KEGIATAN
PENELITIAN KOMPETENSI
DIBIAYAI OLEH:
DIREKTORAT RISET DAN PENGABDIAN MASYARAKAT
DIREKTORAT JENDERAL PENGUATAN RISET DAN PENGEMBANGAN
KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI
1
2
RINGKASAN
Peta tanah merupakan salah satu peta sumberdaya yang saat ini
sangat dibutuhkan untuk mendukung program nasional Indonesia mandiri
pangan. Peta tanah yang ada saat ini sebagian besar merupakan peta
tanah bagan yang dibuat berdasarkan pendekatan teoritis dan bukan
berbasis pada hasil survei. Peta tanah hasil survei memerlukan biaya
tinggi dan waktu yang lama untuk proses pembuatannya. Peta tanah
dalam berbagai skala dapat dibuat dengan memanfaatkan teknologi
pemetaan terkini hingga lebih cepat diselesaikan, akurat hasilnya, serta
murah dalam pembiayaan.
Sub-DAS Kodil merupakan bagian hulu dari DAS Bogowonto yang
mempunyai susunan satuan- satuan bentanglahan kompleks. Secara
litologis tersusun atas batuan-batuan breksi: vulkanis berumur Tersier
tengah, batu pasir berumur Tersier atas, beberapa seri endapan
Gunungapi Sumbing Tua, dan beberapa seri endapan Gunungapi
Sumbing Muda. Secara morfologis, wilayah kajian tersusun atas
perbukitan terjal, perbukitan miring, lereng bukit dengan bentuk dan
panjang bervariasi, cekungan antar bukit dengan berbagai variasi ukuran,
serta dataran tinggi. Sub-DAS Kodil telah terusik oleh berbagai aktivitas
masyarakat dengan berbagai tingkatan. Kompleksnya kondisi
bentanglahan Sub-DAS Kodil membuat wilayah ini cocok untuk dijadikan
model pemetaan tanah.
Tahap awal dalam pembuatan peta tanah adalah pembuatan peta
bentuklahan. Pemetaan bentuklahan mencakup pemahaman tentang
genesis, sehingga mampu digunakan untuk interpretasi asal muasal
bahan induk tanah. Kajian pemetaan bentuklahan dapat dilakukan dalam
tingkatan skala yang berbeda dengan memanfaatkan teknologi
penginderaan jauh berupa citra dengan resolusi yang berbeda-beda.
Dalam penelitian ini, citra yang digunakan adalah citra SRTM, citra
TanDEM X dan citra TerraSAR untuk skala pemetaan 1:25.000 dan skala
1:10.000. Tujuan dari penggunaan citra yang berbeda-beda adalah untuk
mengetahui citra apa yang paling baik untuk digunakan dalam pemetaan
tanah skala detil dan semi detil.
Hasil yang telah dicapai untuk saat ini meliputi pembuatan peta
posisi topografi skala detil dan semi detil serta melakukan survei tanah
untuk pengambilan sampel. Peta posisi topografi selanjutnya akan
dianalisis untuk pembuatan peta bentuklahan sebelum akhirnya diolah
menjadi peta tanah, dikombinasikan dengan hasil survei lapangan dan uji
laboratorium.
3
PRAKATA
Penulis
4
DAFTAR ISI
RINGKASAN................................................................................................3
PRAKATA.....................................................................................................4
DAFTAR ISI..................................................................................................5
DAFTAR TABEL...........................................................................................6
DAFTAR GAMBAR......................................................................................7
DAFTAR LAMPIRAN...................................................................................8
BAB I PENDAHULUAN................................................................................9
1.1. Latar Belakang...................................................................................9
1.2. Permasalahan Penelitian.................................................................11
BAB II TINJAUAN PUSTAKA....................................................................12
2.1. Pemetaan Tanah..............................................................................12
2.2. Pendekatan Pemetaan Tanah.........................................................14
2.3. Interpretasi Hasil Survei Tanah........................................................15
2.4. Rekam Jejak Penelitian Sebelumnya..............................................17
BAB III TUJUAN DAN MAFAAT PENELITIAN..........................................20
3.1. Tujuan..............................................................................................20
BAB IV METODE PENELITIAN.................................................................22
4.1. Pembuatan Peta Posisi Topografi...................................................22
4.2. Pengambilan Sampel Tanah............................................................23
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN..........................................................24
BAB VI RENCANA TAHAPAN BERIKUTNYA...........................................28
BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN........................................................29
5.1. Kesimpulan......................................................................................29
5.2. Saran................................................................................................29
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................30
5
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1. Tahun Periode Penelitian, Permasalahan Penelitian, dan
Tujuan Penelitian......................................................................20
Tabel 4.1. Kriteria Posisi Topografi............................................................22
Tabel 5.1. Resolusi Citra untuk Pemetaan Tanah.....................................25
6
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1. Peta Jalan Penelitian Sebelumnya oleh Sartohadi dkk.
(1997-2015)..........................................................................19
Gambar 5.1. Foto kegiatan pengambilan sampel tanah dan sidik cepat di
lapangan (a. identifikasi profil tanah; b dan c. sidik cepat
kima tanah)...........................................................................27
7
DAFTAR LAMPIRAN
LAMPIRAN 1. Instrumen.........................................................................L - 1
8
9
1. BAB I
PENDAHULUAN
10
itu, survei tanah melibatkan berbagai bidang keahlian di luar keahlian
tanah untuk dapat membantu dalam hal interpretasi tanah.
Ada dua pendekatan di dalam pemetaan tanah, yaitu
pendekatan analitik dan sintetik. Pendekatan analitik untuk pemetaan
tanah dilakukan dengan cara melakukan pengamatan tanah pada
setiap luasan 0.4 Cm2 pada peta (Wambeke and Forbes, 1986)
untuk kemudian dilakukan penarikan batas-batas satuan tanah
menurut hasil pengelompokkan titik-titik pengamatan. Pendekatan
sintetik dalam pemetaan tanah dijalankan dengan menarik batas-
batas satuan tanah sebelum survei lapangan. Penarikan batas
satuan-satuan tanah didasarkan pada analisis bentanglahan atas
parameter-parameter yang secara teoritik berpengaruh kuat
terhadap proses pembentukan tanah.
Peta tanah yang dibuat melalui pendekatan analitik dengan
sendirinya perlu biaya tinggi dan waktu yang panjang, sementara itu
kebutuhkan akan adanya peta tanah dirasakan sangat mendesak.
Berlakunya UU No 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang
kemudian diikuti PP No. 8 Tahun 2013 tentang Ketelitian Peta
Rencana Tata Ruang yang ada dibawahnya mengisyaratkan
penyusunan tata ruang perlu masukan peta tanah. Tata ruang dibuat
pada berbagai skala mulai dari skala nasional, provinsi, kabupaten,
kecamatan, dan desa sehingga memerlukan berbagai masukan peta,
salah satunya peta tanah, yang skalanya sesuai. Saat ini,
ketersediaan peta tanah untuk skala nasional sudah ada, namun
untuk skala provinsi, kabupaten, hingga skala yang lebih detil belum
ada.
Peta tanah yang dibuat melalui pendekatan sintetik
memungkinkan untuk diselesaikan dalam waktu yang relatif lebih
singkat dan biaya yang lebih murah (Ghosh and Maji, 2011). Namun
demikian, pendekatan sintetik masih diragukan keakuratannya untuk
pembuatan peta berskala semi-detil dan detil. Keraguan para ahli
11
tanah didasarkan pada kenyataan bahwa pada setiap satuan
delineasi hampir selalu mengandung lebih dari satu-satuan tanah.
Heterogenitas satuan tanah yang ada pada setiap satuan delineasi
peta tanah sangat dimungkinkan karena peta dasar dan/atau citra
yang digunakan kurang sesuai skalanya. Lebih daripada itu,
heterogenitas tanah pada setiap satuan delineasi peta tanah juga
dimungkinkan karena pendekatan dan teknik interpretasi
bentanglahan yang kurang sesuai.
12
1. BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
13
faktor pembatas untuk pemanfaatan yang setara dan/atau
mempunyai potensi pemanfaatan yang setara.
Kesadaran bahwa persebaran satuan-satuan tanah tidaklah
bersifat acak namun lebih bersifat selaras dengan persebaran
bentuklahan didapatkan setelah pengalaman panjang melakukan
pemetaan tanah pada tingkat detil di Amerika Serikat (Buol et al.,
1997). Persebaran satuan tanah menurut satuan bentuklahan bukan
berarti bahwa setiap satuan bentuklahan terselimuti oleh satuan
tanah yang sama. Setiap satuan bentuklahan yang dapat dibatasi
secara konsisten melalui interpretasi peta, citra penginderaan jauh,
maupun pengkajian di lapangan, hampir selalu mempunyai lebih dari
satu-satuan tanah. Komposisi satuan-satuan tanah di dalam setiap
satuan bentuklahan yang dapat ditarik batas-batasnya pada peta
merupakan informasi penting pada peta tanah, selain nama satuan
tanah. Penghitungan komposisi satuan-satuan tanah pada setiap
satuan delineasi pada peta tanah menjadi alasan utama mengapa
peta tanah seolah-olah harus dipetakan melalui pendekatan analitik
(Wambeke and Forbes, 1986; Zhu, 2000).
Ada tiga jenis satuan peta tanah (SPT) yang pembagiannya
didasarkan atas komposisi satuan-satuan tanah pada satuan
delineasi bentuklahan, yaitu: konsosiasi, asosiasi, dan kompleks
(Soil Survey Staff, 1993). Secara garis besar, SPT konsosiasi
didominasi oleh satu satuan tanah sehingga di dalam penamaan
hanya muncul satu nama satuan tanah. SPT asosiasi dan/atau
kompleks mempunyai dominansi satuan tanah tertentu sehingga
biasanya dimunculkan lebih dari satu nama satuan tanah. Satuan-
satuan tanah yang muncul sebagai nama SPT asosiasi dan/ atau
kompleks biasanya mempunyai kisaran komposisi antara 30-40%. Di
dalam setiap SPT selalu saja masih terdapat satuan-satuan tanah
yang tidak muncul sebagai nama SPT dan mempunyai persentase
14
<10%. Satuan-satuan tanah yang tidak muncul sebagai nama SPT
disebut sebagai satuan tanah pengotor (inklusi).
15
yang paling mungkin diterapkan adalah Toposekuen. Vegetasi
penutup lahan mudah diubah-ubah oleh masyarakat sesuai dengan
yang dikehendakinya. Iklim sulit dipetakan karena dinamikanya
berlangsung cepat dan distribusinya tidak mudah diindera oleh
manusia, perlu titik pengamatan berjumlah besar dan jangka waktu
panjang pengamatan. Persebaran bahan induk tanah tidak pula
selalu dapat tercermin melalui perbedaan satuan litologi karena
dapat saja bahan induk tanah merupakan hasil pengendapan dari
lapukan batuan lain di tempat lain. Unsur waktu tidak tampak
persebarannya di permukaan bumi (Walker et al., 2010).
Pendekatan pedogeomorfologi merupakan pengembangan
lebih lanjut dari pendekatan Toposekuen. Pendekatan toposekuen
pada awalnya berkembang menjadi pendekatan bentanglahan yang
bermakna lebih luas daripada sekedar penggal per penggal lereng.
Pendekatan bentanglahan lebih lanjut berkembang menjadi
pendekatan geomorfologi yang menyatukan satuan-satuan
bentanglahan dengan satuan litologi/batuan dasar dan proses-
proses eksogenik yang bekerja pada satuan bentanglahan.
Pendekatan geomorfologi lebih umum digunakan pada pemetaan
tanah semi-detil dan atau tinjau mendalam. Pendekatan
pedogeomorfolgi berbeda dengan pendekatan geomorfologi dalam
hal penyatuan informasi satuan bentuklahan, batuan dasar, material
penutup permukaan, dan unsur lain yang ada dipermukaan bumi
baik yang bersifat relatif statis maupun dinamis (Birkeland et al.,
2003).
16
sumberdaya lahan dapat berlangsung secara lestari. Peta tanah
harus diinterpretasikan oleh para ilmuwan agar dapat dimanfaatkan
secara langsung oleh berbagai pihak, untuk itu maka tampilan peta
tanah harus disesuaikan dengan berbagai kebutuhan pengguna (Soil
Survei Staff, 1993; FAO, 2007).
Interpretasi peta tanah yang paling umum dikerjakan adalah
ditujukan untuk pemanfaatan bidang pertanian, perkebunan, dan
kehutanan. Interpretasi peta tanah dilakukan dengan mencocokan
hasil-hasil pengukuran karakteristik tanah dengan persyaratan
tumbuh tanaman sehingga dapat memberikan hasil yang optimum.
Interpretasi peta tanah juga dapat dijadikan dasar penyusunan
rekomendasi perbaikan karakteristik lahan agar lebih mendekati dan
atau memenuhi persyaratan tumbuh tanaman (Verdoodt and van
Ranst, 2003).
Interpretasi peta tanah dapat pula dikerjakan untuk tujuan
interpretasi pemanfaatan lahan non-pertanian. Interpretasi tanah
dalam konteks non-pertanian walaupun secara teknis mirip caranya
dengan interpretasi tanah untuk pertanian, namun mempunyai dasar
filosofis yang berbeda. Interpretasi tanah untuk kegiatan non-
pertanian bukan selalu bermakna produktivitas sebagaimana terjadi
pada tanaman, namun lebih bertumpu pada aspek kemudahan,
kenyamanan, keawetan, keselamatan atas investasi yang ditanam
pada suatu lahan. Pemanfaatan lahan untuk non-pertanian selalu
bergantung pada aspek teknologi, ekonomi, estetika dan kultural
yang dimiliki oleh masyarakat (Bacik et al., 2003).
Interpretasi tanah pada saat ini lebih bernuasa konservasi
lingkungan seiring dengan semakin kecangnya isu kerusakan
lingkungan. Konservasi dalam arti luas tidak selalu bermakna
perlindungan atas satuan-satuan wilayah yang mudah mengalami
degradasi lingkungan, tetapi lebih bermakna pada produktivitas yang
optimum dan lestari. Dasar pertimbangan untuk mencari
17
produktivitas lahan secara optimum dan lestari sangat kompleks dan
masih terus dicari formula yang tepat namun mudah dilaksanakan di
lapangan (Young, 1987).
18
dikembangkan pada tahun 1998 diuji cobakan pada satuan-satuan
bentuklahan yang lebih beragam. Satuan-satuan bentuklahan lereng
kaki perbukitan, dataran aluvial kaki gunungapi, perbukitan karst,
perbukitan breksi, perbukitan breksi terusik intrusi, dan perbukitan
batupasir berlapis dikaji secara mendalam gensis bentanglahan dan
tanahnya. Teknis GIS juga diterapkan untuk mendekati penghitungan
komposisi satuan-satuan tanah pada setiap satuan delineasi
bentuklahan. Pada penelitian tahun 2001 juga diuji cobakan
pendekatan geomorfologi untuk pemetaan tanah pada skala 1 :
5.000, 1: 25.000, dan 1 : 50.000. Secara statistik terbukti bahwa
pendekatan geomorfologi dapat diterapkan dengan baik dan
mempunyai akurasi berkisar antar 82 – 87%.
Penelitian berikutnya bersifat interpretasi bentuklahan untuk
menghasilkan informasi karakteristik tanah tertentu (Sartohadi dan
Saragih, 2004), informasi tanah dalam kaitannya dengan proses
longsor (Sartohadi dan Purwaningsih, 2004). Penelitian yang
berkaitan dengan geomorfologi dan tanah terus serta keterkaitannya
dengan ancaman bencana intesif dilakukan sejak maraknya bencana
tsunami di NAD, gempa di Yogyakarta, dan Erupsi Gunungapi
Merapi dan Kelud (Sartohadi, 2005; Sartohadi, 2008; Sartohadi dkk,
2010; Hadmoko et al., 2010)
Sartohadi (2012) khusus melakukan kajian bentuklahan dan
hubungannya dengan aktivitas manusia di Loano. Penelitian ini
ditujukan untuk mendalami mengenai peranan satuan-satuan yang
sifatnya alami dalam kejadian longsor. Penelitian-penelitian
sebelunya menunjukkan bahwa pengaruh aktifitas manusia lebih
dominan terhadap kejadian longsor. Penelitian mencoba mengurai
permasalahan agar menjadi lebih sederhana dari sudut pemetaan
untuk analisis ancaman longsor. Pada satuan-satuan bentuklahan
yang telah diidenfifikasi sebagai satuan wilayah rawan longsor
mempunyai intensitas longsor yang lebih tinggi daripada satuan-
19
satuan bentuklahan yang kurang rawan longsor pada klas derajad
usikan aktifitas manusia yang sama.
Sartohadi (2013) melakukan kajian mengenai genesis tanah
supertebal di DAS Bogowonto hulu dan mengkaitannya dengan
persebaran longsor dalam (deep seated landslide). Tanah supertebal
didefinisikan sebagai tanah yang mempunyai ketebalan > 2 m. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa tanah-tanah supertebal mempunyai
genesis yang kompleks yang merupakan percampuran dari proses-
proses teknonik dan vulkanik pada masa Tersier, pelapukan dan
vulkanisme pada masa Quarter. Longsor yang tebal dapat saja
bersifat menggantung pada zone tanah, dan dapat pula mencakup
seluruh profil tanah supertebal hingga batuan dasar.
Sartohadi dkk (2015) akan melakukan penelitian di Sub DAS
Jebol dengan tema konservasi wilayah multi-rawan erosi, longsor,
dan kekeringan. Tema konservasi yang diangkat berlatar-belakang
bahwa ada kontradiksi antara konservasi erosi-kekeringan dan
longsor. Pada satu sisi air harus ditahan agar dapat mengurangi
volume dan kecepatan aliran permukaan, pada sisi yang lain air
harus diatuskan segera agar tidak meningkatkan beban masa. Pada
sisi sosial ekonomi masyarakat, setiap usaha konservasi harus
bermakna peningkatan kesejahteraan.
20
pendalaman teknik keterkaitan antara updating teknik-
PJ dan SIG untuk geomorfologi-tanah teknik pemetaan
periode
delineasi periode
dengan ancaman periode
terkini
1997-
bentuklahan
2001 -
bencana alam
2010 -
2001 2010 mendalami
saat ini kembali
pendalaman teknik pengelolaan hubungan tanah-
survei lapangan lingkungan geomorfologi-bahan
induk
2. BAB III
3.1. Tujuan
Serangkaian tujuan dalam penelitian ini ditujukan untuk
menjawab permasalahan penelitian yang akan diungkap satu
persatu pada setiap tahapan tahun penelitian. Adapun tujuan
penelitian pada tahun pertama diformulasikan menurut
permasalahan penelitian seperti pada Tabel 3.1.
Tahu
Permasalahan Penelitian Tujuan Penelitian
n
I apakah pendekatan
pedogeomorfologi dapat melakukan pemotretan wilayah
diterapkan untuk penelitian menggunakan UAV
pemetaan tanah skala detil melakukan interpretasi
dan skala semi-detil? geomorfologi wilayah penelitian
berbasis citra foto udara, citra
SRTM, TanDEM X dan TerraSAR
21
membuat peta lapangan skala
1:10.000 dan 1:25.000
melakukan survei tanah pada
skala detil dan semi-detil
melakukan pengambilan contoh
material batuan dasar, bahan
induk tanah, dan tanah untuk
analisis fisik, kimia, dan mineralogi
menyajikan hasil survei ke dalam
peta-peta sementara
3.2. Manfaat
Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini dapat ditinjau dari
segi praktis maupun teoritis.
Manfaat Praktis
Hasil penelitian diharapkan mampu memberikan manfaat bagi
masyarakat sekitar. Peta tanah yang dihasilkan diharapkan mampu
digunakan sebagai acuan rekomendasi konservasi yang sesuai
untuk diterapkan di daerah penelitian. Rekomendasi konservasi yang
diberikan diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan
masyarakat.
Manfaat Teoritis
Hasil penelitian diharapkan mampu memberikan kontribusi
dalam perkembangan ilmu terkait pemanfaatan teknologi
penginderaan jauh dalam pembuatan peta bentuklahan dan peta
tanah dalam skala detil dan semi detil.
22
23
3. BAB IV
METODE PENELITIAN
24
citra SRTM resolusi 30 meter, citra TanDEM X resolusi 12,5 meter dan
citra TerraSAR resolusi 9 meter. Penggunaan citra dengan tingkat
resolusi yang berbeda bertujuan untuk mengetahui citra apa yang
paling baik untuk pemetaan geomorfologi skala detil dan semi detil.
25
4. BAB V
26
Kelas TPI yang dianalisis dibagi menjadi 6 yaitu untuk
mengidentifikasi bentukan lembah, lereng kaki, lereng bawah, lereng
tengah, lereng atas dan puncak/igir.
Tabel 5.3.Resolusi Citra untuk Pemetaan Tanah
27
pengaruh intrusi gunungapi. Pemilihan lokasi DAS Bompon untuk
pemetaan tanah diharapkan memiliki keunikan yang bisa menjadi
referensi dalam pemetaan tanah karena komplesitas genesa tanah.
Hasil identifikasi geomorfologi berupa bentuklahan DAS Bompon
dapat diamati dari Peta Indeks Posisi Topografi Skala 1:10.000.
Peta Indeks Posisi Topografi Skala 1:10.000 menggunakan
citra SRTM menunjukkan setiap satuan bentuklahan yang
teridentifikasi dapat dilihat secara umum dan batas setiap kelas
kurang representatif karena tampak batas yang kotak-kotak
(Lampiran 3.2.a). Peta Indeks Posisi Topografi Skala 1:10.000
menggunakan citra TanDEM X menunjukkan identikasi setiap satuan
bentuklahan yang teridentifikasi dapat menunjukkan kelas setiap
satuan bentuklahan akan tetapi batasnya terlihat tegas dengan masih
tampaknya kotak-kotak pada beberapa perbedaan kelas (Lampiran
3.2.b). Peta Indeks Posisi Topografi Skala 1:10.000 menggunakan
citra TerraSAR menunjukkan kelas setiap satuan bentuklahan dapat
diamati secara detail dengan batas antar kelas yang terlihat
halus(Lampiran 3.2.c)
Hasil identifikasi geomorfologi untuk peta tanah dilakukan
pengecekan melalui survei lapangan pada beberapa lokasi dan belum
dapat keseluruhan lokasi survei karena terkendala faktor cuaca yang
kurang mendukung. Lokasi pengambilan sampel disesuaikan dengan
tujuan penelitian dan merupakan bagian sebagai pengecekan hasil
peta tentatif. Peta lokasi pengambilan sampel disajikan pada
Lampiran 3.3. Pemilihan lokasi pengambilan sampel diidentifikasi
sebagai kunci-kunci interpretasi dan sebagai tambahan informasi
mengenai karakteristik bentuklahan.
Pengambilan sampel di lapangan dilakukan dengan dua
kegiatan. Kegiatan pertama yaitu pengambilan sampel berupa tanah,
material dasar dan bahan induk tanah. Kegiatan kedua yaitu analisis
di lapangan dengan cara identifikasi, deskripsi dan sidik cepat
28
terhadap sampel tanah yang ada. Pengambilan sampel tanah dan
sidik cepat di lapangan dapat diamati pada Gambar 5.1. Kegiatan
pengambilan sampel dan analisis di lapangan secara terperinci dapat
diamati pada Lampiran 3.4. Analisis sampel tanah dilakukan pula di
laboratorium dengan analisis fisik dan kimia tanah sementara yang
dapat diamati hasil uji laboratorium pada Lampiran 3.6.
a b c
Gambar 5.2. Foto kegiatan pengambilan sampel tanah dan sidik cepat di
lapangan (a. identifikasi profil tanah; b dan c. sidik cepat kima tanah)
29
Kegiatan pencapaian pada tahun pertama terus dilakukan untuk dapat
memperoleh hasil sesuai dengan tujuan.
30
5. BAB VI
31
6. BAB VII
5.1. Kesimpulan
1. Kegiatan pemetaan tanah semi detil skala 1:25.000 dan pemetaan
tanah detil skala 1:10.000 dengan penggunaan citra dengan
resolusi yang berbeda menghasilkan hasil peta bentuklahan yang
berbeda-beda.
2. Data lapangan dari hasil survei, sidik cepat, dan analisis
laboratorium menjadi dasar dalam analisis penentuan karakteristik
tanah untuk pemetaan tanah.
5.2. Saran
1. Pembuatan peta tanah detil dan semi detil perlu dianalisis dalam
menentukan dasar peta yang akan digunakan untuk tahap
selanjutnya, mengingat hasil interpretasi peta geomorfologi
menggunakan indeks posisi topografi yang berasal dari resolusi
citra.
2. Penggunaan teknologi terbaru menggunakan UAV dapat
digunakan sebagai acuhan dan juga tambahan informasi untuk
analisis pemetaan tanah detil dan semi detil.
32
7. DAFTAR PUSTAKA
Ali, R.R., and M.M. Kotb, 2010. Use of Satellite Data and GIS for Soil
Mapping and Capability Assessment. Nature and Science 2010:
8(8)
Bacic, I.L.Z., D.G. Rossiter & A.K. Bregt, 2003. The use of land evaluation
information by land use planners and decision-makers: a case
study in Santa Catarina, Brazil. Soil Use and Management (2003)
19, 12-18
Balkovič, J., Z. Rampašeková, V. Hutár , J. Sobocká and R. Skalský,
2013. Digital Soil Mapping from Conventional Field Soil
Observations. Soil & Water Res., 8, 2013 (1): 13–25
Birkeland, P.W., R.R. Shroba, S.F. Burns, A.B. Price, and P.J. Tonkin,
2003. Integrating soils and geomorphology in mountains—an
example from the Front Range of Colorado. Geomorphology 55
(2003) 329–344
Buol, S.W., R.J. Southard, R.C. Graham and P.A. McDaniel, 1997. Soil
Genesis and Classification. Sixth Edition. Wiley-Blackwell.
FAO, 2007. Land Evaluation: toward a revised framework. Food and
Agriculture Organisation, Rome.
Ghosh,S.,and T. Maji, 2011. Pedo-
Geomorphic analysis of soil loss in the lateritic region of
Rampurhat I block of Birbhum district, West Bengal and
Shikaripara block of Dumka district, Jharkhand. Int. Journal of
Environmental Sci. vol. 1, No. 7, 2011
Gool, van. D., P. Tille and G. Moore, 2005. Land Evaluation Standards for
Land Resource Mapping. Third edition, Resource Management
Technical Report 298 . Department of Agriculture, State of
Western Australia
Hadmoko, D.S., F. Lavigne, J. Sartohadi, P. Hadi and Winaryo, 2010.
Landslide hazard and risk assessment and their application in risk
management and landuse planning in eastern flank of Menoreh
Mountains, Yogyakarta Province, Indonesia. Nat. Hazard DOI
10.1007/s11069-009-9490-0
Huggett, R.J., 1998. Soil chronosequences, soil development, and soil
evolution: a critical review. Catena 32 1998 155–172
Jenny, H., 1941. Factors of Soil Formation: A Systems of Quantitative
Pedology. McGraw Hill Book Company.
Manchanda, M.L., M.Kudrat and A.K.Tiwari, 2002. Soil survey and
mapping using remote sensing. Tropical Ecology 43(1): 61-74,
2002
33
Sartohadi, J., 1997. Application of Remote Sensing and Geographic
Information Systems for Geomorphology-Soil Mapping: Western
Gunungkidul, Yogyakarta, Indonesia. AIT Thesis No. SR-97-28.
Asian Institute of Technology, Bangkok
Sartohadi, J., 1998. Geomorfologi Tanah Lembah Jolosutro, Piyungan,
Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Majalah Geografi Indonesia,
Sept. 1998 pp. 89-107
Sartohadi, J., 2001. Geomorphological Processes Analysis for Soil
Mapping using Remote Sensing and Georaphic Information
System Techniques: A Case Study in the Western Gunungkidul
Range Yogykarta, Indonesia. Dissertation of Doctor in Soil
Geography, Leopold Franzens University of Innsbruck-Austria
Sartohadi, J., 2004. Geomorfologi Tanah DAS Serayu, Jawa Tengah.
Majalah Geografi Indonesia 2004 XVIII (2)
Sartohadi, J., dan J. Saragih, 2004. Estimasi Rejim Kelembapan Tanah
Berdasarkan Analisis Curah Hujan, Suhu Udara, dan Bentuklahan
Tanah. Forum Geografi vol. 18 (2) 184-196
Sartohadi, J., dan R. Purwaningsih, 2004. Korelasi Spasial Antara Tingkat
PerkembanganTanah Dengan
Tingkat Kerawanan Gerakan Massa Di DAS Kayangan, Kabupate
nKulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta. Forum Geografi
Indonesia, 2004
Sartohadi, J., 2005. Pemanfaatan Informasi Kerawanan Gerakan Massa
Untuk Penilaian Kemampuan Lahan Di Sub-DAS Maetan, Daerah
Aliran Sungai Luk Ula, Propinsi Jawa Tengah. M a j a l a h
Geografi Indonesia Edisi Maret 2005
Sartohadi, J., 2008. The landslide Distribution in Loano Sub District,
Purworejo District, Central Java Province, Indonesia. Forum
Geografi Volume 22, No.22 Desember 208:129-144
Sartohadi, J., G. Samodra, and Sri Hadmoko D., 2010. Landslide
Susceptibility Assessment using Heuristic Statistically Method in
Kayangan Catchment, Kulon Progo, Yogyakarta-Indonesia.
International Journal of Geoinformatics vol. 6 (3) September 2010.
Sartohadi, J., 2012. Derajad Usikan Aktifitas Manusia Pada Satuan-satuan
Bentuklahan di Kecamatan Loano, Kabupaten Purworejo, Jawa
Tengah. Laporan Penelitian Hibah Fakultas Geografi UGM.
Yogyakarta
Sartohadi, J., 2013. Genesis Tanah Super Tebal dan Kaitannya dengan
Longsor Dalam di Hulu DAS Bogowonto-Jawa Tengah. Laporan
Penelitian Hibah Fakultas Geografi UGM. Yogyakarta
Sartohadi, J., Suratman, Jamulya, dan N.I.S. Dewi, 2014. Pengantar
Geografi Tanah. Cetakan ke 3. Pustaka Pelajar, Yogyakarta. ISBN
978-602-229-119-0
34
Schoeneberger, P.J., D.A. Wysocki, E.C. Benham, and W.D. Broderson
(editors), 2002. Field book for describing and samping soils.
Version 2.0. Natural Resources Conservation Service, National
Soil Survey Center, Lincoln, N.E.
Soil Survey Staff, 1993. Soil Survey Manual. USDA-Washington DC.
Soil Survey Staff. 2014. Keys to Soil Taxonomy, 12th ed. USDA-Natural
Resources Conservation Service, Washington, DC.
Verdoodt, A., and E. Van Ranst, 2003. Land Evaluation for Agricultural
Production in the Tropics: A Large-Scale Land Suitability
Classification for Rwanda. Published by the Laboratory of Soil
Science, Ghent University Krijgslaan 281 S8, B-9000 Gent,
Belgium
Walker, L.R., D.A. Wardle, R. D. Bardgett and B.D. Clarkson, 2010. The
use of chronosequences in studies of ecological succession and
soil development. Journal of Ecology 2010, 98, 725–736
Wambeke, van. A., and T.R. Forbes, 1986. Guidelines for Using “Soil
Taxonomy” in the Names of Soil Map Units. SMSS Technical
Mogograph Nr. 10. USDA. US Govt. Printing Office- Washington
DC.
Weiss, A. 2001. Topographic Position and Landform Analysis. Poster
Presentation, ESRI user Conference. San Diego Available, by
permission from the author, at
http://www.jennessent.com/arcview/TPI_Weiss_poster.htm.
Werban, U., H. Bartholomeus P. Dietrich G. Grandjean and S. Zacharia,
2013. Digital Soil Mapping: Approaches to Integrate Sensing
Techniques to the Prediction of Key Soil Properties. Vadose Zone
Open Access Journal doi:10.2136/vzj2013.10.0178
Young, A., 1987. Soil productivity, soil conservation and land
evaluation. Agroforestry Systems vol. 5, Issue 3, pp 277-291
Zink, J.A., 2013. Geopedology: Elements of geomorphology for soil and
geohazard studies; ITC Special Lecture Notes Series. Faculty of
Geo-Information Science and Earth Observation Enschede, The
Netherlands. ISBN: 978-90-6164-352-4
Zhu, A.X., 2000. Mapping Soil Landscape as Spatial Continua: The Neural
Network Approach. Water Resouces Reserach vol. 36 No. 3 page
663-677
Zhu, A.X., B. Hudson, J. Burt, K. Lubich, and D. Simonson, 2001. Soil
Mapping Using GIS, Expert Knowledge, and Fuzzy Logic. Soil
Sci. Soc. Am. J. 65:1463–1472.
35
LAMPIRAN 1.
INSTRUMEN
1.
Untuk mengukur pH
pH stick
pada suatu larutan.
2.
Untuk menentukan
Casa Grande
batas cair tanah.
3.
Untuk menghaluskan
Lumpang porselin
contoh tanah
4.
Untuk mengeringkan
zat – zat kimia
Eksikator
maupun tanah
setelah dioven.
L–1
5.
Untuk menyaring
sampel tanah dengan
Saringan mikron
ukuran 0,5 mm dan 2
mm.
6.
7.
Menimbang tanah
ataupun alat yang
Timbangan analitik
akan digunakan
untuk analisis.
8. .
Untuk analisa
Picnometer kerapatan butir tanah
9.
Untuk analisis
Colet dan spatel
konsistensi tanah.
L–1
10.
Untuk mengukur
Gelas ukur
volume larutan.
11.
Untuk mengeringkan
Oven
tanah.
12.
Untuk mengambil
Pipet larutan dengan
volume tertentu.
13.
14.
Untuk membantu
Corong menuangkan larutan
agar tidak tumpah.
L–1
15.
16.
Untuk melakukan
Seperangkat alat analisis permeabilitas
permeabilitas tanah
Sebagai wadah
aquades.
Botol pemancar
19.
L–1
20.
21.
L–1
LAMPIRAN 2.
Alokasi
Instansi Bidang
No Nama/NIDN Waktu Uraian tugas
Asal Ilmu
(jam/minggu)
Prof. Dr.
Koordinasi tim,
rer.nat. Fakultas
Geografi
1 Junun Geografi 7 Spesialist survei
Tanah
Sartohadi, UGM dan klasifikasi
M.Sc. tanah
Spesialist
pemetaan,
terapan Sistem
Informasi
Dr. Guruh Fakultas
SIG dan Geografis dan
2 Samodra, Geografi 6
PJ Penginderaan
M.Sc. UGM
Jauh; membantu
ketua tim dalam
hal survei di
lapangan
Spesialist
evaluasi lahan
dan konservasi
Dr. M.
Fakultas lingkungan,
Anggri Konserva
3 Geografi 7 membantu ketua
Setiawan, si Tanah
UGM tim sosialisasi
M.Si.
hasil survei dan
analisis
laboratorium
L–2
LAMPIRAN 3.
FORMULIR EVALUASI ATAS CAPAIAN LUARAN KEGIATAN
L–3
LAMPIRAN BUKTI PENDUKUNG
FORMULIR EVALUASI ATAS
CAPAIAN LUARAN KEGIATAN
L–3
Lampiran Bukti Pendukung
3.1.a. Peta Indeks Posisi Topografi Skala 1:25.000 menggunakan citra
SRTM
b. Peta Indeks Posisi Topografi Skala 1:25.000 menggunakan citra
TanDEM X
c. Peta Indeks Posisi Topografi Skala 1:25.000 menggunakan citra
TerraSAR
3. 2.a. Peta Indeks Posisi Topografi Skala 1:10.000 menggunakan citra
SRTM
b. Peta Indeks Posisi Topografi Skala 1:10.000 menggunakan citra
TanDEM X
c. Peta Indeks Posisi Topografi Skala 1:10.000 menggunakan citra
TerraSAR
3.3. Foto distribusi sampel tanah
3.4.Tabel survei tanah untuk pengambilan sampel tanah, material dasar
dan bahan induk tanah serta analisis di lapangan
3.5.Foto-foto kegiatan sosialiasi bersama masyarakat di lokasi penelitian
3.6.Abstrak untuk publikasi
3.7.Data hasil uji laboratorium
L–3
Lampiran 3.1.a.
Lampiran 3.1.b.
Gambar L.3.1. Peta Indeks Posisi Topografi Skala 1:25.000 berbasis citra SRTM
L–3
L–3
Lampiran 3.1.c.
Lampiran 3.2.a.
L–3
Gambar L.33. Peta Indeks Posisi Topografi Skala 1:25.000 berbasis citra TerraSAR
L–3
Lampiran 3.2.c.
L–3
Gambar L.3.5. Peta Indeks Posisi Topografi Skala 1:10.000 berbasis citra TanDEM X
L–3
Lampiran 3.3.
L–3
9 terlihat campuran pisang
Kopi, bambu,
916519 Lereng atas Tidak Kebun
E2 396556 462 15 79 Cembung rimbang, rambutan,
7 perbukitan terlihat campuran
jati
916514 Lereng bawah Kebun Bambu, melinjo,
E3 396600 450 20 30 Cembung
8 perbukitan campuran sengon, salak, kopi
Sudut Hadap
Kod Batuan Bahan Induk Penggunaan
X Y Z Morfologi Leren Lereng Bentuk Lereng Macam Tanaman
e Dasar Tanah Lahan
g NW
916516 Lereng kaki Sawah tadah
E4 396638 440 92 Datar Padi, singkong
1 perbukitan hujan
916518 Kebun Bambu, sengon,
E5 396710 446 Puncak bukit 35 265
4 campuran salak
Sengon, kelapa,
916355 Cembung Tidak Pelapukan Kebun
A1 396987 474 Puncak bukit 150 65 talas, bambu,
0 berteras terlihat batuan dasar campuran
rumput
Talas, kelapa,
916361 Lereng atas Sisipan Pelapukan Kebun
A2 397030 456 9 5 Cembung sengon, duku,
0 perbukitan diorit batuan dasar campuran
pisang
Singkong, pisang,
916356 Lereng bawah Material Pelapukan Kebun
A3 397187 442 7 90 Cembung kelapa, bambu,
4 perbukitan sumbing batuan dasar campuran
duku
A4 397219 916361 437 Lereng bawah 3 276 Datar Material Pelapukan Kebun Sengon, talas,
L–3
campuran
singkong, pisang,
1 perbukitan manoreh batuan dasar dan
kelapa
permukiman
916363 Lereng atas Tidak Kebun
A5 397266 463 31 230 Cekung Bambu, durian
7 perbukitan terlihat campuran
A6 916376 Kebun Kopi, sengon,
397353 490 Puncak bukit 2 Dataran
Kb 0 campuran bambu, kelapa, jati
A6 916372 Kebun
397352 490 Puncak bukit 2 Dataran Sengon, rumput
SR 0 sengon
916442 Cembung Pelapukan Kebun Singkong, kelapa,
D1 397139 457 Puncak bukit 5 345 Diorit
6 berteras batuan dasar campuran talas, cleresede
Sudut Hadap
Kod Batuan Bahan Induk Penggunaan
X Y Z Morfologi Leren Lereng Bentuk Lereng Macam Tanaman
e Dasar Tanah Lahan
g NW
Talas, singkong (di
bekas longsor),
916445 Lereng atas Cembung Pelapukan Kebun
D2 397204 454 18 100 Diorit sengon, duku,
1 perbukitan berteras batuan dasar campuran
kelapa, waru,
pisang
D3 397315 916438 432 Lereng kaki 2 212 Datar berteras Material Pelapukan Sawah tadah Padi
L–3
manoreh
ditumpangi
7 perbukitan batuan dasar hujan
material
sumbing
Singkong, empon-
916447 Lereng bawah Cembung Tidak empon, sengon,
D4 397515 457 14 304 Tegalan
3 perbukitan berteras terlihat kelapa, pisang,
duku
916442 Lereng atas Cembung Tidak Kebun Sengon, pisang,
D5A 397567 474 22 332
8 perbukitan berteras terlihat campuran kelapa, jati, talas
Alterasi
916443 Lereng atas Pelapukan Kebun Sengon, pisang,
D5B 397567 473 22 335 Cekung berteras breksi
5 perbukitan batuan dasar campuran kelapa, jati, talas
andesit
916442 Kebun Sengon, kelapa,
D6 397669 471 Igir perbukitan 8 314 Cekung berteras
1 campuran pisang, singkong
L–3
Lampiran 3.5. Foto-foto Kegiatan Sosialisasi bersama Masyarakat
Gambar L.3.9. Sosialisasi bersama Kelompok Wanita Tani Dusun Salakan, Desa
Wonogiri,
L–3
LAMPIRAN 4.
Inventor
Nama : …………………………………………………………
Pekerjaan : …………………………………………………………
Alamat Kantor : …………………………………………………………
Alamat Rumah : …………………………………………………………
Telp Kantor : …………………………………………………………
Telp Rumah : …………………………………………………………
No. Handphone : …………………………………………………………
Email : …………………………………………………………
Kewarganegaraan : …………………………………………………………
Paraf : …………………………………………………………
Tanggal : …………………………………………………………
Inventor
Nama : …………………………………………………………
Pekerjaan : …………………………………………………………
Alamat Kantor : …………………………………………………………
Alamat Rumah : …………………………………………………………
Telp Kantor : …………………………………………………………
Telp Rumah : …………………………………………………………
No. Handphone : …………………………………………………………
Email : …………………………………………………………
L–4
Kewarganegaraan : …………………………………………………………
Paraf : …………………………………………………………
Tanggal : …………………………………………………………
II. INVENSI
A. Invensi meliputi:
L–4