Anda di halaman 1dari 19

Kependidikan Islam

Minggu, 13 Januari 2013

* Konsep Dasar Pendidikan Muhammadiyah *

“ Konsep Dasar Pendidikan Muhammadiyah “

v Latar Belakang Pemikiran

Lahirnya pemikiran modern di awal abad kedua puluh tidak dapat dilepaskan dari situasi sosial, politik
dan keagamaan yang umumnya dihadapi umat Islam saat itu. Pemikiran-pemikiran yang dicetuskan
mencoba untuk menjawab tantangan yang dihadapi sesuai dengan kemampuan para tokoh dan pemikir
membaca dan memahami situasi yang ada. Pemikiran Muhammadiyah pun kelihatannya lahir dari
tuntutan situasi, dan Kiai Haji Ahmad Dahlan adalah tokoh pertama yang mencoba untuk memenuhi
tuntutan tersebut dengan meletakkan dasar-dasar pemikiran Muhammadiyah. Dengan demikian
mengkaji latar belakang pemikiran Muhammadiyah akan melibatkan tokoh tersebut, terutama tentang
sosok pribadinya dengan organisasi Muhammadiyah yang didirikannya.

Ia adalah putra ketiga Kiai Haji Abu Bakar, salah seorang khatib di Mesjid Kesultanan Yogyakarta.
Dilahirkan pada tahun 1259 H / 1869 M di daerah Kauman, salah satu di antara dua daerah lainnya,
karangkajen dan Kotagede, yang dikatakan sebagai daerah yang mempunyai jiwa keislaman yang kuat
hingga saat ini.

Pendidikan Dahlan tampaknya mengikuti pola pendidikan tradisional yang diawali dengan mempelajari
Qur’an, kemudian dilanjutkan dengan mempelajari kitab-kitab fikih, nahwu, tafsir dan sebagainya di
lembaga-lembaga pendidikan yang terdapat di sekitar Yogyakarta. Pendidikan yang demikian
memberikan kepadanya pengetahuan di bidang agama, sedangkan ilmu pengetahuan lainnya, kecuali
ilmu falak, kelihatannya tidak dimilikinya.

Pada tahun 1890 M ia mengerjakan haji ke Mekkah. Di samping itu ia pun melanjutkan pelajarannya di
kota suci itu selama tiga tahun dengan dua kali kunjungan. Kunjungan pertama tahun 1890, sedangkan
kunjungannya yang kedua tahun 1903 M. Di kota itu ia belajar agama antara lain pada Syekh Ahmad
Khatib salah seorang ulama penganut Mazhab Syafi’I dan penentang paham pembaharuan yang dibawa
oleh Muhammad Abduh. Tidak jelas mengapa ia menentang paham tersebut mungkin karena paham
“bebas mazhab” yang dibawa oleh Muhammad Abduh yang sangat bertentangan dengan paham yang
dianutnya. Barangkali Ahmad Dahlan mengetahui tentang paham pembaharuan yang dibawa oleh
Muhammad Abduh ketika ia berada di kota suci itu, dan setelah kembali ke Indonesia pengetahuan
tersebut diperdalamnya melalui buku-buku dan majalah. Kelihatnnya ia tidak hanya mengetahui
pemikiran Muhammad Abduh, tetapi juga pemikiran Ibn Taimiyah (1263-1328) dan Ibn al-Qayyim al-Jazu
(1292-1350 M.), dan kitab-kitab para pemikir di atas ditemukan di antara koleksi kitab-kitab yang
dimilikinya. Ahmad Dahlan di samping seorang guru juga aktif sebagai pendakwah. Kehidupannya
sebagai pedagang batik tidak hanya dipergunakannya sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan
hidup, tetapi juga untuk berdakwah dan menjalin hubungan dengan para ulama dan pemimpin agama di
kota yang dikunjunginya.

Kegiatannya dalam organisasi telah dimulainya sebelum ia mendirikan organisasi Muhammadiyah.


Banyak organisasi yang dimasukinya, baik yang bersifat nasional maupun yang bersifat keagamaan.
Pengalaman yang diperolehnya dalam organisasi tersebut tampaknya membawanya berhasil memimpin
dan mengembangkan organisasi Muhammadiyah ke luar daerah Yogyakarta.

Dari aktifitas yang demikian dapat dipahami bahwa Dahlan memiliki pergaulan yang luas. Ia bergaul
tidak hanya dengan para khatib yang seprofesi dengannya di Masjid Kesultanan Yogya, tetapi juga
dengan para pemimpin organisasi, bahkan dengan pastor dan pendeta Katolik, ia berdiskusi dan
bertukar pikiran. Corak pemikiran yang dianutnya, baik dalam bidang teologi ataupun lainnya, tidak
diketahui dengan pasti karena ia tidak meninggalkan tulisan yang menggambarkan pemikirannya. Ada
yang mengatakan ia menganut paham Ahl al-Sunnah Wal al-Jama’ah yang mengacu kepada paham
salaf.

Langkah awalnya untuk mengadakan pembaharuan adalah ketika ia memperbaiki arah kiblat di Masjid
Kesultanan Yogya. Usaha tersebut mendapat tantangan bukan hanya dari kiai-kiai tua yang konservatif,
tetapi juga dari penguasa, meskipun pada lahirnya Sultan bersikap netral dalam peristiwa tersebut.
tantangan ini barangkali dapat dianggap sebagai salah satu kegagalan Dahlan dalam merealisir cita-
citanya dalam lingkungan istana. Agaknya itulah sebabnya mengapa ia lebih banyak melakukan
kegiatannya di dalm masyarakat dan dalam dunia pendidikan daripada di dalam keraton yang kaya
dengan tradisi dan berbagai kepercayaan yang sinkretis.

Di luar Keraton ia berusaha memperbaiki sikap hidup masyarakat dengan mengajarkan kepada mereka
ajaran-ajaran sosial dalam agama, seperti gotong royong, menyantuni fakir miskin, anak yatim, tolong-
menolong, kebersihan dan sebagainya. Kepada murid-muridnya ia menanamkan sifat tersebut dengan
mempraktekannya secara langsung, sehingga murid-murid dapat melihat dan menghayati nilai-nilai
positif yang terkandung dalam agama.

Pada tahun 1912 ia mendirikan organisasi Muhammadiyah yang mungkin menurutnya dengan itu
kekuatan akan lebih dapat diorganisir, di samping sesuai dengan situasi, lahirnya berbagai organisasi
yang bersifat politik dan keagamaan. Usaha Dahlan yang demikian mendapat sokongan dari bekas
murid-muridnya dan dari merekalah ia mendapat dukungan bagi organisasinya yang baru itu. Alfian
mencatat sembilan orang tokoh pendiri Muhammadiyah, di antaranya adalah Haji Abdoellah Sirat dan
Raden Ketib Tjendana Haji Ahmad.

Sebagai salah satu organisasi yang berasaskan Islam, tujuan Muhammadiyah yang paling esensi adalah
untuk menyebarkan agama Islam baik melalui pendidikan maupun kegiatan sosial lainnya. Selain itu
meluruskan keyakinan yang menyimpang serta menghapuskan perbuatan yang dianggap oleh
Muhammadiyah sebagai bid’ah. Di samping itu organisasi ini memunculkan praktek-praktek ibadah
yang hampir-hampir belum pernah dikenal sebelumnya oleh masyarakat, seperti Shalat Hari Raya di
tanah lapang, mengkoordinir pembagian zakat dan sebagainya. Kegiatan sosial lainnya kelihatannya
banyak meniru kegiatan zending Kristen, dan berhasil menghambat laju perkembangan Zending
tersebut pada daerah-daerah tertentu. Kegiatan yang demikian sempat mendatangkan kecemasan
pemerintah kolonial, para missionaris khususnya, seperti yang dikemukakan oleh Dr. Bekker dalam
majalah Macedonier pada tahun 1930. Ia mengatakan :

Sesudah dilihat tahun maka ternyata pada golongan zending bahwa Muhammadiyah itu perkumpulan
yang berasas Islam. Dengan meniru caranya zending bekerja maka Muhammadiyah berniat menyiarkan
Islam di Jawa. Zending mendirikan sekolah ditiru juga, begitu juga rumah miskin dan rumah-rumah
sakitnya, tetapi dasar Islam. Sudah barang tentu ini membikin undurnya zending,karena anak murid
mestinya diterima di Zending terpaksa ditarik oleh Muhammadiyah, terlebih-lebih di Vorslanden, hal ini
sangat dirasai oleh golongan zending.

Dengan kegiatan-kegiatan yang demikianlah tampaknya yang diletakkan oleh Dahlan dan selanjutnya
dikembangkan oleh para penerusnya dengan membentuk majelis-majelis tertentu dalam lingkungan
Muhammadiyah.

Dari usaha dan kegiatan yang dilakukan Dahlan sepanjang hidupnya dapat diketahui, bahwa ia adalah
tokoh yang kaya dengan cita-cita dan kemauan untuk memperbaiki keadaan masyarakat dan sikap
mereka terhadap agama, terutama yang terkait dengan ajaran-ajaran sosial dan akidah. Ia lebih banyak
melakukan kerja nyata untuk mewujudkan cita-citanya dari pada menulis buah pikirannya dalam buku-
buku ataupun dalam bentuk tulisan lainnya. Dari itulah Solichin Salam menyebutnya sebagai manusia
amaliat yang pikiran-pikirannya terbaca dalam aktifitas yang dilakukannya.

Dari riwayat hidupnya dapat pula diketahui bahwa ia tidak pernah mendapat pendidikan Barat dan
tidak pernah melihat kebudayaan Barat dalam arti yang sebenarnya. Ia bukan intelektual yang
mendapat pendidikan Barat, tetapi seorang kiai yang alim dan berfikir secara modern dan memandang
jauh ke depan. Namun demikian ia dapat menempatkan dirinya di antara mereka yang tidak
sependidikan dengannya, baik dalam organisasi Budi Utomo, maupun Sarekat Islam. Agaknya yang
demikian disebabkan oleh kepribadian dan pandangannya yang luas yang tidak menggambarkan profil
umum dari kiai di masanya. Barangkali sifat seperti yang ditunjukkannya itulah yang dimaksudkannya
dengan “Ulama’ yang progresif” seperti yang diharapkannya tumbuh dari murid-muridnya.
Dengan demikian tampaklah bahwa dasar-dasar pemikiran Muhammadiyah telah diletakkan Dahlan
sebelum Ia wafat, meskipun belum cukup keseluruhannya. Tampaknya lahirnya pemikiran yang
demikian dilatar belakangi antara lain oleh dua faktor, yaitu faktor intern dan ekstern.

a. Faktor Intern.

Faktor intern adalah faktor yang berasal dari dalam diri umat Islam sendiri yang tercermin dalam dua
hal, yaitu sikap beragama dan sistem pendidikan Islam. Sikap beragama umat Islam saat itu pada
umumnya belum dapat dikatakan sebagai sikap beragama yang rasional. Syirik, taklid dan bid’ah masih
menyelubungi kehidupan umat Islam, terutama dalam lingkungan keraton, di mana kebudayaan Hindu
telah jauh tertanam. Sikap beragama yang demikian bukanlah terbentuk secara tiba-tiba pada awal abad
kedua puluh itu, tetapi merupakan warisan yang berakar jauh pada masa terjadinya proses Islamisasi
beberapa abad sebelumnya. Seperti diketahui proses Islamisasi di Indonesia sangat dipengaruhi oleh
dua hal, yaitu tasawuf/tarekat. dan Mazhab fiqih, dan dalam proses tersebut para pedagang dan kaum
sufi memegang peranan yang sangat penting. Melalui merekalah Islam dapat menjangkau daerah-
daerah hampir seluruh nusantara ini.

Dalam suasana demikian Islam tidak hanya menjinakkan sasarannya, tetapi juga harus menjinakkan
dirinya. Dari penjinakan yang demikian lahirlah Islam dengan warnanya yang tersendiri, yang oleh
Hamka disebut sebagai Islam yang memuja kubur, wali, dan sebagainya. Corak Islam yang demikianlah
kelihatannya yang disebut dengan “kejawen” yang merupakan sinkretisasi kebudayaan lama dengan
ajaran Islam.

Di daerah pedalaman, di mana kebudayaan Hindu telah mapan kejawen mendapat tempat yang subur.
Yogyakarta, tempat lahirnya Muhammadiyah, beralih menjadi daerah kejawen, sedangkan sebelumnya,
seperti kata Geertz, merupakan pusat serta klimaks kultur Hindu-Jawa. Dari satu sisi domestikasi yang
dilakukan para wali mempunyai nilai yang positif. Islam dapat tersebar jauh menerobos pusat-pusat
kebudayaan Hindu di daerah pedalaman. Tetapi dari sisi lain, seperti kata Alfian, kemurnian Islam
semakin jauh, tercemar oleh tradisi-tradisi lama serta kepercayaan yang telah lebih dulu tertanam.
dalam beberapa rupa upacara yang diadakan di keraton misalnya, campuran Hindu-Islam jelas terlihat.
Perayaan Grebeg, hari kelahiran sultan, kepercayaan pada kekuatan magis yang dimiliki oleh benda-
benda keraton, semuanya menunjukkan sisa-sisa kepercayaan kepada keramat yang dimiliki oleh
orang-orang suci, dukun dan sebagainya, menjadi bagian yang terpisahkan dari kehidupan umat Islam di
awal abad keduapuluh.

Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa apa yang disebut dengan bid’ah, khurafat dan taklid yang
berkembang pada awal abad keduapuluh mempunyai akar yang jauh pada abad-abad sebelumnya. Islam
dengan warna-warna yang demikianlah yang ada di Indonesia ketika Muhammadiyah lahir, dan menjadi
salah satu faktor yang mendorong munculnya pemikiran-pemikiran Muhammadiyah.

b. Faktor Ekstern.
Faktor lain yang melatarbelakangi lahirnya Muhammadiyah adalah faktor yang bersifat ekstern yang
disebabkan oleh politik penjajahan kolonial Belanda. Faktor tersebut antara lain tampak dalam sisitem
pendidikan kolonial serta usaha ke arah Westernisasi dan kristenisasi. Pendidikan kolonial dikelola oleh
pemerintah kolonial untuk anak-anak bumiputra, ataupun yang diserahkan kepada misi dan zending
kristen dengan bantuan finansial dari pemerintah Belanda. Pendidikan yang demikian pada awal abad
keduapuluh telah menyebar di beberapa kota, sejak dari pendidikan dasar sampai ke tingkat atas, yang
terdiri dari lembaga pendidikan guru dan sekolah kejuruan. Dengan adanya lembaga pendidikan kolonial
terdapatlah dua macam pendidikan di awal abad kedua puluh, yaitu pendidikan Islam tradisional dan
pendidikan kolonial. Kedua jenis pendidikan ini dibedakan, bukan hanya dari segi tujuan yang ingin
dicapai, tetapi juga dari kurikulumnya. Pendidikan kolonial melarang memasukkan pelajaran agama
dalam sekolah-sekolah kolonial. dan dalam arti ini orang menilai pendidikan kolonial sebagai pendidikan
yang bersifat sekuler, di samping sebagai penyebar kebudayaan Barat. Dengan corak pendidikan yang
demikian pemerintah kolonial tidak hanya menginginkan lahirnya golongan pribumi yang terdidik, tetapi
juga yang berkebudayaan Barat. Hal ini merupakan salah satu sisi dari politik Etis yang disebut juga
dengan politik asosiasi, yang pada hakikatnya tidak lain dari usaha westernisasi yang bertujuan menarik
penduduk asli Indonesia ke dalam orbit kebudayaan Barat. Dari lembaga pendidikan ini lahirlah
golongan intelektual yang bisanya memuja Barat dan menyudutkan tradisi nenek moyangnya serta
kurang menghargai Islam, agama yang dianutnya. Hal ini agaknya wajar, karena mereka lebih
diperkenalkan dengan ilmu-ilmu dan kebudayaan Barat yang sekuler tanpa mengimbanginya dengan
pendidikan agama, konsumsi moral dan jiwanya. Sikap umat yang demikianlah tampaknya yang
dimaksud oleh Yunus Salam sebagai ancaman dan tantangan bagi Islam di awal abad ke 20 itu.

Dari uraian di atas dapat dipahami betapa kompleksnya masalah yang dihadapi umat Islam di awal abad
keduapuluh itu. Masalah agama, sosial dan politik saling menyatu dan saling mempengaruhi. Agaknya
inilah ciri khas krisis umat Islam di abad itu. Dengan krisis yang demikian Muhammadiyah melihat
perlunya menyelematkan umat Islam, tidak hanya dengan mengembalikan mereka ke pangkalan, ke
ajaran Islam yang murni, tetapi terutama mengikatkan kembali jiwa agama kepada para pemeluknya
yang tampaknya kian lama kian mencair, di samping menghadang kegiatan politik penjajah belanda
yang semakin mengancam kekuatan umat Islam. Bagi Muhammadiyah sarana yang paling tepat untuk
menyatukan kekuatan adalah organisasi yaitu melalui Muhammadiyah.dan dalam perkembangan
selanjutnya melahirkan rumusan-rumusan serta konsep-konsep dalam berbagai bidang termasuk di
dalamnya pendidikan.

v Konsep Pendidikan Muhammadiyah (K.H. Ahmad Dahlan)

a. Tujuan Pendidikan

Tujuan pendidikan Islam tidak terlepas dari tujuan hidup manusia dalam Islam, yaitu untuk menciptakan
pribadi-pribadi hamba Allah yang selalu bertakwa kepadaNya, dan dapat mencapai kehidupan yang
berbahagia di dunia dan akhirat (lihat S. Al-Dzariat:56; S. ali Imran: 102).

" Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku"
Tujuan Pendidikan yang digagas KH Ahmad Dahlan adalah lahirnya manusia-manusia baru yang mampu
tampil sebagai "ulama-ulama intelek" atau "intelek ulama", yaitu sorang Muslim yang memiliki
keteguhan iman dan Ilmu yang luas, kuat jasmani dan rohani.

Adapun tujuan pendidikan Muhammadiyah mengacu pada tujuan Muhammadiyah yaitu: (I) Pada waktu
pertama kali berdiri tujuannya adalah Menyebarkan ajaran Kanjeng Nabi Muhammad SAW kepada
penduduk bumi putera didalam residenan Yogyakarta menunjukan hal Agama Islamkepada anggotanya,
(II) Setelah Muhammadiyah berdiri dan menyebar keluar Yogyakarta menjadi memajukan dan
menggembirakan pengajaran dan memajukan Agama Islam kepada sekutu-sekutunya.

Tujuan pendidikan yang demikian juga tercermin dalam sistem pendidikan Muhammadiyah, terutama
komponen bahan pelajaran, yang merupakan kompromi antara ilmu-ilmu agama dengan ilmu
pengetahuan yang datang dari Barat.

Pada tahun 1977 dirumuskan tujuan pendidikan Muhammadiyah secara umum berbunyi: “ (I)
terwujudnya manusia Muslim yang berakhlak mulia cakap, percaya pada diri sendiri, berguna bagi
masyarakat dan negara”. Beramal menuju terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya; (ii)
Memajukan dan memperkembangkan ilmu pengetahuan dan keterampilan umtuk pembangunan dan
masyarakat negara Republik Indonesia yang berdasar Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.

Dengan demikian pendidikan perlu menentukan tujuan yang ingin dicapai, sehingga mudah diarahkan
dan dievaluasi sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai.

Dari tujuan tersebut, maka tujuan pendidikan formal Muhammadiyah adalah:

ü Menegakan, berarti membuat agar tegak dan tidak tergoyahkan itu dengan memegang teguh,
mempertahankan, membela serta memperjuangkan ajaran Islam.

ü Menjungjung tinggi berarti membawa di atas segala-galanya, yaitu dengan cara anak didik supaya
mengamalkan mengindahkan serta melaksanakan Ajaran Agama Islam.

ü Agama Islam yaitu: Agama yang dibawa para Rasul sejak Nabi Adam sampai Nabi Muhammad SAW.
Segenap isi Ajaran Agama yang dibawa oleh para Rasul tersebut, sudah tercakup dalam Syariat Islam
yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW berupa Al Qur'an Hadits. Maka siswa Muhammadiyah bisa
memegang teguh Agama Islam sebagai Agama Tauhid yang dibawa oleh Rasul dan sudah sempurna
sehingga dapat terbentuk insan-insan kamil.

b. Pendidik

Pendidik Secara etimologi berarti orang yang memberikan bimbingan. Pengertian ini memberi kesan
bahwa pendidik adalah orang yang melakukan kegiatan dalam bidang pendidikan. Kata tersebut seperti
“teacher” artinya guru yang mengajar dirumah.
Sedangkan secara Secara terminologi adalah: Ahmad D Marimba mengemukakan bahwa "Pendidik
adalah sebagai orang yang memikul tanggung jawab untuk mendidik" adapun menurut Muri yusuf yaitu
"Pendidik adalah individu yang mampu melaksanakan tindakan mendidik dalam situasi pendidikan untuk
mencapai tujuan pendidikan".

Pengertian tersebut tidak berbeda jauh dengan pengertian Pendidik menurut Muhammadiyah yaitu,
Pendidik/guru adalah setiap orang yang merasa bertanggung jawab atas perkembangan anak didik dan
mempunyai tanggungjawab menunaikan amanat Vertikal (Alloh) dan horizontal (kemanusiaan).

Dalam mendidik tidak sembarang orang bisa menjadi seorang pendidik dan untuk menjadi seorang
pendidik ada syarat yang harus dipenuhi. Menurut Muhammadiyah secara umum syarat menjadi
seorang pendidik yaitu harus memiliki ilmu, memiliki kemampuan dalam ilmu jiwa, harus memiliki
akhlak teladan dalam kelasnya bahkan dalam kehidupan sehari-harinya. Dari beberapa syarat terebut
harus dilandasi oleh sikap mental terutama akhlak teladan yaitu, siap menjalankan perintah Allah SWT,
jiwa pengabdian, ikhlas beramal, serta keyakinan dan kelurusan/kebenaran Agama Islam.

Dengan demikian untuk menjadi seorang pendidik menurut Muhammadiyah perlu memiliki persyaratan-
persyaratan khusus, diantaranya:

ü Harus seorang Muslim artinya beragama Islam yang beriman dan bertaqwa.

ü Anggota / guru simpatikan Muhammadiyah atau aisyiah.

ü Mempunyai keteladanan yang mulia baik di sekolah maupun di dalam kehidupan sehari-hari.

ü Ikhlas.

ü Bertanggung jawab.

ü Mempunyai kemampuan istimewa dalam mendidik baik dalam menguasai materi pelajaran maupun
dalam program pelajaran seperti metode, pengelolaan kelas, mengerti dan faham administrasi sekolah
maupun dalam memahami prinsip-prinsip dan menafsirkan hasil penelitian.

c. Peserta Didik

Peserta didik atau disebut juga Mutarabbi, hakikatnya adalah orang yang memerlukan bimbingan.
Secara kodrati, seorang anak memerlukan Pendidikan dan bimbingan dari orang dewasa, paling tidak,
karena ada dua aspek, yaitu aspek pedagogis dan sosiologis.

Menurut Muhammadiyah peserta didik merupakan bahan mentah atau objek dalam proses
transformasi pendidikan. Ia mempunyai keragaman yang berbeda dan sebagai makhluk Allah di muka
bumi ini sebagai khalifah yang perlu dididik dan dibina serta dikembangkan agar bisa mengelolanya dan
kembali kepada Khaliknya.
Dengan demikian maka anak didik merupakan suatu objek yang akan menerima transformasi
pendidikan, dan sebagai objek yang akan menerima transformasi harus mempunyai syarat sebagai
pelajar yang baik yaitu;

ü Mempunyai akhlak yang baik dan mulia.

ü Mempunyai sikap yang sopan dan santun baik kepada sesama maupun kepada yang lebih tua dan
muda.

ü Harus bisa meneruskan perjuangan.

ü Harus dapat dipercaya dan cinta damai.

ü Dan bersedia mentaati peraturan yang ada di Muhammadiyah.

d. Kurikulum

Menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU SISDIKNAS) No 20 Tahun 2003 pasal 1 ayat 19
kurikulum adalah sebagai berikut:

“Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta
cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan
Pendidikan tertentu” (Arifin, 2003:36).

Kurikulum merupakan salah satu komponen yang sangat penting dalam suatu sistem Pendidikan, karena
kurikulum merupakan alat untuk mencapai tujuan Pendidikan dan sekaligus sebagai pedoman dalam
pelaksanaan pengjaran pada semua jenis dan tingkat Pendidikan (Ramayulis 2006:149).

Kurikulum yang digunakan di Muhammadiyah merupakan kurikulum gabungan antara kurikulum


pelajaran pesantren dengan kurikulum modern dengan mempelajari ilmu-ilmu dalam bidang umum.
Adapun materi yang disajikan di Pendidikan Muhammadiyah harus menyentuh berbagai aspek yaitu:

ü Aqidah akhlak

ü Hablumminallah.

ü Hablumminannas.

ü Bahasa dan Tarikh

Dengan demikian maka materi yang disampaikan pada pendidikan Muhammadiyah adalah Pendidikan
Agama yang mencakup mata pelajaran aqidah akhlak, hadist, piqh, tarikh, bahasa, al-quran dan
kemuhammadiyahan. Selain pendidikan Agama di Muhammadiyah juga terdapat pendidikan umum
yang meliputi IPA, IPS Ilmu teknik, olah raga, matematika dll.
Bahan pelajaran di atas diberikan secara berencana. Artinya bahan pelajaran tertentu diberikan di kelas
tertentu dengan waktu atau lama belajar di setiap kelas yang telah ditetapkan. Di sekolah/pendidikan
Muhammadiyah juga telah diterapkan sistem ulangan, absensi Murid dan kenaikan kelas, dan kecakapan
murid dinilai melalui ulangan yang diberikan.

e. Metode

Metode mengajar adalah cara atau tekhnik untuk mencapai tujuan pelajaran, Metode pembelajaran
dapat diartikan sebagai cara yang digunakan oleh pendidik dalam membelajarkan peserta didik saat
berlangsungnya proses pembelajaran.

Kalau dalam sistem pendidikan Islam tradisional dikenal metode sorogan dan weton, maka di lembaga
pendidikan klasikal seperti yang dipraktekkan oleh Muhammadiyah, metode pengajaran yang demikian
tidak diterapkan lagi. Di muhammadiyah murid tidak lagi hanya menerima dengan kritis dan dengan
perbandingan, terutama bagi kitab fikih yang mengajarkan pendapat Mujtahid tertentu.

Adapun Metode yang digunakan di Muhammadiyah yaitu Metode ceramah, diskusi, tanya jawab,
pemberian tugas, metode kerja kelompok, demonstrasi, latihan, sosiodrama, metode karya
wisata/belajar di alam.

f. Lingkungan

Lingkungan pendidikan di Muhammadiyah adalah segala sesuatu yang ada di sekitar kita baik berupa
benda, peristiwa maupun kondisi masyarakat, terutama yang dapat memberikan pengaruh kuat kepada
anak didik yaitu proses pendidikan berlangsung dan dimana lingkungan anak didik bergaul sehari-hari.
Lingkungan yang ada di pendidikan muhammadiyah yaitu lingkungan keluarga, sekolah, masyarakat,
keagamaan dan lingkungan juga besar pengaruhnya terhadap keberhasilan anak didik karena
perkembangan jiwa anak didik itu banyak dipengaruhi oleh situasi lingkungan yang ada dan lingkungan
juga bisa berpengaruh positif dan negatif terhadap anak didik tergantung bagaimana orang tua dan guru
mengawasi dan membimbingnya.

Dibuat Oleh Mushaffaini (0901055131) dan Lisda Agustia (0901055117)

Unknown di 02.28

Berbagi

2 komentar:
Letter From Secret Admirer26 Desember 2016 08.26

nice post kaaa, thx infonya

Balas

Unknown21 Mei 2019 20.33

Thanks info nya kaka

Balas

Beranda

Lihat versi web

Diberdayakan oleh Blogger.

BOARDMARKER

PEMBAHASAN MENGENAL PENDIDIKAN DASAR MUHAMMADIYAH

PEMBAHASAN

MENGENAL PENDIDIKAN DASAR MUHAMMADIYAH


A. Sejarah Pendidikan Muhammadiyah

Berdirinya Muhammadiyah didasari oleh faktor pendidikan. Sutarmo, Mag dalam bukunya
Muhammadiyah, Gerakan Sosisal, Keagamaan Modernis mengatakan bahwa Muhammadiyah didirikan
oleh KHA. Dahlan didasari oleh dua faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal
yaitu faktor yang berkaitan dengan ajaran Islam itu sendiri secara menyeluruh dan faktor eksternal
adalah faktor-faktor yang berada di luar Islam.

Maka pendidikan Muhammadiyah adalah salah satu faktor internal yang mendasari Muhammadiyah
didirikan. Kita ketahui bahwa pada masa awal berdirinya Muhammadiyah, lembaga-lembaga pendidikan
yang ada dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok besar sistem pendidikan. Dua sistem pendidikan
yang berkembang saat itu, pertama adalah sistem pendidikan tradisional pribumi yang diselenggarakan
dalam pondok-pondok pesantren dengan Kurikulum seadanya.

Pada umumnya seluruh pelajaran di pondok-pondok adalah pelajaran agama. Proses penanaman
pendidikan pada sistem ini pada umumnya masih diselenggarakan secara tradisional, dan secara pribadi
oleh para guru atau kyai dengan menggunakan metode srogan (murid secara individual menghadap kyai
satu persatu dengan membawa kitab yang akan dibacanya, kyai membacakan pelajaran, kemudian
menerjemahkan dan menerangkan maksudnya) dan weton (metode pengajaran secara berkelompok
dengan murid duduk bersimpuh mengelilingi kyai juga duduk bersimpuh dan sang kyai menerangkan
pelajaran dan murid menyimak pada buku masing-masing atau dalam bahasa Arab disebut metode
Halaqah) dalam pengajarannya.

Dengan metode ini aktivitas belajar hanya bersifat pasif, membuat catatan tanpa pertanyaan, dan
membantah terhadap penjelasan sang kyai adalah hal yang tabu. Selain itu metode ini hanya
mementingkan kemampuan daya hafal dan membaca tanpa pengertian dan memperhitungkan daya
nalar. Kedua adalah pendidikan sekuler yang sepenuhnya dikelola oleh pemerintah kolonial dan
pelajaran agama tidak diberikan.

Bila dilihat dari cara pengelolaan dan metode pengajaran dari kedua sistem pendidikan tersebut, maka
perbedaannya jauh sekali. Tipe pendidikan pertama menghasilkan pelajar yang minder dan terisolasi
dari kehidupan modern, akan tetapi taat dalam menjalankan perintah agama, sedangkan tipe kedua
menghasilkan para pelajar yang dinamis dan kreatif serta penuh percaya diri, akan tetapi tidak tahu
tentang agama, bahkan berpandangan negatif terhadap agama.

Maka atas dasar dua sistem pendidikan di atas KHA. Dahlan kemudian dalam mendirikan lembaga
pendidikan Muhammadiyah menggabungkan hal-hal yang positif dari dua sistem pendidikan tersebut.
KHA. Dahlan kemudian coba menggabungkan dua aspek yaitu, aspek yang berkenaan secara idiologis
dan praktis. Aspek idiologisnya yaitu mengacu kepada tujuan pendidikan Muhammadiyah, yaitu untuk
membentuk manusia yang berakhlak mulia, pengetahuan yang komprihensif, baik umum maupun
agama, dan memiliki keasadaran yang tinggi untuk bekerja membangun masyrakat (perkembangan
filsafat dalam pendidikan Muhmmadiyah, syhyan rasyidi). Sedangkan aspek praktisnya adalah mengacu
kepada metode belajar, organisasi sekolah mata pelajaran dan kurikulum yang disesuaikan dengan teori
modern.

Maka inilah sejarah awal berdirinya lembaga pendidikan Muhammadiyah yang jika disimpulkan
berdirinya lembaga pendidikan Muhammadiyah untuk mencetak ulama atau pemikir yang
mengedepankan tajdid atau tanzih dalam setiap pemikiran dan gerakannya bukan ulama atau pemikir
yang say yes pada kemapanan yang sudah ada (established) karena KHA. Dahlan dalam memadukan dua
sistem tersebut coba untuk menciptakan ulama/pelajar yang dinamis dan kreatif serta penuh percaya
diri dan taat dalam menjalankan perintah agama.

B. Perkembangan Pendidikan Muhammadiyah

Cita-cita pendidikan yang digagas Kyai Dahlan adalah lahirnya manusia-manusia baru yang mampu
tampil sebagai “ulama-intelek” atau “intelek-ulama”, yaitu seorang muslim yang memiliki keteguhan
iman dan ilmu yang luas, kuat jasmani dan rohani. Dalam rangka mengintegrasikan kedua sistem
pendidikan tersebut, Kyai Dahlan melakukan dua tindakan sekaligus; memberi pelajaran agama di
sekolah-sekolah Belanda yang sekuler, dan mendirikan sekolah-sekolah sendiri di mana agama dan
pengetahuan umum bersama-sama diajarkan.

Kedua tindakan itu sekarang sudah menjadi fenomena umum yang pertama sudah diakomodir negara
dan yang kedua sudah banyak dilakukan oleh yayasan pendidikan Islam lain.

Dalam rangka menjamin kelangsungan sekolah yang ia dirikan maka atas saran murid-muridnya Kyai
Dahlan akhirnya mendirikan persyarikatan Muhammadiyah tahun 1912. Metode pembelajaran yang
dikembangkan Kyai Dahlan bercorak kontekstual melalui proses penyadaran. Contoh klasik adalah ketika
Kyai menjelaskan surat al-Ma’un kepada santri-santrinya secara berulang-ulang sampai santri itu
menyadari bahwa surat itu menganjurkan supaya kita memperhatikan dan menolong fakir-miskin, dan
harus mengamalkan isinya. Setelah santri-santri itu mengamalkan perintah itu baru diganti surat
berikutnya.

Menurutnya, sistem pendidikan dan pengajaran agama Islam di Indonesia ini yang paling baik adalah
sistem pendidikan yang mengikuti sistem pondok pesantren karena di dalamnya diresapi dengan
suasana keagamaan, sedangkan sistem pengajaran mengikuti sistem madrasah/sekolah, jelasnya
madrasah/sekolah dalam pondok pesantren adalah bentuk sistem pengajaran dan pendidikan agama
Islam yang terbaik. Dalam semangat yang sama, belakangan ini sekolah-sekolah Islam tengah berpacu
menuju peningkatan mutu pendidikan. Salah satu model pendidikan terbaru adalah full day school,
sekolah sampai sore hari, tidak terkecuali di lingkungan Muhammadiyah.
C. Azas Pendidikan Muhammadiyah

Secara umum asas-asas pendidikan adalah sebagai berikut:

1. Pendidikan Islam adalah pendidikan yang bersifat sempurna, menyangkut seluruh aspek
kemanusiaan baik jasmani maupun ruhani dan akal.

2. Pendidikan Islam adalah pendidikan yang seimbang antara kehidupan dunia

dan akhirat.

3. Pendidikan Islam adalah pendidikan yang bersifat pengalaman, tidak cukup

hanya perkataan saja, akan tetapi menuntut pengalaman.

4. Pendidikan islam bersifat pribadi dan masyarakat. Pendidikan islam

berdasarkan keutamaan agar setiap pribadi menjadi sumber kebaikan dalam

masyarakat. Setiap muslim adalah pemimpin dan bertanggungjawab atas

kepemimpinannya.

5. Pendidikan islam mengembangkan fitrah manusia.

6. Pendidikan islam mengarah kepada kebaikan individu dan masyarakat.

7. Pendidikan islam berlangsung secara terus menerus sepanjang kehidupan

manusia. Pendidikan islam berlaku untuk seluruh umat manusia.

D. Hakikat Tujuan Pendidikan Muhammadiyah

Secara luas tujuan pendidikan Muhammadiyah antara lain:

1. Untuk membentuk akhlak yang mulia.

2. Persiapan untuk kehidupan dunia dan akhirat.

3. Persiapan untuk mencari rezeki dan pemeliharaan segi manfaat.

4. Menumbuhkan semangat ilmiah pada para pelajar dan memuaskan rasa ingin
tahu, serta memungkinkan mereka mengkaji ilmu demi ilmu itu sendiri.

5. Menyiapkan pelajar dari segi profesi, teknik supaya dapat menguasai profesi

atau ketrampilan tertentu.

6. Menumbuhkan potensi dan bakat asal pada anak.

7. Menumbuhkan kesadaran manusia untuk mengabdi, dan takut kepada Allah.

8. Menguatkan ukhuwah islamiyah dikalangan kaum muslim.

9. Mencapai keridhaan Allah, menjauhkan murka dan siksaanNya serta

melaksanakan pengabdian yang tulus ikhlas kepadaNya.

Dasar dan tujuan pendidikan Muhammadiyah dicapai dengan bimbingan kemasyarakatan, tajdkid
(pembaharuan) aktivitas (kegiatan-kegiatan), kreatif (daya cipta) dan optimis dengan membina keluarga
bahagia. Meluaskan agama (da’wah), memperbanyak masjid dan mushalla, meningkatkan mutu
sekolahan, penyertaan (pembinaan & pemeliharaan)masjid atau langgar disetiap bangunan sekolahan ,
membimbing aktivitas organisasi.

E. Fungsi Lembaga Pendidikan Muhammadiyah

Adapun amal usaha Muhammadiyah dibidang pendidikan adalah :

a. Mendirikan sekolah / madrasah dengan pelajaran agama sama banyak

dengan ilmu umumnya (kurikulum gabungan).

b. Mengirimkan guru-guru ke daerah - daerah dan keluar negeri.

c. Mendirikan pondok modern muhammadiyah disamping pendidikan ulama’

d. Menggiatkan tabligh-tabligh dan pendidikan agama di sekolah

Dalam hal ini Muhammadiyah terus berusaha meningkatkan amal usahanya, baik secara perseorangan
maupun secara gotong royong.

Pada dasarnya lembaga pendidikan ini dibedakan menjadi tiga, yaitu keluarga, sekolah dan masyarakat
(lingkungan). Namun yang dimaksud disini adalah lembaga pendidikan sekolah.

Masing-masing lembaga memiliki peran yang melekat pada setiap anggotanya dan juga fungsi yang
mendorong setiap anggotanya menjalankan aktivitasnya dengan baik dan benar.
Fungsi lembaga pendidikan Muhammadiyah antara lain adalah pertama, menjadi otoritas dengan
kepedulian pada setiap anggotanya terutama pada anak didiknya. Kedua, mengajak setiap anggota
untuk meningkatkan peran dan fungsinya didalam perkembangan ilmu dan kemajuan serta
kesejahteraan masyarakat pada umumnya. Ketiga, menjadi wadah komunikasi yang baik dalam dunia
keilmuan maupun dalam hal social kemasyarakatan.

F. Manajemen Pendidikan Muhammadiyah

Muhammadiyah adalah organisasi yang tumbuh dan berkembang dari inisiatif masyarakat secara
perorangan yang kemudian menjadi inisiatif kelompok. Karena kesepahaman dengan visi dan misi serta
tujuan persyarikatan itu maka kelompok-kelompok masyarakat tersebut dapat mendirikan sebuah
ranting Muhammadiyah dengan pengesahan pimpinan di atasnya.

Pendirian ranting Muhammadiyah tersebut biasanya disertai dengan amal usaha sebagai bentuk nyata
aktivitasnya, tidak sedikit amal usaha itu merupakan sebuah sekolah.

Dalam persyarikatan Muhammadiyah, lembaga pendidikan dapat didirikan oleh Pimpinan Ranting,
Pimpinan Cabang, Pimpinan Daerah, Pimpinan Wilayah atau Pimpinan Pusat. Manajemen yang
diterapkan oleh Muhammadiyah sangat unik, Pimpinan Pusat Muhammadiyah dalam mengelola
lembaga pendidikan yang ada di Muhammadiyah melakukan pengawasan dan pembinaan secara umum.

Untuk melaksanakan tugas pengawasan dan pembinaan tersebut Muhammadiyah membentuk Majlis
pendidikan dasar dan menengah untuk pengawasan dan pembinaan tingkat SD/MI,SMP/Tsanawiyah,
SMA/SMK/Aliyah. Sedangkan untuk pengawasan dan pembinaan Perguruan Tinggi Muhammadiyah
menyerahkan kewenangannya kepadaMajlis Pendidikan Tinggi.

Dalam hal-hal yang bersifat teknis, Muhammadiyah menyerahkan sepenuhnya kepada tingkat pimpinan
yang mendirikan lembaga pendidikan tersebut.

Dengan kebijakan seperti ini maka manajemen pendidikan di Muhammadiyah menjadi sangat unik,
terjadi keanekaragaman kebijakan pada setiap pimpinan yang menguasai lembaga pendidikan tersebut,
seperti terjadinya keanekaragaman dalam rekrutmen guru, dosen, karyawan. Keanekaragaman dalam
penggajian dan lain sebagainya. Gaji (honor) karyawan, guru dan dosen pada satu sekolah atau
perguruan tinggi Muhammadiyah berbeda dengan gaji karyawan, guru dan dosen pada sekolah atau
perguruan tinggi Muhammadiyah yang lain, hal ini merupakan suatu hal yang biasa dalam lembaga
pendidikan Muhammadiyah. Sehingga dalam kenyataan saat ini, ada lembaga-lembaga pendidikan
Muhammadiyah yang sangat maju tetapi di tempat lain ada lembaga pendidikan Muhammadiyah yang
sangat terpuruk.

G. Konsep Pendidikan Muhammadiyah


a. Tujuan Pendidikan

Tujuan pendidikan Islam tidak terlepas dari tujuan hidup manusia dalam Islam, yaitu untuk menciptakan
pribadi-pribadi hamba Allah yang selalu bertakwa kepadaNya, dan dapat mencapai kehidupan yang
berbahagia di dunia dan akhirat (lihat S. Al-Dzariat:56; S. ali Imran: 102).

” Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku"

b. Tujuan Pendidikan yang digagas KH Ahmad Dahlan adalah lahirnya manusia-manusia baru yang
mampu tampil sebagai "ulama-ulama intelek" atau "intelek ulama", yaitu sorang Muslim yang memiliki
keteguhan iman dan Ilmu yang luas, kuat jasmani dan rohani.

Adapun tujuan pendidikan Muhammadiyah mengacu pada tujuan Muhammadiyah yaitu:

(I) Pada waktu pertama kali berdiri tujuannya adalah Menyebarkan ajaran Kanjeng Nabi
Muhammad SAW kepada penduduk bumi putera didalam residenan Yogyakarta menunjukan hal Agama
Islamkepada anggotanya,

(II) Setelah Muhammadiyah berdiri dan menyebar keluar Yogyakarta menjadi memajukan dan
menggembirakan pengajaran dan memajukan Agama Islam kepada sekutu-sekutunya.

Dari tujuan tersebut, maka tujuan pendidikan formal

Muhammadiyah adalah:

1. Menegakkan, berarti membuat agar tegak dan tidak tergoyahkan itu dengan memegang teguh,
mempertahankan, membela serta memperjuangkan ajaran Islam.

2. Menjunjung tinggi berarti membawa di atas segala-galanya, yaitu dengan cara anak didik supaya
mengamalkan mengindahkan serta melaksanakan Ajaran Agama Islam.

3. Agama Islam yaitu: Agama yang dibawa para Rasul sejak Nabi Adam sampai Nabi Muhammad SAW.
Segenap isi Ajaran Agama yang dibawa oleh para Rasul tersebut, sudah tercakup dalam Syariat Islam
yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW berupa Al Qur'an Hadits. Maka siswa Muhammadiyah bisa
memegang teguh Agama Islam sebagai Agama Tauhid yang dibawa oleh Rasul dan sudah sempurna
sehingga dapat terbentuk insan-insan kamil.

H. Pendidik
Pendidik Secara etimologi berarti orang yang memberikan bimbingan. Pengertian ini memberi kesan
bahwa pendidik adalah orang yang melakukan kegiatan dalam bidang pendidikan. Kata tersebut seperti
“teacher” artinya guru yang mengajar dirumah.

Pengertian tersebut tidak berbeda jauh dengan pengertian Pendidik menurut Muhammadiyah yaitu,
Pendidik/guru adalah setiap orang yang merasa bertanggung jawab atas perkembangan anak didik dan
mempunyai tanggungjawab menunaikan amanat Vertikal (Alloh) dan horizontal (kemanusiaan).

Dengan demikian untuk menjadi seorang pendidik menurut Muhammadiyah perlu memiliki persyaratan-
persyaratan khusus, diantaranya:

1. Harus seorang Muslim artinya beragama Islam yang beriman dan bertaqwa.

2. Anggota / guru simpatikan Muhammadiyah atau aisyiah.

3. Mempunyai keteladanan yang mulia baik di sekolah maupun di dalam kehidupan sehari-hari.

4. Ikhlas.

5. Bertanggung jawab.

6. Mempunyai kemampuan istimewa dalam mendidik baik dalam menguasai materi pelajaran
maupun dalam program pelajaran seperti metode, pengelolaan kelas, mengerti dan faham administrasi
sekolah maupun dalam memahami prinsip-prinsip dan menafsirkan hasil penelitian.

I. Kurikulum

Kurikulum merupakan salah satu komponen yang sangat penting dalam suatu sistem Pendidikan, karena
kurikulum merupakan alat untuk mencapai tujuan Pendidikan dan sekaligus sebagai pedoman dalam
pelaksanaan pengjaran pada semua jenis dan tingkat Pendidikan (Ramayulis 2006:149).

Kurikulum yang digunakan di Muhammadiyah merupakan kurikulum gabungan antara kurikulum


pelajaran pesantren dengan kurikulum modern dengan mempelajari ilmu-ilmu dalam bidang umum.
Adapun materi yang disajikan di Pendidikan Muhammadiyah harus menyentuh berbagai aspek yaitu:

1. Aqidah akhlak

2. Hablumminallah.

3. Hablumminannas.

4. Bahasa dan Tarikh


Dengan demikian maka materi yang disampaikan pada pendidikan Muhammadiyah adalah Pendidikan
Agama yang mencakup mata pelajaran aqidah akhlak, hadist, piqh, tarikh, bahasa, al-quran dan
kemuhammadiyahan. Selain pendidikan Agama di Muhammadiyah juga terdapat pendidikan umum
yang meliputi IPA, IPS Ilmu teknik, olah raga, matematika dll.

Bahan pelajaran di atas diberikan secara berencana. Artinya bahan pelajaran tertentu diberikan di kelas
tertentu dengan waktu atau lama belajar di setiap kelas yang telah ditetapkan. Di sekolah/pendidikan
Muhammadiyah juga telah diterapkan sistem ulangan, absensi Murid dan kenaikan kelas, dan kecakapan
murid dinilai melalui ulangan yang diberikan.

DAFTAR PUSTAKA
http://astriyaniwinda.blogspot.com/2013/01/konsep-dasar-pendidikan-muhammadiyah.html

http://solomoncell.wordpress.com/2012/06/04/pendidikan-muhammadiyah/

http://may45.wordpress.com/2010/06/17/pendidikan-muhammadiyah/

Share

Home

View web version

TENTANG SAYA

aswar

View my complete profile

Powered by Blogger.

Anda mungkin juga menyukai