Anda di halaman 1dari 34

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Meningitis adalah kumpulan gejala demam, sakit kepala dan meningismus akibat inflamasi

pada ruang subarachnoid yang dibuktikan dengan pleositosis cairan serebrospinalis (CSS).

Meningitis dapat terjadi akut, subakut atau kronis tergantung etiologi dan pengobatan awal yang

tepat. Meningitis akut terjadi dalam waktu beberapa jam sampai beberapa hari, yang disebabkan

oleh bakteri, virus, non infeksi. (Sáez-Llorens dan McCracken, 2003; Hoffman dan Weber, 2009)

Meningitis akut pada anak dirawat di rumah sakit secara rutin dan diberikan antibiotik spektrum

luas sambil menunggu hasil kultur karena sulit membedakan meningitis bakterial dengan

meningitis aseptik. Meningitis akut pada anak umumnya merupakan meningitis aseptik dan tidak

memerlukan pengobatan spesifik, namun 6-18% kasus meningitis akut merupakan meningitis

bakterial. (Geiseler et al., 1980; Mace, 2008)

Meningitis bakterial merupakan infeksi sistem saraf pusat (SSP) yang paling berat dan sering

serta masih menjadi masalah kesehatan di dunia.4 Angka kematian mencapai 25% di negara maju

dan lebih tinggi lagi di negara berkembang walaupun telah ada terapi antimikroba dan perawatan

intensif yang canggih. (Geiseler et al., 1980; Mace, 2008) Meningitis bakterial terutama menyerang

anak usia <2 tahun, dengan puncak angka kejadian pada usia 6-18 bulan. Insidens meningitis

bakterial di negara maju sudah menurun sebagai akibat keberhasilan imunisasi Hib dan

pneumokokus. Kasus meningitis bakterial diperkirakan 1-2 juta setiap tahun dan 135.000

meninggal dan menjadi salah satu dari 10 penyakit infeksi yang menyebabkan kematian di dunia

serta 30-50% akan mengalami sekuele neurologi. Di Indonesia, kasus tersangka meningitis
bakterial sekitar 158/100.000 per tahun9 dan menduduki urutan ke-9 dari 10 pola penyakit di 8

rumah sakit pendidikan.

Istilah meningitis aseptik digunakan untuk semua jenis radang meningen otak yang tidak

disebabkan oleh bakteri yang memproduksi pus. Meskipun virus adalah penyebab utama, banyak

etiologi yang lain baik infeksi dan non infeksi yang dapat menyebabkan meningitis aseptik.

Meningitis aseptik tidak identik dengan meningitis viral meskipun keduanya sering digunakan

secara bergantian. Meningitis aseptik adalah salah satu penyebab peradangan meningen yang

banyak ditemukan, dapat terjadi pada semua usia meskipun lebih sering terjadi pada anak-anak.

Kejadian meningitis aseptik di Amerika Serikat dilaporkan 11 per 100.000 orang/tahun,

dibandingkan dengan 8,6/100.000 pada meningitis bakterial. Meningitis aseptik menyebabkan

26.000-42.000 pasien rawat inap setiap tahun di Amerika Serikat. Penelitian yang dilakukan pada

anak-anak di Singapura ditemukan kejadian meningitis aseptik sekitar 37 kasus per 10.000 pasien

yang dirawat di rumah sakit. (Geiseler et al., 1980; Mace, 2008)

Meningitis bakterial memerlukan penanganan dan terapi segera namun meningitis akut

pada anak umumnya merupakan meningitis aseptik dan tidak memerlukan pengobatan spesifik.

Setiap anak dengan gejala klinis meningitis akut diberikan antibiotik sampai hasil kultur tersedia,

kira-kira 48 sampai 72 jam kemudian karena sulit membedakan antara meningitis bakterial dan

meningitis aseptik pada awal perjalanan penyakitnya, sehingga angka rawat inap menjadi

meningkat, efek samping penggunaan antibiotik, infeksi nosokomial dan biaya Pengobatan yang

tinggi. (Susilawathi et al., 2016)


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Meningitis Bakteri

2.1.1 Definisi meningitis bakteri

Meningitis bakteri adalah peradangan pada selaput otak yang mengenai lapisan piamater
dan ruang subaraknoid termasuk cairan serebrospinal (CSS) yang dapat disebabkan oleh bakteri
yang menyebar masuk ke dalam ruang subaraknoid (Sáez-Llorens dan McCracken, 2003;
Hoffman dan Weber, 2009).

2.1.2 Etiologi meningitis bakteri

Meningitis adalah bakteri yang mampu melewati perlindungan yang dibuat oleh tubuh

dan memiliki virulensi poten. Faktor host yang rentan dan lingkungan yang mendukung memiliki

peranan besar dalam patogenesis infeksi. Pada individu dewasa yang imunokompeten, S.

pneumonia dan N. meningitides adalah patogen utama penyebab meningitis bakteri, karena

kedua bakteri tersebut memiliki kemampuan kolonisasi nasofaring. Basil gram negatif seperti E.

coli, S. aureus, S. epidermidis, Klebsiella spp dan Pseudomonas spp biasanya merupakan

penyebab meningitis bakteri nosokomial, yang lebih mudah terjadi pada pasien kraniotomi,

kateterisasi ventrikel internal ataupun eksternal, dan trauma kepala (Roper dan Brown, 2005;

Clarke et al., 2009).Sedangkan bakteri gram positif berbentuk kokus yang juga merupakan

penyebab meningitis bakteri (meningitis suis) adalah S. suis (Susilawathi et al., 2016).
Tabel 2.1. Penyebab umum meningitis bakteri berdasarkan usia dan faktor risiko

(Roper dan Brown, 2005).

Neonatus (usia <3 bulan) Escherichia coli; Streptococcus grup B; Listeria


monocytogenes
Bayi dan anak (usia >3 S. pneumonia; N. meningitidis; H. infl uenzae
bulan)
Dewasa usia <50 S. pneumonia; N. Meningitides
tahun(imunokompeten)
Dewasa usia >50 tahun S. pneumonia; N. meningitidis; Listeria
monocytogenes
Fraktur kranium/pasca- Staphylococcus epidermidis; Staphylococcus
bedahsaraf
aureus; bakteri gram negatif
(Klebsiella,Proteus, Pseudomonas, E. coli);
Streptococcus grup A dan D; S. pneumonia; H.
influenza
Kebocoran CSS Bakteri gram negatif; S. Pneumonia

Kehamilan Listeria monocytogenes

Imunodefisiensi Listeria monocytogenes; bakteri gram negatif; S.


pneumonia; Pseudomonas
aeruginosa;Streptococcus grup B;
Staphylococcus aureus

S.suis merupakan penyebab meningitis paling sering pada usia 47-55 tahun dan tidak pernah

ditemukan pada anak-anak ((Wertheim, 2009).

2.1.3 Faktor risiko meningitis bakteri

Ada beberapa faktor risiko yang mempengaruhi individu atau host yaitu : usia,

demografi/faktor sosial ekonomi, paparan kuman, dan status imun yang rendah (Mace, 2008).

Usia dan demografi

Meningitis dapat terjadi pada semua usia dan pada individu yang sebelumnya sehat. Pasien lanjut
usia(>60 tahun) dan pasien anak (<5 tahun, terutama bayi / neonatus) memiliki tingkat

kerentanan yang tinggi terhadap insiden meningitis (Choi, 1992; Chavez-Bueno dan McCracken,

2005).
Sedangkan yang termasuk faktor demografi dan sosial ekonomi meliputi: jenis kelamin laki-laki,

ras Afrika Amerika, status sosial ekonomi yang rendah dan komunitas yang hidup di asrama atau

kamp militer (Geiseler et al., 1980; Mace, 2008). Pasien dengan status imun rendah

Terdapat hubungan antara imunosupresi dan peningkatan risiko terjadinya meningitis

bakteri. Yang termasuk kondisi imunosupresi : diabetes, alkoholik, sirosis / penyakit hati,

spelenektomi, gangguan hematologi (misalnya, penyakit sel sabit, talasemia mayor), keganasan,

gangguan imunologi (defisiensi komplemen, defisiensi immunoglobulin), Human

Immunedeficiency Virus (HIV), dan terapi obat imunosupresi (Schutzeetal., 2002; Mace, 2008).

2.1.4 Mekanisme masuknya bakteri ke dalam sistem saraf pusat

Ada beberapa mekanisme masuknya bakteri ke dalam CSS, paling sering melalui

penyebaran secara hematogen, dapat juga melalui penyebaran langsung dari perluasan infeksi

yang berdekatan. Faktor-faktor yang mendukung bakteri dapat masuk ke dalam CSS adalah :

kolonisasi baru, infeksi pada daerah yang berdekatan (misalnya, sinusitis, mastoiditis, otitis

media), kultur darah dari CSS(misalnya, penyalahgunaan obat intravena, bakteri endokarditis)

gangguan pada dura, paska bedah saraf, trauma tembus CSS, cacat bawaan, shunt (misalnya,

ventrikel shunt), kateter epidural, perangkat monitoring intrakranial, External Ventrikular

Drainage (EVD) (Mace, 2008). Patofisiologi meningitis bakteri

Infeksi bakteri dapat mencapai selaput otak melalui aliran darah (hematogen) atau

perluasan langsung dari infeksi yang disebabkan oleh infeksi dari sinus paranasalis, mastoid,

abses otak dan sinus kavernosus. Bakteri penyebab meningitis pada umumnya berkolonisasi di

saluran pernapasan bagian atas dengan melekatkan diri pada epitel mukosa nasofaring host.

Selanjutnya setelah terhindar dari sistem komplemen host dan berhasil menginvasi ke dalam

ruang intravaskular, bakteri kemudian melewati sawar darah otak (SDO) dan masuk ke dalam
CSS lalu memperbanyak diri karena mekanisme pertahanan CSS yang rendah. Dalam upaya

untuk mempertahankan diri terhadap invasi bakteri maka kaskade inflamasi akan teraktivasi

sebagai mekanisme pertahanan tubuh (Mace, 2008).

Bakteri penyebab meningitis memiliki sifat yang dapat meningkatkan virulensi kuman

itu sendiri. Bakteri H. influenzae, N. meningitidis dan S. pneumonia menghasilkan

imunoglobulin A protease. Bakteri-bakteri ini menginaktifkan immunoglobulin A host dengan

menghancurkan antibodi sehingga memungkinkan terjadinya perlekatan bakteri pada mukosa

nasofaring dan terjadinya kolonisasi. Perlekatan pada mukosa epitel nasofaring host oleh N.

meningitidis terjadi melalui fimbria atau silia. Dikatakan kerusakan silia ini akibat adanya infeksi

saluran pernapasan bagian atas dan juga kebiasaan merokok dapat mengurangi kemampuan

fimbria atau silia dalam mencegah perlekatan bakteri pada mukosa nasofaring. Bakteri kemudian

akan memasuki ruang intravaskular melalui berbagai mekanisme. Bakteri meningokokus

memasuki ruang intravaskular melalui proses endositosis melintasi endotelium di jaringan

ikatvakuola. Sedangkan bakteri H. influenzae memisahkan tight junction apikal antara sel epitel

untuk menginvasi mukosa dan mendapatkan akses ke ruang intravaskular (Mace, 2008).
Bakteri berkapsul (S. pneumonia, H. influenzae dan N. meningitidis) mencegah

kerusakan oleh host setelah berada dalam aliran darah,karena kapsul polisakarida bakteri

menghambat fagositosis dan aktivitas komplemen bakterisida. Setelah bakteri berada dalam

aliran darah, bakteri akan beradhesi ke SDO tergantung kualitas struktural dari bakteri seperti

fimbria pada beberapa strain E. coli, dan silia dan fimbria pada N. meningitidis (Mace, 2008).

Sistem pertahanan CSS host yang rendah menyebabkan bakteri akan cepat berkembang

biak setelah memasuki CSS. Beberapa faktor host yang berpengaruh terhadap mekanisme

pertahanan dalam CSS yang rendah adalah : kadar komplemen yang rendah, tingkat

immunoglobulin rendah, dan penurunan aktivitas opsonic, dimana menyebabkan

ketidakmampuan host dalam menghancurkan bakteri melalui mekanisme fagositosis. Di dalam

subarakhnoid, komponen bakteri dalam CSS akan memicu kaskade inflamasi pada host.

Komponen sitokin proinflamasi seperti interleukin 1 (IL 1), Tumor NecrosisFacto r(TNF) dan

berbagai sel lainnya termasuk makrofag, mikroglia, sel meningeal, dan sel-sel endotel. Sitokin

mengaktivasi migrasi neutrofil ke CSS melalui beberapa mekanisme. Sitokin meningkatkan

afinitas pengikatan leukosit sel endotel, dan menginduksi adhesi molekul yang berinteraksi

dengan reseptor leukosit (Mace, 2008).

Selain itu neutrofil CSS melepaskan substansi prostaglandin, metabolit toksin oksigen,

matrix metalloproteinases (MMP) yang meningkatkan permeabilitas pembuluh darah dan secara

langsung dapat juga menyebabkan neurotoksisitas. Kaskade inflamasi ini menyebabkan kelainan

pada aliran darah otak (ADO) dan terjadi edema serebral. Edema serebral yang timbul dapat

berupa edema vasogenik akibat dari peningkatan permeabilitas SDO atau edema sitotoksik yang

disebabkan oleh peningkatan cairan intraseluler diikuti perubahan dari membran sel dan

hilangnya homeostasis seluler. Sekresi hormon antidiuretik turut berkontribusi pada terjadinya

edema
sitotoksik dengan membuat cairan ekstrasel hipotonik dan meningkatkan permeabilitas otak.

Edema interstitial disebabkan oleh meningkatnya volume CSS, baik oleh karena peningkatan

produksi CSS melalui meningkatnya aliran darah pada pleksus koroid atau menurunnya

reabsorpsi sehingga terjadi peningkatan resistensi aliran CSS. Selain itu peradangan pembuluh

darah lokal atau trombosis dapat menyebabkan hipoperfusi serebral fokal sehingga mengganggu

autoregulasi aliran darah, dimana dapat terjadi peningkatan tekanan intrakranial (TIK) yang

dapat menyebabkan herniasi otak dan kematian (van de Beek et al., 2006; Mace, 2008).
Komponen
bakteri

Sel endotel Sel makrofag

Interaksi endotel-
IL-1 TNF dan IL-1
leukosit

PG2 PAF

Permeabilitas Cedera Kaskade Trombosis


SDO ↑ endotel koagulasi

Edema TIK ↑ ADO ↓


vasogenik

Protein Pleositosis Hipoksia


CSS ↑ CSS

Edema Glukosa Laktat


sitotoksik CSS ↓ CSS ↑

Hambatan aliran Edema


keluar CSS intertitial

Gambar 2.1. Patofisiologi molekuler meningitis bakteri

(Saez-Llorenset al., 1990).

2.1.5 Gejala klinis meningitis bakteri

Gejala klasik meningitis bakteri berupa demam, sakit kepala, kaku kuduk dan tanda-tanda
disfungsi otak (penurunan kesadaran mulai dari apatis sampai koma) (Tunkel, 2001).
Meskipun demikian dilaporkan hanya 44-75% pasien memiliki tiga gejala yaitu demam,
kaku kuduk dan perubahan status mental, setidaknya semua pasien mengalami salah satu gejala di
atas dan 95% memiliki dua dari empat gejala (sakit kepala, demam, kaku kuduk dan perubahan
status mental (Durand et al., 1993; van de Beeket al, 2004). Kaku kuduk dapat disertai tanda
Kernig atau Brudzinski atau keduanya. Tidak adanya tanda tersebut tidak mengesampingkan
diagnosis meningitis bakteri. Pada suatu studi prospektif menunjukkan sensitivitas tanda Kernig
sebesar 5%, tanda Brudzinski 5% dan kaku kuduk 30%. Hal ini menunjukkan bahwa tanda-tanda
ini tidak akurat dalam mendiagnosa pasien meningitis (Thomas et al., 2002). Kelumpuhan saraf
kranial (III, IV, VI dan VII) dan gejala fokal lainnya terjadi pada 10-20% kasus. Sekitar 30%
pasien mengalami kejang. Peradangan dan trombosis pembuluh darah, sering terjadi dalam ruang
subaraknoid, menyebabkan terjadinya iskemik daerah kortikal dan subkortikal yang dapat
mengakibatkan kejang dan defisit neurologis fokal. Dengan memburuknya penyakit, tanda-tanda
peningkatan tekanan intrakranial dapat terjadi termasuk koma, hipertensi, bradikardi dan
kelumpuhan nervus III (Nudelman dan Tunkel, 2009).
2.1.6 Pemeriksaan penunjang meningitis bakteri

Pemeriksaan CSS melalui pungsi lumbal merupakan alat diagnostik utama dalam

menegakkan meningitis bakteri (Tunkel, 2001). Pada pemeriksaan CSS yang mendukung kearah

infeksi meningitis bakteri adalah jumlah leukosit meningkat bisa mencapai ribuan dengan

dominan neutrofil (>60%), kadar protein dalam CSS meningkat (>200 milligram (mg)/desiliter

(dL)) dan penurunan konsentrasi glukosa (<40 mg/dL atau kurang dari 30% gula darah sewaktu)

(Ganiem, 2011). Dikatakan kadar leukosit CSS rendah (0-20/mm 3) berhubungan dengan

prognosis yang buruk. Pewarnaan gram dan kultur harus dilakukan pada semua spesimen CSS.

Gangguan dari SDO menyebabkan peningkatan kadar protein CSS pada hampir semua pasien.

Kadar glukosa < 40 mg/dL ditemukan pada sekitar 60% pasien dengan sebagian besar memiliki

rasio serum glukosa


≤0,4. Pada saat yang sama, kadar leukosit dan protein CSS normal dapat ditemukan pada pasien

immunocompromise berat dalam beberapa kasus meningitis neonatus dan pada awal penyakit

(Nudelman dan Tunkel, 2009).

Pemeriksaan pewarnaan gram pada CSS dapat dilakukan cepat, akurat pada 60-90%

dengan spesifitas hampir 100% pada pasien dengan meningitis bakteri (Domingoet al., 1997).

Semakin tinggi konsentrasi bakteri di dalam CSS, kemungkinan mendeteksi organisme dengan

pewarnaan gram lebih tinggi. Pasien yang telah mendapatkan antibiotik sebelum terapi yang

sesuai mungkin memiliki penurunan akurasi dalam mengidentifikasi organisme.

Beberapa tes diagnostik cepat telah dikembangkan untuk membantu dalam

menegakkan diagnosis meningitis bakteri (Gray dan Fedorko, 1992; Tunkel, 2001).Tes aglutinasi

latex mendeteksi antigen H. influenzae tipe B, S. pneumonia, N. meningitidis, E. coli K1 dan

kelompok streptokokus B. Namun, mengingat tes antigen bakteri kurang berperan dalam

pemberian terapi antibiotik dan telah dilaporkan memberikan hasil positif palsu maka

penggunaan rutin modalitas ini untuk diagnostik cepat dari penyebab infeksi bakteri meningitis

tidak dianjurkan (Tunkel et al., 2004). Tes amplifikasi asam nukleat, seperti Polymerase Chain

Reaction (PCR) telah digunakan untuk mengetahui Deoxyribo Nucleic Acid (DNA) dari pasien

dengan meningitis yang disebabkan oleh beberapa patogen meningeal. Pemeriksaan PCR bakteri

berperan dalam menegakkan diagnosis meningitis dan keputusan dalam memulai atau

menghentikan terapi antibiotika. Dalam suatu studi berbasis luas, menunjukkan sensitivitas PCR

100% dengan spesifisitas dari 98,2%, nilai prediksi positif 98,2% dan nilai prediksi negatif

prediktif 100% (Saravolatz et al., 2003). Sensitivitas PCR dalam mendiagnosis meningitis

pneumokokus sekitar 92-100% dan spesifisitas sebesar 100% (Werno dan Murdoch, 2008). PCR

sangat berperan terhadap pasien yang telah menerima antibiotik sebelum pengobatan yang sesuai

dan pada kultur kuman negatif pada


pemeriksaan CSS (Singhi et al., 2002; Tunkel et al., 2004). Beberapa peranan protein telah

dipelajari dalam mendiagnosis meningitis bakteri akut. Pasien dengan meningitis bakteri akut

mengalami peningkatan konsentrasi C-Reaktif Protein (CRP) dan serum prokalsitonin yang

dapat digunakan dalam membedakan meningitis bakteri dan meningitis virus (Nathan dan

Scheld, 2002). Suatu studi melaporkan sensitivitas dan spesifisitas serum prokalsitonin sebesar

100% untuk mendiagnosis meningitis bakteri, meskipun telah dilaporkan didapatkan hasil negatif

palsu (Viallon et al., 1999; Schwarz et al., 2000). Tes lain yang digunakan adalah tes

immunokromatografi untuk mendeteksi kuman S. pneumonia pada CSS dengan sensitivitas dan

spesifisitas 100% dalam mendiagnosis meningitis pneumokokus piogenik (Saha et al., 2005).

Meskipun demikian diperlukan penelitian lebih lanjut untuk menentukan kegunaan tes ini dalam

mendiagnosis meningitis pneumokokus (Nudelman dan Tunkel, 2009).

2.1.7 Terapi meningitis bakteri

Terapi antibiotika empirik pada meningitis bakteri : pemberian ceftriaxone 2 gram

tiap 12–24 jam intravena (iv) atau cefotaxime 2 gram tiap 6–8 jam iv (level evidence III B).

Sedangkan terapi alternatif : meropenem 2 gram tiap 8 jam iv (level evidence III C) atau

chloramphenicol 1 gram tiap 6 jam iv. Pada pneumokokus yang resisten terhadap penicillin atau

sefalosporin maka diberikan ceftriaxone atau cefotaxime ditambah vancomycin 60 miligram

(mg)/kilogram (kg)/24 jam iv (dosis disesuaikan dengan creatinine clearance) setelah dosis

loading 15 mg/kg (level evidence IVA). Jika kuman yang dicurigai adalah listeria maka diberikan

ampicillin/amoxicillin 2 gram tiap 4 jam iv (level evidence IVA) (Chaudhuri et al., 2008).

Terapi bakteri patogen spesifik : i). Pada kuman penyebab meningitis pneumokokus

termasuk spesies streptokokus yang sensitif terhadap penicillin diberikan benzyl penicillin

250.000 Unit (U)/kg/hari (setara dengan 2.4 gram tiap 4 jam) (level evidence IVA) atau
ampicillin/amoxicillin 2 gram tiap 4 jam atau ceftriaxone 2 gram tiap 12 jam atau cefotaxime 2

gram tiap 6–8 jam. Sedangkan terapi alternatif: meropenem 2 gram tiap 8 jam (level evidence

IVA) atau vancomycin 60 mg/kg/24 jam dosis disesuaikan dengan creatinine clearance) setelah

dosis loading 15 mg/kg ditambah rifampicin 600 mg tiap 12 jam (level evidence IVC) atau

moxifloxacin 400 mg tiap hari (level evidence IVC). ii). Pada pneumokokus yang kurang sensitif

terhadap pengobatan penicillin atau sefalosporin diberikan ceftriaxone ditambah vancomycin ±

rifampicin (level evidence IV). Terapi alternatif : moxifloxacin, meropenem atau linezolid 600

mg dikombinasi dengan rifampicin (level evidence IV). iii). Pada meningitis meningokokus

diberikan benzyl penicillin atau ceftriaxone atau cefotaxime (level evidence IV). Terapi

alternatif: meropenem atau chloramphenicol atau moxifloxacin (level evidence IVC). iv). Pada

kuman H.infuenzae tipe B diberikan ceftriaxone atau cefotaxime (level evidence IVC). Terapi

alternatif : chloramphenicol–ampicillin/amoxicillin (level evidence IVC). v). Pada meningitis

listeria diberikan ampicillin atau amoxicillin 2 gram tiap 4 jam ± gentamicin 1–2 mg tiap 8jam

selama 7 sampai 10 hari pertama (level evidence IVC). Terapi alternatif : trimethoprim–

sulfamethoxazole 10–20 mg/kg tiap 6–12 jam atau meropenem (level evidence IV). vi). Pada

spesies stafilokokus diberikan flucloxacillin 2 gram tiap 4 jam (level evidence IV) atau

vancomycin jika alergi terhadap penicillin (level evidence IV). Rifampicin sebaiknya juga

diberikan sebagai tambahan terhadap kuman lain dan linezolid untuk methicillin-resistant

staphylococcal meningitis (level evidence IVC). vii). Pada bakteri entero gram negatif diberikan

ceftriaxone atau cefotaxime atau meropenem. viii). Pada meningitis pseudomonas diberikan

meropenem ± gentamicin (Chaudhuri et al., 2008).

Lama pemberian : Durasi optimal pemberian terapi pada meningitis bakteri tidak di

ketahui. Pada suatu studi prospektif observasional di New Zealand pada kasus meningitis
meningokokel dewasa menunjukkan pemberian benzyl penicillin iv berhasil sebagai terapi

meningitis. Belum adanya uji klinis pada orang dewasa, maka rekomendasi lama pemberian

terapi antibiotika didasarkan pada standar praktek.Lama pemberian antibiotika yang

direkombinasikan adalah : a. Meningitis bakteri yang tidak spesifik selama 10 sampai 14 hari

(level evidence IVC).

b. Meningitis pneumokokus selama 10 sampai 14 hari (level evidence IVA). c. Meningitis

meningokokal selama 5 sampai 7 hari (level evidence IVA). d. Meningitis HIb selama 7 sampai

14 hari (level evidence IVB). e. Meningitis listeria selama 21 hari (level evidence IVB). f.

Meningitis pseudomonas dan basilar gram negatif selama 21 sampai 28 hari (level evidence IVB)

(Chaudhuri et al., 2008).

Terapi adjuvan deksametason : Pada hewan percobaan yang dengan meningitis bakteri

menunjukkan bahwa bakteri yang terlisis akibat pemberian antibiotika menyebabkan peradangan

pada ruang subaraknoid. Keparahan respon inflamasi ini berhubungan dengan luaran dan dapat

dikurangi dengan pemberian steroid (Van de Beek dan de Gans, 2006). Beberapa uji klinis telah

dilakukan untuk mengetahui dampak adjuvan steroid pada meningitis bakteri terhadap anak dan

orang dewasa (Scheld et al., 1980; Brouwer etal., 2010). Penelitian terhadap penggunaan

deksametason pada meningitis bakteri telah banyak dilakukan. Deksametason merupakan

glukokortikosteroid yang mempunyai fungsi sebagai anti inflamasi dan mempunyai sifat

imunosupresif serta memiliki penetrasi yang sangat baik dalam CSS. Pada suatu penelitian meta

analisa tahun 1988, deksametason telah terbukti mengurangi gangguan pendengaran pada anak

akibat meningitis yang disebabkan oleh kuman H. influenzae tipe B (McIntyre et al., 1997).

Sedangkan pada meta analisa oleh Cochrane tahun 2010 menunjukkan bahwa pemberian

deksametason tidak mengurangi angka kematian pada meningitis bakteri anak tetapi menurunkan

kejadian gangguan pendengaran dari 20% pada kelompok kontrol dimana 15% mendapat
deksametason (Relative Risk (RR) 0.74; 95% Confidence Interval (CI) 0.62-0.89) (Brouwer et

al., 2010). Sedangkan pada meningitis dewasa dari suatu hasil uji kontrol di Eropa didapatkan

bahwa pemberian deksametason sebelum atau bersamaan dengan pemberian pertama kali

antibiotika berhubungan dengan penurunan risiko luaran yang tidak menguntungkan (RR 0.59,

95%; CI 0.37- 0.94) dan menurunkan angka kematian (RR 0.48; CI 0.24-0.96) (de Gans dan van

de Beek, 2002). Dari lima uji klinis didapatkan bahwa pengobatan dengan kortikosteroid

berhubungan dengan penurunan angka kematian yang signifikan (RR 0,6; CI 0,4-0,8) dan gejala

sisa neurologi (RR 0,6; CI 0,4-1,0). Penurunan angka kematian yang paling signifikan di

dapatkan pada pasien meningitis pneumokokus dari 34% menjadi 14% (van de Beek dan de

Gans, 2004). Pada penelitian lain didapatkan penurunan kasus kematian pada pasien dengan

meningitis pneumokokus sebesar 21% (RR 0,5; CI 0,3-0,8) (van de Beek et al., 2004).Pada

meningitis meningokokus, di mana jumlah insiden sedikit, ada titik perkiraan menguntungkan

untuk mencegah kematian (RR 0,9; CI 0,3-2,1) dan neurologis gejala sisa (RR 0,5; CI 0,1-1,7),

tetapi efek ini tidak mencapai statistik makna. Dosis deksametason yang dianjurkan pada semua

kasus meningitis pneumokokus dewasa baik yang imunokompeten atau imunokompromise

adalah 10 mg tiap 6 jam selama 4 hari (level evidence IA).

2.1.8 Prognosis meningitis bakteri

Komplikasi akut yang umumnya terjadi pada meningitis bakteri dapat berupa : syok,

gagal napas, apnu, perubahan status mental/koma, peningkatan TIK, kejang, Disseminated

Intravascular Coagulation (DIC), efusi subdural, abses subdural, abses intraserebral dan bahkan

kematian. Pasien dapat mengalami perubahan status mental atau bahkan koma.Sekitar 15% dari

pasien anak yang menderita meningitis pneumokokus mengalami syok (Kornelisse et al., 1995).

Syok dan DIC sering berhubungan dengan meningitis meningokokus. Apnu atau gagal napas

dapat juga terjadi,


terutama pada bayi. Kejang terjadi pada sekitar sepertiga pasien. Kejang yang menetap (lebih

dari 4hari) atau mulai akhir cenderung terkait dengan gejala sisa neurologis. Kejang fokal

membawa prognosis yang lebih buruk dibandingkan kejang umum. Jika terjadi kejang fokal

harus diwaspadai kemungkinan komplikasi seperti empiema subdural, abses otak, atau

peningkatan TIK dan disarankan dilakukan pemeriksaan neuroimaging. Efusi subdural yang

terjadi pada sepertiga pasien anak umumnya asimptomatik, dapat membaik secara spontan dan

tidak menyebabkan gejala sisa neurologi permanen. Dapat juga terjadi Sindrom of Inappropriate

Anti Diuretic Hormone (SIADH) sehingga elektrolit dan keseimbangan cairan harus dipantau

ketat. Semua komplikasi seperti syok, DIC, perubahan status mental/koma,gangguan pernapasan,

kejang, peningkatan TIK, SIADH dan gejala lainnya ditangani dengan terapi yang lazim

diberikan (Mace, 2008).

Fatality rate kasus meningitis bakteri dilaporkan sebesar 25% pada orang dewasa dan

sampai 50% pada pasien usia lanjut (Duran et al., 1993; Adedipe dan Lowenstein, 2006).

Fatality rate kasus meningitis bakteri yang disebabkan oleh H. influenzae atau N. meningitidis

atau kelompok streptokokus B, sebesar 3% sampai 7%. Sedangkan pada S. pneumonia sebesar

20% sampai 25% dan 30% sampai 40% pada Listeriamonocytogenes (Schuchatet al., 1997).

Fatality rate yang lebih tinggi terjadi pada pasien usia ekstrim (lansia dan bayi, terutama

neonatus) (Chavez-Bueno dan McCracken, 2005). Prognosis bervariasi tergantung pada beberapa

faktor: usia, adanya komorbiditas, bakteri penyebab dan tingkat keparahan dan adanya gangguan

neurologis saat datang ke rumah sakit. Indikator klinis yang mempengaruhi tingkat kematian

yaitu

: derajat penurunan kesadaran saat masuk rumah sakit, adanya tanda peningkatan TIK, kejang

dalam 24 jam masuk rumah sakit, usia >50 tahun atau bayi, adanya komorbiditas, kebutuhan
akan alat bantu napas, keterlambatan pemberian terapi. Sebuah studi padameningitis bakteri

dewasa
(51% S. pneumonia, 37% N. meningitidis) menunjukkan bahwa faktor risiko terkait prognosis

buruk adalah usia lanjut, adanya osteoitis atau sinusitis, Glasgow Coma scale (GCS) yang rendah

saat masuk, takikardi, tidak adanya ruam, trombositopeni, peningkatan laju endap darah, jumlah

sel dalam CSS yang rendah dan kultur darah positif (van de Beek et al., 2004).

Insiden gejala sisa bervariasi kurang lebih 25% yang mengalami sekuele sedang atau

berat. Telah dilaporkan bahwa 40% memiliki gejala sisa berupa gangguan pendengaran dan

gejala sisa neurologi lainnya sementara yang lain menyebutkan 60% mengalami morbiditas

(Miller dan Choi, 1997; Tunkel dan Scheld, 2005). Gejala sisa dari meningitis bakteri meliputi:

gangguan pendengaran sensori neural (terutama sering terjadi pada anak yang mendapat infeksi

H.influenzae), penurunan fungsi intelektual/kognitif, gangguan memori, pusing, gangguan gaya

berjalan, defisit neurologis fokal termasuk kelumpuhan dan kebutaan, hidrosefalus, efusi

subdural, dan kejang (Mace, 2008).

2.2 Faktor yang berkaitan dengan kematian pada meningitis bakteri

Faktor yang berkaitan dengan kematian pada meningitis ditentukan oleh beberapa

variabel seperti; usia >60 tahun, jenis kelamin laki laki, adanya gangguan kesadararan, kejang,

demam, kuman penyebabnya S. pneumonia atau S. aureus, demam berkepanjangan (>10 hari),

infeksi lain, pemberian kortikosteroid, jumlah leukosit dalam CSS<100/mm3, waktu pemberian

antibiotika (Proulx et al., 2005). Pada penelitian lain dikatakan faktor prediktor kematian adalah

usia >60 tahun, imunokompromise, penurunan kesadaran, infeksi gram negatif.

a. Usia

Pada penyakit meningitis bakteri dikatakan tingkat kematian berbanding lurus dengan

pertambahan usia. Dikatakan terdapat hubungan antara pertambahan usia dengan penurunan

kesadaran dimana p<0.001 dan Ods Ratio (OR) 16.7 (Magazzini et al., 2012). Pada penelitian
surveilans di Amerika Serikat tahun 2003 sampai 2007 didapatkan kasus kematian pada

meningitis bakteri dewasa sebanyak 16.4% dimana pada rentang usia 18 sampai 34 tahun sebesar

8.9% sedangkan pada usia >60 tahun sebesar 22.7% (Thigpen, 2010).

b. Jenis kelamin

Pada penelitian yang dilakukan oleh Dharmarajan et al, (2016) yang mengamati

pengaruh perbedaan jenis kelamin terhadap luaran klinis yang buruk pada meningitis bakteri

didapatkan bahwa jenis kelamin laki laki signifikan berhubungan dengan luaran klinis yang

buruk dimana didapatkan pada usia diatas 60 tahun, adanya defisit neurologi, demam dan

kelainan laboratorium (p<0.05). Hal ini dikarenakan susunan otak laki laki berbeda dari

perempuan baik dari segi morfologi, neurokimia dan fungsional. Dikatakan umur berkaitan

dengan perubahan sekresi sitokin sel T seperti Interferon (IFN) dan IL 17 yang menurun pada

laki laki usia lanjut. Selain itu berhubungan dengan sekresi IL 10 yang meningkat pada wanita

dibandingkan pada laki- laki. Dan karena pada penyakit menular sebagian dipengaruhi oleh

perilaku spesifik gender. Namun perbedaan jenis kelaminpada penyakit infeksi saraf khususnya

meningitis jarang diteliti (Gieffing-Kroll et al., 2015). Dikatakan faktor genetik host juga

berperan dalam menentukan kerentanan terhadap tingkat infeksius penyakit. Tetapi bukan karena

perbedaan jenis kelamin melainkan akibat adanya gen yang dikenal dgn single-nucleotide

polymorphisms (SNPs), yang mengontrol respon host terhadap bakteri. Pasien yg mengalami

rekurensi atau familial meningitis atau yang mengalami sepsis akibat S. pneumoniae atau N.

meningitidis sering ditemukan memiliki mutasi gen yang menyebabkan peningkatan kerentanan

terhadap infeksi. Terjadinya mutasi pada gen pengkodingan terhadap sistem komplemen atau

Toll like receptor (TLR) pathway(Heckenberget al., 2013).


c. Penurunan kesadararan

Penurunan kesadaran merupakan prediktor kuat kematian pada meningitis bakteri. Hal ini

didukung oleh penelitian yang dilakukan Proulx et al, (2005) dimana didapatkan hasil yang

signifikan dengan p<0.01. Dikatakan pemberian awal antibiotika sebaiknya sebelum terjadi

penurunan GCS<10 karena berhubungan dengan luaran kematian yang juga dipengaruhi oleh

faktor lain (Lu et al., 2002). Penurunan kesadaran dalam hal ini keadaan koma saat awal masuk

rumah sakit merupaka faktor independen yang berhubungan dengan kematian pada penderita

usia lanjutdengan OR: 9.9 95% CI: 2.8-34.1(Cabellos et al., 2009).

d. Kejang

Kejang sering terjadi pada kasus meningitis dewasa. Kejadian kejang dikatakan berkaitan

dengan proses inflamasi susunan saraf pusat dan sistemik yang berat, lesi struktural di susunan

saraf pusat, meningitis pneumokokus dan faktor predisposisi lainnya. Inflamasi kortikal

merupakan mekanisme terjadinya kejang pada meningitis bakteri. Di dapatkan proporsi kejang

pada meningitis bakteri yang mengalami kematian yaitu71,4 % (Hristea et al., 2001). Pada

penelitian yang dilakukan oleh Zoons et al, (2008) menunjukkan bahwa insiden kejang pada

meningitis bakteri sebesar 17% dan sebanyak 41% menyebabkan kematian. Didapatkan bahwa

kejang mempunyai hubungan kuat dengan kejadian kematian pada meningitis bakteri dengan

p<0.001 dan OR: 6.71 95% CI: 2.58-17.42 (Luet al., 2002).

e. Jenis kuman penyebab

S.pneumonia merupakan kuman penyebab tersering meningitis bakteri pada usia 19

sampai 59 tahun dan lebih banyak pada usia ≥60 tahun juga pada anak anak kecuali neonatus

(Mace,
2008). Pada penelitian di Belanda terhadap 696 kasus meningitis bakteri dewasa antara tahun

1998 sampai 2002 dilaporkan bahwa tingkat kematian pada bakteri pneumokokus signifikan

lebih tinggi dibandingkan bakteri meningikokus (30% vs 7%) (van de Beek et al., 2004).

f. Jumlah leukosit dalam cairan serebrospinal

Pada penelitian yang mencari faktor risiko kematian pada meningitis bakteri akut

didapatkan bahwa jumlah leukosit dalam CSS<1000/mm 3 menyebabkan kematian 100% dengan

p<0.05 (Hristea et al., 2001). Hal ini didukung pula oleh penelitian van de Beek et al, (2004)

dengan p<0.001. Dikatakan pada meningitis meningokokus kadar CSS rendah dapat ditemukan

pada keadaan sepsis dan pada meningitis awal. Sedangkan studi meningitis pneumokokus pada

hewan coba menunjukkan adanya hubungan antara banyaknya kuman pada CSS, kurangnya

respon dari leukosit pada CSS dan terjadinya komplikasi intrakranial. Ini menandakan bahwa

pertumbuhan bakteri yang berlebihan dan kurangnya respon leukosit dalam CSS (Tauber et al.,

1992; van de Beek et al., 2004).

g. Kadar rendah glukosa cairan serebrospinal

Penelitian yang dilakukan oleh Wang et al, (2014) menunjukkan bahwa penurunan kadar

glukosa rendah <45 mg/dL berhubungan dengan luaran buruk pada meningitis bakteri.
h. Keterlambatan pemberian antibiotika

IDSA merekombinasikan pemberian antibiotika sesegera mungkin (Tunkel et al.,

2004). Pemberian antibiotika lebih dari 6 jam merupakan prediktor signifikan dalam

menyebabkan kematian dengan p<0.01. Dikatakan juga merupakan faktor independen kuat

dimana berisiko 8,4 kali lebih besar terjadinya kematian pada meningitis bakteri. Fatality

rate pemberian antibiotika

>6 jam sebesar 13% dengan OR :8.4, 95% CI: 1.7-40. Dikatakan faktor yang

mempengaruhi keterlambatan pemberian antibiotika lebih dari 6 jam adalah :

ketidaktepatan terapi antibiotika dari unit pelayanan kesehatan sebelumnya (OR: 21,8),

urutan diagnostik dan pengobatan: Ct scan kepala, lumbal punksi, lalu antibiotika (OR :

5.6), tidak didapatkan trias klasik meningitis (Proulx et al., 2005).


Kesimpulan

Meningitis adalah kumpulan gejala demam, sakit kepala dan meningismus akibat

inflamasi pada ruang subarachnoid yang dibuktikan dengan pleositosis cairan

serebrospinalis (CSS). Meningitis dapat terjadi akut, subakut atau kronis tergantung etiologi

dan pengobatan awal yang tepat. Meningitis disebabkan oleh bakteri, virus, non infeksi dan

meningitis akut terjadi dalam waktu beberapa jam sampai beberapa hari. Ada beberapa

faktor risiko yang mempengaruhi individu atau host yaitu : usia, demografi/faktor sosial

ekonomi, paparan kuman, dan status imun yang rendah. Faktor yang berkaitan dengan

kematian pada meningitis ditentukan oleh beberapa variabel seperti; usia >60 tahun, jenis

kelamin laki laki, adanya gangguan kesadararan, kejang, demam, kuman penyebabnya S.

pneumonia atau S. aureus, demam berkepanjangan (>10 hari), infeksi lain, pemberian

kortikosteroid, jumlah leukosit dalam CSS<100/mm3, waktu pemberian antibiotika

Meningitis akut pada anak dirawat di rumah sakit secara rutin dan diberikan

antibiotik spektrum luas sambil menunggu hasil kultur karena sulit membedakan

meningitis bakterial dengan meningitis aseptik. Meningitis akut pada anak umumnya

merupakan meningitis aseptik dan tidak memerlukan pengobatan spesifik, namun 6-18%

kasus meningitis akut merupakan meningitis bakterial. Pemeriksaan CSS melalui pungsi

lumbal merupakan alat diagnostik utama dalam menegakkan meningitis bakteri.


BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien


Nama : KRAS
Tempat, Tanggal Lahir : Buleleng, 15 September 2018
Umur : 1 tahun, 3 bulan
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Hindu
Alamat : Br Sedang Lapang Pemuteran, Buleleng
Kewarganegaraan : Indonesia
Nomor rekam medis : 19057445
Tanggal MRS : 19 Desember 2019
Tanggal Pemeriksaan : 30 Desember 2019

3.2 Heteroanamnesis
Keluhan Utama
Kejang
Perjalanan Penyakit
Pasien merupakan rujukan dari RSUD Negara dengan keluhan kejang. Kejang
dikatakan terjadi dua kali pada saat pasien berada di Puskesmas Gilimanuk (19
Desember 2019). Pada saat kejang pertama pukul 12.00 WITA, dikatakan mata pasien
seperti mendelik ke atas disertai tangan dan kaki yang kaku dan diikuti dengan gerakan
menghentak-hentak. Kejang berlangsung selama kurang lebih 3 menit, kejang berhenti
setelah pemberian obat dari bokong. Pasien tidak sadar setelah kejang berhenti. 15
menit kemudian kejang kedua terjadi kembali namun hanya kaki kanan pasien saja,
kejang terjadi selama kurang lebih 10 menit. Kejang berhenti setelah pemberian obat
anti kejang dari intravena dan setelah kejang pasien dikatakan tidak sadar. Pada saat
kejang, pasien dalam keadaan demam dan dilakukan pengukuran suhu yakni 39 oC.
Pasien dikatakan mengalami demam sejak 6 hari yang lalu (13 Desember 2019),
pasien sudah berobat ke Puskesmas Gilimanuk sebanyak 2 kali dan diberikan obat
penurun panas yakni Parasetamol. Pada saat setelah pasien berobat ke Puskesmas
demam dikatakan membaik pada hari keempat dan kembali memburuk pada hari
kelima, lalu orang tua pasien mengajak pasien untuk berobat kembali ke Puskesmas,
dan pasien dirujuk ke RSUD Negara.
Keluhan batuk dan pilek disangkal. Keluhan sesak tidak ada. Pasien masih
mampu minum. Keluhan lain seperti mual, muntah, dan BAB cair disangkal. BAK
pasien dikatakan tidak ada keluhan. Pada saat pemeriksaan (30 Desember 2019),
keluhan kejang, demam sudah tidak ada.

Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien dikatakan belum pernah mengalami keluhan serupa sebelumnya. Riwayat
trauma kepala dan penyakit sistemik disangkal.

Riwayat Pengobatan
Parasetamol 3x1 sendok teh takar ketika demam.
Orang tua pasien tidak mengetahui obat-obatan yang diberikan saat di Puskesmas
Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat kejang pada keluarga disangkal. Riwayat penyakit sistemik seperti
hipertensi, diabetes, penyakit jantung, ginjal disangkal, dan riwayat alergi disangkal.
Kelainan penyakit bawaan sejak lahir tidak ditemukan pada keluarga pasien.

Riwayat Pribadi, Sosial dan Lingkungan


Pasien merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara. Pasien tinggal serumah
bersama kedua orang tuanya. Saudara pasien dikatakan tidak pernah mengalami
keluhan yang serupa. Ventilasi rumah dikatakan baik, lingkungan rumah dikatakan
bersih. Keluarga pasien sering menjaga kebersihan tempat tinggal. Di dalam keluarga
pasien tidak ada yang merokok dan minum minuman beralkohol.

Riwayat Persalinan
Pasien lahir melalui persalinan normal per vaginam ditolong oleh dokter.
Kehamilan pasien dikatakan cukup bulan sekitar 38-39 minggu. Berat badan lahir 3000
gram, panjang badan lahir dan lingkar kepala tidak diingat oleh ibu pasien. Saat lahir,
pasien dikatakan segera menangis. Tidak terdapat kelainaan bawaan saat pasien lahir.
Riwayat Alergi
Pasien dikatakan tidak memiliki riwayat alergi makanan atau obat-obatan. Ayah
pasien dikatakan tidak memiliki alergi terhadap makanan dan obat-obatan. Ibu pasien
dikatakan tidak memiliki alergi terhadap obat-obatan maupun makanan.

Riwayat Imunisasi
BCG : 1 kali
OPV : 4 kali
Hepatitis B : 4 kali Riwayat Nutrisi
DPT : 3 kali ASI : Sejak usia 0 bulan, frekuensi on demand
Susu Formula : Sejak usia - bulan, frekuensi 3-4 kali/hari
HiB : 3 kali
Bubur Susu : Sejak usia 4 bulan, frekuensi 3-4 kali/hari
IPV : 1 kali
Nasi Tim : Sejak usia 8 bulan, frekuensi 3-4 kali/hari
Campak : 1 kali
Makanan Dewasa : Sejak usia 12 bulan, frekuensi 3-4 kali/hari
JE : 1 kali
MR : 1 kali
Riwayat Tumbuh Kembang
Menegakkan Kepala : 3 bulan
Membalik Badan : 4 bulan
Duduk : 6 bulan
Merangkak : 8 bulan
Berdiri : 9 bulan
Berjalan : 10 bulan
Bicara : Belum

3.3 Pemeriksaan Fisik


Status Present (30 Desember 2019)
Kesan Umum : Tampak sakit ringan
Kesadaran : Compos mentis (GCS E4V5M6)
Tekanan Darah : 100/70 mmHg
Nadi : 118 kali/menit
Laju Napas : 28 kali/menit
Suhu Axilla : 36,6oC
SpO2 : 98 % udara ruangan

Status General (30 Desember 2019)


Kepala : Normocephali. ubun-ubun besar tertutup
Mata : Konjungtiva pucat -/-, hiperemis -/-, sekret -/-, ikterik -/-,
refleks pupil +/+ isokor, edema palpebra -/-
THT
Telinga : Sekret -/-, hiperemis -/-
Hidung : Sekret -/-, nafas cuping hidung (-), deviasi septum (-)
Tenggorokan : Faring hiperemis (-), tonsil T1/T1 hiperemis (-)
Mulut : Bibir sianosis (-), mukosa bibir kering (+), lidah sianosis (-)
Leher : Pembesaran kelenjar getah bening (-)
Thorax : Simetris
Cor
Inspeksi : Precordial bulging (-), iktus kordis tidak tampak, RV heave
(-), LV lift (-)
Palpasi : Iktus kordis teraba di ICS IV MCL sinistra, thrill (-)
Auskultasi : S1S2 reguler, murmur (-)

Pulmo
Inspeksi : Gerakan dada simetris, retraksi (-)
Palpasi : Gerakan dada simetris, nyeri tekan (-)
Perkusi : Sonor/sonor
Auskultasi : Bronkovesikuler +/+, rhales -/-, wheezing -/-
Abdomen
Inspeksi : Distensi (-)
Auskutasi : Bising usus (+) normal
Perkusi : Timpani, asites (-)
Palpasi : Nyeri tekan (-), turgor kulit kembali cepat, hepar dan lien
tidak teraba
Ekstremitas : Akral hangat + + , edema - - , CRT ≤ 2 detik
+ + - -
Kulit : Sianosis (-)
Status Dermatologis:
Lokasi : Tangan kanan , ekstremitas superior et inferior dextra
Effloresensi: - Plak Eritem, bentuk geografika, ukuran 7 cm x 5 cm
Genitalia Eksterna : Laki-laki M1, P

Pemeriksaan Neurologis (30 Desember 2019)


Kesadaran : Compos mentis (GCS E4V5M6)
Tanda Rangsang Meningeal : Kaku kuduk (+), kernig sign (-/-), brudzinski I (-),
brudzinski II (-)

Nervus Kranialis
Nervus I : Gangguan penghidu (-)
Nervus II : Gangguan penglihatan (-), fundus tidak dievaluasi
Nervus III, IV, VI : Kedudukan bola mata simetris, gerakan bola mata
normal ke segala arah, pupil bulat isokor 3 mm/3
mm, refleks pupil +/+, ptosis -/-, nistagmus -/-,
deviasi konjugae -/-
Nervus V : Motorik dan sensibilitas tidak dapat dievaluasi,
refleks kornea +/+
Nervus VII : Gerakan otot wajah simetris, gerakan involunter
(-), sensoris pengecap tidak dievaluasi, tanda
chovstek (-), refleks glabella (-)
Nervus VIII : Gangguan pendengaran (-), tes dengan garputala
dan gangguan keseimbangan tidak dievaluasi
Nervus IX, X, XI, XII : Palatum simetris, menelan normal, refleks muntah
(+), ujung lidah simetris
Motorik
Tenaga : 5555 5555
5555 5555
Tonus : N N
N N
Trofik : N N
N N
Refleks Fisiologis : ++ ++
++ ++
Refleks Patologis : - -
- -
Status Antropometri

Umur : 1 tahun, 3 bulan


Berat Badan Lahir : 3000 gram
Panjang Badan Lahir : 46 cm
Berat Badan Aktual : 8 kg
Tinggi Badan : 81 cm
Berat Badan Ideal (WHO) : 10.5 kg
BB/U (WHO) : z score -3-(-2) SD
TB/U (WHO) : z score < - 3 SD
BB/TB (WHO) : z score -3(-2) SD
Status Gizi Waterlow : 76% (PEM
Sedang)

3.4 Pemeriksaan Penunjang


Darah Lengkap (RSUP Sanglah, 19 Desember 2019)
Tabel 3.1 Hasil Pemeriksaan Darah Lengkap
Parameter Hasil Satuan
WBC 14,38 103/µL
Ne(%) 82,62 %
Ly(%) 8,85 %
Mo% 5,93 %
Eo% 0,07 %
Ba% 0,54 %
Ne# 12,17 103/µL
Ly# 1,27 103/µL
Mo# 0,85 103/µL
Eo# 0,01 103/µL
Ba# 0,08 103/µL
RBC 4,96 106/µL
HGB 9,99 g/dL
HCT 31,33 %
MCV 63,20 fL
MCH 20,16 Pg
MCHC 31,90 g/dL
RDW 15,18 %
PLT 120,20 103/µL
MPV 7,26 fL

Pemeriksaan, CSS (20 Desember 2019)


Tabel 3.2 Hasil Pemeriksaan CSS
Reaksi None Positif µg/dL
Makroskopis
Warna Jernih
Darah Negatif
Bekuan Negatif

Mikroskopis
Reaksi Pandy Positif
Mono 40 %
Poly 60 %
Eritrosit 15 /Lp
Bentuk Dismorfik
Jumlah Sel 576 Cell/uL
Glukosa 44

Kesan : Meningits Bakterial

3.5 Diagnosis
Meningitis bakteri, Status Epileptikus, PEM Sedang
3.6 Penatalaksanaan
Kebutuhan cairan 800 ml/hari – IVFD D5 1/4 NS 25 ml/jam
Ceftriaxon 100 mg/kgBB/hari – 400 mg tiap 12 jam intravena
Dexametason 0.6 mg/kgBB/hari – 1.2 mg tiap 6 jam intravena
3.7 KIE
1. Menjelaskan kepada orang tua pasien mengenai penyakit yang dialami,
perjalanan penyakit, tatalaksana, komplikasi serta prognosis.
1. Menjelaskan kepada orangtua pasien untuk memantau kondisi pasien.
2. Menjelaskan kepada orangtua pasien untuk lebih waspada jika terjadi
peningkatan suhu pada pasien dan memberikan informasi mengenai kemungkinan
terjadinya kejang kembali dan dihimbau untuk menyediakan obat antikejang per
rektal di rumah.
3. Memberitahukan cara penanganan kejang, seperti:
1. Orangtua pasien diharapkan tetap tenang dan tidak panik.
2. Longgarkan pakaian yang ketat terutama disekitar leher.
3. Jangan memasukkan sesuatu ke dalam mulut pasien, dan sebisa mungkin
kepala dimiringkan ke samping agar bila anak muntah maka tidak terjadi
aspirasi.
4. Orangtua pasien diharapkan untuk mengukur suhu, observasi, catat bentuk
dan lama kejang
5. Berikan obat antikejang (diazepam) per rektal bila kejang masih
berlangsung lebih dari 5 menit. Jangan berikan bila kejang telah berhenti.
Diazepam rektal hanya boleh diberikan satu kali oleh orangtua.
6. Bawa ke dokter atau rumah sakit bila kejang berlangsung 5 menit atau lebih,
suhu tubuh lebih dari 40 derajat celcius, kejang tidak berhenti dengan
diazepam rektal, kejang fokal, setelah kejang anak tidak sadar, atau terdapat
kelumpuhan.
4. Menyarankan keluarga pasien untuk rutin kontrol ke dokter dan juga konsumsi
obat yang diberikan.

3.8 Prognosis
Ad Vitam : Dubia ad bonam
Ad Functionam : Dubia ad bonam
Ad Sanationam : Dubia ad bonam

Anda mungkin juga menyukai