DISUSUN OLEH :
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
dengan rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya lah kami dapat
menyelesaikan makalah ini sebatas pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki.
Dan juga kami berterima kasih pada Ibu Ratmiarti, selaku Dosen mata kuliah
pendidikan agama islam yang telah memberikan tugas ini kepada kami.
Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka
menambah wawasan serta pengetahuan kita mengenai pengertian manusia
menurut islam, hakikat manusia,tujuan penciptaan manusia, tanggung jawab
manusia serta persamaan dan perbedaan manusia dengan makhluk lain. Kami juga
menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan-
kekurangan dan jauh dari apa yang kami harapkan. Untuk itu, kami berharap
adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan di masa yang akan datang,
mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa sarana yangmembangun.
Adapun makalah ini ditulis dari hasil penyusunan data-data sekunder
yang diperoleh dari berbagai sumber yang berkaitan dengan agama Islam serta
infomasi dari media massa yang berhubungan dengan tema. Semoga makalah
sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya. Sekiranya
laporan yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun orang
yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan
kata-kata yang kurang berkenan dan kami memohon kritik dan saran yang
membangun demi perbaikan di masa akan datang.
penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
C. Tujuan
BAB II
PEMBAHASAN
Dalam Al-Quran manusia dipanggil dengan beberapa istilah, antara lain al-
insaan, al-naas, al-abd, dan bani adam dan sebagainya. Al-insaan berarti suka,
senang, jinak, ramah, atau makhluk yang sering lupa. Al-naas berarti manusia
(jama’). Al-abd berarti manusia sebagai hamba Allah. Bani adam berarti anak-
anak Adam karena berasal dari keturunan nabi Adam.
Allah selaku pencipta alam semesta dan manusia telah memberikan informasi
lewat wahyu Al-quran dan realita faktual yang tampak pada diri manusia.
Informasi itu diberi- Nya melalui ayat-ayat tersebar tidak bertumpuk pada satu
ayat atau satu surat. Hal ini dilakukan-Nya agar manusia berusaha mencari,
meneliti,memikirkan, dan menganalisanya. Tidak menerima mentah demikian
saja. Untuk mampu memutuskannya, diperlukan suatu peneliti Alquran dan
sunnah rasul secara analitis dan mendalam. Kemudian dilanjutkan dengan
melakukan penelitian laboratorium sebagai perbandingan, untuk merumuskan
mana yang benar bersumber dari konsep awal dari Allah dan mana yang telah
mendapat pengaruh lingkungan
A. Jasad
Meskipun wujudnya suatu jasad yang berasal dari sari pati makanan, nilai-
nilai kejiwaan untuk terbentuknya jasad ini harus diperhatikan. Untuk dapat
mewujudkan sperma dan ovum berkualitas tinggi, baik dari segi materinya
maupun nilainya, Alquran mengharapkan agar umat manusia selalu memakan
makanan yang halalan thayyiban (Surat Al-baqarah: 168, Surat Al-maidah 88,
dan surat Al-anfal 69). Halal bermakna suci dan berkualitas dari segi nilai
Allah. Sedangkan kata thayyiban bermakna bermutu dan berkualitas dari segi
materinya.
B. Ruh
Dari ayat ini dapat dipahami bahwa manusia pada dasarnya sudah siap
menerima beban perintah-perintah Allah dan sebagai orang yang dibekali
dengan ruh, seharusnya ia elalu meningkatkan keimanannya terhadap Allah.
Hal itu berarti mereka yang tidak ada usaha untuk menganalisa wahyu Allah
serta tidak pula ada usaha untuk menguatkan keimanannya setiap saat berarti
dia mengkhianati ruh yang ada dalam dirinya.
C. Nafs
Para ahli menyatakan manusia itu pasti akan mati. Tetapi Al-Qur’an
menginformasikan bahwa yang mati itu nafsnya. Hal ini diungkapkan pada
Surat Al-Anbiya ayat 35 dan Surat Al-Ankabut ayat 57, Surat Ali-Imran ayat
185. Hadist menginformasikan bahwa ruh manusia menuju alam barzah
sementara jasad mengalami proses pembusukan, menjelang ia bersenyawa
kembali secara sempurna dengan tanah.
2. Nafs Al-lawwamah (Surat Al-Qiyamah ayat 1-3 dan ayat 20-21) dari
penjelasan ayat tersebut terlihat bahwa yang dimaksud dengan nafs
lawwamah ini adalah jiwa yang condong kepada dunia dan tak acuh
dengan akhirat.
Artinya adalah manusia sempurna, berasal dari kata al-insan yang berarti
manusia dan al-kamil yang berarti sempurna. Konsepsi filosofid ini pertama
kali muncul dari gagasan tokoh sufi Ibnu Arabi. Oleh Abdul Karim bin Ibrahim
al-Jili (1365-1428), pengikutnya, gagasan ini dikembangkan menjadi bagian
dari renungan mistis yang bercorak tasawuf filosofis.
Al-Jili merumuskan insan kamil ini dengan merujuk pada diri Nabi
Muhammad SAW sebagai sebuah contoh manusia ideal. Jati diri Muhammad
(al-haqiqah al-Muhammad) yang demikian tidak semata-mata dipahami dalam
pengertian Muhammad SAW asebagai utusan Tuhan, tetapi juga sebagai nur
(cahaya/roh) Ilahi yang menjadi pangkal dan poros kehidupan di jagad raya
ini.
Nur Ilahi kemudian dikenal sebagai Nur Muhammad oleh kalangan sufi,
disamping terdapat dalam diri Muhammad juga dipancarkan Allah SWT ke
dalam diri Nabi Adam AS. Al-Jili dengan karya monumentalnya yang berjudul
al-Insan al-Kamil fi Ma’rifah al-Awakir wa al-Awa’il (Manusia Sempurna
dalam Konsep Pengetahuan tentang Misteri yang Pertama dan yang Terakhir)
mengawali pembicaraannya dengan mengidentifikasikan insan kamil dengan
dua pengertian. Pertama, insan kamil dalam pengertian konsep pengetahuan
mengeneai manusia yang sempurna. Dalam pengertian demikian, insan kamil
terkail dengan pandangan mengenai sesuatu yang dianggap mutlak, yaitu
Tuhan. Yang Mutlak tersebut dianggap mempunyai sifat-sifat tertentu, yakni
yang baik dan sempurna.
Sifat sempurna inilah yang patut ditiru oleh manusia. Seseorang yang
makin memiripkan diri pada sifat sempurna dari Yang Mutlak tersebut, maka
makin sempurnalah dirinya. Kedua, insan kamil terkait dengan jati diri yang
mengidealkan kesatuan nama serta sifat-sifat Tuhan ke dalam hakikat atau
esensi dirinya. Dalam pengertian ini, nama esensial dan sifat-sifat Ilahi tersebut
pada dasarnya juga menjadi milik manusia sempurna oleh adanya hak
fundamental, yaitu sebagai suatu keniscayaan yang inheren dalam esensi
dirinya. Hal itu dinyatakan dalam ungkapan yang sering terdengar, yaitu Tuhan
berfungsi sebagai cermin bagi manusia dan manusia menjadi cermin bagi
Tuhan untuk melihat diri-Nya.
Bagi al-Jili, manusia dapat mencapai jati diri yang sempurna melalui
latihan rohani dan mendakian mistik, bersamaan dengan turunnya Yang Mutlak
ke dalam manusia melalui berbagai tingkat. Latihan rohani ini diawali dengan
manusia bermeditasi tentang nama dan sifat-sifat Tuhan, dan mulai mengambil
bagian dalam sifat-sifat Illahi serta mendapat kekuasaan yang luar biasa.
Pada tingkat ketiga, ia melintasi daerah nama serta sifat Tuhan, masuk ke
dalam suasana hakikat mutlak, dan kemudian menjadi “manusia Tuhan” atau
insan kamil. Matanya menjadi mata Tuhan, kata-katanya menjadi kata-kata
Tuhan, dan hidupnya menjadi hidup Tuhan (nur Muhammad). Muhammad
Iqbal tidak setuju dengan teori para sufi seperti pemikiran al-Jili ini. Menurut
dia, hal ini membunuh individualitas dan melemahkan jiwa. Iqbal memang
memandang dan mengakui Nabi Muhammad SAW sebagai insan kamil, tetapi
tanpa penafsiran secara mistik.
Insan kamil versi Iqbal tidak lain adalah sang mukmin, yang dalam
dirinya terdapat kekuatan, wawasan, perbuatan, dan kebijaksanaan. Sifat-sifat
luhur ini dalam wujudnya yang tertinggi tergambar dalam akhlak Nabi SAW.
Insan kamil bagi Iqbal adalah sang mukmin yang merupakan makhluk moralis,
yang dianugerahi kemampuan rohani dan agamawi. Untuk menumbuhkan
kekuatan dalam dirinya, sang mukmin senantiasa meresapi dan menghayati
akhlak Ilahi. Sang mukmin menjadi tuan terhjadap nasibnya sendiri dan secara
tahap demi tahap mencapai kesempurnaan. Iqbal melihat, insan kamil dicapai
melalui beberapa proses. Pertama, ketaatan pada hukum; kedua penguasaan
diri sebagai bentuk tertinggi kesadaran diri tentang pribadi; dan ketiga
kekhalifahan Ilahi.
Manusia terdiri dari sekumpulan organ tubuh, zat kimia, dan unsur
biologis yang semuanya itu terdiri dari zat dan materi Secara Spiritual
manusia adalah roh atau jiwa. Secara Dualisme manusia terdiri dari dua
subtansi, yaitu jasmani dann ruhani (Jasad dan roh). Potensi dasar manusia
menurut jasmani ialah kemampuan untuk bergerak dalam ruang yang
bagaimanapun, di darat, laut maupun udara. Dan jika dari Ruhani, manusia
mempunyai akal dan hati untuk berfikir (kognitif), rasa (affektif), dan perilaku
(psikomotorik).
Ayat diatas sebagai bukti tentang keberadaan manusia di dunia yaitu untuk
menyembah, mengapdi kepada Allah SWT. Bentuk pengapdian tersebut
berupa pengkuan atas keberadaan Allah SWT dengan menjalankan perintah
Allah dan menjahui larangannya. Sebagai bentuk mengakui keberadaan Allah
dengan mengikuti rukun iman dan rukun islam. Selain itu dalam melakukan
penyembahan kepada Allah harus dilakukan dengan hati yang iklas, karena
Allah tidak membutuhkan sedikitpun sesuatu dari manusia.
Keberadaan manusia didunia merupakan tanda kebesaran, kekuasaan
Allah kepada hamba-hambanya.Allah dialah Tuhan yang menciptakan,
menghidupkan dan menjaga kehidupan manusia. Dengan demikian manusia
diciptakan untuk mengimani Allah SWT.[1] Selain itu penyembahan yang
sempurna dari seseorang akan menjadikan dirinya sebagai khalifah Allah yang
mengelola kehidupan di alam semesta. Keseimbangan alam dapat terjaga
dengan tegaknya hokum-hukum yang Allah tegakkan.
Dari ayat tersebut dapat diambil pengertian bahwa fungsi dan peranan
manusia sebagai khalifah atau pemimpin dimuka bumi ini. Sehingga peran
yang dilakukan sesuai ketetapan Allah, di antaranya yaitu:
Manusia tidak berbeda dengan binatang dalam kaitan dengan fungsi tubuh
dan fisiologisnya. Fungsi kebinatangan di temukan oleh naluri, pola-pola
tingkah laku yang khas, yang pada gilirannya ditentukan oleh struktur susunan
syaraf bawaan. Semakin tinggi tingkat perkembangan binatang, semakin
fleksibel pola tindakannya. Pada primata (bangsa monyet) yang lebih tinggi
dapat di temukan intelegensi, yaitu penggunaan pikiran guna mencapai tujuan
yang diinginkan, sehinnag memungkinkan binatang melampaui pola kelakuan
yang telah di gariskan secara naluri. Namun setinggi-tingginya perkembangan
binatang, elemen-elemen dasar ekstensinya yang tertentu masih tetap sama.
Manusia pada hakikatnya sama saja dengan makhluk hidup lainnya, yaitu
memiliki hasrat dan tujuan. Ia berjuang untuk meraih tujuannya dengan di
dukung oleh pengetahuan dan kesadaran. Perbedaan di antara keduanya
terletak pada dimensi pengtahuan, kesadaran, dan tingkat tujuan. Di sinilah
letak kelebihan dan keunggulan yang di banding dengan makhluk lain. Di
banding makhluk lainnya, manusia mempunyai kelebihan. Kelebihan itu
membedakan manusia dengan makhluk lainnya.
Dan sesungguhnya Kami telah memuliakan anak adam (manusia) dan
Kami angkut mereka di darat dan di laut, dan Kami melebihkan mereka atas
makhluk-makhluk yang Kami ciptakan, dengan kelebihan yang menonjol ( QS.
Al Isra 70).
Pada prinsipnya, malaikat adalah makhluk yang mulia. Namun jika
manusia beriman dan taat kepada Allah SWT ia bisa melebihi kemuliaan para
malaikat. Ada beberapa alasan yang mendukung pernyataan tsb.
Pertama, Allah SWT memerintahkan kepada malaikat untuk bersyujud
(hormat) kepada Adam as. Allah berfirman saat awal penciptaan manusia ;
“Dan ingatlah ketika Kami berfirman kepada Malaikat, sujudlah kamu
kepada adam, maka sujudlah mereka kecuali iblis, ia enggan dan takabur
dan ia adalah termasuk golongan kafir. ( QS. Al Baqarah 34).
Kedua, malaikat tidak bisa menjawab pertanyaan Allah tentang al asma
(nama-nama ilmu pengetahuan) sedangkan Adam mampu karena memang
diberi ilmu oleh Allah SWT.
“ Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama seluruhnya, kemudian
mengemukakannya kepada para malaikat, lalu berfirman, Sebutkanlah
kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang golongan yang benar.
Mereka menjawab, Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami katahui selain
apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami, sesungguhnya Engkaulah Yang
Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Allah berfirman, Hai Adam,
beritahukanlah kepada mereka nama-nama benda ini. Maka setelah
diberitahukannya nama-nama benda itu, Allah berfirman, Bukankah sudah
Ku katakan kepadamu, bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit
dan bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu
sembunyikan.” (Q S. Al Baqarah 33)
Ketiga, kepatuhan malaikat kepada Allah SWT karena sudah tabiatnya,
sebab malaikat tidak memiliki hawa nafsu sedangkan kepatuhan manusia pada
Allah SWT melalui perjuangan yang berat melawan hawa nafsu dan godaan
syetan.
Keempat, manusia diberi tugas oleh Allah menjadi khalifah dimuka bumi,
“Ingatlah ketika Tuhan mu berfirman kepada para malaikat, : Sesungguhnya
Aku hendak menjadikan seorang khalifah dimuka bumi…”(QS.Al Baqarah 30)
Manusia memiliki karakter yang khas, bahkan di bandingkan makhluk lain
yang paling mirip sekalipun. Kekhasan inilah yang menurut al-Quran
menyebabkan adanya konsekuensi kemanusiaan di antaranya kesadaran,
tanggung jawab, dan pembalasan. Diantara karakteristik manusia adalah:
1. Aspek kreasi
Apapun yang ada pada tubuh manusia sudah di rakit dalam suatu
tatanan yang terbaik dan sempurna. Hal ini bisa di bandingkan dengan
makhluk lain dalam aspek penciptaannya. Mungkin banyak
kesamaannya, tetapi tangan manusia lebih fungsional dari tangan
sinpanse, demikian pula organ-organ lainnya.
2. Aspek ilmu
3. Aspek kehendak
4. Pengarahan akhlak
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
http://samengingatkan.blogspot.co.id/
http://zekibl.blogspot.co.id/2015/05/makalah-konsep-manusia-dalam-
islam.html
http://annisawally0208.blogspot.co.id/2016/06/contoh-makalah-konsep-
manusia-menurut.html
http://uinkediri.blogspot.co.id/2015/05/contoh-makalah-manusia-
menurut-islam.html
https://sukirman722.wordpress.com/2014/05/23/makalah-hakikat-
manusia-dalam-islam/