Anda di halaman 1dari 1

Prof. DR. H.

 Abdul Malik Karim Amrullah (Buya Hamka)

Abdul Malik, nama kecil Hamka, lahir pada 17 Februari 1908 [Kalender Hijriyah: 13 Muharram 1326] di
Tanah Sirah, kini masuk wilayah Nagari Sungai Batang, Kabupaten Agam, Sumatra Barat. Ia adalah anak
pertama dari empat bersaudara, anak pasangan Abdul Karim Amrullah "Haji Rasul" dan Safiyah. Adik-
adik Hamka bernama: Abdul Kuddus, Asma, dan Abdul Mu'thi. Haji Rasul menikahi Safiyah setelah istri
pertamanya, Raihana yang merupakan kakak Safiyah meninggal di Mekkah. Raihana memberi Malik
seorang kakak tiri, Fatimah yang kelak menikah dengan Syekh Ahmad Rasyid Sutan Mansur. Kelak, Haji
Rasul bercerai denagan Safiyah, menikah dengan Rafi'ah dan memberi Hamka seorang adik tiri bernama
Abdul Bari. Kembali ke Minangkabau setelah belajar kepada Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, Haji
Rasul memimpin gelombang pembaruan Islam, menentang tradisi adat dan amalan tarekat, walaupun
ayahnya sendiri, Muhammad Amrullah adalah seorang pemimpin Tarekat Naqsyabandiyah. Istri
Amrullah, anduang bagi Malik, bernama Sitti Tarsawa adalah seorang yang mengajarkan tari, nyanyian,
dan pencak silat.
Di Maninjau, Hamka kecil tinggal bersama anduangnya, mendengarkan pantun-pantun yang merekam
keindahan alam Minangkabau. Ayahnya sering bepergian untuk berdakwah. Saat berusia empat tahun,
Malik mengikuti kepindahan orangtuanya ke Padang Panjang, belajar membaca al-Quran dan bacaan
shalat di bawah bimbingan Fatimah, kakak tirinya. Memasuki umur tujuh tahun, Malik masuk ke Sekolah
Desa.[a] Pada 1916, Zainuddin Labay El Yunusy membuka sekolah agama Diniyah School, menggantikan
sistem pendidikan tradisional berbasis surau. Sambil mengikuti pelajaran setiap pagi di Sekolah Desa,
Malik mengambil kelas sore di Diniyah School. Kesukaanya di bidang bahasa membuatnya cepat sekali
menguasai bahasa Arab.
Pada 1918, Malik berhenti dari Sekolah Desa setelah melewatkan tiga tahun belajar. Karena menekankan
pendidikan agama, Haji Rasul memasukkan Malik ke Thawalib. Sekolah itu mewajibkan murid-muridnya
menghafal kitab-kitab klasik, kaidah mengenai nahwu, dan ilmu saraf. Setelah belajar di Diniyah School
setiap pagi, Malik menghadiri kelas Thawalib pada sore hari dan malamnya kembali ke surau. Namun,
sistem pembelajaran di Thawalib yang mengandalkan hafalan membuatnya jenuh. Kebanyakan murid
Thawalib adalah remaja yang lebih tua dari Malik karena beratnya materi yang dihafalkan.

Anda mungkin juga menyukai