515 457 14 304   Tegalan
3 perbukitan berteras terlihat kelapa, pisang,
duku
916442 Lereng atas Cembung Tidak Kebun Sengon, pisang,
D5A 397567 474 22 332  
8 perbukitan berteras terlihat campuran kelapa, jati, talas
Alterasi
916443 Lereng atas Pelapukan Kebun Sengon, pisang,
D5B 397567 473 22 335 Cekung berteras breksi
5 perbukitan batuan dasar campuran kelapa, jati, talas
andesit
916442 Kebun Sengon, kelapa,
D6 397669 471 Igir perbukitan 8 314 Cekung berteras    
1 campuran pisang, singkong

L–3
Lampiran 3.5. Foto-foto Kegiatan Sosialisasi bersama Masyarakat

Gambar L.3.8. Kegiatan sosialisasi yang melibatkan tokoh masyarakat

Gambar L.3.9. Sosialisasi bersama Kelompok Wanita Tani Dusun Salakan, Desa
Wonogiri,

Gambar L.3.10. Pengenalan lokasi peneltian oleh tim akademisi.

L–3
LAMPIRAN 4.

F1 UNIVERSITAS GADJAH MADA


DIREKTORAT PENELITIAN
Formulir Pernyataan Invensi
(Invention Disclosure Form)
Formulir ini digunakan untuk melaporkan invensi yang dibuat oleh civitas
akademik Universitas Gadjah Mada (UGM) atau siapa saja yang menggunakan
fasilitas dan berkolaborasi dengan civitas akademik UGM. Inventor di UGM akan
terikat oleh aturan UGM tentang Paten.

Mohon Formulir di bawah ini diisi di tempat yang telah ditentukan.


I. INFORMASI INVENTOR

Alamat Surat Menyurat Inventor


Nama : …………………………………………………………
Pekerjaan : …………………………………………………………
Alamat Kantor : ………………………………………………………..
Alamat Rumah : …………………………………………………………
Telp Kantor : …………………………………………………………
Telp Rumah : …………………………………………………………
No. Handphone : …………………………………………………………
Email : …………………………………………………………

Inventor
Nama : …………………………………………………………
Pekerjaan : …………………………………………………………
Alamat Kantor : …………………………………………………………
Alamat Rumah : …………………………………………………………
Telp Kantor : …………………………………………………………
Telp Rumah : …………………………………………………………
No. Handphone : …………………………………………………………
Email : …………………………………………………………
Kewarganegaraan : …………………………………………………………
Paraf : …………………………………………………………
Tanggal : …………………………………………………………

Inventor
Nama : …………………………………………………………
Pekerjaan : …………………………………………………………
Alamat Kantor : …………………………………………………………
Alamat Rumah : …………………………………………………………
Telp Kantor : …………………………………………………………
Telp Rumah : …………………………………………………………
No. Handphone : …………………………………………………………
Email : …………………………………………………………

L–4
Kewarganegaraan : …………………………………………………………
Paraf : …………………………………………………………
Tanggal : …………………………………………………………

Lampirkan tambahan lembar identifikasi inventor yang diperlukan

II. INVENSI
A. Invensi meliputi:

 Teknologi baru  Materi baru


 Proses baru  Organisme baru
 Alat baru  Desain baru
 Metodologi baru  ……….

B. Judul Invensi : Judul harus jelas dan tidak rahasia.


……………………………………………………………….
C. Penjelasan Singkat Invensi: Jika diperlukan dapat melampirkan naskah,
PowerPoint, poster atau abstrak sebagai informasi pendukung.
……………………………………………………………….
D. Sumber dana penelitian : jika lebih dari satu sumber, harap disebutkan
……………………………………………………………….
E. Apakah ada pihak ketiga yang terlibat dalam penelitian ini, seperti
melalui perjanjian kerjasama penelitian yang disponsori atau
konsultasi?*
tidak
iya, sebutkan …………..
F. Apakah penelitian ini berkolaborasi dengan peneliti di perguruan tinggi,
lembaga atau perusahaan lain?*
tidak
iya, sebutkan …………..
G. Apakah invensi telah diungkapkan kepada publik atau ditawarkan untuk
dijual?*
tidak
iya, Jika demikian, kapan, di mana, dan untuk siapa ? ............

H. Apakah ada tanggal yang direncanakan pengungkapan invensi ini


melalui publikasi, display atau penjualan?*
tidak
iya, Jika demikian, kapan, di mana, dan untuk siapa? ………..

Versi PERTAMA formulir ini dibuat pada tanggal…..bulan………tahun….

*Mohon diberi tanda silang

L–4

Anda mungkin juga menyukai