Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH AGAMA DAN ETIKA

“Keselamatan, Api Penyucian, dan Kebangkitan Badan”

Disusun Oleh:

Melani Koryesin (191410028)

Fernandus Fendy Rianto (191420066)

KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL

BADAN PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA ENERGI DAN MINERAL

POLITEKNIK ENERGI DAN MINERAL

PEM-Akamigas

Cepu, Oktober 2019


BAB I

PENDAHULUAN

Dalam makalah ini, penulis mencoba membahas mengenai Keselamatan, api penyucian dan
kebangkitan badan yang tertulis dalam Kitab Suci. Istilah ”selamat” atau ”penyelamatan” kadang
digunakan penulis Alkitab untuk menunjukkan bahwa seseorang diselamatkan dari suatu bahaya
atau kehancuran. (Keluaran 14:13, 14; Kisah 27:20) Tapi, istilah-istilah ini sering dipakai untuk
memaksudkan penyelamatan dari dosa. (Matius 1:21) Dosa adalah penyebab kematian, jadi orang
yang dibebaskan dari dosa punya harapan untuk hidup selamanya.—Yohanes 3:16, 17. *

”api penyucian” tidak pernah muncul dalam Alkitab. Alkitab juga tidak mengajarkan bahwa jiwa
orang yang sudah mati harus dibersihkan melalui api penyucian. Pikirkan beberapa ajaran Alkitab
tentang dosa dan kematian, yang bertentangan dengan ajaran api penyucian.

Yang membersihkan dosa kita adalah darah Yesus, bukan api penyucian. Alkitab mengatakan
bahwa ”darah Yesus, [Putra Allah], membersihkan kita dari semua dosa” dan ”Yesus Kristus . . .
melepaskan kita dari dosa-dosa kita melalui darahnya”. (1 Yohanes 1:7; Penyingkapan (Wahyu)
1:5) Yesus memberikan ”jiwanya sebagai tebusan” untuk menghapus dosa manusia.—Matius
20:28.

“Kalau tidak ada kebangkitan orang mati, maka Kristus juga tidak dibangkitkan” (1Kor 15:13).
Dengan kata lain, orang yang tidak percaya akan kebangkitan badan, tidak percaya akan Kristus
sendiri yang telah bangkit. Maka, iman akan kebangkitan badan berhubungan erat dengan iman
akan Kristus yang bangkit dari antara orang mati. St. Thomas dalam Summa Theology memberikan
lima alasan mengapa Kristus bangkit, yaitu: (1) untuk menyatakan keadilan Allah; (2) untuk
memperkuat iman kita; (3) untuk memperkuat pengharapan; (4) agar kita dapat hidup dengan baik;
(5) untuk menuntaskan karya keselamatan Allah.

dan tujuan penulis membahas hal ini untuk menambah sumber referensi bagi pembaca dalam
memahami dan mengerti terkait Keselamatan , api penyucian dan kebangkitan badan.
TUJUAN

Tujuan dari makalah ini yaitu menjelaskan bagaimana Keselamatan, Api Penyucian dan
Kebangkitan Badan

MANFAAT

Manfaat dari makalah ini yaitu dapat mengetahui Keselamatan, Api Penyucian dan Kebangkitan
Badan Dalam Lingkup Kerohanian
BAB II
PEMBAHASAN MATERI

 KESELAMATAN

Katolik mengajar, Keselamatan (Yunani:soteria; Ibrani: yeshu’ah; Latin: Salvatio; Inggris:


Salvation) dalam injili bahasa umum arti kemerdekaan dari keadaan susah atau dari lainnya, dan
terjemahan ke dalam keadaan kebebasan dan keamanan (I Raja-Raja, bab 11 , ayat 13, 14, 45, II
Raja-Raja, 23, 10; IV Raja-Raja, 13, 17). Pada saat itu menyatakan Allah membantu melawan
musuh Israel, pada waktu lain, yaitu berkat ilahi kepada hasil dari tanah (Is., xlv, 8). Sebagai dosa
yang paling besar adalah kejahatan, sebagai root dan sumber segala kejahatan, Alkitab Kudus
menggunakan kata “keselamatan” terutama dalam arti kemerdekaan umat manusia atau individu
manusia dari dosa dan konsekuensi. Pertama kita harus mempertimbangkan keselamatan umat
manusia, dan kemudian keselamatan karena diverifikasi di setiap manusia.

Perbedaan Gambaran dan Istilah dalam Kitab Suci mengenai Keselamatan

Seperti diketahui bahwa banyak gambaran dan frasa (ungkapan) mengenai Keselamatan, ada
beberapa dalam Injil, dan ada juga yang tidak tertulis langsung ‘keselamatan’ (Yesus sering
menggunakan penggambaran untuk mengajarkan tentang keselamatan, yang sering Yesus sebut
sebagai ‘Kerajaan Surga’, dalam perumpamaan-Nya). Istilah-istilah (terminologi) yang digunakan
sesuai dengan tradisi yang berlaku. Di kalangan Teolog Protestan terkenal menggunakan istilah
‘lahir kembali’ (regeneration), sedangkan di kalangan Gereja Katolik menggunakan istilah ‘rahmat
pengudusan’ (sanctifying grace), yang keduanya merupakan hal yang sama. Dan selain itu masih ada
lagi istilah-istilah lain yang digunakan untuk menggambarkan ‘Keselamatan’. Perbedaan ini tidak
perlu diperdebatkan, sama halnya seperti memperdebatkan istilah apa yang gunakan antara ‘jaket
pelampung’ dan ‘alat pengapung’ ketika ada orang membutuhkan pertolongan karena di tengah laut.

Dua Jalan

Satu hal yang melatarbelakangi semua istilah dan gambaran yang berbeda-beda itu adalah bahwa ada
dua penghujung yang menanti pada akhir jalan hidup manusia. Kitab Mazmur 1 meringkaskan; Ada
satu jalan menuju Allah dan berakhir pada kebahagiaan, dan selain itu ada jalan lain yang arahnya
menjauhkan manusia dari Allah dan berakhir pada kebinasaan. Dalam dunia fisik, semua jalan tidak
dapat menuju kepada satu tempat. Kita tidak dapat jalan dari Jakarta ke Jayapura dengan bergerak
dari arah timur ke barat, hanya dari arah barat ke timur yang benar. Kita dapat menyimpulkan bahwa
semua A adalah C dari pendasaran alasan bahwa semua A adalah B dan semua B adalah C; kita tidak
dapat mendapat kesimpulan lain berdasarkan alasan tersebut. Atau dengan kata lain, kita tidak dapat
mencapai tujuan keadilan dan kebenaran dengan melalui cara yang salah seperti mencuri, dan kita
juga tidak dapat mencapai tujuan ketidak jujuran apabila kesetiaan dan ketaatan dari kesadaran kita.

Dunia jasmani, dunia intelektual, dan dunia moral semuanya mempunyai sasaran pencapaian yang
tersusun sesuai dengan dunianya masing-masing, dengan batasan yang jelas. Sasaran tujuan
pencapaian tiap dunia itu bukanlah dirancang tau dibuat oleh kita, tapi untuk dicari dan ditemukan
oleh kita. Jika hidup kita sesuai dengan jalan yang benar, maka kita akan berhasil; jika tidak, kita
akan gagal. Begitu juga halnya dalam keagamaan. Jika memang ada Allah yang sebenarnya (dan jika
ada agama yang mengatakan bahwa tidak ada Allah yang sebenarnya, agama itu adalah suatu
kebohongan dan kepalsuan), maka pastinya ada jalan yang mengarahkan kepada Allah yang
sebenarnya dan ada juga jalan lain yang menjauhkan kepada Allah. Jadi gambaran yang sangat
populer yang menyatakan bahwa semua jalan pada akhirnya akan bertemu pada puncak gunung
adalah tidak benar. Bukan hanya ketidakbenaran yang sederhana, tapi kesalahan yang dapat
menyebabkan malapetaka. Kebohongan itu mengorbankan jiwa. Ada beberapa jalan yang mengarah
ke bawah, bukannya ke atas.

Kebahagiaan Abadi

Setiap orang yang telah mempelajari secara luas dan dalam mengenai tingkah laku manusia, mulai
dari Aristoteles hingga Freud, memberikan catatan tersendiri bahwa kita bertindak untuk tujuan
akhir yang ingin dicapai; dan juga itulah satu-satunya akhir dan tujuan yang selalu memotivasi
semua orang. Jadi alasan kenapa Keselamatan itu penting karena Keselamatan sama dengan
kebahagiaan, kebahagiaan kekal.

Kebahagiaan yang dibahas disini bukan dalam arti dangkal, subjektifitas, dan realitifitas pada
pengertian moderen, yang terkesan kebahagiaan itu adalah segala sesuatu yang menyenangkan,
tetapi yang dimaksud Kebahagiaan tersebut adalah dalam arti jaman dahulu akan pengertian
“Terberkati”: nyata, keberhasilan pada akhir perjalanan, kesempurnaan manusia, kesuksesan yang
sebenarnya, kesehatan jiwa. Terberkati adalah kepuasaan yang sebenarnya dari keinginan yang
benar, bukan hanya sekedar kepuasaan atas perpenuhinya suatu keinginan sesuai dengan yang kita
harapkan, atau Terberkati juga bukan perasaan kepuasan subjektif. Dalam pengertian jaman dahulu,
pemahaman mendalam mengenai kebahagiaan, Keselamatan sama dengan Kebahagiaan Kekal.

Iman dan Perbuatan

Munculnya perdebatan dan adanya perbedaan pemahaman mengenai Keselamatan dimulai oleh
Reformasi Protestan dan memisahkan diri dari Gereja. Perdebatan mengenai hal Keselamatan oleh
Protestan dan Katolik pada saat itu terlihat bahwa adanya perbedaan pengajaran injil, dua agama,
dua jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan mendasar seperti: Apa yang saya lakukan agar dapat
selamat? Jawaban untuk pertanyaan itu dari pihak Katolik, bahwa untuk selamat anda perlu
melakukan dua hal secara bersamaan yaitu percaya (iman) dan melakukan pekerjaan yang baik
(perbuatan). Sedangkan oleh Luther, Calvin, Wycliffe, dan Knox (pihak Protestan) berkeras bahwa
hanya percaya (iman) yang menyelamatkan. Perdebatan ini telah berlangsung dari 450 tahun yang
silam. Tetapi ada ditemukan bukti-bukti yang kuat bahwa secara prinsip (esensinya) perbedaan ini
dikarenakan kesalahpahaman dan dari bukti-bukti tersebut telah dimulai usaha untuk mencari
penjelasannya.

Kedua pihak baik dari pihak Katolik maupun Protestan, menggunakan istilah-istilah penting yaitu
Iman dan Keselamatan, tetapi dalam pemahaman yang berbeda.

Katolik menggunakan istilah Keselamatan untuk merujuk kepada keseluruhan proses, mulai dari
awal munculnya kepercayaan manusia kepada Allah, kemudian melalui hidup Kristiani karya cinta
di bumi, hingga akhirnya di Surga. Bagi Luther, Keselamatan yang dia maksud adalah langkah
inisiasi (langkah awal) – seperti di kisah Nabi Nuh; memasuki bahtera Nuh agar selamat – bukan
merujuk ke keseluruhan perjalanan.
‘oleh Iman’ yang dimaksud oleh Katolik adalah salah satu dari tiga yang diperlukan “Keutamaan
Teologi” (iman, kasih, dan pengharapan), iman merupakan keyakinan intelektual. Bagi Luther, iman
berarti menerima Yesus dengan sepenuh hati dan jiwa.
Dengan demikian sejak Katolik menggunakan istilah Keselamatan dalam pemahaman yang lebih
besar dan istilah Iman dalam pemahaman yang lebih kecil, di lain pihak Luther menggunakan istilah
Keselamatan dalam pemahaman yang lebih kecil dan istilah Iman dalam pemahaman yang lebih
besar; oleh karena itu pemahaman yang mengatakan “kita diselamatkan hanya oleh iman” sudah
sepatutnya tidak menerima oleh kalangan Katolik, sedangkan diterima oleh Luther.
Gereja Katolik mengajarkan bahwa Keselamatan bukan hanya mencakup iman, sama halnya seperti
sebuah tumbuhan yang bukan hanya terdiri dari akar. Seumpamanya tumbuhan hidup terdiri dari
akar, batang, dan buah; Keselamatan terdiri dari iman, harapan, dan kasih. Sedangkan Luther
mengajarkan bahwa perbuatan baik tidak dapat membeli (mendapatkan upah) Keselamatan, semua
yang perlu diperlukan dan semua yang dapat dilakukan agar selamat adalah menerima Keselamatan
itu, menerima Sang Penyelamat, dengan beriman.

Kedua pihak mengatakan kebenaran. Dan karena kebenaran tidak dapat berlawanan dengan
kebenaran, dua sisi itu sebenarnya tidak benar-benar saling bertentangan pada pertanyaan mengenai
Keselamatan. Penaksiran mungkin terdengar terlampau optimistik, tetapi apa yang dikemukakan
secara esensi oleh teolog-teolog Katolik dan Lutheran pada Pernyataan Bersama secara terbuka
mengenai Dasar Kebenaran ketika Paus Paulus Yohanes II mengatakan hal yang serupa kepada
Uskup Lutheran Jerman; kedua pihak tercengang dan gembira.

Sama halnya kesepahaman antara Katolik dan Protestan walaupun terlihat adanya ketidakcocokan
merupakan bukan hal aneh. Karena keduanya menerima data masukan yang sama, yaitu Perjanjian
Baru. Perjanjian Baru mengajarkan dua pokok hal mengenai Keselamatan: Protestan menitik
beratkan pada Keselamatan adalah pemberian cuma-cuma, yang bukan didapat dari perbuatan baik
dengan taat terhadap hukum, dan Katolik memahami bahwa iman merupakan
awal/pencetus/pendorong perbuatan baik dari kehidupan kristiani, yang mengarahkan perbuatan
tersebut menjadi benar (karena dengan Allah perbuatan manusia dibenarkan/dibetulkan/diarahkan
menjadi benar), jika perbuatan itu nyata maka akan mengarahkan “pengudusan” orang tersebut
(menjadi bersih, kudus, dan baik), itulah “Iman tanpa Perbuatan adalah mati“

Sehubungan dengan point terakhir, Pengkotbah Presbyterian Skotlandia George MacDonald pernah
menulis bahwa pemahaman keselamatan oleh Yesus merupakan keselamatan dari hukuman atas
dosa kita adalah pemahaman yang jahat, pemahaman yang egois, dan pemikiran yang dangkal.
Yesus disebut Penyelamat karena dia mau menyelamatkan kita dari dosa kita.

Ajaran resmi dari pemahaman Katolik (untuk membedakan dengan pemahaman yang salah)
menyatakan bahwa Keselamatan adalah suatu pemberian cuma-cuma (tanpa syarat) yang kita
peroleh tanpa harus melakukan sesuatu.

Dekrit tentang pembenaran yang disahkan oleh Konsili Trente pada tanggal 13 Januari 1547,
dimaksudkan sebagai penolakan posisi para reformator sekaligus penjelasan tentang pembenaran dan
peranan iman di dalam pembenaran. Mengenai pembenaran, Trente menegaskan (sama seperti
pendapat para reformator; Luther) bahwa pembenaran sungguh-sungguh merupakan karya Allah
demi keselamatan manusia, tetapi Konsili tidak menerima kesimpulan bahwa manusia sama sekali
pasif dan tidak turut serta dalam proses pembenaran. Manusia juga terlibat secara aktif sebab ia
menerima hadiah dari Allah itu secara bebas. Dengan kata lain, ia juga bisa menolaknya (bdk. Dekrit
Konsili Trente no. 1929). “Siapa yang percaya dan dibaptis diselamatkan dan siapa yang tidak
percaya akan dihukum” (Mrk 16:16).

Dan mengenai iman, Konsili sepaham dengan kaum Skolastik (Thomas Aquinas) yang mengerti
iman sebagai persetujuan intelek kepada kebenaran-kebenaran yang diwahyukan. Iman itu perlu
demi pembenaran, tetapi iman itu saja tidak cukup. Pembenaran tidak menjadi sola fide, melainkan
iman harus dilengkapi dengan harapan dan cinta.

Kitab Suci dengan jelas mengatakan bahwa “keselamatan adalah pemberian cuma-cuma” untuk
diterima dengan iman dan “iman tanpa perbuatan adalah mati”. Perbuatan yang dimaksud adalah
“kasih”, dan kasih berarti “tindakan karena cinta”, bagi orang Kristen kasih (agape) bukanlah
suatu perasaan, seperti berupa kata cinta (eros, storage, philia); karena jika kasih itu yang
dimaksud hanya berupa perasaan maka kasih itu tidak dapat diperintahkan (oleh Yesus: kasihilah
sesamamu).

Daftar Pustaka:

https://pendalamanimankatolik.com/tag/keselamatan/

 API PENYUCIAN

“Siapa yang mati dalam rahmat dan dalam persahabatan dengan Allah, namun belum disucikan
sepenuhnya, memang sudah pasti akan keselamatan abadinya, tetapi ia masih harus menjalankan
satu penyucian untuk memperoleh kekudusan yang perlu, supaya dapat masuk ke dalam
kegembiraan surga” (KGK 1030). Keadaan yang digambarkan dalam kutipan Katekismus Gereja
Katolik itulah yang disebut dengan Api Penyucian. Secara singkat digambarkan sebagai keadaan
antara sorga dan neraka. Api penyucian bukanlah neraka, karena orang-orang yang ada di neraka
adalah orang-orang yang secara definitif menolak Allah, ketika mati tidak berada dalam status
rahmat. Namun demikian, orang-orang yang berada dalam api penyucian belum masuk surga, meski
pasti akan masuk surga, karena masih harus dimurnikan dari dosa-dosanya. Mereka yang berada
dalam api penyucian ini membutuhkan doa umat yang masih hidup. Bagaimana ajaran Gereja
Katolik mengenai api penyucian ini dapat dipahami. Tulisan ini mencoba menelusuri perkembangan
paham dalam tradisi Gereja Katolik.

1. Dasar dalam Kitab Suci

Pandangan mengenai api penyucian berkaitan erat dengan pandangan mengenai hidup sesudah mati.
Perjanjian Lama pada awalnya tidak mengenal hidup sesudah mati. Kematian dipahami sebagai
tidur dalam keabadaian, masuk dalam dunia orang mati, “ke negeri yang gelap dan kelam pekat, ke
negeri yang gelap gulita, tempat yang kelam dan pekat dan kacau balau, di mana cahaya terang
serupa dengan kegelapan” (Ayb 10:21-22). Dalam dunia orang mati ini “tak ada pekerjaan,
pertimbangan, pengetahuan dan hikmat” (Pkh 9:10). Dengan demikian, kematian berarti sungguh-
sunggu keterpisahan. Pertama-tama keterpisahan dari Allah, tetapi juga keterpisahan dari manusia
lainnya. Orang mati tidak dapat dihubungi lagi. Gagasan seperti ini juga masih hidup pada jaman
Yesus. Pertanyaan orang-orang saduki mengenai perempuan yang secara berturut-turut dinikahi
oleh tujuh bersaudara (Mat 22:23-33; Mrk 12:18-27; Luk 20:27-40) menunjukkan ketidakpercayaan
mereka akan kebangkitan badan.

Namun demikian pelan-pelan berkembang pula paham mengenai kebangkitan badan dan kehidupan
setelah kematian. Berkembangnya sastra apokaliptik mempengaruhi gagasan mengenai kematian.
Orang mati mulai mendapat perhatian, dan nasib orang mati mulai dikaitkan dengan apa yang
mereka perbuat selama hidup. Apa yang dialami oleh orang-orang mati mulai dipahami berbeda-
beda menurut perbuatan mereka di dunia. Mereka akan dihakimi menurut perbuatan mereka di
dunia, “dan banyak orang-orang yang telah tidur di debu tanah, akan bangun, sebagian untuk
mendapat hidup yang kekal, sebagian untuk mengalami kehinaan dan kengerian yang kekal” (Dan
12:2).
Penegasan mengenai relasi keadaan mereka yang sudah meninggal ditampilkan oleh Kitab 2
Makabe 12:43-45: ”Kemudian dikumpulkannya uang di tengah-tengah pasukan. Lebih kurang dua
ribu dirham perak dikirimkannya ke Yerusalem untuk mempersembahkan korban penghapus dosa.
Ini sungguh suatu perbuatan yang sangat baik dan tepat, oleh karena Yudas memikirkan
kebangkitan. Sebab jika tidak menaruh harapan bahwa orang-orang yang gugur itu akan bangkit,
niscaya percuma dan hampalah mendoakan orang-orang mati. Lagipula Yudas ingat bahwa
tersedialah pahala yang amat indah bagi sekalian orang yang meninggal dengan saleh. Ini sungguh
suatu pikiran yang mursid dan saleh. Dari sebab itu maka disuruhnyalah mengadakan korban
penebus salah untuk semua orang yang sudah mati itu, supaya mereka dilepaskan dari dosa
mereka”. Dengan demikian 2 Makabe menegaskan penghakiman bagi yang meninggal, tetapi
sekaligus memberikan gagasan baru bahwa orang yang sudah meninggal dapat ditolong oleh
mereka yang masih hidup.

Teks Perjanjian Baru yang paling tegas berbicara mengenai api penyucian ialah 1 Kor 3:10-15,
namun gagasan itu juga dapat diketemukan dalam Mat 5:25-26; Mat 12:31-32; Luk 12:48; 2 Tim
1:16, 1 Kor 15:29. Paulus mengatakan: “sekali kelak pekerjaan masing-masing akan nampak.
Karena hari Tuhan akan menyatakannya, sebab ia akan nampak dengan api dan bagaimana
pekerjaan masing-masing akan diuji oleh api. Jika pekerjaan yang dibangun seseorang tahan uji, ia
akan mendapat upah. Jika pekerjaannya terbakar, ia akan menderita kerugian, tetapi ia sendiri akan
diselamatkan, tetapi seperti dari api” (1 Kor 3:13-15). Di sini Paulus tidak hanya menegaskan
bahwa setiap orang beriman akan diuji menurut pekerjaannya, tetapi juga ada keadaan orang
beriman yang harus menanggung akibat dari perbuatannya, meski ia tetap selamat. Dari sini
gambaran api penyucian lebih dipahami sebagai pemurnian orang-orang yang sudah diterima
Tuhan, orang-orang yang sudah diselamatkan tetapi masih harus menanggung akibat dari
perbuatan-perbuatannya yang tidak tahan uji.

2. Kesaksian Bapa-Bapa Gereja

Sejak awal Bapa-Bapa Gereja memberi kesaksian akan adanya keadaan tempat orang-orang
beriman yang sudah meninggal disucikan. Kesaksian paling awal dari iman akan api penyucian
muncul dalam tulisan berjudul Kemartiran Perpetua dan Felisitas (th. 203). Perpetua sudah dijatuhi
hukuman mati, karena tidak mau meninggalkan imannya. Ketika sedang berdoa, ia melihat
Dinokrates, adiknya yang sudah meninggal dan mengajak rekan-rekannya untuk berdoa bagi
adiknya itu. Ia melihat adiknya keluar dari tempat yang kotor, gelap, pengap, panas, dan ada jurang
di antara mereka. Di sampingnya ada kolam, tetapi tidak dapat dicapai. Perpetua berdoa untuk
adiknya itu. Beberapa hari kemudian ia melihat adiknya dalam keadaan bersih dan segar. Ia telah
dibebaskan dari siksaan yang berat. Inilah kesaksian dari tulisan mengenai kemartiran Perpetua dan
Felisitas. Banyak tulisan semacam ini yang memberikan gambaran bahwa api penyucian itu
sungguh ada dan orang-orang beriman yang ada di sana dapat disucikan melalui doa orang-orang
yang lebih hidup.

Selain itu, Bapa-Bapa Gereja juga memberikan gambaran apa itu api penyucian. Tertullianus
berpendapat bahwa hanya para martirlah yang langsung dapat menikmati kemuliaan surgawi,
sementara jiwa-jiwa orang beriman yang lain harus menunggu kebangkitan badan (Tentang
Kebangkitan Badan, 43). Pada saat penantian itulah, jiwa-jiwa harus disucikan dari perbuatan-
perbuatan yang tidak baik. Jiwa itu harus menanggung kesalahan-kesalahan yang telah dibuatnya,
sambil menunggu kesatuan dengan badan di hari kebangkitan badan (Tentang Jiwa, 58). Jiwa-jiwa
ini dapat dibantu dengan doa-doa orang-orang yang masih hidup, agar menikmati istirahat kekal.
Tertullianus mengusulkan terutama pada peringatan meninggalnya (Tentang Monogami, 10).

Agustinus juga menegaskan bahwa setiap orang akan menanggung akibat dari setiap perbuatan
yang dilakukannya, entah di dunia sekarang atau di dunia yang akan datang sebelum kebangkitan
badan. Dalam masa penyucian itulah orang dapat memperoleh pengampunan dari dosa-dosa yang
belum sempat diampuni selama hidup di dunia (Tentang Kota Allah, XI, 13). Jiwa-jiwa di api
penyucian dapat dibantu dengan korban dan doa-doa umat beriman yang masih hidup (Kotbah
172,2).

Masih banyak kesaksian Bapa Gereja mengenai api penyucian dan perlunya mendoakan mereka
yang berada di api penyucian. Secara umum api penyucian haruslah dipahami sebagai saat
pemurnian akibat dosa-dosa yang dilakukan selama masih di dunia. Tentu bukan dosa yang
membawa maut.

3. Ajaran Resmi Gereja


Penegasan resmi Gereja dapat dilacak dari beberapa konsili yang mengajarkan mengenai api
penyucian. Paus Innocentius IV dalam suratnya kepada Uskup Frascati (1254) menegaskan
pengakuan iman bahwa orang beriman yang sudah menerima pengampunan dosa tetapi belum
penuh, atau mereka yang tidak berada dalam dosa berat, ada dalam penyucian setelah kematian dan
dapat dibantu dengan doa-doa umat beriman. Mereka ini berada di api penyucian (purgatorium),
untuk menyucikan dari dosa-dosa kecil yang belum diampuni, tetapi tidak dari dosa yang
mematikan (DS 838). Pernyataan ini kemudian ditegaskan lagi dalam Konsili Lyon II pada tahun
1274 dalam pengakuan iman Kaisar Michael Paleologus (DS 856). Konsili juga menegaskan bahwa
ada kemungkinan jiwa langsung masuk ke surga, bila orang beriman setelah dibaptis tidak berdosa
lagi atau sudah sungguh-sungguh dilepaskan dari dosa-dosa (DS 857).

Konsili Firenze melalui Dekrit untuk orang-orang Yunani (1439) menegaskan kembali pandangan
mengenai saat penyucian bagi jiwa-jiwa yang masih membawa dosa yang belum diampuni. Maka
ada tiga situasi jiwa-jiwa orang beriman setelah kematian. Yang pertama, ialah mereka yang
meninggal dalam rahmat, tetapi belum mendapatkan kepenuhan buah pengampunan dosa, mereka
ini masih perlu disucikan di api penyucian. Mereka dapat dibantu oleh doa-doa, kurban, yang
dilakukan oleh umat beriman (DS 1304). Yang kedua, mereka yang setelah baptis sungguh-sungguh
tak bercela dan tanpa noda dosa, mereka ini boleh langsung masuk ke sorga, dan memandang Allah
dari muka ke muka (DS 1305). Yang ketiga, mereka yang berada dalam dosa maut, dosa besar
masuk ke neraka (DS 1306). Ajaran ini kemudian ditegaskan lagi pada Konsili Trente ketika Gereja
berhadapan dengan reformasi Protestan.
Konsili Vatikan menempatkan jiwa-jiwa di api penyucian dalam kesatuan dengan keseluruhan
anggota-anggota Gereja. Konsili menyatakan bahwa di antara anggota-anggota Gereja ada “yang
masih harus mengembara di dunia, dan ada yang sudah meninggal dan mengalami penyucian, ada
pula yang menikmati kemuliaan sambil memandang ‘dengan jelas Allah Tritunggal sendiri
sebagaimana adaNya”. Namun demikian, ketiga keadaan anggota-anggota Gereja itu “saling
berhubungan dalam cinta kasih yang sama terhadap Allah dan sesama, dan melambungkan madah
pujian yang sama ke hadirat Allah kita” (LG 49). Secara khusus berkaitan dengan keadaan mereka
yang sudah meninggal dan masih harus mengalami penyucian, Konsili Vatikan II menegaskan
pernyataan-pernyataan konsili-konsili sebelumnya. Konsili Vatikan II menempatkan jiwa-jiwa di
api.
Daftar Pustaka:

The ConfraternityofSouls In Purgatory”; www.users.bigpond.net.au/ecclesia; 2. “For the Love of


The Poor Holy Souls in Purgatory”; www.poorsouls.net; 3. “Holy Souls Online”;
www.holysouls.info; 4. “Seminar Jiwa-jiwa di Api Penyucian” oleh Rm Yosef Tarong, Pr; 5.
berbagai sumber

 KEBANGKITAN BADAN

Aku Percaya Akan Kebangkitan Badan


Kebangkitan badan meneguhkan pengharapan

Rasul Paulus menuliskan kepada jemaat di Korintus, “Kalau tidak ada kebangkitan orang mati,
maka Kristus juga tidak dibangkitkan” (1Kor 15:13). Dengan kata lain, orang yang tidak percaya
akan kebangkitan badan, tidak percaya akan Kristus sendiri yang telah bangkit. Maka, iman akan
kebangkitan badan berhubungan erat dengan iman akan Kristus yang bangkit dari antara orang mati.
St. Thomas dalam Summa Theology memberikan lima alasan mengapa Kristus bangkit, yaitu: (1)
untuk menyatakan keadilan Allah; (2) untuk memperkuat iman kita; (3) untuk memperkuat
pengharapan; (4) agar kita dapat hidup dengan baik; (5) untuk menuntaskan karya keselamatan
Allah.

Kebangkitan badan yang dimaksud di sini adalah badan yang telah terurai dan hancur akibat
kematian akan dibangkitkan pada akhir zaman dan kemudian akan bersatu dengan jiwa masing-
masing. Dengan demikian, setiap individu akan kembali mempunyai persatuan antara jiwa dan
badan, dan kemudian hidup dalam kekekalan. Bagi yang masuk dalam Kerajaan Sorga akan
mengalami kebahagiaan dalam persatuan jiwa dan badan yang telah dimuliakan dan bagi yang
masuk dalam neraka akan mendapatkan hukuman dalam persatuan jiwa dan badan. Dengan
berpegang teguh pada ajaran tentang kebangkitan badan, kita percaya bahwa ada kehidupan setelah
kematian, dan kebahagiaan Sorgawi yang telah dijanjikan oleh Yesus menanti kita di kehidupan
mendatang.

Apa gunanya mempercayai ajaran ini?

1. Tidak terpuruk dalam kesedihan akan kematian. Menjadi reaksi psikologis yang wajar bahwa
seseorang menangisi kematian dari orang-orang yang dikasihinya. Namun, seseorang yang percaya
akan kebangkitan badan, dia tidak akan kehilangan harapan bahwa pada satu saat dia akan dapat
berkumpul kembali dengan orang-orang yang dikasihinya. Rasul Paulus menegaskan hal ini kepada
jemaat di Tesalonika, “Selanjutnya kami tidak mau, saudara-saudara, bahwa kamu tidak mengetahui
tentang mereka yang meninggal, supaya kamu jangan berdukacita seperti orang-orang lain yang
tidak mempunyai pengharapan. Karena jikalau kita percaya, bahwa Yesus telah mati dan telah
bangkit, maka kita percaya juga bahwa mereka yang telah meninggal dalam Yesus akan
dikumpulkan Allah bersama-sama dengan Dia.” (1Tes 4:13-14)
2. Mengambil ketakutan akan kematian. Kalau kita tidak percaya akan adanya pengharapan yang
lain setelah kematian, maka kita akan terjebak dalam ketakutan akan kematian yang harus kita
hadapi. Namun, karena kita percaya akan kehidupan kekal dan kebangkitan badan, maka kematian
tidak terlalu menakutkan bagi umat beriman. Dengan kematian dan kebangkitan-Nya, Kristus telah
memusnahkan Iblis yang berkuasa atas maut, sehingga Kristus membebaskan kita dari ketakutan
terhadap maut (lih. Ibr 2:14-15)

3. Membantu kita untuk hidup lebih baik. Seseorang yang tidak melihat bahwa apa yang
dilakukannya diperhitungkan untuk kekekalan, maka ia tidak mempunyai motivasi yang tinggi
untuk hidup lebih baik. Namun, seseorang yang mempercayai kehidupan kekal di masa mendatang
akan mempunyai motivasi yang tinggi untuk berbuat baik, tahan menghadapi segala tantangan,
penderitaan dan ketidakadilan di dunia ini. Rasul Paulus menuliskan, “Jikalau kita hanya dalam
hidup ini saja menaruh pengharapan pada Kristus, maka kita adalah orang-orang yang paling
malang dari segala manusia.” (1Kor 15:19)

4. Membantu kita untuk menjauhi kejahatan. Dengan percaya akan kehidupan kekal dan
kebangkitan badan, kita terdorong untuk menjauhkan diri dari kejahatan, karena tahu bahwa segala
kejahatan dapat berakibat penghukuman di kehidupan mendatang. Rasul Yohanes menuliskan, “dan
mereka yang telah berbuat baik akan keluar dan bangkit untuk hidup yang kekal, tetapi mereka yang
telah berbuat jahat akan bangkit untuk dihukum.” (Yoh 5:29)

Realitas Kebangkitan Badan

Mereka yang menentang kebangkitan badan sebelum Kristus adalah kaum Saduki (Mat 22:23; Kis
23:8) dan orang-orang pagan (Kis 17:32), kaum Gnostics dan Manichaeans, di jaman Abad
pertengahan, adalah kaum Katharis, dan di zaman modern adalah kaum Materialis dan kaum
Rationalis. Namun sebenarnya, kita dapat membuktikan kebangkitan badan baik dengan akal budi –
sejauh yang dapat kita terangkan dengan akal budi – maupun dari Wahyu Allah.

Pembuktian dari akal budi

Dalam katekismus Konsili Trente dipaparkan pembuktian dari akal budi. Kebangkitan badan
berkaitan dengan konsep jiwa yang kekal, seperti yang terlihat dari argumentasi yang diberikan oleh
Yesus ketika berdiskusi dengan kaum Saduki (lih. Mat 22:29-30). Jiwa yang kekal ini – yang
menjadi bagian dari kodrat manusia yang mempunyai tubuh – secara kodrati mempunyai
kecenderungan untuk bersatu dengan tubuhnya. Jadi, pemisahan antara jiwa dan tubuh seperti yang
terjadi dalam kematian, bertentangan dengan kodrat manusia. Apa yang bertentangan dengan kodrat
hanya akan bersifat sementara. Jika kodrat jiwa adalah kekal dan jika tubuh hancur dalam kematian,
maka adalah layak jika tubuh yang hancur ini kemudian akan dibangkitkan dan bersatu dengan
jiwanya yang kekal.

Argumentasi lainnya diberikan oleh St. Krisostomus dalam homilinya kepada umat di Antiokia. Dia
mengajarkan bahwa ketika manusia hidup di dunia, jiwa dan badannya saling bekerjasama ketika
berbuat kejahatan maupun kebajikan, sehingga sudah selayaknya penghukuman maupun
penghargaan diterima oleh jiwa maupun badan. Namun, banyak orang yang sebelum meninggal
dunia tidak mengalami penghukuman terhadap kejahatan yang mereka lakukan ataupun tidak
mendapatkan penghargaan dari kebajikan yang mereka lakukan. Oleh karena itu, dalam Pengadilan
Terakhir, ketika manusia memperoleh penghargaan maupun penghukuman, jiwa juga akan bersatu
dengan tubuh, sehingga yang menerima penghargaan dan penghukuman adalah persatuan jiwa dan
tubuh dan bukan hanya jiwa saja. Persatuan ini mensyaratkan kebangkitan badan.

Kebangkitan badan juga merupakan efek kesempurnaan dari penebusan Kristus. Kristus telah
menebus dunia, karena dengan kematian-Nya, Dia telah menghancurkan kematian, sehingga ada
kehidupan di dalam Kristus. Manusia yang mempunyai kodrat dengan jiwa dan tubuh juga akan
dibangkitkan sesuai dengan kodratnya, sehingga ada persatuan kekal antara jiwa dan tubuh. Dan
karena Kristus sendiri sebagai kepala Gereja telah bangkit – baik jiwa maupun tubuh-Nya – maka
sebagai anggota Gereja, kita semua juga akan mengalami kebangkitan badan untuk bersatu dengan
jiwa kita.

Pembuktian dari Kitab Suci


Di dalam Perjanjian Lama, terlihat adanya perkembangan pandangan tentang kebangkitan badan.
Nabi Hosea dan Yehezkiel menggunakan simbol kebangkitan untuk menggambarkan pembebasan
Israel atas dosa dan pengasingan (Hos 6:3, 13:14; Yeh 37:1-14). Yesaya mengajarkan kebangkitan
badan (Yes 16:19), demikian juga dengan Daniel, yang mengajarkan baik mereka yang baik
maupun yang jahat akan bangkit setelah kematian; orang- orang yang baik masuk surga, sedangkan
yang jahat dihukum (lih. Dan 12:2). Kitab 2 Makabe juga mengajarkan doktrin kebangkitan orang
mati (Mak 7:9,11,14,23,29; 12:43, 14:16).

Yesus menolak pandangan kaum Saduki, “Kamu sesat sebab kamu tidak mengerti Kitab Suci
maupun kuasa Allah! Karena pada waktu kebangkitan orang tidak kawin dan tidak dikawinkan
melainkan hidup seperti malaikat di surga.” (Mat 22:29-30). Yesus mengajarkan bukan hanya
kebangkitan badan bagi orang- orang benar (Luk 14:14) tetapi juga orang- orang jahat, yang akan
dimasukkan ke neraka bersama- sama dengan tubuh mereka (Mat 5:29; 10:28; 18:8). “…mereka
yang telah berbuat baik akan keluar dan bangkit untuk hidup yang kekal, tetapi mereka yang telah
berbuat jahat akan bangkit untuk dihukum” (Yoh 5:29). Kepada mereka yang percaya kepada-Nya,
dan yang makan daging-Nya dan minum darah-Nya, Yesus menjanjikan kebangkitan badan pada
akhir zaman (Yoh 6:39-; 44,55). Sebab Kristus sendiri adalah “kebangkitan dan hidup” (Yoh
11:25), maka Ia berjanji bahwa orang-orang yang percaya kepada-Nya akan hidup walaupun
mereka sudah mati (lih. Yoh 11:26).

Para rasul mengajarkan tentang kebangkitan badan semua orang mati dalam hubungannya dengan
kebangkitan Kristus (lih. Kis 5:1; 17:18,32; 24:15,21; 26:23). Rasul Paulus menegur jemaat di
Korintus yang menolak kebangkitan badan, dan mengatakan bahwa dasar kebangkitan badan adalah
kebangkitan Kristus, “Kristus telah dibangkitkan dari orang mati sebagai yang sulung dari orang-
orang yang telah meninggal. Sebab sama seperti maut datang karena satu orang manusia, demikian
juga kebangkitan orang mati datang karena satu orang manusia. Karena satu orang mati dalam
persekutuan dengan Adam, demikian pula semua orang akan dihidupkan kembali dalam
persekutuan dengan Kristus. Tetapi tiap- tiap orang menurut urutannya: Kristus sebagai buah
sulung; sesudah itu mereka yang menjadi milik-Nya pada waktu kedatangan-Nya…..” (1 Kor
15:20-23). Musuh terakhir yang dibinasakan ialah maut (lih.1 Kor 15:26, 54-55). Maka karena
kemenangan Kristus atas maut, kita beroleh kebangkitan badan (lih. Rom 8:11; 2Kor 4:14; Fil 3:21;
1 Tes 4:14,16; Ibr 6:1-20)
Para Bapa Gereja yang diserang oleh banyaknya ajaran sesat, mengajarkan dengan detail tentang
kebangkitan badan, seperti yang dilakukan oleh St. Klemens dari Roma, St. Yustinus, Athenagoras,
Tertullian, Origen, Methodius, St. Gregorius dari Nissa, St. Agustinus dalam Enchiridion 84-93, De
civ. Dei XXII 4-.

Tubuh sebelum dan sesudah kebangkitan

Konsili Lateran ke-4 (1215) mengajarkan: “They will rise with their bodies which they have now.”
Terjemahannya: Mereka [semua orang] akan bangkit dengan tubuh yang mereka miliki sekarang.”

Hal ini secara implisit dinyatakan dalam Kitab Suci, yaitu bahwa tubuh ini yang mati dan
terdekomposisi, akan bangkit kembali, seperti tertulis dalam 2 Mak 7:11 “…aku berharap akan
mendapatkan kembali semuanya [lidah dan tangannya] dari pada-Nya!”, dan dalam 1 Kor 15:53,
“Karena yang dapat binasa ini dapat mengenakan yang tidak dapat binasa dan yang dapat Mati”

Para Bapa Gereja mengajarkan demikian, “Tubuh ini akan bangkit lagi dan diadili, dan “kita akan
menerima penghargaan kita di dalam tubuh ini.” (St. Klemens, 2 Kor 9:1-5) “Kita berharap akan
menerima kembali tubuh kita yang mati… dengan percaya bahwa pada Tuhan tidak ada yang
mustahil” (St. Yustinus, Apol. 1.18). Dasarnya adalah, karena kebangkitan badan mensyaratkan
identitas tubuh sebelum dan sesudah kebangkitan. Hal ini juga diajarkan oleh Methodius, St.
Gregorius Nissa, St. Epiphanius (Haer. 64) dan St. Jerome (Adv. IoannemHierosolymitanum).

Maka secara umum para Bapa Gereja mengajarkan bahwa tubuh akan bangkit lagi dengan integritas
yang lengkap, bebas dari distorsi, dari bentuk yang buruk maupun cacat. St. Thomas Aquinas
mengajarkan, “Orang akan bangkit lagi dengan kemungkinan terbesar akan kesempurnaan alami,”
sehingga artinya, [tubuh yang bangkit itu] di tahap usia yang dewasa (Summa Theology, Suppl.
81.1). Integritas dari tubuh setelah kebangkitan juga mensyaratkan organ- organ tubuh, dan
pembedaan jenis kelamin. Namun demikian fungsi- fungsi vegetatif (makan dan berkembang biak)
tidak ada lagi. Sebab dikatakan dalam Mat 22:30, “Mereka akan menjadi seperti malaikat Tuhan di
surga.”

Komposisi Tubuh setelah Kebangkitan badan


1. Tubuh orang -orang benar akan diubah seperti tubuh Kristus yang bangkit (Sen. certa)

St. Paulus mengajarkan, “[Yesus Kristus] akan mengubah tubuh kita yang hina ini, sehingga serupa
dengan tubuh-Nya yang mulia menurut kuasa-Nya yang dapat menaklukkan segala sesuatu kepada
diri-Nya.” (Fil 3:21). “Demikianlah pula halnya dengan kebangkitan orang mati. Ditaburkan dalam
kebinasaan, dibangkitkan dalam ketidakbinasaan. Ditaburkan dalam kehinaan, dibangkitkan dalam
kemuliaan. Ditaburkan dalam kelemahan, dibangkitkan dalam kekuatan. Yang ditaburkan adalah
tubuh alamiah, yang dibangkitkan adalah tubuh rohaniah.” (1 Kor 15:42-44), lihat 1 Kor 15:53.

Berdasarkan ajaran para Rasul, maka para Teolog mengelompokkan karunia sehubungan dengan
kebangkitan badan orang- orang benar:

a. Tidak dapat menderita (incapability of suffering/ impassibilitas), tidak dapat lagi mengalami sakit
ataupun mati. Why 21:4 “Dan Ia [Tuhan] akan menghapus segala air mata dari mata mereka, dan
maut tidak akan ada lagi; tidak akan ada lagi perkabungan, atau rapat tangis, dan duka cita sebab
segala sesuatu yang lama itu telah berlalu.” (lihat juga Why 7:16, Luk 20:36: “Sebab mereka tidak
dapat mati lagi”. Alasan mendasar impassibilitas ini adalah karena tubuh tunduk/ taat sempurna
kepada jiwa. (Summa Theology, Suppl. 82,1)

b. Subtilitas, yaitu, sebuah kodrat yang rohani/ spiritual. Namun demikian, ini tidak untuk diartikan
bahwa tubuh diubah menjadi hakekat spiritual ataupun penghalusan tubuh/ matter menjadi tubuh
yang tidak bisa diraba (etheralbody), lihat Luk 24:39 [disebutkan bahwa Yesus yang bangkit
mempunyai tubuh yang dapat diraba, mempunyai daging dan tulang]. Maka model tubuh spiritual
ini adalah tubuh kebangkitan Kristus, yang dapat keluar dari kubur yang tertutup rapat dan yang
menembus pintu yang terkunci (Yoh 20:19, 26). Alasan dasar tubuh yang rohani ini adalah
kesempurnaan dominasi jiwa yang ter-transfigurasi, terhadap tubuh (Summa Theology, Suppl.
83,1).

c. Agilitas, yaitu kemampuan tubuh untuk mentaati jiwa dengan kemudahan yang sempurna dan
gerakan yang cepat. Maka ini bertentangan dengan beratnya tubuh duniawi yang dikondisikan oleh
hukum gravitasi. Agilitas ini terjadi pada tubuh Kristus yang secara tiba- tiba hadir di tengah para
Rasul-Nya dan yang lenyap dari pandangan mereka juga dengan cepat (Yoh 20:19, 26; Luk 24:31).
Alasan dasar agilitas adalah kesempurnaan dominasi jiwa yang ter-transfigurasi, yang telah
memindahkan tubuh (Summa Theology, Suppl. 84, 1)

Daftar Pustaka:

StraightAnswers: ResurrectionMeans a GloriousExistence” by Fr. William P. Saunders;


ArlingtonCatholicHerald, Inc; Copyright ©1997 ArlingtonCatholicHerald, Inc. All rightsreserved;
www.catholicherald.com

Anda mungkin juga menyukai