Anda di halaman 1dari 19

Evidence Based Medicine (EBM)

Pembimbing:

dr. Moch. Ma’roef, Sp. OG

Oleh :
Bangun Fajar Baskara
202010401011047

SMF OBGYN RS MUHAMMADIYAH LAMONGAN


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
FAKULTAS KEDOKTERAN
2020
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Esa, karena
berkat limpahan Rahmat dan Karunia-Nya sehingga penulis dapat menyusun makalah
ini dengan baik dan benar,serta tepat pada waktunya. Dalam makalah ini kami akan
membahas mengenai “EVIDENCE BASED MEDICINE (EBM)”.
Makalah ini telah ini dibuat dengan bantuan dari berbagai pihak untuk
membantu menyelesaikan tantangan dan hambatan selama mengerjakan makalah ini.
Oleh karena itu, penyusun mengucapkan terima kasih yang sebesar-sebesarnya
kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini.
Penyusun menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang mendasar pada
makalah ini. Oleh karena itu penyusun berharap pembaca untuk memberikan saran
serta kritik ysng dapat membangun makalah ini. Semoga makalah ini dapat
memberikan manfaat bagi kita semua

Malang, 7 Oktober 2020

Penulis

i
DAFTAR ISI

Halaman
Kata Pengantar ...................................................................................... i
DAFTAR ISI ........................................................................................... ii

BAB 1 PENDAHULUAN ...................................................................... 1


1.1. Latar Belakang ......................................................................... 1
1.2. Rumusan masalah.......................................................................
1
1.3. Tujuan....................................................................................... 2

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA .......................................................... 3


2.1.Definisi ....................................................................................
3
2.2. Tujuan EBM ...........................................................................
3
2.3. Langkah – langkah EBM ....................................................... 5
2.4. Level EBM ……………….....................................................11

BAB 3 KESIMPULAN DAN SARAN....................................................


3.1. Kesimpulan ............................................................................. 12
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................. 13

ii
BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Evidence Based Medicine (EBM) merupakan suatu pendekatan

medis yang didasarkan pada bukti-bukti ilmiah terkini untuk keperluan

pelayanan kesehatan penderita. EBM membutuhkan ketrampilan khusus,

termasuk didalamnya kemampuan untuk melakukan penelusuran literatur

secara efisien dan melakukan telaah kritis terhadap literatur tersebut

menurut aturan-aturan yang telah ditentukan.

Dalam dekade terakhir, konsep EBM menarik perhatian para profesi

kesehatan. Era kedokteran berbasis bukti / EBM seperti saat ini, seorang klinisi harus

mampu mengaplikasikan sesuatu temuan dari suatu penelitian ilmiah dalam jurnal ke

pasien secara individual didalam menjalankan tugasnya sebagai klinisi untuk

membuat keputusan terapi. Praktek EBM itu sendiri juga banyak dicetuskan oleh

adanya pertanyaan pasien tentang efek pengobatan, kegunaan pemeriksaan

penunjang, prognosis penyakitnya, atau penyebab kelainan yang dideritanya.

Banyaknya informasi di era digital saat ini membutuhkan kemampuan seorang untuk

secara kritis mampu menelaah jurnal-jurnal kedokteran dengan berfokus pada studi

yang berkualitas tinggi, yang mampu memberikan penuntun klinis praktis dan

mengekstrapolasikan informasi studi.

1.2 Rumusan Masalah


1) Apakah definisi dari Evidence Based Medicine ?
2) Bagaimana tujuan Evidence Based Medicine ?
3) Bagaimana langkah-langkah dalam Evidence Based Medicine ?

1
1.3 Tujuan
1) Mampu menjelaskan definisi dari Evidence Based Medicine
2) Mampu menjelaskan tujuan Evidence Based Medicine
3) Mampu menjelaskan langkah-langkah dalam Evidence Based Medicine

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Menurut Sackett et al. (2000), Evidence-based medicine (EBM) adalah

suatu pendekatan medik yang didasarkan pada bukti-bukti ilmiah terkini untuk

kepentingan pelayanan kesehatan penderita. Dengan demikian, dalam praktek, EBM

memadukan antara kemampuan dan pengalaman klinik dengan bukti-bukti ilmiah

terkini yang paling dapat dipercaya.

Dengan demikian, maka salah satu syarat utama untuk memfasilitasi

pengambilan keputusan klinik yang evidence-based adalah dengan menyediakan

bukti-bukti ilmiah yang relevan dengan masalah klinik yang dihadapi, serta

diutamakan yang berupa hasil meta-analisis, review sistematik, dan randomized

double blind controlled clinical trial (RCT)

2.2 Tujuan
EBM bertujuan membantu klinisi memberikan pelayanan medis yang lebih

baik agar diperoleh hasil klinis (clinical outcome) yang optimal bagi pasien, dengan

cara memadukan bukti terbaik yang ada, keterampilan klinis, dan nilai nilai pasien.

Penggunaan bukti ilmiah terbaik memungkinkan keputusan klinis yang efektif, aman,

3
bisa diandalkan (reliable), efisien dan cost-effective.

2.2.1 Mengapa perlu EBM?

1) Bahwa informasi yang selalu diperbarui (update) mengenai diagnosis, prognosis,

terapi dan pencegahan, promotif, rehabilitatif sangat dibutuhkan dalam praktek

sehari-hari. Sebagai contoh, teknologi diagnostik dan terapi selalu disempurnakan

dari waktu ke waktu.

2) Bahwa informasi-informasi tradisional (misalnya yang terdapat dalam textbook)

tentang hal-hal di atas sudah sangat tidak adekuat pada saat ini; beberapa justru

sering keliru dan menyesatkan (misalnya informasi dari pabrik obat yang

disampaikan oleh duta-duta farmasi/detailer), tidak efektif (misalnya continuing

medical education yang bersifat didaktik), atau bisa saja terlalu banyak, sehingga

justru sering membingungkan (misalnya majalah (journal-journal) biomedik/

kedokteran yang saat ini berjumlah lebih dari 25.000 jenis).

3) Dengan bertambahnya pengalaman klinik seseorang, maka

kemampuan/ketrampilan untuk mendiagnosis dan menetapkan bentuk terapi

(clinical judgement) juga meningkat. Namun pada saat yang bersamaan,

kemampuan ilmiah (akibat terbatasnya informasi yang dapat diakses) serta kinerja

klinik (akibat hanya mengandalkan pengalaman, yang sering tidak dapat

dipertanggungjawabkan secara ilmiah) menurun secara bermakna (signifikan).

4) Dengan meningkatnya jumlah pasien, waktu yang diperlukan untuk pelayanan

semakin banyak. Akibatnya, waktu yang dimanfaatkan untuk meng-update ilmu

(misalnya membaca journal-journal kedokteran) sangat kurang.

4
2.3. Langkah – langkah EBM
a. Langkah 1 : Merumuskan pertanyaan klinis
Setiap saat seorang dokter menghadapi pasien tentu akan muncul

pertanyaan-pertanyaan ilmiah yang menyangkut beberapa hal, seperti diagnosis

penyakit, jenis terapi yang paling tepat, faktor- faktor resiko, prognosis, hingga

upaya apa yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah yang dijumpai pada

pasien.

Dalam situasi tersebut diperlukan kemampuan untuk mensintesis dan

menelaah beberapa permasalahan yang ada. Sebagai contoh, dalam skenario 1

disajikan suatu kasus dan bentuk kajiannya.

Pertanyaan-pertanyaan yang mengawali EBM selain dapat berkaitan

dengan diagnosis, prognosis, terapi, dapat juga berkaitan dengan resiko efek

iatrogenik, kualitas pelayanan (quality of care), hingga ke ekonomi kesehatan

(health economics). Idealnya setiap issue yang muncul hendaknya bersifat

spesifik, berkaitan dengan kondisi pasien saat masuk, bentuk intervensi terapi

yang mungkin, dan luaran (outcome) klinik yang dapat diharapkan.

Terdapat 2 jenis pertanyaan klinik yang biasa diajukan oleh seorang

praktisi medik atau klinisi pada saat menghadapi pasien.

 Pertama, yang disebut dengan “background question” merupakan

pertanyaan-pertanyaan umum yang berkaitan dengan penyakit.

 Kedua, “foreground question” merupakan pertanyaan-pertanyaan spesifik

yang berkaitan dengan upaya penatalaksanaan.

5
Terdiri atas 4 komponen yaitu Patient, Intervention, Comparison,

Outcome

 Patient and problem :

Karakteristik pasien dan masalahnya perlu dideskripsikan dengan

eksplisit agar bukti-bukti yang dicari dari database hasil riset relevan

dengan masalah pasien dan dapat diterapkan, yaitu bukti-bukti yang

berasal dari riset yang menggunakan sampel pasien dengan karakteristik

serupa dengan pasien/ populasi pasien yang datang pada praktik klinik.

Keserupaan antara karakteristik demografis, morbiditas, klinis, dari

sampel penelitian dan pasien yang datang pada praktik klinik penting

untuk diperhatikan, karena mempengaruhi kemampuan penerapan bukti-

bukti (applicability).

 Intervention :

Pertanyaan klinis perlu menyebutkan dengan spesifik intervensi yang

ingin diketahui manfaat klinisnya. Intervensi diagnostik mencakup tes

skrining, tes/ alat/ prosedur diagnostik, dan biomarker. Intervensi

terapetik meliputi terapi obat, vaksin, prosedur bedah, konseling,

penyuluhan kesehatan, upaya rehabilitatif, intervensi medis dan pelayanan

kesehatan lainnya.

 Comparison :

Prinsipnya, secara metodologis untuk dapat menarik kesimpulan tentang

manfaat suatu tes diagnostik, maka akurasi tes diagnostik itu perlu

6
dibandingkan dengan keberadaan penyakit yang sesungguhnya, tes

diagnostik yang lebih akurat yang disebut rujukan standar (standar emas),

atau tes diagnostik lainnya. Hanya dengan melakukan perbandingan maka

4
dapat disimpulkan apakah tes diagnostik tersebut bermanfaat atau tidak

bermanfaat untuk dilakukan.

 Outcome :

Efektivitas intervensi diukur berdasarkan perubahan pada hasil klinis

(clinical outcome). Patient-oriented outcome dapat diringkas menjadi

―3D‖: (1) Death; (2) Disability; dan (3) Discomfort. Intervensi medis

seharusnya bertujuan untuk mencegah kematian dini, mencegah

kecacatan, dan mengurangi ketidaknyamanan.

b. Langkah 2 : Mencari bukti


Langkah berikutnya adalah mencari bukti-bukti untuk menjawab

pertanyaan tersebut. Bukti adalah hasil dari pengamatan dan eksperimentasi

sistematis. Jadi pendekatan berbasis bukti sangat mengandalkan riset, yaitu data

yang dikumpulkan secara sistematis dan dianalisis dengan kuat setelah

perencanaan riset .Bukti ilmiah yang dicari dalam EBM memiliki ciri-ciri

―EUREKA‖ - Evidence that is Understandable, Relevant, Extendible, Current

and Appraised – yaitu bukti yang dapat dipahami, relevan, dapat diterapkan/

diekstrapolasi, terkini, dan telah dilakukan penilaian.

7
c. Langkah 3 : Menilai kritis bukti
EBM merupakan praktik penggunaan bukti riset terbaik yang tersedia

(best available evidence). Tetapi „not all evidences are created equal”- tidak

semua sumber bukti memberikan kualitas bukti yang sama. Dokter dituntut

untuk berpikir kritis dan menilai kritis bukti (critical appraisal). Nilai bukti

ditentukan oleh dua hal: (1) Desain riset; dan (2) Kualitas pelaksanaan riset.

Secara formal penilaian kritis (critical appraisal) perlu dilakukan terhadap

kualitas bukibukti yang dilaporkan oleh artikel riset pada jurnal. Intinya,

penilaian kritis kualitas bukti dari artikel riset meliputi penilaian tentang

validitas (validity), kepentingan (importance), dan kemampuan penerapan

(applicability) buktibukti klinis tentang etiologi, diagnosis, terapi, prognosis,

pencegahan, kerugian, yang akan digunakan untuk pelayanan medis individu

pasien, disingkat “VIA”.

 Validity

Validitas (kebenaran) bukti yang diperoleh dari sebuah riset tergantung

dari cara peneliti memilih subjek/ sampel pasien penelitian, cara

mengukur variabel, dan mengendalikan pengaruh faktor ketiga yang

disebut faktor perancu (confounding factor).

Untuk memperoleh hasi riset yang benar (valid), maka sebuah riset perlu

menggunakan desain studi yang tepat. Sebagai contoh, jika bukti yang

diinginkan menyangkut efektivitas dan keamanan intervensi terapetik,

maka bukti yang terbaik berasal dari kajian sistematis/ meta-analisis dari

8
randomized, triple-blind, placebo-controlled trial (RCT), yaitu

eksperimen random dengan pembutaan ganda dan pembanding plasebo,

dengan penyembunyian (concealment) hasil randomisasi, serta waktu

follow-up yang cukup untuk melihat hasil yang diinginkan. Di pihak lain,

testimoni (pengakuan) pasien, laporan kasus (case report), bahkan

pendapat pakar, memiliki nilai rendah sebagai bukti, karena efek plasebo

(yaitu, perbaikan kesehatan yang dapat dihasilkan oleh intervensi medis

palsu), bias yang timbul ketika mengamati atau melaporkan kasus, dan

kesulitan dalam memastikan siapa yang bisa disebut pakar, dan

sebagainya

 Importance

Bukti yang disampaikan oleh suatu artikel tentang intervensi medis perlu

dinilai tidak hanya validitas (kebenaran)nya tetapi juga apakah intervensi

tersebut memberikan informasi diagnostik ataupun terapetik yang

substansial, yang cukup penting (important), sehingga berguna untuk

menegakkan diagnosis ataupun memilih terapi yang efektif.

 Applicability

Bukti yang valid dan penting dari sebuah riset hanya berguna jika bisa

diterapkan pada pasien di tempat praktik klinis.

d. Langkah 4 : Menerapkan bukti

9
Langkah EBM diawali dengan merumuskan pertanyaan klinis dengan

struktur PICO, diakhiri dengan penerapan bukti intervensi yang memperhatikan

aspek PICO , patient, intervention, comparison, dan outcome. Selain itu,

5
penerapan bukti intervensi perlu mempertimbangkan kelayakan (feasibility)

penerapan bukti di lingkungan praktik klinis.

 Patient : Prinsip EBM adalah memberikan pelayanan yang berpusat kepada

pasien (patient-centered care). Klinisi perlu memperhatikan kesesuaian

karaktersistik pasien yang digunakan dalam riset dan pasien yang dihadapi

di tempat praktik klinis

 Intervention : Efektivitas adalah kemampuan untuk menghasilkan efek yang

diinginkan. Intervensi yang rasional untuk digunakan adalah intervensi yang

efektivitasnya didukung oleh bukti yang valid, memberikan perbaikan klinis

secara substansial (clinically significant), menunjukkan konsistensi hasil

(statistically significant), dan dapat diterapkan (applicable).

 Comparison : Pertama, penerapan intervensi perlu memperhatikan

kesesuaian antara pembanding/ alternatif yang digunakan oleh peneliti dan

pembanding/ alternatif yang dihadapi klinisi pada pasien di tempat praktik.

Kedua, pengambilan keputusan untuk menerapkan intervensi medis perlu

membandingkan manfaat dan kerugian dari melakukan intervensi.

Ketiga, pengambilan keputusan klinis hakikatnya adalah menentukan pilihan

dari berbagai alternatif intervensi. Klinisi harus memilih antara memberikan

atau tidak memberikan intervensi, atau memilih sebuah dari beberapa

alternatif intervensi.

 Outcome : Prinsip EBM, hasil yang diharapkan dari suatu intervensi adalah

hasil yang berorientasi pada pasien. Pengambilan keputusan klinis harus

9
memperhatikan nilai-nilai dan ekspektasi pasien. Menerapkan bukti riset

terbaik dengan mengabaikan nilai-nilai dan preferensi pasien dapat

menyebabkan lebih banyak mudarat (harm) daripada manfaat (benefit,

utility) kepada pasien.

Karena itu pengambilan keputusan klinis untuk pasien tidak bersifat ‗take-

itor-leave it‘ yang ditentukan semaunya dokter (provider-driven) tanpa

memberikan opsi kepada pasien. Demikian pentingnya nilai-nilai dan hak

pasien, sehingga pengambilan keputusan bersama pasien-dokter untuk tidak

menerapkan intervensi yang terbukti efektif karena mempertimbangkan

nilai-nilai pasien bisa dipandang suatu praktik EBM yang baik.

 Feasibility : Kelayakan menunjukkan sejauh mana intervensi bisa dilakukan

dengan metode yang ada dan pada lingkungan yang diperlukan. Meskipun

sebuah intervensi efektif, tepat (appropriate) untuk diterapkan kepada

individu pasien, sesuai dengan kebutuhan pasien, penerapan intervensi

tergantung dari kelayakan, yaitu ketersediaan sumber daya di lingkungan

praktik klinis.

e. Langkah 5 : Mengevaluasi kinerja penerapan EBM


Kinerja penerapan EBM perlu dievaluasi, terdiri atas tiga kegiatan

sebagai berikut :

 Pertama, mengevaluasi efisiensi penerapan langkah-langkah EBM.

Penerapan EBM belum berhasil jika klinisi membutuhkan waktu terlalu

lama untuk mendapatkan bukti yang dibutuhkan, atau klinisi mendapat

bukti dalam waktu cukup singkat tetapi dengan kualitas bukti yang tidak

10
memenuhi ―VIA (kebenaran, kepentingan, dan kemampuan penerapan

bukti). Kedua contoh tersebut menunjukkan inefisiensi implementasi

EBM.

 Kedua, melakukan audit keberhasilan dalam menggunakan bukti terbaik

sebagai dasar praktik klinis.

 Ketiga, mengidentifikasi area riset di masa mendatang. Kendala dalam

penerapan EBM merupakan masalah penelitian untuk perbaikan

implementasi EBM di masa mendatang

2.4. Level dari Evidence

11
BAB III

KESIMPULAN

Evidence-based medicine (EBM) merupakan suatu pendekatan medik yang

didasarkan pada bukti-bukti ilmiah terkini untuk kepentingan pelayanan kesehatan

penderita. Dengan demikian, dalam prakteknya, EBM memadukan antara

kemampuan dan pengalaman klinik dengan bukti-bukti ilmiah terkini yang paling

dapat dipercaya.

EBM bertujuan membantu klinisi memberikan pelayanan medis yang lebih

baik agar diperoleh hasil klinis yang optimal bagi pasien, dengan cara memadukan

bukti terbaik yang ada, keterampilan klinis, dan nilai-nilai pasien.

Langkah – langkah dalam melakukan EBM yaitu merumuskan pertanyaan

klinis, mencari bukti, menilai kritis bukti, menerapkan bukti, mengevaluasi kinerja

penerapan EBM.

12
Daftar Pustaka

1. Giovanni D Tebala, 2018. The Emperor’s New Clothes: a Critical Appraisal

of Evidence-based Medicine. International Journal of Medical Sciences. Vol

15 No 12 (10.7150/ijms.25869)

2. Heneghan C, 2014, Introduction to Evidence-Based Medicine, Director

CEBM, University of Oxford.

3. Murthi, Bhisma. 2010. Pengantar Evidence Based Medicine. Bagian Ilmu

Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran, Universitas Sebelas Maret

4. Tumbelaka, Alan, 2016, Evidence Based Medicine, Sari Pediatri Vol. 13 No.4

13

Anda mungkin juga menyukai