Meningitis Bakteri
Meningitis Bakteri
TINJAUAN PUSTAKA
Meningitis bakteri adalah peradangan pada selaput otak yang mengenai lapisan piamater
dan ruang subaraknoid termasuk cairan serebrospinal (CSS) yang dapat disebabkan oleh bakteri
yang menyebar masuk ke dalam ruang subaraknoid (Sáez-Llorens dan McCracken, 2003;
Meningitis adalah bakteri yang mampu melewati perlindungan yang dibuat oleh tubuh
dan memiliki virulensi poten. Faktor host yang rentan dan lingkungan yang mendukung memiliki
peranan besar dalam patogenesis infeksi. Pada individu dewasa yang imunokompeten, S.
pneumonia dan N. meningitides adalah patogen utama penyebab meningitis bakteri, karena
kedua bakteri tersebut memiliki kemampuan kolonisasi nasofaring. Basil gram negatif seperti E.
coli, S. aureus, S. epidermidis, Klebsiella spp dan Pseudomonas spp biasanya merupakan
penyebab meningitis bakteri nosokomial, yang lebih mudah terjadi pada pasien kraniotomi,
kateterisasi ventrikel internal ataupun eksternal, dan trauma kepala (Roper dan Brown, 2005;
Clarke et al., 2009).Sedangkan bakteri gram positif berbentuk kokus yang juga merupakan
penyebab meningitis bakteri (meningitis suis) adalah S. suis (Susilawathi et al., 2016).
1
Tabel 2.1. Penyebab umum meningitis bakteri berdasarkan usia dan faktor risiko
Neonatus (usia <3 bulan) Escherichia coli; Streptococcus grup B; Listeria monocytogenes
Bayi dan anak (usia >3 bulan) S. pneumonia; N. meningitidis; H. infl uenzae
S.suis merupakan penyebab meningitis paling sering pada usia 47-55 tahun dan tidak pernah
Ada beberapa faktor risiko yang mempengaruhi individu atau host yaitu : usia,
demografi/faktor sosial ekonomi, paparan kuman, dan status imun yang rendah (Mace, 2008).
Meningitis dapat terjadi pada semua usia dan pada individu yang sebelumnya sehat. Pasien lanjut
usia(>60 tahun) dan pasien anak (<5 tahun, terutama bayi / neonatus) memiliki tingkat
kerentanan yang tinggi terhadap insiden meningitis (Choi, 1992; Chavez-Bueno dan McCracken,
2005).
Sedangkan yang termasuk faktor demografi dan sosial ekonomi meliputi: jenis kelamin laki-laki,
ras Afrika Amerika, status sosial ekonomi yang rendah dan komunitas yang hidup di asrama atau
bakteri. Yang termasuk kondisi imunosupresi : diabetes, alkoholik, sirosis / penyakit hati,
spelenektomi, gangguan hematologi (misalnya, penyakit sel sabit, talasemia mayor), keganasan,
Immunedeficiency Virus (HIV), dan terapi obat imunosupresi (Schutzeetal., 2002; Mace, 2008).
Ada beberapa mekanisme masuknya bakteri ke dalam CSS, paling sering melalui
penyebaran secara hematogen, dapat juga melalui penyebaran langsung dari perluasan infeksi
yang berdekatan. Faktor-faktor yang mendukung bakteri dapat masuk ke dalam CSS adalah :
kolonisasi baru, infeksi pada daerah yang berdekatan (misalnya, sinusitis, mastoiditis, otitis
media), kultur darah dari CSS(misalnya, penyalahgunaan obat intravena, bakteri endokarditis)
gangguan pada dura, paska bedah saraf, trauma tembus CSS, cacat bawaan, shunt (misalnya,
Infeksi bakteri dapat mencapai selaput otak melalui aliran darah (hematogen) atau
perluasan langsung dari infeksi yang disebabkan oleh infeksi dari sinus paranasalis, mastoid,
abses otak dan sinus kavernosus. Bakteri penyebab meningitis pada umumnya berkolonisasi di
saluran pernapasan bagian atas dengan melekatkan diri pada epitel mukosa nasofaring host.
Selanjutnya setelah terhindar dari sistem komplemen host dan berhasil menginvasi ke dalam
ruang intravaskular, bakteri kemudian melewati sawar darah otak (SDO) dan masuk ke dalam
CSS lalu memperbanyak diri karena mekanisme pertahanan CSS yang rendah. Dalam upaya
untuk mempertahankan diri terhadap invasi bakteri maka kaskade inflamasi akan teraktivasi
Bakteri penyebab meningitis memiliki sifat yang dapat meningkatkan virulensi kuman
nasofaring dan terjadinya kolonisasi. Perlekatan pada mukosa epitel nasofaring host oleh N.
meningitidis terjadi melalui fimbria atau silia. Dikatakan kerusakan silia ini akibat adanya infeksi
saluran pernapasan bagian atas dan juga kebiasaan merokok dapat mengurangi kemampuan
fimbria atau silia dalam mencegah perlekatan bakteri pada mukosa nasofaring. Bakteri kemudian
ikatvakuola. Sedangkan bakteri H. influenzae memisahkan tight junction apikal antara sel epitel
untuk menginvasi mukosa dan mendapatkan akses ke ruang intravaskular (Mace, 2008).
Bakteri berkapsul (S. pneumonia, H. influenzae dan N. meningitidis) mencegah
kerusakan oleh host setelah berada dalam aliran darah,karena kapsul polisakarida bakteri
menghambat fagositosis dan aktivitas komplemen bakterisida. Setelah bakteri berada dalam
aliran darah, bakteri akan beradhesi ke SDO tergantung kualitas struktural dari bakteri seperti
fimbria pada beberapa strain E. coli, dan silia dan fimbria pada N. meningitidis (Mace, 2008).
Sistem pertahanan CSS host yang rendah menyebabkan bakteri akan cepat berkembang
biak setelah memasuki CSS. Beberapa faktor host yang berpengaruh terhadap mekanisme
pertahanan dalam CSS yang rendah adalah : kadar komplemen yang rendah, tingkat
subarakhnoid, komponen bakteri dalam CSS akan memicu kaskade inflamasi pada host.
Komponen sitokin proinflamasi seperti interleukin 1 (IL 1), Tumor NecrosisFacto r(TNF) dan
berbagai sel lainnya termasuk makrofag, mikroglia, sel meningeal, dan sel-sel endotel. Sitokin
afinitas pengikatan leukosit sel endotel, dan menginduksi adhesi molekul yang berinteraksi
Selain itu neutrofil CSS melepaskan substansi prostaglandin, metabolit toksin oksigen,
matrix metalloproteinases (MMP) yang meningkatkan permeabilitas pembuluh darah dan secara
langsung dapat juga menyebabkan neurotoksisitas. Kaskade inflamasi ini menyebabkan kelainan
pada aliran darah otak (ADO) dan terjadi edema serebral. Edema serebral yang timbul dapat
berupa edema vasogenik akibat dari peningkatan permeabilitas SDO atau edema sitotoksik yang
disebabkan oleh peningkatan cairan intraseluler diikuti perubahan dari membran sel dan
hilangnya homeostasis seluler. Sekresi hormon antidiuretik turut berkontribusi pada terjadinya
edema
sitotoksik dengan membuat cairan ekstrasel hipotonik dan meningkatkan permeabilitas otak.
Edema interstitial disebabkan oleh meningkatnya volume CSS, baik oleh karena peningkatan
produksi CSS melalui meningkatnya aliran darah pada pleksus koroid atau menurunnya
reabsorpsi sehingga terjadi peningkatan resistensi aliran CSS. Selain itu peradangan pembuluh
darah lokal atau trombosis dapat menyebabkan hipoperfusi serebral fokal sehingga mengganggu
autoregulasi aliran darah, dimana dapat terjadi peningkatan tekanan intrakranial (TIK) yang
dapat menyebabkan herniasi otak dan kematian (van de Beek et al., 2006; Mace, 2008).
Komponen
bakteri
Interaksi endotel-
IL-1 leukosit TNF dan IL-1
PG2 PAF
Gejala klasik meningitis bakteri berupa demam, sakit kepala, kaku kuduk
dan tanda-tanda disfungsi otak (penurunan kesadaran mulai dari apatis sampai koma) (Tunkel,
2001). Meskipun demikian dilaporkan hanya 44-75% pasien memiliki tiga gejala yaitu demam,
kaku kuduk dan perubahan status mental, setidaknya semua pasien mengalami salah satu gejala
di atas dan 95% memiliki dua dari empat gejala (sakit kepala, demam, kaku kuduk dan
perubahan status mental (Durand et al., 1993; van de Beeket al, 2004). Kaku kuduk dapat
disertai tanda Kernig atau Brudzinski atau keduanya. Tidak adanya tanda tersebut tidak
sensitivitas tanda Kernig sebesar 5%, tanda Brudzinski 5% dan kaku kuduk 30%. Hal ini
menunjukkan bahwa tanda-tanda ini tidak akurat dalam mendiagnosa pasien meningitis (Thomas
et al., 2002). Kelumpuhan saraf kranial (III, IV, VI dan VII) dan gejala fokal lainnya terjadi pada
10-20% kasus. Sekitar 30% pasien mengalami kejang. Peradangan dan trombosis pembuluh
darah, sering terjadi dalam ruang subaraknoid, menyebabkan terjadinya iskemik daerah kortikal
dan subkortikal yang dapat mengakibatkan kejang dan defisit neurologis fokal. Dengan
koma, hipertensi, bradikardi dan kelumpuhan nervus III (Nudelman dan Tunkel, 2009).
Pemeriksaan CSS melalui pungsi lumbal merupakan alat diagnostik utama dalam
menegakkan meningitis bakteri (Tunkel, 2001). Pada pemeriksaan CSS yang mendukung kearah
infeksi meningitis bakteri adalah jumlah leukosit meningkat bisa mencapai ribuan dengan
dominan neutrofil (>60%), kadar protein dalam CSS meningkat (>200 milligram (mg)/desiliter
(dL)) dan penurunan konsentrasi glukosa (<40 mg/dL atau kurang dari 30% gula darah sewaktu)
(Ganiem, 2011). Dikatakan kadar leukosit CSS rendah (0-20/mm3) berhubungan dengan
prognosis yang buruk. Pewarnaan gram dan kultur harus dilakukan pada semua spesimen CSS.
Gangguan dari SDO menyebabkan peningkatan kadar protein CSS pada hampir semua pasien.
Kadar glukosa < 40 mg/dL ditemukan pada sekitar 60% pasien dengan sebagian besar memiliki
immunocompromise berat dalam beberapa kasus meningitis neonatus dan pada awal penyakit
Pemeriksaan pewarnaan gram pada CSS dapat dilakukan cepat, akurat pada 60-90%
dengan spesifitas hampir 100% pada pasien dengan meningitis bakteri (Domingoet al., 1997).
Semakin tinggi konsentrasi bakteri di dalam CSS, kemungkinan mendeteksi organisme dengan
pewarnaan gram lebih tinggi. Pasien yang telah mendapatkan antibiotik sebelum terapi yang
menegakkan diagnosis meningitis bakteri (Gray dan Fedorko, 1992; Tunkel, 2001).Tes aglutinasi
kelompok streptokokus B. Namun, mengingat tes antigen bakteri kurang berperan dalam
pemberian terapi antibiotik dan telah dilaporkan memberikan hasil positif palsu maka
penggunaan rutin modalitas ini untuk diagnostik cepat dari penyebab infeksi bakteri meningitis
tidak dianjurkan (Tunkel et al., 2004). Tes amplifikasi asam nukleat, seperti Polymerase Chain
Reaction (PCR) telah digunakan untuk mengetahui Deoxyribo Nucleic Acid (DNA) dari pasien
dengan meningitis yang disebabkan oleh beberapa patogen meningeal. Pemeriksaan PCR bakteri
berperan dalam menegakkan diagnosis meningitis dan keputusan dalam memulai atau
menghentikan terapi antibiotika. Dalam suatu studi berbasis luas, menunjukkan sensitivitas PCR
100% dengan spesifisitas dari 98,2%, nilai prediksi positif 98,2% dan nilai prediksi negatif
prediktif 100% (Saravolatz et al., 2003). Sensitivitas PCR dalam mendiagnosis meningitis
pneumokokus sekitar 92-100% dan spesifisitas sebesar 100% (Werno dan Murdoch, 2008). PCR
sangat berperan terhadap pasien yang telah menerima antibiotik sebelum pengobatan yang sesuai
dipelajari dalam mendiagnosis meningitis bakteri akut. Pasien dengan meningitis bakteri akut
mengalami peningkatan konsentrasi C-Reaktif Protein (CRP) dan serum prokalsitonin yang
dapat digunakan dalam membedakan meningitis bakteri dan meningitis virus (Nathan dan
Scheld, 2002). Suatu studi melaporkan sensitivitas dan spesifisitas serum prokalsitonin sebesar
100% untuk mendiagnosis meningitis bakteri, meskipun telah dilaporkan didapatkan hasil negatif
palsu (Viallon et al., 1999; Schwarz et al., 2000). Tes lain yang digunakan adalah tes
immunokromatografi untuk mendeteksi kuman S. pneumonia pada CSS dengan sensitivitas dan
spesifisitas 100% dalam mendiagnosis meningitis pneumokokus piogenik (Saha et al., 2005).
Meskipun demikian diperlukan penelitian lebih lanjut untuk menentukan kegunaan tes ini dalam
tiap 12–24 jam intravena (iv) atau cefotaxime 2 gram tiap 6–8 jam iv (level evidence III B).
Sedangkan terapi alternatif : meropenem 2 gram tiap 8 jam iv (level evidence III C) atau
chloramphenicol 1 gram tiap 6 jam iv. Pada pneumokokus yang resisten terhadap penicillin atau
(mg)/kilogram (kg)/24 jam iv (dosis disesuaikan dengan creatinine clearance) setelah dosis
loading 15 mg/kg (level evidence IVA). Jika kuman yang dicurigai adalah listeria maka diberikan
ampicillin/amoxicillin 2 gram tiap 4 jam iv (level evidence IVA) (Chaudhuri et al., 2008).
Terapi bakteri patogen spesifik : i). Pada kuman penyebab meningitis pneumokokus
termasuk spesies streptokokus yang sensitif terhadap penicillin diberikan benzyl penicillin
250.000 Unit (U)/kg/hari (setara dengan 2.4 gram tiap 4 jam) (level evidence IVA) atau
ampicillin/amoxicillin 2 gram tiap 4 jam atau ceftriaxone 2 gram tiap 12 jam atau cefotaxime 2
gram tiap 6–8 jam. Sedangkan terapi alternatif: meropenem 2 gram tiap 8 jam (level evidence
IVA) atau vancomycin 60 mg/kg/24 jam dosis disesuaikan dengan creatinine clearance) setelah
dosis loading 15 mg/kg ditambah rifampicin 600 mg tiap 12 jam (level evidence IVC) atau
moxifloxacin 400 mg tiap hari (level evidence IVC). ii). Pada pneumokokus yang kurang sensitif
rifampicin (level evidence IV). Terapi alternatif : moxifloxacin, meropenem atau linezolid 600
mg dikombinasi dengan rifampicin (level evidence IV). iii). Pada meningitis meningokokus
diberikan benzyl penicillin atau ceftriaxone atau cefotaxime (level evidence IV). Terapi
alternatif: meropenem atau chloramphenicol atau moxifloxacin (level evidence IVC). iv). Pada
kuman H.infuenzae tipe B diberikan ceftriaxone atau cefotaxime (level evidence IVC). Terapi
listeria diberikan ampicillin atau amoxicillin 2 gram tiap 4 jam ± gentamicin 1–2 mg tiap 8jam
selama 7 sampai 10 hari pertama (level evidence IVC). Terapi alternatif : trimethoprim–
sulfamethoxazole 10–20 mg/kg tiap 6–12 jam atau meropenem (level evidence IV). vi). Pada
spesies stafilokokus diberikan flucloxacillin 2 gram tiap 4 jam (level evidence IV) atau
vancomycin jika alergi terhadap penicillin (level evidence IV). Rifampicin sebaiknya juga
diberikan sebagai tambahan terhadap kuman lain dan linezolid untuk methicillin-resistant
staphylococcal meningitis (level evidence IVC). vii). Pada bakteri entero gram negatif diberikan
ceftriaxone atau cefotaxime atau meropenem. viii). Pada meningitis pseudomonas diberikan
Lama pemberian : Durasi optimal pemberian terapi pada meningitis bakteri tidak di
ketahui. Pada suatu studi prospektif observasional di New Zealand pada kasus meningitis
meningokokel dewasa menunjukkan pemberian benzyl penicillin iv berhasil sebagai terapi
meningitis. Belum adanya uji klinis pada orang dewasa, maka rekomendasi lama pemberian
direkombinasikan adalah : a. Meningitis bakteri yang tidak spesifik selama 10 sampai 14 hari
meningokokal selama 5 sampai 7 hari (level evidence IVA). d. Meningitis HIb selama 7 sampai
14 hari (level evidence IVB). e. Meningitis listeria selama 21 hari (level evidence IVB). f.
Meningitis pseudomonas dan basilar gram negatif selama 21 sampai 28 hari (level evidence IVB)
Terapi adjuvan deksametason : Pada hewan percobaan yang dengan meningitis bakteri
menunjukkan bahwa bakteri yang terlisis akibat pemberian antibiotika menyebabkan peradangan
pada ruang subaraknoid. Keparahan respon inflamasi ini berhubungan dengan luaran dan dapat
dikurangi dengan pemberian steroid (Van de Beek dan de Gans, 2006). Beberapa uji klinis telah
dilakukan untuk mengetahui dampak adjuvan steroid pada meningitis bakteri terhadap anak dan
orang dewasa (Scheld et al., 1980; Brouwer etal., 2010). Penelitian terhadap penggunaan
glukokortikosteroid yang mempunyai fungsi sebagai anti inflamasi dan mempunyai sifat
imunosupresif serta memiliki penetrasi yang sangat baik dalam CSS. Pada suatu penelitian meta
analisa tahun 1988, deksametason telah terbukti mengurangi gangguan pendengaran pada anak
akibat meningitis yang disebabkan oleh kuman H. influenzae tipe B (McIntyre et al., 1997).
Sedangkan pada meta analisa oleh Cochrane tahun 2010 menunjukkan bahwa pemberian
deksametason tidak mengurangi angka kematian pada meningitis bakteri anak tetapi menurunkan
kejadian gangguan pendengaran dari 20% pada kelompok kontrol dimana 15% mendapat
deksametason (Relative Risk (RR) 0.74; 95% Confidence Interval (CI) 0.62-0.89) (Brouwer et
al., 2010). Sedangkan pada meningitis dewasa dari suatu hasil uji kontrol di Eropa didapatkan
bahwa pemberian deksametason sebelum atau bersamaan dengan pemberian pertama kali
antibiotika berhubungan dengan penurunan risiko luaran yang tidak menguntungkan (RR 0.59,
95%; CI 0.37- 0.94) dan menurunkan angka kematian (RR 0.48; CI 0.24-0.96) (de Gans dan van
de Beek, 2002). Dari lima uji klinis didapatkan bahwa pengobatan dengan kortikosteroid
berhubungan dengan penurunan angka kematian yang signifikan (RR 0,6; CI 0,4-0,8) dan gejala
sisa neurologi (RR 0,6; CI 0,4-1,0). Penurunan angka kematian yang paling signifikan di
dapatkan pada pasien meningitis pneumokokus dari 34% menjadi 14% (van de Beek dan de
Gans, 2004). Pada penelitian lain didapatkan penurunan kasus kematian pada pasien dengan
meningitis pneumokokus sebesar 21% (RR 0,5; CI 0,3-0,8) (van de Beek et al., 2004).Pada
meningitis meningokokus, di mana jumlah insiden sedikit, ada titik perkiraan menguntungkan
untuk mencegah kematian (RR 0,9; CI 0,3-2,1) dan neurologis gejala sisa (RR 0,5; CI 0,1-1,7),
tetapi efek ini tidak mencapai statistik makna. Dosis deksametason yang dianjurkan pada semua
Komplikasi akut yang umumnya terjadi pada meningitis bakteri dapat berupa : syok,
gagal napas, apnu, perubahan status mental/koma, peningkatan TIK, kejang, Disseminated
Intravascular Coagulation (DIC), efusi subdural, abses subdural, abses intraserebral dan bahkan
kematian. Pasien dapat mengalami perubahan status mental atau bahkan koma.Sekitar 15% dari
pasien anak yang menderita meningitis pneumokokus mengalami syok (Kornelisse et al., 1995).
Syok dan DIC sering berhubungan dengan meningitis meningokokus. Apnu atau gagal napas
dari 4hari) atau mulai akhir cenderung terkait dengan gejala sisa neurologis. Kejang fokal
membawa prognosis yang lebih buruk dibandingkan kejang umum. Jika terjadi kejang fokal
harus diwaspadai kemungkinan komplikasi seperti empiema subdural, abses otak, atau
peningkatan TIK dan disarankan dilakukan pemeriksaan neuroimaging. Efusi subdural yang
terjadi pada sepertiga pasien anak umumnya asimptomatik, dapat membaik secara spontan dan
tidak menyebabkan gejala sisa neurologi permanen. Dapat juga terjadi Sindrom of Inappropriate
Anti Diuretic Hormone (SIADH) sehingga elektrolit dan keseimbangan cairan harus dipantau
ketat. Semua komplikasi seperti syok, DIC, perubahan status mental/koma,gangguan pernapasan,
kejang, peningkatan TIK, SIADH dan gejala lainnya ditangani dengan terapi yang lazim
Fatality rate kasus meningitis bakteri dilaporkan sebesar 25% pada orang dewasa dan
sampai 50% pada pasien usia lanjut (Duran et al., 1993; Adedipe dan Lowenstein, 2006).
Fatality rate kasus meningitis bakteri yang disebabkan oleh H. influenzae atau N. meningitidis
atau kelompok streptokokus B, sebesar 3% sampai 7%. Sedangkan pada S. pneumonia sebesar
20% sampai 25% dan 30% sampai 40% pada Listeriamonocytogenes (Schuchatet al., 1997).
Fatality rate yang lebih tinggi terjadi pada pasien usia ekstrim (lansia dan bayi, terutama
neonatus) (Chavez-Bueno dan McCracken, 2005). Prognosis bervariasi tergantung pada beberapa
faktor: usia, adanya komorbiditas, bakteri penyebab dan tingkat keparahan dan adanya gangguan
neurologis saat datang ke rumah sakit. Indikator klinis yang mempengaruhi tingkat kematian
yaitu
: derajat penurunan kesadaran saat masuk rumah sakit, adanya tanda peningkatan TIK, kejang
dalam 24 jam masuk rumah sakit, usia >50 tahun atau bayi, adanya komorbiditas, kebutuhan
akan alat bantu napas, keterlambatan pemberian terapi. Sebuah studi padameningitis bakteri
dewasa
(51% S. pneumonia, 37% N. meningitidis) menunjukkan bahwa faktor risiko terkait prognosis
buruk adalah usia lanjut, adanya osteoitis atau sinusitis, Glasgow Coma scale (GCS) yang rendah
saat masuk, takikardi, tidak adanya ruam, trombositopeni, peningkatan laju endap darah, jumlah
sel dalam CSS yang rendah dan kultur darah positif (van de Beek et al., 2004).
Insiden gejala sisa bervariasi kurang lebih 25% yang mengalami sekuele sedang atau
berat. Telah dilaporkan bahwa 40% memiliki gejala sisa berupa gangguan pendengaran dan
gejala sisa neurologi lainnya sementara yang lain menyebutkan 60% mengalami morbiditas
(Miller dan Choi, 1997; Tunkel dan Scheld, 2005). Gejala sisa dari meningitis bakteri meliputi:
gangguan pendengaran sensori neural (terutama sering terjadi pada anak yang mendapat infeksi
berjalan, defisit neurologis fokal termasuk kelumpuhan dan kebutaan, hidrosefalus, efusi
Faktor yang berkaitan dengan kematian pada meningitis ditentukan oleh beberapa
variabel seperti; usia >60 tahun, jenis kelamin laki laki, adanya gangguan kesadararan, kejang,
demam, kuman penyebabnya S. pneumonia atau S. aureus, demam berkepanjangan (>10 hari),
infeksi lain, pemberian kortikosteroid, jumlah leukosit dalam CSS<100/mm3, waktu pemberian
antibiotika (Proulx et al., 2005). Pada penelitian lain dikatakan faktor prediktor kematian adalah
a. Usia
Pada penyakit meningitis bakteri dikatakan tingkat kematian berbanding lurus dengan
pertambahan usia. Dikatakan terdapat hubungan antara pertambahan usia dengan penurunan
kesadaran dimana p<0.001 dan Ods Ratio (OR) 16.7 (Magazzini et al., 2012). Pada penelitian
surveilans di Amerika Serikat tahun 2003 sampai 2007 didapatkan kasus kematian pada
meningitis bakteri dewasa sebanyak 16.4% dimana pada rentang usia 18 sampai 34 tahun sebesar
8.9% sedangkan pada usia >60 tahun sebesar 22.7% (Thigpen, 2010).
b. Jenis kelamin
Pada penelitian yang dilakukan oleh Dharmarajan et al, (2016) yang mengamati
pengaruh perbedaan jenis kelamin terhadap luaran klinis yang buruk pada meningitis bakteri
didapatkan bahwa jenis kelamin laki laki signifikan berhubungan dengan luaran klinis yang
buruk dimana didapatkan pada usia diatas 60 tahun, adanya defisit neurologi, demam dan
kelainan laboratorium (p<0.05). Hal ini dikarenakan susunan otak laki laki berbeda dari
perempuan baik dari segi morfologi, neurokimia dan fungsional. Dikatakan umur berkaitan
dengan perubahan sekresi sitokin sel T seperti Interferon (IFN) dan IL 17 yang menurun pada
laki laki usia lanjut. Selain itu berhubungan dengan sekresi IL 10 yang meningkat pada wanita
dibandingkan pada laki- laki. Dan karena pada penyakit menular sebagian dipengaruhi oleh
perilaku spesifik gender. Namun perbedaan jenis kelaminpada penyakit infeksi saraf khususnya
meningitis jarang diteliti (Gieffing-Kroll et al., 2015). Dikatakan faktor genetik host juga
berperan dalam menentukan kerentanan terhadap tingkat infeksius penyakit. Tetapi bukan karena
perbedaan jenis kelamin melainkan akibat adanya gen yang dikenal dgn single-nucleotide
polymorphisms (SNPs), yang mengontrol respon host terhadap bakteri. Pasien yg mengalami
rekurensi atau familial meningitis atau yang mengalami sepsis akibat S. pneumoniae atau N.
meningitidis sering ditemukan memiliki mutasi gen yang menyebabkan peningkatan kerentanan
terhadap infeksi. Terjadinya mutasi pada gen pengkodingan terhadap sistem komplemen atau
Penurunan kesadaran merupakan prediktor kuat kematian pada meningitis bakteri. Hal ini
didukung oleh penelitian yang dilakukan Proulx et al, (2005) dimana didapatkan hasil yang
signifikan dengan p<0.01. Dikatakan pemberian awal antibiotika sebaiknya sebelum terjadi
penurunan GCS<10 karena berhubungan dengan luaran kematian yang juga dipengaruhi oleh
faktor lain (Lu et al., 2002). Penurunan kesadaran dalam hal ini keadaan koma saat awal masuk
rumah sakit merupaka faktor independen yang berhubungan dengan kematian pada penderita
d. Kejang
Kejang sering terjadi pada kasus meningitis dewasa. Kejadian kejang dikatakan berkaitan
dengan proses inflamasi susunan saraf pusat dan sistemik yang berat, lesi struktural di susunan
saraf pusat, meningitis pneumokokus dan faktor predisposisi lainnya. Inflamasi kortikal
merupakan mekanisme terjadinya kejang pada meningitis bakteri. Di dapatkan proporsi kejang
pada meningitis bakteri yang mengalami kematian yaitu71,4 % (Hristea et al., 2001). Pada
penelitian yang dilakukan oleh Zoons et al, (2008) menunjukkan bahwa insiden kejang pada
meningitis bakteri sebesar 17% dan sebanyak 41% menyebabkan kematian. Didapatkan bahwa
kejang mempunyai hubungan kuat dengan kejadian kematian pada meningitis bakteri dengan
p<0.001 dan OR: 6.71 95% CI: 2.58-17.42 (Luet al., 2002).
sampai 59 tahun dan lebih banyak pada usia ≥60 tahun juga pada anak anak kecuali neonatus
(Mace,
2008). Pada penelitian di Belanda terhadap 696 kasus meningitis bakteri dewasa antara tahun
1998 sampai 2002 dilaporkan bahwa tingkat kematian pada bakteri pneumokokus signifikan
lebih tinggi dibandingkan bakteri meningikokus (30% vs 7%) (van de Beek et al., 2004).
Pada penelitian yang mencari faktor risiko kematian pada meningitis bakteri akut
didapatkan bahwa jumlah leukosit dalam CSS<1000/mm3 menyebabkan kematian 100% dengan
p<0.05 (Hristea et al., 2001). Hal ini didukung pula oleh penelitian van de Beek et al, (2004)
dengan p<0.001. Dikatakan pada meningitis meningokokus kadar CSS rendah dapat ditemukan
pada keadaan sepsis dan pada meningitis awal. Sedangkan studi meningitis pneumokokus pada
hewan coba menunjukkan adanya hubungan antara banyaknya kuman pada CSS, kurangnya
respon dari leukosit pada CSS dan terjadinya komplikasi intrakranial. Ini menandakan bahwa
pertumbuhan bakteri yang berlebihan dan kurangnya respon leukosit dalam CSS (Tauber et al.,
Penelitian yang dilakukan oleh Wang et al, (2014) menunjukkan bahwa penurunan kadar
glukosa rendah <45 mg/dL berhubungan dengan luaran buruk pada meningitis bakteri.
h. Keterlambatan pemberian antibiotika
Pemberian antibiotika lebih dari 6 jam merupakan prediktor signifikan dalam menyebabkan
kematian dengan p<0.01. Dikatakan juga merupakan faktor independen kuat dimana berisiko 8,4
kali lebih besar terjadinya kematian pada meningitis bakteri. Fatality rate pemberian antibiotika
>6 jam sebesar 13% dengan OR :8.4, 95% CI: 1.7-40. Dikatakan faktor yang mempengaruhi
keterlambatan pemberian antibiotika lebih dari 6 jam adalah : ketidaktepatan terapi antibiotika
dari unit pelayanan kesehatan sebelumnya (OR: 21,8), urutan diagnostik dan pengobatan: Ct
scan kepala, lumbal punksi, lalu antibiotika (OR : 5.6), tidak didapatkan trias klasik meningitis